Garuda dan Bayi-bayi Paska ‘Kepribadian Apa’ “Bangsa-bangsa ...senantiasa mengembang dari masa silam yang tak tergali dari ingatan (immemorial), serta, yang lebih penting lagi, meluncur ke masa depan yang tak kenal batas.” - Benedict Anderson “Jangan sampai republik ini dikuasai oleh preman...” -Goenawan Mohamad
Menjelang akhir ’70-an, sejumlah seniman muda di Yogyakarta berhimpun dalam kelompok bernama ‘Pipa’ atau ‘Kepribadian Apa’. Pameran-pameran ‘Pipa’ yang digelar pada 1977 dan 1979 di Art Gallery Senisono, Yogya menandai kelahiran karya-karya seni rupa yang baru untuk menunjukkan sikap penentangan mereka. Paling tidak ada dua macam penentangan yang diuarkan melalui karya-karya itu. Yang pertama, penentangan terhadap kecenderungan seni rupa di lingkungan Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) ‘Asri’ yang menekankan pentingnya soal ‘kepribadian’ dalam seni rupa, utamanya seni lukis sebagai identitas seorang seniman, yang kalau perlu dipeluk sampai ke liang kubur. Terhadap kecenderungan semacam itu mereka membuat olok-olok, suatu parodi yang mau menunjukkan seorang seniman sebenarnya dapat menciptakan bermacam gaya sekaligus, berkepribadian ganda atau pokoknya lebih dari satu gaya. Nama ‘Kepribadian Apa’ kiranya juga dapat dibaca sebagai retorika dari pernyataan ‘apa (lah) kepribadian’ atau ‘apa-apa (adalah) kepribadian’. Dengan kata lain, kepribadian yang tunggal atau ‘gaya’ satu-satunya bagi seniman tidak diperlukan dan mencari kepribadian melalui suatu gaya dalam seni lukis, misalnya tidaklah sama dan sebangun dengan dengan ‘menggayakan’ seni lukis itu saja. Seniman-seniman muda ‘Pipa’ yang datang dari berbagai cabang seni itu (seni lukis, musik dan teater) seolah ingin mengatakan dengan singkat, bahwa
‘seorang seniman tentulah lebih besar dari sebuah gaya’. Atau dengan kalimat lain yang mungkin lebih sesuai dengan ungkapan sinikal mereka sendiri: bukankah
mempertanyakan
sebuah
kepribadian
adalah
suatu
bentuk
kepribadian juga? Penentangan kedua agaknya dilancarkan untuk lingkup yang lebih luas, yakni kepribadian yang diuar-uarkan sebagai ‘kepribadian nasional Indonesia’ atau yang kerapkali disebut sebagai ‘jatidiri bangsa’. Kendati gaungnya tidak sekencang yang pertama, rupanya penentangan terhadap wacana kepribadian nasional ini termasuk di dalam agenda yang dicetuskan oleh seniman-seniman muda itu. Membawa-bawa kepribadian nasional dalam karya seni rupa merupakan beban berlebihan yang tidak masuk akal bagi para seniman muda itu, terlebih jika hal itu diartikan hanya terlampau sempit. Misalnya, kepribadian dianggap sama saja dengan suatu gaya tertentu yang dibekukan di dalam seni rupa atau seni lukis, dan gaya semacam itu lebih kurang sesuai dengan gaya yang diajarkan di sekolah seni rupa, sekaligus mati-matian dianut oleh senimanseniman tua atau mapan. Terhadap ihwal demikian, mereka dengan terus-terang mengatakan: ‘gud bai kaum tuek...’ Ki Hajar Dewantara, misalnya salah seorang pemikir kebudayaan yang berpengaruh di masa silam melalui konsep pendidikan dan perguruan Taman Siswanya, menulis bahwa ‘kebudayaan untuk tiap-tiap bangsa adalah sama dengan apa yang disebut ‘persoonlijkheid’ atau kepribadian. Tulisnya lebih lanjut, ‘...Seperti orang yang tidak berpribadi tidak berhak diperlakukan seperti orang yang bebas dan merdeka, begitulah bangsa yang tak berkebudayaan tidak berhak untuk diperlakukan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat’. Bagi tokoh ini, ‘nasi goreng’ umpamanya adalah contoh suatu ‘kepribadian’ nasional kendati bahan-bahan mentega dan kejunya adalah asing karena orang Indonesia yang memasaknya tetap memiliki ‘auteurschap’ yang menjadikannya sebagai masakan atau budaya nasional (:1953).
Terhadap masalah kepribadian yang dirumuskan semacam itu, barangkali pertanyaan para seniman ‘Pipa’ itu akan berbunyi: bukankah hanya dengan pertama-tama menjadi bebas dan merdeka maka kepribadian seorang seniman dapat dilihat dan penjelajahan kepribadian dalam seni dapat dilakukan? Bukankah kepribadian nasional, jika dapat dirumuskan, sebaliknya akan menjadi semacam batasan atau hambatan bagi pencarian kebebasan para seniman? Salah satu peristiwa yang mungkin masih dikenang oleh sebagian orang tentang pameran ‘Pipa’ adalah, pada September, 1977 pameran telah ditutup polisi setelah tiga hari sebelumnya dibuka oleh seorang gelandangan yang digelandang masuk ke dalam ruang pameran. “Tidak penting pameran dibuka oleh siapa, tapi lebih penting siapa yang menutupnya,” cetus Ronald Manullang, salah seorang juru bicara kelompok ‘Pipa’ baru-baru ini. Peristiwa penutupan pameran oleh polisi Komres 961, Yogyakarta itu mungkin paling diingat oleh semua seniman ‘Pipa’ sampai sekarang, ketimbang karyakarya yang pernah disajikan di ruang pameran. Konon, salah satu alasan penutupan pameran itu adalah ditemukannya buku porno di ruang pameran, tapi sebenarnya seperti pernah ditulis oleh salah seorang perupanya, ‘terdapat kecurigaan yang amat sangat terhadap materi pameran yang dilihat berbau politik’ (:1985). Sangat disayangkan, saat ini hampir seluruh karya ‘Pipa’ boleh dikatakan telah rusak atau musnah, yang tersisa cuma beberapa gelintir dokumentasi tentang karya-karya itu. Saya beruntung dapat menyaksikan pameran ‘Pipa’ yang kedua atau terakhir pada 1979. Karya-karya yang dipamerkan di Art Gallery Senisono –tempat di mana Kongres Pemoeda Indonesia pertama dilaksanakan pada 1945 dan konon, dulu alm. pelukis Affandi (1907-1990) dua hari sekali pasti nongkrong malammalam di tempat itu-- adalah karya-karya yang tidak mungkin saya temukan di jurusan manapun di STSRI ‘Asri’ pada masa itu. Ada lukisan berukuran besar adaptasi dari karya Rembrant ‘Penjaga Malam’ yang sosok-sosoknya diganti
dengan tentara Indonesia, figur lukisan Monalisa yang beralih rupa menjadi Nyonya Tien Soeharto, sebuah tube cat raksasa dengan isi yang menjulur keluar berbentuk phalus, susunan kotak-kotak dengan gelombang pembesaran citra dan merek minuman Coca-Cola, bintang film panas Yetti Octavia dalam pakaian bikini yang dilukis secara hiperrealistis, bahkan juga seonggok ‘tahi’ ikut ditampilkan di dalam ruang pameran. Haris Purnomo adalah salah seorang perupa ‘Pipa’ yang beberapa karyanya dari tahun 70-an sampai 80-an masih dapat saya ingat kembali. Kecuali obyek tube cat gigantiknya yang penyok, sebuah karya gambarnya berukuran besar dengan latar merah melukiskan anak-anak kurus yang kekurangan gizi ‘berpose’ di depan selembar iklan susu berwarna masih dapat saya bayangkan sekarang ini. Seni peristiwa-kebetulan (happening) nya dilakukan di beberapa ruas jalan utama
di
Yogya,
disebutnya
sebagai
‘Ekses
Pembangunan’
(1982),
mengerahkan puluhan mahasiswa seni rupa serupa gerombolan mumi yang berkampanye memenuhi jalanan dengan suara bising sepeda motor. Bersama Dadang Christanto ia membuat pertunjukan ‘Menonjok Kehidupan di Atas Ring’ (1983), seni bertinju dari para mumi itu di aula kampus ‘Asri’. Lalu, instalasi boneka-bonekanya dalam pameran bersama kelompok ‘Proses ‘85’ di Galeri Pasar Seni Ancol, Jakarta, dua puluh tahun yang lalu menandai keputusan Haris –seperti hampir semua seniman ‘Pipa’ yang lain, kecuali Dede Eri Supria dan Moelyono- untuk undur dari gelanggang seni rupa dan menekuni pekerjaan sebagai perancang grafis, seakan menghilang tanpa menunjukkan tanda-tanda akan muncul kembali. Lambang Garuda dan Bayi-bayi Haris Purnomo kini telah kembali. Dari karyanya yang sekarang kita tahu, burung Garuda telah membentuk pusaran yang tetap menyedot perhatian perupa ini setelah melesat dari tangannya selama lebih kurang 2O tahun. Boneka-boneka bayi dibalut perban yang memilukan kini entah kemana. Tapi, barangkali
‘kuburan’ massal bayi-bayi itu masih kerap dikunjunginya. Mereka itulah yang kini datang atau dipanggil kembali, sebagian menjelma menjadi bayi-bayi manusia, telah membuka semua balutan luka yang kering tanpa bekas, untuk menunjukkan teraan tanda-tanda jaman yang baru, tertebar di sekujur tubuhtubuh mungil berkulit lembut. Tapi bayi-bayi itu seakan ingin menjadi perkasa seperti Garuda, bertato di sekujur wajah maupun tubuh, di sana-sini tumbuh sayap kecil, merangkak seakan maju berperang kembali seperti dulu Republik dilahirkan, sekaligus hidup dalam naungan citra tatapan yang sangar dan cakar yang menakutkan dari mahluk mitos itu. Lukisan Garudanya di masa yang lebih dini, ‘Garudaku’ (1981-‘87) seakan menjadi gelombang sinyal yang menghubungkan suatu titik resah di masa silamnya dan pencariannya akan sebuah tema kontekstual yang menggugahnya di masa kini. Lukisan itu telah mengejutkan pada masa lukisan itu dibuat dan tetap mengandung daya kejut untuk kita yang menyaksikannya sekarang. Para perupa ‘Pipa’ umumnya memang sama sekali tak berminat untuk menghasilkan suatu gaya lukisan yang ‘baru’; juga lambang atau citra resmi semacam itu hampir-hampir tak terpikirkan untuk dilukis ulang dengan keutuhan gaya serta rinci bentuk semacam itu, barangkali juga tak akan cukup menggugah selera artistik para seniman yang tengah dirundung oleh rasa penasaran dan suasana penentangan di sekitar masa itu. Kekuatan sejarah dan pencarian identitas suatu bangsa telah melahirkan lambang-lambang itu, dan bagi kebanyakan kita semua tanda dan lambang resmi biasanya hanya untuk dipandang, dihormati dan nyaris tak dapat disentuh, atau diam-diam untuk dikhianati. Jika lambang keramat semacam itu dilukiskan atau diperagakan dalam pesta warna-warni yang menohok sekaligus melahirkan ironi begitu rupa, seakan layang-layang raksasa yang lepas kendali, sosok mitos dalam khazanah wayang, latar dekor yang berlebih-lebihan yang seakan telah dilukis dengan kesadaran yang luar biasa akan permukaan keindahan, apakah artinya sang Garuda telah melesat meninggalkan kita semua, bahkan mangkir
dari semua kesepakatan yang disandangnya sebagai lambang yang menyatukan suatu ‘komunitas terbayang’? Penggayaan Garuda dalam lukisan Haris Purnomo tentunya mengalihkan pikiran atau angan-angan kita dari citra atau simbol kehadiran negara yang mengandung ‘hikmat kebijaksanaan’, membawa kita kepada citra obyek khayalan dan wacana estetik yang mengundang perayaan hasrat atau luapan perasaan banal seraya menggugah asosiasi baru. Seakan kita tidak diminta untuk paham makna semua amanat dan tanda yang telah menabalkannya sebagai suatu lambang negara merdeka, melainkan didorong untuk menikmati kecerahan optis warnanya dan rinci riasnya belaka, mungkin seraya ‘kesadaran sejarah’ kita dilucuti atau diambangkan. Menafsir ulang, dan kalau perlu memain-mainkan suatu citra yang mengandung ‘kepribadian’ tentunya khas seniman ‘Pipa’. Jika semua lambang resmi sejatinya meninggalkan celah besar atau kecil yang menganga antara gudang nilai-nilai dan semrawut isi kehidupan, yang ideal dan yang nyata, retorik dan tindakan, mungkin memang di sanalah tempat bagi seniman untuk menceburkan diri dan bermain dengan citra yang dapat disentuhnya dan yang ingin diperagakannya kembali dalam kehidupan. Di masa yang terasa dekat dengan era dan daya tarik ‘Pipa’ ini, Haris menghasilkan sebuah lukisan lain, ‘Yang Menangis di Ketiak Garuda’ (2002). Seakan ingin ditunjukkan bahwa sosok sang Garuda memang lebih perkasa, besar dan kuasa sehingga kita cuma dapat menyentuh ujung sayapnya. Di bawah tumpukan sisik dan lajur-lajur sayap yang dilukis dengan efek mengkilat seperti bintang-bintang kehormatan yang tertabur di pundak para jenderal, kepala anak-anak berjibun, menampilkan berbagai raut muka nanar, gelisah, meringis, meraung atau menangis. Menjejerkan citra-citra
kuasa-tabularasa, lambang resmi – ragam emosi
semacam itu tentunya adalah sebuah strategi estetik untuk menciptakan kontras dan rasa tertekan yang luar biasa. Pertanyaan dibiarkan mengapung di kepala kita, tanda bahwa perupa ini tak sedang mendikte: apakah anak-anak atau kendaraan besar bersayap itu yang tengah mogok? Bukankah di mata kita tameng Pancasila itu tampak sia-sia dan sayap besar Garuda itu terasa tak mampu meredakan tangisan anak-anak itu? Lukisan
Garuda
Haris
Purnomo
tentunya
tidak
dimaksudkan
untuk
menggumpalkan rasa hikmat kita pada suatu nasionalisme simbol, melainkan semata gubahan estetis yang sarat dengan ironi dan muatan parodi terhadap sumber-sumber kokoh nasionalistis yang dirujuknya. Ornamen nasionalisme atau nasionalisme sebagai ornamen? Kita tidak menghormat lambang-lambang negara yang dilukis atau ditampilkan ulang oleh seniman, apakah bidang datar merah putih dalam karya Bonyong Munni Ardhie tahun 70-an atau Tisna Sanjaya tahun 1990-an misalnya. Tampaknya, sikap para perupa semacam itu tidaklah untuk menunjukkan semangat nasionalisme ‘par excellence’, tetapi mengajukan suatu kritik masyarakat melalui tanda, lambang dan wacana sebagai kuasa yang menciptakan kepatuhan dan alasan kehadiran suatu negara, tetapi juga berpotensi mengingkarinya dalam praktik politik pemerintah yang berkuasa yang bernaung di dalam kekuasaan wacana dan lambang-lambang itu. Haris mengatakan tentang perhatiannya akan ragam hias atau ornamen serta pencariannya akan pokok nasionalistis yang baru: “...Kenyataannya saya lahir di tengah obyek visual yang penuh ornamen, wayang, batik, ukir-ukiran dan sebagainya dan secara intens saya pernah belajar mengenai ornamen, namun keinginan menghasilkan citra Garuda yang lebih Indonesia lebih mendasari ide-ide visualku...”. Citra Garuda yang ‘lebih Indonesia’ dari lambang resmi negara tentunya sedikit banyak mengandung parodi. Di dalam parodi ada unsur-unsur untuk meniru,
namun tujuan perupa dalam hal ini adalah meminjam atau melakukan apropriasi dari apa yang ditiru. Bentuk baru yang dibuatnya akan berbeda dengan bentuk lama yang diasosiasikan; pada saat itu lahirlah bentuk seni campuran atau hibrid. Lambang resmi Republik yang diparodikan seakan sebagai dalam lukisan Haris telah menjelma sebagai obyek atau teks baru: yang sakral menjadi gubahan estetis lirikal, kepatuhan seakan kini menjelma sebagai perayaan, regulasi menjadi ekstasi, yang keramat
tak lagi berfungsi sebagai jimat, fakta
kesejarahan disusupi oleh citra-citra serba khayal. Atau setidaknya, citra Garudanya
adalah
suatu
bentuk
percampuran
akan
citra-citra
yang
berseberangan semacam itu. Itulah citra majenun dari lambang burung Garuda kita yang baru, yang kita tahu sarat oleh muatan sejarah dan pencarian dalam gagasan visualnya. Pada tahun 1951, almarhum pelukis Oesman Effendi (1918-1985) pernah menuliskan komentarnya perihal hasil rancangan sejumlah pelukis yang agaknya telah diminta oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk menciptakan lambang negara. Dalam sebuah artikel bertajuk ‘Tanda Lambang Garuda’ ia mengaitkan antara upaya pencarian lambang semacam itu dengan ‘perluasan harga diri’ suatu bangsa. Tulisnya: “...Tanda-tanda itu sangat tergantung dari bentuk-bentuk dan sifat-sifat kekuasaan (nama) yang diwakilinya, dengan selalu ingat kepada pertumbuhan bentuk perhubungan di antara kekuasan-kekuasan pada waktu itu...” Ia pun menekankan pentingnya kesatuan ide di dalam penciptaan sebuah lambang negara yang berdaulat: ”...Dalam menemukan suatu bentuk, yang terpenting ialah pengutamaan kesatuan dasar ide yang terkandung pada tiaptiap detail lambang itu. Dan janganlah sekali-kali menganaliseer detail-detail lambang itu dengan melepaskannya dari bentuk kesatuan atau kesatuan dasar
idenya. Dengan mengambil sikap ini, tentu nanti akan lekas terdapat permufakatan dalam dasar ide dan bentuk rencana. Dengan mengucapkan ini kita sadar bahwa bentuk (tiap-tiap sesuatu) penuh dengan kelemahan dan kekuatan. Tetapi tetap kita bisa merasakan mana di antaranya yang mengandung dasar ide yang luas. Luas dalam pengertian ide inilah yang kita harapkan dari tanda lambang Negara Republik Indonesia” Permintaan untuk membuat rancangan lambang negara kepada para pelukis oleh pemerintah sudah dilakukan semenjak 1947, melalui organisasi seni lukis waktu itu, seperti SIM (Seniman Indonesia Muda), Pelukis Rakyat, PTPI dan KPP bagian kesenian, Namun, kata Oesman, sayang sekali, “kebanyakan pelukis kurang paham hukum-hukum kesejarahan dari tanda lambang negara, disebabkan banyak tak menyelidiki lebih dahulu dasar kedudukan tanda lambang ini. Dan kesalahan terbesar, lanjut pelukis ini, “karena tak ada penjelasan tentang arti lambang ini dari sipenyuruh kepada sipelukis. Anggapan bahwa semua mereka yang pintar melukis bisa membikin gambar rencana tanda ini terbukti ngawur...” (:1951) Hasilnya, tak satu pun dari rancangan lambang negara Garuda Pancasila yang diorder kepada para pelukis itu seperti lambang negara yang sekarang kita kenal. Tapi kita paham, kesadaran akan keluasan makna lambang Garuda merupakan pertaruhan yang genting semenjak awal citra itu digagas dan dirancang. Paska Kematian ‘Pipa’ Kini, bagi kita keluasan makna itu seakan-akan beroleh ujian pada citra kepala Garuda yang ditopang oleh perancah beton yang keropos atau bayangan citranya dalam remasan kertas kucal pada lukisan Haris. Kendati berbau etis dan sedikit formal, ironi dan kritik dalam karyanya masih menggugah kita untuk menengok kenyataan sekitar atau merasakan denyut kehidupan melalui bayi-
bayi bertato yang dilukis bersanding dengan citra baru Garuda Pancasila kita. Kepala dan cakar-cakar Garuda dengan balutan perban yang robek memendam sesuatu yang brutal dan orok yang ditakdirkan lahir penuh dengan guratan tato, apalagi jika bukan teka-teki atau sinyal-sinyal ganjil yang dikirim oleh masa depan? Menimbang kembali kritik para seniman ‘Pipa’ terhadap unsur-unsur kepribadian yang menabalkan gaya serta pokok tertentu dalam seni rupa, khususnya seni lukis, Haris Purnomo mungkin tak akan sepenuhnya luput dari sasaran kritik radikal semacam itu di masa silam. Tapi, tentu sang kritikus sebenarnya juga belajar dari kritiknya sendiri terhadap kemapanan. Apakah lukisan Garuda dan bayi-bayi bertato pada lukisan serta wajah memelas sang bayi pada instalasi kaleng kerupuk telah membentuk kesadarannya yang baru, paska kematian ‘Pipa’, suatu kelanjutan yang harus dikembangkan dalam karyanya? Kita akan melihat apakah Haris Purnomo akan membekukan pokok itu untuk menemukan identitasnya sebagai seniman dalam arti yang terlampau sempit atau justru memperlihatkan borok permanen dalam kepribadian dan peri kehidupan masyarakatnya sendiri. Seperti kini ia dengan cerdik telah meminjam ketajaman tatapan sang Garuda untuk mengorek luka masyarakatnya dan menyorongkan idiomnya yang paling tajam untuk mengungkapkan hal itu. Yang pokok, sekarang kita perlu mengucapkan selamat datang kembali di dunia seni rupa kepada Haris Purnomo. +++
Hendro Wiyanto kurator pameran