2.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Komposisi Kimia dan Aplikasi Daun P. guajava var. pomifera Jambu biji (Psidium guajava) merupakan salah satu produk hortikultura
yang termasuk komoditas internasional. Lebih dari 150 negara membudidayakan tanaman tropis ini, diantaranya Jepang, India, Taiwan, Malaysia, Brasil, Australia, Filipina, dan Indonesia (Parimin 2007). P. guajava merupakan jenis tanaman yang berasal dari Amerika Selatan yang secara tradisional digunakan sebagai obat di beberapa bagian dunia untuk mengobati beberapa penyakit. Tanaman jambu biji memiliki dua varietas yang umum digunakan sebagai obat, antara lain jambu biji daging buah merah (P. guajava var. pomifera) dan jambu biji daging buah putih (P. guajava var. pyrifera) (Barbalho et al. 2012). Bagian tanaman yang paling sering dimanfaatkan sebagai obat herbal, antara lain daun, buah, kulit dan akar (Gutiérrez et al. 2008). Visualisasi tanaman jambu biji daging buah merah disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Tanaman P. guajava var. pomifera Sumber: Parimin (2007)
Menurut Gutiérrez et al. (2008), dari sekian banyak bagian tanaman jambu biji yang dapat dimanfaatkan, bagian daunlah yang dinilai paling potensial dalam aplikasi farmakologi. Hal tersebut karena di dalam daun terkandung berbagai komponen aktif, diantaranya minyak esensial, flavonoid dan saponin yang dikenal dengan
flavonoid
avicularin
dan
3-L-4pyranoside
dengan
kemampuan
antibakterinya yang kuat serta beberapa substansi lainnya, misal lemak, selulosa, klorofil dan garam mineral. Studi kajian etno farmakologi menunjukkan bahwa daun jambu biji dimanfaatkan di berbagai belahan dunia sebagai antiinflamasi,
antidiabetes, antihipertensi, pengobatan pada luka, analgesik, dan efek antipiretik.
2.2
Deskripsi dan Klasifikasi Ikan Nila (O. niloticus) Ikan nila merupakan ikan ekonomis penting di dunia karena cara
membudidayakannya yang mudah, rasa yang digemari, harga relatif terjangkau, dan memiliki toleransi yang luas terhadap lingkungan (Gustiano & Arifin 2010). Visualisasi morfologi ikan nila disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2 Ikan nila (O. niloticus) Sumber: Fishbase (2012)
Klasifikasi ikan nila berdasarkan Trewavas (1983) dalam Suyanto (2008) termasuk dalam Filum: Chordata, Sub-Filum : Vertebrata, Kelas: Osteichthyes, Sub-Kelas:
Acanthoptherigii,
Ordo:
Percomorphi,
Sub-Ordo:
Percoidea,
Famili: Cichlidae, Genus: Oreochromis, dan Spesies: Oreochromis niloticus. Ciri morfologi ikan nila (O. niloticus), antara lain memiliki tubuh pipih ke samping memanjang, warna tubuh kehitaman, semakin ke perut semakin terang. Ikan nila memliki garis vertikal 9-11 buah bewarna hijau kebiruan. Sirip ekor memiliki 6-12 garis melintang yang ujungnya bewarna kemerah-merahan, sedangkan pada sirip punggung terdapat garis-garis miring. Ciri meristik ikan nila, antara lain jumlah sisik pada garis rusuk sebanyak 34 buah, jari-jari siripnya terdiri dari 17 jari-jari keras dan 13 jari-jari lunak pada sirip punggung, 1 jari-jari keras dan 5 jari-jari lunak pada sirip perut, 3 jari-jari keras dan 10 jari-jari lunak pada sirip anal, dan 8 jari-jari keras melunak pada sirip ekor (Kordi 2009). Ikan nila terdistribusi dibeberapa belahan dunia, diantaranya di Afrika bagian timur, yaitu Sungai Nil (Mesir), Danau Tanganyika, Chad, Nigeria, dan Kenya. Ikan ini lalu mulai diintroduksi ke negara-negara bagian Eropa, Amerika,
kawasan Timur Tengah, dan Asia (Suyanto 2008). Ikan nila diintroduksi dari Taiwan ke Indonesia pada tahun 1969. Jenis-jenis ikan nila yang didatangkan dari luar merupakan strain unggul dan melalui upaya tersebut diharapkan dapat memperbaiki mutu genetik ikan nila. Varietas strain nila yang didatangkan dari luar diantaranya, nila bewarna hitam yang didatangkan dari Thailand pada tahun 1989 (Chitralada), Filipina pada tahun 1994 dan 1997 (GIFT), sedangkan jenis nila merah didatangkan dari Thailand pada tahun 1989 (NIFI). Beberapa nila hasil pemuliaan di Indonesia, antara lain nila gesit, nila nirwana, nila larasati, dan nila BEST (Gustiano & Arifin 2010). Ikan nila terkenal sebagai ikan yang memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan hidupnya, misal salinitas. Ikan ini mampu hidup pada kisaran salinitas 0-35‰. Nilai pH habitat ikan nila, 6-8,5 dengan kisaran pH pertumbuhan optimalnya adalah 7-8. Suhu optimal lingkungan hidup ikan nila, 25-30ºC, sehingga ikan ini cocok untuk dipelihara di daerah dataran rendah hingga dataran yang agak tinggi (500 m dpl) (Suyanto 2008).
2.3
Moda Transportasi Ikan Nila Hidup Transportasi atau pengangkutan adalah suatu usaha menempatkan ikan
dalam lingkungan baru yang berlainan dengan lingkungan asalnya disertai perubahan-perubahan sifat lingkungan yang sangat mendadak. Faktor yang paling berpengaruh dalam mencapai keberhasilan penanganan ikan hidup adalah perlakuan saat pengangkutan. Transportasi ikan hidup berdasarkan media yang digunakan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu transportasi ikan hidup dengan menggunakan media air dan transportasi ikan hidup menggunakan media non-air (Junianto 2003). Pengangkutan ikan nila hidup umumnya dilakukan terhadap benih yang sistem pengangkutannya terbagi menjadi dua bagian, yaitu pengangkutan sistem basah terbuka dan sistem basah tertutup.
Pada proses pengangkutan sistem
terbuka, ikan diangkut menggunakan keramba, setiap keramba dapat diisi air bersih sebanyak 15 liter dan dapat mengangkut sekitar 5.000 ekor benih yang berukuran 3-5 cm. Metode ini umumnya dilakukan ketika mengangkut benih dalam jarak dekat. Sedangkan pengangkutan sistem tertutup umumnya dilakukan
untuk transportasi benih dalam jarak jauh, yang memerlukan waktu 4-5 jam. Pada jenis transportasi ini benih diangkut menggunakan kantong plastik. Volume media pengangkutan terdiri dari air bersih sebanyak 5 liter yang diberi buffer Na(HPO4).H2O sebanyak 9 g (Gustiano & Arifin 2010). Pengangkutan ikan nila konsumsi umumnya menggunakan metode yang sama halnya dengan pengangkutan benih. Wadah yang digunakan untuk mengangkut ikan hidup dapat dibuat lebih besar atau lebih banyak, baik dalam kantong plastik maupun dalam tong plastik. Jumlah kepadatan ikan dalam alat pengangkutan tidak boleh terlalu padat. Untuk lama waktu pengangkutan 10 jam kepadatan berkisar 5-6 kg/kantong plastik. Apabila jarak yang ditempuh lebih dari 10 jam, maka gas harus diganti setiap 10 jam (Gustiano & Arifin 2010).
2.4
Fisiologi Ikan Nila selama Transportasi Hal utama yang paling menentukan keberhasilan kegiatan pemanenan ikan
adalah proses transportasi yang sanggup mempertahankan kualitas produk hingga akhir tujuan (Serra et al. 2011). Selama proses transportasi berlangsung, ikan akan ditempatkan dalam lingkungan baru yang berlainan dengan lingkungan asalnya disertai perubahan-perubahan sifat lingkungan yang sangat mendadak. Perubahan lingkungan yang sangat mendadak dapat mengakibatkan ikan menjadi stres dan mengalami perubahan tingkah laku (hiperaktif) (Junianto 2003). Efekefek stimuli selama transportasi dapat menyebabkan meningkatnya sekresi katekolamin dan kortisol pada ikan. Stres adalah suatu keadaan saat suatu organisme tidak mampu mengatur kondisi fisiologis yang normal karena berbagai faktor yang merugikan yang mempengaruhi kondisi kesehatannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat stres ikan, antara lain stresor kimiawi (kualitas air buruk: DO rendah, pH tidak sesuai; polusi; komposisi pakan; dan senyawa nitrogen berupa sisa metabolisme), stresor fisik (suhu lebih tinggi atau lebih rendah, cahaya berlebih atau kurang, suara, dan gas-gas terlarut), stresor biologis (densitas populasi terlalu tinggi, multikultur,
parasit,
dan
keberadaan
mikroba),
dan
stresor
prosedural
(penanganan, pengiriman/transportasi, penanganan penyakit) (Irianto 2005). Stres fisiologis akan terakumulasi ketika ikan dipindahkan dari satu tempat ke tempat
lain, baik secara individu maupun berkelompok. Stres fisiologis diperparah akibat terjadinya abrasi serius dan kejutan mekanis, terutama akibat ikan yang merontaronta (Ross & Ross 2008).
2.5
Metode Penurunan Proses Metabolisme Ikan selama Transportasi Penurunan metabolisme merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk
mengurangi buangan hasil metabolisme yang bersifat toksik selama transportasi. Hal ini bertujuan menciptakan lingkungan yang kondusif bagi ikan sehingga tingkat kelangsungan hidup ikan yang ditransportasikan tetap tinggi. Tingginya tingkat kelangsungan hidup ikan pasca proses transportasi mengindikasikan keberhasilan proses transportasi. Metode-metode yang dapat diaplikasikan untuk menurunkan laju metabolisme ikan selama transportasi, diantaranya teknik imotilisasi dan pengurangan metabolit. 2.5.1 Teknik imotilisasi Pembiusan atau imotilisasi ikan untuk tujuan transportasi dapat dilakukan dengan penurunan suhu maupun penambahan senyawa kimia. Pembiusan dengan suhu rendah dapat dilakukan dengan dua cara, diantaranya pembiusan secara langsung dan secara bertahap. Sedangkan pembiusan dengan pemberian senyawa anestesi dilakukan dengan menambahkan senyawa anestesi ke dalam media dengan konsentrasi tertentu hingga ikan masuk dalam fase sedatif. Pembiusan ikan dengan suhu rendah lebih menguntungkan daripada menggunakan bahanbahan kimia. Hal ini disebabkan dalam penggunaan suhu rendah lebih murah dan aman digunakan karena tidak didapatkan residu kimia yang dapat membahayakan konsumen (Junianto 2003). Pembiusan secara langsung dilakukan dengan memasukkan ikan yang akan dibius ke dalam media air yang telah didinginkan sampai suhu pembiusan. Sedangkan pembiusan secara bertahap dilakukan dengan menurunkan suhu media secara bertahap sampai suhu pembiusan tercapai (Junianto 2003). Syamdidi et al. (2006) menyatakan bahwa metode penurunan suhu secara bertahap merupakan dasar penyusunan teknologi transportasi ikan hidup. Metode yang dilakukan adalah dengan menurunkan suhu media air secara bertahap dengan kecepatan 5 ºC/jam sampai ikan tidak menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
2.5.2 Pengurangan metabolit Penggunaan suhu rendah untuk transportasi ikan hidup terbukti cukup efektif untuk mengurangi aktivitas ikan selama transportasi dan meningkatkan ketahanan hidup ikan. Sebagaimana diketahui, perlakuan penurunan suhu dapat menekan respirasi dan aktivitas ikan (Syamdidi et al. 2006). Aplikasi suhu rendah dalam transportasi sistem tertutup dapat dilakukan dengan menambahkan es batu ke dalam kantong yang berisikan media sebanyak 10-15 L hingga suhu mencapai 18ºC (Nugroho & Sulhi 2011). Alternatif lain untuk meningkatkan ketahanan hidup ikan selama transportasi dapat dilakukan dengan menambahkan ekstrak daun jambu biji daging buah putih ke dalam media transportasi. Selama simulasi transportasi, ekstrak dapat menurunkan laju ekskresi ikan. Penurunan laju ekskresi ikan disebabkan aktivitas ekstrak daun jambu biji daging buah putih yang dapat memberikan efek penghambatan terhadap buangan ikan (Novila 2012). Buangan ikan mengandung amoniak yang dalam jumlah tinggi dapat bersifat toksik terhadap ikan selama proses transportasi.
Hasil penelitian
Novila (2012) menyatakan bahwa ekstrak daun jambu biji daging buah putih mampu menghambat laju ekskresi ikan nila (O. niloticus) selama transportasi 2 jam, sehingga meminimalkan akumulasi amoniak di dalam air selama transportasi. Konsentrasi optimal aplikasi ekstrak daun jambu biji daging buah putih dalam proses transportasi ikan nila sebesar 1%.