TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Murbei (Morus alba L.) 2.1.1. Botani Murbei (Morus alba L.) termasuk dalam famili moraceae yang berasal dari Cina. Tanaman murbei tumbuh baik pada ketinggian lebih dari 100 m diatas permukaan laut (dpl) dan memerlukan cukup sinar matahari. Tumbuhan yang sudah dibudidayakan ini menyukai daerah-daerah yang cukup basa seperti di lereng gunung, tetapi pada tanah yang berdrainase baik. Tanaman ini kadang ditemukan tumbuh liar. Murbei dikenal dengan nama berbeda-beda, seperti: besaran (Indonesia), murbai, besaran (Jawa), kerta, kitau (Sumatra), Sang ye (China), may mon, dau tam (Vietnam), morus leaf, morus bark, morus fruit, murbei fruit (Dalimartha 2000) Pohon murbei dapat tumbuh hingga 9 meter, percabangannya banyak, cabang muda, berambut halus, daun tunggal, letak berselang dan bertangkai dengan panjang 1-4 cm. Helai daun berbentuk bulat telur sampai berbentuk jantung, ujung runcing, pangkal tumpul, tepi bergerigi, pertulangan menyirip, agak menonjol, permukaan atas dan bawah kasar, panjang 2,0-2,5 cm serta berwarna hijau. Bunga majemuk berbentuk tandan, keluar dari ketiak daun, mahkota berbentuk tajuk dan berwarna putih. Dalam satu pohon terdapat bunga jantan, bunga betina dan bunga sempurna yang terpisah, selain itu tanaman murbei dapat berbunga sepanjang tahun (Dalimartha 2000). Buah murbei banyak berupa buah buni, berair dan rasanya enak. Buah muda berwarna hijau setelah masak menjadi hitam (Gambar 1). Buahnya kecil dan saling berlekatan (bergerombol), Bijinya kecil dengan ukuran 1-1,2 mm dan berwarna hitam.
Gambar 1. Buah Murbei (www.ayesha.com)
2.1.2. Komponen kimiawi Komponen terbesar buah murbei adalah air (71,5 %), lalu total padatan terlarut 20,4 %, kadar keasaman kurang lebih 0,25 %, pH sekitar 5,6, asam askorbat sebesar 22,4 mg/100 gram dan lemak total sebesar 1,10 %. Komposisi asam lemak yang terdapat dalam buah ini adalah asam linoleat (54,2 % dari lemak total 1,1 %) asam palmitat (19,8 % dari lemak total 1,1 %) dan asam oleat (8,41 % dari lemak total 1,1 %) (Ercisli dan Orhan 2007) (Tabel 1). Komposisi mineral yang ada pada buah murbei utamanya adalah kalium sebesar 1141 mg/100 gram buah, lalu fosfor 235 mg/100 gram buah, kalsium 139 mg/100 gram (Ercisli dan Orhan 2007) (Tabel 1). Tabel 1. Karakteristik kimiawi dan komposisi mineral buah murbei (Ercisli dan Orhan 2007) Karakteristik kimiawi Berat sampel buah (g) Total berat kering (%) Kadar air (%) pH Total asam (%) Total padatan terlarut(%) Total lemak (%) Asam lemak (%) C14:0 C 16:0 cis-C16:1 C18:0 cis-C18:1 cis-C18:2 cis-C18:3 cis-C19:1 cis-C18:1 C 22:0
Jumlah Jenis mineral 3,49 29,5 71,5 5,6 0,25 20,4 1,1 0,98 22,42 0,67 4,27 10,49 57,26 0 0,062 0 0,26
Fosfor Kalium Kalsium Magnesium Natrium Besi Tembaga Mangan Seng
Konsentrasi (mg/100 gr) 235 1141 139 109 60 4,3 0,4 4,0 3,1
Selain itu buah ini juga mengandung 181 mg total alkaloid /100 gram sampel buah dan 29 mg total flavonoid /100 gram sampel buah. Jenis alkaloidnya adalah 1-deoksinojirimisin (DNJ), N-metil-1-deoksinojirimisin, fagomin (FAG), kalistegin B2, 4-O-D-galaktopiranosil-kalistegin B2, 1,4-dideoksi-1,4-imino-
D-arabinitol
(D-ABA),
1,4-dideoksi-1,4-imino-
(2-O-D-glukopiranosil)
-D-arabinitol, 2,3-dihidroksinortropan, 2,3-dihidroksinortropan, 2,3,6 eksotrihidroksinortropan,
2,3,4-trihidroksinortropan, 3,6 ekso-dihidroksinortropan,
3,6-dihidroksinortropan,
2-O-D-galaktopiranosil-1-deoksinojirimisin
dan
6-O-D-glukopiranosil-1-deoksinojirimisin (Kusano et al. 2002). Sedangkan jenis flavonoidnya adalah sianidin 3-O-(6-O-x-rhamno piranosil-β-D-glukopiranosida, sianidin 3-O-(6-O-x-rhamnopiranosil -β-D-galakto piranosida, sianidin 3-O-β-D-glukopiranosida, sianidin 3-O-β-D-galakopiranosida dan sianidin 7-O- β-D-glukopiranosida (Du et al. 2008). Sianidin 3 rutinosida, sianidin-3-monoglukosida dan isoquecertin (Chen et al. 2006).
2.1.3. Fitofarmaka Murbei merupakan salah satu tanaman yang dikenal memiliki khasiat dibidang medis baik dari buah, daun dan kulit akar. Buah murbei dalam pengobatan tradisional China digunakan untuk menurunkan tekanan darah (Bae dan Suh 2006). Selain itu ekstrak air buah murbei memiliki aktivitas antioksidan yang bekerja .
dengan cara menangkap elektron radikal pada superoksida (O2 ) dan hidroksi .
radikal (OH ). Ekstrak etanol buah murbei sejumlah 255 mg memiliki kemampuan untuk menghambat oksidasi asam linoleat sebesar 52,7–73,3 % dan dapat menangkap 60 % dari DPPH (Bae dan Suh 2006). Menurut Chen et al. 2006 senyawa bioaktif yang bertanggungjawab terhadap aktivitas antioksidan buah murbei utamanya adalah sianidin 3-rutinosida, sianidin-3-monoglukosida, isoquesertin dan vitamin C. Sianidin 3-rutinosida dan sianidin-3-monoglukosida termasuk ke dalam kelompok sianidin yang digolongkan dalam kelompok pewarna alami antosianin, aktivitas antioksidan kelompok ini diduga berasal dari aglikonnya (Bae dan Suh 2006). Sedangkan isoquecertin dimasukkan ke dalam kelompok quecertin, menurut Chopra et al. (2000) quecertin merupakan salah satu jenis flavonoid penting yang dapat mencegah teroksidasinya LDL dalam darah. Senyawa bioaktif sianidin 3-rutinosida dan sianidin-3-monoglukosida dari buah murbei selain berperan dalam aktivitas antioksidan, juga memiliki aktivitas antikanker dengan cara menghambat migrasi dan invasi metastasis sel karsinoma
kanker paru-paru manusia pada kultur sel (Chen et al. 2006). Buah murbei juga memiliki senyawa bioaktif sianidin 3-O-β-D-Glukopiranosida (Butt et al. 2008), menurut Kang et al. (2006) senyawa tersebut dapat mengurangi kerusakan sel neuronal dan juga dapat melawan iskhemia serebral. Ekstrak buah morus alba juga dilaporkan memiliki aktivitas antimutagenik terhadap genotoksikan (seperti sinar X, N-metilnitrosourea, siplofosfamida dan NaF), ekstrak tersebut dapat menurunkan frekuensi kromosom yang menyimpang (Alekperov 2002). Chen et al. (2005) melaporkan bahwa 0,5 atau 1 % ekstrak air dari buah murbei yang ditambahkan dalam pakan kelinci dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol dan LDL kelinci tersebut dan juga dapat mengurangi terjadinya ateroskleriosis dalam aorta sebesar 42-63%. Data-data tersebut menunjukkan bahwa ekstrak air buah murbei tidak hanya berperan dalam mencegah oksidasi LDL tapi juga memiliki akivitas antihiperlipidemia. Selain itu menurut Syafutri (2008) ekstrak air buah murberi dapat meningkatkan konsentrasi HDL darah. Ekstrak buah murbei juga mempengaruhi aktivitas sistim imun, menurut Lin dan Tan (2007) murbei memiliki aktivitas sebagai imunomudolator dan aktivitas tersebut utamanya dipengaruhi oleh tingginya kadar polifenol yang mencapai 1515,9 mg/100 gram bahan segar. Selain itu 10 μg/ml ekstrak buah ini diketahui dapat meningkatkan interleukin 2 yang menstimulasi pertumbuhan dan pembelahan sel T, sedangkan 500 μg/ml ekstrak buah murbei dapat meningkatkan sekresi interferon γ sampai 106,6 pg/ml, interleukin-4 2,6 pg/ml dan interleukin-5 24,4 pg/ml (Lin dan Tan 2008). Jus buah murbei juga dapat berperan sebagai antiinflamasi dengan cara menghambat efek profilatik pada inflamasi yang diinduksi lipopolisakarida pada peritoneal makrofag melalui meningkatkan sekresi sitokin antiinflamasi atau menurunkan sitokin yang dapat meningkatkan terjadinya inflamasi (Lin dan Tan 2007). Ekstrak air dari buah ini juga diketahui dapat menurunkan kandungan etanol darah setelah pemberian etanol secara oral. Efek tersebut diduga terjadi karena ekstrak ini menghambat penurunan enzim alkohol dehidrogenase (enzim ini bekerja bolak-balik yaitu mengubah etanol menjadi asetaldehida dan juga sebaliknya) dan mensuplai koenzim nikotinamida adenin dinukleotida (koenzim untuk enzim dalam katabolisme etanol) sehingga dengan keberadaan enzim
tersebut dan juga koenzimnya maka katabolisme etanol menjadi lebih cepat. Efek tersebut berkaitan dengan kandungan polifenol yang ada pada buah murbei. Di dalam pemanfaatannya sebagai obat, buah murbei sering diolah dahulu menjadi jus. Selain itu di negara China buah murbei dikonsumsi dalam bentuk segar dan diolah menjadi liquor (sejenis minuman buah). Di Eropa buah murbei ini juga telah diolah menjadi minuman fermentasi (wine) yang banyak dikonsumsi oleh kaum wanita Eropa. Selain buahnya, daun dan kulit akar murbei juga memiliki manfaat medis, daun murbei diketahui efektif untuk menurunkan gula darah (hipoglikemik), menurunkan tekanan darah (hipotensif) dan diuretik (Kim et al. 2006). Menurut Sohn et al. (2004) senyawa aktif kuwanon C, mulberrofuran G dan albanol B pada daun murbei memiliki aktivitas antibakteri dengan konsentrasi minimal yang dapat menghambat (MIC) antara 5 sampai 30 µg/ml. Komponen quecertin 3 (6-malonil glikosida) yang ada pada daun murbei menyebabkan daun ini juga memiliki aktivitas antioksidan. Ekstrak metanol kulit akar murbei dapat menurunkan kandungan gula darah hal ini berkaitan dengan keberadaan senyawa bioaktif moran A (Butt et al. 2008), sedangkan senyawa bioaktif leachinone G dan mulberroside C yang diisolasi dari kulit akar murbei memiliki aktivitas antiviral terhadap virus herpes simplek tipe 1 (HSV-1) (Du et al. 2003), selain itu menurut Moon et al. (1983) ekstrak komponen polisakarida dari kulit akar murbei dapat melawan aktivitas sarcoma 108 mencit.
2.2. Toksisitas Toksisitas didefinisikan sebagai efek bahaya yang ditimbulkan oleh suatu zat /senyawa/bahan terhadap organisme yang terpapar zat/senyawa/bahan tersebut. Efek bahaya tersebut dapat terkena pada keseluruhan organisme tersebut (misalnya kematian) atau pada bagian kecil dari organisme tersebut misalnya organ dan sel seperti hati, ginjal dan lain-lain. Menurut Hodgson dan Levi (2000) untuk menilai efek bahaya suatu zat/senyawa/bahan maka satu hal yang perlu diperhatikan adalah dosisnya, karena bahan uji tersebut pada dosis tertentu tidak berbahaya tetapi pada dosis yang lebih tinggi mungkin berbahaya. Pada umumnya pengujian toksisitas dibagi menjadi dua kelompok yaitu uji
toksikologi umum dan uji toksikologi khusus, uji toksikologi umum meliputi pengujian toksisitas akut, sub kronis dan kronis.
2.2.1. Uji toksikologi umum 2.2.1.1.Toksisitas akut Toksisitas akut merupakan derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam tempo singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal atau pemberian berulang dalam waktu terbatas (umumnya 24 jam). Batasan waktu singkat adalah bisa dalam rentang 24 jam ataupun paling lama adalah 14 hari (Hodgson dan Levi 2000). Tujuan utama dilakukan pengujian ini adalah untuk menetapkan potensi ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik bahan uji pada satu hewan uji atau lebih. Selain itu pengujian toksisitas akut juga ditujukan untuk menilai bebagai macam gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas dan mekanisme yang memerantarai terjadinya kematian hewan uji (Omaye 2004). Jadi, dalam ketoksikan akut, data yang dikumpulkan berupa tolok ukur ketoksikan kuantitatif (kisaran dosis letal/toksik) dan tolok ukur ketoksikan kualitatif (gejala klinis, wujud dan mekanisme efek toksik). Tolok ukur kuantitatif yang sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letal/toksik adalah nilai Lethal dosis 50 % (LD 50), artinya dosis tunggal sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik terhadap 50% hewan uji. Data yang di dapat dari pengujian ketoksikan akut dapat sebagai acuan untuk melakukan penelitian dengan jangka waktu yang lebih lama sehingga dapat memprediksi, mendiagnosa dan menentukan treatment yang tepat untuk menanggulangi dampak tersebut. Selain itu data tersebut juga dapat menjadi acuan bagi pemangku kebijakan untuk menentukan regulasi dan bagi peneliti data tersebut dapat digunakan untuk menentukan mekanisme toksisitasnya (Omaye 2004). 2.2.1.2. Ketoksikan sub kronis dan kronis Uji ketoksikan sub kronis adalah uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama jangka waktu
kurang lebih 10 % dari masa hidup hewan uji, misalnya 3 bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun untuk anjing. Pengujian sub kronis ini bertujuan untuk menyelidiki efek toksik yang timbul karena pemberian berulang dari zat/senyawa/bahan tersebut dalam jangka waktu tertentu. Data pengujian sub kronis dapat memberikan informasi berharga mengenai efek kumulatif dari suatu zat pada organ sasaran, toleransi fisiologis dan metabolik pada dosis rendah dalam jangka waktu tertentu (Yossa 2008). Sedangkan uji ketoksikan kronis merupakan uji ketoksikan suatu zat/bahan/senyawa yang diberikan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama masa hidup hewan coba atau sekurang-kurangnya sebagian besar dari hidupnya, misal 18 bulan untuk mencit dan 24 bulan untuk tikus (Lu 1995, Omaye 2004). Jadi uji toksisitas sub kronis dan akut hanya dibedakan berdasarkan waktunya saja. Kedua pengujian ini utamanya ditujukan untuk mengungkapkan spektrum efek toksik sampel terkait dengan jenis organ yang terkena maupun kekerabatan antara dosis dan spektrum efek toksik. Selain itu, seringkali uji ini juga ditujukan untuk mengevaluasi keterbalikan (reversibilitas spektrum efek toksik yang terjadi). Dengan dilakukannya uji ini, memungkinkan terliputnya wujud dan sifat efek toksik yang munculnya lambat dan tidak muncul atau teramati pada uji ketoksikan akut.
2.2.2. Parameter pengamatan Parameter yang biasa digunakan dalam toksisitas akut, sub kronis dan kronis adalah 1.
LD 50 Tolok ukur kuantitatif yang sering digunakan untuk menyatakan kisaran dosis letal/toksik adalah nilai Lethal dosis 50 % (LD 50), artinya dosis tunggal sesuatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik terhadap 50% hewan uji (Akhila et al. 2007)
2.
Pengamatan tingkah laku hewan percobaan Pada dosis tertentu paparan senyawa toksik terhadap suatu hewan uji tidak sampai mematikan hewan tersebut tetapi tetap dapat merusak organ
sasarannya. Kerusakan terhadap organ tersebut kadang kala akan terlihat pada aktivitas dan tingkah laku keseharian hewan percobaan (Tabel 2). Tabel 2. Tanda toksik pada organ atau sistem fisiologi tubuh (Lu 1995) Sistim atau organ Autonomik Perilaku Sensorik Neuromuskuler Kardiovaskuler Pernafasan Mata Gastrointestinal Sistim kemih Kulit
Tanda toksik Membran niktitans melemah, eksoftalmos, hipersekresi hidung, salivasi, diare, keluar air seni, piloereksi Sedasi, gelisah, kepala tertunduk, kuku siap mencakar, terengah-engah, iritabilitas, sikap agresif atau defensif, ketakutan, bingung, aktivitas yang aneh Reflek kornea, reflek penempatan, reflek tungkai belakang, peka terhadap bunyi dan sentuhan, nistagmus Aktivitas meningkat atau berkurang, fasikulasi tremor, konvulsi, ataksia, lemas, opistotonus, respon Denyut jantung meningkat atau berkurang, sianosis, vasokontriksi, vasodilatasi, pendarahan Hipopnea, dispnea, terengah-engah, apnea Warna mata, pemeriksaaan oftalmologik, Diare, muntah, feses, nafsu makan Volume urin, konsistensi, warna Warna, penampilan, bulu, eritema, bengkak
3. Pengamatan terhadap berat badan dan konsumsi pakan Pengamatan ini dilakukan untuk menilai apakah percobaan yang dilakukan akan mempengaruhi konsumsi pakan hewan coba yang nantinya juga berkaitan dengan berat badan tikus tersebut. 4. Analisis kimiawi darah, serum atau urin Analisa kimiawi darah biasanya mencakup hematokrit, hemoglobin, menghitung jumlah eritosit, leukosit dan trombosit. Pengujian yang dilakukan pada serum biasanya mencakup glukosa darah, SGOT, SGPT, alkalin fosfatase, protein total, lipid total, albumin, bilirubin, urea darah, kreatinin dan unsur-unsur anorganik seperti fosfor, kalium, kalsium, natrium dan klorida. Sedangkan pada urin mencakup pemeriksaan fisik warna, berat jenis, dan pH, selain itu dilakukan juga pemeriksaan kimiawi biasanya mencakup protein, glukosa, keton, kreatinin, sel darah merah dan kristal serta benda amorf. Data hasil pengujian tersebut pada beberapa analisis dapat digunakan untuk menilai kerusakan organ tertentu, misalnya keberadaan enzim SGPT dan SGOT dan juga bilirubin yang tinggi dalam serum sampel maka
mengindikasikan kerusakan hati, sedangkan jumlah kreatinin dan juga urea yang tinggi dalam serum dan juga urin mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjal. 5. Pengamatan histologi terhadap organ/jaringan yang diduga menjadi sasaran senyawa toksik. Pengamatan histologi terhadap organ sasaran aksi senyawa toksik dilakukan untuk mengkonfirmasi kerusakan dan juga menghitung paparan kerusakan terhadap sel organ tersebut. Pengamatan biasanya dilakukan terhadap sel yang normal dan juga sel yang mengalami degradasi, nekrosis dan juga apoptosis. Parameter LD 50 dipakai hanya dalam pengujian toksisitas akut sedangkan parameter yang lainnya bisa dipakai baik dalam pengamatan toksisitas akut, sub kronis maupun kronis. Pada pengujian toksisitas akut kadang kala hanya dilakukan dengan menggunakan parameter LD 50 seperti penelitian yang dilakukan oleh Rasekh et al. (2005), ada yang menggunakan parameter LD 50 dan juga pengamatan tingkah laku hewan percobaan (Joshi et al. 2007, Alade et al. 2009) dan ada yang menggunakan parameter LD 50, pengamatan tingkah laku hewan percobaan, berat badan dan konsumsi ransum dan pengamatan histologi terhadap organ (Somfai-relle et al. 2005). Sedangkan pengujian toksisitas sub kronis maupun kronis ada yang hanya menggunakan paremeter analisis kimiawi serum (Amanvermez et al. 2009), ada yang menggunakan parameter analisis serum dan paraneter pengamatan histologi (Alade et al. 2009) dan ada yang menggunakan parameter kematian, pengamatan tingkah laku hewan percobaan, berat badan dan konsumsi pakan, analisis kimiawi terhadap darah, serum dan urin dan juga pengamatan histologi terhadap organ (Somfai-relle et al. 2005).
2.2.3. Adsorbsi, distribusi dan metabolisme toksikan Umumnya racun masuk ke dalam tubuh melalui 3 cara, yaitu sistim pernafasan, mulut (pencernaan) dan kulit. Meskipun demikian racun tidak bisa begitu saja masuk ke dalam tubuh. Sistim ataupun organ tempat masuknya racun tersebut memiliki pertahanan-pertahanan, baik yang bersifat fisik maupun
enzimatis. Membran sel merupakan sawar (barrier) yang menghalangi masuknya racun pada semua semua sistim organ, artinya racun harus melalui membran-membran sel tersebut untuk dapat diserap, didistribusi, dimetabolisme tubuh. Membran sel mempunyai sifat semipermeabel artinya hanya melewatkan senyawa tertentu yang dikehendaki sel tersebut. Senyawa toksikan melewati membran sel melalui empat mekanisme yaitu difusi pasif, filtrasi oleh pori-pori membran, transport aktif dengan perantara carrier dan pencaplokan oleh sel (pinositosis) (Hodgson dan Levi 2000). Sistim pencernaan umumnya dapat dimasuki toksikan karena toksikan tersebut berada dalam makanan ataupun minuman yang dikonsumsi. Sebelum diabsorsi, toksikan akan mengalami interaksi dengan komponen kimiawi yang ada pada saluran pencernaan seperti HCl pada lambung. Absorsi utamanya terjadi diusus halus dan senyawa-senyawa tertentu dapat diserap dilambung. Faktor penting yang mempengaruhi perjalanan toksikan di saluran pencernaan sampai akhirnya dapat diserap di lambung ataupun usus adalah pH lingkungan pencernaan (Hodgson dan Levi 2000), hal ini terjadi karena dari mulut sampai usus halus terjadi perbedaan pH, mulut memiliki pH 7 sedangkan lambung pH nya 1 sampai 2 karena sekresi HCl dan usus halus pH nya sekitar 6. Adanya perbedaan pH saat toksikan melalui jalur pencernaan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi pada toksikan, sehingga saat mencapai usus halus akan mempengaruhi dapat atau tidaknya suatu toksikan diserap dan juga cara penyerapannya. Racun yang tidak terionisasi dan larut dalam lipid akan diserap melalui cara difusi pasif. Disamping itu dalam usus juga terdapat protein pembawa yang tugas normalnya adalah membawa nutrisi-nutrisi yang dibutuhkan tubuh, namun beberapa toksikan seperti 5-fluorourasil dan timbal dapat menggunakan protein carier tersebut untuk memasuki membran usus halus, sedangkan pewarna azo dan latek polistirena dapat memasuki usus dengan cara pinositosis (Lu 1995). Jalur pernafasan juga dapat dimasuki toksikan yang biasanya ada dalam udara yang diserap tubuh. Bentuknya bisa gas seperti karbon monoksida dan belerang dioksida dan juga bisa berupa uap cairan seperti benzen dan karbon tetraklorida. Tempat utama penyerapannya adalah alveoli paru-paru yang memiliki
permukaan luas, tempat ini mudah diserang karena (1) memiliki banyak pembuluh darah kapiler tempat terjadinya pertukaran gas (2) memiliki lapisan cair yang tipis yang dapat mudah dilewati gas (Hodgson dan Levi 2000). Disamping itu menurut Donatus (2001) ukuran partikel menjadi faktor penentu utama absorsi racun pada alveolus. Misalkan racun timah dengan garis tengah ukuran partikel 0,25 μm dapat dengan mudah diabsorbi di alveoli, sedangkan uranuim dioksida dengan diameter 3 μm tidak bisa diabsorsi di alveoli. Kulit merupakan salah satu tempat yang bisa menjadi jalan masuknya toksikan ke dalam tubuh. Walaupun demikian, umumnya kulit relatif impermeabel sehingga merupakan sawar (barrier) yang baik bagi tubuh terhadap toksikan. Meskipun demikian senyawa toksik insektisida paration yang bisa masuk melalui kulit dapat menyebabkan dampak yang fatal bagi tubuh (Donatus 2001). Zat-zat asam, basa, gas mustard dan beberapa pelarut seperti dimetil sulfoksida (DMSO) akan merusak sawar kulit sehingga memudahkan masuknya toksikan melalui kulit. Absorbsi toksikan pada kulit dapat terjadi melalui folikel rambut atau lewat kelenjar keringat tetapi absorbsinya kecil. Absorpsi toksikan melalui kulit umumnya terjadi ketika toksikan tersebut dapat menembus lapisan kulit yang terdiri atas epidermis dan dermis (Lu 1995). Setelah melewati sawar-sawar yang ada pada jalur masuknya toksikan tersebut, maka toksikan akan masuk ke darah dan didistribusikan ke tempat yang menjadi target aksinya. Laju distribusi ke tiap-tiap organ tubuh berhubungan dengan laju aliran darah, mudah tidaknya zat kimia itu melewati dinding kapiler dan membran sel serta afinitas target aksi dengan toksikan tersebut (Lu 1995). Tempat yang biasanya dapat mengikat dan menyimpan toksikan tersebut adalah protein plasma, hati, ginjal, jaringan lemak dan tulang. Komponen protein plasma umumnya berperan mengikat toksikan anorganik, contoh protein plasma adalah albumin yang dapat mengikat aneka ragam senyawa misalnya kalsium, tembaga dan seng; celuloplasmin yang dapat mengikat tembaga dan litium; dan alfa glikoprotein yang dapat mengikat senyawa yang bersifat basa. Jaringan lemak berperan dalam mengikat dan menyimpan toksikan yang larut dalam lipid contohnya DDT, dieldrin dan bifenilpoliklorin (PCB). Tulang merupakan tempat penimbunan utama dari toksikan flourida, timbal
dan strongsium. Hati dan ginjal merupakan tempat penyimpanan toksikan yang paling besar karena organ tersebut merupakan tempat terjadinya metabolisme (hati) dan jalur eliminasi (ginjal) yang utama bagi toksikan.
2.2.4. Organ sasaran utama 2.2.4.1. Hati a. Morfologi hati Hati merupakan salah satu organ besar dalam tubuh. Beratnya rata-rata sekitar 2,5% dari berat badan normal. Hati terletak pada rongga perut kanan bagian atas dibawah diafragma. Permukaan hati diliputi oleh lapisan jaringan ikat padat dan ditutupi oleh peritoneum. Hati terbagi menjadi beberapa lobus tergantung spesiesnya, hati tikus terbagi menjadi empat lobus, yaitu lobus kiri, lobus median, lobus kanan dan lobus kaudatus. Secara mikrokopis, setiap lobus hati terbagi menjadi struktur-struktur yang disebut sebagai lobulus yang merupakan unit fungsional dari organ hati dan letaknya mengelilingi sebuah vena sentralis. Setiap lobulus hati terbangun dari beberapa komponen yaitu sel-sel parenkim hati (sel hepatosit), vena sentralis, sinusoid, cabang-cabang vena porta, cabang-cabang arteri hepatika, sel kuppfer dan kanakuli billiaris.
Gambar 2. Anatomi hati (www.enjoylongerhealth.com) Sel hepatosit berbentuk polihedral dengan inti bulat terletak ditengah, sel tersebut tersusun radial kearah luar vena sentralis. Diantara hepatosit terdapat kapiler-kapiler yang disebut sebagi sinusoid yang merupakan cabang vena porta dan arteri hepatika (Gambar 2). Pada beberapa sinusoid akan ditemukan sel kuppfer yang berfungsi sebagai makrofag yang memiliki fungsi
fagositik (Delman dan Eurell 1998). Hati menerima darah dari dua sumber yaitu darah arteri (dari arteri hepatika kiri dan kanan) dan darah vena porta yang mengalir dari saluran pencernaan dan abdomen lain yaitu limpa dan kantung empedu (Delman dan Eurell 1998). Darah yang masuk mengandung berbagai nutrisi yang baru diserap oleh saluran pencernaan, selain itu turut masuk juga berbagai bakteri, darah merah yang sudah tua dan toksin yang harus diolah, dihancurkan atau disimpan. Sebanyak 75-80% darah pada organ hati berasal dari vena porta sedangkan 20-25% darah yang masuk ke hati berasal dari arteri hepatika dan darah tersebut kaya akan oksigen (Duffus dan Worth 2006). Hati mempunyai beberapa fungsi yaitu fungsi metabolisme diantaranya karbohidrat, lipid, vitamin, zat besi dan darah; fungsi sintesis dan fungsi detoksifikasi. Fungsi metabolisme karbohidrat dilakukan hati dengan cara mengatur pembentukan, penyimpanan, dan pemecahan glikogen. Sedangkan dalam metabolisme lipid hati berperan dalam mensintesis, menyimpan dan mengeluarkan lemak untuk didistribusikan ke seluruh tubuh. Berkaitan dengan vitamin larut lemak (ADEK) dan zat besi hati berperan sebagai organ penyimpanan bagi keduanya (Delman dan Eurell 1998). Fungsi sintesis dilakukan hati dengan melakukan beberapa proses diantaranya mensintesis protein plasma seperti albumin dan globulin dan juga mensintesis
empedu
yang
memungkinkan
makanan
berlemak
dan
mengandung vitamin yang larut dalam lemak (vitamin A, D, E dan K) dapat diserap oleh usus halus. Fungsi detoksifikasi dapat dilakukan oleh hati karena hati memiliki enzim-enzim yang dapat melakukan proses tersebut. Proses detoksifikasi dilakukan melalui dua tahap, yaitu: 1. mengubah senyawa xenobiotik melalui reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis dan hidrasi yang dikatalisis oleh enzim hepatik (contohnya sitokrom P450 (Hukkanen et al. 2001)), 2. mengikatnya dengan senyawa yang lebih larut air (konjugasi) misalnya glukoronat, asam sulfat,
dan
glutation
yang
dikatilisis
oleh
enzim.
Contohnya
glutation-S-transferase yang mengkatalisis mengikatan senyawa glutation pada senyawa xenobiotik (Fanucchi et al. 2000).
b. Patologi hati Hati merupakan organ yang umumnya paling sering mengalami kerusakan akibat adanya toksikan, kondisi tersebut berkaitan dengan peran dan posisi hati dalam sirkulasi cairan tubuh. Sebagian besar toksikan memasuki tubuh melalui sistem pencernaan, setelah diserap lalu memasuki darah di sistim vena porta dan di distribusikan ke hati. Kondisi tersebut diperparah dengan kenyataan bahwa 80% darah yang masuk ke hati berasal dari vena porta tersebut (Harlina 2007). Berdasarkan proses sirkulasi toksikan yang masuk melalui pencernaan, maka hati merupakan organ yang pertama kali menerima toksikan tersebut dan juga organ yang pertama kali akan memetabolismenya. Proses metabolisme tersebut dalam beberapa kasus dapat meningkatkan toksisitas toksikan sehingga dapat merusak hati, contohnya senyawa epoksida yang setelah dimetabolisme dengan komplek enzim fase I ternyata menjadi senyawa yang lebih reaktif dan dapat melekat pada DNA hati membentuk “DNA adduct” sehingga menyebabkan kanker. Keberadaan toksikan tersebut dapat menyebabkan beberapa perubahan pada berbagai komponen sel hati seperti bocornya membran sel dan mitokondria yang membesar. Perubahan pada komponen sel hati ada yang bersifat reversibel dan ada yang irreversibel. Degenerasi merupakan kerusakan sel yang reversibel karena hati dapat melakukan proses regenerasi sel dengan cara melakukan replikasi (Guyton dan Hall 1997). Meskipun demikian proses degenerasi yang berlangsung secara terus menerus dapat menyebabkan kematian sel (nekrosis) dan nekrosis merupakan kerusakan sel yang bersifat irreversibel. Keberadaan toksikan juga dapat menyebabkan kerusakan pada organ hati secara umum (yang juga berhubungan dengan kerusakan pada sel hati) seperti nekrosis, perlemakan hati dan sirosis (Lu 1995). Nekrosis merupakan kematian sel hati (hepatosit), berdasarkan penyebabnya dapat disebabkan karena dua hal yaitu (1) karena pengaruh langsung zat toksik (2) karena kekurangan O2 dan nutrisi. Perlemakan hati terjadi jika berat lipid yang ada pada hati lebih dari 5%
(Lu 1995). Lemak yang menumpuk dihati merupakan lemak netral dalam bentuk trigliserida. Menurut Farrel dan Larter (2006) secara garis besar penumpukan tersebut bisa disebabkan karena konsumsi alkohol yang berlebihan ataupun bukan karena alkohol seperti tetrasiklin, etionin (Lu 1995) dan defisiensi kolin (Rinella et al. 2008). Mekanisme yang paling umum yang menyebabkan penumpukan trigliserida tersebut adalah terganggunya pelepasan trigliserida dari hati ke dalam plasma darah (Carlton dan McGavin 1995). Sirosis merupakan bentuk peradangan kronis yang ditandai dengan pembentukan jaringan. Sirosis ditandai dengan adanya septa kolagen yang tersebar disebagian besar hati sehingga hati menjadi keras. Beberapa senyawa karsinogen dan juga CCl 4 dapat menjadi penyebab sirosis, selain itu konsumsi alkohol dan dibarengi dengan diet yang kurang kolin, protein, metionin, vitamin B12, dan asam folat juga dapat menyebabkan sirosis pada hati (Lu 1995). Pendeteksian gangguan fungsi hati dapat dilihat terhadap kandungan bilirubin total hati yang meningkat dan kadar protein plasma (albumin dan globulin) yang menurun. Menurut Harlina (2007) penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin sering terjadi pada sindrom nefrotik, patah tulang, infeksi, tumor dan kondisi-kondisi peradangan. Sedangkan gangguan terhadap proses detoksifikasi dalam hati ditandai dengan peningkatan kadar enzim-enzim transaminase yaitu serum glutamat oksaloasetat transaminase (SGOT), serum glutamat piruvat transaminase (SGPT) dan juga enzim alkalin fosfatase. Gangguan fungsi hati juga dapat dilihat dari kandungan total lemak, protein, kolesterol dan trigliserida. Gangguan yang diidentifikasi pada profil biokimiawi serum darah tersebut dapat dikorelasikan dengan profil histopatologi hati yang berkaitan dengan kondisi sel yang mengalami lesio degenerasi hidropik, degenerasi lemak, nekrosis ataupun apoptosis. Pengamatan dilakukan pada bagian perilobuler yang dekat dengan vena hepatika dan arteri hepatika, karena bagian ini yang pertama kali berinteraksi dengan darah yang berasal dari usus (membawa zat gizi dan juga xenobiotik). Dengan mengkorelasikan kedua
parameter tersebut maka akan didapat gambaran yang lebih utuh terkait dampak toksisitas dari suatu senyawa terhadap organ hati. 2.2.4.2. Ginjal a. Morfologi ginjal Ginjal terletak pada dinding posterior abdomen terutama di daerah lumbal, disebelah kanan dan kiri tulang belakang dibungkus lapisan lemak dengan jumlah sepasang. Pada umumnya ginjal berbentuk seperti kacang dengan warna merah kecoklatan. Bagian luar ginjal yang beraspek gelap disebut kortek dan bagian dalam yang beraspek agak cerah disebut medula yang di dalamnya terdapat unit fungsional ginjal yang disebut nefron dengan jumlah ribuan. Nefron memiliki fungsi dasar untuk membersihkan plasma darah dari substansi yang tidak diinginkan oleh tubuh yang biasanya berasal dari hasil metabolisme urea, kreatinin, asam urat, ion-ion natrium, kalium, klorida serta ion hidrogen dalam jumlah yang berlebih (Guyton dan Hall 1997). Secara struktur nefron terdiri atas glomerulus dan serangkaian tubulus. Glomerulus terdapat dalam ruang bowman dan mendapat aliran darah dari arteri aferen yang merupakan sistim kapiler bertekanan tinggi (Lu 1995). Dinding kapiler dari glomerulus memiliki pori-pori untuk filtrasi atau penyaringan. Darah dapat disaring melalui dinding epitelium tipis yang berpori dari glomerulus dan ruang Bowman karena adanya tekanan dari darah yang mendorong plasma darah. Filtrat yang dihasilkan akan masuk ke dalam tubulus ginjal mengalir melalui tubulus proksimal, ansa henle dan ke tubulus distal (Gambar 3). Dari sini cairan akan mengalir kesistem pengumpul yang terdiri dari tubulus penghubung, tubulus kolektivus kortikal dan tubulus kolektivus medularis. Cairan menjadi makin kental di sepanjang tubulus dan saluran untuk membentuk urin, yang kemudian dibawa ke kandung kemih melewati ureter (Delman dan Eurell 1998). Fungsi ginjal adalah menyingkirkan hasil metabolisme normal (seperti urea, asam urat dan kreatinin) dan juga senyawa xenobiotik yang tidak dibutuhkan tubuh. Disamping itu ginjal juga berperan penting dalam menjaga homeostasis tubuh berkaitan dengan pH, cairan dan juga komposisi mineral
seperti sodium, potasium, klorida, kalsium dan fosfor.
Gambar 3. Antomi Ginjal (www.uic.edu). Proses pengaturan cairan dan juga mineral dilakukan oleh ginjal dengan perantara 2 hormon yaitu hormon vasopresin dan hormon aldosteron yang pengeluarannya diperantarai oleh sistem renin-angiotensin. ketika tubuh kekurangan cairan salah satunya ditandai dengan ketika osmolalitas plasma yang meningkat maka parat juxtaglomerulat pada ginjal akan mengeluarkan enzim proteolitik renin. Enzim tersebut akan mengkatalisis perubahan angiotensin plasma menjadi angiotensin I yang selanjutnya akan diubah menjadi angiotensin II di paru-paru oleh angiotensin converting enzim (ACE). Angiotensin II akan memerintahkan hipotalamus melakukan 2 hal, yaitu (1) menstimulasi rasa haus, (2) memerintahkan jaringan ptuitari posterior untuk melepaskan hormon vasopresin ke dalam plasma, selanjutnya hormon ini menuju sel-sel duktus koligenites ginjal untuk meningkatkan permeabilitas terhadap air sehingga mengakibatkan peningkatan reabsorbsi air. Air yang direabsorbsi ini meningkatkan volume dan menurunkan osmolaritas cairan ekstraseluler (CES), jadi secara singkat hormon vasopresin mempunyai fungsi antidiuretik. Tetapi jika osmolalitas tubuh normal kembali maka sekresi hormon vasopresin dihentikan. Selain itu angiotensin II juga memerintahkan kortek adrenal untuk
mengeluarkan hormon aldosteron. Hormon ini berfungsi meningkatkan reabsorpsi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium pada bagian tubulus distal ginjal (Guyton dan Hall 1997). b. Patologi ginjal Ginjal juga merupakan salah satu organ utama yang menjadi sasaran aksi toksikan karena beberapa hal, yaitu: (1) Mempunyai volume aliran darah yang tinggi, darah tersebut umumnya membawa zat-zat yang tidak diperlukan tubuh termasuk toksikan, (2) Mengkonsentrasikan toksikan pada filtrat, (3) Membawa toksikan melalui tubulus dan, (4) Mengaktifkan toksikan tertentu (Lu 1995). Keberadaan senyawa toksik dan juga peranan ginjal terhadap senyawa toksik tersebut menyebabkan terjadi interaksi antara toksikan dengan sel-sel pada ginjal, interaksi tersebut dapat menyebabkan efek buruk pada semua bagian ginjal. Gangguan yang umumnya terjadi pada glomerulus adalah gangguan filtrasi yang bisa diakibatkan karena pori-pori glomerulus mudah dilakui oleh senyawa sehingga ketika filtrat yang sampai di tubuli berada dalam jumlah yang tidak normal (Harlina 2007), selain itu pada glomerulus juga sering terjadi endapan protein maupun amiloid yang dapat melebar sehingga mempersempit ruang Bowman (McGavin dan Zachary 2007). Sedangkan kelainan pada tubulus biasanya berkaitan dengan tidak sempurnanya fungsi reabsorpsi dan keberadaan senyawa toksik. Beberapa kelainan yang umumnya terjadi berkaitan dengan tidak sempurnya reabsoprsi diantaranya adalah degenerasi hidropik, degenerasi hialin dan degenerasi lemak pada tubulus proksimal (Thomas 1979). Degenerasi tersebut bersifat reversibel, artinya jika penyebabnya hilang maka degenerasi pun akan hilang, tetapi jika penyebabnya terus-menerus ada maka sel yang mengalami degenerasi lama kelamaan akan berubah menjadi sel nekrosis (McGavin dan Zachary 2007). Gangguan-gangguan yang terjadi pada ginjal dapat menyebabkan terhambatnya proses pembentukan urin yang bisa diakibatkan karena kemampuan filtrasi glomerulus menurun. Kondisi ini akan mengakibatkan tekanan darah meningkat dan timbul racun metabolisme dalam darah terutama ureum dan kreatinin.
Pengujian untuk mendeteksi kerusakan ginjal dapat diamati secara kimiawi pada urin dan serum darah. Analisis dapat dilakukan pada kandungan kreatinin, urea, beberapa ion elektrolit seperti potasium, sodium, kalsium, fosfor dan klorida. Kreatinin merupakan hasil degradasi dari kreatin dan juga merupakan produk akhir dari metabolisme otot. Kreatinin disintesis dari asam amino arginin dan glisin di dalam hati dan ginjal. Kreatinin difiltrasi glomerulus dan tidak disekresikan ataupun direasorbsi tubulus, sehingga kreatinin sering dijadikan indikator untuk mengetahui laju filtrasi glomerulus (Harlina 2007). Sedangkan urea merupakan hasil metabolisme tubuh terhadap amonia dari protein atau dengan kata lain urea merupakan bentuk buangan amonia yang dihasilkan dari katabolisme protein. Sehingga kadar ureum akan tergantung dari kadar amonia yang tentunya tergantung dari banyaknya asam amino yang dikatabolisme oleh tubuh. Pada kondisi normal kandungan ureum yang berlebih akan dikeluarkan tubuh lewat ginjal, sehingga jika kadar urea dalam serum darah tinggi berarti ada indikasi kelainan ginjal dalam menjalankan fungsinya untuk mengeluarkan ureum lewat urin. Peranan ginjal dalam menjaga hemostasis pH dan cairan tubuh sangat erat kaitannya dengan keberadaan ion-ion elektrolit dalam tubuh khususnya pada serum darah (yang mudah diamati). Jumlahnya pada serum darah yang lebih rendah ataupun lebih tinggi dari normal, mengindikasikan adanya permasalahan pada ginjal khususnya pada bagian tubulus dalam mereabsorbi ion-ion tersebut. Kelainan-kelainan yang diamati pada profil biokimia serum darah, dapat dikorelasikan dengan profil histologi ginjal yang berkaitan dengan terjadinya lesio degenerasi hialin pada tubulus dan endapan protein pada glomerulus. Pengamatan terhadap preparat histologi ginjal dilakukan pada bagian glomerulus yang menjalankan fungsi filtrasi dan tubulus proksimal karena bagian ini yang pertama kali menerima filtrat hasil filtrasi glomerulus.