TINJAUAN PUSTAKA Stylosanthes guianensis Stylosanthes guianensis merupakan tanaman legum perenial, tingginya dapat mencapai 1,2 m. Daunnya trifoliate dengan panjang 0,5-4,5 cm dan lebar 0,2-2 cm, bunganya berwarna kuning sampai orange, benihnya berwarna coklat (bervariasi dari kuning sampai agak kehitaman). Tanaman ini lebih dikenal dengan nama stylosanthes
yang
digunakan
untuk
tanaman
pakan
pada
lahan
pastura
(penggembalaan maupun potongan), sebagai penutup tanah (mencegah erosi) pupuk hijau, dan diolah menjadi hay atau pellet. Stylosanthes guianensis dapat tumbuh pada tanah dengan drainase yang baik, dan pada tekstur tanah dari pasir sampai liat (seperti pada tanah tropis latosol, liat, tanah berpasir, dan podsolik asam) (FAO, 2012). Stylosanthes guianensis dapat tumbuh pada pH tanah berkisar 4,0-8,3 dan toleran terhadap kandungan Al dan Mn yang tinggi namun tidak pada salinitas yang tinggi. S. guianensis dapat memanfaatkan P pada tanah dengan kandungan P yang rendah, namun dapat dengan baik merespon pemberian P, K, S, Ca, dan Cu pada taraf yang rendah (FAO, 2012).
Gambar 1. Leguminosa Stylosanthes guianensis Sumber: www.informedfarmers.com [17 Juni 2012]
Menurut Mannetje dan Jones (1992), S. guianensis sangat responsif terhadap pemupukan fosfor (P), dengan pemupukan fosfor dapat meningkatkan BK sebesar 0,06%. Produksi BK S. guianensis berkisar antara 5-10 ton/ha tergantung dari penanaman, pertumbuhan, dan manajemen pemeliharaan, S. guianensis dapat mencapai produksi tertinggi sebesar 20 ton/ha. Produksi benih berkisar antara 7001.350 kg/ha. Stylosanthes guienensis dapat dikembangkan secara generatif (benih)
3
dan vegetatif (pemotongan) namun pertumbuhannya lambat dan mahal. Produksi benih sangat sulit didapatkan karena benih yang sudah matang lepas pada saat awal berbunga, selain itu cairan lengket yang dikeluarkan pada kepala bunga membuat proses pemanenan semakin sulit (Bogdan, 1977). Nilai nutrisi S. guianensis adalah sebagai berikut PK 12-20%, kecernaan BKIV 52-60 %, P 0,2-0,6%, Ca 0.6-1.6% (Chakraborty, 2004), konsentrasi nitrogen 1,5%-3,0%, berat kering yang dapat dicerna dari tanaman yang muda 60%-70% (PROSEA, 1992). Stylosanthes scabral Suatu tanaman semak tahunan tinggi sampai 2 m, dengan akar tunggang yang kuat dan dalam (sampai 4 m). Batang muda bervariasi dari warna hijau sampai merah, tergantung dari tipe; biasanya dengan bulu-bulu yang padat dan kasar, menjadi lebih berkayu seiring umur tanaman. Helai daun berbulu pada kedua permukaan, berwarna hijau pucat sampai hijau tua dan hijau kebiruan, panjang 20-33 mm dan lebar 4-12 mm. Bunga berwarna kuning pucat sampai kuning tua. Buah polong dengan 2 segmen, kedua segmen biasanya subur; segmen bagian atas panjang 4-5 mm dan segmen bagian bawah panjang 2 mm, coklat pucat sampai coklat muda. 400.000-500.000 biji dalam buah polong/kg dan 600.000-800.000 biji bersih/kg (PROSEA, 1992).
Gambar 2. Leguminnosa Stylosanthes scabra Sumber: www. Wikipedia.org [17 Juni 2012]
Stylosanthes scabra biasanya digunakan sebagai padang gembala tahunan, ditanam bersama dengan rumput unggul dan rumput alam. Digunakan sebagai tanaman potong angkut pada beberapa negara. Tanaman muda mungkin cocok untuk
4
diawetkan. Tumbuh dengan baik pada tanah pasir tidak subur, asam dan mudah menyusut atau keras; demikian pula tumbuh dengan baik pada tanah dengan tekstur lebih berat, sedikit asam, dan tidak cocok sama sekali pada semua jenis tanah liat berat (PROSEA, 1992). Spesies yang sangat tahan kekeringan, tumbuh pada daerah dengan curah hujan rendah sampai 350 mm/tahun. Dalam penanamannya, tanaman ini terutama digunakan pada daerah dengan curah hujan tahunan sekitar 600 dan 2000 mm. Musim kering yang panjang dapat menjadi faktor pembatas pada daerah dengan curah hujan rendah dan tanah yang lebih dangkal, dimana tanaman semusim, atau tanaman tahunan dengan kemampuan berperilaku sebagai tanaman semusim (misalnya S. hamata ), biasanya lebih berhasil. Pertumbuhan bibit biasanya terlalu lambat pada S. scabra karena tanaman ini berperilaku sebagai tanaman semusim. Beberapa tipe tidak tahan terhadap penggenangan air (PROSEA, 1992) Nilai nutrisi S. scabra menurun seiring umur tanaman, PK daun dari 20% menjadi 10%, P dari 0,3% menjadi 0,1% dan Kecernaan bahan kering in vitro dari 70% menjadi 50%. Proporsi batang meningkat bersama umur, dari sekitar 20% pada pertumbuhan awal menjadi 75% pada akhir musim (dan lebih tinggi pada padang gembala yang digembalai) (Edye dan Toprark-Ngarm, 1992). Hidrogen Peroksida (H2O2) Hidrogen peroksida dengan rumus kimia H2O2 ditemukan oleh Louis Jacques Thenard di tahun 1818. Senyawa ini merupakan bahan kimia anorganik yang memiliki sifat oksidator kuat. Bahan baku pembuatan hidrogen peroksida adalah gas hidrogen (H2) dan gas oksigen (O2). Teknologi yang banyak digunakan di dalam industri hidrogen peroksida adalah auto oksidasi Anthraquinone (Patnaik, 2002) Hidrogen peroksida tidak berwarna, berbau khas agak keasaman, dan larut dengan baik dalam air. Dalam kondisi normal (kondisi ambient), hidrogen peroksida sangat stabil dengan laju dekomposisi kira-kira kurang dari 1% per tahun. Mayoritas pengunaan hidrogen peroksida adalah dengan memanfaatkan dan merekayasa reaksi dekomposisinya, yang intinya menghasilkan oksigen. Pada tahap produksi hidrogen peroksida, bahan stabilizer kimia biasanya ditambahkan dengan maksud untuk menghambat laju dekomposisinya. Termasuk dekomposisi yang terjadi selama produk hidrogen peroksida dalam penyimpanan. Selain menghasilkan oksigen, reaksi
5
dekomposisi hidrogen peroksida juga menghasilkan air (H2O) dan panas. Penambahan H2O2 dapat meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut, spesimen H2 memiliki sifat oksidator dan H+ memiliki sifat reduktor (Andayani dan Sumartono, 1999). Stres kekeringan dapat meningkatkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) dalam kompartemen seluler seperti kloroplas, peroksisom, dan mitokondria. Secara umum hal tersebut dapat diterima bahwa pemberian stres lingkungan seperti kekeringan, dingin, panas, atau iradiasi cahaya yang tinggi, menimbulkan konsentrasi ROS yang tinggi seperti superoksida, H2O2, singlet oxygen, dan radikal hidroksil (Bowler et al., 1992; Foyer et al., 1994; Alscher et al., 1997; Shigeoka et al., 2002). Radikal bebas juga bisa berasal dari konsumsi oksigen, 2%-3% oksigen yang dikonsumsi akan dikonversi menjadi oksigen radikal (O-) dan H2O2 dan peningkatan konsumsi oksigen pada jaringan akan menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) pada mitokondria, demikan juga dengan peningkatan suhu akan menghasilkan ROS yang akan menyebabkan kerusakan oksidatif (Abele et al., 1998). Banyak faktor fisiologis yang terlibat dalam stres kekeringan ataupun panas yang dapat membuat tanaman menjadi sakit. Dalam beberapa spesies, stres panas dan kekeringan dapat menyebabkan stres oksidatif, yang dihasilkan dari produksi dan akumulasi spesies oksigen beracun seperti radikal superoksida, hidrogen peroksida (H2O2), dan radikal hidroksil (OH-) (Bowler et al., 1992; Inze dan Montagu, 1995). Spesies oksidatif yang dihasilkan selama stres dapat merusak komponen sel, termasuk lipid, protein, karbohidrat, dan asam nukleat (Monk et al., 1989). Stres oksidatif dapat menyebabkan penghambatan proses fotosintesis dan respirasi, termasuk pertumbuhan tanaman. Tanaman telah mengevolusi enzimatis dan bukan enzimatis untuk menolak spesies oksigen aktif. Dalam sistem enzimatik misalnya, superoxide dismutase (SOD) mengkatalisis dismutasi O-2 untuk H2O2 dan O2. Kalatase (CAT) dan peroksida askorbat (AP) dapat memecah H2O2. Glutation reduktase (GR) juga dapat menghapus H2O2 melalui siklus askorbat-glutathione untuk mempertahankan tingkat askorbat yangg tinggi berkurang dalam kloroplas. Namun fungsi dari enzim pengais ini dapat terganggu oleh stres kekeringan dan panas, yang dapat meningkatnya peroksidasi lipid dan kerusakan membran
6
konsekuen (Chowdhury dan Choudhuri, 1985; Zhang dan Kirkham, 1994; Jagtap dan Bhargava, 1995, Dat et al., 1998). Peranan Air pada Tanaman Harjadi dan Yahya (1988) menerangkan bahwa peranan air antara lain: (1) air merupakan bagian yang esensial bagi protoplasma dan membentuk 80%-90% bobot segar jaringan yang tumbuh aktif, (2) air adalah pelarut, di dalamnya terdapat gasgas, garam, dan zat-zat terlarut lainnya yang bergerak keluar, (3) air adalah pereaksi dalam proses fotosintesis dan proses hidrolisis, (4) air esensial untuk menjaga turgiditas diantaranya dalam pembesaran sel, pembukaan stomata, dan menyangga bentuk (morfologi) daun-daun atau struktur lainnya yang berlignin sedikit. Menurut Noggle dan Frizt (1983) menjelaskan fungsi air bagi tanaman yaitu sebagai: (1) senyawa utama pembentuk protoplasma, (2) senyawa pelarut bagi masuknya mineral-mineral dari larutan tanah ke tanaman dan sebagai pelarut mineral nutrisi yang akan diangkut dari satu bagian sel ke bagian sel lain, (3) media terjadinya reaksi-reaksi metabolik, (4) reaktan pada sejumlah reaksi metabolisme seperti siklus asam trikarboksilat, (5) penghasil hidrogen pada proses fotosintesis, (6) penjaga turgiditas sel dan berperan sebagai tenaga mekanik dalam pembesaran sel, (7) pengatur mekanisme gerakan tanaman seperti membuka dan menutupnya stomata, membuka dan menutupnya bunga, serta melipatnya daun-daun tanaman tertentu, (8) berperan dalam perpanjangan sel, (9) bahan metabolisme dan produk akhir respirasi, serta (10) digunakan dalam proses respirasi. Kebutuhan air pada tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis dan umur tanaman, kadar air tanah dan kondisi cuaca. Setiap gram pembentukan bahan organik penyusun tanaman, rata-rata membutuhkan 500 g air yang diabsorbsi oleh akar ditranportasikan ke seluruh bagian tanaman dan selanjutnya air akan hilang ke atmosfer. Setiap tanaman harus dapat menyeimbangkan antara proses kehilangan air dan proses penyerapannya, bila proses kehilangan air tidak diimbangi dengan penyerapan melalui akar maka akan terjadi kekurangan air di dalam sel tanaman yang dapat menyebabkan berbagai kerusakan pada banyak proses dalam sel tanaman (Taiz dan Zeiger, 2002). Kadar air dalam tanah mendeskripsikan jumah sumber air yang tersedia, dimana air dapat diserap untuk pertumbuhan, sedangkan kekeringan dapat
7
menyebabkan air tidak tersedia dan tanaman menjadi menderita dan layu (Karti, 2004). Karti et al. (2012) bahwa tanaman yang diberikan stres kekeringan dapat menurunkan kadar air tanah dibandingkan dengan tanah yang disiram setiap hari. Pengaruh Cekaman Kekeringan pada Tanaman Menurut Mcllroy (1976), stres kering pada tanaman dapat menyebabkan terjadinya peubahan struktur dan konfigurasi protein, sehingga aktifitas enzim dan laju metabolism menurun. Pada daun sendiri stress kering dapat menyebabkan stomata menutup, hal ini terjadi karena turgiditas sel-sel penyangga menurun. Cekaman air pada tanaman terjadi karena ketersediaan air dalam media tidak cukup dan transpirasi yang berlebihan (Islami dan Utomo, 1995). Cekaman kekeringan terjadi ketika ketersediaan air tanah menurun dan kondisi atmosfir menyebabkan kehilangan air terus menerus melalui transpirasi atau evaporasi (Jaleel et al., 2009). Lebih lanjut dijelaskan bahwa cekaman kekeringan ditandai dengan rendahnya kadar air, penurunan potensial air daun dan tekanan turgor, penutupan stomata dan berkurangnya pembesaran dan pertumbuhan sel. Reaksi tanaman terhadap cekaman kekeringan berbeda secara signifikan pada berbagai tingkatan tergantung pada intensitas dan durasi dari cekaman itu sendiri, dan juga species tanaman dan tingkatan pertumbuhannya (Chaves et al., 2002) . Cekaman kekeringan sebelum berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman, terlebih dahulu mengakibatkan dehidrasi dan menurunkan tekanan turgor sel tanaman, sehingga merangsang penutupan stomata, menghambat difusi CO2 dan fotosintesis. Akar yang mengalami cekaman kekeringan akan membentuk asam absisat lebih banyak dan diangkut melalui xylem menuju daun untuk menutup stomata, yaitu dengan cara menghambat pompa proton yang kerjanya tergantung pada ATP dan membran plasma sel penjaga (Salisbury, 1995). Kekeringan dapat menyebabkan daun menjadi lebih sempit dan pendek, demikian pula batang dan organ reproduktif yang terbentuk lebih kecil dari ukuran normal (Teare dan Peet, 1983). Cekaman kekeringan dan panas dapat menyebabkan menurunnya kualitas tanah, dengan menurunnya kualitas
tanah maka dapat
menurunkan pertumbuhan pada akar, potensial air daun, stabilitas membran sel, kecepatan fotosintesis, dan akumulasi karbohidrat (Howard dan Watschke, 1991; Carrow, 1996; Perdomo et al., 1998; Huang dan Gao, 1999; Jiang dan Huang, 2000)
8
Cekaman kekeringan, panas maupun keduanya dapat menurunkan kualitas tanah, Relative Water Content (RWC), dan kandungan klorofil daun. Stres ganda efeknya lebih dapat merusak dibandingkan dengan hanya stres kering saja maupun stres panas saja. Kualitas tanah menurun secara dramatis dibawah cekaman kekeringan, sedangkan cekaman ganda dapat menurunkan nilai RWC selama perlakuan stres (Turner et al., 1966; Nobel, 1988). Relative Water Content (RWC) Relative Water Content dapat digunakan dalam seleksi langsung terhadap resisten kekeringan (Yuniaty, 1998; Reynolds et al., 1999; Chandrasekar et al., 2000). Relative Water Content adalah ukuran status tanaman air yang mencerminkan juga bervariasi dalam potensial air, potensi turgor dari penyediaan osmotik (Blum, 1999). Relative Water Content daun dapat dengan mudah untuk ditentukan. Mempertahankan Relative Water Content tetap tinggi dapat dilakukan melalui tiga mekanisme (1) kapasitas untuk mempertahankan potensi air yang tinggi dengan ekstraksi kelembaban tanah yang mendalam, (2) kapasitas penyesuaian osmotik, yang dapat memungkinkan mempertahankan turgor RWC dan potensi air yang lebih rendah, dan (3) penutupan stomata dalam menanggapi pengeringan daun dan mengangkut sinyal hormon yang diproduksi oleh akar dan respon terhadap pengeringan akar. Yuniaty (1998) juga menyatakan bahwa RWC daun memiliki asosiasi tingkat tertinggi dengan hasil biji kedelai dengan berbagai parameter yang diamati (tingkat transpirasi, difusif resistensis, dan suhu daun). Relative Water Content daun kurang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan sejak pengukuran yang dilakukan pada pagi hari dimana variasi atmosfer kurang diucapkan. Relative Water Content berkaitan erat dengan volume sel, mungkin lebih mencerminkan keseimbangan antara pasokan air ke daun dan laju transpirasi (Schonfeld et al., 1998). Hal ini dapat mempengaruhi waktu tanaman tua pulih dari stres dan akibatnya dapat mempengaruhi stabilitas hasil (Lilley dan Ludlow, 1996). Relative Water Content merupakan indikator yang yang sangat penting untuk keadaan keseimbangan air pada tanaman, RWC menerangkan jumlah absolut air, dimana tanaman membutuhkannya untuk mengetahui kandungan turgor air. (González dan González-Vilar, 2001). Relative Water Content mengekspresikan
9
dalam persentase kandungan air pada waktu tertentu dan jaringan yang terkait dengan kandungan air turgor (Slatyer, 1967).
10