BAB 2 WILAYAH SEMARANG DAN KARAKTERISTIKNYA
2.1. Letak Geografis Kota Semarang berada antara 6º50’ - 7º10’ LS dan 109º35’ - 110º50’ BT dengan luas wilayah 373.70 km2 dengan batas sebelah utara adalah Laut Jawa, sebelah selatan Kabupaten Semarang, sebelah timur adalah Kabupaten Demak, dan sebelah barat adalah Kabupaten Kendal. Peta administrasi kota Semarang dapat dilihat pada Gambar 2.1 di bawah ini:
Sistem Proyeksi : Transverse Mercator Sistem Koordinat : UTM Zona : 49 S
Gambar 2.1. Peta administrasi kota Semarang (Citra Ikonos , 2012) 8
2.2. Geologi Umum 2.2.1. Morfologi Daerah Semarang Tengah berdasarkan kondisi morfologinya, berada pada daerah dataran dari luas dataran kota Semarang yaitu sekitar 164,9 km2 (42,36%) , bentuk lereng umumnya datar dengan kemiringan lereng medan antara 0 – 5% (0-3%), dengan ketinggian tempat antara 0 – 25 m dpl . 2.2.2. Batuan Dasar Berdasarkan peta geologi Lembar Semarang – Magelang (Robert E Thaden, dkk, 1975) daerah penyelidikan disusun oleh endapan formasi batuan sebagai berikut (Gambar 22). a. Endapan Aluvium (Qa) Endapan aluvium terdiri dari pasir,kerikil – kerakal,lempung – lempung lanauan dan lanau. Penyebarannya terutama pada dataran yang terdapat di daerah penyelidikan. b. Formasi Damar Terdiri dari pasir tufaan, konglomerat, breksi volkanik dan tufa. Batupasir tufaan penyusunnya terdiri dari feldspar dan butir-butir mineral mafik, kebanyakan tufa dan batupasir agak termampatkan , secara setempat gampingan. Breksi terdiri dari batuan vulkanik basa mungkin diendapkan sebagai lahar. Satuan ini umumnya telah melapuk lanjut berupa pasir lanauan hingga lanau lempungan berwarna merah kecoklatan dengan tebal > 2,5 m. c. Breksi volkanik (Qb) Satuan ini terdiri dari breksi volkanik, aliran lava, tufa, batupasir dan batu lempung. Batuan volkanik umumnya telah melapuk sangat lanjut dengan hasil pelapukan berupa lanau lempungan berwarna merah kecoklatan dengan tebal > 3,00 m. d. Lapisan Marin (Tm) Satuan ini terdiri dari selang-seling batulempung, napal, batupasir, konglomerat, breksi volkanik dan batu gamping. Satuan ini umumnya didominasi oleh batu lempung yang sebagian berselang-seling dengan batupasir dan napal. Batulempung umumnya sangat mudah melapuk dan hancur jika tersingkap atau kontak dengan udara. Batupasir yang termasuk dalam satuan ini umumnya berbutir halus –kasar dan sebagian besar tufaan.
9
Batugamping yang terdapat dalam satuan ini hubungan stratigrafinya tidak dapat ditentukan. Di daerah penyelidikan satuan batugamping ini ditemukan di bagian timur daerah penyelidikan yaitu di sekitar kalikayen berlapis baik, Berikut Peta Geologi Lembar Magelang dan Semarang Skala 1 : 100.000 yang menunjukkan sebarang batuan dasar kota Semarang pada Gambar 2.2:
Gambar 2.2. Peta geologi lembar Magelang dan Semarang, Jawa. Skala 1: 100.000 (RE. Thanden. H. Sumadindja. PW. Richards. K. Sutisna dan TC. Amin 1996) 2.3. Hidrogeologi Berdasarkan kondisi geologi dan pembentukannya sistem airtanah di daerah Semarang dapat dibagi menjadi dua sistem airtanah diantaranya, yaitu (Marsudi, 2001): 2.3.1. Sistem Akuifer a. Sistem Akuifer di Daerah Dataran Sistem akuifer ini terdiri dari akuifer tidak tertekan (unconfined) yang kedalamannya antara 5 sampai 30 di bawah permukaan tanah setempat (dbpts), dan akuifer tertekan (confined) terdiri dari delta akuifer Delta Garang dan akuifer Formasi Damar. Kedalaman kedua akuifer tersebut antara 30 sampai 130 dbpts dan bersifat semi tertekan dan tertekan. 1) Akuifer Tidak Tertekan (Unconfined Aquifer).
10
Akuifer tidak tertekan berada dekat permukaan tanah dan muka airtanahnya berhubungan langsung dengan udara bebas (atmosfer) atau sering disebut sebagai airtanah bebas. Akuifer bagian bawahnya yang merupakan lapisan kedap air sedangkan bagian atasnya merupakan material berbutir halus. Pengamatan di lapangan terhadap beberapa sumur gali di dataran Semarang menunjukan bahwa kedalaman muka airtanah dangkal berkisar antara 0,2 hingga 3,0 m dbpts, sedangkan kedalaman sumur gali di dataran tersebut umumnya adalah 6 hingga 12 m dbpts. 2) Akuifer Tertekan (Confined Aquifer) Akuifer tertekan yaitu yang bagian atas dan bawahnya merupakan lapisan kedap air, dimana tekanan airnya lebih besar dari tekanan atmosfer. Pada lapisan pembatasnya tidak ada air yang mengalir. Akuifer di dataran Semarang mempunyai kedalaman 30 sampai 70 m dbpts. Batuan pembentuk akuifer tersebut terdiri dari lensa-lensa pasir dan kerikil, yang ditutupi oleh lapisan lempung atau lempung pasiran, sehingga airnya bersifat semi tertekan atau tertekan.
b. Sistem Akuifer di Daerah Perbukitan Sistem akuifer di daerah perbukitan dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Akuifer Tidak Tertekan Akuifer tidak tertekan di daerah perbukitan merupakan akuifer Formasi Notopuro dan akuifer Ungaran Tua bersifat tidak tertekan, muka airtanahnya berkisar 8 – 15 m dbpts, kedalamnanya 10 – 30 m dbpts. Di beberapa tempat muka airtanahnya mencapai lebih dari 20 m dbpts, tetapi pada tempat yang lain airtanahnya muncul sebagai mata air. 2) Akuifer Tertekan-Semi Tertekan Akuifer tertekan-semi tertekan berupa pasir vulkanik, breksivulkanik dan konglomerat dari akuifer Formasi Damar, yang tersebar merata di daerah perbukitan. Akuifer ini umumnya berada pada kedalaman antara 30 – 150 m dbpts. Berdasarkan jenis batuan dan proses pengendapannya, akuifer dengan sistem airtanah tertekan di dataran Semarang dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu (Marsudi, 2001): Gambar penampang Hidrogeologi Ungaran-Semarang dapat dilihat pada Gambar 2.3 di bawah ini: 11
Gambar 2.3. Penampang Hidrogeologi Ungaran-Semarang (Taufiq, 2010)
12
Airtanah merupakan semua air yang terdapat di bawah permukaan tanah pada lajur / zona jenuh air (zone of saturation. Airtanah mempunyai kapasitas yang paling besar dibandingkan dengan aliran di permukaan tanah (Kodoatie, 1996). Faktor yang mempengaruhi proses terbentuknya airtanah yaitu formasi geologi. Airtanah ini berada dalam ruang - ruang pori dan di dalam retakan - retakan batuan. Airtanah terbentuk berasal dari air hujan dan air permukan, yang meresap (infiltrate) mula-mula ke zona tak jenuh (zone of aeration) dan kemudian meresap makin dalam (percolate) hingga mencapai zona jenuh air dan setelah melewati beberapa proses tersebut sehingga menjadi menjadi airtanah. Pengambilan Airtanah kota semarang semakin meningkat, hal ini dikarenakan kebutuhan penduduk dan industri yang dari tahun ke tahun selalu meningkat. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peningkatan sumur bor di wilayah Semarang. Penyebaran dan kerapatan sumur bor ini akan berpengaruh terhadap kondisi air tanah di daerah ini. Perkembangan pengambilan air tanah di wilayah Semarang dan sekitarnya tercatat mulai dilakukan pada tahun 1900 dengan volume pengambilan air tanah sekitar 427.050 m3, diambil dari 16 sumur bor, namun pada tahun 1982 telah mencapai 13,67 juta m3, disadap dari 127 sumur bor. Kemudian pada tahun 1990 menjadi 22,47 juta m3, disedot dari 260 sumur bor. Pada tahun 2002 tercatat volume pengambilan air tanah telah mencapai 45,03 juta m3, yang dikeluarkan melatui 1,194 sumur bor. Untuk jumlah sumur bor resmi dan debit pengambilan airtanah kota semarang dapat dilihat pada Tabel 2.1 di bawah ini: Tabel 2.1. Jumlah Sumur dan laju pengambilan airtanah (diambil dari Marsudi, 2000 dan Fauzi 2004) Tahun
Jumlah Sumur Bor Resmi
Pengambilan/debit 3 (m /hari)
Pengambilan/debit 3 (m /tahun)
1900 1920 1941 1974 1981 1989 1990 1992 1996 2000 2004
16 18 28 94 178 350 600 750 950 1098 1768
1.170 1.400 1.600 2.400 4.800 24.000 44.064 69.000 90.000 107.370 168.565
427.050 511.000 584.000 876.000 1.752.000 8.760.000 16.917.000 25.185.000 32.850.000 39.190.050 61.526.225
Dari Tabel 2.1, jumlah sumur bor dan volume pengambilan airtanah selalu mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Sedangkan data volume pengambilan 13
airtanah Semarang –Demak menunjukkan terjadinya peningkatan jumlah sumur bor dan pada tahun 2006 volume pengambilan airtanahnya mengalami penurunan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.4 di bawah ini:
Gambar 2.4. Grafik perkembangan pengambilan airtanah Semarang – Demak (Taufiq, 2010) Dari Gambar 2.4 menjelaskan terjadinya peningkatan pengambilan volume airtanah dan jumlah sumur bor. Jika pengambilan airtanah tidak terkontrol maka dapat mengakibatkan terjadinya penurunan muka air tanah yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah di wilayah Semarang. 2.4. Tata Guna Lahan Wilayah Kota Semarang yang terletak di pesisir utara Jawa Tengah mengalami pertumbuhan yang cukup pesat dalam pembangunan berbagai sarana dan prasarana dibandingkan dengan daerah lainnya. Penggunaan lahannya banyak mengalami perubahan, seperti daerah pantai yang semula merupakan daerah tambak dan pesawahan, sebagian telah berubah menjadi kawasan industri, pariwisata dan perumahan. Secara garis besar penggunaan lahan di wilayah Kota Semarang terdiri dari wilayah terbangun (Build Up Area) yang terdiri dari pemukiman, perkantoran perdagangan dan jasa, kawasan industri, transportasi. Sedangkan wilayah tak terbangun terdiri dari tambak, pertanian, serta kawasan perkebunan dan konservasi ( Andiani, Wahjono dkk. 2005) . 14
2.4.1. Pemukiman Lahan pemukiman adalah lahan yang digunakan tempat tinggal, baik perumahan perkotaan, kawasan pemukiman dan perkampungan. Umumnya menempati daerah yang datar hingga landai, dan di beberapa tempat menempati daerah perbukitan. Wilayah Semarang Tengah merupakan pemukiman hunian yang padat terdiri dari pemukiman penduduk. 2.4.2. Perkantoran, Perdagangan dan Jasa Kawasan perkantoran perdagangan dan jasa termasuk di dalamnya fasilitas kesehatan dan pendidikan pada umumnya menempati daerah sekitar pusat kota dengan penyebaran mengikuti jalur jalan utama. Fasilitas pendidikan sebagian telah direlokasi dari pusat kota antara lain ke wilayah Kecamatan Gunungpati dan Tembalang.
2.4.3. Kawasan Transportasi Aktivitas transportasi yang ada di Kota Semarang terdiri dari transportasi laut darat dan udara. Kawasan untuk aktivitas transportasi laut berlokasi di sekitar Pelabuhan Tanjung Emas yang termasuk Kecamatan Semarang Utara. Transportasi Darat terdiri dari bus dan Keretaapi, terminal utama bis terdapat di Terboyo, Kecamatan Genuk, sub terminal terdapat di Mangkang, Kecamatan Tugu dan Purwodinatan, Semarang Tengah, serta di Banyumanik. Stasiun keretaapi dipusatkan di Tawang dan Poncol, Semarang Utara, sedangkan aktivitas transportasi udara dipusatkan di Bandar Udara Ahmad Yani, Semarang Barat. 2.5. Penurunan Muka Tanah Penurunan muka tanah didefinisikan sebagai gerakan muka tanah yang semakin rendah relatif terhadap suatu bidang referensi tertentu yang stabil (Adi, 1994; Murdohardono dan Marhento, 1999 dalam Yulaikhah, 2001). 2.5.1. Faktor Penyebab Terjadinya Penurunan Muka Tanah Secara umum penyebab penurunan muka tanah antara lain (Whittaker and Reddish, 1989 dalam Metasari 2010) : 1. Penurunan tanah alami (natural subsidence) yang disebabkan oleh proses – proses geologi seperti siklus geologi, sedimentasi daerah cekungan dan sebagainya. Beberapa penyebab terjadinya penurunan tanah alami bisa digolongkan menjadi : a. Siklus Geologi 15
Penurunan muka tanah terkait dengan siklus geologi. Proses – proses yang terlihat dalam siklus geologi adalah : pelapukan (denuation), pengendapan (deposition), dan pergerakan kerak bumi (crustal movement). Adapun keterkaitannya yaitu pelapukan bisa disebabkan oleh air seperti pelapukan batuan karena erosi baik secara mekanis maupun kimia, oleh perubahan temperature yang mengakibatkan terurainya permukaan batuan, oleh angin terutama di daerah yang kering dan gersang karena pengaruh glacial dan oleh gelombang yang biasanya terjadi di daerah pantai (abrasi). b. Sedimentasi Daerah Cekungan Biasanya daerah Cekungan terdapat di daerah – daerah tektonik lempeng terutama di dekat perbatasan lempeng. Sedimen yang terkumpul di Cekungan semakin lama semakin banyak dan menimbulkan beban yang bekerja semakin meningkat, kemudian proses kompaksi sedimen tersebut menyebabkan terjadinya penurunan pada permukaan tanah. Sebagian besar penurunan muka tanah akibat faktor ini adalah : Adanya gaya berat dari beban yang ditimbulkan oleh endapan dan juga ditambah dengan air menyebabkan kelenturan pada lapisan kerak bumi. Aktivitas internal yang menyebabkan naiknya temperature kerak bumi dan kemudian mengembang menyebabkan kenaikan pada permukaan pada permukaan tanah. Setelah itu proses erosi dan pendinginan kembali menyebabkan penurunan muka tanah. Karakteristik deformasi dari lapisan tanah yang berkaitan dengan tekanan – tekanan yang ada. 2. Penurunan tanah akibat pengambilan airtanah (groundwater extraction) Pengambilan airtanah secara besar – besaran yang melebihi kemampuan pengambilannya akan mengakibatkan berkurangnya jumlah airtanah pada suatu lapisan akuifer. Hilangnya airtanah ini menyebabkan terjadinya kekosongan pori – pori tanah sehingga tekanan hidrostatis di bawah permukaan tanah berkurang sebesar hilangnya airtanah tersebut. Selanjutnya akan terjadi pemampatan lapisan akuifer. 3. Penurunan akibat beban bangunan (settlement) Tanah memiliki peranan penting dalam pekerjaan konstruksi. Tanah dapat menjadi pondasi pendukung bangunan atau bahan konstruksi dari bangunan itu sendiri seperti tanggul atau bendungan. Penambahan bangunan di atas permukaan tanah dapat menyebabkan lapisan di bawahnya mengalami pemampatan. Pemampatan tersebut disebabkan adanya deformasi partikel tanah, relokasi partikel, keluarnya air atau udara 16
dari dalam pori, dan sebab lainnya yang sangat terkait dengan keadaan tanah yang bersangkutan. Proses pemampatan ini pada akhirnya menyebabkan terjadinya penurunan permukaan tanah. Secara umum penurunan tanah akibat pembebanan dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu : a. Penurunan konsolidasi yang merupakan hasil dari perubahan volume tanah jenuh air sebagai akibat dari keluarnya air yang menenpati pori – pori airtanah. b. Penurunan segera yang merupakan akibat dari deforamasi elastik tanah kering, basah, dan jenuh air tanpa adanya perubahan kadar air.
2.5.2. Dampak Penurunan Muka Tanah Fenomena penurunan muka tanah memberikan dampak negatif terhadap wilayah yang mengalaminya. Dampak negatif ini dapat memberikan nilai – nilai kerugian baik secara material, infrastruktur, dan bangunan. Kerugian secara material berdampak pada kerugian secara ekonomi, kerugian secara infrastruktur yaitu kerusakan yang dapat terlihat seperti kerusakan pada badan jalan, jembatan, rel kereta api, dan rusak dan turunnya bangunan – bangunan yang berada pada area penurunan muka tanah. Di Indonesia Kota – kota yang terjadi penurunan muka tanah selain Semarang adalah Bandung. Sedangkan di untuk kawasan Asia Tenggara, kota kota yang mengalami penurunan muka tanah adalah Manila dan Bangkok. Dampak yang ditimbulkan oleh penurunan muka tanah di Manila dan bangkok berupa banjir, kerusakan bangunan dan lainnya. Untuk kota Manila dampak yang paling besar ditimbukannya adalah banjir, terutama daerah pantai. Untuk kerusakan yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Gambar 2.5 di bawah ini:
17
Gambar 2.5. Dampak penurunan muka tanah di Manila (Jagoon, 2009) Kerusakan yang terjadi akibat penurunan muka tanah di Manila berupa kerusakan bangunan, kerusakan pada jalan dan rumah akibat rob yang terjadi wilayah yang dekat dengan pantai Sedangkan dampak penurunan muka tanah di kota Bangkok adalah banjir, kerusakan jalan, bangunan rumah miring serta kerusakan
pondasi bangunan (Gambar 2.6).
Gambar 2.6. Dampak penurunan muka tanah di Bangkok (Departement of National Resources, UNESCAP, Trisirisayatawong, 2011) 18
Melihat dari kejadian fenomena penurunan muka tanah yang terjadi, maka dapat diketahui beberapa dampak yang diakibatkannya antara lain: a.
Kerusakan pada infrastruktur (jalan, saluran air, kanal, rel kereta api, dan saluran pembuangan kotoran).
b.
Kerusakan pada bangunan (rumah, sekolah, dan industri) .
c.
Perubahan tinggi dan kemiringan sungai dan beberapa daerah menjadi tergenang banjir.
Dengan diketahui dampak yang ditimbulkannya, maka fenomena penurunan muka tanah harus diteliti dan diamati melalui pengukuran penurunan muka tanah. Informasi mengenai penurunan muka tanah di suatu wilayah jika diketahui dengan baik dan sedini mungkin, dapat bermanfaat dalam pemantauan penurunan muka tanah Manfaat dari informasi penurunan muka tanah ini (Abidin , 2006) yaitu: 1. Pengendalia banjir. 2. Perencanaan tata ruang. 3. Perencanaan dan pembangunan infrastruktur. 4. Pelestarian lingkungan. 5. Pengendalian intrusi air laut. 6. Pengendalian pengambilan airtanah.
19