Demam Dengue 1.1 Virus Dengue Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD) disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok B Arthtropod Borne Virus (Arbovirus) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe, yaitu : DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN4. Serotipe virus dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4) secara antigenik sangat mirip satu dengan lainnya, tetapi tidak dapat menghasilkan proteksi silang yang lengkap setelah terinfeksi oleh salah satu tipe. Keempat serotipe virus dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat.
Gambar 1.1 Virus Dengue dengan TEM micrograph Klasifikasi Virus Group: Group IV ((+)ssRNA) Family:Flaviviridae Genus: Flavivirus Species:Dengue virus 1.2 Vektor Virus dengue ditularkan kepada manusia terutama melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Selain itu dapat juga ditularkan oleh nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies lain yang merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes aegypti hidup di daerah tropis dan subtropis dengan suhu 28-32OC dan kelembaban yang tinggi serta tidak dapat hidup di ketinggian 1000 m. Vektor utama untuk arbovirus bersifat multiple bitter, antropofilik, dapat hidup di alam bebas, terbang siang hari (jam 08.00-10.00 dan 14.00-16.00), jarak terbang 100 m – 1 km, dan ditularkan oleh nyamuk betina yang terinfeksi.
Gambar 1.2 Nyamuk Aedes aegypti 1.3 Cara Penularan Virus yang ada di kelenjar ludah nyamuk ditularkan ke manusia melalui gigitan. Kemudian virus bereplikasi di dalam tubuh manusia pada organ targetnya seperti makrofag, monosit, dan sel Kuppfer kemudian menginfeksi sel-sel darah putih dan jaringan limfatik. Virus dilepaskan dan bersirkulasi dalam darah. Di tubuh manusia virus memerlukan waktu masa tunas intrinsik 4-6 hari sebelum menimbulkan penyakit. Nyamuk kedua akan menghisap virus yang ada di darah manusia. Kemudian virus bereplikasi di usus dan organ lain yang selanjutnya akan menginfeksi kelenjar ludah nyamuk. Virus bereplikasi dalam kelenjar ludah nyamuk untuk selanjutnya siap-siap ditularkan kembali kepada manusia lainnya. Periode ini disebut masa tunas ekstrinsik yaitu 8-10 hari. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat emnularkan virus selama hidupnya (infektif). 1.4 Epidemiologi Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke-18 seperti yang dilaporkan oleh David Bylon, dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts) kadang juga disebut sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena demam yang terjadi menghilang dalam 5 hari disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Di Indonesia, pertama sekali dijumpai di Surabaya pada tahun 1968 dan kemudian disusul dengan daerah-daerah yang lain. Jumlah penderita menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun, dan penyakit ini banyak terjadi di kota-kota yang padat penduduknya. Akan tetapi dalam tahuntahun terakhir ini, penyakit ini juga berjangkit di daerah pedesaan. Berdasarkan penelitian di Indonesia dari tahun 1968-1995 kelompok umur yang paling sering terkena ialah 5 – 14 tahun walaupun saat ini makin banyak kelompok umur lebih tua menderita DBD. Saat ini jumlah kasus masih tetap tinggi rata-rata 10-25/100.000 penduduk, namun angka kematian telah menurun bermakna < 2%
Gambar 1.4.2 Penyebaran infeksi virus dengue di dunia tahun 2006. Merah : epidemic dengue, Biru : nyamuk Ae.aegypti 1.5 Patogenesis Virus merupakan mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup. Maka demi kelangsungan hidupnya virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai penjamu terutama dalam mencukupi kebutuhan akan protein. Beberapa faktor resiko yang dilaporkan pada infeksi virus dengue antara lain serotipe virus, antibodi dengue yang telah ada oleh karena infeksi sebelumnya atau antibodi
maternal pada bayi, genetic penjamu, usia penjamu, resiko tinggi pada infeksi sekunder, dan resiko tinggi bila tinggal di tempat dengan 2 atau lebih serotipe yang bersirkulasi tinggi secara simultan. Ada beberapa patogenesis yang dianut pada infeksi virus dengue yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection), teori virulensi, dan hipotesis antibody dependent enhancement (ADE). Hipotesis infeksi sekunder menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai resiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/berat. Antibodi heterolog yang ada tidak akan menetralisasi virus dalam tubuh sehingga virus akan bebas berkembangbiak dalam sel makrofag. Hipotesis antibody dependent enhancement (ADE) adalah suatu proses dimana antibodi nonnetralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan membentuk kompleks antigen-antibodi dengan antigen pada infeksi kedua yang serotipenya heterolog. Kompleks antigen-antibodi ini akan meningkatkan ambilan virus yang lebih banyak lagi yang kemudian akan berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel monosit. Teori virulensi menurut Russel, 1990, mengatakan bahwa DBD berat terjadi pada infeksi primer dan bayi usia < 1 tahun, serotipe DEN-3 akan menimbulkan manifestasi klinis yang berat dan fatal, dan serotipe DEN-2 dapat menyebabkan syok. Hal-hal diatas menyimpulkan bahwa virulensi virus turut berperan dalam menimbulkan manifestasi klinis yang berat. Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis infeksi sekunder yang dirumuskan oleh Suvatte tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekuder oleh tipe virus dengue yang beralinan pada seorang pasien, respon antibody anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer antibody IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat etrdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang selanjutnya akn mengakibatkan aktivasi system komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravascular ke ruang ekstravaskular. Perembesan plasma ini terbeukti dengan adanya peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan asidosis dan anoksia yang dapat berakhir dengan kematian. Kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi komplemen dapat juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosine difosfat) sehingga trombosit melekat satu sama lain. Adanya trombus ini akan dihancurkan oleh RES (retikuloendotelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit juga menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulasi intravskular deseminata yang ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degradation product) sehingga terjadi penurunan factor pembekuan. Agregasi trombosit juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfunsgi baik. Di sisi lain aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor Hageman sehingga terjadi aktivasi kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi perdarahan massif pada DBD disebabkan oleh trombositopenia, penurunan factor pembekuan (akibat koagulasi intravascular deseminata), kelainan fungsi trombosit, dan kerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya perdarahan akan memperberat syok yang terjadi. 1.6 Diagnosis 1.6.1
Spektrum Klinis (WHO, 1977)
1.7.1
Spektrum Klinis (WHO, 1977)
1.7.2
Demam Dengue (DD)
1.7.2.1 Tanda dan Gejala Masa inkubasi 4-6 hari (rentang 3-14 hari). Setelahnya akan timbul gejala prodromal yang tidak khas seperti nyeri kepala, nyeri tulang belakang, dan perasaan lelah. Tanda khas dari DD ialah peningkatan suhu mendadak (suhu pada umumnya antara 39-400C, bersifat bifasik, menetap antara 5-7 hari), kadang disertai menggigil, nyeri kepala, muka kemerahan. Dalam 24 jam terasa nyeri retroorbita terutama pada pergerakan mata atau bila bola mata ditekan, fotofobia, dan nyeri otot serta sendi. Pada awal fase demam terdapat ruam yang tampak di muka, leher, dada. Akhir fase demam (hari ke-3 atau ke-4) ruam berbentuk makulopapular atau skarlatina. Pada fase konvalesens suhu turun dan timbul petekie yang emnyeluruh pada kaki dan tangan. Perdarahan kulit terbanyak adalah uji turniket positif dengan atau tanpa petekie. 1.2.2.2
Laboratoris
Fase akut (awal demam) akan dijumpai jumlah lekukosit yang normal kemudian menjadi leukopenia selama fase demam. Jumlah trombosit pada umumnya normal demikian pula semua faktor pembekuan. Tetapi saat epidemi dapat dijumpai trombositopenia. Serum biokimia pada umumnya normal namun enzim hati dapat meningkat. 1.2.2.3
Diagnosis Banding
Infeksi virus chkungunya, demam tifoid, leptospirosis dan malaria. 1.2.3
Demam Berdarah Dengue (DBD)
1. Kriteria Diagnosis (WHO, 1997) * Kriteria Klinis 1.
Demam
Diawali dengan demam tinggi mendadak, kontinu, bifasik, berlangsung 2-7 hari, naik-turun tidak mempan dengan antipiretik. Pada hari ke-3 mulai terjadi penurunan suhu namun perlu hati-hati karena dapat sebagai tanda awal syok. Fase kritis ialah hari ke 3-5.
2.
3.
Gambar 1.6.3.1 Kurva Suhu DBD Terdapat manifestasi perdarahan Uji turniket positif berarti fragilitas kapiler meningkat. Hal ini juga dapat dijumpai pada campak, demam chikungunya, tifoid, dll. Dinyatakan positif bila terdapat > 10 petekie dalam diameter 2,8 cm (1 inchi persegi) di lengan bawah bagian volar termasuk fossa cubiti. Petekie, Ekimosis, Epistaksis, Perdarahan gusi, Melena, Hematemesis Hepatomegali
Umumnya bervariasi, mulai dari hanya sekedar dapat diraba sampai 2-4 cm dibawah lengkungan iga kanan. Proses hepatomegali dari yang sekedar dapat diraba menjadi terba jelas dapat meramalkan perjalanan penyakit DBD. Derajat pemebsaran hati tidak sejajar dengan beratnya penyakit namun nyeri tekan pada daerah tepi hati berhubungan dengan adanya perdarahan. 4.
Kegagalan sirkulasi ditandai dengan nadi cepat dan elmah serta penurunan tekanan nadi (≤ 20 mmHg), hipotensi (sitolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang), akral dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah.
* Kriteria laboratoris 1. Trombositopenia (≤ 100000/µl) 2. Hemokonsentrasi, dapat dilihat dari peningkatan Ht ≥ 20 %. Diagnosis pasti DBD = dua kriteria klinis pertama + trombositopenia + hemokonsentrasi serta
dikonfirmasi secara uji serologik hemaglutinasi.
Gambar 1.6.3.2 Perubahan Ht, Trombosit, dan LPB dalam perjalanan penyakit DBD 1.2.3.2
Derajat Penyakit (WHO, 1997) Derajat I : demam disertai gejala tidak khas + uji turniket (+) Derajat II : derajat I + perdarahan spontan di kulit /perdarahan lain Derajat III : didapat kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan elmah serta penurunan tekanan nadi (≤ 20 mmHg), hipotensi (sitolik menurun sampai 80 mmHg atau kurang), sianosis di sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab, dan pasien tampak gelisah. Derajat IV : syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
1.2.3.3
Pemeriksaan Laboratorium Leukopenia dengan limfositosis relatif yang ditandai dengan peningkatan limfosit plasma biru > 4 % di darah tepi yang dijumpai pada hari ke-3 sampai ke-7. Albumin menurun sedikit dan bersifat sementara Penurunan faktor koagulasi dan fibrinolitik yaitu fibrinogen, protrombin, factor VIII, factor XII, dan antitrombin III Kasus berat dijumpai disfungsi hati dijumpai penurunan kelompok vitamin K-dependent protrombin seperti factor V, VII, IX, dan X. PT dan APTT memanjang Serum komplemen menurun Hiponatremia Hipoproteinemia SGOT/SGPT meningkat Asidosis metabolic dan peningkatan kadar urea nitrogen pada syok berkepanjangan. Eritrosit dalam tinja hampir selalu ditemukan.
1.2.3.4
Pemeriksaan Radiologis Foto dada dilakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis ragu-ragu, namun perlu diingat
bahwa terdapat kelainan radiologis pada perembesan plasma 20-40%, (2) pemantauan klinis sebagai pedoman pemberian cairan. Kelainan radiologi : dilatasi pembuluh darah paru terutama daerah hilus kanan, hemitoraks kanan lebih radioopak dibandingkan kiri, kubah diafragma kanan lebih tinggi daripada kiri, dan efusi pleura terutama hemitoraks kanan. Foto dada dilakukan dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur di sisi kanan). USG : efusi pleura, kelainan dinding vesica felea dan dinding buli-buli.
1.2.4 Diagnsosis Serologis * Uji hemaglutinasi inhibisi (uji HI) Tes ini adalah gold standard pada pemeriksaan serologis, sifatnya sensitive namun tidak spesifik artinya tidak dapat menunjukkan tipe virus yang menginfeksi. Antibody HI bertahan dalam tubuh lama sekali (> 48 tahun) sehingga uji ini baik digunakan pada studi sero-epidemiologi. Untuk diagnosis pasien, kenaikan titer konvalesen 4x lipat dari titer serum akut atau titer tinggi (> 1280) baik pada serum akut atau konvalesen dianggap sebagai presumtif (+) atau diduga keras positif infeksi dengue yang baru terjadi. * Uji komplemen fiksasi (uji CF) Jarang digunakan secara rutin karena prosedur pemeriksaannya rumit dan butuh tenaga berpengalaman. Antibody komplemen fiksasi bertahan beberapa tahun saja (sekitar 2-3 tahun). * Uji neutralisasi Uji ini paling sensitive dan spesifik untuk virus dengue. Biasanya memakai cara Plaque Reduction Neutralization Test (PNRT) yaitu berdasarkan adanya reduksi dari plaque yang terjadi. Antibody neutralisasi dapat dideteksi dalam serum bersamaan dnegan antibody HI tetapi lebih cepat dari antibody komplemen fiksasi dan bertahan lama ( > 4-8 tahun). Prosedur uji ini rumit dan butuh waktu lama sehingga tidak rutin digunakan. * IgM Elisa (Mac Elisa, IgM captured ELISA) Banyak sekali dipakai. Uji ini dilakukan pada hari ke-4-5 infeksi virus dengue karena IgM sudah timbul kemudian akan diikuti IgG. Bila IgM negative uji ini perlu diulang. Apabila hari sakit ke-6 IgM masih negative maka dilaporkan sebagai negative. IgM dapat bertahan dalam darah sampai 2-3 bulan setelah adanya infeksi. Sensitivitas uji Mac Elisa sedikit di bawah uji HI dengan kelebihan uji Mac Elisa hanya memerlukan satu serum akut saja dengan spesifitas yang sama dengan uji HI. * IgG Elisa * Isolasi Virus * Identifikasi Virus, dengan fluorescence antibody technique test secara indirek dengan menggunakan antibody monoclonal. Cara diagnostik baru dengan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RTPCR) sifatnya sangat sensitive dan spesifik terhadap serotype tertentu, hasil cepat didapat dan dapat diulang dengan mudah. Cara ini dapat mendeteksi virus RNA dari spesimen yang berasal dari darah, jaringan tubuh manusia, dan nyamuk. Sensitivitas PCR sama dengan isolasi virus namun pada PCR tidak begitu dipengaruhi oleh penanganan specimen yang kurang baik bahkan adanya antibody dalam darah juga tidak mempengaruhi hasil dari PCR. 1.2.5 Diagnosis banding * Awal perjalanan penyakit : demam tifoid, campak, influenza, hepatitis, demam chikungunya, leptospirosis, dan malaria * Demam chikungunya (DC) Serangan demam mendadak, masa demam lebih pendek, suhu lebih tinggi, hampir selalu disertai ruam makulopapular, injeksi konjungtiva, lebih sering dijumpai nyeri sendi, biasanya menyerang seluruh anggota keluarga dan penularannya mirip influenza. Tidak ditemukan adanya
perdarahan gastrointestinal dan syok. * Perdarahan juga terjadi pada penyakit infeksi seperti sepsis dan meningitis meningokokus. Pada sepsis pasien tampak sakit berat dari semula, demam naik turun, ditemukan tanda-tanda infeksi, leukositosis disertai dominasi sel polimormonuklear. Pada meningitis meningokokus jelas terdapat gejala rangsang meningeal dan kelainan pada pemeriksaan cairan serebrospinalis. * ITP dengan DBD derajat II Pada ITP demam cepat menghilang (atau bisa tanpa demam), tidak ada leucopenia, tidak ada hemokonsentrasi, tidak dijumpai pergeseran ke kanan pada hitung jenis. Pada fase konvalesen DBD jumlah trombosit lebih cepat kembali ke normal daripada ITP. * Perdarahan dapat juga terjadi pada leukemia atau anemia aplastik. Pada leukemia demam tidak teratur, kelenjar limfe dapat teraba, anak sangat anemis, dan apus darah tepi/sumsum tulang menujukkan peningkatan sel blast. Pada anemia aplastik anak sangat anemic, demam timbul karena infeksi sekunder, dan pansitopenia. 1.3 Komplikasi 1.3.1
Ensefalopati Dengue
Umumnya terjadi sebagai komplikasi syok yang berkepanjangan dengan perdarahan tetapi dapat juga terjadi pada DBD tanpa syok. Didapatkan kesadaran pasien menurun menjadi apatis/somnolen, dapat disertai kejang. Penyebabnya berupa edema otak perdarahan kapiler serebral, kelainan metabolic, dan disfungsi hati. Tatalaksana dengan pemberian NaCl 0,9 %:D5=1:3 untuk mengurangi alkalosis, dexametason o,5 mg/kgBB/x tiap 8 jam untuk mengurangi edema otak (kontraindikasi bila ada perdarahan sal.cerna), vitamin K iv 3-10 mg selama 3 hari bila ada disfungsi hati, GDS diusahakan > 60 mg, bila perlu berikan diuretik untuk mengurangi jumlah cairan, neomisin dan laktulosa untuk mengurangi produksi amoniak. 1.3.2 Kelainan Ginjal Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok telah teratasi. Dieresis diusahakan > 1 ml/kg BB/jam. 1.3.3 Edema Paru Adalah komplikasi akibat pemberian cairan yang berlebih. 1.4 Tatalaksana Ketentuan umum tatalaksana DBD * Perawatan sesuai derajat penyakit Der I/ II: Puskesmas / ruang rawat sehari Der III/ IV: Rumah Sakit, bila perlu ICU (syok berkepanjangan, syok berulang, perdarahan saluran cerna, ensefalopati) * Fasilitas laboratorium (24 jam) * Perawat terlatih * Fasilitas bank darah * Terapi suportif * Perembesan plasma terjadi pada 24-48 jam setelah suhu reda (time of fever defervescence) * Penggantian volume plasma (volume replacement) * Pemilihan jenis cairan
Kristaloid : Ringer laktat, Ringer asetat, NaCl 0,9% Koloid : Dextran, Gelatin, HES steril FFP Untuk resusitasi syok digunakan RL/RA, dekstran kontraindikasi. Indikasi pemberian plasma/koloid - Syok tidak teratasi dalam 60 menit (maksimal 90 menit) - Dosis 20-30 ml/kgBB/jam - Melalui jalur infus berbeda dengan cairan RL - 25% kasus DBD syok memerlukan koloid * Pemberian obat atas indikasi * Perlu monitor berkala : pemantauan tanda vital (kesadaran, tekanan darah, frek.nadi, jantung, nafas), pembesaran hati, nyeri tekan hipokondrium kanan, diuresis (>1ml/kgBB/jam), kadar Ht. Hasil tidak memuaskan : * perbaiki oksigenasi Syok menyebabkan hipoksia Hipoksiaàkegagalan mengalirkan O2àkerusakan jaringan Oksigen 2-4 liter/menit mutlak diberikan Hipoksia memicu DICàperdarahan
* gangguan asam basa & elektrolit Koreksi asidosis dengan : Analisis gas darah (bila ada), segera koreksi gangguan asam basa, resusitasi cairan dengan RL (Derajat III asidosis diatasi dengan RL, Derajat IV perlu + bikarbonat). * Perdarahan Tanda adanya perdarahan : penurunan Ht dan tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan terapi cairan yang cukup, pasien gelisah, adanya nyeri di hipokondrium kanan, perut yang semakin membuncit dan lingkar perut yang bertambah. Yang diberikan bisa whole blood atau komponen (PRC, FFP, trombosit). Indikasi pemberian trombosit : klinis terdapat perdarahan, harus disertai pemberian FFP (kadang + PRC), jumlah trombosit rendah bukan indikasi, dan suspensi trombosit tidak pernah diberikan sebagai profilaksis Pengobatan DD Dapat berobat jalan Tirah baring selama demam Kompres hangat atau antipiretik (hanya parasetamol, asetosal merupakan kontraindikasi) Analgesik bila perlu (anak besar)