BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batu Saluran Kemih 2.1.1 Proses Pembentukan Batu Saluran Kemih 1260
SECTION XI ● Urinary Lithiasis and Endourology
Water
Batu saluran kemih merupakan agregat polycrystalline yang
terbentuk
dari
is called the thermodynamic solubility product, K , which berbagaisaturation macam kristaloid dan matriks is the point at which the dissolved and crystalline components
The beneficial effect of a high fluid intake on stone prevention has long been recognized. In two large observational studies, fluid intake was found to be inversely related to the risk of incident kidney stone formation (Curhan et al, 1993, 1997). Furthermore, in a prospective, randomized trial assessing the effect of fluid intake on stone recurrence among first-time idiopathic calcium stone formers, urine volume was significantly higher in the group assigned to a high fluid intake compared with the control group receiving no recommendations, and, accordingly, stone recurrence rates were significantly lower (12% vs. 27%, respectively) (Borghi et al, 1996). Geographic differences in the incidence of stone disease have been ascribed in some cases to differences in the mineral and electrolyte content of water in different areas. Although several investigators reported a lower incidence of stone disease in geographic regions with a “hard” water supply compared with a “soft” water supply, where water “hardness” is determined by content of calcium carbonate (Churchill et al, 1978; Sierakowski et al, 1979), others found no difference. Schwartz and colleagues (2002) found no association between water hardness and incidence of stone episodes, although they did observe a correlation between water hardness and urinary magnesium, calcium, and citrate levels.
sp
organik.
are in equilibrium for a specific set of conditions. At this point, addition of further crystals to the saturated solution will cause the crystals to precipitate unless the conditions of the solution, such as pH or temperature, are changed. In urine, despite concentration products of stoneforming salt components such as calcium oxalate that exceed the solubility product, crystallization does not necessarily occur because of the presence of inhibitors and other molecules that allow higher concentrations of calcium oxalate to be held in solution before precipitation or crystallization occurs. In this state of saturation, urine is considered to be metastable with respect to the salt. As concentrations of the salt increase further, the point at which it can no longer be held in solution is reached and crystals form. The concentration product at this point is called the formation product, Kf. The solubility product and the formation product differentiate the three major states of saturation in urine: undersaturated, metastable, and unstable (Fig. 45–2). Below the solubility product, crystals will not form under any circumstances and dissolution of crystals is theoretically possible. At concentrations above the formation product, the solution is unstable and crystals will form. In the metastable range, between the solubility product and the formation product and in which the concentration products of most common stone components reside, spontaneous nucleation
Terbentuknya batu dipengaruhi oleh saturasi urin. Saturasi urin bergantung pada pH urin, ion-ion, konsentrasi zat terlarut, dan lain lain.
Hubungan antara konsentrasi zat terlarut dengan terbentuknya batu
sangat jelas. semakin besar konsentrasi ion, maka kemungkinan ion akan mengendap akan semakin tinggi. Apabila konsentrasi ion meningkat, ion akan mencapai suatu titik yang disebut solubility product (Ksp). Bila konsentrasi ion meningkat diatas titik ini, maka akan dimulai proses perkembangan kristal dan nukleasi.
Key Points: Epidemiology Upper urinary tract stones occur more commonly in men than women, but there is evidence that the gender gap is narrrowing. ● Whites have the highest incidence of upper tract stones compared with Asians, Hispanics, and African-Americans. ● Prevalence of stone disease shows geographic variability, with the highest prevalence of stone disease in the Southeast. ● The risk of stone disease correlates with weight and body mass index.
Phenomena
●
PHYSICOCHEMISTRY
Nucleation will occur Inhibitors not generally effective Formation product Crystal growth will occur Concentration product
The physical process of stone formation is a complex cascade of events that occurs as the glomerular filtrate traverses the nephron. It begins with urine that becomes supersaturated with respect to stone-forming salts, such that dissolved ions or molecules precipitate out of solution and form crystals or nuclei. Once formed, crystals may flow out with the urine or become retained in the kidney at anchoring sites that promote growth and aggregation, ultimately leading to stone formation. The discussion that follows describes the process of stone formation from a physicochemical standpoint.
State of Saturation A solution containing ions or molecules of a sparingly soluble salt is described by the concentration product, which is a mathematic expression of the product of the concentrations of the pure chemical components (ions or molecules) of the salt. For example, the concentration product (CP) expression for sodium chloride is CP = [Na+][Cl−]. A pure aqueous solution of a salt is considered saturated when it reaches the point at which no further added salt crystals will dissolve. The concentration product at the point of
Crystal aggregation will occur Inhibitors will impede or prevent crystallization De novo nucleation is very slow Heterogeneous nucleation may occur Matrix may be involved Solubility product Crystals will not form Existing stones may dissolve
0 Figure 45–2. States of saturation. Listed are solid-solution phenomena that are likely to occur at a given range of concentration products. Three general situations are considered: (1) concentrations less than the solubility product (undersaturation), (2) concentrations that are metastable with respect to de novo precipitation (between the solubility product and the formation product), and (3) concentrations that are th product (unstable). (From Meyer JL. greater than the formation Physicochemistry of stone formation. In: Resnick MI, Pak CYC, editors. Urolithiasis: a medical and surgical reference. Philadelphia: WB Saunders; 1990. p. 11–34.)
Gambar 2.1. Tahapan saturasi urin
Sumber : Campbell-Walsh Urology 10 Edition. Urinary Lithiasis. Pearle,
M. 45;1257
Universitas Sumatera Utara
Teori nukleasi menegaskan bahwa batu saluran kemih terbentuk dari kristal-kristal atau benda asing dari urin yang kadarnya jenuh. Akan tetapi, batu tidak selalu terbentuk dari pasien yang tinggi tingkat eksresinya atau beresiko dehidrasi. Teori inhibitor kristal merupakan teori lain pada pembentukan batu. Menurut teori ini, batu terbentuk karena rendahnya konsentrasi ion-ion yang menjadi inhibitor alami dari batu tersebut seperti magnesium, sitrat dan pirofosfat. Akan tetapi, validitas teori ini masih dipertanyakan, akibat banyak orang yang mengalami defisiensi ion-ion tersebut tidak mengalami gangguan batu saluran kemih (Stoller, 2008) Bahan utama pembentuk batu adalah komponen kristalin. Terdapat beberapa tahap dalam pembentukan kristal yaitu nukleasi, growth, dan agregasi. Nukleasi merupakan awal dari proses pembentukan batu dan dipengaruhi oleh berbagai substansi seperti matriks proteinaceous, benda asing, dan partikel lain. Nukleasi heterogen (epitaxy) merupakan jenis nukleasi yang umum terjadi pada pembentukan batu. Hal ini disebabkan nukleasi heterogen membutuhkan energi yang lebih sedikit daripada nukleasi homogen. Sebuah tipe kristal akan menjadi nidus untuk nukleasi tipe kristal lain, contohnya kristal asam urat akan menjadi nidus untuk nukleasi kalsium oksalat (Stoller, 2008) Komponen matriks pada batu bervariasi tergantung jenis batu. Komponen matriks biasanya hanya 2-10% dari berat batu tersebut. Komposisi matriks yang dominan adalah protein dengan sedikit hexose atau hexosamine. Peran matriks pada inisiasi pembentukan batu masih belum diketahui secara sempurna. Matriks dapat berperan sebagai nidus untuk agregasi kristal atau sebagai perekat komponen-komponen kristal kecil (Stoller, 2008). Urin normal mengandung chelating agent seperti sitrat, yang menghambat proses nukleasi, pertumbuhan dan agrefasi kristal-kristal yang mengandung ion kalsium. Inhibitor lainnya adalah calgranulin, TammHorsfall protein, glycosaminoglycans, uropontin, nephrocalcin, dan lain lain. Mekanisme biokimia mengenai hubungan antara substansi tersebut dengan pembentukan batu masih belum dipahami seluruhnya, akan tetapi
Universitas Sumatera Utara
bila pada pemeriksaan substansi tersebut kadarnya dibawah normal, maka akan terjadi agregasi kristal yang akan membentuk batu (Coe et al, 2005). Nephrocalcin ,glikoprotein yang bersifat asam dan disekresikan oleh ginjal, dapat menghambat nukleasi, pertumbuhan dan agregasi dari kalsium oksalat (Pearle et al, 2012) Batu saluran kemih biasanya terbentuk dari kombinasi berbagai faktor, dan jarang terbentuk dari kristal yang tunggal. Batu lebih sering terbentuk pada pasien dengan konsumsi protein hewani yang tinggi atau konsumsi cairan yang kurang. Batu juga dapat terbentuk dari kondisikondisi metabolic seperti distal renal tubular acidosis, Dent’s disease, hyperparathyroidism, dan hyperoxalouria (Coe et al, 2005) 2.1.2 Jenis Batu Saluran Kemih 2.1.2.1 Batu Kalsium Kalsium yang didapat dari makanan diserap sebanyak 30-40% di usus halus dan 10% diserap di usus besar. Absorpsi kalsium bervariasi bergantung pada konsumsi kalsium tersebut. Kalsium diserap pada fase ionik, dan penyerapan kalsium tidak sempurna karena pembentukan kompleks kalsium pada lumen usus. Substansi yang dapat menghasilkan kompleks kalsium adalah fosfat, sitrat, oksalat, sulfat dan asam lemak (Pearle et al, 2012). Kalsifikasi dapat berlangsung dan berakumulasi pada duktus pengumpul, menghasilkan batu saluran kemih. Kira-kira 80-85% dari seluruh kejadian batu adalah batu kalsium. Batu kalsium sangat sering terjadi akibat kenaikan kadar kalsium dalam urin, kenaikan kadar asam urat dalam urin, naiknya kadar oksalat dan menurunnya sitrat dalam urin (Stoller, 2008) Hiperkalsiuria merupakan kelainan yang paling sering ditemukan pada pasien dengan batu kalsium. Akan tetapi, peran hiperkalsiuria pada pembentukan batu masih kontroversial. Investigasi terakhir menyatakan bahwa plak adalah perkursor yang potensial pada pembentukan batu kalsium dan angkanya berhubungan langsung dengan kadar kalsium dalam
Universitas Sumatera Utara
urin dan angka kejadian batu. (Pearle et al, 2012). Konsentrasi kalsium dalam urin yang tinggi menyebabkan meningkatnya saturasi garam kalsium pada urin dan menurunnya aktivitas inhibitor seperti sitrat dan kondroitin sulfat (Stoller, 2008). a. Absorptive Hypercalciuric Nephrolithiasis Konsumsi kalsium normal rata-rata per hari adalah 900-1000 mg. Kira-kira 150-200 mg akan dieksresikan melalui urin. Absorptive hypercalciuria (AH) adalah suatu keadaan meningkatnya absorpsi kalsium pada usus halus, terutama jejunum. Hal ini diakibatkan meningkatnya jumlah kalsium yang disaring oleh glomerulus, mengakibatkan surpresi dari hormon paratiroid. Selanjutnya, reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal akan menurun, mengakibatkan hiperkalsiuria. Kaskade fisiologis ini adalah sebagai respon dari meningkatnya absorpsi kalsium di usus halus. (Stoller, 2008) AH terbagi atas 3 tipe yaitu tipe I, II, dan III. Tipe I AH bersifat independen dari diet dan merupakan 15% dari seluruh kasus batu kalsium. Pada AH tipe I, terdapat peningkatan kadar kalsium dalam urin meskipun dilakukan restriksi diet kalsium. Tipe II AH merupakan penyebab batu saluran kemih yang cukup umum dan bergantung pada diet. Pada tipe II AH, eksresi kalsium normal pada restriksi kalsium diet. Pasien harus membatasi konsumsi kalsium sekitar 400-600mg/hari. Tipe III AH disebabkan kebocoran fosfat pada ginjal. Menurunnya kadar fosfat mengakibatkan meningkatnya sintesis 1, 25-dihidroksivitamin D. Kaskade fisiologis tersebut akan meningkatkan absorpsi fosfat dan kalsium pada usus dan meningkatnya eksresi kalsium dari ginjal, mengakibatkan hiperkalsiuria (Pearle et al, 2012). b. Resorptive Hypercalciuric Nephrolithiasis Sekitar
separuh
dari
pasien
dengan
hiperparatiroid
primer
mengalami batu saluran kemih. Pasien dengan batu kalsium fosfat, wanita dengan batu kalsium berulang harus dicurigai memiliki hiperparatiroid.
Universitas Sumatera Utara
Hiperkalsemia merupakan tanda umum dari hiperparatiroid. Hormon paratiroid menghasilkan peningkatan kadar fosfor dalam urin dan menurunnya kadar fosfor dalam plasma, diikuti dengan meningkatnya kalsium plasma dan urin. c. Renal Hypercalciuria Ginjal menyaring sekitar 270 mmol kalsium dan melakukan reabsorpsi lebih dari 98% diantaranya untuk mempertahankan homeostasis kalsium. Sekitar 70% reabsorpsi kalsium berlangsung di tubulus proksimal. Reabsorpsi kalsium tersebut berlangsung secara paraselular. Pada
hiperkalsiuria
renal,
kerusakan
pada
tubulus
ginjal
mengakibatkan gangguan pada reabsorpsi kalsium. Hal ini menyebabkan meningkatnya kadar kalsium dalam urin. Kadar kalsium dalam serum tetap normal disebabkan ginjal yang kehilangan kalsium dikompensasi oleh meningkatnya absorpsi kalsium melalui pencernaan dan mobilisasi kalsium dari tulang diakibatkan peningkatan hormon paratiroid (Pearle et al, 2012). d. Hyperoxalouric calcium nephrolithiasis Hyperoxalouric
calcium
nephrolithiasis
disebabkan
oleh
meningkatnya kadar oksalat dalam urin yaitu diatas 40 mg dalam 24 jam. Biasanya hal ini ditemukan pada pasien dengan inflammatory bowel disease, diare kronik, dan dehidrasi berat dan jarang ditemukan yang diakibatkan oleh konsumsi oksalat yang berlebih. Diare kronik yang menyebabkan malabsorpsi mengakibatkan meningkatnya kadar lemak dan empedu. Kalsium intralumen akan berikatan dengan lemak, menyebabkan terjadinya proses sponifikasi. Kadar kalsium yang rendah menyebabkan kalsium yang seharusnya berikatan dengan oksalat menurun. Oksalat yang bebas siap untuk diserap dan tidak terpengaruh dengan inhibitor-inhibitor. Absorpsi oksalat yang meningkat mengakibatkan meningkatnya pembentukan produk dari kalsium oksalat. Hal ini mengakibatkan potensi terjadinya nukleasi dan pertumbuhan kristal (Pearle et al, 2012).
Universitas Sumatera Utara
e. Hypocitraturic calcium nephrolithiasis Sitrat merupakan inhibitor penting dari batu saluran kemih. Meningkatnya permintaan metabolic di mitokondria sel-sel ginjal menyebabkan menurunnya eksresi urin. Hal ini terjadi pada asidosis metabolik,
hipokalemia,
puasa,
hipomagnesia,
androgen
dan
glukoneogenesis (Pearle et al, 2012). Bila membentuk kompleks dengan kalsium, akan menurunkan konsentrasi kalsium dan menurunnya energi untuk nukleasi. Sitrat juga menghambat agglomerasi, nukleasi spontan dan pertumbuhan kristal dari kalsium oksalat dan menurunkan kadar monosodium urat (Pearle et al, 2012). 2.1.2.2 Batu Struvite Menurut Griffith (1978) dalam Sellaturay (2011), batu struvite dibentuk dari magnesium, ammonium dan fosfat. Pertama kali ditemukan oleh Ulex, seorang geologis asal Swedia pada abad ke-18. Nama ‘struvite’ berasal dari diplomat dan ilmuwan Rusia H.C.G von Struve. Brown menemukan bahwa bakteri akan memecah urin dan memfasilitasi pembentukan batu. Ia mengisolasi Proteus vulgaris dari inti batu yang sekarang diketahu mensekresikan urease. Batu struvite umumnya ditemukan pada wanita dan sering berulang dalam waktu singkat. Mikroorganisme lain yang memecah urea dan dapat menyebabkan batu struvite adalah Proteus, Pseudomonas, Providencia, Klebsiella, Staphylococci, dan Mycoplasma. Kadar amonia yang tinggi dari organisme-organisme tersebut mengakibatkan alkalinisasi pH urin sampai 7,2 sehingga kristal MAP akan mengendap (Stoller, 2008). Untuk membentuk batu struvite, urin harus mengandung amonia dan ion trivalent fosfat pada saat yang sama. Tubulus ginjal hanya menghasilkan amonia apabila organisme mengeksresikan asam, akan tetapi ion trivalent
Universitas Sumatera Utara
stituent ions for infection stone formation: H2PO4 − → H+ + HPO42 − HPO42 − → H+ + PO43−
pK = 7.2 pK = 12.4
This chemical cascade, along with physiologic concentrations of magnesium, provides the constituents necessary for precipitation of struvite. In addition, the concentrations of calcium, phosphate, and carbonate allow precipitation of carbonate apatite and hydroxyapatite, thereby comprising the components of infection stones (Fig. 45–14). Although infection stones are a direct result of persistent or recurrent infection with urease-producing bacteria, they may also be associated with or exacerbated by urinary obstruction or stasis (Bichler et al, 2002). As such, growth of infection stones can progress at a rapid rate (Hinman, 1979).
Bacteria may be involved in stone formation by damaging th mucosal layer of the urinary tract, resulting in both increase bacterial colonization and crystal adherence (Parsons et al, 198 Grenabo et al, 1988). It has been proposed that ammonium, gen erated as a result of urealysis, may alter the glycosaminoglyca layer present on the surface of the transitional cell layer and si nificantly increase bacterial adherence to normal bladder mucos further exacerbating infection risk (Parsons et al, 1984). In add tion, a study in rats found that injury to the bladder mucos increased crystal adherence to the bladder wall, a process that wa potentiated by the presence of common bacteria such as Proteu E. coli, Enterococcus, and Ureaplasma urealyticum (Grenabo et a 1988). Another potential mechanism for increased stone form tion in the presence of bacteria is the finding that particula bacteria, such as E. coli and Proteus, may alter the activity of uro kinase and sialidase, whereas organisms not typically associate
fosfat tidak tersedia pada saat urin bersifat asam, oleh karena itu batu
struvite tidak terbentuk saat kondisi fisiologis. Pada kondisi patologis, dimana terdapat bakteri yang menghasilkan urease, urea akan dipecah
menjadi amonia dan asam karbonat. Selanjutnya, amonia akan bercampur Bacteriology
dengan Although air untuk menghasilkan ammonium hidroksida pada kondisi basa, the family Enterobacteriaceae comprises the majority of urease-producing pathogens, a variety of gram-positive and
gram-negative bacteria and some yeasts dan and Mycoplasma species Alkalinisasi dan akan menghasilkan bikarbonat ion karbonat. urin oleh Table 45–4. have the capacity to synthesize urease (Table 45–4). The most common urease-producing pathogens are Proteus, 4 Klebsiella, Pseudomonas, and Staphylococcus species (Griffith and Osborne, 1987), with Proteus mirabilis the
Organisms That May Produce Urease
reaksi urease tadi menghasilkan NH , yang akan membentuk ion karbonat ORGANISMS
USUALLY (>90% OF ISOLATES)
OCCASIONALLY (5%-30% OF ISOLATES)
Proteus rettgeri Proteus vulgaris Proteus mirabilis Proteus morganii Providencia stuartii Haemophilus influenzae Bordetella pertussis Bacteroides corrodens Yersinia enterocolitica Brucella species Flavobacterium species Staphylococcus aureus Micrococcus Corynebacterium ulcerans Corynebacterium renale Corynebacterium ovis Corynebacterium hofmannii T-strain Mycoplasma Ureaplasma urealyticum Cryptococcus Rhodotorula Sporobolomyces Candida humicola Trichosporon cutaneum
Klebsiella pneumoniae Klebsiella oxytoca Serratia marcescens Haemophilus parainfluenzae Bordetella bronchiseptica
dan ion trivalent fosfat. Inilah yang akan membentuk batu struvite Gramnegative
(Sellaturay, 2011) Mg2+
Proteus mirabilis ↑pH Urease (NH2)2CO + H2O → 2NH3 + CO2
Struvite (MgNH4PO4) Grampositive
NH3 + H2O → OH– + NH4+
Infection stone
H2PO4– → H+ + HPO42– HPO42– → H+ + PO43– CO2 + H2O → H2CO3 H2CO3 → H+ + HCO3–
Hydroxyapatite (Ca5(PO4)3OH) Carbonate apatite (Ca5(PO4)3CO3)
Mycoplasma
Yeasts
HCO3– → H+ + CO32– Ca2+ Figure 45–14. Schematic depicting concurrent events leading to struvite stone formation. (From Johnson DB, Pearle MS. Struvite stones. In Stoller ML, Meng MV. editors. Urinary stone disease: the practical guide to medical and surgical management. Totowa th [NJ]: Humana Press; 2007.)
Aeromonas hydrophila Pseudomonas aeruginosa Pasteurella species
Staphylococcus epidermidis Bacillus species Corynebacterium murium Corynebacterium equi Peptococcus asaccharolyticus Clostridium tetani Mycobacterium rhodochrous group
Gambar 2.2. Skema pembentukan batu struvite From Gleeson MJ, Griffith DP. Infection stones. In: Resnick MI, Pak CYC, editor
Urolithiasis: a medical and surgical reference. Philadelphia: WB Saunders; 199
p. 115. Sumber : Sumber : Campbell-Walsh Urology 10 Edition. Urinary Lithiasis.
Pearle, M. 45;1283 2.1.2.3 Batu Asam Urat Batu asam urat merupakan jenis batu yang lazim ditemukan pada pria dan memiliki angka kejadian 5% dari seluruh kejadian batu. Pasien dengan gout, penyakit proliferatif, penurunan berat badan yang cepat serta riwayat penggunaan obat-obat sitotoksik memiliki insiden yang tinggi pada batu asam urat. Tidak seluruh pasien dengan batu asam urat mengalami hiperurisemia,. Naiknya kadar asam urat dalam urin dipicu oleh kurangnya cairan dan konsumsi purin yang berlebihan.
Universitas Sumatera Utara
have normal uric acid excretion but invariably demonstrate persistent low urine pH (Pak et al, 1985, 2003a). Uric acid stones can develop as a result of congenital, acquired, or idiopathic causes. Congenital disorders associated with uric acid stones involve renal tubular urate transport or uric acid metabolism, leading to hyperuricosuria. Acquired causes of uric acid stones such as chronic diarrhea, volume depletion, myeloproliferative disorders, high animal protein intake, and uricosuric drugs affect any of the three factors determining uric acid stone Terdapat may 3 faktor utama pada pembentukan batu asam urat yaitu pH ept humans and Dalmatians, synthesize the formation. Patients with “gouty diathesis” or idiopathic low urine pH volume typically demonstrate fractional excretion of urate case, which catalyzes the conversion of uric urin yang rendah, urin yang decreased rendah dan hyperuricosuria. Faktor end product of purine metabolism (Yu, 1981; and do not have gout (Maalouf et al, 2004a). Patients with gouty diathesis differ those withrendah hyperuricosuric nephro4). Consequently, humans accumulate signifipatogenesis utama adalah pHfrom urin yang karenacalcium umumnya pasien of uric acid in their blood and urine (Watts, lithiasis in that the former generally have normal urinary uric acid dengan asam uran memiliki kadar eksresi urat yang normal (Pak levels and acidic urine, whereas the asam latter have hyperuricosuria ause allantoin is 10 to 100 times more batu soluble acid, humans are prone to uric acid stone and normal urine pH. Patients with hyperuricosuria frequently et al, 2003). have high urinary sodium and calcium levels leading to increased
um and therefore to decrease urinary saturalate in vitro (Khan et al, 1993) and in vivo ), two randomized trials comparing magnecebo or no treatment in stone formers have 1984; Ettinger e clinical benefit (Wilson et al,
ones
Uric acid nephrolithiasis
hysiology and etiology of uric acid hree major pathophysiologic ribute to uric acid nephrolithiasis are w urinary pH, and hyperuricosuria. Each can result from diverse etiologies. The genetic factor is low urinary pH. (From n MA, Moe OW, Sakhaee K. Novel ogenesis of uric acid nephrolithiasis. ypertens 2004;13:181–9.)
Low urine volume
Low urinary pH
Diarrheal states
Hyperuricosuria
High animal protein diet Primary gout
Obesity ↔ Insulin resistance
Myeloproliferative disorders
Uricosuric medications
Congenital disorders
Gambar 2.3. Skema pembentukan batu asam urat Sumber : Campbell-Walsh Urology 10th Edition. Urinary Lithiasis. Pearle, M. 45;1277 Hiperurikosuria menjadi faktor predisposisi pada pembentukan batu asam urat dan batu kalsium oksalat karena menyebabkan supersaturasi urin. Pasien dengan kadar asam urat dalam urin dibawah 600mg/hari memiliki batu yang lebih sedikit dari pasien yang memiliki kadar asam urat diatas 1000mg/hari dalam urin. Batu asam urat dapat dihasilkan secara kongenital, didapat, atau idiopatik. Kelainan congenital yang berhubungan dengan batu asam urat melibatkan transpor urat di tubulus ginjal atau metabolisme asam urat menyebabkan hiperurikosuria. Kelainan didapat dapat berupa diare kronik, turunnya volume urin, penyakit-penyakit myeloproliferatif, tingginya konsumsi protein hewani, dan obat obatan yang menyebabkan 3 faktor diatas (Pearle et al, 2012). 2.1.3. Manifestasi Klinis dan Evaluasi Pasien Batu Saluran Kemih
Universitas Sumatera Utara
Banyak gejala serta tanda yang dapat menyertai penyakit batu saluran kemih. Walaupun begitu, ada juga beberapa batu yang tidak menunjukkan gejala atau tanda khusus tetapi ditemukan pada hasil pemeriksaan radiologi. Gejala-gejala yang sering timbul pada pasien dapat berupa nyeri, hematuria, mual, muntah, demam, dan gangguan buang air kecil seperti frekuensi, urgensi dan disuria. (Pahira & Pevzner, 2007). Nyeri merupakan gejala yang paling sering menyertai penyakit batu saluran kemih, mulai dari nyeri sedang sampai nyeri berat yang memerlukan pemberian analgesik. Nyeri biasanya terjadi pada batu di saluran kemih bagian atas, dengan karakter nyeri bergantung pada lokasi batu, ukuran batu, derajat obstruksi, dan kondisi anatomis setiap orang yang berbeda-beda. Nyeri yang terjadi dapat berupa kolik maupun nonkolik (Pearle et al, 2012) Nyeri kolik pada ginjal biasanya terjadi diakibatkan meregangnya ureter atau collecting duct, diakibatkan adanya obstruksi saluran kemih. Obstruksi
juga
menyebabkan
meningkatnya
tekanan
intraluminal,
meregangnya ujung-ujung saraf, dan mekanisme lokal pada lokasi obstruksi seperti inflamasi, edema, hiperperistaltik dan iritasi mukosa yang berpengaruh pada nyeri yang dialami oleh pasien (Stoller, 2008) Pada obstruksi di renal calyx, nyeri yang terjadi berupa rasa nyeri yang dalam pada daerah flank atau punggung dengan intensitas bervariasi. Nyeri dapat muncul pada konsumsi cairan yang berlebihan. Pada obstruksi renal pelvic dengan diameter batu diatas 1 cm, nyeri akan muncul pada sudut costovertebra. Nyeri yang timbul dapat berupa nyeri yang redup sampai nyeri yang tajam yang konstan dan tidak tertahankan, dan dapat merambat ke flank dan daerah kuadran abdomen ipsilateral (Stoller, 2008). Obstruksi di proximal ureter menimbulkan nyeri pada sudut kostovertebra yang intens dan dapat merambat sepanjang dermatom dari saraf spinal yang terpengaruh. Pada obstruksi ureter bagian atas, nyeri merambat ke daerah lumbal, sementara pada obstruksi midureter nyeri merambat ke daerah lower abdomen. Obstruksi di ureter bagian distal cenderung menyebabkan nyeri yang merambat ke daerah lipat paha dan testis pada pria atau labia mayora pada wanita. Rambatan nyeri tersebut
Universitas Sumatera Utara
dihantarkan melalui nervus ilioinguinal atau cabang genital dari nervus genitofemoral (Stoller, 2008). Insiden hematuria pada pasien batu saluran kemih diperkirakan mencapai 90% berdasarkan teori yang ada. Akan tetapi, tidak adanya hematuria tidak menjadi jaminan bahwa batu saluran kemih tidak terjadi. Diperkirakan 10% pasien memiliki hasil negatif pada pemeriksaan mikroskopi dan dipstick (Lallas et al, 2011) Pemeriksaan urinalisis lengkap diperlukan untuk memastikan diagnosa batu saluran kemih berdasarkan hematuria dan kristaluria dan pH urin. Pasien biasanya mengeluhkan warna urin yang seperti teh pekat. Pada 10-15 % kasus, mikrohematuria tidak terjadi akibat obstruksi komplit dari ureter. Demam yang berhubungan dengan adanya batu saluran kemih menunjukkan suatu kondisi hjjjjj gawat darurat. Demam merupakan salah satu dari gejala sepsis selain takikardi, hipotensi dan vasodilatasi. Sementara itu, mual dan muntah terjadi akibat kolik yang dirasakan oleh pasien (Stoller, 2008). Tabel 2.1 Hal-hal yang Perlu Dipertimbangkan dalam Identifikasi Pasien Batu Saluran Kemih Hal-hal yang perlu digali dalam
Pertanyaan yang diajukan
anamnesis Kronologis kejadian batu
Usia, ukuran batu, jumlah batu, ginjal yang dipengaruhi oleh batu, batu keluar spontan atau dilakukan intervensi, infeksi terkait, gejala yang terjadi
Penyakit penyerta
Chrohn’s disease, colectomy, sarcoidosis, hyperparathyroidism, hyperthyroidism, gout,
Riwayat keluarga yang mengalami batu saluran kemih
Universitas Sumatera Utara
Riwayat pemakaian obat
Acetazolamide, asam askorbat, kortikosteroid, antasida yang mengandung kalsium, triamterene, acyclovir, indinavir
Pekerjaan dan gaya hidup Sumber : Penn Clinical Manual of Urology (2008). Urinary Stone Disease. Pahira, J dan Pevzner, M;8:24 Setelah menggali riwayat pasien, evaluasi yang dilakukan adalah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik yang detail merupakan komponen penting dalam evaluasi pasien dengan batu saluran kemih. Hal-hal yang dapat
dilihat
seperti
takikardia,
berkeringat,
mual,
demam,
dan
menyingkirkan kemungkinan kemungkinan kelainan pada abdomen dan lumbal (Pahira dan Pevzner, 2007) Tabel 2.2 Diagnosa Laboratorium Pasien Batu Saluran Kemih Pengukuran Kalsium darah
Kadar normal 8.8-10.3 mg/dl
Tujuan Deteksi hiperparatiroid, kelebihan vitamin D, sarkoidosis
Fosfat darah
2.5-5.0 mg/dl
Deteksi hiperparatiroid
Kreatinin darah
0.6-1.2 mg/dl
Dekteksi Chronic Kidney Disease
Bikarbonat
20-28 mmol/L
Deteksi Renal Tubular Acidosis
Cl- darah
95-105 mmol/L
Deteksi Renal Tubular Acidosis
K+ darah
3.5-4.8 mmol/L
Deteksi Renal Tubular Acidosis,
darah
gangguan makan dan penyakit gastrointestinal Volume urin
>1.5 L/hari
Deteksi volume urin yang rendah akibat batu
Kalsium urin
<300mg/ hari (pria)
Deteksi hiperkalsiuria
<250mg/hari(wanita) Oksalat urin
<40mg/hari
Deteksi hiperoksalouria
pH urin
5.8-6.2
Supersaturasi kalsium fosfat dan
Universitas Sumatera Utara
asam urat Fosfat urin
500-1500 mg/hari
Supersaturasi kalsium fosfat
Sitrat urin
>450mg/hari (pria)
Deteksi kadar sitrat yang rendah
>550mg/hari(wanita) Asam urat
<800mg/hari (pria)
Deteksi hiperurikosuria
<750mg/hari(wanita) Sumber : Calcium Kidney Stone (2010). Worchester, E.M. Pemeriksaan anjuran selanjutnya adalah pemeriksaan radiologi. Bila tersedia, pemeriksaan ultrasonografi merupakan instrumen diagnostik radiologi yang utama pada pasien. Ultrasonografi dapat mengidentifikasi lokasi batu pada calyx, pelvis, ureter, dan lain-lain. Di Amerika Serikat, pada pasien batu saluran kemih, pemeriksaan ultrasonografi memiliki sensitivitas 78% dan spesifisitas 31% (Turk et al, 2013). Selain ultrasonografi, pemeriksaan radiologi lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan foto polos. Foto polos (KUB) dapat digunakan untuk melihat posisi batu di ginjal, ureter, dan kandung kemih. KUB memiliki sensitivitas 90% dalam mendeteksi batu saluran kemih, dan 92% batu dapat ditentukan melalui tindakan ini (Turk et al, 2013). KUB dapat dijadikan pilhan untuk pemeriksaan yang cepat, ekonomis dan akurat. Akan tetapi, foto polos tidak dapat digunakan untuk mendeteksi batu yang bersifat non-opaque dan batu berukuran dibawah 2 mm (Pahira dan Pevzner, 2007) IVP (Intravenous Pyelogram) adalah prosedur diagnostik untuk menentukan batu intrarenal dan kondisi anatomi ureter. IVP memiliki sensitivitas dan spesifisits yang tinggi untuk menentukan lokasi batu dan derajat obstruksi. IVP dapat mendeteksi batu radiolucent dan kelainan anatomi yang berhubungan dengan pembentukan batu. (Pahira dan Pevzner, 2007) Non Contrast Computed Tomography (NCCT) telah menjadi standar dalam mendiagnosa nyeri akut menggantikan Intravenous Urography (IVU) yang telah menjadi baku emas selama bertahun-tahun. NCCT juga dpat digunakan untuk diagnosa kelainan peritoneal dan retroperitoneal dan
Universitas Sumatera Utara
membantu bila diagnosa belum pasti. NCCT dapat mendeteksi batu asam urat dan batu xanthine yang bersifat radiolucent pada foto polos. NCCT memiliki sensitivitas 97% dan spesivisitas 96% (Turk et al, 2013). 2.1.4 Penatalaksanaan Batu Saluran Kemih 2.1.4.1 Penatalaksanaan Konservatif Penatalaksanaan konservatif diberikan pada pasien tanpa riwayat batu saluran kemih. Penatalaksanaan non-farmakologis dapat mengurangi insiden rekuren batu per 5 tahun sampai 60%. Penatalaksanaan konservatif berupa : 1. Konsumsi cairan minimal 8-10 gelas per hari dengan tujuan menjaga volume urin agar berjumlah lebih dari 2 liter per hari 2. Mengurangi konsumsi protein hewani sekitar 0,8 – 1,0 gram/kgBB/hari untuk mengurangi insiden pembentukan batu 3. Diet rendah natrium sekitar 2-3 g/hari atau 80-100 mEq/hari efektif untuk mengurangi eksresi kalsium pada pasien dengan hiperkalsiuria 4. Mencegah penggunaan obat-obat yang dapat menyebabkan pembentukan batu seperti calcitrol, suplemen kalsium, diuretic kuat dan probenecid 5. Mengurangi makanan yang berkadar oksalat tinggi untuk mengurangi pembentukan batu. Makanan yang harus dikurangi seperti teh, bayam, coklat, kacang-kacangan dan lain-lain (Pearle et al, 2012)
Universitas Sumatera Utara
CHAPTER 46 ● Evaluation and Medical Management of Urinary Lithiasis
1311
Stone episode (resolved) Conservative measures Previous episode?
No
Yes Hx: Previous episodes Onset of stones Bowel disease Gout
↑ Urine output to 2 liters/day ↓ Sodium intake ↓ Meat intake (all types)
Diabetes Medications Family Hx?
Serum studies 24-hr urine studies
Other stone disease
Uncomplicated calcium stone disease Normocalcemia No bowel disease No UTI
Normocalciuria
Hypercalciuria
Potassium citrate
Thiazides
Hypercalcemia
Uric acid stones
Hyperuricemia (gout)
Cystinuria
Infection stones
Hyperparathyroid investigation
Potassium citrate
Allopurinol
Fluids, tiopronin (Thiola)
Antibiotics
Acetohydroxamic acid for severe cases
Relapse With potassium citrate if urine citrate value is normal
With potassium citrate if ↓ urine citrate
Allopurinol
Figure 46–10. Simplified treatment algorithm for the evaluation and medical management of urinary lithiasis. Hx, history; UTI, urinary tract infection. (Modified from C.Y. Pak.)
Gambar 2.4 Algoritma penatalaksanaan non-invasiv batu saluran kemih treatment, however, the rise in bone density stabilizes and the hypercalciuria but prevented complications commonly Sumber Campbell-Walsh Urology 10thresults Edition. Evaluation and Medical hypocalciuric effect: of thiazide becomes attenuated. These associated with sodium cellulose phosphate therapy. suggest that thiazide treatment may cause a low turnover state of Although side effects are generally mild, they occur in about Management ofa Urinary Pearle,inM. bone that interferes with continuedLithiasis. calcium accretion the46;1331 30% to 35% of patients treated with thiazide. Side effects are skeleton. The “rejected” calcium would then be excreted in urine. usually seen on initiation of treatment but disappear with continIn contrast, bone density is not significantly altered in renal hyper- ued treatment. Lassitude and sleepiness are the most common calciuria, in which thiazide has been shown to cause a decline in symptoms and can occur in the absence of hypokalemia. Potas2.1.4.2 Penatalaksanaan Spesifik intestinal calcium absorption commensurate with a reduction in sium supplementation should always be considered, parurinary calcium. ticularly in patients with evident potassium deficiency, 1. work Batuonkalsium Further this topic has been recently reported (Pak et al, patients on digitalis therapy, and those individuals who 2003a). In this study, 28 patients with absorptive hypercalciuria develop hypocitraturia. Addition of potassium citrate has Untuk tipe been I dapat diberikan diuretik documented to prevent occurrence of hypokalemia and type 1 were managed withAbsorptive thiazide (20) hypercalciuria or indapamide (8) and potassium citrate for 1 to 11 years while maintained on diet low hypochloremic metabolic acidosis in patients undergoing longtiazid 25-50 mg kalsium dalamtherapy urin sampai 150 in calcium oxalate. Serum anduntuk urinary menurunkan chemistry studieskadar and bone term thiazide (Odvina et al, 2003). Occasionally, thiazides mineral density were measured at baseline and at the end of treat- unmask primary hyperparathyroidism (i.e., “thiazide challenge”). mg/hari. Hal ini terjadi melalui turunnya volume urin yang mengakibatkan ment. During treatment, urinary calcium significantly decreased Thiazides may also cause impaired carbohydrate tolerance and but urinary oxalate did not change. Urinary pH and citrate signifi- hyperuricemia. A more distressing complication is decreased libido kompensasi meningkatnya reabsorpsi natriumor sexual dan kalsium tubulus cantly increased, and urinary saturation of calcium oxalate signifidysfunction,diwhich is seen in a small percentage of cantly decreased by 46%. Stone formation rate decreased patients. proksimal. Alternatif lain yang dapat diberikan yaitu chlorthalidone 25-50 significantly from 2.94 to 0.05 per year. Notably, L2-L4 bone mineral density increased significantly by 5.7% compared with Sodium Cellulose Phosphate 1,25-2,5 mg/hari (Stoller, normal mg, peak indapamide value, and by 7.1% compared with normal age- 2008). and Sodium cellulose phosphate (SCP), given orally, is a nonabsorbable gender-matched values. The authors concluded that dietary ion exchange resin that binds calcium and inhibits calcium Pada AH II, combined dilakukanwith restriksi diet kalsium 600 restriction of calcium and tipe oxalate, thia- absorption (Blacklock andmg/hari. Macleod, 1974; Pak et al, 1974; Backman zide and potassium citrate, satisfactorily controlled et al, 1980). Unfortunately, despite early enthusiasm, the
Restriksi diet natrium juga penting untuk menurunkan hiperkalsiuria. Tiazid
Universitas Sumatera Utara
dan suplemen kalium sitrat juga dapat diberikan apabila penatalaksanaan konservatif tidak efektif. Pada AH tipe III, diberikan orthophospate yang akan menurunkan kadar 1,25(OH)2D3 dan meningkatkan kadar inhibitor dalam urin. Tiazid juga diberikan pada renal hiperkalsiuria untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus. Hal ini akan menormalkan kadar kalsium dalam serum dan menurunkan kadar hormon paratiroid. Diet natrium juga dikurangi menjadi
2 g/hari dan menjaga natrium urin dibawah 100
mEq/hari. Pada hiperoksalouria primer, pyridoxine dapat menurunkan produksi oksalat endogen. Dosis pyridoxine yang dianjurkan adalah 100-800 mg/hari. Orthophospate oral juga dapat diberikan dalam dosis 4 kali sehari. Magnesium oral, suplemen kalium sitrat dan konsumsi cairan yang ditambah dapat membantu terapi (Turk et al, 2013) Pasien
dengan
hipositraturia
diberikan
kalium
sitrat
untuk
meningkatkan pH intraselular dan produksi sitrat. Selain kalium sitrat, konsumsi jus lemon setiap hari yang dilarutkan dalam 2 liter air akan meningkatkan kadar sitrat dalam urin (Stoller, 2008). 2. Batu asam urat Untuk pasien dengan batu asam urat, penatalaksanaan harus dilakukan adalah penatalaksanaan konservatif dibantu dengan pemberian obat-obatan. Pemberian acetazolamide 250-500 mg pada malam hari akan berguna untuk mengontrol pH urin. Allupurinol diberikan apabila kadar asam urat dalam darah diatas 800 mg/hari dan pH urin diatas 6,5. Suplementasi kalium sitrat berguna untuk menjaga pH urin tetap bersifat alkali sekitar 6,5. Kadar pH dalam urin harus tetap dijaga agar tidak naik sampai keatas 7, untuk mengurangi resiko terbentuknya batu kalsium fosfat (Pearle et al, 2012).
Universitas Sumatera Utara
3. Batu sistin Pasien dengan batu sistin harus meningkatkan konsumsi cairan agar mendapatkan urin sekitar 3,5 liter setiap harinya untuk disolusi maksimal dari batu sistin. Alkalinisasi urin menggunakan kalium sitrat atau sodium bikarbonat digunakan untuk menjaga pH urin 7,5-8,5. Urin yang alkali akan meningkatkan larutnya sistin dalam urin (EAU Guideline, 2013). Bila pengobatan diatas tidak berhasil dan kadar sistin dalam urin diatas 3 mmol per hari, maka dapat diberikan tiopronin. Dosis tiopronin yang digunakan adalah 250 mg per hari. Tiopronin dianggap lebih baik dari pendahulunya yaitu D-penicillamine yang dianggap menimbulkan banyak efek samping (EAU Guideline, 2013). 2.1.4.3 Modalitas terapi 1. Percutaneous Nephrolithotomy (PCNL) Tehnik PCNL dilakukan melalui akses pada lower calyx, selanjutnya dilakukan dilatasi menggunakan balloon dilator atau Amplatz dilator dengan bantuan fluoroscopy dan batu dihancurkan menggunakan elektrohidrolik, ultrasonic atau litotripsi laser (Pearle et al, 2012) Indikasi melakukan PCNL adalah batu staghorn, batu ginjal dengan ukuran diatas 3 cm, batu sistin, adanya abnormalitas ginjal dan saluran kemih bagian atas, kegagalan pada ESWL dan uretroscpy, dan batu pada ginjal hasil transplantasi. PCNL tidak dapat dilakukan pada kondisi perdarahan, infeksi saluran kemih yang tidak terkontrol, dan faktor-faktor yang mengakibatkan PCNL tidak optimal seperti obesitas dan splenomegaly (Stoller, 2008) 2. Uretroscopy (URS) URS merupakan baku emas untuk penatalaksanaan batu ureter tengah dan distal. Penggunaan uretroskop dengan kaliber yang kecil dan balloon dilatation meningkatkan stone-free rate secara dramatis. Terdapat variasi pada lithotries yang dapat ditempatkan pada uretroscope termasuk elektrohidrolik, probe ultrasonic, laser dan system pneumatic seperti Swiss
Universitas Sumatera Utara
lithoclast. Lithotrites elektrohidrolik memiliki tenaga 120 volt yang dapat menghasilkan gelombang kejut. Lithotrites ultrasonik memiliki sumber energi piezoceramic yang dapat mengubah energi listrik menjadi gelombang ultrasonik 25.000 Hz, sehingga dapat efektik mengakibatkan fragmentasi pada batu tersebut (Stoller, 2008) URS efektif digunakan pada batu ureter dengan tingkat keberhasilan 98-99% pada batu ureter distal, 51-97% pada batu mid ureter dan 58-88% pada batu ureter atas. URS memiliki komplikasi seperti abrasi mukosa, perforasi ureter, dan striktur ureter (Stoller, 2008). 2.2 Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL) 2.2.1 Cara Kerja ESWL Prinsip kerja alat ESWL adalah menggunakan gelombang kejut. Gelombang kejut adalah gelombang tekanan yang berenergi tinggi yang dapat dialirkan melalui udara maupun air. Ketika berjalan melewati dua medium yang berbeda, energi tersebut dilepaskan, menyebabkan batu terfragmentasi. Gelombang kejut tidak menyebabkan kerusakan bila melewati substansi dengan kepadatan yang sama. Oleh karena air dan jaringan tubuh memiliki kepadatan yang sama, gelombang kejut tidak merusak kulit dan jaringan dalam tubuh. Batu saluran kemih memiliki kepadatan akustik yang berbeda, dan bila dikenai gelombang kejut, batu tersebut akan pecah, Setelah batu terfragmentasi, batu akan keluar dari saluran kemih (Pahira dan Pevzner, 2007). Terdapat beberapa mekanisme dalam pemecahan batu melalui ESWL bergantung pada energi yang digunakan, yaitu : 1. Generator elektrohidrolik Pada generator elektrohidrolik, gelombang kejut yang berbentuk bulat dihasilkan oleh percikan air. Voltase yang tinggi diberikan pada dua elektroda yang berhadapan dengan jarak 1 mm. Voltase yang tinggi tersebut menyebabkan air menguap pada ujung elektroda. Selanjutnya gelombang kejut yang terbentuk difokuskan pada batu, dengan meletakkan elektroda pada suatu fokus dan elektroda lain pada target fokus. Dengan ini, mayoritas
Universitas Sumatera Utara
gelombang kejut yang dihasilkan oleh elektroda akan mengenai batu pada F1. Kekurangan generator elektrohidrolik ini adalah tekanannya yang berfluktuasi dan daya hidup elektroda yang singkat. 2. Generator elektromagnetik Generator elektromagnetik menggunakan gelombang kejut yang berbentuk silinder atau datar. Gelombang yang datar akan difokuskan oleh sebuah lensa akustik sementara gelombang silinder akan direfleksikan oleh sebuah reflector parabolik. Prinsip kerja generator ini cukup sederhana, yaitu sebuah shock tube yang diisi air mengandung 2 plat silinder yang dipisahkan oleh lembaran pelindung. Ketika arus listrik dikirimkan satu atau kedua konduktor, gerakan plat terhadap air dan sekitarnya menghasilkan suatu gelombang tekanan. Tenaga elektromagnetik terbentuk yang disebut dengan tekanan magnetik menyebabkan gelombang kejut di air. Energi dari gelombang kejut yang dihasilkan dikonsentrasikan pada target melalui lensa akustik. Selanjutnya, tenaga akan difokuskan pada satu titik fokal dan diposisikan terhadap target (F2) (Pearle et al, 2012).
CHAPTER 48 ● Surgical Management of Upper Urinary Tract Cal
is generated, termed magnetic pressure, causes a correspon sure (shockwave) in the water. The shock front produced wave that is of the same diameter as the current-carry The energy in the shockwave is concentrated target by focusing it with an acoustic lens. The e netic system that uses a cylindrical source (see Fig. 48–1 a cylindrical coil surrounded by a cylindrical membra pushed away from the coil by the induction of a mag between the two components. In both systems the pre has only one focal point (F2) that is positioned on the Electromagnetic generators are more controllable and ible than electrohydraulic generators because they do porate a variable in their design such as the underw discharge. Other advantages include the introduction Acoustic lens into the patient’s body over a large skin area, which less pain. In addition, a small focal point can be ach high-energy densities, which may increase its effect Membrane breaking stones. This generator will deliver several hun sand shockwaves before servicing, thereby eliminating for frequent electrode replacement, which is required electrohydraulic machines. A disadvantage of this desi Electromagnetic coil that the small focal region of high energy results in an rate of subcapsular hematoma formation. The rate of s hematoma formation for the Storz Modulith has been Figure 48–15. Schematic view of an electromagnetic shockwave to be 3.1% to 3.7% (Dhar et al, 2004). Piper and associ generator that uses an acoustic lens to focus the shockwave. An suggested that perinephric hematomas may occur in electromagnetic coil is used to generate the shockwave. of patients treated with a DoLi S lithotripter. In contrast ric hematomas were reported to occur in approximate patients undergoing SWL with the unmodified Dor machine (Chaussy and Schmiedt, 1984; Knapp et al, 1 th F2 Piezoelectric Generator. The piezoelectric lithotr produces plane shockwaves with directly co shockfronts. These generators are made of a mosai polarized, polycrystalline, ceramic elements (barium each of which can be induced to rapidly expand by the a of a high-voltage pulse (Fig. 48–17). Owing to the lim of a single piezoelectric element, 300 to 3000 crystals are for the generation of a sufficiently large shock pressure. electric elements are usually placed on the inside of dish to permit convergence of the shockfront. The fo system is at the geometric center of the spherical dish. Universitas Sumatera Utara The advantages of this generator include the accuracy, a long service life, and the possibil anesthetic-free treatment because of the relati F2
Gambar 2.5 Skema cara kerja generator elektromagnetik menggunakan lensa akustik
Sumber : Campbell-Walsh Urology 10 Edition. Evaluation and Medical Management of Urinary Lithiasis. Pearle, M. 46;1331
that the small focal region of high ene rate of subcapsular hematoma formatio hematoma formation for the Storz Mo Figure 48–15. Schematic view of an electromagnetic shockwave to be 3.1% to 3.7% (Dhar et al, 2004). P generator that uses an acoustic lens to focus the shockwave. An suggested that perinephric hematomas electromagnetic coil is used to generate the shockwave. of patients treated with a DoLi S lithotri ric hematomas were reported to occur patients undergoing SWL with the u machine (Chaussy and Schmiedt, 1984 F2 Piezoelectric Generator. The piezoel produces plane shockwaves with shockfronts. These generators are m polarized, polycrystalline, ceramic ele each of which can be induced to rapidly of a high-voltage pulse (Fig. 48–17). Ow of a single piezoelectric element, 300 to for the generation of a sufficiently large electric elements are usually placed on dish to permit convergence of the sho system is at the geometric center of the The advantages of this generato accuracy, a long service life, and anesthetic-free treatment because energy density at the skin entry p For this reason, piezoelectric lithotri produce less discomfort than do litho sources. A major disadvantage of t ficient power it delivers, which Reflector effectively break renal stones. Electromagnetic coil sources produce some of the highest p Figure 48–16. Schematic view of an electromagnetic shockwave tripter, but the actual energy delivered t generator that uses a parabolic reflector to focus the shockwave. pulse is several orders of magnitude low An electromagnetic coil is used to generate the shockwave. an electrohydraulic machine because of Gambar 2.6 Skema cara kerja generator elektromagnetik menggunakan of F2. Other Generators. Microexplosive g reflektor parabolik basic design of an electromagnetic generator is simple. Figure produced but have not gained widespre th 48–15 shows a systemUrology that uses a10 water-filled shock tube containof tiny lead azide pellets within a p Sumber : Campbell-Walsh Edition. Evaluation and sion Medical ing two conducting cylindrical plates separated by a thin insulat- the device’s shockwave (Kuwahara et a Management Urinary Lithiasis. Pearle, M. is46;1331 ingofsheet. When an electrical current sent through one or tiveness of this type of generator in pr both of the conductors, a strong magnetic field is produced technology has not met with commerc between the conductors, moving the plate against the water and cerns about the storage and handling thereby generating a pressure wave. The electromagnetic force that pellets. Still other methods of shockw coil
Generator elektromagnetik lebih mudah dikontrol dan mudah
diproduksi. Keuntungan lainnya adalah pajanan terhadap tubuh pada daerah yang luas menyebabkan nyeri yang kurang. Titik fokal yang kecil dengan energi yang besar meningkatkan efektifitas dari pemecahan batu. (Pearle et al, 2012). Akan tetapi, hal ini juga meningkatkan resiko hematoma subkapsular sekitar 3,1-3,7% menurut Dhar (2004) dalam Pearle (2012). Hematoma perinefrik juga terjadi pada 12% pasien menurut Piper (2001) dalam Pearle (2012).. 3. Generator piezoelektrik Litotripter piezoelektrik menghasilkan gelombang kejut yang datar dan konvergen. Generator ini dibuat dari elemen barium titanate yang kecil dan terpolarisasi yang dapat dengan cepat menghantarkan arus gelombang. Oleh
karena
ukurannya
yang
kecil,
diperlukan
300-3000
kristal
piezoelektrik untuk menghasilkan gelombang kejut yang besar. Elemen
Universitas Sumatera Utara
piezoelektri diletakkan pada suatu tempat berbentuk seperti mangkok untuk menghasilkan konvergensi gelombang. Fokusnya adalah pusat geometrik dari bentuk mangkok tersebut. 1390
SECTION XI ● Urinary Lithiasis and Endourology
F2
Piezoceramic element Figure 48–17. Schematic view of a piezoelectric shockwave generator. Numerous polarized polycrystalline ceramic elements are positioned on the inside of a spherical dish.
Gambar 2.7 Skema cara kerja generator piezoelektrik
th beam or a multistage light gas gun, but too have notEvaluation been issue ofand stone detection Campbell-Walsh Urology 10these Edition. Medicalis the fact that it is almost im well received commercially. view a kidney stone in areas such as the middle third o Imaging Systems. areLithiasis. three basic designs used by or when there is an indwelling ureteral catheter. Onc Management of There Urinary Pearle, M. 46;1331 lithotripter manufacturers for stone localization. They fragmented, it is difficult to identify each individual are fluoroscopy alone, ultrasonography alone, and the Unfortunately, these disadvantages tend to overshadow combination of ultrasonography and fluoroscopy. tages of ultrasound imaging. Keuntungan dari generator inilithotripter adalah used fokus yang akurat, dan Fluoroscopy Alone. The original Dornier HM3 Combination of Ultrasonography and Fluoroscopy. As two x-ray converters arranged at oblique angles to the patient and for interdisciplinary lithotripters has increased, the kemungkinannya untukto dilakukan tindakan tanpa anastesi karena kekuatan in some cases combining u 90 degrees from each other localize the stone effectively at F2. industry has responded, To reduce the cost of lithotripters, an adjustable C-arm has been phy and fluoroscopy for stone localization. There energi yangintroduced tendah pada kulitdevices. saat gelombang kejutamemasuki subsequently on many There is presently advantagestubuh. to theseOleh setups, but each system has a dr remarkable similarity in the fluoroscopic systems used among limits one of the functions of the system. karena itu, litotripter piezoelektrik menjai pilihan karena merupakan pilihan manufacturers. This appears to be primarily the result of a common Anesthesia. The approach to anesthesia for lith theme in the industry to develop multifunctional tables around changed considerably since clinical SWL began in 19 yang paling nyaman dibandingkan sumber energi lain. Kekurangannya these machines. The fluoroscopic system typically consists of a time, regional or general anesthesia was used in a high-quality digitized x-raydihasilkan imaging system mounted on a rotatbecausememperlambat the unmodified HM3 device (15.6-cm ellip adalah tenaga yang kurang sufisien, sehingga able C-arm with an isocentrically integrated shockwave source. generator) produced a powerful shockwave and treatm Because shockwave head be rotated out of the field of the menghasilkan ommended energy levels caused intolerable pain. Su prosesthe pemecahan batucan secara efektif. Piezoelektrik tekanan fluoroscopic system, the table can be used for routine urologic urologists and lithotripter manufacturers recognized th fluoroscopic applications. is considerably more powerful at the recommended en puncak yang paling besar dibandingkan dengan litotripter lain, akan tetapi The primary advantages of fluoroscopy still include its than is necessary for the fragmentation of most rena dikarenakanto volume dari piezoelektrik kecil observation maka energi yang interest in less powerful familiarity most urologists, the ability toyang visualize that spawned radiopaque calculi throughout the urinary tract, the with lessened anesthesia requirements (Marberger dihantarkan berkurang et aid al, 2012) ability to usemenjadi iodinated contrast (Pearle agents to in stone Wilbert et al, 1987). Several researchers have noted th localization, and the ability to display anatomic detail. nal HM3 lithotripter without modification produc The disadvantages include the exposure of the staff and patient to clinical results when it is used at lower energy settings ionizing radiation, the high maintenance demands of the equip- et al, 1989; Tiselius, 1991; Tolley et al, 1991). In ad 2.2.2and Indikasi dantoKontraindikasi Tindakan ESWL ment, the inability visualize radiolucent calculi without the settings create a smaller lesion at F2 in experimen use of radiographic contrast agents. (Connors et al, 2000). Ultrasonography Alone. Ultrasonic localization was initially The discomfort experienced during SWL designed to aid multifunctional lithotripters for treatment of both directly to the energy density of the shockw urinary and biliary stones. It is presently used in several low-cost passes through the skin as well as the size of machines because it is inexpensive to manufacture and to main- point. In the past decade several new and useful ane tain compared with fluoroscopic systems. Another major advan- niques adaptable to SWL have been produced that we tage of this technology is in the treatment of children and infants able at the timeSumatera SWL was introduced and include Universitas Utara when one is concerned about the dose of ionizing radiation. In parenteral sedative-narcotics and topical agents. addition, ultrasonography can localize slightly opaque or nonShort-acting agents, such as the narcotic alfenta
Tindakan ESWL hanya dapat dilakukan pada batu dengan lokasi ginjal dan ureter. Lebih dari 90% batu pada orang dewasa dapat ditatalaksana dengan ESWL. ESWL merupakan pilihan utama terapi pada batu proksimal ureter dengan ukuran dibawah 10 mm dan 10-20 mm, baik pada ureter proksimal maupun distal. Tingkat kesuksesan tindakan ESWL untuk batu dengan ukuran kurang dari 20 mm adalah 80-90%. Batu yang terletak di lower calyx dan ureter memiliki tingkat fragmentasi 60-70%. Akan tetapi, tingkat kesuksesan juga ditentukan oleh komposisi batu dan pelaksanaan ESWL (Stoller, 2008) Kontraindikasi pelaksanaan ESWL terbagi 2, yaitu kontraindikasi absolut dan kontraindikasi relatif. Tabel 2.2 Kontraindikasi Tindakan ESWL Kontraindikasi absolut
Kontraindikasi relatif
Kehamilan
Kalsifikasi arteri
Perdarahan
Aneurisma
Obstruksi di bawah lokasi batu
Alat pacu jantung
Infeksi saluran kemih yang tidak Obesitas terkontrol Malformasi skeletal Sumber : Penn Clinical Manual of Urology (2008). Urinary Stone Disease. Pahira, J dan Pevzner, M;8:253 2.2.3 Komplikasi tindakan ESWL Sebagaimana tindakan lainnya, ESWL juga memiliki beberapa komplikasi seperti : •
Steinstrasse
•
Pertumbuhan fragmen residu
•
Kolik renal
•
Bakteriuria pada pasien batu non-infeksi
•
Sepsis
•
Renal hematoma, baik simtomatik atau asimtomatik
Universitas Sumatera Utara
•
Dysrhythmia
•
Hematoma limpa dan hati (Turk et al, 2013)
Universitas Sumatera Utara