V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Rancangan Model Bisnis BTNGP Mandiri Rancangan model bisnis BTNGP mandiri merupakan gambaran sederhana bagaimana logika bisnis suatu organisasi pengelola taman nasional dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan untuk memberikan manfaat dalam bentuk produk dan jasa yang ditawarkan sehingga memperoleh pendapatan untuk membiayai paling tidak 80 persen pengelolaan. Model bisnis tersebut divisualisasikan dalam bentuk Model Bisnis Kanvas (MBK) menurut Osterwalder dan Pigneur (2010).
5.1.1 Model Bisnis BTNGP Model bisnis BTNGP dirancang dengan menggunakan teknik ideation. Pembangkitan dan sintesis ide dilakukan dalam suatu wawancara mendalam dengan Kepala Balai TNGP serta FGD yang membahas, mengggabungkan, dan mempersempit ide tersebut ke sejumlah kecil pilihan. Titik awal yang menjadi dasar dalam teknik tersebut ialah kekuatan sumberdaya yang dimiliki dan infrastruktur organisasi yang ada saat ini. Model bisnis BTNGP divisualisasikan dalam bentuk MBK yang menghubungkan susunan sembilan kotak komponennya seperti terlihat pada Gambar 14.
Gambar 14 MBK BTNGP.
48
Berdasarkan gambar di atas, kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan potensi TNGP yang dilakukan saat ini berupa pengembangan wisata alam, pelayanan penelitian, dan pemanfaatan air. Model bisnis BTNGP diuraikan sebagai berikut: (1) Kelompok Pelanggan Pelanggan BTNGP merupakan individu, kelompok orang, atau organisasi yang menjadi penerima manfaat atau memanfaatkan potensi TNGP. Setiap kelompok pelanggan dijelaskan sebagai berikut: Kelompok Pelanggan 1: Pemerintah mewakili kepentingan masyarakat. Perlindungan sistem penyangga kehidupan meliputi usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau, dan jurang, pemeliharaan fungsi hidrologi hutan, perlindungan pantai, pengelolaan daerah aliran sungai, perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan alam, dan jasa lingkungan lainnya. Kelompok Pelanggan 2: Tour Operator. Koperasi Nasalis merupakan tour operator satu-satunya yang memiliki Ijin Usaha Pemanfaatan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) di TNGP. Koperasi tersebut berkerja sama dengan BTNGP mengelola kegiatan wisata alam dalam penjualan dan pelayanan paket wisata. Kelompok Pelanggan 3: Konsorsium Pengelola SPCP. Konsorsium tersebut merupakan suatu bentuk kerjasama penggelolaan stasiun penelitian dalam menfasilitasi kegiatan penelitian dan pendidikan yang akan dilakukan di dalam kawasan TNGP, baik oleh peneliti dalam negeri maupun luar negeri. Akan tetapi, dalam perkembangannya konsorsium tidak berjalan semestinya, sehingga untuk sementara pengelolaan SPCP dilakukan oleh KPN Nasalis. Segmen Pelanggan 4: Pemanfaat Air. Air dari kawasan TNGP dimanfaatkan untuk kepentingan komersil dan non-komersil. Komersil.
Terdapat 13 perusahaan air minum di Kabupaten Kayong
Utara dan Ketapang yang memanfaatkan air dari TNGP untuk pengusahaan AMDK dan depot air isi ulang. Non Komersil. Terdapat 12 pemanfaat air di Kabupaten Kayong Utara dan Ketapang untuk kepentingan non komersil, seperti air rumah tangga, PDAM, pertanian, perikanan dan kebutuhan lainnya.
49
(2) Proposisi Nilai Proposisi nilai merupakan sekumpulan manfaat atau nilai yang dijanjikan untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. BTNGP memiliki empat proposisi nilai, yaitu: sistem penyangga kehidupan, wisata alam hidupan liar, penelitian biodiversitas, dan pemanfaatan air bersih.
Proposisi tersebut
didasarkan atas pertimbangan sumberdaya kunci yang dimiliki dan kelompok pelanggan yang ditetapkan. Hubungan antara komponen sumberdaya kunci, proposisi nilai, dan kelompok pelanggan diilustrasikan pada Gambar 15.
Gambar 15 Hubungan antara sumberdaya kunci, proposisi nilai, dan kelompok pelanggan. Proposisi Nilai 1 :
Sistem Penyangga Kehidupan.
TNGP merupakan
kawasan berfungsi sebagai penyangga kehidupan yang dapat berpengaruh terhadap kemampuan pemanfaatan sumber daya alam hayati. Perlindungan sistem penyangga kehidupan meliputi usaha-usaha dan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan perlindungan mata air, tebing, tepian sungai, danau, dan jurang, pemeliharaan fungsi hidrologi hutan, perlindungan pantai, pengelolaan daerah aliran sungai, perlindungan terhadap gejala keunikan dan keindahan alam, dan jasa lingkungan lainnya. Proposisi Nilai 2 : Pengalaman Observasi Hidupan Liar. Proposisi nilai utama wisata alam di TNGP ialah pengalaman mengamati keindahan alam hutan hujan tropis dengan hidupan liarnya, yaitu: orangutan dan bekantan. Proposisi tersebut ditawarkan dalam bentuk atraksi dan lokasi yang berbeda.
50
Lubuk Baji. Lubuk Baji merupakan areal yang memiliki ekosistem asli hutan pegunungan. Atraksi yang dapat dilakukan observasi berbagai jenis fauna, seperti Orangutan, Kelasi, dan Klampiau. Selain itu wisata budaya di Kampung Bali. Batu Barat. Atraksi utama berupa pengamatan satwa liar dengan menggunakan sampan menyusuri sungai. Daya tarik utama bagi wisatawan pada site ini adalah primata, yaitu: Orangutan, Bekantan, Lutung Kelabu, dan Monyet Ekor Panjang. Riam Berasap. Kondisi vegetasi di Riam Berasap masih alami yang didominasi oleh Famili Dipterocarpaceae. Air terjun merupakan daya tarik utama pada site ini Tinggi air terjun mencapai 10 m dengan lebar 5 m, jatuhan air terjun membentuk kolam dengan luasan mencapai 300 m2. Treking di sepanjang Badan sungai yang berbatu menambah keindahan panorama sungai dengan airnya yang jernih. Proposisi Nilai 3 : Riset Biodiversitas.
Kegiatan penelitian di TNGP
umumnya dilakukan di SPCP yang memiliki 7 (tujuh) tipe ekosistem dalam satu area. Area tersebut merupakan hutan primer di tengah kawasan yang menjadi habitat primata, antara lain orangutan, kelasi, dan klampiau. Penyediaan obyek penelitian tersebut menjadi penawaran utama dalam kegiatan penelitian yang memberikan kesempatan kepada peneliti untuk membandingkan berbagai parameter pada setiap obyek yang diteliti. Proposisi Nilai 4 : Air Bersih. TNGP menyediakan air bersih dan murni (pure water) dari areal pegunungan. Air tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat di Kabupaten Kayong Utara dan Ketapang untuk keperluan konsumsi rumah tangga, AMDK, PDAM, pertanian, perikanan, dan transportasi.
(3) Saluran Saluran merupakan media yang digunakan oleh BTNGP untuk mengkomunikasikan dan menyampaikan proposisi nilai ke empat target pelanggan yang telah ditetapkan. Hubungan antara komponen proposisi nilai, saluran, hubungan pelanggan, dan kelompok pelanggan diilustrasikan pada Gambar 16. Setiap saluran dijelaskan sebagai berikut:
51
Gambar 16 Hubungan antara komponen proposisi nilai, saluran, hubungan pelanggan, dan kelompok pelanggan. Saluran 1: Website. www.gunungpalung.net merupakan website BTNGP yang dibuat dan dikembangkan oleh peneliti. Website tersebut berperan penting dalam menyebarkan informasi dan promosi potensi TNGP, antara lain kepada masyarakat umum, penerima manfaat, dan tour operator. Saluran 2: Buletin. Buletin Nasalis merupakan media informasi resmi BTNGP yang terbit setiap semester. Buletin tersebut berperan dalam menyebarkan informasi dan promosi potensi TNGP, baik kepada masyarakat umum, pemerintah daerah, dan mitra kerja. Saluran 3: Sosialisasi. Merupakan saluran yang digunakan BTNGP untuk menyebarkan informasi regulasi pemanfaatan dan mempromosikan potensi di TNGP kepada konsorsium SPCP dan pemegang IUPJWA. Saluran 4: Koordinasi. Merupakan saluran yang digunakan BTNGP untuk menyampaikan informasi dan laporan pelaksanaan kegiatan pengelolaan kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang dilakukan dalam bentuk rapat kerja dan rapat kordinasi teknis.
52
(4) Hubungan Pelanggan Hubungan
dengan
kelompok
pelanggan
dikembangkan
melalui
pembuatan empat jenis hubungan pelanggan, yaitu: Hubungan Pelanggan 1: Bantuan Personal Khusus. BTNGP menugaskan staf secara khusus untuk membantu tour operator yang memiliki IUPJWA dan konsorsium SPCP dalam memfasilitasi kelancaran pelayanan wisatawan, peneliti, pengembangan paket wisata dan penelitian. Hubungan Pelanggan 2: Co-creation. BTNGP merupakan unit pelaksana teknis Kementerian Kehutanan yang bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Oleh karena itu, BTNGP wajib melakukan kordinasi dan komunikasi secara struktural dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pengelolaan untuk mempertahankan TNGP yang berfungsi sistem penyangga kehidupan. Hubungan Pelanggan 3: Komunitas. BTNGP memfasilitasi pembentukan Forum Tirta Palung Lestari (Fortipari). Forum tersebut merupakan sarana BTNGP untuk memahami pemanfaat air, menghubungkan antar anggota, dan bertukar informasi dalam memecahkan masalah pemanfaatan air di TNGP. (5) Aliran Pendapatan Aliran Pendapatan BTNGP terdiri atas pendapatan tahunan berupa DIPA APBN serta pendapatan yang berasal dari kegiatan pemanfaatan wisata alam dan penelitian. Hubungan antara komponen aliran pendapatan, kelompok pelanggan, dan proposisi nilai diilustrasikan pada Gambar 17. Setiap aliran pendapatan dijelaskan sebagai berikut:
Gambar 17 Hubungan antara aliran pendapatan, kelompok pelanggan, dan proposisi nilai.
53
Aliran Pendapatan 1: Pendapatan Tahunan:
Pada tahun 2011 BTNGP
memperoleh anggaran dalam bentuk DIPA sebesar Rp 7.603.318.000,-. Dana tersebut diasumsikan sebagai pendapatan tahunan yang diperoleh dari APBN sebagai anggaran yang disediakan untuk pengelolaan TNGP. Aliran Pendapatan 2: PNBP. Pada tahun 2011 BTNGP memperoleh penerimaan dari pungutan masuk taman nasional dalam bentuk PNBP sebesar Rp 14.799.500,-. Penerimaan yang diperoleh tersebut tidak dapat digunakan secara langsung sebagai dana pengelolaan oleh BTNGP, tetapi harus disetorkan terlebih dahulu ke rekening bendahara umum negara. Menurut PPM Manajemen (2012) aliran pendapatan yang tercipta dari pembayaran atas barang atau jasa tidak berwujud yang dimanfaatkan oleh pelanggan dikategorikan sebagai biaya pemakaian. Wisata alam. PNBP dari pungutan kegiatan wisata alam, yaitu: tiket masuk pengunjung (27% dari total PNBP wisata alam), kegiatan rekreasi alam
bebas
(30%
dari
total
PNBP
wisata
alam),
dan
pengambilan/snapshoot berupa video dan foto (43% dari total PNBP wisata alam). Penelitian. PNBP dari pungutan kegiatan penelitian, yaitu berupa tiket masuk peneliti dan pengambilan/snapshoot berupa video dan foto.
(6) Sumberdaya Kunci Untuk mempertahankan proposisi nilai tersebut diatas, maka BTNGP harus mempertahankan sumberdaya kunci yang dimiliki. Hubungan antara komponen sumberdaya kunci, kemitraan kunci, kegiatan kunci, dan proposisi nilai diilustrasikan pada Gambar 18. Berdasarkan hasil FGD sumberdaya kunci yang teridentifikasi sebagai berikut: Sumberdaya Kunci 1: Kawasan dengan Tujuh Tipe Ekosistem.
Kawasan
TNGP terbentang dari pantai sampai pegunungan. Keberadaan kawasan tersebut berperan penting terhadap sistem penyangga kehidupan di daerah sekitarnya dan menjadi daya tarik kegiatan wisata alam. Selain itu, di SPCP terdapat tujuh tipe ekosistem dalam satu area berdekatan yang menjadi daya tarik kegiatan penelitian biodiversitas.
54
Gambar 18 Hubungan antara sumberdaya kunci, kemitraan kunci, kegiatan kunci, dan proposisi nilai. Sumberdaya Kunci 2: Tumbuhan dan Satwa Liar Endemik. Setiap ekosistem di TNGP menjadi habitat bagi tumbuhan dan satwa liar yang diantaranya merupakan endemik Kalimantan, seperti bekantan, orangutan, ulin, dan anggrek hitam. Tumbuhan dan satwa liar endemik tersebut menjadi daya tarik utama dalam kegiatan wisata alam dan penelitian biodiversitas. Sumberdaya Kunci 3: Kualitas dan Kuantitas Air. TNGP merupakan area tangkapan air yang menjadi sumber air bersih bagi masyarakat di Kabupaten Kayong Utara dan Kabupaten Ketapang. Area tersebut juga mendukung fungsi hidrologi di daerah sekitarnya yang menyediakan kebutuhan air untuk keperluan konsumsi rumah tangga, perusahaan AMDK, PDAM, pertanian, perikanan, dan transportasi.
55
Sumberdaya Kunci 4: Regulasi. Kebijakan kehutanan di bidang kehutanan serta perlindungan hutan dan konservasi alam, berupa undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan dibawahnya berperan penting dalam mendukung terlaksananya kegiatan pengelolaan TNGP yang salah satunya berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. Sumberdaya Kunci 5: Sumberdaya Manusia. Pegawai memiliki peran penting dalam kelancaran pengelolaan TNGP, antara lain Polhut bertanggung jawab dalam perlindungan dan pengamanan hutan, PEH dalam pengelolaan keanekaragaman hayati serta pemanfaatan kondisi lingkungan dan TSL, penyuluh kehutanan dalam pembinaan daerah penyangga, pejabat non struktural
dan struktural
operasional kantor.
bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan
Kondisi pegawai BTNGP yang secara kuantitas dan
kualitas masih belum memadai apabila dibandingkan dengan volume kerja maupun luas kawasan, akan tetapi pegawai tersebut tetap berusaha melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan penuh dedikasi. (7) Kegiatan Kunci Kegiatan kunci merupakan komponen yang menggambarkan mengenai kegiatan-kegiatan penting yang harus dilakukan untuk menjalankan suatu model bisnis. Berdasarkan alokasi anggaran, kebijakan, program, dan isu strategis dalam (BTNGP 2011a), terdapat lima kelompok kegiatan penting yang dilakukan dalam rangka pengelolaan TNGP, sebagai sebagai berikut: Kegiatan Kunci 1: Operasionalisasi Kantor. Kegiatan ini bertujuan untuk mendukung terselenggaranya kegiatan di kantor balai, SPTN, dan RPTN. Kondisi tersebut diharapkan dapat menciptakan efektifitas pengelolaan yang berdampak terhadap kelestarian TNGP sebagai sistem penyangga kehidupan. Kegiatan Kunci 2: Perlindungan Hutan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengendalikan gangguan keamanan hutan, sehingga berdampak terhadap kelestarian TNGP yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kegiatan Kunci 3: Pembinaan Daerah Penyangga. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi untuk
56
menunjang terciptanya kelestarian TSL dan ekosistemnya, sehingga mendukung terselenggaranya kegiatan pemanfaatan wisata alam, penelitian biodiversitas, dan air. Kegiatan Kunci 4: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati. Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan data dan informasi potensi keanekaragaman hayati, seperti ukuran populasi, sebaran, dan spesies terancam punah. Data dan informasi tersebut penting sebagai data sasar dalam pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan, penelitian, dan wisata alam. Kegiatan Kunci 5: Pemanfaatan Kondisi Lingkungan. Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan data dan informasi potensi kondisi lingkungan, seperti ODTWA, sumber mata air, dan debit air, sehingga akan berdampak terhadap optimalnya kegiatan pemanfaatan wisata alam dan air. (8) Kemitraan Kunci BTNGP memiliki enam mitra kunci yang masing-masing berkontribusi sesuai dengan bidangnya terkait dalam pengelolaan taman nasional, antara lain: pembinaan daerah penyangga, pendidikan lingkungan, pengelolaan penelitian, dan wisata alam. Mitra Kunci 1: Koperasi Nasalis. Koperasi ini melalui Nasalis Tour & Travel merupakan
satu-satunya
pemegang
IUPJWA
yang
mengembangkan
dan mengelola kegiatan jasa layanan wisata alam di TNGP. Mitra Kunci 2: Forum Pemanfaat Air TNGP. Forum ini merupakan perhimpunan pemanfaat air komersil dan non-komersil yang diharapkan berkontribusi dalam upaya memelihara daerah tangkapan air di TNGP. Mitra Kunci 3: Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI). Yayasan yang mendukung BTNGP dalam kegiatan pembinaan daerah penyangga berupa pelayanan kesehatan, pendampingan masyarakat, dan rehabilitasi kawasan. Mitra Kunci 4: Yayasan Palung. Yayasan yang mendukung BTNGP dalam pendidikan lingkungan, pembinaan daerah penyangga, dan terlibat dalam konsorsium pengelolaan SPCP. Mitra Kunci 5: Pemerintah Daerah (Pemda).
TNGP berada di wilayah
administrasi Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Pemda Kabupaten Ketapang terlibat dalam konsorsium SPCP dan mendukung Pembinaan
57
Daerah
Penyangga.
Sementara,
Pemda
Kabupaten
Kayong
Utara
berkontribusi dalam membangun infrastruktur wisata dan mendukung PDP. Mitra Kunci 6: Konsorsium Pengelolaan SPCP. Konsorsium ini merupakan suatu kerjasama penggelolaan stasiun penelitian untuk memfasilitasi kegiatan penelitian dan pendidikan yang dilakukan di TNGP. (9) Struktur Biaya Terdapat enam jenis struktur biaya yang digunakan oleh BTNGP dalam menjalankan model bisnisnya, struktur biaya tersebut dikelompokan berdasarkan jenis anggaran kegiatan dalam pengelolaan TNGP diluar kebutuhan gaji dan tunjangan pegawai.
Pengelompokan dan proporsi
struktur biaya tersebut berdasarkan Realisasi Anggaran Daftar Isian Pelaksanaak Anggaran (DIPA) BTNGP tahun 2011. Proporsi dan rincian struktur biaya tersebut yaitu sebagai berikut: Struktur Biaya 1: Penyelenggaraan Operasional Kantor (42%). Operasional dan pemeliharaan perkatoran
65%
Pembangunan fisik
26%
Peralatan elektronik dan perkantoran
8%
Efektivitas pengelolaan kawasan konservasi berbasis resort
2%
Struktur Biaya 2: Perlindungan Hutan (25%). Pengamanan kawasan konservasi
83%
Pencegahan, pemadaman, dan penanganan kebakaran hutan 17% Struktur Biaya 3: Pembinaan Daerah Penyangga (14%). Penanganan konflik pada kawasan taman nasional
23%
Model desa konservasi
62%
Kader konservasi dan kelompok pecinta alam
14%
Struktur Biaya 4: Pengelolaan Keanekaragaman Hayati (8%). Restorasi ekosistem kawasan konservasi
57%
Pelatihan pengembangan dan pengelolaan taman nasional
43%
Struktur Biaya 5: Perencanaan, Monitoring, dan Evaluasi (6%). Monitoring dan evaluasi
51%
Dokumen perencanaan/penataan kawasan/data dan informasi 49% Struktur Biaya 6: Pemanfaatan Kondisi Lingkungan dan TSL (5%). Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan
2%
Fasilitasi penunjang budidaya, plasma nutfah & HHBK
98%
58
Berdasarkan uraian setiap komponen model bisnis diatas, MBK BTNGP menggambarkan bagaimana potret organisasi BTNGP saat ini dalam menciptakan manfaat berupa produk dan jasa serta memperoleh anggaran dan pendapatan dari penerima manfaatnya yang dijadikan sebagai target pelanggan. Menurut PPM Manajemen (2012) MBK dapat menjelaskan bagaimana organisasi memperoleh uang dan bagaimana organisasi tersebut menciptakan manfaat (value) dan pada gilirannya memperoleh manfaat dan dana yang diperlukan agar dapat berkesinambungan menjalankan operasi organisasi. Alur penciptaan dan perolehan manfaat pada MBK BTNGP secara sederhana dapat dilihat pada Gambar 19.
Gambar 19 Alur penciptaan dan perolehan manfaat pada MBK BTNGP. Berdasarkan Gambar 19 di atas, aliran manfaat pada MBK BTNGP terdapat dua kelompok manfaat, yaitu: manfaat bagi pelanggan dan manfaat yang diperoleh BTNGP. Bagi pelanggan, manfaat terwujud dalam bentuk proposisi nilai yang dapat memecahkan masalah yang dihadapi atau pemenuhan kebutuhan pelanggan, seperti keinginan observasi hidupan liar, penelitian, dan kebutuhan air. Sedangkan bagi BTNGP, manfaat yang diperoleh dalam bentuk aliran pendapatan. Menurut PPM Manajemen (2012) proposisi nilai merupakan alasan mengapa pelanggan memilih produk atau jasa yang ditawarkan oleh suatu perusahaan dan bukan produk atau jasa perusahaan yang lain.
59
5.1.2 Analisis SWOT Model Bisnis BTNGP Analisis SWOT bertujuan menilai dan mengevaluasi setiap komponen model bisnis BTNGP terhadap kondisi lingkungan internal dan eksternal yang mempengaruhi. Hasil analisis SWOT komponen model bisnis BTNGP diuraikan sebagai berikut: (1) Kekuatan dan Kelemahan Hasil analisis untuk elemen kekuatan komponen model bisnis BTNGP diperoleh nilai bobot skor akumulatif sebesar 50,21 %, sedangkan nilai bobot akhir untuk elemen kelemahan sebesar 49,79 %.
Hasil tersebut menunjukan
bahwa kekuatan komponen model bisnis BTNGP akan mampu mengatasi kelemahannya, sehingga dapat digunakan sebagai dasar dalam penyempurnaan model bisnis tersebut. Hasil analisis kekuatan dan kelemahan model bisnis BTNGP lebih lengkap disajikan pada Tabel 11. Tabel 11 Nilai bobot kekuatan dan kelemahan komponen Model Bisnis BTNGP Nilai Bobot (%) No
Komponen
Kekuatan
Kelemahan
1
Kelompok Pelanggan
6,40
2,48
2
Proposisi Nilai
10,74
2,89
3
Saluran
5,99
8,06
4
Hubungan Pelanggan
6,82
2,89
5
Aliran Pendapatan
3,51
16,12
6
Sumberdaya Kunci
7,64
2,69
7
Kegiatan Kunci
3,10
5,99
8
Kemitraan Kunci
2,89
2,69
9
Struktur Biaya
3,10
5,99
50,21
49,79
Jumlah
Penilaian terhadap kekuatan dan kelemahan model bisnis BTNGP menunjukan bahwa komponen model bisnis yang menjadi kekuatan utama ialah proposisi nilai dan sumberdaya kunci, sementara aliran pendapatan dan saluran menjadi komponen yang memiliki kelemahan utama. Faktor-faktor yang menjadi kekuatan utama komponen model bisnis tersebut, yaitu: proposisi nilai yang sejalan dengan kebutuhan pelanggan, terdapat sinergi yang kuat antara produk dan jasa yang ditawarkan, dan sumberdaya kunci yang sulit untuk ditiru oleh pesaing.
60
Sedangkan faktor-faktor yang menjadi kelemahan utama komponen model bisnis tersebut, yaitu: mekanisme harga tidak berdasarkan kesediaan membayar, memiliki marjin keuntungan yang kecil, serta struktur biaya dan model bisnis kurang sesuai. Gambaran mengenai hasil analisis kekuatan dan kelemahan model bisnis BTNGP dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 20 Kekuatan dan kelemahan MBK BTNGP.
(2) Peluang dan Ancaman Hasil analisis untuk elemen peluang komponen model bisnis BTNGP diperoleh nilai bobot skor akumulatif sebesar 56,92 %, sedangkan nilai bobot skor untuk elemen kelemahan sebesar 43,08 %. Hasil tersebut menunjukan bahwa model bisnis BTNGP dapat disempurnakan dengan memanfaatkan peluang yang dimiliki sebaik mungkin. Nilai bobot hasil analisis peluang dan ancaman model bisnis BTNGP selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 12. Penilaian terhadap peluang dan ancaman model bisnis BTNGP menghasilkan gambaran mengenai komponen model bisnis yang menjadi peluang utama, yaitu: kelompok pelanggan, kemitraan kunci, dan saluran. Sementara sumberdaya kunci dan kemitraan kunci menjadi komponen yang menghadapi ancaman utama.
61
Tabel 12 Nilai bobot peluang dan ancaman komponen model bisnis BTNGP No
Komponen
Nilai Bobot (%) Peluang
Ancaman
1
Kelompok Pelanggan
8,62
5,08
2
Proposisi Nilai
7,54
4,00
3
Saluran
8,62
3,38
4
Hubungan Pelanggan
4,77
2,15
5
Aliran Pendapatan
7,54
5,69
6
Sumberdaya Kunci
4,15
6,46
7
Kegiatan Kunci
5,23
5,08
8
Kemitraan Kunci
8,62
6,00
9
Struktur Biaya
1,85
5,23
56,92
43,08
Jumlah
Faktor-faktor yang mempengaruhi terhadap peluang utama komponen model bisnis tersebut ialah sumber pendapatan dapat ditambah atau dibuat, kolaborasi dengan mitra yang dapat membantu fokus pada bisnis inti dapat ditingkatkan, dan adanya pasar sedang tumbuh yang dapat dimanfaatkan. Sedangkan faktor-faktor yang menjadi ancaman utama pada komponen model bisnis BTNGP, yaitu: kualitas sumberdaya kunci dapat terancam kapan saja, biaya yang terancam tumbuh lebih cepat dari pendapatan, dan kualitas kegiatan terancam kapan saja. Hasil analisis peluang dan ancaman tersebut dapat dilihat pada Gambar 21.
Gambar 21 Peluang dan ancaman MBK BTNGP.
62
Hasil analisis SWOT model bisnis BTNGP sejalan dengan hasil analisis kesenjangan pengelolaan taman nasional di Indonesia yang memiliki kekuatan berupa potensi sumberdaya alam, kelemahan berupa anggaran yang terbatas, terdapat peluang pasar karbon dan air, serta adanya ancaman meningkatnya kebutuhan lahan (Kemenhut 2011a). Sementara itu (Zamzani et al. 2009a) mengidentifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam pengelolaan TNGP, masing-masing antara lain: 1) tingginya potensi keanekaragaman SDAH dan ekosistemnya; 2) kurangnya sumber dana, sarana, dan prasarana yang memadai; 3) terdapat peningkatan intensitas penelitian, jumlah kunjungan wisata, dan perencanaan pemanfaatan ekowisata oleh pemerintah Kabupaten Kayong Utara; dan 4) meningkatnya kebutuhan lahan yang sangat tinggi yang disebabkan adanya pemekaran Kabupaten Kayong Utara. Penilaian komponen model bisnis dengan analisis SWOT yang dilakukan secara terstruktur menghasilkan dua hasil, yaitu: 1) potret kondisi organisasi yang dicirikan oleh kekuatan dan kelemahan, dan 2) lintasan masa depan yang dicirikan oleh peluang dan ancaman (Osterwalder & Pigneur 2010). Kekuatan utama model bisnis BTNGP berupa sekumpulan manfaat dari sumberdaya kunci yang sejalan dengan kebutuhan pelanggan. Kekuatan ini diharapkan dapat mengatasi kelemahan utama berupa tidak terjaminnya keberlanjutan pendapatan yang disebabkan oleh kecilnya marjin keuntungan dan mekanisme harga tidak berdasarkan kesediaan membayar dan dapat berdampak pada kualitas sumberdaya kunci yang dapat terancam kapan saja. BTNGP juga dapat memanfaatkan peluang utama dari komponen model bisnisnya berupa sumber pendapatan yang dapat ditambah atau diciptakan melalui pengembangan produk dan jasa dalam rangka melayani kelompok pelanggan baru. Hasil analisis SWOT tersebut menjadi masukan yang berharga dalam proses penyempurnaan model bisnis BTNGP dan dapat menjadi dasar untuk menggambarkan berbagai inovasi
yang diharapkan. Osterwalder (2006)
menegaskan bahwa analisis SWOT merupakan bagian penting dalam proses perancangan prototipe model bisnis dan implementasinya di masa yang depan.
63
5.1.3 Model Bisnis BTNGP Mandiri Hasil analisis SWOT komponen model bisnis dapat digunakan untuk menyempurnakan model bisnis yang ada saat ini dan melahirkan prototipe model bisnis yang baru (PPM Manajemen 2012). Berdasarkan hasil analisis SWOT terhadap model bisnis BTNGP, terdapat banyak hal pada setiap komponennya yang perlu disempurnakan agar model bisnis BTNGP dapat lebih efektif dan efisien pada masa yang akan datang. Penyempurnaan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman pada setiap komponen model bisnis. Penyempurnaan model bisnis BTNGP saat ini dilakukan dalam rangka untuk mengembangkan model bisnis BTNGP yang mandiri. Pengembangan dilakukan dalam rangka menciptakan dan meningkatkan pendapatan untuk menjamin keberlanjutan pendanaan dan kualitas sumberdaya kunci yang dimiliki. Tujuan tersebut merupakan salah satu dasar penentuan kriteria kemandirian taman nasional dalam penelitian ini, sehingga model bisnis yang dihasilkan melalui proses perancangan disebut sebagai model bisnis BTNGP mandiri. Prototipe MBK BTNGP yang telah dirancang, disempurnakan, dan dipilih dapat dilihat pada Gambar 22.
Gambar 22 Prototipe MBK BTNGP Mandiri.
64
Pengembangan model bisnis BTNGP didasarkan atas adanya kebutuhan untuk meningkatkan aliran pendapatan dengan menyempurnakan proposisi nilai dan mengembangkan produk atau jasa. IBM Global Business Services (2006) mengkategorikan tiga pendekatan dalam pengembangan inovasi model bisnis yang dapat digunakan salah satu atau dikombinasikan, yaitu: 1) model industri; 2) model pendapatan; dan 3) model perusahaan.
Johnson, Christensen, dan
Kagerman (2008) menyatakan bahwa salah satu keadaan yang sering menjadi pertimbangan perlunya suatu model bisnis dirubah ialah kebutuhan untuk merespon perubahan dalam kompetisi bisnis. Sementara Osterwalder dan Pigneur (2010) menyatakan bahwa infrastruktur suatu organisasi dalam bentuk kemitraan yang sudah ada dapat digunakan sebagai dasar untuk memperluas atau mengubah model bisnis. Hasil analisis SWOT menunjukan bahwa komponen model bisnis BTNGP yang memiliki nilai bobot tinggi, yaitu: 1) proposisi nilai; 2) kelompok pelanggan; 3) kemitraan kunci; 4) aliran pendapatan; dan 5) hubungan pelanggan. Oleh karena itu penyempurnaan model bisnis BTNGP difokuskan pada komponen model bisnis tersebut. Johnson, Christensen, dan Kagerman (2008) sebuah model bisnis yang sukses memiliki tiga komponen, yaitu: 1) proposisi nilai pelanggan; 2) formulasi keuntungan; dan 3) sumberdaya dan proses kunci.
Levy (2001)
menyatakan bahwa perkembangan suatu bisnis memerlukan sebuah metodologi yang menganalisis berbagai dimensi model bisnis, mencakup: 1) kegiatankegiatan komplek yang tergabung dalam proses bisnis; 2) jenis-jenis transaksi yang dilakukan perusahaan; dan 3) para pihak yang dilibatkan dalam proses dan transaksi tersebut. Sementara itu Osterwalder (2004) menyatakan bahwa visi dan strategi sebuah organisasi diterjemahkan ke dalam proposisi nilai, hubungan pelanggan, dan value network. Perubahan mendasar model bisnis BTNGP terdapat pada komponen hubungan pelanggan. Bentuk hubungan pelanggan yang dikembangkan ialah kerjasama operasi dalam pengusahaan produk dan jasa yang ditawarkan dengan melibatkan berbagai pihak, yaitu: BTNGP, Pemerintah Kabupaten, dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS). Para pihak tersebut sekaligus sebagai target utama pelanggan. Camponovo dan Pigneur (2009) menyatakan bahwa kemitraan
65
menjadi sebuah bagian penting dalam model bisnis yang dapat saling melengkapi diantara setiap aktor yang terlibat.
Menurut Wienclaw (2008) perusahaan
(organisasi) yang menjual produk dan jasanya melalui perusahaan lain dikategorikan sebagai model B2B. Proposisi nilai MBK BTNGP mandiri disempurnakan dengan menambah jasa yang ditawarkan berupa fungsi penyerapan dan penyimpanan karbon dalam kerangka perdagangan karbon. Selain itu, proposisi nilai juga disempurnakan dengan meningkatkan kualitas pelayanan dan fasilitas produk atau jasa yang diharapkan dapat meningkatkan kepuasan pelanggan. Kegiatan yang ditambahkan dalam MBK BTNGP Mandiri ialah pengembangan kemitraan yang fokus terhadap kegiatan kunci, seperti promosi, publikasi, dan membina hubungan dengan pelanggan.
Untuk mempertahankan kualitas sumberdaya kunci yang menjadi
sumber kekuatan proposisi nilai MBK BTNGP, maka perlu dilakukan peningkatan kompetensi SDM melalui pendidikan dan pelatihan. Perubahan mendasar model bisnis BTNGP terdapat pada komponen hubungan pelanggan. Untuk memperoleh bentuk hubungan pelanggan yang lebih efektif, maka target pelanggan yang dilayani perlu digabungkan dalam satu wadah. Bentuk hubungan pelanggan yang dikembangkan ialah kerjasama operasi dalam pengusahaan produk dan jasa kondisi lingkungan melalui kemitraan antara BTNGP, Pemerintah Kabupaten, dan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS). Camponovo dan Pigneur (2009) menyarankan agar dalam analisis model bisnis sebaiknya tidak hanya fokus pada kegiatan dan infrastruktur saja, tetapi perlu juga mempertimbangkan aspek seperti proposisi nilai, hubungan pelanggan, dan mitra bisnis. Perbedaan antara model bisnis BTNGP dan BTNGP mandiri menurut komponen model bisnis Johnson et al. (2008) dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Perbedaan model bisnis BTNGP dan BTNGP Mandiri Model Bisnis BTNGP Saat Ini Lebih mengandalkan potensi sumberdaya alam yang dimiliki
Komponen
Model Bisnis BTNGP Mandiri
Proposisi Nilai Pelanggan
Sumberdaya alam didukung dengan fasilitas dan pelayanan yang optimal
Pendapatan rendah berupa PNBP dari pungutan masuk kawasan
Formula Keuntungan
Pendapatan lebih tinggi melalui bagi hasil pengusahaan produk dan jasa lingkungan
Lebih berorientasi perlindungan dan pengawetan
Sumberdaya dan Kegiatan Kunci
Pengembangan kemitraan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan yang mendukung upaya pelestarian
66
Penyempurnaan model bisnis BTNGP bertujuan meningkatkan pendapatan melalui pengembangan kerjasama pengusahaan dengan pola pembagian keuntungan. Berdasarkan tujuan tersebut, pengembangan model bisnis BTNGP menggunakan pendekatan yang mengkombinasikan inovasi model perusahaan dan model pendapatan, yaitu inovasi untuk memperoleh pendapatan melalui konfigurasi ulang produk dan jasa yang ditawarkan, model penetapan harga, dan perubahan cara melakukan dalam rantai nilai dengan melakukan perluasan perusahaan dan jaringan. Kedua tipe pendekatan inovasi tersebut dapat memandu suatu organisasi untuk mencapai keberhasilan finansial (IBM Global Business Services 2006). Inovasi model bisnis dihasilkan antara lain dari adanya tujuan suatu organisasi untuk meningkatkan kondisi pasar saat ini dengan model bisnis yang lebih baik dan menciptakan sebuah pasar yang baru (Osterwalder dan pigneur 2010). Inovasi model bisnis melalui pendekatan perusahaan yang menekankan pada kolaborasi dengan pihak luar merupakan sebuah pertimbangan kunci dalam strategi perubahan yang berhasil, sehingga inovasi bentuk ini paling umum dilakukan (IBM Global Business Services 2006).
Karakteristik model bisnis
BTNGP Mandiri dibandingkan model bisnis BTNGP secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Perbandingan Karakteristik Model Bisnis BTNGP dan BTNGP Mandiri Model Bisnis BTNGP Saat Ini Revenue Model Busines to Consumer (B2C) dan B2B Regulator dan Operator
Unsur
Model Bisnis BTNGP Mandiri
Tipe Inovasi
Enterprise dan Revenue Model
Kategori
Business to Business (B2B)
Sifat Pengelolaan Regulator
Model bisnis dan strategi membahas suatu isu yang sama, tetapi pada tahapan yang berbeda. Model bisnis sebagai sebuah strategi implementasi berada pada konsep cetak biru logika perusahaan dalam menghasilkan pendapatan (Osterwalder 2004).
Perumusan alternatif strategi dilakukan dengan cara
memindahkan aspek kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dalam matriks SWOT. Alternatif strategi dan aspek-aspek penyusunnya disajikan pada Tabel 15.
67
Hasil penggabungan pada matriks SWOT diperoleh empat alternatif strategi, yaitu: 1) strategi S-T, didasarkan pada kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman eksternal yang dihadapi; 2) strategi W-T, meminimalkan kelemahan untuk menghadapi ancaman yang ada; 3) strategi S-O, dirancang berdasarkan kekuatan yang dimiliki serta memanfaatkan peluang yang ada; dan 4) strategi WO, meminimalkan kelemahan dengan memanfaatkan peluang. Menurut Gelgel et al. (2011) salah satu strategi dalam pembangunan kehutanan berbasis taman nasional ialah peningkatan kerjasama dan partisipasi para pihak. Tabel 15 Matrik SWOT dan strategi pengembangan BTNGP mandiri Faktor Internal
Faktor Eksternal
Peluang (O) O1 : Pendapatan dapat ditambah/diciptakan O2: Kolaborasi dengan mitra fokus pada bisnis inti O3: Pasar sedang tumbuh dapat Dimanfaatkan O4: Harga dapat ditingkatkan O5: Kelompok pelanggan baru dapat dilayani Ancaman (T) T1 : Kualitas sumberdaya kunci dapat terancam kapan saja T2: Biaya tumbuh lebih cepat dari Pendapatan T3: Gannguan supply sumberdaya penting T4: Kegiatan kunci mungkin akan Terganggu T5: Sangat tergantung kepada mitra kerja tertentu
Kekuatan (S) S1 : Proposisi nilai sejalan dengan kebutuhan pelanggan S2: Produk dan jasa bersinergi S3: Sumberdaya kunci sulit ditiru S4: Brand kuat S5: Berkerja dengan mitra terfokus dan penting S6: Pemerintah sebagai regulator dapat memaksakan regulasi
Kelemahan (W) W1 : Marjin keuntungan kecil W2 : Harga tidak didasarkan kesediaan membayar W3 : Struktur biaya kurang sesuai dengan model bisnis W4 : Keberlanjutan Pendapatan Dipertanyakan W5 : Konflik dengan mitra kerja
S–O
W–O
1. Pengembangan produk dan jasa dalam rangka melayani kelompok pelanggan baru untuk menciptakan pendapatan 2. Penerapan regulasi yang dapat membantu jalannya operasional BTNGP Mandiri S-T 4. Peningkatan kerjasama yang fokus terhadap kegiatan kunci dalam rangka mengembangkan proposisi nilai dengan brand yang kuat
3. Peningkatan pendapatan melalui penyesuaian harga dengan memanfaatkan pasar yang sedang tumbuh
W–T 5. Pengembangan kolaborasi usaha dengan mitra untuk menjamin keberlanjutan pendapatan dan kualitas sumberdaya kunci
Model bisnis dan strategi membahas suatu isu yang sama, tetapi pada tahapan yang berbeda. Model bisnis sebagai sebuah strategi implementasi berada pada konsep cetak biru logika perusahaan dalam menghasilkan pendapatan (Osterwalder 2004). Berdasarkan hasil rumusan strategi pada matriks SWOT dan
68
mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki, maka pengembangan BTNGP Mandiri dirancang berdasarkan kombinasi strategi S-T dan WT. Strategi yang ditetapkan ialah peningkatan kerjasama yang fokus terhadap kegiatan kunci dalam rangka mengembangkan proposisi nilai dengan brand yang kuat dan pengembangan
kolaborasi
usaha
dengan
mitra
kerja
untuk
menjamin
keberlanjutan pendapatan dan kualitas sumberdaya kunci. Strategi tersebut digunakan sebagai dasar dalam penyempurnaan model bisnis BTNGP, sehingga diperoleh rancangan model bisnis BTNGP Mandiri, yaitu model bisnis yang mendapatkan keuntungan lebih tinggi yang diharapkan dapat menjamin keberlanjutan pendanaan dan kualitas sumberdaya kunci.
Menurut Gelgel et al.
(2011) salah satu strategi dalam pembangunan kehutanan berbasis taman nasional ialah peningkatan kerjasama dan partisipasi para pihak.
5.2 Rencana Sistem Pengusahaan dan Kelayakan Finansial 5.2.1 Sistem Pengusahaan Rancangan model bisnis menterjemahkan strategi ke dalam sebuah cetak biru model bisnis, kemudian model bisnis tersebut harus dibiayai melalui pendanaan
eksternal
atau
internal,
dan
terakhir
model
bisnis
harus
diimplementasikan dalam sebuah perusahaan bisnis aktual (Osterwalder 2004). Berdasarkan model bisnis BTNGP mandiri yang telah dirancang, maka dirumuskan suatu sistem pengusahaan yang diharapkan dapat mengelola potensi kondisi lingkungan TNGP yang manfaatnya terbagi secara adil kepada pengelola taman nasional, masyarakat lokal melalui pemerintah daerah, dan perusahaan pengelola. Distribusi manfaat secara adil diantaranya dapat dipecahkan melalui inovasi kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Inovasi tersebut dapat
dijalankan melalui melalui pengusahaan yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan swasta (Public-People-Private Enterprise/P3E), yaitu sistem pengusahaan sumberdaya alam yang dikelola oleh pengelola profesional yang dimiliki bersama oleh pemerintah, masyarakat, dan swasta melalui pembiayaan dana perbankan dan dana penyertaan pemerintah yang pembagian keuntungan dari pengusahaannya dengan sistem bagi hasil.
69
Penentuan P3E sebagai sistem pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP berdasarkan pada karakteristik dan pola pengelolaan sumberdaya hutan. Menurut Tadjudin (2000) sumberdaya hutan merupakan properti bersama (common property) atau ada bagian yang diakui sebagai properti bersama. Kartodiharjo (2006) menyatakan bahwa status kawasan taman nasional merupakan state property atau milik negara. Putro et al. (2012) menjelaskan bahwa sumber daya di dalam sebuah taman nasional merupakan agregat sumber daya alam yang memiliki ciri sebagai Common Pool Resources (CPR) atau sumber daya milik umum yang dikelola pemerintah. Sementara Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 secara tersirat menyatakan bahwa hutan dan kawasan hutan merupakan sumberdaya publik. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sistem P3E merupakan salah satu bentuk pola pengelolaan sumberdaya hutan secara kolektif antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Menurut Putro et al. (2012) taman nasional sebagai CPR dapat dikelola secara kolektif dengan berbagai bentuk tata kelembagaan yang bervariasi dan secara umum dapat dikategorikan sebagai berikut: 1) pengelolaan oleh pemerintah, 2) oleh partikelir (swasta) atau 3) kepemilikan komunal. Turner (1994) menyatakan bahwa rejim pengelolaan secara komunal terhadap CPR akan berhasil mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. Sementara Tadjudin (2000) menegaskan bahwa pengelolaan koleksif suatu properti masyarakat memberikan manfaat yang signifikan dalam hal pengawasan kelestarian sumberdaya hutan. Kemenhut (2011a) menyatakan bahwa pengelolaan TN di Indonesia selama ini kurang efektif, antara lain karena sepenuhnya dikelola oleh pemerintah.
Oleh karena itu, pengusahaan kondisi
lingkungan melalui kemitraan merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan peran pemanfaatan dalam pengelolaan taman nasional yang selayaknya menjadi pilihan. Bentuk badan usaha dalam sistem pengusahaan P3E, yaitu perusahaan bersama (PT) yang sahamnya dimiliki bersama oleh pemerintah pusat melalui pengelola taman nasional dan pemerintah daerah (public), masyarakat (people),
70
dan pengelola usaha (private) melalui suatu perjanjian kerjasama.
Perjanjian
kerjasama P3E meliputi shareholders sebagai berikut: 1) pemerintah adalah pemerintah kabupaten setempat yang diwakili oleh bupati; 2) pemerintah pusat yang diwakili oleh Kepala Balai Taman Nasional; dan 3) pengelola usaha, adalah perusahaan swasta yang melaksanakan kegiatan usaha, yang ditetapkan melalui proses pemilihan sesuai perjanjian kerjasama. Sumber pendanaan bagi P3E akan diperoleh sebagian besar dari kredit perbankan sebesar 65 % dari total investasi, sedangkan sisanya bersumber dari dana pemerintah sebagai dana penyertaan. Sumber pendanaan perbankan tersebut berdasarkan pada pola pembiayaan kredit investasi dan kredit modal kerja pada Bank Mandiri dengan ketentuan maksimum pembiayaan bank sebesar 65% dari total investasi dan Self Financing (SF) sebesar 35% dari total investasi. 5.2.2 Analisis Kelayakan Finansial Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk memberikan gambaran dan simulasi pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP melalui sistem P3E. Selain itu, analisis ini juga digunakan sebagai bahan untuk melakukan evaluasi terhadap rencana investasi dalam pengusahaan tersebut. Menurut Rangkuti (2000) terdapat tiga tahapan kegiatan evaluasi rencana investasi, yaitu: 1) estimasi arus kas (cash flow); 2) estimasi rencana pendapatan; dan 3) penilaian rencana investasi berdasarkan ukuran-ukuran yang jelas, seperti Net Present Value (NPV) dan Interal Rate of Return (IRR). Tahapan pelaksanaan analisis kelayakan finansial pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP melalui sistem P3E menggunakan asumsi siklus pengusahaan selama sepuluh tahun diuraikan sebagai berikut: (1) Proyeksi Penjualan Proyeksi penjualan disusun berdasarkan data penjualan paket wisata Nasalis Tour & Travel tahun 2011, laporan keuangan pengelola CPRS, laporan pelaksanaan pembentukan forum air TNGP, dan studi kelayakan proyek REDD di Kayong Utara. Selain itu, digunakan juga asumsi terhadap kenaikan volume dan harga jual untuk produk atau jasa wisata alam, penelitian, air, dan karbon.
Proyeksi penjualan pengusahaan kondisi
71
lingkungan TNGP melalui sistem P3E dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16 Proyeksi penjualan pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP melalui sistem P3E data dasar 2011 Volume/Tahun
Uraian Wisata Alam - Lubuk Baji - Batu Barat - Gunung Panti - Peramas - Pampang Jumlah A Pelayanan Penelitian - Jangka Panjang - Jangka Pendek Jumlah B
1
Tahun Ke3 4
2
5
10
40 Paket 10 Paket 4 Paket 24 Paket 60 Paket
2 430 000 3 680 000 12 500 000 1 500 000 500 000
48 12 5 29 72 166
56 14 6 34 84 193
64 16 6 38 96 221
72 18 7 43 108 248
80 20 8 48 120 276
192 48 19 115 288 662
24 Bulan Paket/Tahun 14 Minggu Paket/Tahun
20 000 000 3 175 000
24 14 38
24 14 38
24 14 38
24 14 38
24 14 38
48 28 76
Pemanfaatan Air - Air Bersih 109 394 m3 - Air Kemasan 24 480 m3 Jumlah C Karbon
Harga Satuan (Rp)
15 000
ton/tahun
1 000 54 697 82 045 109 394 112 129 114 864 164 091 100 000 12 240 18 630 24 480 25 092 25 704 36 720 66 937 100 405 133 874 137 221 140 568 200 811 22 500/45 000/90 000 15 000 15 000 15 000 15 000 15 000
15 000
Volume penjualan paket wisata alam di setiap lokasi diproyeksikan meningkat sebesar 2%/tahun. Sementara itu harga penjualan paket wisata alam meningkat sebesar 42%/tahun untuk paket Lubuk baji dan Batu barat, 17%/tahun untuk paket Gunung Panti, serta 1%/tahun untuk paket Peramas dan Pampang.
Asumsi tersebut dibuat berdasarkan data dan informasi
mengenai penjualan paket wisata alam yang dikelola oleh Koperasi Nasalis. Selain itu, asumsi juga didasarkan atas adanya rencana kenaikan PNBP untuk pungutan masuk kawasan taman nasional, IUPJWA, dan IUPSWA yang diprediksi akan meningkatkan biaya operasional dalam pelayanan paket wisata alam. Asumsi yang digunakan dalam proyeksi penjualan paket pelayanan penelitian didasarkan pada data dan informasi mengenai penjualan paket pelayanan penelitian dari pengelola SPCP. Selain itu, asumsi juga didasarkan atas adanya informasi tentang adanya rencana kenaikan PNBP untuk pungutan masuk kawasan taman nasional, IUPJWA, dan IUPSWA. Proyeksi penjualan paket pelayanan penelitian di SPCP menggunakan asumsi volume pada tahun kesatu sampai tahun kelima sama dengan data dasar, sedangkan pada tahun keenam sampai tahun kesepuluh naik 50%. Sementara itu, harga jual paket pelayanan penelitian meningkat sebesar 18%/tahun untuk penelitian jangka panjang dan 84%/tahun untuk penelitian jangka pendek.
72
Volume penjualan air minum kemasan dan air bersih pada tahun pertama diproyeksikan hanya 50% dari data dasar volume kebutuhan air tahun 2011. Pada tahun kedua dan ketiga masing-masing volume penjualannya sebesar 75%/tahun dan 100% dari data dasar, kemudian pada tahun keempat dan kelima meningkat sebesar 2,5% dari data dasar. Selanjutnya pada tahun keenam sampai tahun kesepuluh volumenya meningkat sebesar 1% dari data dasar tahun 2011. Harga air minum kemasan dan air bersih menggunakan asumsi harga dalam Kemenhut (2011a), yaitu masing-masing sebesar Rp 100 000/m3 dan Rp 1 000/m3 dan diproyeksikan meningkat sebesar 1%/tahun. Proyeksi penjualan dalam perdagangan karbon menggunakan asumsi potensi penyerapan dan penyimpanan emisi karbon di TNGP sebesar 15 000 ton CO2/tahun.
Potensi tersebut diproyeksikan dapat dijual pada tahun
ketiga, hal ini untuk memberikan kesempatan kepada pengelola untuk mempersiapkan mekanisme perdagangan karbon.
Skenario harga karbon
diasumsikan sebesar Rp 22 500/ton pada tahun ketiga sampai dengan tahun kelima, Rp 45 000/ton pada tahun keenam sampai dengan tahun kedelapan, dan Rp 90 000 pada tahun kesembilan dan kesepuluh. Asumsi tersebut menggunakan data hasil studi kelayakan proyek karbon di TNGP yang dilakukan pada tahun 2011 (Cunmin et al. 2011).
(2) Proyeksi Penerimaan Penerimaan diperoleh dari proyeksi penjualan empat jenis produk dan jasa yang ditawarkan, yaitu: wisata alam, pelayanan penelitian, air, dan karbon.
Total
penerimaan
dari
pengusahaan
kondisi
lingkungan
diproyeksikan sebesar Rp 19,4 milyar. Penerimaan pada tahun kesatu sampai tahun kelima dan kesepuluh pengusahaan tersebut disajikan pada Tabel 17.
73
Tabel 17 Proyeksi penerimaan dari pengusahaan kondisi lingkungan melalui sistem P3E Uraian
Tahun ke-
4 5 A. Wisata Alam - Lubuk Baji 176 304 000 219 296 000 266 176 000 316 944 000 371 600 000 - Batu Barat 66 576 000 82 824 000 100 544 000 119 736 000 140 400 000 - Gunung Panti 75 600 000 95 200 000 116 800 000 140 400 000 166 000 000 - Peramas 47 520 000 60 480 000 74 880 000 90 720 000 108 000 000 - Pampang 39 600 000 50 400 000 62 400 000 75 600 000 90 000 000 Jumlah A 405 600 000 508 200 000 620 800 000 743 400 000 876 000 000 B. Pelayanan Penelitian - Jangka Panjang 576 000 000 624 000 000 672 000 000 720 000 000 768 000 000 - Jangka Pendek 72 501 000 83 664 000 95 589 000 108 276 000 121 725 000 Jumlah B 648 501 000 707 664 000 767 589 000 828 276 000 889 725 000 C. Pemanfaatan Air - Air Bersih 55 243 962 83 686 398 112 675 803 116 613 987 120 606 867 - Air Kemasan 1 236 240 000 1 872 720 000 2 521 440 000 2 609 568 000 2 698 920 000 Jumlah C 1 291 483 962 1 956 406 398 2 634 115 803 2 726 181 987 2 819 526 867 D. Karbon - Karbon 0 0 337 500 000 337 500 000 337 500 000 Total Per Tahun Total Proyek
1
2
10
3
603 850 000 211 900 000 256 750 000 253 500 000 341 250 000 1 667 250 000 2 016 000 000 200 400 000 2 216 400 000 180 500 073 4 039 200 000 4 219 700 073 1 350 000 000
2 345 584 962 3 172 270 398 4 360 004 803 4 635 357 987 4 922 751 867 9 453 350 073 19 435 970 016
(3) Proyeksi Biaya Pengusahaan kondisi lingkungan TNGP melalui sistem P3E memerlukan biaya pra-investasi dan investasi sebesar Rp 1,69 milyar, biaya tersebut meliputi biaya pembuatan bangunan, pembelian mesin, peralatan, sarana transportasi, dan inventaris kantor.
Sementara biaya untuk modal kerja
meliputi biaya tetap, biaya variabel, dan biaya penyusutan aktiva tetap yang diperlukan pada tahun pertama sebesar Rp 1,40 milyar. Asumsi yang digunakan dalam proyeksi biaya tersebut, yaitu: biaya penyusutan aktiva tetap4 dan biaya perawatan aktiva berkisar antara 1020%/tahun dari nilai masing-masing jenis aktiva, biaya pemasaran sebesar 5% dari penjualan, komisi penjualan sebesar 10% dari penjualan. Komponen biaya investasi dan modal kerja yang diperlukan dalam pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP melalui sistem P3E disajikan pada Tabel 18, sementara rincian lengkap proyeksi biaya tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5.
4
Harta kekayaan yang dimiliki oleh perusahaan yang dapat diukur dengan jelas dan bersifat permanen, contoh tanah, bangunan, dan alat pengangkutan (Rangkuti 2000)
74
Tabel 18 Proyeksi biaya pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP melalui sistem P3E No
Tahun ke-
Uraian
1
A Investasi 1 Pra-Investasi 592 000 000 2 Bangunan 728 969 781 Mesin dan 3 Peralatan 18 900 000 4 Sarana Transportasi 280 300 000 5 Inventaris Kantor 55 700 000 6 Alat-Alat Bantu 16 300 000 1 692 169 781 Biaya Investasi
2
3
0
4
0
10
5
0
0
0
B Modal Kerja 1 Biaya Tetap 918 617 098 999 382 610 1 088 224 673 1 185 950 943 1 293 449 839 2 523 564 641 2 Biaya Variabel 348 985 377 4225 84 224 868 362 695 601 993 732 654 947 929 1 382 232 685 3 Biaya Penyusutan 138 991 978 138 991 978 138 991 978 138 991 978 138 991 978 138 991 978 Aktiva Biaya Modal Kerja 1 406 594 453 1 560 958 812 2 095 579 347 1 926 936 653 2 087 389 747 4 044 789 304 Total Biaya (A + B) 3 098 764 234 1 560 958 812 2 095 579 347 1 926 936 653 2 087 389 747 4 044 789 304
Total biaya yang diperlukan untuk pengusahaan kondisi lingkungan TNGP melalui sistem P3E pada tahun pertama sebesar Rp 3,1 milyar yang terdiri atas biaya investasi dan modal kerja. Sumber dana dapat diperoleh dari pinjaman bank berupa Kredit Investasi (KI5)) dan Kredit Modal Kerja (KMK6)). Pola pembiayaan untuk biaya investasi dan modal kerja tersebut menggunakan asumsi KI dan KMK pada Bank Mandiri dengan ketentuan maksimum pembiayaan bank 65% dan Self Financing (SF) 35%.
SF
dialokasikan berasal dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah sebagai modal penyertaan.
Selain itu, kredit tersebut juga menggunakan asumsi
tingkat suku bunga sebesar 13,5%/tahun7) dan jangka waktu kredit sepuluh tahun.
Struktur dan sumber permodalan rencana pengusahaan kondisi
lingkungan di TNGP melalui sistem P3E disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Struktur dan sumber permodalan Sumber Dana Modal Tetap Modal Kerja (Rp) Kredit Bank (65%) 1 099 910 358 914 286 394 Modal Penyertaan Pemerintah (35%) 592 259 423 492 308 059 Jumlah 1 692 169 781 1 406 594 453
5)
Jumlah (Rp) 2 014 196 752 1 084 567 482 3 098 764 234
Kredit jangka menengah/panjang yang diberikan kepada (calon) debitur untuk membiayai barang-barang modal dalam rangka rehabilitasi,modernisasi, perluasan ataupun pendirian proyek baru 6) Fasilitas kredit modal kerja yang diberikan baik dalam rupiah maupun valuta asing untuk memenuhi modal kerja yang habis dalam satu siklus usaha dengan jangka waktu maksimal 1 tahun namun dapat diperpanjang 7) Tingkat Suku Bunga KI dan KMK pada Bank Mandiri
75
(4) Proyeksi Laba-Rugi Proyeksi Laba-rugi pengusahaan kondisi lingkungan TNGP melalui sistem P3E dibuat untuk jangka waktu sepuluh tahun sesuai dengan masa pengembalian kredit dan umur ekonomis dari peralatan dan perlengkapan yang digunakan.
Proyeksi laba rugi tersebut didasarkan pada besarnya
penerimaan dari volume penjualan dan harga jual produk/jasa kondisi lingkungan di TNGP serta selisihnya terhadap biaya produksi setiap tahun. Selain itu, proyeksi laba rugi juga menggunakan asumsi sebagai berikut: 1) pajak badan sebesar 25%/tahun dari pendapatan setelah dikurangi seluruh biaya-biaya yang berkaitan dengan usaha dan mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif pasal 17 ayat (1) huruf b dan ayat (2a) UU Pajak Penghasilan; 2) angsuran pokok KI dan KMK setiap tahun sebesar Rp 201,419,675; dan 3) bunga KI dan KMK setiap tahun besarnya disesuaikan dengan penghitungan dengan metode efektif. Laba pengusahaan kondisi lingkungan TNGP bernilai positif sejak tahun pertama dan diproyeksikan akan menghasilkan laba bersih setelah dikurangi pajak dan pembayaran pokok pinjaman sebesar Rp 24,7 milyar selama satu siklus usaha.
Proyeksi laba rugi pengusahaan kondisi lingkungan TNGP
melalui sistem P3E disajikan pada Tabel 20. Tabel 20 Proyeksi laba rugi dari pengusahaan kondisi lingkungan TNGP Item Penerimaan Pengusahaan Kondisi Lingkungan Total Penerimaan Pengeluaran a. Biaya Tetap b. Biaya Variabel c. Biaya Penyusutan Aktiva Total Pengeluaran Laba (Rugi) sebelum bunga a. Bunga KI dan KMK b. Angsuran Pokok KI dan KMK Laba (rugi) sebelum Pajak Biaya pajak (PPH Badan 25% x 50%) Laba (Rugi) Bersih
Tahun ke1
2
3
4
5
10
2 345 584 962 3 172 270 398 4 360 004 803 4 635 357 987 4 922 751 867 9 453 350 073 2 345 584 962 3 172 270 398 4 360 004 803 4 635 357 987 4 922 751 867 9 453 350 073 918 617 098 348 985 377
999 382 610 1 088 224 673 1 185 950 943 1 293 449 839 2 5235 64 641 422 584 224 868 362 695 601 993 732 654 947 929 1 382232 685
138 991 978 138 991 978 138 991 978 138 991 978 138 991 978 138 991 978 1 406 594 453 1 560 958 812 2 095 579 347 1 926 936 653 2 087 389 747 4 044 789 304 938 890 509 1 611 311 585 2 264 425 457 2 708 421 334 2 835 362 121 5 408 560 769 27 191 656
244 724 905
217 533 249
190 341 593
163 149 937
27 191 656
201 419 675
201 419 675
201 419 675
201 419 675
201 419 675
201 419 675
710 379 178 1 165 167 005 1 845 472 532 2 316 660 066 2 470 792 508 5 179 949 438 88 797 397 145 645 876 230 684 067 289 582 508 308 849 064 647 493 680 621 587 780 1 019 521 129 1 614 788 466 2 027 077 558 2 161 943 445 4 532 455 758
76
(5) Manfaat Laba bersih yang diperoleh dalam pengusahaan kondisi lingkungan TNGP melalui penerapan sistem usaha P3E akan dibagi kepada setiap pihak yang menjadi shareholders sesuai dengan kontribusi dan proporsi yang disepakati. Para pihak tersebut, yaitu: BTNGP, Pemerintah Kabupaten Kayong Utara, dan perusahaan pengelola.
Proporsi pembagian manfaat
menggadopsi distribusi Nilai Jual Jasa Lingkungan (NJ2L) penyerapan dan penyimpanan karbon pada hutan lindung sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan No: P.36/Menhut-II/2009 tentang tata cara perizinan usaha pemanfaatan penyerapan dan/atau penyimpanan karbon pada hutan produksi dan hutan lindung. Ilustrasi pembagian manfaat finansial dari laba bersih yang diperoleh selama satu siklus usaha untuk lima shareholders tersebut disajikan pada Tabel 21. Tabel 21 Proyeksi pembagian laba pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP melalui sistem P3E kepada shareholders Shareholder
Laba Per Tahun Proporsi 1 100%
2
3
4
5
10
621 581 780 1 019 521 129 1 614 788 466 2 027 077 558 2 161 943 445 4 532 455 758
Perusahaan Pengelola
40%
248 632 712 407 808 452
645 915 386
810 831 023
864 777 378
1 812 982 303
Pemda Kayong Utara
20%
124 316 356 203 904 226
322 957 693
405 415 512
432 388 689
906 491 152
BTNGP
40%
248 632 712 407 808 452
645 915 386
810 831 023
864 777 378
1 812 982 303
Sistem pengusahaan seperti diuraikan di atas dapat menjamin keberlanjutan dana pengelolaan dan keberlangsungan pengusahaan kondisi lingkungan TNGP yang sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Proyeksi bagi hasil yang diterima BTNGP pada tahun ke-10 diperkirakan dapat membiayai paling tidak 80% biaya operasional pengelolaan TNGP, yaitu rata-rata Rp 1,8 milyar/tahun. Selain itu, laba dari pengusahaan tersebut juga dapat memberikan kontribusi pada Pendapatan Asli Daerah (PAD) Pemerintah Kabupaten Kayong Utara. Pada tahun 2011 PAD Kabupaten Kayong Utara sebesar Rp 11,4 Milyar, sehingga bagi hasil dari pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP yang diterima Pemerintah Kabupaten Kayong Utara setara dengan 16% PAD.
77
(6) Arus Kas (Cash Flow) Kelayakan finansial pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP melalui sistem usaha P3E dianalisis dengan menggunakan metode arus kas. Metode tersebut digunakan untuk menilai rencana investasi berdasarkan kriteria Discounted Cash Flow (DCF), yaitu NPV dan IRR.
Proyeksi arus kas
diproyeksikan dalam satu siklus usaha dengan menggunakan asumsi bahwa depresiasi investasi dan amortisasi pra operasi besarnya sama setiap tahun yang dihitung menggunakan metode garis lurus dengan jangka waktu selama sepuluh tahun. Proyeksi arus kas pengusahaan kondisi lingkungan TNGP melaui sistem P3E dapat dilihat pada Tabel 22. Tabel 22 Proyeksi arus kas pengusahaan kondisi lingkungan TNGP melalui sisitem P3E Uraian Laba Bersih + Depresiasi Investasi + Amortisasi Pra Operasi - Biaya Pra Operasi - Biaya Investasi Arus Kas Bebas
Tahun ke10 1 2 3 4 5 621 581 780 1 019 521 129 1 614 788 466 2 027 077 558 2 161 943 445 4 532 455 758 131 702 978 131 702 978 131 702 978 131 702 978 131 702 978 131 702 978 65 000 000 65 000 000 65 000 000 65 000 000 65 000 000 65 000 000 650 000 000 0 0 0 0 0 1 317 029 781 0 0 0 0 0 -1 148 745 023 1 216 224 107 1 811 491 444 2 223 780 536 2 358 646 423 4 729 158 736
Proyeksi arus kas pada Tabel 22 menunjukan bahwa pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP melalui sistem P3E memiliki nilai negatif pada tahun pertama. Hal ini disebabkan pada tahun pertama terdapat biaya pra operasi dan biaya investasi, selain itu laba bersih pengusahaan tersebut relatif kecil, karena perdagangan karbon diprediksi belum berjalan. Pada tahun kedua, arus kas bernilai positif dan mengalami kenaikan sampai akhir siklus usaha.
(7) Net Present Value (NPV) NPV dihitung dengan menggunakan tingkat diskonto sebesar 10,70%. Tingkat diskonto tersebut merupakan biaya modal rata-rata tertimbang (weighted average cost of capital) dari tingkat bunga kredit investasi sebesar 13,50% dan tingkat bunga deposito sebesar 5,50%8) sebagai opportunity cost dari investasi pemerintah dan.
Nilai Weighted average cost of capital
dihasilkan dari penjumlahan biaya modal atas kredit investasi (65% x 13,5% = 8,78%) dengan biaya modal atas investasi pemilik (35% x 5,50% = 1,93%). Hasil perhitungan menunjukan nilai NPV sebesar Rp 10 189 132 732. Nilai 8)
Tingkat suku bunga deposito pada Bank Kalbar
78
NPV positif tersebut menunjukkan bahwa rencana investasi pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP melalui sistem P3E layak untuk dilaksanakan. Nilai tersebut juga berarti bahwa keuntungan yang dihasilkan dari rencana pengusahaan tersebut nilainya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan. Hasil penghitungan NPV disajikan pada Tabel 23. Tabel 23 NPV pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP melalui sistem P3E Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Total PV dari Inflow Total Investasi NPV
Cash Flow -1 148 1 216 1 811 2 223 2 358 2 856 3 129 3 393 4 148 4 729
745 224 491 780 646 192 779 845 993 158
023 107 444 536 423 555 769 883 532 736
I = 10,7% DF (10,7%) 0,90 0,82 0,74 0,67 0,60 0,54 0,49 0,44 0,40 0,36
Cash Flow x DF 10.7 % -1 037 710 048 992 472 235 1 335 344 815 1 480 817 169 1 418 811 623 1 552 035 881 1 536 315 573 1 504 912 154 1 661 935 520 1 711 227 232 12 156 162 154 1 967 029 781 10 189 132 372
(8) Internal Rate of Return (IRR) IRR yang dihasilkan dari rencana pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP melalui sistem P3E sebesar 48,06%. Hasil ini menunjukkan bahwa pada tingkat suku bunga 10,7%, rencana pengusahaan tersebut layak untuk dilaksanakan. Perhitungan IRR melalui interpolasi disajikan pada Tabel 24. Tabel 24 NPV pengusahaan kondisi lingkungan di TNGP melalui sistem P3E 10.7% 47% 49% Net Cash Flow DF (13.5 %) NCF X DF 10 % DF (47 %) NCF X DF 15 % DF (49 %) NCF X DF 84 % -1 148 745 023 0,90 -1 037 710 048 0,68 -781 459 199 0,67 -770 969 814 1 216 224 107 0,82 992 472 235 0,46 562 832 203 0,45 547 824 020 1 811 491 444 0,74 1 335 344 815 0,31 570 274 934 0,30 547 617 706 2 223 780 536 0,67 1 480 817 169 0,21 476 236 399 0,20 451 176 895 2 358 646 423 0,60 1 418 811 623 0,15 343 618 208 0,14 321 167 433 2 856 192 555 0,54 1 552 035 881 0,10 283 063 241 0,09 261 017 648 3 129 779 769 0,49 1 536 315 573 0,07 211 004 849 0,06 191 959 628 3 393 845 883 0,44 1 504 912 154 0,05 155 651 546 0,04 139 701 790 4 148 993 532 0,40 1 661 935 520 0,03 129 445 437 0,03 114 621 567 4 729 158 736 0,36 1 711 227 232 0,02 100 371 530 0,02 87 684 172 Total PV dr Inflow 12 156 162 154 2 051 039 147 1 891 801 046 Total Investasi 1 967 029 781 1,967,029,781 1,967,029,781 NPV 10 189 132 372 84 009 365 -75 228 736 47% Discounted factor (+) : Selisih dF : 2% Selisih NPV (+) - NPV (-) : 159 238 101 IRR : 48,06% Tahun 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
79
5.3 Pola Pengelolaan dan Organisasi BTNGP Mandiri Perubahan model bisnis BTNGP menjadi model bisnis BTNGP Mandiri, akan berimplikasi adanya kebutuhan penyesuaian pada tiga aspek, yaitu: 1) aspek pengelolaan; 2) aspek organisasi; dan 3) aspek peraturan.
Hartono (2008a)
menyatakan bahwa pengembangan taman nasional menuju ke arah taman nasional mandiri perlu ditelaah secara mendalam, terutama berkaitan dengan batasan dan ruang
lingkup
kemandirian,
payung
hukum,
strategi
dan
langkah
implementasinya, serta kriteria dan indikator penilaiannya.
5.3.1 Aspek Pengelolaan Aspek pengelolaan berkaitan dengan bentuk dan prioritas kegiatan, pengelolaan keuangan, dan sistem informasi dan teknologi yang dapat mendukung terciptanya kemandirian taman nasional. Kegiatan yang dilakukan diarahkan untuk mendukung terjaganya kualitas proposisi nilai dan sumberdaya kunci yang menjadi komponen utama dalam model bisnis BTNGP mandiri. Bentuk kegiatan pemanfaatan TNGP mencakup pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu menjadi prioritas utama. Oleh karena itu, kegiatan teknis yang terkait dengan optimalisasi pemanfaatan potensi kondisi lingkungan perlu diperbanyak. Selain itu, kegiatan pembinaan daerah penyangga taman nasional menjadi sesuatu yang mutlak perlu dilakukan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya kesempatan masyarakat untuk memanfaatkan potensi sumberdaya di taman nasional. Aspek pengelolaan penting lain yang mendukung kemandirian taman nasional BTNGP ialah pengelolaan keuangan. Saat ini, anggaran pengelolaan dalam bentuk Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perubahan model bisnis BTNGP menjadi model bisnis BTNGP mandiri menuntut berubahnya sistem pengelolaan anggaran, agar pendapatan dari hasil pembagian keuntungan pengusahaan kondisi lingkungan dengan sistem P3E dapat dikelola secara langsung untuk belanja operasional pengelolaan taman nasional. Pola Pengelolaan Keuangan (PPK) yang memungkinkan BTNGP dapat mengelola keuangan secara langsung ialah Badan Layanan Umum (BLU). Salah satu bentuk PPK-BLU yang
80
dapat diadopsi ialah BLU pembiayaan taman nasional yang dapat memberikan modal penyertaan dan menerima pendapatan dari usaha yang dilakukan bersama dengan pihak lain. Sistem informasi dan teknologi dalam pengelolaan taman nasional merupakan kegiatan yang penting dimanfaatkan secara maksimal.
Pengelola
taman nasional harus menjadi pusat informasi mengenai potensi kondisi lingkungan serta tumbuhan dan satwa liar. Informasi tersebut digunakan sebagai dasar dalam penataan dan alokasi kawasan yang dapat dimanfaatakan potensinya melalui pemberiaan ijin pengusahaan. Oleh karena itu, kegiatan inventarisasi untuk menghimpun data dan informasi sumberdaya hutan harus dilakukan lebih intensif dan berkelanjutan, akurat, tepat waktu, dan tepat guna. Untuk mendukung kegiatan tersebut disarankan menggunakan teknologi terapan yang dapat mempermudah dalam pelaksanaan dan penyempurnaan output yang dihasilkan. 5.3.2 Aspek Organisasi Aspek organisasi yang perlu disesuaikan dengan perubahan model bisnis BTNGP, antara lain: struktur, tugas, dan fungsinya.
Kawasan TNGP telah
ditetapkan sebagai KPHK berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.721/Menhut-II/2010 tanggal 26 Desember 2010, akan tetapi tugas dan fungsi organisasi KPHK TNGP belum ditetapkan sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 9 ayat (2) dan (3) PP. 6/2007 jo PP. 3/2008. Hal itu dapat menjadi dasar perlunya transformasi organisasi BTNGP menjadi menjadi bentuk Balai Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (BKPHK). Ditjend PHKA (2011) menyebutkan salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk transformasi organisasi taman nasional yang telah ditetapkan sebagai KPHK dimana wilayahnya hanya terdiri dari satu unit taman nasional, maka balai taman nasional tersebut dapat ditetapkan sebagai lembaga pengelola KPHK taman nasional (Ditjend PHKA 2011). Transformasi organisasi BTNGP menjadi bentuk BKPHK perlu juga dilakukan sebagai langkah penyesuaian terhadap perubahan model bisnis BTNGP yang mendukung pola pengelolaan dan pemanfaatan kondisi lingkungan melalui sistem P3E.
BKPHK ialah suatu bentuk organisasi BTNGP mandiri yang
merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Kehutanan yang
81
memadukan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dengan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU).
Menurut Putro et al. (2012)
organisasi pengelola taman nasional dengan pola pengelolaan keuangan BLU dapat memberikan jawaban dalam mengembangkan kemandirian pengelolaan taman nasional, sepanjang didukung dengan sumber daya manusia yang profesional. Berdasarkan P. 03/Menhut-II/2007 dengan perubahan P. 52/Menhut-II/2009, BTNGP merupakan organisasi yang diklasifikasikan sebagai UPT taman nasional kelas II dan tipe B. Sementara itu, dalam rangka penyesuaian dengan penetapan TNGP sebagai KPHK dan perubahan model bisnis BTNGP menjadi BTNGP mandiri, maka diperlukan perubahan struktur organisasi menjadi UPT taman nasional tipe A. Perubahan struktur organisasi tersebut dengan cara menambah satu jabatan struktural setingkat eselon IV, yaitu Seksi Pemanfaatan dengan empat unit urusan pemanfaatan. Struktur organisasi tersebut disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23 Bagan organisasi BTNGP Mandiri. Seksi pemanfaatan pada bagan organisasi BTNGP Mandiri memiliki tugas pokok yang fokus dalam menangani upaya peningkatan, pengawasan, dan pengendalian kegiatan pemanfaatan potensi TNGP. Selain itu, Seksi Pemanfaatan
82
juga bertugas dalam pengembangan kemitraan dalam pemanfaatan potensi kondisi lingkungan TNGP. Sedangkan Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) lebih fokus dalam melaksanakan kegiatan pada bidang perlindungan dan pengawetan di wilayah seksinya masing-masing. Pembagian tugas pokok tersebut diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan pengelolaan taman nasional, sehingga kemandirian pengelolaan BTNGP dapat tercapai dalam waktu tidak terlalu lama. Struktur organisasi KPHK menekankan pada penguatan peran di tingkat resort yang sejalan dengan paradigma baru pengelolaan kawasan konservasi dimana aspek pemanfaatan lebih dikedepankan. Oleh karena itu, struktur organisasi
juga
harus
menjadi
wadah
bagi
tumbuh
berkembangnya
profesionalisme rimbawan ketika berinteraksi dengan potensi dan permasalahanpermasalahan hutan di tingkat tapak (Suwarno et al. 2011). Organisasi KPH merupakan
organisasi
pengelola
hutan
yang mampu
menyelenggarakan
pengelolaan yang dapat menghasilkan nilai ekonomi dari pemanfaatan hutan dalam keseimbangan dengan fungsi konservasi, perlindungan, dan sosial dari hutan; mampu mengembangkan investasi dan menggerakkan lapangan kerja; mempunyai
kompetensi
untuk
melindungi
kepentingan
hutan
termasuk
kepentingan publik dari hutan; serta mampu menjawab jangkauan dampak pengelolaan hutan yang bersifat lokal, nasional, dan global (Penjelasan Pasal 8 PP. 6/2007 jo PP. 3/2008). Organisasi KPH menyelenggarakan fungsi manajemen atau pengelolaan, sedangkan instansi pemerintah seperti kementerian kehutanan dan dinas kehutanan menyelenggarakan fungsi administrasi dan pengurusan hutan (PP. 6/2007 Jo PP. 3/2008). Tugas dan fungsi organisasi KPH antara lain membuka peluang
investasi
guna
mendukung
tercapainya
tujuan
pengelolaan;
menyelenggarakan pemanfaatan hutan di wilayah tertentu; pemanfaatan hutan dalam hal pemantauan dan pengendalian terhadap pemegang ijin; perlindungan hutan dan konservasi alam; melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya (PP. 6/2007 jo PP. 3/2008 Pasal 9).
83
Unit Pelaksana Teknis (UPT) taman nasional memiliki tugas untuk melakukan
penyelenggaraan
konservasi
sumberdaya
alam
hayati
dan
ekosistemnya dan pengelolaan kawasan taman nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sementara fungsinya antara lain: pengelolaan kawasan taman nasional; kerjasama pengembangan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya serta pengembangan kemitraan; serta pengembangan dan pemanfaatan jasa lingkungan dan pariwisata alam (P. 03/Menhut-II/2007 Pasal 2). Sejalan dengan perintah UU. 41/1999 dan diterbitkannya PP. 3/2008 jo PP. 6/2007 kelembagaan balai taman nasional sedang dikaji untuk didesain ulang menjadi KPHK yang diharapkan akan memperkuat posisi TN sebagai lembaga dengan kewenangan yang lebih luas, sehingga mampu mendorong percepatan TN menjadi pusat plasma nutfah sekaligus penghela pembangunan ekonomi kehutanan di masa mendatang (Kemenhut 2011a). Apabila ditinjau dari aspek kewenangan
dalam
hal
pemanfaatan
hutan,
KPHK
seyogianya
dapat
menyelenggarakan pengelolaan yang dapat menghasilkan nilai ekonomi secara langsung dan dapat dijadikan sebagai sumber dana pengelolaan (Suwarno et al. 2011).
Perbedaan karakter organisasi BTNGP dan BTNGP mandiri disajikan
pada Tabel 25. Tabel 25 Perbedaan karakter organisai BTNGP dan BTNGP Mandiri BTNGP
Unsur
BTNGP Mandiri
DIPA-APBN
Keuangan
PPK-BLU dengan kontribusi minimal 80% dari biaya operasional pengelolaan taman nasional
Lebih fokus pada perlindungan dan pengawetan hutan
Kegiatan
Lebih fokus pada kegiatan pemanfaatan yang mendukung upaya pelestarian
Fungsi administrasi, penyelenggaraan, dan pengelolaan
Organisasi
KPHK dengan fungsi pengelolaan
Informasi sumberdaya hutan belum dihimpun intensif
Informasi dan Teknologi
Menghimpun informasi sumberdaya hutan lebih intensif untuk mendukung pemanfaatan
84
5.3.3 Aspek Peraturan Peraturan merupakan aspek yang akan menjadi dasar hukum dan pra-syarat bagi aspek pengelolaan dan pengorganisasian BTNGP Mandiri. Menurut Hartono (2008a) pengelolaan taman nasional menuju taman nasional mandiri hanya dapat dilakukan apabila payung hukum ke arah tersebut sudah dibuat.
Selain itu,
diperlukan juga konsep yang jelas dalam bentuk arahan dan pedoman tentang bagaimana mengelola taman nasional mandiri. Putro et al. (2012) menyatakan bahwa salah satu persoalan pokok aspek legal dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah desain organisasi pengelola yang berciri sebagai organisasi birokrasi, sehingga melemahkan kapasitasnya sebagai pengelola kawasan konservasi yang berorientasi pada kinerja pengelolaan. Pengelolaan kawasan konservasi secara kolaboratif telah menjadi perhatian para pihak dan mendapatkan dukungan legal melalui Peraturan Menteri Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA. Menurut Putro et al. (2012) terbitnya PP. 36/2010 dan PP. 28/2010, serta prioritas nasional pembangunan KPHK, memberikan sedikit ruang bagi PKTN untuk menemukan koridor bagi peran publik, swasta, dan masyarakat madani yang menjamin keberlanjutan dan kemandirian pengelolaan taman nasional. Badan usaha dapat berperan dalam kerja sama penyelenggaraan KPA dan KSA sebagaimana diatur dalam Pasal 43, dalam hal: (a) penguatan fungsi KSA dan KPA; dan (b) kepentingan pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan. Kemitraan
publik-privat
dalam
pengelolaan
kolaboratif
taman
nasional
mendapatkan dukungan legal melalui pasal tersebut. Momentum perubahan dari BB/BTN dan BB/BKSDA menjadi KPHK sebagaimana dimandatkan dalam PP 6 Tahun 2007 jo PP 8 Tahun 2008 dapat dimanfaatkan untuk mendorong penerapan pengelolaan keuangan BLU dalam pengelolaan kawasan konservasi. Penerapan Pengelolaan Keuangan BLU/D (PPK- BLU/D) mengacu pada PP 23 Tahun 2005. BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan. Berdasarkan hasil analisis isi terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait pengembangan taman nasional mandiri, dapat disimpulkan sebagai berikut:
85
1) pengelolaan taman nasional dapat dioptimalkan melalui optimalisasi pemanfaatan hutan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya; 2) badan usaha dapat berperan dalam kerja sama dalam penyelenggaraan taman nasional untuk penguatan fungsi KSA dan KPA serta kepentingan pembangunan strategis yang tidak dapat dielakkan. Peran tersebut dapat dilakukan dalam bentuk kemitraan kolaboratif antara publik-privat dalam pengusahaan pemanfaatan kondisi lingkungan di taman nasional; 3) Organisasi pengelola taman nasional yang ada saat ini perlu dilakukan transformasi kepada kelembagaan KPHK yang mengedepankan aspek pemanfaatan. Pembentukan wilayah dan organisasi pengelola dalam bentuk KPHK merupakan amanah dari UU No. 41/1999, PP No.44/2004, dan PP No.6/2007; dan 4) momentum perubahan dari BB/BTN dan BB/BKSDA menjadi KPHK sebagaimana dimandatkan dalam PP. 6 Tahun 2007 jo PP. 8 Tahun 2008 dapat dimanfaatkan untuk mendorong penerapan pengelolaan keuangan BLU/D dalam pengelolaan kawasan konservasi. Sejalan dengan transformasi dari organisasi UPT taman nasional kepada KPHK, maka harus disertai dengan pembuatan peraturan tentang tugas dan fungsi organisasi KPHK sebagaimana diamanahkan PP. 6/2007 jo PP No.3 /2008 Pasal 9 yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tugas dan fungsi organisasi KPH tentang perlindungan hutan dan konservasi alam diatur tersendiri dalam peraturan pemerintah yang lain. Sampai sejauh ini peraturan pemerintah tersebut belum dikeluarkan sehingga terjadi ketimpangan kebijakan apabila Menteri Kehutanan telah menetapkan suatu taman nasional menjadi KPHK, dimana UPT taman nasional tersebut bertindak sebagai organisasi KPHK, sementara PP tentang tupoksi organisasi KPHK sebagai tindak lanjut dari klausul di atas belum ada. Oleh karena itu, Menteri Kehutanan wajib mengeluarkan peraturan tentang kriteria dan penetapan organisasi KPHK (PP. 6/2007 Pasal 8 jo PP. 3/2008). Bentuk organisasi UPT taman nasional yang ada saat ini didasarkan pada P.03/Menhut-II/2007 jo P.52/Menhut-II/2009, kedua Permenhut ini belum menggunakan UU. 41/1999, PP. 44/2004, dan PP. 6/2007 sebagai acuan yang mengamanahkan dibentuknya organisasi pengelola dalam bentuk KPHK. Analisis peraturan terkait pengembangan taman nasional mandiri disajikan pada Tabel 26.
86
Tabel 26 Analisis isi peraturan perundang-undangan terkait pengembangan taman nasional mandiri Isi Peraturan Perundangan
Keterangan
Pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh Pemerintah. Untuk kegiatan Mendukung kepariwisataan dan rekreasi, Pemerintah dapat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat (UU. 5/ 1990 Pasal 34) Dalam rangka pemberdayaan ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, Mendukung badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat (UU.41/1999 Pasal 30) Penyelenggaraan KSA dan KPA dapat dikerjasamakan dengan badan usaha, Mendukung lembaga internasional, atau pihak lainnya (PP. 28/2011 Pasal 43) Izin pengusahaan pariwisata alam dapat diajukan oleh: a) perorangan; b) badan Mendukung usaha; atau c) Koperasi. Pemegang izin pengusahaan pariwisata alam, dapat melakukan kerja sama pengusahaan pariwisata alam antara lain meliputi: a) kerja sama teknis; b) kerja sama pemasaran; dan/atau c) kerja sama permodalan (PP. 36/2010 Pasal 7, 8, dan 26). Pendapatan hasil pemanfaatan hutan pada kawasan konservasi disetorkan ke kas Membatasi negara dalam bentuk PNBP (PP. 59/1998; Kep.Menkeu. 656/KMK.06/2001) Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi : a) menyelenggarakan pengelolaan Mendukung hutan b) menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota bidang kehutanan untuk diimplementasikan; c) melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan diwilayahnya mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan serta pengendalian; d) Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya; dan e) membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan (PP.6/2007 Pasal 9) Suatu satuan kerja instansi pemerintah dapat diizinkan mengelola keuangan dengan Mendukung PPK-BLU apabila memenuhi persyaratan substantif, teknis, dan administratif. Persyaratan substantif terpenuhi apabila instansi pemerintah yang bersangkutan menyelenggarakan layanan umum yang berhubungan dengan: a) Penyediaan barang dan/atau jasa layanan umum; b) Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian masyarakat atau layanan umum; dan/atau pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi dan/atau pelayanan kepada masyarakat (PP. 23/2005 Pasal 4). Status BLU secara penuh diberikan apabila Satker telah memenuhi persyaratan Mendukung substantif, persyaratan teknis, dan persyaratan administratif. Satker tersebut diberikan fleksibilitas dalam hal pengelolaan investasi, pengelolaan utang, dan pengadaan barang/jasa (119/PMK.05/2007 Pasal 14 dan 15) Bentuk izin pengusahaan tersebut, yaitu: (a) Izin Usaha Penyediaan Jasa Wisata Alam (IUPJWA) adalah izin usaha yang diberikan untuk penyediaan jasa wisata alam pada kegiatan pariwisata alam; dan (b) Izin Usaha Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPSWA) adalah izin usaha yang diberikan untuk penyediaan fasilitas sarana serta pelayanannya yang diperlukan dalam kegiatan pariwisata alam (P.48/2010 jo P.4/Menhut-II/2012 Pasal 9). Kolaborasi Pengelolaan KSA dan KPA adalah pelaksanaan suatu kegiatan atau Mendukung penanganan suatu masalah dalam rangka membantu meningkatkan efektivitas pengelolaan KSA dan KPA secara bersama dan sinergis oleh para pihak atas dasar kesepahaman dan kesepakatan bersama sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku (P.19/Menhut-II/2004 Pasal 1)