BAB V V.1.
PEMBAHASAN
Batubara dan Kebijakan Energi Nasional
Kebijakan Energi Nasional (KEN) ditetapkan berdasarkan Peraturan Presiden No.5 Tahun 2005. Tujuan dari ditetapkannya KEN adalah untuk mewujudkan keamanan pasokan energi nasional. Dalam pelaksanaannya, Menteri Energi Sumberdaya Mineral menetapkan Blue Print Pengelolaan Energi Nasional (Blue Print PEN) sebagai dasar dalam penyusunan pola pengembangan dan pemanfaatan masing-masing jenis sumber energi.
Blue Print PEN menunjukkan skenario bahwa peran batubara akan mengalami dari tahun 2005 sampai tahun 2025. Pada tahun 2025 peran batubara dalam energy mix nasional diharapkan sebesar 32,6%. Skenario energy mix nasional pada tahun 2005 dan 2025 dapat dilihat pada Gambar V.1.
2003
2025 Gambar V.1. Skenario Energy Mix Nasional 2003 – 2025
Sementara itu, hasil perhitungan diperoleh hasil peran batubara dalam energy mix nasional pada tahun 2020 adalah sebesar 34,69%. Hasil peramalan peran batubara yang optimal tersebut menunjukkan perbedaan terhadap skenario berdasarkan energy mix nasional 2025 yang tercantum dalam Blue Print PEN. Diindikasikan perbedaan hasil perhitungan disebabkan perbedaan dalam menentukan faktor-faktor yang menentukan kebutuhan energi, antara lain pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang digunakan untuk keperluan proyeksi.
V-1
Walaupun terjadi perbedaan dalam mendapatkan prosentase peran batubara dalam pemenuhan energy mix nasional, ada suatu hal yang perlu disikapi. Peningkatan peran batubara dalam pemenuhan kebutuhan energi nasional perlu untuk ditindak-lanjuti. Tujuannya agar pasokan energi yang dibangkitkan oleh batubara tidak mengalami hambatan yang akhirnya berujung pada terganggunya aktivitas ekonomi nasional.
Tindakan pengamanan pasokan energi dari batubara dapat dilakukan melalui penetapan kebijakan dan aturan-aturan yang bertujuan untuk: 1. Menambah jumlah cadangan batubara tertambang. 2. Mengatur laju pengurasan cadangan tertambang. 3. Menjamin suppai kebutuhan batubara domestik. 4. Penelitian dan pengembangan untuk meningkatan efisiensi pemanfaatan sumberdaya batubara (termasuk batubara peringkat rendah). 5. Pembangunan pembangkit tenaga listrik sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi.
V.2.
Evaluasi Kebijakan Batubara Nasional
Hasil perhitungan dari optimasi produksi batubara dan peranannya dalam energy mix nasional menunjukkan peranan batubara pada energy mix nasional akan terus meningkat setidaknya sampai tahun 2020. Seperti yang telah disebutkan di atas, peningkatan peran batubara tersebut perlu ditindak lanjuti oleh pemerintah untuk dapat mengamankan pasokan batubara terutama untuk keperluan sumber energi dalam negeri. Terlebih lagi diindikasikan bahwa produksi batubara untuk tahun mendatang akan berada di atas tingkat produksi optimal. Perbandingan peramalan tingkat produksi optimal dan produksi pasar batubara dapat dilihat pada Tabel V.1.
Untuk mengatasi permasalahan produksi batubara yang melebihi kapasitas produksi optimal, diperlukan suatu kebijakan sehingga pemanfaatan batubara nasional tetap berlandaskan asas konservasi. Prinsip konservasi tersebut adalah menggunakan sumberdaya terbanyak untuk mendapatkan hasil terbesar dalam waktu terlama.
V-2
Tabel V.1. Perbandingan Peramalan Tingkat Produksi Batubara Indonesia Produksi Pasar (Juta Ton) 145,0 156,4 178,8 193,2 206,7 232,1 248,2 263,8 292,5 310,3 328,2 360,0 379,6 399,8 435,1 456,3 4.586,0
Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 Jumlah
Produksi Optimal (Juta Ton) 117,5 126,3 135,7 145,9 156,8 168,5 181,1 194,7 209,2 224,9 241,7 259,8 279,2 300,1 322,6 346,7 3.410,7
Indonesia telah memiliki Kebijakan Batubara Nasional (KBN) yang ditetapkan berdasarkan
Surat
Keputusan
Menteri
Energi
dan
Sumberdaya
Mineral
No.
1128K/40/MEM/2004. Sasaran yang ingin dicapai dengan ditetapkannya KBN yaitu untuk menjamin pasokan batubara untuk keperluan domestik dan ekspor. Hal-hal yang diatur dalam KBN tersebut meliputi masalah pengelolaan, pengusahaan, pemanfaatan, dan pengembangan.
Telaah lebih mendalam dilakukan kepada KBN menunjukkan hasil bahwa prinsip-prinsip konservasi sebenarnya sudah diakomodasi di dalam masing-masing aspek yang ada di dalam KBN. Aspek-aspek dalam KBN yang mengakomodasi terwujudnya konservasi dalam pemanfaatan sumberdaya batubara nasional antara lain: 1. Kebijakan Pengelolaan •
Mendukung upaya pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dalam pertambangan batubara.
2. Kebijakan Pengusahaan •
Mendorong mengintensifkan pencarian cadangan batubara.
•
Meningkatkan
kualifikasi
sumberdaya
tertambang. V-3
batubara
menjadi
cadangan
•
Memberikan insentif dalam pengembangan batubara peringkat rendah, tambang bawah tanah, cadangan papas dan di daerah terpencil.
•
Menegaskan kembali kepada pelaku pertambangan batubara PKP2B untuk memenuhi kewajibannya memprioritaskan pasokan batubara dalam negeri berdasarkan kontraknya dengan Pemerintah.
•
Mengendalikan produksi, pelaksanaan pengembangan masyarakat dan reklamasi melalui mekanisme persetujuan RKAB.
3. Kebijakan Pemanfaatan •
Mengarahkan dan mendorong penganekaragaman pemanfaatan dan teknologi batubara bersih.
•
Memberikan perhatian lebih khusus kepada litbang dan investasi di bidang pemanfaatan lignite dan Coal Bed Melthane.
•
Mendukung peran serta swasta yang ingin mendirikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara Mulut Tambang.
•
Mengusulkan Penggunaan Dana Hasil Produksi Batubara yang 13,5% dari kontraktor PKP2B dan royalty dari pemegang KP terutama diprioritaskan untuk hal-hal yang berhubungan dengan pengembangan batubara.
•
Mendorong peningkatan nilai tambah dalam pemanfaatan batubara.
4. Kebijakan Pengembangan •
Mendorong pengembangan pemanfaatan batubara peringkat daerah (lignite), penambangan bawah tanah, pemanfaatan coal bed methane dan PLTU Mulut Tambang.
Aspek konservasi dalam pemanfaatan sumberdaya batubara sudah tercakup dalam KBN. Namun sampai dengan saat ini, produksi batubara Indonesia masih tetap berada di atas tingkat produksi optimal. Sejalan dengan pengamanan pasokan batubara nasional diperlukan aturan teknis pengusahaan yang ditetapkan/dilegalkan oleh pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi kuantitas produksi batubara Indonesia. Sehingga dapat dihindari adanya pemborosan dan ketidak-efisienan dalam pemanfaatan sumberdaya.
V.3.
Aturan Pengusahaan Mendukung Konservasi Batubara
Faktor konservasi dalam pemanfaatan sumberdaya batubara dapat diterjemahkan dalam peraturan-peraturan yang bertujuan untuk mendukung pembatasan produksi batubara V-4
Indonesia. Sasarannya adalah pembatasan pada ekspor batubara dan pemenuhan kebutuhan batubara nasional. Alasan dikenakan pada ekspor batubara karena produksi besar-besaran dilakukan adalah untuk mengejar keuntungan dari harga batubara luar negeri yang relatif lebih tinggi daripada harga batubara dalam negeri. Sedangkan pemenuhan kebutuhan dalam negeri adalah dalam rangka mengakomodasi pertumbuhan ekonomi optimal yang akan membuat intensitas energi Indonesia konvergen dengan intensitas energi rata-rata negara maju di Asia Pasifik.
Beberapa skema kebijakan dan perpajakan yang dapat diterapkan sejalan dengan pelaksanaan konservasi batubara nasional antara lain : 1. Kuota Ekspor Batubara 2. Pajak/Tarif Ekspor Batubara 3. Penentuan Tingkat Produksi Optimal Perusahaan 4. Domestic Market Obligation
V.3.1. Kuota Ekspor Kuota ekspor merupakan pembatasan jumlah fisik terhadap barang yang keluar. Tujuan yang ingin dicapai dengan menerapkan kuota ekspor antara lain : •
Mencegah barang-barang yang penting bagi negara dikuasai oleh negara lain.
•
Menjamin tersedianya barang-barang di dalam negeri dalam proporsi yang cukup.
•
Mengadakan pengawasan produksi serta pengendalian harga guna mencapai stabilisasi harga.
Kuota ekspor biasanya dikenakan terhadap barang-barang yang mempunyai stategis bagi negara, seperti timah, batubara, aluminium, dll. Namun pada perkembangannya, kuota ekspor juga diterapkan pada komoditas lain yang terbarukan. Sebagai contoh, Kementrian Perikanan dan Daerah Pesisir di Norway telah memutuskan untuk mengenakan kuota ekspor untuk ikan dan produk perikanan mulai 1 Juni 2006. Kuota ekspor akan membatasi perikanan pantai dan produk perikanan dari pemancingan yang dapat diekspor dari Norway mencapai 15 Kg per orang. Tujuannya adalah agar ikan yang berada di daerah pesisir tetap ada selama musim panas. Karena sektor pariwisata dan pengangkutan di daerah pesisir dapat menimbulkan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan pada masyarakat di daerah pesisir.
V-5
Untuk komoditas mineral, kuota ekspor telah diterapkan. Salah satu contoh negara yang menerapkan kuota ekspor untuk komoditas mineral adalah China. Pada tahun 2005, Kementrian Perdagangan China mengeluarkan daftar komoditas meliputi logam ferrous dan nonferrous yang memerlukan pengawasan kuota ekspor pada tahun 2005. Komoditas mineral yang terdapat dalam daftar monitor pemerintah antara lain, ammonium paratungstate, bauksit dan refractory clay, batubara, kokas, konsentrat antimony, timah, tungsten, seng, fluorspar, oksida antimoni, magnesium, platina, dan mineral tanah jarang. Produk antimony harus terdaftar dan diekspor melalui pelabuhan dari Guangxi Zhuangzhu, Huangpo di Propinsi Guangdong, dan Tianjin. Pelabuhan Dalian di Propinsi Liaoning didesain sebagai pelabuhan untuk ekspor magnesium. Pelabuhan lain yang dapat digunakan untuk ekspor magnesium antara lain melalui Pelabuhan Changchun di Propinsi Jilin, Manshouli di Propinsi Heilongjiang, dan Qingdao di Propinsi Shanding. Pemerintah China melakukan penyesuaian kuota ekspor untuk tahun 2005 antara lain, batubara 80 juta ton, kokas 14 juta ton, magnesium 1,4 juta ton, fluorspar 750 ribu ton, talk 650 ribu ton, seng dan produk seng 520 ribu ton, antimony dan produk antimony 65.700 ton, timah dan produk timah 57 ribu ton (Mineral Industry of China 2005, USGS). Dalam kelanjutannya, pada tahun 2006 untuk kuota ekspor timah disebutkan bahwa Menteri Perdagangan China mengumumkan pemotongan kuota ekspor untuk timah dan produk timah pada tahun 2007 menjadi 37.000 ton (Mineral Industry Survey 2006, USGS). Kuota ekspor yang ditetapkan di China pada komoditas-komoditas di atas disebabkan karena kebutuhan dalam negeri yang meningkat untuk keperluan pengembangan industrinya.
Kuota ekspor dapat dipertimbangkan untuk menjadi kebijakan dalam mendukung konservasi batuabara nasional. Penetapan kuota ekspor akan menyebabkan produsen batubara membatasi produksi batubaranya. Karena produksi terlalu banyak, maka akan menyebabkan persaingan pada pasar dalam negeri sehingga menjadikan harga batubara dalam negeri menjadi rendah sementara produksi tidak bisa dijual ke pasar internasional. Seandainya digunakan kuota ekspor untuk mengontrol produksi batubara, sebaiknya ditetapkan sesegera mungkin. Karena hasil peramalan menunjukkan tingkat produksi batubara yang optimal selalu di bawah tingkat produksi pasar.
Kerugian yang timbul karena keberadaan kuota ekspor dapat dilihat pada ilustrasi di Gambar V.2.
V-6
Gambar V.2. Kurva Permintaan – Penawaran Pada Pemberlakuan Kuota Ekspor
Pada negara A keseimbangan permintaan dan penawaran terhadap komoditas dicapai pada saat terjadi perpotongan kurva permintaan dan penawaran, yaitu tingkat harga P0 dan jumlah komoditas Q0. Pemberlakuan kuota ekspor, akan mengurangi kuantitas ekspor menjadi Q1. Pada jumlah komoditas Q1 produsen dalam negeri hanya mau menerima harga sebesar P’1, sementara itu konsumen di luar negeri bersedia untuk membayar sebesar P”1 karena semakin sedikitnya jumlah barang. Akibatnya akan terdapat kerugian sebesar P’1P”1LK yang akan ditanggung oleh produsen di dalam negeri, apabila ternyata kuantitas sebesar P’1P”1 dapat dipenuhi oleh produsen lain di luar negeri. V.3.2. Pajak/Iuran Ekspor Pemberlakuan pajak/iuran ekspor dapat menjadi sarana kebijakan perpajakan yang mendukung pelaksanaan konservasi batubara nasional. Pajak tersebut tidak dipungut berdasarkan kemampuan untuk membayar (ability to pay), namun dipungut pada setiap ton batubara yang diekspor, sehingga termasuk dalam biaya produksi. Alasan pengenaan pajak diilustrasikan dalam Gambar V.3. Pajak yang dipungut sebagai biaya produksi akan meningkatkan biaya marginal dari produksi. Sehingga kurva supply akan bergeser ke arah atas sebesar unit pajak dan titik keseimbangan berbesar dari titik X menjadi titik K. Keseimbangan di titik K dicapai pada tingkat produksi Q1 dan tingkat harga P’1. Akibatnya pemungutan pajak akan meningkatkan tingkat harga komoditas dan menurunkan kuantitas barang yang diproduksi apabila dibandingkan terhadap sebelum pajak dikenakan.
V-7
Gambar V.3. Pengaruh Pajak Pada Tingkat Produksi
Berdasarkan penjelasan di atas, secara teoritis pajak yang dalam hal ini adalah pajak ekspor dapat digunakan untuk membatasi produksi. Alasan mengapa pajak dikenakan pada ekspor adalah sama halnya dengan pemberlakuan kuota ekspor. Yaitu karena kenaikan produksi disebabkan oleh daya tarik harga batubara internasional. Disamping itu, pajak ekspor dapat digunakan untuk menjamin ketersediaan pasokan batubara domestik.
Namun pemberlakuan pajak, dapat menyebabkan kerugian/dis-insentif. Kerugian yang ditimbulkan adalah berupa pengurangan surplus ekonomi. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada Gambar 5.4. Total kehilangan dari surplus ekonomi yang disebabkan oleh pengenaan pajak (deadweight loss) adalah gambar segitiga yang diarsir pada Gambar V.4.
Harga
Penawaran + Pajak
P1" P P1'
Penawaran
Total Kehilangan Karena Pajak
Permintaan Q1 Q Kuantitas
Gambar V.4. Pengurangan Surplus Ekonomi Karena Pajak
V-8
Untuk saat ini, terdapat beberapa hambatan dalam pemberlakuan pajak ekspor batubara di Indonesia. Pemberlakuan pajak ekspor pada produksi batubara akan membawa Indonesia pada arah yang berlawanan dengan evolusi perpajakan pada sumberdaya mineral yang terjadi pada masa sekarang. Pada saat ini terdapat kecenderungan dari negara-negara besar untuk mengurangi atau bahkan meniadakan pajak ekspor komoditas mineral.
Pajak ekspor hanya dapat berlaku secara efektif guna mendukung konservasi batubara nasional untuk jangka pendek saja. Untuk jangka panjang, pajak tersebut dapat mengurangi keinginan perusahaan tambang untuk melakukan eksplorasi dan pembangunan tambang baru. Akibatnya pada jangka panjang, keuntungan yang diperoleh negara akan berkurang.
Untuk di Indonesia penggunaan pajak ekspor tidak dapat serta merta diterapkan. Hal tersebut disebabkan lex spesialist pada sistem perpajakan mineral dan batubara di Indonesia. Sehingga tidak bisa diterapkan sewaktu-waktu pada saat kontrak kerjasama sedang berjalan. Sistem pajak ekspor batubara mungkin bisa diterapkan pada Kuasa Pertambangan batubara yang akan disepakati antara pemerintah dengan investor tambang batubara. Namun sebaiknya tetap memperhatikan dampak kumulatif yang ditimbulkan oleh sistem perpajakan secara keseluruhan.
V.3.3. Pengawasan Tingkat Produksi Optimal Perusahaan tambang selalu berkeinginan dan termotivasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari produksi sumberdaya bahan tambang. Keuntungan merupakan selisih antara pendapatan karena harga dari produk dengan biaya produksi dari faktor produksi untuk mengusahakan produk. Untuk mendapatkan keuntungan yang besar tidak jarang suatu perusahaan menaikkan kapasitas produksinya.
Terdapat konsep yang perlu diperhatikan oleh perusahaan termasuk juga perusahaan tambang jika ingin memperoleh keuntungan yang maksimal. Konsep tesebut adalah “The Law of Diminishing Return”/hukum hasil yang semakin berkurang. The Law of Diminishing Return menyatakan bahwa jika masukan/input meningkat (dengan asumsi masukan yang lain tetap) pada suatu titik akhirnya akan dicapai kondisi dimana penambahan input faktor produksi tidak akan lagi memberikan penambahan marginal output. Ilustrasi tersebut dapat dilihat pada Gambar V.5.
V-9
Keluaran per Periode Waktu
100
C B
50
A
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Tenaga Kerja per Periode Waktu Gambar V.5. The Law of Diminishing Return
Dari ilustrasi tersebut diperlihatkan bahwa, pada titik A penggunaan tenaga kerja sebanyak 4 orang dapat menghasilkan keluaran sebesar 40 sehingga rata-rata 1 pekerja menghasilkan 10 output. Pada penambahan 2 tenaga kerja berikutnya masih memberikan kenaikan output, yaitu pada titik B dimana setiap penambahan pekerja akan menghasilkan output sebanyak 15 unit. Namun kondisi tersebut berkebalikan pada penambahan kerja berikutnya. Pada titik C, setiap penambahan tenaga kerja akan menghasilkan output sebesar 7 unit. Sehingga bisa diidentifikasi bahwa penambahan tenaga kerja dari 1 sampai 6 orang pekerja akan memberikan kenaikan jumlah output marginal. Namun penambahan pekerja dari 6 orang menjadi 7 orang dan seterusnya tidak memberikan kenaikan jumlah output marginal lagi.
Untuk mengetahui jumlah output optimal berdasarkan The Law of Diminishing Return adalah dengan menganalisis komponen pendapatan (revenue) dan biaya (cost). Tingkat produksi optimal dicapai ketika pendapatan marginal sama dengan biaya marginal. Ilustrasi mengenai tingkat produksi optimal dapat dilihat pada Gambar V.6.
V - 10
Biaya
MC
D
A
C
B
ATC
Q
AVC
Harga
Keluaran
Gambar V.6. Tingkat Produksi Optimal
Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa tingkat produksi optimal dicapai pada saat kuantitas sebesar Q. Pada produksi sejumlah tersebut, keuntungan yang dicapai oleh perusahaan berada di tingkat maksimal (gambar segi empat ABCD). Jadi pada saat pendapatan marginal sama dengan biaya marginal, perusahaan memperoleh tingkat keuntungan maksimal.
Tingkat produksi optimal tersebut dapat diatur oleh pemerintah kepada perusahaan tambang pemegang KP atau PKP2B. Mekanismenya adalah melalui pengawasan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Belanja) tahunan yang diajukan oleh pemegang PKP2B dan KP setiap awal tahun produksi. Selain itu bagi pemegang PKP2B dan KP yang ingin menaikkan kapasitas produksinya perlu diawasi dengan ketat dalam hal tingkat produksi optimalnya dan daya dukung lingkungan karena peningkatan produksi.
Instrumen yang diperlukan oleh pemerintah untuk mengawasi tingkat produksi optimal adalah indeks harga batubara (Coal Price Index). Dengan menggunakan indeks tersebut pemerintah dapat memberi masukan sekaligus pengawasan tingkat produksi dari pemegang PKP2B dan KP berdasarkan biaya produksi masing-masing dan harga yang ditentukan berdasarkan harga indeks. Saat ini harga yang menjadi tolak ukur dalam penentuan harga batubara Indonesia adalah harga jual batubara Australia ke Jepang. Akibatnya, indeks harga yang menjadi tolak ukur tidak mencerminkan harga jual batubara Indonesia yang sebenarnya. Untuk itu perlu disusun indeks harga batubara Indonesia (Indonesia Coal V - 11
Price Index) yang lebih mencerminkan harga jual batubara Indonesia yang sebenarnya pada berbagai jenis kualitas batubara.
V.3.4. Domestic Market Obligation Domestic Market Obligation (DMO) adalah kewajiban yang ditetapkan oleh pemerintah kepada pemegang KP dan PKP2B untuk memenuhi kebutuhan/pasokan batubara dalam negeri. Tujuan ditetapkannya DMO adalah untuk menjamin pasokan batubara di dalam negeri. Selain itu dengan terjaminnya pasokan batubara dalam negeri, maka akan dapat mendorong tumbuhnya industri nasional.
DMO dapat diterapkan melalui mekanisme seperti pengaturan harga jual batubara dalam negeri. Sehingga dapat meningkatkan ketertarikan dari produsen untuk menjual produk batubara ke dalam negeri. Beberapa langkah yang dapat digunakan untuk membentuk harga jual yang menarik adalah: •
Menetapkan harga jual batubara dalam negeri sama dengan harga batubara di pasar internasional.
•
Menetapkan Indonesian Coal Price Index.
Untuk mendukung langkah di atas, diperlukan instrumen-instrumen pendukung. Instrumen tersebut dapat berbentuk sistem perpajakan ataupun kebijakan. Pajak ekspor seperti yang telah disebutkan di atas merupakan salah satu instrumen perpajakan yang dapat digunakan dalam DMO. Sementara itu penetapan kuota ekspor batubara merupakan contoh instrumen kebijakan untuk pelaksanaan DMO.
Dalam pelaksanaannya DMO diberlakukan kepada pemegang PKP2B. Karena pada saat ini lebih dari 80% produksi batubara Indonesia dilakukan oleh pemegang PKP2B. Dan hampir sebagian besar produksinya dijual ke pasar internasional. Dengan menerapkan DMO, maka ekspor batubara dari pemegang PKP2B akan berkurang dan dimanfaatkan untuk keperluan dalam negeri.
V.4.
Pengembangan Sektor
Sektor pertambangan batubara saat ini belum mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang yang tinggi terhadap sektor-sektor yang lain. Hal tersebut disebabkan masukan
V - 12
yang diperlukan dan keluaran dari sektor tersebut belum banyak digunakan oleh sektorsektor yang lain. Akibatnya, keberadaan sektor tersebut belum dapat menumbuhkan aktivitas ekonomi secara maksimal.
Berdasarkan hasil prediksi yang telah dilakukan pada bahasan sebelumnya didapatkan hasil bahwa agar dapat menggunakan energi secara optimal, maka pertumbuhan ekonomi harus mencapai 7,48% per tahun. Pada pertumbuhan ekonomi sejumlah tersebut diperlukan batubara sebesar 346 juta ton pada tahun 2020. Penggunaan batubara sejumlah itu akan berdampak diperlukannya pengembangan sektor-sektor tertentu yang mempunyai keterkaitan langsung dengan sektor pertambangan batubara, sehingga sektor tersebut dapat menggunakan batubara yang diproduksi.
Berdasarkan model I-O tahun 2000 diketahui bahwa sektor-sektor yang menggunakan output dari sektor pertambangan batubara antara lain: 1. Sektor listrik, gas, dan air minum 2. Sektor industri 3. Sektor pertambangan dan penggalian lainnya 4. Sektor pengangkutan dan komunikasi 5. Sektor peternakan Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan produksi batubara, maka sektor-sektor tersebut perlu didorong agar dapat menghasilkan output yang lebih besar melalui investasi. Peningkatan kapasitas output akan meningkatkan kebutuhan batubara yang menjadi input dari sektor-sektor tersebut di atas.
Jika dilihat dari nilai pengganda yang ditimbulkan, maka investasi yang dilakukan pada sektor-sektor di atas akan memberikan keuntungan. Hal ini disebabkan pengganda surplus yang ditimbulkan termasuk besar dibanding sektor-sektor yang lainnya. Sektor listrik, gas, dan air minum, sektor industri, serta sektor pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor yang memiliki pengganda surplus terbesar setelah sektor jasa dan sektor bangunan. Akibatnya investasi pada sektor tersebut akan dapat memberikan keuntungan yang relatif lebih besar dibanding pada sektor yang lain.
V - 13
Untuk dapat mengembangkan (mendorong investasi) sektor-sektor yang mempunyai pengganda surplus besar namun mempunyai keterkaitan yang besar terhadap sektor pertambangan batubara diperlukan instrumen kebijakan pemerintah. Kebijakan tersebut harus memberikan peluang untuk dapat berinvestasi pada sektor tersebut. Program pembangunan PLTU merupakan salah satu contoh dari kebijakan pemerintah yang mendukung pengembangan sektoral dalam rangka pengoptimalan peran sektor pertambangan batubara.
Yang perlu dipahami di sini adalah kebijakan pemerintah dalam pengembangan sektoral tersebut mempunyai keterkaitan dengan kebijakan mengenai Domestic Market Obligation. Kedua kebijakan tersebut harus dilaksanakan secara selaras dan saling mendukung untuk mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Kebijakan pengembangan sektoral menangani optimasi peran batubara dari sisi permintaan (demand). Sementara itu, kebijakan dalam hal DMO menangani optimasi peran batubara dari sisi penyediaan (supply).
V - 14