Page 1
RINGKASAN EKSEKUTIF
Aceh telah mengalami peningkatan sumber daya fiskal yang luar biasa. Sejak berlakunya Desentralisasi dan Otonomi Khusus, pendapatan yang secara langsung dikelola pemerintah daerah meningkat beberapa kali. Selain itu, Aceh juga menerima bantuan yang sangat besar dari Pemerintah Pusat dan masyarakat internasional, setelah Tsunami pada bulan Desember 2004. Pada tahun 2006, jumlah dana yang mengalir ke Aceh diperkirakan mencapai Rp. 28,5 trilyun (US$ 3,1 milyar). Sebagian besar sumber dana ini berasal dari program rekonstruksi (Rp. 16,4 trilyun) tetapi anggaran reguler daerah juga meningkat dengan cepat dan diharapkan akan mencapai Rp. 12,2 trilyun pada tahun 2006 (Gambar 1). Gambar 1: Sumber fiskal Aceh mengalami peningkatan yang substansial dalam 6 tahun terakhir 28.5
30
Triliun Rph.
25 16.4
20
Anggaran Rekonstruksi
15
10.2 10 5
1.8
0.6
3.2
2.6
2.9 1.5
0 1999 Dekonsentrasi
8.3
6.1
5.6
2002 Provinsi
Kab/Kota
1.0 2006
Anggaran Rekonstruksi
Sumber: Perkiraan staf Bank Dunia (harga konstan 2006) berdasarkan data dari SIKD/Depkeu dan BRR
Dengan kekayaan sumber daya fiskal ini, Aceh memiliki kesempatan untuk mengurangi tingkat kemiskinan yang tinggi dan meningkatkan pelayanan publik. Dalam hal pendapatan perkapita, Aceh merupakan provinsi terkaya ke 3 di Indonesia (Gambar 2), namun di saat yang sama juga merupakan provinsi ke 4 termiskin di Indonesia (Gambar 3). Pada tahun 2004, diperkirakan 1,2 juta orang di Aceh (28,5 persen dari total penduduk) hidup di bawah garis kemiskinan yaitu Rp. 130.000 (sekitar US$ 14) perkapita perbulan, yang berarti tingkat kemiskinan di Aceh hampir dua kali lebih tinggi daripada tingkat kemiskinan nasional (16,7 persen). Disamping itu sekitar 13 persen penduduk Aceh menjadi rentan untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan sebagai akibat dampak tsunami.
Page 2
Gambar 2: Pendapatan per perkapita Aceh merupakan ketiga tertinggi di Indonesia
Juta rupiah
4
3 Aceh 2
1
Jabar
Banten
Jateng
Jatim
Lampung
NTB Sumut
Sumsel
DI Yogyakarta
Sulsel
Bengkulu
Sumbar
Sulut
NTT
Bali
Kalsel
Sulteng
Jambi
Bangka Belitung
Gorontalo
Maluku
Kalteng
NAD
Riau
Kaltim
Papua
Provinsi
Kab/kota
Sumber: SIKD/ Depkeu, perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan APBD 2004.
Gambar 3: Tingkat kemiskinan Aceh menduduki peringkat ke 4- dan berpotensi meningkat setelah tsunami 45 40 35
Rentan terhadap kemiskinan karena tsunami
30 25 20 15 10
Prov. Bali
Prov. DKI Jakarta
Prov. Kalsel
Prov. Banten
Prov. Sulawesi Utara
Prov. Bangka Belitung
Prov. Kalteng
Prov. Sumbar
Prov. Riau
Prov. Kaltim
Prov. Jawa Barat
Prov. Jambi
Prov. Maluku Utara
Prov. Sulsel
Prov. Kalbar
Average
Prov. Sumut
Prov. DIY
Prov. Sumsel
Prov. Jawa Timur
Prov. Sulteng
Prov. Jawa Tengah
Prov. Sultengg
Prov. Lampung
Prov. Bengkulu
Prov. NTT
Prov. NTB
Prov. NAD
Prov. Maluku
Prov. Gorontalo
0
Prov. Papua
5
Sumber: BPS, 2004.
Pelaksanaan MoU Helsinki – yang ditandangani pada bulan Agustus 2005 – membuka peluang lain untuk membangun Aceh yang lebih baik dan menyediakan pelayanan publik di daerah yang terkena dampak konflik. Pelaksanaan perjanjian tersebut secara umum berjalan sesuai dengan harapan dan memberi Aceh peluang untuk menciptakan kembali masyarakat yang tenteram dan memulihkan kesejahteraan ekonomi. Konflik selama 30-tahun antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah merenggut 15.000 nyawa, membuat beberapa ribu keluarga terpaksa mengungsi, dan menimbulkan kerusakan parah pada properti milik swasta dan umum. Konflik tersebut juga menghambat upaya pemerintah untuk menyediakan pelayanan publik minimum di daerah-daerah yang paling parah terkena dampak konflik
Page 3
PENDAPATAN DAN PENGELUARAN Aceh mengalami peningkatan penerimaan fiskal yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan ditambah dengan program rekonstruksi terbesar di negara berkembang. Tiga faktor berikut ini menjelaskan sumber dana Aceh yang besar, yang tidak akan berubah untuk beberapa tahun kedepan dan bahkan justru akan semakin bertambah: •
Aceh merupakan salah satu wilayah yang paling diuntungkan dengan berlakunya desentralisasi. Sejak tahun 1999, penerimaan daerah yang dikelola oleh pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, meningkat tajam dari Rp. 2.4 triliun di tahun 1999 hingga mencapai Rp. 11.2 triliun di tahun 2006. Sejumlah faktor yang turut mendukung lonjakan luar biasa ini antara lain termasuk pengalihan wewenang di tahun 2001, pemberlakuan otonomi khusus di tahun 2002 dan peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU) yang luar biasa di tahun 2006.
•
Pengeluaran untuk rekonstruksi akan meningkatkan pengeluaran pemerintah daerah Aceh hampir dua kali lipat dari tahun 2005 - 2009. Saat ini, nilai portofolio rekonstruksi berada pada jumlah Rp. 45 triliun, terdiri dari sekitar 1500 proyek yang dikerjakan oleh lebih dari 250 organisasi/institusi. Pengeluaran total dalam upaya rekonstruksi diperkirakan akan melebihi Rp. 70 triliun pada tahun 2009.
•
UU Pemerintah Aceh yang baru akan memberikan tambahan dana sebesar Rp. 4 triliun melalui “Dana Otonomi Khusus” (Dana Otsus) mulai dari tahun 2008 dan meningkat menjadi Rp. 5 trilliun pada tahun 2011. Dengan berkurangnya penerimaan dari bagi hasil migas, Dana Otsus sepertinya akan menjadi sumber dana terpenting kedua dalam penerimaan daerah Aceh, sama seperti Papua.
Dana rehabilitasi dan rekonstruksi membuka peluang bagi Aceh untuk “membangun kembali dengan lebih baik.” Kerusakan fisik dan kerugian yang disebabkan oleh tsunami serta gempa bumi di Nias (28 Maret 2005) diperkirakan mencapai US$ 4,9 miliar, selain itu sejumlah US$ 1,2 miliar perlu ditambahkan dengan adanya inflasi. Pada bulan Juni 2006, sejumlah US$ 4,9 milyar nilai proyek dan program telah dialokasikan untuk upaya rekonstruksi. Tambahan US$ 3,1 milyar yang telah dijanjikan, akan membuat seluruh program rekonstruksi ini bernilai US$ 8 milyar. Dengan dana tambahan ini, Aceh dan Nias akan memiliki kesempatan untuk “membangun kembali dengan lebih baik” serta melakukan investasi pada proyek dan program yang akan bisa berdampak jangka panjang pada perekonomian dan struktur sosial (Gambar 5).
Page 4
Gambar 4: Kebutuhan dan komitmen rekonstruksi (US$ milyar, akhir Juni 2006) 10 9 8
USD Milyar
7
- Memperbarui fasilitas di daerah-daerah yang terkena dampak Tsunami dan gempa bumi - Program reintgrasi dan pembangunan pasca konflik
Membangun kembali dengan lebih baik (1,9)
DONOR
potensi pinjaman lunak(0,7) hibah (0,5)
LSM (0,4)
6
Pemerintah Indonesia ( 1,5)
Inflasi (1.2)
Sudah dijanjikan tetapi belum dialokasikan (3,1)
5 NIAS (0.4)
4 3 2
Penilaian Kerusakan dan Kerugian (4,5)
1
Pembangunan kembali (6,1)
DONOR (2,0)
LSM (1,7)
Sudah dialokasikan untuk proyek proyek spesifik (4,9)
Pemerintah Indonesia (1.2)
0 Kebutuhan
Program
Sumber: BRR/perkiraan staf Bank Dunia Pendapatan fiskal Aceh akan terus meningkat. Undang-undang Pemerintahan Aceh yang baru disahkan, UU No 11/2006, memberikan kembali penetapan dana otonomi khusus (Dana Otsus). Penerimaan Aceh diharapkan akan meningkat dari yang sekarang Rp. 11.2 trilyun menjadi hampir Rp. 16.7 trilyun di tahun 2011 (Gambar 5). Dana otonomi khusus yang baru dan peningkatan alokasi DAU –sampai dengan tahun 2008 akan lebih dari mengkompensasi penurunan parsial atas penerimaan sumber daya alam yang disebabkan menurunnya persediaan minyak dan gas. Besarnya alokasi sumber daya untuk 20 tahun kedepan harus dapat meningkatkan penyediaan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan sektor produksi yang lebih kuat lagi. Gambar 5: UUPA memberikan keuntungan substansial – terlepas dari penurunan produksi gas
Page 5
18
Triliun rupiah
16 Penerimaan setelah UUPA 11/2006
14
12
10
8
6
4
2
0 1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
Total penerimaan dgn Dana Otsus ($60/brl)
2007
2008
2009
2010
2011
Total Penerimaan tanpa Dana Otsus ($60/brl)
Sumber: perkiraan staf Bank Dunia berdasarkan data dari SIKD/Depkeu
Sebagai akibat dari besarnya pendapatan yang masuk ke Aceh setelah desentralisasi, keseluruhan pengeluaran daerah pun mengalami kenaikan, baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Secara rata-rata, pemerintah daerah di Aceh telah mengelola lebih dari dua pertiga dari keseluruhan belanja publik. Sebelum desentralisasi, hampir 60 persen belanja dikelola oleh pemerintah pusat, sehingga peran yang dimainkan pemerintah daerah dalam penyediaan pelayanan dan pembangunan daerah menjadi sangat terbatas. Biaya administrasi yang muncul akibat bertambahnya jumlah pemerintah daerah di Aceh menyebabkan alokasi anggaran yang tidak proporsional dari penerimaan daerah yang meningkat. Saat ini, belanja rutin terhitung sebesar 60 persen dari total anggaran belanja kabupaten/kota. PENYEDIAAN PELAYANAN PUBLIK Aceh memiliki cukup sumber daya untuk memberantas kemiskinan, tetapi sampai sejauh ini masih belum membuat kemajuan yang berarti. Secara paradoksal, ketika penerimaan daerah Aceh mulai meningkat tajam pada tahun 2001, tingkat kemiskinan tetap tidak berubah sebesar 30 persen padahal wilayah lain di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan dalam tingkat kemiskinan hingga dibawah 20 persen. Konflik yang meningkat di tahun 2001 – 2002 turut memperburuk tingkat kemiskinan di provinsi ini. Di Aceh sendiri, daerah yang memiliki penerimaan cukup besar tidak terlepas dari masalah kemiskinan. Aceh Utara, yang merupakan wilayah penghasil minyak dan gas dan terkena dampak konflik terparah, adalah contoh kasus yang paling ekstrim. Daerah tersebut memiliki sumber daya fiskal terbesar dan disaat yang sama juga sebagai salah satu daerah yang memiliki tingkat kemiskinan tertingi.
Page 6
Aceh tidak hanya memiliki tingkat kemiskinan yang sangat tinggi tetapi juga pelayanan publik yang sangat buruk. Di bidang kesehatan dan pendidikan, permasalahan-permasalahan struktural jangka panjang justru lebih mencemaskan dibanding permasalahan jangka pendek akibat bencana tsunami. Proses rekonstruksi pada sektor-sektor ini telah menunjukkan kemajuan yang berarti. Sebagian besar sekolah telah dan sedang dibangun. Namun, hanya kurang dari separuh fasilitas sekolah dasar yang terpelihara dengan baik, dan mayoritas guru yang mengajar tidak memenuhi kualifikasi dan ketentuan yang diharuskan. Sebagian besar bidan dan guru telah meninggalkan daerah yang pedesaan yang kurang aman menuju daerah pusat perkotaan. Saat ini salah satu tantangan terbesar adalah memberikan insentif agar mereka mau kembali ke daerah pedesaan. Di bidang kesehatan, belanja daerah hampir tidak meningkat sejak 2002 disamping terjadinya peningkatan untuk belanja gaji. Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah dokter, dan perawat tertinggi di Indonesia, dan jumlah fasilitas kesehatan yang besar. Akan tetapi, petugas sering tidak berada ditempat, aliran listrik tidak memadai, sarana air bersih jarang berfungsi, dan pengobatan yang dibutuhkan sering tidak tersedia. Rendahnya anggaran untuk belanja operasional non-gaji juga memperburuk kondisi pelayanan kesehatan. Fokus yang besar diberikan pada perbaikan dan pembangunan fasilitas, disebabkan oleh peningkatan jumlah kabupaten/kota, walaupun untuk beberapa fasilitas tingkat penggunaannya sangat rendah untuk dapat bertahan lama. Di bidang pendidikan, Aceh memiliki jumlah guru yang memadai tetapi masih terjadi ketimpangan besar dalam wilayah cakupan. Para guru lebih menyukai daerah perkotaan daripada daerah pedesaan, menyebabkan terjadinya kesenjangan di daerah pedesaan. Dari pada meningkatkan jumlah guru, pemerintah daerah perlu mengembangkan sistem insentif dan sanksi yang dapat menyediaan pendidikan berkualitas bagi seluruh masyarakat Aceh. Walaupun pengeluaran pemerintah daerah Aceh untuk bidang pendidikan telah meningkat empat kali lipat di tahun 2002, tetapi setelah itu jumlahnya terus menurun dan sebagian besar dibelanjakan untuk belanja rutin (terutama gaji guru), dimana jumlahnya mencapai 63 persen dari seluruh anggaran bidang pendidikan. Buruknya fasilitas pendidikan dan kurangnya materi pendidikan disekolah merupakan masalah utama yang dihadapi dunia pendidikan. Provinsi Aceh memiliki belanja pendidikan per kapita tertinggi di Indonesia (pengeluaran per kapita sebesar Rp. 457.000 vs rata-rata nasional sebesar Rp. 196.000), yang membuat semakin penting untuk memberikan fokus pada kualitas. Di bidang infrastruktur, tsunami telah memperparah masalah yang telah ada sejak lama, tetapi untuk beberapa sub sektor kondisi di Aceh hampir sama dengan kondisi rata-rata nasional. Tingkat sambungan listrik rumah tangga , dan tingkat kepadatan jalan di Aceh berada diatas rata-rata nasional, tapi jaringan air rumah tangga, fasilitas sanitasi pribadi dan infrastruktur irigasi berada jauh dibawah tingkat rata-rata nasional. Dua pertiga rumah tangga di Aceh sudah memiliki sambungan listrik, namun pemadaman listrik sering terjadi di sebagian besar wilayah. Pengeluaran bidang infrastruktur mengalami peningkatan sejak desentralisasi, namun setelah tahun 2002 terus menurun. Sebagian besar belanja rutin di sektor ini dialokasikan untuk gaji pegawai, sedangkan alokasi untuk biaya operasional dan pemeliharaan kecil sekali dari anggaran sektor infrastruktur. Setelah tsunami, banyak pemerintah daerah di Aceh yang
Page 7
menurunkan investasi mereka dibidang infrastruktur, dengan harapan proyek rekonstruksi dari pemerintah pusat, lembaga donor dan LSM akan memenuhi kebutuhan bidang infrastruktur. KAPASITAS PEMERINTAH DAERAH DALAM PENGELOLAAN ANGGARAN Peran, tanggung jawab, dan beban kerja pemerintah daerah telah meningkat secara dramatis selama beberapa tahun terakhir. Namun, kapasitas dan insentif bagi pegawai pemerintah daerah belum dapat mengimbangi peningkatan tanggung jawab yang baru tersebut. Survei Pengelolaan Keuangan Daerah (Public Finance Management/PFM) yang dilakukan di sembilan kabupaten mengindikasikan bahwa rata-rata pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk mengemban tanggung jawab di bidang pengelolaan keuangan daerah (Gambar 6). Di beberapa kabupaten, terutama Nagan Raya dan Aceh Jaya, kapasitas pengelolaan keuangan daerahnya bahkan sangat rendah. Gambar 6: Pemerintah Daerah Memiliki Kapasitas Pengelolaan Keuangan Daerah yang Tidak Memadai 100%
80-100% Sangat Baik 60-79% Baik 40-59% Sedang 20-39% Lemah 0-19% Sangat Lemah
80%
60%
40%
20%
0% Pengadaan
Internal Audit
Pengelolaan Asset
Pengelolaan Kas
Akuntansi & Perencannan & Penganggaran Pelaporan
Kerangka Eksternal Audit Hutang Publik Peraturan & Pengawasan & Investasi Daerah
Sumber: Survai Pengelolaan Keuangan Daerah, nilai rata-rata untuk 9 kabupaten/kota yang disurvai
Sebagian besar pemerintah daerah masíh mengalami kesulitan mengelola peningkatan aliran dana. Sejak berlakunya desentralisasi, belanja pegawai telah melebihi belanja modal untuk pelayanan publik. Pengeluaran pembangunan terkonsentrasi pada sektor aparatur pemerintah dengan mengabaikan sektor lainnya yang sangat membutuhkan perhatian. Berlawanan dengan kebutuhan-kebutuhan yang sudah diidentifikasi, pemerintah daerah hanya menganggarkan sedikit untuk kegiatan pelatihan dan pengembangan kapasitas, dan menganggarkan lebih besar untuk gedung, kendaraan, dan perlengkapan. Pengalokasian anggaran untuk administrasi publik perlu lebih dicermati dan peninjauan ulang atas pengeluaran untuk peningkatan kapasitas pegawai merupakan kebutuhan mendesak. AGENDA UNTUK PELAKSANAAN
Page 8
Para perumus kebijakan di Aceh dapat membuat banyak perubahan untuk mengelola sumber dayanya yang sangat besar dengan cara yang lebih baik. Reformasi yang paling penting berkaitan dengan (i) alokasi sumber daya yang lebih baik, (ii) pengelolaan sumber daya yang lebih baik, dan (iii) analisis data yang lebih baik untuk memberikan informasi tentang alokasi dan pengelolaan sumber daya.
1. ALOKASI SUMBER DAYA YANG LEBIH BAIK Pengeluaran pembangunan perlu ditingkatkan - bukan dikurangi. Sumber daya yang melimpah pada pemerintah daerah dan provinsi merupakan kunci untuk meningkatkan kehidupan masyarakat Aceh. Pemerintah daerah dan provinsi Aceh merupakan pihak yang paling diuntungkan dengan penerapan desentralisasi dan otonomi khusus, tetapi mereka belum ikut serta sepenuhnya untuk membangun suatu masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Aceh. Pada tahun 2005, sebagian besar pemerintah daerah mengurangi persentase pengeluaran pembangunan mereka karena mengantisipasi dana dari BRR dan para donor. Pengeluaran untuk kebutuhan aparatur pemerintah terlalu tinggi. Pemerintah daerah
telah mengalokasikan jumlah dana yang meningkat untuk birokrasi dengan mengorbankan belanja pembangunan. Pengeluaran untuk aparatur pemerintah terus meningkat bahkan setelah jumlah kabupaten/kota tidak mengalami peningkatan. Kecenderungan ini harus lebih dicermati. Pengeluaran yang meningkat untuk birokrasi pemerintah tidak mengindikasikan adanya pengelolaan sumber daya fiskal yang juga lebih baik. Pengeluaran publik sebaiknya dikhususkan untuk kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pembangunan yang meningkatkan penyediaan pelayanan dan kesejahteraan sosial serta menghasilkan manfaat sosial dan ekonomi jangkapanjang, ketimbang keperluan birokrasi. Pengeluaran pemerintah pusat di masa yang akan datang pada fungsi-fungsi yang sebagian besar telah didesentralisasi seharusnya tidak dilakukan. Bahkan diluar pembiayaan rekonstruksi, kontribusi pemerintah pusat masih mencapai lebih dari 30 persen dari investasi di Aceh. Sebagian besar belanja dilakukan pada fungsi-fungsi yang telah didesentralisasi. Pengeluaran pemerintah pusat akan dapat mencapai sasaran dengan baik melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) yang menitikberatkan pada daerah-daerah tertinggal serta kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan prioritas nasional dan mempunyai skala ekonomi yang besar. Keputusan-keputusan (re-) alokasi yang strategis terhadap dana-dana rekonstruksi harus dilakukan sekarang. Pada bulan Juni 2006, US$ 4.9 milyar dana rekonstruksi telah dialokasikan. Pada tahap rekonstruksi yang masih agak dini ini, sumber utama dana skala besar yang masih dapat diprogramkan sangat terbatas. Kesenjangan pembiayaan yang masih ada perlu segera ditangani. BRR memiliki dana fleksibel terbesar yang bisa digunakan untuk menangani kesenjangan ini, terutama untuk sektor transportasi dan juga untuk wilayah sebelah selatan Meulaboh (Aceh Barat Daya, Aceh Selatan), sekitar Lhokseumawe (Aceh Timur, Aceh Tamiang), dan Nias.
2. PENGELOLAAN SUMBER DAYA YANG LEBIH BAIK
Page 9
Kapasitas pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerahnya harus ditingkatkan. Menurut survai PFM, kapasitas pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya fiskal terutama paling rendah di bidang perencanaan dan penganggaran, akuntansi dan pelaporan, eksternal audit, pengelolaan hutang publik dan investasi. Lebih jauh, terdapat kesenjangan-kesenjangan signifikan dalam kapasitas pemerintah daerah di seluruh kabupaten. Pada beberapa indikator, beberapa daerah memiliki tingkat kapasitas yang sangat rendah. Masalah kapasitas ini harus segera diatasi jika masyarakat Aceh hendak menerima manfaat dari sumber daya keuangan yang meningkat. Proses perencanaan dan penganggaran pemerintah daerah membutuhkan peningkatan yang signifikan. Sebagian besar pemerintah daerah sangat terlambat untuk mengesahkan anggaran daerahnya, terkadang sampai enam bulan setelah tahun anggaran berjalan yang menghambat pelaksanaan proyek. Sangat penting bagi pemerintah daerah untuk mempercepat pengesahan anggarannya sehingga proyek dapat dilaksanakan tepat pada setiap awal tahun anggaran. Lebih jauh lagi, terkadang anggaran yang disahkan tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada, khususnya pada sektor pendidikan dan kesehatan.
3. KUALITAS DATA YANG LEBIH BAIK Adanya kebutuhan yang mendesak untuk meningkatkan kualitas pengumpulan dan pengolahan data. Kurangnya data dan rendahnya kualitas data yang ada membuat proses penyusunan program dan anggaran menjadi sangat sulit. Data yang akurat juga dibutuhkan untuk perumusan kebijakan, pemantauan, dan evaluasi, yang berbasis fakta. Pengumpulan dan pengolahan data perlu digabung dengan pengenalan indikator-indikator yang sesuai, yang kemudian dapat memberikan informasi untuk perumusan kebijakan dan penyusunan program. Untuk pemantauan rekonstruksi, sistem pemantauan padat karya (labor intensive) telah terbukti lebih baik daripada sistem informasi berbasis self-entry berteknologi tinggi. Sistem Recovery Aceh Nias (RAN) Database belum memberikan suatu hasil yang signifikan, bahkan terhadap janji utamanya untuk melacak dana. Penyebab utama adalah lemahnya metodologi dalam pengelompokan dana, keterbatasan pengendalian mutu dan analisis data, dan terlalu canggihnya teknologi informasi yang digunakan, sehingga menyulitkan proses memasukkan dan menemukan data utama. Satu-satunya sistem pelacakan yang bisa digunakan adalah sistem dengan pendekatan “teknologi rendah”, yang dilakukan berdasarkan tindak lanjut yang sistematis dengan lembaga-lembaga utama ditambah dengan penekanan yang kuat terhadap analisis data.