Garis Merah di Rijswijk (Trilogi, #1) by Li Loh
Bukan berarti isi buku ini tidak bagus ya. Sampul depannya bagus, kok :) Tapi, bukan selera saya saja. Saya nggak suka dengan cara ceritanya- loncat2 alur cerita dari suatu tempat di Sulawesi di masa sekarang, lalu pindah ke dongeng Kakek Uban dengan pertemuannya bersama tokoh2 nasional masa pergerakan kemerdekaan dulu tanpa ada benang merah apa2. Sekadar lompat tiap bab. Belum lagi di masa lalu itu, para tokoh itu kok ya ngomongnya ngalor ngidul nggak jelas -buat saya. Terasa dipaksakan agar terkesan konspiratif. Jadi, bintang satu. Saya nggak suka. Jadinya juga, buku ini langsung saya tukar dengan buku lain di toko tempat saya beli. Untung boleh :) Apa? Ini buku trilogi? Nggak deh. Cukup. Terimakasih. Selamat jalan. Semoga sukses.|Akhirnya selesai juga baca buku ini. Waktunya menulis laporan. Tapi sebelumnya, mau cerita dulu dikit aja… Beberapa minggu lalu, saya nonton salah satu episode MasterChefIndonesia2 di mana para kontestan mendapat reward yaitu dinner di restoran Hotel Bidakara, bareng ketiga Chef Master. Terlihat ekspresi mereka senang dan antusias banget. Gak lama, hidangan dinner pun datang, mulai dari 2 macam appetizer, dilanjut dengan 3 macam main course, ditutup dengan desert. Semua dishes ditata dengan cantik layaknya di hotel berbintang. Lagi asik2nya menyantap hidangan, chef Marinka tanya, gimana rasanya, enak? Beberapa kontestan spontan mengangguk dan bilang “Enak, Chef!”. Yg mana yang paling suka? (“Yang itu”, “yang ini”… beda-beda sih jawabannya, tapi sepenglihatan saya tak ada satu pun yang berani bilang “gak enak!”) . “OK, kalau begitu silakan sampaikan apresiasi pada kokinya langsung”, kata chef Marinka. Dan muncullah… jeng jeng jeng… Opik, Bagus, Esak, Dian, dan Agus… yaitu kelima mantan kontestan yang sudah di-DO. Ternyata… semua dishes yang dinikmati oleh para kontestan yang masih bertahan itu, adalah hasil masakan kelima teman mereka yang kalah di episode2 sebelumnya. Nah lho!
Lucunya, setelah tau kalau kokinya adalah kelima mantan kontestan, yang logikanya adalah loser (dibandingkan dg mereka yg masih bertahan), reaksi para kontestan berubah. Buru2 bilang gak enak, bahkan ada yang mencela. :D Di bagian akhir, salah satu kontestan (kalau gak salah Zeze) mengaku terus terang bahwa dia punya asumsi dan kepercayaan bahwa masakan hotel berbintang pasti enak. Jadi walaupun dia tidak menyukai rasa makanan itu di lidahnya, dia gak bisa bilang gak enak. Selain itu dia juga segan mengkritik koki setaraf hotel berbintang. Di pikirannya, siapa gue berani-beraninya ngritik koki profesional? Lagipula, katanya, gak sopan dong bilang gak enak sama tuan rumah yg sudah menjamu mereka. Tapi, begitu tau bahwa yang masak sebenarnya teman2 yang pernah mereka kalahkan, barulah mereka jujur. Moral of the story: Sometimes, it’s difficult NOT to judge the book by its cover. … or in this case.. by its reputation… :) — Beberapa waktu lalu, terjadi insiden lantaran ada pembaca yang memberi rating bintang 1 untuk buku ini. Saya yang bersifat pengecut plegmatis-nan-tidak-suka-konflik ini gak berani ikut-ikutan nimbrung, cuma memantau aja, supaya di rumah saya punya bahan cerita heboh buat suami. :p Diam-diam dalam hati saya penasaran, kayak apa sih sebenarnya isi buku ini? Jadi mumpung bukunya bu dokter Dewi lagi nganggur, saya pinjam. Sebelum mulai baca, saya niatkan betul-betul spy bisa bersikap netral, tidak terpengaruh oleh reputasi buku ini, supaya tidak buru-buru membentuk opini sebelum menyelesaikan seluruh isinya. Jangan sampai saya apriori krn sikap penulisnya di insiden tsb, tapi jangan sampai saya juga terpana dengan label “Novel Unggulan Lomba Novel REPUBLIKA 2012″ yang tercantum di bagian atas sampul buku ini. Saya mau mulai dari 0, tidak negatif tidak positif, karena kan saya belum membuktikan sendiri. Begitulah niat mulia saya. :p *jadi klo ada yang gak suka dg review ini, ane jangan dibata ya Gan. hehe* So… “Dimulai dari nol ya Bu.” *pertamina-pasti-pas mode: on!* Kalau yang saya tangkap, inti buku ini adalah tentang para tokoh bumiputra (Sutan Sjahrir, Tan Malaka, Hatta, Soekarno, Amir Syarifudin, dkk) yang sedang berusaha menyatukan pendapat apakah hendak berpihak pada pemerintah Hindia Belanda, atau hendak berpihak pada Nippon (Jepang) yang menawarkan janji kemerdekaan bagi bumiputra. Jadi di sini setting-nya adalah di awal agresi Jepang. Waktu Jepang mulai masuk Indonesia, pemerintah Hindia Belanja kelabakan sehingga berharap para bumiputra mau berpihak pada mereka. Nah, rupanya ada perbedaan pendapat di antara para tokoh tersebut. Sebagian berpendapat bahwa lebih menguntungkan bagi bumiputra kalau mendukung pemerintah Hindia Belanda. Sebagian lagi berpendapat untuk memanfaatkan tawaran Jepang untuk merdeka tsb sebagai momentum bagi bangsa ini agar lepas dari Belanda. Sebagian lagi (Tan Malaka) membenci kolonialisme Belanda, tapi juga tidak percaya pada janji Jepang. Dan sebagian lagi (Amir Syarifudin) punya skenario sendiri dengan memanfaatkan situasi yg ada. Penulis menyajikan tema tersebut melalui berbagai adegan rapat, yang terbentang di sepanjang buku ini. Di sinilah saya merasa bosan. Saya kehilangan minat mengikuti adegan rapat-rapat ini. Rasanya persis kalau saya terpaksa harus ikut rapat yang lamaaaaa dan penuh pidato. Sedangkan di awal buku, saya cukup suka sentuhan humor di bagian ini: —
“Wilhelmina tak bercelana!” bisik Alimin di sela pintu. Itu sandi, barangkali. Samar terdengar di telinganya ada sesuatu yang bergeser, lalu mengetuk dua kali. “Ke mana celananya?” Terdengar sahutan dari dalam. Orang di sebelah pintu mengonfirmasi. “Terbawa kapal ke Rotterdam!” jawab Alimin. (halaman 30) — Menurut saya itu lucu. :D Sayangnya, hanya itu satu-satunya adegan yg mampu menggelitik urat tawa saya. Saya awalnya juga senang karena di bab 3 saya menemukan nuansa ketegangan, yaitu waktu malam-malam Makzham memasuki kediaman keluarga Sjahrir yang gelap, tiba-tiba dia disergap sesosok hitam. Dilanjutkan dengan adegan mengendap-endap menuju rumah pertemuan lain sambil waspada agar tidak tertangkap polisi dan spion Belanda. Di bab lain, ada adegan kabur dengan sepeda dikejar petugas patroli jam malam. Imajinasi saya berkeliaran dengan asiknya. Tapi lagi-lagi, hanya sampai di situ saja bagian asiknya, karena selanjutnya sudah masuk ke adegan rapat-rapat. Kalau dari gaya bercerita, nah ini yang “gak biasa”. Kalau digambarkan, begini strukturnya: Dino –> bertutur tentang Pak Uban (alias Makhzam) Makhzam yg diceritakan melalui Dino–> bertutur tentang Tan Malaka dan Sutan Sjahrir Tan Malaka yg diceritakan oleh Makhzam melalui Dino –> bertutur tentang Soekarno (dengan paham Nasakomnya yg terkenal itu) Sutan Sjahrir dkk yg diceritakan oleh Makhzam melalui Dino –> rapat, rapat, dan rapat
Kalau digambarkan spt itulah. Jadi ada penuturan di dalam penuturan di dalam penuturan di dalam penuturan. Untuk sampai kepada inti dari buku ini, kita harus menyelam ke dalam benak Makhzam melalui benak Dino. Apakah ini yg dimaksud dg gonzo story? Entahlah. Poin yang paling mengganggu kelancaran membaca adalah banyaknya jargon yang bertaburan. Biasanya hal tsb tidak menjadi masalah bagi saya, asalkan penjelasannya diletakkan di footnote dari halaman ybs. Namun tidak demikian dengan buku ini. Penjelasan istilah asing dan jargon ditumpuk di bagian Glossary di akhir buku. Bayangkan saja betapa tidak asiknya kalau harus bolak-balik ke WC di tengah-tengah film di bioskop. #eh Oya, ada buanyak tokoh dan kisah di buku ini. Selain tokoh2 utama yang sudah saya sebutkan di atas, masih ada tokoh2 dari pemerintah Hindia Belanda. Di dalam dunia Dino, ada tokoh Pak Uban (Makhzam), mantan istri Pak Uban, Naila, dan May. Ada stori yg menyangkut Pak Uban dg mantan istrinya dan Naila. Ada cinta segitiga antara Dino, Naila, dan May. Di dunia Makhzam, ada tokoh Sriyanti, dan stori antara kedua insan itu. Dan di dunia inti (St Sjahrir dkk) ada Rohana, ada NEFIS, dan isu ttg Mason-Zionist. Saya menemukan artikel ini di internet: http://theindonesianwriters.wordpress... Melihatnya dideskripsikan seperti itu, akhirnya saya menyadari kenapa saya mesti berusaha keras untuk menyelesaikan buku ini. Begitu banyak tokoh, adegan, dan informasi yang saya jumpai di novel ini, tapi benang merahnya tidak saya temukan. Ditambah lagi, saya memang tidak begitu suka sejarah Indonesia di masa menjelang kemerdekaan, karena gak romantis. :p
merahnya tidak saya temukan. Ditambah lagi, saya memang tidak begitu suka sejarah Indonesia di masa menjelang kemerdekaan, karena gak romantis. :p Di akhir buku, saya pun bingung kok semuanya gantung, sebelum teringat bahwa ini baru bagian pertama dari trilogi Rijswijk. Jadi? Well, kalau hanya menilai dari inti ceritanya, yaitu kisah Sjahrir dkk, dan kalau saya kebetulan tergila-gila pada sejarah, mungkin saya akan memberi bintang 3. Tapi berhubung saya lebih suka nonton kelakuan Chef Juna di MasterChefIndonesia (gak sabar nunggu hari Sabtu nih, siapa yg masuk 2 besar ya?)… saya memutuskan kasih bintang 1,5. Tadinya mau kasih bintang 1 (di GR bintang 1 artinya “don’t like it” kan, bukan jelek), tapi saya tambah 0,5 untuk humor ‘Wilhelmina tak bercelana’-nya. Eh, lho, gak bisa nge-rate 1,5 ya? :-)|Ogah baca buku penulis yang ga ngerti TM Bookstore itu singkatan dari Toga Mas Book store... Dan bilang orang lain ga jujur.. Dan pedenya selangit tapi ga classy... Dan gonzo style itu apaan sih? Beneran cerita mesum buat paruh baya?? #serius|Sebagai seorang yang 'hanya' pembaca biasa dan kebetulan penyuka fiksi sejarah, saya awalnya tertarik dengan judul dan ilustrasi covernya. Sayang sekali setelah membaca ulasan dari teman-teman di Goodreads dan tanggapan sang penulis yang tidak simpatik, saya memutuskan untuk membatalkan niat saya untuk menambahkan buku ini ke rak buku saya.|Madame's Warning: I wrote this review at my college campus, where I unfortunately could not connect to the internet to see further about this book, nor about the other reviews from fellow Goodreads users. So be warned for my ignorance over: 1. Author behaving badly (I honestly have no idea on what on God's green earth the scuttlebutt is all about until I did a quick and dirty search seconds before I post this), 2. Some people's confusion over Gonzo journalism (what I can infer from a quick Wiki squeeze is that it's more on the "human interest" side of news reporting than just the facts, although some dramatizations may occur... okay, please just visit the Wikipedia article), or 3. If it is only a FIRST PART of a TRILOGY. Probably this madame was just being a bit kind about giving the stars, and even the incoherence won't make me expect anything better in the next part of the trilogy. (view spoiler)[WILHELMINA DOESN'T WEAR PANTS!! / Where are her pants? / Carried away by a ship, to Rotterdam! (hide spoiler)] Thank you for your attention and you may proceed to the next passage. New lecture topic just started again at my place, and that means not so much time to read like last week anymore! Finally I can finish this book after three days and three nights of falling-to-bed-after-classes. Despite the endorsement and the very enticing blurb at the back of the book, this novel brings me little bit of a disappointment, I'm afraid. Here are some reasons why. 1) The framed storytelling is, unfortunately, just a frame. Not even connected to the whole story. To say the least, I finished the book still questioning, what happened between old Pak Uban and his younger self? (view spoiler)[Did young Makhzam actually establish a relationship with that lady Sri? What happened to the frame story's reteller, this boy Dino, and his two potential love interests May and Naila? Also, how did Naila's mother meet with young Makhzam, get married, and divorce just like that before Naila's birth from the lady's new husband? (hide spoiler)] It offers an interesting premise but executed rather disappointingly. 2) The historic details are good, only some inconsistency in naming and terminology are notably bothersome. (Pardon me for being nitpicky, but well, okay, this bothered my reading enjoyment!) Like, at the first pages you can see that Sjahrir (or is it Malaka?) calls Makhzam correctly, but on next pages it
Like, at the first pages you can see that Sjahrir (or is it Malaka?) calls Makhzam correctly, but on next pages it changes to "Makzham". It brings different pronounciation, at least to me. Another example, later in the story there's a mention of a cafe named "Lilie Boeket". But the next page says that the cafe is "Lilie Boetiek", which are two different things as well. (Oh, what a nitpicky madame I am.) 3) Typos. Fortunately I bring along my pencil. *scribble scribble* Some sentences could also use more efficient variants, too, in my humble opinion. But again, it was an interesting premise: the Zionist and Masonic ideologies, connected to the history of preindependence Indonesia (set before the Japanese occupation). Only... *sigh* Could have given more stars if the two plots (frame story featuring Pak Uban, young narrator guy Dino and Nailaalso the core of the novel actually talking about the events building up in Rijswijk and the pro-independence youth movement, featuring young Makhzam) actually get to connect.