Gangguan Eustachius Sebabkan Infeksi Telinga
Herlina Arsyadi Sudah beberapa hari ini Dita (2 tahun) rewel. Makannya sedikit dan sulit, minum susunya juga bolong-bolong. Kadang mau kadang tidak. Reni (29 tahun), ibunya Dita, curiga ada yang tak beres pada anaknya. Keyakinannya semakin kuat ketika ada cairan berwarna kuning berbau yang keluar dari telinga Dita. Hari itu juga Dita dibawa ke dokter anak. Oleh sang dokter, Dita didiagnosa mengalami infeksi telinga. Menurut dokter spesialis THT, Dr. Yudi Baskoro, telinga merupakan organ tubuh yang memiliki urat syarat yang cukup peka dan sensitif, terlebih ketika masih kanak-kanak. Tulang serta sistem syaraf yang belum sempurna pada masa kanak-kanak ini menyebabkan mereka mudah terkena penyakit atau infeksi di telinga. Padahal telinga mempunyai fungsi sangat penting dalam kehidupan seseorang. Fungsi telinga adalah menerima gelombang suara dan menghantarkannya menjadi sebuah pesan ke otak. Gelombang suara masuk ke telinga kemudian menembus saluran telinga, dan memukul gendang telinga sehingga menimbulkan getaran. Getaran dari gendang menyebabkan tulang kecil di telinga bergerak dan pergerakan ini menimbulkan pengiriman gelombang suara ke telinga bagian dalam. Gangguan pada eustachius Di telinga, terdapat saluran eustachius, sebagai penghubung telinga bagian tengah dengan bagian belakang. Dalam keadaan normal fungsi eustachius adalah tempat penghantar cairan dari telinga bagian tengah ke telinga bagian dalam. “ Biasanya jika saluran eustachius ini terinfeksi virus atau bakteri maka akan terjadi pembengkakan serta menimbulkan lendir yang cukup tebal dan tentu saja menghambat aliran cairan yang akan masuk ke telinga bagian dalam. Keadaan inilah yang menyebabkan telinga menjadi sakit,” ungkap Yudi. Yudi menambahkan, pada kasus lainnya, gangguan pada saluran eustachius bisa disebabkan karena alergi udara yang begitu dingin atau karena adanya infeksi lainnya. Ada juga beberapa kasus infeksi yang ditemui disebabkan karena pembengkakan kelenjar gondok yang berada dekat dengan telinga sehingga mempengaruhi saluran eustachius. Infeksi telinga yang akut bisa menyerang penderita selama 1 hingga 2 minggu. Terkadang infeksi telinga tersebut bisa menjadi kronis dan dapat mengarah kepada kondisi kehilangan pendengaran. Pada anak-anak, gejala infeksi telinga ini umumnya adalah rasa nyeri di telinga dan diikuti pula dengan keadaan pilek. “Para ibu harus mewaspadai bayi-bayinya jika menangis tak henti, kehilangan nafsu makannya ataupun sukar tidur, ada kemungkinan si anak mengalami infeksi pada telinganya,” ujarnya. Dokter spesialis THT Anak, Dr. Masrin Munir mengatakan infeksi telinga biasa terjadi pada bayi dan anak-anak.“Karena pada bayi dan anak-anak, saluran yang menghubungkan telinga tengah dan kerongkongan (tuba eustachian) lebih pendek dan lebih datar dibandingkan orang
dewasa. Akibatnya, mikroorganisme penyebab infeksi lebih mudah memasuki telinga tengah. Oleh karena itulah, bayi mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk menderita infeksi telinga dibandingkan dengan orang dewasa,” ungkapnya. Masrin menambahkan bahwa sekitar 80% batita memiliki risiko tinggi terpapar infeksi telinga, minimal satu kali. Penyakit ini merupakan infeksi yang disebabkan oleh virus, misalnya virus flu. Penyebab lainnya adalah bakteri dalam air yang bisa masuk ke telinga saat si kecil berenang atau ketika sedang keramas. Sedangkan infeksi telinga yang sering terjadi pada bayi dan anak-anak adalah otitis media, yaitu infeksi yang terjadi di telinga bagian tengah. Infeksi telinga jenis ini membuat produksi cairan telinga menjadi bertambah banyak sehingga menekan gendang telinga sampai membengkak dan akhirnya meradang. Akibatnya si kecil akan merasa telinganya sakit dan badannya demam. Bila didiamkan, produksi cairan telinga akan semakin hebat hingga bisa menyebabkan gendang telinga pecah. Dari gendang telinga yang pecah itu keluarlah cairan kental yang lebih dikenal dengan congek. Ada 2 jenis infeksi telinga yaitu, 1. Otitis Eksternal (infeksi telinga bagian luar) Kondisi saluran eksternal telinga adalah hangat, gelap dan mempunyai kecenderungan untuk menjadi lembab, hal ini menyebabkan saluran tersebut menjadi tempat yang ideal bagi bertumbuhnya bakteri dan jamur. Kulit dari saluran ini juga sangat tipis dan dapat dengan mudah terluka. Terdapat lokasi sempit yang secara alami membentuk seperti saluran kerucut yang dapat ’menjebak’ dan mencegah kotoran, cairan dan lemak untuk keluar secara normal. Khususnya di bagian luar yang berambut sangat rentan untuk tumbuhnya benjolan seperti jerawat. Otitis eksternal biasanya menyakitkan (dan gatal jika terkena infeksi jamur) dan sering menimbulkan rasa sakit pada saat membuka rahang. Pada kasus yang sudah gawat dan ditunda-tunda, kotoran bisa terbentuk di belakang pinna. 1. Otitis media (Infeksi telinga bagian tengah) Anak-anak pada umumnya dibawa orangtuanya mengunjungi dokter lantaran masalah otitis media. Otitis media adalah penyebab utama tuli pada masa kanak-kanak. Kadang juga berpengaruh pada orang dewasa, khususnya bagi mereka yang mempunyai masalah hidung atau sinus. Otitis media menyebabkan rasa sakit dan ketidaknyamanan serius yang akan diderita baik oleh anak itu maupun keluarganya. Otitis media yang parah dapat menyebabkan ketulian. Kehilangan kemampuan untuk mendengar, khususnya pada anak-anak, akan mengakibatkan menurunnya kemampuan belajar dan bahkan memperlambat perkembangan kemampuan berbicara. Namun jika dirawat secara tepat dan efektif, pendengaran hampir selalu dapat dipulihkan menjadi normal. Otitis Media adalah juga penyakit yang serius karena infeksinya dapat menyebar ke struktur terdekat di kepala. Di negara belum berkembang, infeksi telinga tengah bisa menyebabkan infeksi otak.
Menurut Masrin, penyebab terjadinya otitis media pada anak-anak adalah akibat penyumbatan pada tuba eustachian. Penyumbatan tersebut umumnya terjadi selama demam, alergi atau infeksi saluran pernafasan atas, dan akibat keberadaan bakteri atau virus yang mengarah ke penumpukan cairan di belakang gendang telinga. Cairan tersebut atau berupa nanah akan mencegah gendang telinga untuk bergetar dengan seharusnya, dan mencegah suara untuk dapat di dengar oleh ossicle (3 tulang kecil di telinga tengah) dan kemudian menyebabkan adanya gangguan pendengaran. ”Bahkan, otitis media yang sudah akut sering menyebabkan terbentuknya tekanan nanah di bagian tengah telinga yang menyebabkan demam, sakit telinga, pembengkakan, dan merah,” imbuh Masrin. Terkadang, ketika gendang telinga terluka, nanah keluar dari telinga. Meskipun umumnya yang terjadi, nanah atau lendir tetap berada di bagian tengah telinga karena adanya pembengkakan pada kerongkongan. Hal ini disebut sebagai efusi telinga tengah (middle ear effusion) atau serous otitis media. Seringkali setelah tahap akut dari infeksi berlalu, efusi tetap ada dan menjadi tebal dan menempel seperti lem. Hal ini dapat berlangsung selama beberapa minggu atau bahkan tahun. Masrin mengingatkan, bila penyakit infeksi telinga tersebut berlangsung lebih dari 3 bulan, dan anak mengalami gangguan pendengarannya yang berakibat terlambat bicara, maka sebaiknya dilakukan tes pendengaran dan tes bicara pada anak tersebut. Jangan remehkan flu Agar infeksi telinga tidak terlambat ditangani, Yudi Baskoro menganjurkan agar orangtua tidak menganggap remeh sakit flu yang menyerang anak. Sebab, jika tidak segera diobati, sakit flu yang berkepanjangan pada anak dapat menyebabkan terjadinya penyakit infeksi telinga. 'Selain akan mengurangi fungsi pendengaran. Dalam fase sudah parah, kuman dari penyakit infeksi telinga ini juga dapat menggerogoti tulang yang menjadi dasar otak. Akibatnya timbul radang otak. Ini sangat berbahaya dan sangat fatal,' ujar dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Pada orang dewasa, kemungkinan terjadinya infeksi telinga akan lebih kecil dibanding pada anak-anak karena letak pipa penghubung antara saluran hidung dengan saluran telinga cenderung lebih vertikal. Kondisi ini meyebabkan kemungkinan terjadinya endapan otomatis akan dapat tertanggulangi. Cairan yang masuk biasanya akan segera dapat keluar dengan sendirinya secara alami. 'Pada orang normal, pipa ini berfungsi sebagai penyuplai udara dari luar ke dalam telinga. Nah, kalau yang bersangkutan terserang flu, suplai udara ini akan menjadi terganggu. Maka mengakibatkan kuman penyebab flu akan merambat ke telinga tengah, lalu mengakibatkan infeksi pada telinga,' tutur Yudi. Sedangkan pada anak-anak karena letaknya yang horizontal dan jaraknya lebih pendek ini, memungkinkan cairan yang masuk, mengendap dalam waktu lama. Apalagi sekarang ini, menurut Yudi penyebab penyakit flu juga semakin banyak dan menunjukkan kecenderungan meningkat. Salah satunya adalah karena alergi. Munculnya alergen baru ini, menurut Muhardjo merupakan dampak dari kemajuan industri dan pola hidup masyarakat. 'Misalnya, penggunaan karpet pada rumah. Padahal, karpet memiliki potensi yang
sangat besar untuk menyimpan debu. Nah, debu ini pada beberapa anak dapat menyebabkan terjadinya batuk yang disertai flu,' tandasnya. Periksa pendengaran bayi sejak dini Masrin juga menambahkan agar orangtua harus mewaspadai jika si kecil ketika tidur tidak mudah terusik dengan suara di sekitarnya. "Hati-hati jika bayi tidur terlalu nyenyak, dan tidak terganggu suara bantingan pintu maupun suara keras lainnya, sebab kemungkinan terjadi gangguan pendengaran," imbuhnya. Menurut Masrin, sejak berada dalam kandungan, bayi sudah dapat mendengar. Terlihat pada pemeriksaan USG, saat bayi bergerak-gerak merespon gelombang suara yang dihasilkan USG. Setelah lahir, bayi pun sudah mampu mendengar suara-suara di sekitarnya. Buktinya? Ketika mendengar suara berisik, ia akan terbangun. Hanya karena perkembangan otak dan motoriknya belum sempurna, reaksi yang timbul sebatas tangisan atau membuka mata. Seiring dengan bertambahnya usia, respon yang diberikan makin beragam, misalnya menoleh, mendekat ke arah suara dan sebagainya. Selama perkembangan ini, anak tidak cuma mampu mendengar, tetapi juga merekam jenis-jenis bunyi ke dalam otaknya. Tak heran menginjak usia 8 bulan, ia sudah bisa mengenal suara ibu, ayah, atau pengasuhnya. Rekaman ini suatu saat akan di-recall ketika si kecil belajar bicara. Lantas, bagaimana cara mendeteksi gangguan pendengaran dengan mudah? “Secara sederhana, dapat dilakukan melalui permainan bunyi seperti tepuk tangan, batuk, menabuh kaleng, dan sebagainya. Bayi normal akan memberi respon terhadap bunyi. Bisa dengan mengedipkan mata, mimik wajahnya berubah, berhenti mengisap ASI atau botol susu, terkejut serta bereaksi dengan mengangkat kaki dan tangan,” terangnya. Sedangkan pada bayi yang lebih besar, kerap kali merespon dengan menolehkan kepala pada sumber bunyi. Minimal, ia mencari sumber bunyi tersebut dengan gerakan mata. “Dan jika si kecil tak bereaksi, sebaiknya orangtua segera membawanya ke dokter,” ujar Masrin Oleh karena itu, lanjut Masrin, pemeriksaan pendengaran pada bayi perlu dilakukan sejak berusia 2 hari. Pada pemeriksaan selanjutnya, anak biasanya akan menjalani pemeriksaan audiometri sesuai umur. Diantaranya tes OAE (Oto Acoustic Emission) atau BERA (Brainstem Evoked Response Auditory). Cara kerjanya dengan menggunakan komputer serta dibantu sejumlah elektroda yang ditempelkan di permukaan kulit kepala bayi. "Anak diberi rangsang suara, kemudian direkam di komputer, hasilnya berupa data dalam bentuk grafik. Nah, barulah diketahui ambang dengarnya," jelasnya. Makin cepat, makin baik Pria lulusan Universitas Indonesia ini melanjutkan bahwa pemeriksaan tersebut bertujuan untuk memastikan apakah memang benar terjadi gangguan pendengaran, jenis gangguan pendengaran, serta letak kelainan yang menimbulkan gangguan pendengaran. "Sehingga dapat dicari solusi terbaik untuk perawatan selanjutnya, dengan harapan anak bisa berkomunikasi dengan atau tanpa alat bantu dengar," ulasnya. Menurut Masrin, dewasa ini Indonesia tengah menggalakkan pemeriksaan pendengaran bayi sejak usia 2 hari. Semakin cepat dan tepat intervensi dilakukan, hasilnya akan semakin baik.
Please download full document at www.DOCFOC.com Thanks