HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST|AluI) Amplifikasi fragmen gen CAST|AluI dilakukan dengan menggunakan mesin PCR dengan kondisi annealing 600C selama 45 detik, dan diperoleh produk PCR dengan panjang 624 pb (Gambar 5). Sebanyak 282 sampel yang terdiri sampel sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh dan sapi Katingan telah berhasil diamplifikasi dalam penelitian ini dengan tingkat keberhasilan mencapai 100%.
(-) 624 pb
(+) Keterangan : M=Marker DNA. Sumur 1-10= Produk Amplifikasi Gen CAST
Gambar 5. Hasil Amplifikasi Gen Calpastatin pada Gel Agarose 1,5%. Suhu penempelan primer dalam penelitian ini adalah 60°C. Kondisi ini berbeda dengan suhu penempelan primer yang disarankan oleh Palmer et al. (1998) yaitu 62°C. Menurut Muladno (2002), suhu penempelan primer (annealing) berkisar antara 360C sampai dengan 720C, namun suhu yang biasa digunakan 50-600C. Suhu annealing merupakan suhu optimum terjadinya penempelan primer yang digunakan pada titik pemotongan DNA selama proses amplifikasi berlangsung.
Keberhasilan amplifikasi gen sangat ditentukan oleh kondisi penempelan primer DNA genom (gen target) dan kondisi mesin thermocycler. Selain itu, keberhasilan dalam mengamplifikasi DNA tergantung pada interaksi komponen campuran PCR (Palumbi, 1986). Menurut Al Soud dan Radstrom (2001) keberhasilan amplifikasi dipengaruhi oleh adanya hemoglobin yang dapat menghambat kerja enzim taq polymerase. Penentuan Genotipe Gen Calpastatin Penentuan genotipe dari gen CAST pada sapi lokal Indonesia dilakukan dengan metode PCR-RFLP menggunakan enzim rektriksi AluI. Enzim rektriksi AluI mengenali situs pemotongan AG|CT yang terletak di daerah intron 1 antara ekson 1C dan 1D. Pada penelitian ini menghasilkan tiga macam genotipe yaitu genotipe GG, GC, dan CC. Pada lokus CAST|AluI, ternak sapi dikatakan mempunyai genotipe GG apabila terdapat satu fragmen (pita) DNA dengan panjang 474 pb. Genotipe GC ditunjukkan dengan dua fragment DNA yaitu 474 dan 324 pb. Genotipe CC ditunjukkan dengan terdapatnya satu fragmen DNA yaitu 324 pb (Gambar 6). M
Genotipe
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
GG GC GG GC GG GG GG GG GG GG GG GG GC
12
13
GG GG
(-)
(+) Genotipe
GG
GC
GC
GG
GC
GG
GG
GG
GG
GG
GC GG
GG
Keterangan : M: Marker 100 pb, 1-13: Sampel Sapi Lokal Indonesia
Gambar 6. Hasil PCR-RFLP Ruas Gen Calpastatin CAST|AluI pada Gel Agarose 2%.
15
Berdasarkan sekuen DNA ruas gen CAST yang diamplifikasi terdapat empat titik pemotongan AluI yang menghasilkan fragmen dengan panjang 61, 52, 474, 10, dan 27 pb yang dikenal dengan alel G, sedangkan alel C memiliki panjang fragmen 324 pb. Menurut Kubiak et al. (2004), keragaman gen calpastatin sapi disebabkan oleh adanya mutasi titik yang terjadi pada posisi antara basa ke-61 (SNP|AluI) ( nomor akses GenBank AF117813). Subtitusi G-C pada titik mutasi mengubah asam amino Serine menjadi asam amino Threonine (Ser-Thr). Kode AGC untuk serine (Ser) dan kode ACC threonine (Thr). Terjadinya subtitusi basa nitrogen (transversi) G – C menyebabkan munculnya situs pemotongan yang baru untuk enzim restriksi AluI. Mutasi yang terjadi pada fragmen gen CAST|AluI adalah mutasi subtitusi tipe transversi yaitu terjadi perubahan basa purin (guanin) menjadi basa pirimidin (sitosin). Mutasi transversi terjadi karena adanya subtitusi antara satu basa purin (adenin atau guanin) menjadi satu basa pirimidin (timin atau sitosin) ataupun sebaliknya. Menurut Palmer et al. (1998) terjadinya mutasi pada ruas gen CAST menyebabkan keragaman gen calpastatin yang mempengaruhi kualitas karkas domba,
sedangkan
pada
sapi
Angus
jantan
dapat
mempengaruhi
sifat
pertumbuhannya (Chung et al., 1999). Ternak sapi dengan genotipe homozigot (GG atau CC) berarti bahwa kedua tetua masing-masing menyumbangkan gen (alel) yang sama. Sapi dengan genotipe heterozigot (GC) menunjukkan bahwa ternak tersebut memiliki kombinasi gen yang berbeda dari kedua tetuanya. Keragaman gen CAST|AluI pada sapi lokal Indonesia ditunjukkan dengan jumlah genotipe yang muncul dari masing-masing bangsa (Tabel 3).
Tabel 3. Hasil Identifikasi Genotipe Gen Calpastatin pada Bangsa Sapi Indonesia Ternak Sapi
Jumlah Sampel
Genotipe (n) GG
GC
CC
Sapi Bali
102
81
13
8
Sapi Madura
68
45
19
4
Sapi Pesisir
49
30
17
2
Sapi Aceh
13
8
5
0
Sapi Katingan
50
37
11
2
282
201
65
16
Total
Keterangan: n = jumlah genotipe yang muncul
16
Berdasarkan hasil identifikasi genotipe gen calpastatin pada bangsa sapi lokal Indonesia, ditemukan tiga macam genotipe yaitu GG, GC, dan CC pada sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir dan sapi Katingan, sedangkan pada sapi Aceh hanya ditemukan dua macam genotipe yaitu GG dan GC. Hasil penelitian Kubiak et al. (2004) menunjukkan bahwa amplifikasi PCR-RFLP gen CAST|AluI pada sapi Limousin, sapi Simmental, sapi Polish Friesian dan sapi Polish Red menghasilkan tiga genotipe yaitu GG, GC, dan CC, sedangkan pada sapi Red Angus, sapi Charolaise dan sapi Hereford menghasilkan dua genotipe yaitu GC dan CC. Keragaman Gen Calpastatin Hasil analisis frekuensi genotipe (GG, GC, dan CC) dan frekuensi ale (G, C) fragmen gen CAST|AluI pada bangsa sapi Indonesia disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen CAST|AluI pada Bangsa Sapi Indonesia Ternak Sapi
Frekuensi Genotipe
N
Frekuensi Alel
GG
GC
CC
G
C
Sapi Bali
102
0,794
0,127
0,078
0,858
0,142
Sapi Madura
68
0,662
0,279
0,059
0,801
0,199
Sapi Pesisir
49
0,612
0,347
0,041
0,786
0,214
Sapi Aceh
13
0,615
0,385
0,000
0,808
0,192
Sapi Katingan
50
0,740
0,220
0,040
0,850
0,150
Total
282
0,713
0,230
0,057
0,885
0,115
Keterangan: N = jumlah individu
Tabel 4 menunjukkan bahwa frekuensi genotipe GG tinggi pada sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan, sebaliknya frekuensi genotipe CC rendah bahkan tidak ditemukan pada sapi Aceh. Genotipe CC tidak ditemukan mungkin disebabkan oleh seleksi atau perkawinan yang tidak acak (Bourdon, 2000). Hasil penelitian Kubiak et al. (2004) menunjukkan bahwa frekuensi genotipe CC tinggi ditemukan pada Red Angus, Charolaise, Limousin, dan Polish Red, sedangkan frekuensi genotipe GC tinggi ditemukan pada Simmental dan Polish Friesian. Frekuensi genotipe GC rendah ditemukan pada Red Angus, Charolaise, dan Polish Red, sedangkan frekuensi GG rendah ditemukan pada
17
Limousin, Simmental, dan Polish Friesian. Pada populasi Hereford, frekuensi genotipe CC dan GC seimbang (Tabel 5). Frekuensi alel adalah frekuensi relatif dari suatu alel dalam populasi atau jumlah suatu alel terhadap jumlah total alel yang terdapat dalam suatu populasi (Nei dan Kumar, 2000). Frekuensi alel G tinggi ditemukan pada sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan, sebaliknya frekuensi alel C rendah pada kelima populasi sapi tersebut sehingga cenderung tidak terdapat perbedaan terhadap frekuensi alel. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kubiak et al. (2004) menunjukkan bahwa frekuensi alel Bos taurus tertinggi yaitu alel C dan terendah alel G (Tabel 5). Tabel 5. Nilai Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel Gen CAST|AluI pada Bos taurus Frekuensi Genotipe Ternak Sapi
N
Frekuensi Alel
GG
GC
CC
G
C
Red Angus
9
-
0,111
0,889
0,07
0,93
Charolaise
12
-
0,167
0,833
0,42
0,58
Limousin
10
0,100
0,300
0,600
0,25
0,75
Simmental
9
0,111
0,556
0,333
0,39
0,61
Hereford
8
-
0,500
0,500
0,25
0,75
Polish Friesian
84
0,214
0,417
0,369
0,42
0,58
Polish Red
7
0,286
0,143
0,571
0,36
0,64
138
0,159
0,362
0,479
0,31
0,69
Total
Keterangan: N = jumlah individu Sumber : Kubiak et al. (2004)
Keragaman genetik dalam suatu populasi digunakan untuk mengetahui dan melestarikan bangsa-bangsa dalam populasi yang terkait dengan penciri sifat khusus dan menentukan hubungan antar subpopulasi yang terfragmentasi dalam suatu spesies (Hartl dan Clark, 1997). Menurut Li dan Graur (2000), keragaman genetik antara subpopulasi dapat diketahui dengan melihat persamaan dan perbedaan frekuensi alel dan genotipe diantara subpopulasi.
18
Keragaman gen CAST|AluI pada kelima sapi Indonesia bersifat polimorfik dengan ditemukannya frekuensi alel kurang dari 0,99. Menurut Nei (1987), suatu alel dikatakan polimorfik jika memiliki frekuensi alel sama dengan atau kurang dari 0,99 atau lebih dari 1% (Nei dan Kumar, 2000). Tingginya frekuensi alel G pada semua populasi sapi lokal Indonesia diduga akibat seleksi dan manajemen perkawinan yang dilakukan oleh peternak. Seleksi merupakan suatu proses yang melibatkan kekuatankekuatan untuk menentukan ternak mana yang boleh berkembang biak pada generasi selanjutnya (Noor, 2010). Seleksi yang dilakukan peternak yaitu mempertahankan individu-individu yang memilki alel G dibandingkan dengan individu-individu yang memiliki alel C. Menurut Noor (2010), faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi gen adalah seleksi, mutasi, pencampuran populasi, silang dalam, silang luar dan genetic drift. Keseimbangan Gen dalam Populasi Hasil uji chi-square (X2), terhadap genotipe fragmen gen CAST|AluI (Lampiran 4) menunjukkan bahwa frekuensi gen dalam keadaan seimbang pada populasi
sapi
Madura,
sapi
Pesisir,
sapi
Aceh,
dan
sapi
Katingan.
Ketidakseimbangan genotipe hanya terjadi pada populasi sapi Bali yang terdapat di Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali. Keseimbangan frekuensi genotipe pada sapi Madura, sapi Pesisir, sapi Aceh, dan sapi Katingan menunjukkan bahwa pada populasi tersebut tidak terjadi seleksi terutama seleksi yang dilakukan terhadap gen CAST, sebaliknya ketidakseimbangan frekuensi genotipe sapi Bali di Balai Pembibitan Ternak Unggul disebabkan oleh seleksi yang secara tidak langsung berhubungan dengan gen CAST. Hukum Hardy-Weinberg menggambarkan keseimbangan suatu lokus dalam populasi diploid yang mengalami perkawinan secara acak yang bebas dari faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya proses evolusi seperti mutasi, migrasi, dan pergeseran
genetik
(Gillespie,
1998).
Suatu
populasi
dinyatakan 2
dalam 2
keseimbangan Hardy-Weinberg, jika frekuensi genotipe (p , 2pq, dan q ) dan frekuensi alel (p dan q) konstan dari generasi ke generasi akibat penggabungan gamet yang terjadi secara acak. Populasi yang cukup besar tidak akan berubah dari satu generasi ke generasi lainnya jika tidak ada seleksi, migrasi, mutasi, dan genetic drift (Noor, 2008). 19
Pendugaan Nilai Heterozigositas Pendugaan nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) gen CAST|AluI pada bangsa sapi Indonesia tersaji pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai Heterozigositas Pengamatan (Ho) dan Heterozigositas Harapan (He) gen CAST|AluI pada Bangsa Sapi Indonesia Ternak Sapi
N
Heterozigositas Ho
He
Bali
102
0,127
0,244
Madura
68
0,279
0,318
Pesisir
49
0,347
0,337
Aceh
13
0,385
0,311
Katingan
50
0,220
0,255
Keterangan: N = jumlah individu
Pada Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai heterozigositas yang paling tinggi ditemukan pada sapi Aceh (0,385), sebaliknya nilai heterozigositas terendah ditemukan pada sapi Bali (0,127). Meskipun demikian, hasil yang diperoleh masih memiliki keterbatasan ukuran jumlah sampel yang digunakan terutama pada populasi sapi Pesisir, sapi Madura, sapi Aceh, dan sapi Katingan yang memiliki jumlah sampel relatif sedikit.
Menurut Diyono (2009), nilai heterosigositas dipengaruhi oleh jumlah sampel, jumlah alel dan frekuensi alel. Heterozigositas menggambarkan adanya variasi genetik pada suatu populasi. Semakin tinggi nilai heterozigositas pada suatu populasi maka tinggi pula variasi genetik pada populasi tersebut (Ferguson, 1980). Menurut Marson et al. (2005) pendugaan nilai heterozigositas dapat digunakan untuk mendapatkan
gambaran variabilitas genetik pada suatu populasi. Keragaman genetik dapat diukur secara akurat dengan nilai heterosigositas (ĥ) (Nei, 1987). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sapi Pesisir dan sapi Aceh memiliki nilai heterosigositas pengamatan (Ho) yang lebih tinggi dari nilai heterosigositas harapan (He) dengan nilai Ho masing-masing 0,347 dan 0,385. Nilai heterosigositas harapan (He) lebih tinggi dari nilai heterosigositas pengamatan (Ho) ditemukan pada sapi Bali, sapi Madura dan sapi Katingan. Hartl dan Clark (1997) menyatakan bahwa nilai heterozigositas pengamatan (Ho) dan nilai heterozigositas harapan (He) dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga nilai koefisien biak dalam
20
(inbreeding) pada suatu kelompok ternak. Tambasco et al. (2003) juga menyatakan bahwa jika terjadi perbedaan yang besar antara nilai heterozigositas pengamatan (H o) dan nilai heterozigositas harapan (He) maka dapat dijadikan sebagai indikator adanya ketidakseimbangan genotipe pada populasi yang dianalisis. Nilai heterozigositas pengamatan (Ho) lebih rendah dari heterozigositas harapan (He) dapat dijadikan indikasi adanya derajat endogami (perkawinan dalam kelompok) sebagai akibat dari proses seleksi yang intensif (Machado et al., 2003). Menurut Moioli et al. (2004) nilai heterozigositas harapan (He) merupakan indikator yang baik sebagai penciri genetik yang dapat menunjukkan keragaman genetik pada suatu populasi ternak domestik.
21