Gelorakan Semangat “Dentalpreneurship” UNAIR NEWS – Dekan Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Dr. R. Darmawan Setijanto, drg., M.Kes selalu berupaya membentuk pribadi tahan banting untuk para mahasiswanya. Maka itu, mereka harus punya jiwa entrepreneur atau kewirausahaan. Oleh karena ranahnya adalah kedokteran gigi, bisa pula diistilahkan dengan “dentalpreneurship”. Pria yang lulus pendidikan kedokteran gigi pada 1986 ini menyatakan, mental seorang entrepreneur adalah mutlak dimiliki seorang dokter gigi. Selain dua karakter lain: berintegritas dan profesional. “Jadi, saya ini sedang gethol menebarkan semangat IPE. Integritas, Profesional, dan Entrepreneurship,” kata Darmawan saat ditemui di ruang kerjanya. Dia menyatakan, mental entrepreneurship itu tidak melulu soal berjualan. Meski memang, salah satu bentuknya adalah berdagang. Sebab, aktifitas itu paling bisa diukur secara matematis. Dilanjutkan lelaki asal Madiun ini, entrepreneurship sejatinya mental tahan banting atau tangguh. Gampangnya, mereka yang menjiwai semangat ini, tidak akan pernah menyerah. Kalau ada masalah di hadapannya, dia akan berbelok atau menembus celah penghalang, sampai menemukan jalan agar cita-citanya tercapai. laksana air yang terus mengalir dan memiliki kekuatan atau daya dobrak. Meski lemah lembut, tapi punya prinsip hidup. Dalam banyak kesempatan, dia menularkan paradigma penguatan nilai IPE pada para mahasiswa. Juga, pada para dosen dan tenaga kependidikan di lingkungan FKG UNAIR. Sistem kinerja di fakultas yang dipimpinnya, dibuat sedemikian rupa sehingga menumbuhkan iklim yang penuh integritas, profesionalisme, dan bersemangat entrepreneurship.
Darmawan mengatakan, dirinya tergolong dekat dengan mahasiswa. Termasuk, dengan Badan Eksekutif Mahasiswa di level fakultas. Salah satu bentuk dukungannya terhadap para mahasiswa, terkait peningkatan kualitas soft skill mereka, adalah mengawal segala kegiatan agar lebih bernilai. “Misalnya, mereka diberi anggaran tahunan seratus tiga puluh juta rupiah. Nah, kegiatan mereka nanti seharusnya bernilai tujuh ratus juta rupiah atau semiliar rupiah. Dalam wujud, sponsorship atau kolaborasi kegiatan dengan pihak luar. Kemampuan bekerjasama dengan pihak lain itu kan merupakan latihan untuk mengasah jiwa entrepreneurship,” kata Darmawan. Dia juga menegaskan, karir seorang mahasiswa sejatinya dimulai saat pertama kali menginjakkan kaki di kampus. Bukan setelah lulus. Maksudnya, pembentukkan karakter yang siap dan sigap untuk bekerja atau mengabdi pada masyarakat mesti dilakukan sedini mungkin. Akan sangat terlambat, bila baru dilaksanakan tatkala mereka memakai toga. Dosen yang menamatkan kuliah program magister pada 1994 ini mengungkapkan, saat melakukan research training di Jepang sekitar 1999-2000 silam, dia melihat ada pola di negeri Sakura, yang layak dijadikan referensi di dalam negeri. Yakni, terkait dengan etos kerja orang-orang Jepang yang berkomitmen dan tangkas. Juga, sehubungan dengan kemampuan mengelola kemampuan di bidang kedokteran gigi. Tak terkecuali, keahlian klinik-klinik memromosikan jasa perawatan gigi. Meski demikian, yang terpenting tetaplah kualitas keilmuan yang ada di sana. Nah, elemen-elemen yang dijelaskan tadi, bila disinergikan dengan rapi dan konsisten oleh lulusan kedokteran gigi di tanah air, pastilah SDM bangsa ini dapat bersaing di ranah global. Khususnya, bagi para alumnus di FKG UNAIR. Sebab, fakultas ini telah memiliki banyak jejaring internasional yang pasti dapat menjadi media penambah wawasan bagi mahasiswa, dosen, dan
tenaga kependidikan yang ada. Sudah banyak kampus-kampus dari Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan Malaysia, yang menjalin hubungan baik dengan fakultas ini. Model kerjasamanya beraneka rupa. Mulai dari student exchange, staff exchange, lecturer exchange, kolaborasi riset, dan kegiatan akademik lainnya. “Sivitas akademika bisa belajar dari mana saja. Termasuk, dari narasumber asing di luar negeri. Tujuannya, meningkatkan kualitas dan wawasan internasional,” papar dia. Sementara itu, selain aktif menjadi Dekan, Darmawan juga dikenal sebagai peneliti yang memiliki banyak publikasi. Baik di jurnal terakreditasi nasional, maupun bereputasi internasional. Penelitian yang sudah dipublikasikan itu di antaranya “Prevalence of a Second Canal in the Mesiobuccal Root of Permanent Maxiliary First Molars from an Indonesian Population” pada tahun 2011, dan “Hubungan Perilaku Pemeliharaan Kesehatan Gigi dengan Karies pada Pengunjung Poli Gigi Puskesmas Kenjeran” pada tahun 2013, Juga, “The Toddlers Caries in Urban and Rural Area” pada tahun 2014, “Hubungan Karies dengan Status Gizi pada Balita Usia 4 – 5 tahun di Kota Mojokerto” tahun 2014, dan “Hubungan Tingkat Keparahan Karies dengan Status Gizi pada Anak Umur 6 – 12 tahun” tahun 2015. Darmawan juga aktif dalam berbagai asosiasi. Darmawan pernah aktif sebagai anggota Persatuan Dokter Gigi Indonesia cabang Surabaya pada tahun 1988 – 2015. Pada tahun 2004 – 2008, Darmawan tercatat sebagai Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia. Pada tahun 2015, Darmawan tergabung dalam Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia. Pada tahun 2015 sampai sekarang, Darmawan tercatat aktif sebagai anggota Asosiasi Fakultas Kedokteran Gigi Indonesia. (*)
CSR Bukan Sekadar “Sedekah” UNAIR NEWS – Semua perusahaan sudah selayaknya menyediakan slot anggaran untuk program Corporate Social Responsibility (CSR). Terlebih, bila perusahaan itu berhubungan dengan penggalian potensi sumber daya alam. Dana CSR umumnya diberikan pada masyarakat yang berada di sekitar perusahaan tersebut menjalankan usaha. Selama ini, sudah banyak perusahaan yang menyalurkan CSR dalam jumlah besar. Namun pertanyaannya, apakah gelontoran uang tersebut tepat sasaran dan benar-benar berdampak positif secara simultan? Untuk menjawab pertanyaan itu, bisa dilihat dari kondisi para penerima CSR selama ini. Apakah mereka mengalami pemberdayaan secara kontinu. Khususnya, di aspek sosial, ekonomi, dan pemeliharaan lingkungan. Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR Prof. Dr. Mustain Mashud, Drs., M.Si menyatakan, ada banyak hal yang mesti disiapkan sebuah perusahaan sebelum menjalankan usahanya. Apalagi, bila usaha itu secara khusus berhubungan dengan pengelolaan atau penggalian sumber daya alam. Biasanya, perusahaan melakukan analasia mengenai dampak terhadap lingkungan. Termasuk di dalamnya, analisa terhadap polusi yang mungkin terjadi, lalu lintas yang bisa jadi tambah padat di area usaha, dan lain sebagainya. Meski demikian, ada yang jauh lebih penting. Yakni, analisa penerimaan masyarakat pada keberadaan perusahaan tersebut. Kalau problem yang bukan manusia, pasti ada treatment penanggulangannya yang sudah baku. Namun, bila masalah yang muncul bersumber dari dampak gesekan dengan masyarakat, formula yang digunakan untuk mengatasi masalah ini pun pasti berbeda antara satu kawasan dengan kawasan lain.
Penerimaan masyarakat ini juga memiliki hubungan dengan penyaluran dana CSR. Sebab, penerima dana CSR itu, harus diutamakan berasal dari masyarakat sekitar tempat usaha. Maka itu, sedari awal, harus ada komunikasi antara perusahaan dan masyarakat setempat. Di dalamnya, dibahas pula tentang pengaplikasian program CSR. Perusahaan harus melakukan pemetaan menyeluruh tentang kondisi, kebutuhan, dan potensi masyarakat. Sehingga, program CSR bisa dijalankan secara tepat sasaran. “CSR itu bukan sekadar pemberian uang untuk kegiatan sosial atau sedekah, bangun jembatan, atau bantuan dana untuk acara di kelurahan. Lebih dari itu, CSR harus dialokasikan untuk program yang bisa memberdayakan masyarakat,” kata dosen Sosiologi tersebut. Harus ada telaah mendalam yang ekstra detail dari perusahaan. Pihak perusahaan tidak boleh malas untuk melakukan ini. Kebutuhan masyarakat harus dipetakan, lantas ditanya pada masyarakat itu secara langsung terkait apa yang mereka butuhkan. Setelah itu, ajak elemen masyarakat atau tokoh setempat merumuskan program bersama. Misalnya, di kawasan itu potrensi batik, maka harus ada pelatihan batik yang melibatkan pihak berkompeten. Selain disiapkan sarana dan prasarananya, disediakan pula modalnya. Demikian pula, bila di daerah tersebut potensinya adalah beternak ayam. Maka, mesti disiapkan apa saja yang diperlukan agar masyarakat dapat terus berkarya dan berjalan roda ekonominya di bidang ternak tersebut. “Para akademisi atau peneliti bisa berperan sebagai pihak yang mengawal proses pemetaan ini. Nanti, ikut pula dalam melakukan evaluasi,” ungkap Musta’in. Dengan demikian, lambat laun, ekonomi rakyat dapat berdaya dan makin kuat. Bisa jadi, pada satu waktu, program itu sudah tidak mendapat bantuan CSR lagi. Karena, kalau sudah mandiri dan berdaya, masyarakat pasti sudah tidak butuh bantuan di
bidang itu. Lantas, dana CSR yang ada bisa digunakan untuk kebutuhan lain yang perlu dikembangkan. Kalau konsep dasar yang digunakan perusahaan sejak awal berbasis kondisi, kebutuhan, potensi, modal sosial, dan jaringan masyarakat yang bersifat lokalitas semacam itu, secara umum, warga pasti dengan senang hati menerima perusahaan tersebut. Lebih dari itu, CSR juga memiliki manfaat kongkret. “CSR idealnya menjadi investasi produktif. Bukan yang dipakai habis, dipakai habis,” ungkap profesor kelahiran Tulungagung tersebut. . Problemnya, tidak semua perusahaan mengacu pada standar ideal itu. Bahkan, kata Musta’in, dia pernah melakukan pengamatan pada sebuah kabupaten yang punya banyak perusahaan. Di sana, nyaris semua pola CSR di sana hanyalah berbentuk hibah atau bantuan yang sifatnya langsung habis. Imbasnya, tidak ada pendidikan, pembelajaran, dan pemberdayaan yang meningkatkan kualitas warga setempat. Apa yang dibutuhkan warga, hanya ditanyakan oleh perusahaan melalui Camat atau Lurah. Hasilnya, tidak ada interaksi intensif yang berkesinambungan antara perusahaan dan masyarakat akar rumput. Transformasi masyarakat utuk menjadi kekuatan yang lebih baik tidak bisa terwujud secara komprehensif. Padahal, bila CSR dikelola dengan standar ideal secara cermat, akuntabilitasnya pun tetap terjaga. tidak ada pihak-pihak yang berani melakukan penyelewengan dana. Sebab, semua masyarakat dilibatkan. Semua warga turut mengontrol. Pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Program Studi Sosiologi UNAIR ini meyakini program CSR yang ditawarkan perusahaan swasta di Indonesia bisa membangun masyarakat yang mandiri. Program CSR pun harus didasari dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat (community development). Melalui pendekatan tersebut, program CSR diharapkan mengembangkan masyarakat berdasarkan kebutuhan dan potensi yang dimiliki. Kesejahteraan sosial dan penguatan ekonomi dapat terwujud. (*)