II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Buah Naga Buah naga termasuk pendatang baru yang cukup popular. Hal ini dapat disebabkan karena selain penampilannya yang eksotik, rasanya asam manis menyegarkan dan memiliki beragam manfaat untuk kesehatan. Buah naga dalam bahasa Inggris disebut pitaya. Buah ini berasal dari Meksiko, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan namun sekarang juga dibudidayakan di negara-negara Asia, seperti Taiwan, Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Buah ini juga dapat ditemui di Okinawa, Israel, Australia Utara, dan Tiongkok Selatan. Nama buah naga atau dragon fruit muncul karena buah ini memiliki warna merah menyala dan memiliki kulit dengan sirip hijau yang mirip dengan sosok naga dalam imajinasi masyarakat Cina. Dulu masyarakat Cina kuno sering menyajikan buah ini dengan meletakkannya diantara dua ekor patung naga diatas meja altar dan dipercaya akan mendatangkan berkah (Kristanto 2008). Bentuk buah naga berdaging merah dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Buah naga berdaging merah (Hylocereus costaricensis). Tanaman buah naga disebut night blooming cereus karena berbunga hanya semalam. Saat panjang sekitar 30 cm, kuncup bunga biasanya akan membuka. Sekitar pukul 21.00, mahkota bunga bagian luar yang berwarna krem tampak mekar. Ketika tengah malam (pukul 00.00), mahkota bagian
5
dalam yang berwarna putih dan benang sari yang berwarna kuning akan bermekaran dan memancarkan aroma harum. Aroma ini akan mengundang datangnya kelelawar, yang bertugas menyerbuki bunga kemudian dari bunga akan terbentuk buah. Buah berbentuk bulat mengerucut, tebal kulit 2-3 cm, dan di permukaan kulit buah terdapat sulur sepanjang 1-2 cm (Anonim 2001). Buah naga dihasilkan dari tanaman sejenis kaktus dari marga Hylocereus dan Selenicereus. Buah ini mempunyai sulur batang yang tumbuh menjalar. Batangnya berwarna hijau dengan bentuk segitiga. Bunganya besar, berwarna putih, harum, dan mekar di malam hari. Setelah bunga layu akan terbentuk bakal buah yang menggelantung di setiap batangnya. Kultivar aslinya tanaman ini berasal dari hutan teduh. Orang biasanya memperbanyak tanaman dengan cara stek atau menyemai biji. Tanaman akan tumbuh subur jika media tanam porous (tidak becek), kaya akan unsur hara, berpasir, cukup sinar matahari, dan bersuhu antara 38-40°C. Jika perawatan cukup baik, tanaman akan mulai berbuah pada umur 11-17 bulan. Selain buah naga dengan daging putih, varietas buah naga banyak ragamnya. Ada yang berkulit kuning dengan daging buah putih (Selenicereus megalanthus) atau berkulit merah dengan daging buah merah (Hylocereus costaricensis). Berat rata-rata buah ini berkisar antara 300-500 gram. Sekilas rasa buah naga seperti buah kiwi, kombinasi antara manis dan asam yang menyegarkan. Kita bisa menyantapnya sebagai buah meja, diolah menjadi puding, isi pai, campuran salad, atau es buah. Buah naga mulai dikenal di Indonesia sekitar tahun 2000 dan bukan dari
budidaya
sendiri
melainkan
diimpor
dari
Thailand.
Padahal
pembudidayaan tanaman ini relatif mudah dan iklim tropis di Indonesia sangat mendukung pengembangannya. Tanaman ini mulai dikembangkan di Indonesia sekitar tahun 2001, di beberapa daerah di Jawa Timur, di antaranya Mojokerto, Pasuruan, Jember, dan sekitarnya. Tetapi sampai saat ini pun areal penanaman buah naga masih bisa dibilang sedikit dan hanya ada di daerah
6
tertentu karena memang masih tergolong langka dan belum dikenal masyarakat luas. Buah naga merupakan buah non-klimakterik (buah yang bila dipanen mentah tidak akan menjadi matang sehingga pemanenan harus dilakukan pada tingkat kematangan yang optimum) dan peka mengalami chilling injury. Setelah berumur 1.5-2 tahun, tanaman ini mulai berbunga dan berbuah. Pemanenan pada tanaman buah naga dilakukan pada buah naga yang memiliki ciri-ciri warna kulit merah mengkilap dan jumbai atau sisik berubah warna dari hijau menjadi kemerahan. Pemanenan dilakukan menggunakan gunting. Buah ini sudah bisa dipanen 30 hari setelah bunga mekar tetapi lebih baik untuk menunda pemanenan hingga mencapai 50 hari untuk mendapatkan buah yang manis. Umur produktif tanaman buah naga ini berkisar antara 15-20 tahun (Anonim 2008). Bentuk tanaman buah naga dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2.
Tanaman buah naga, Anonim (2008) (http:// plants.usda.gov/java/ClassificationServlet?source=pro file&symbol=Spermatophyta&display=63).
7
Berikut adalah tabel komposisi gizi per 100 gram daging buah naga (Tabel 1). Tabel 1. Komposisi gizi per 100 gram daging buah naga Kandungan Gizi
Jumlah (%)
Air (g)
82.5 – 83.0
Protein (g)
0.16 – 0.23
Lemak (g)
0.21 – 0.61
Serat/dietary fiber (g)
0.7 – 0.9
Betakaroten (mg)
0.005 – 0.012
Kalsium (mg)
6.3 – 8.8
Fosfor (mg)
30.2 – 36.1
Besi (mg)
0.55 – 0.65
Vitamin B1 (mg)
0.28 – 0.30
Vitamin B2 (mg)
0.043 – 0.045
Vitamin C (mg)
8-9
Niasin (mg)
1.297 – 1.300
Hingga kini terdapat empat jenis tanaman buah naga yang diusahakan dan memiliki prospek yang baik. Keempat jenis tersebut yaitu (Kristanto 2008): 1.
Hylocereus undatus Hylocereus undatus yang lebih populer dengan sebutan white pitaya adalah buah naga yang kulitnya berwarna merah dan daging berwarna putih. Berat buah rata-rata 400-650 gram. Dibanding jenis yang lain, kadar kemanisannya tergolong rendah, sekitar 10-13 °Brix. Tanaman ini lebih banyak dikembangkan di negara-negara produsen utama buah naga dibanding jenis lainnya.
2.
Hylocereus polyrhizus Hylocereus polyrhizus yang lebih banyak dikembangkan di Cina dan Australia ini memiliki buah dengan kulit berwarna merah dan daging berwarna merah keunguan. Rasa buah lebih manis dibanding Hylocereus undatus, dengan kadar kemanisan mencapai 13-15 °Brix.
8
Tanaman ini tergolong jenis yang sering berbunga, bahkan cenderung berbunga sepanjang tahun. Sayangnya, tingkat keberhasilan bunga menjadi buah sangat kecil, hanya mencapai 50% sehingga produktivitas buahnya tergolong rendah. Berat rata-rata buahnya hanya sekitar 400 gram. 3.
Hylocereus costaricensis Buah Hylocereus costaricensis sepintas mirip dengan Hylocereus polyrhizus namun warna daging buahnya lebih merah. Itulah sebabnya tanaman ini disebut buah naga berdaging super merah. Berat buahnya sekitar 300-500 gram. Rasanya manis dengan kadar kemanisan mencapai 13-15 °Brix.
4.
Selenicereus megalanthus Selenicereus megalanthus berpenampilan berbeda dibanding jenis anggota genus Hylocereus. Kulit buahnya berwarna kuning tanpa sisik sehingga cenderung lebih halus. Rasa buahnya jauh lebih manis dibanding buah naga lainnya karena memiliki kadar kemanisan mencapai 15-18 °Brix. Sayangnya buah yang dijuluki yellow pitaya ini kurang populer dibanding jenis lainnya. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh bobot buahnya yang tergolong kecil, hanya sekitar 80100 gram.
Buah naga diklasifikasikan sebagai berikut (Anonim 2009): Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Agiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Cactales
Famili
: Cactaceae
Subfamily
: Hylocereanea
Genus
: Hylocereus dan Selenicereus
Species
: - Hylocereus undatus - Hylocereus polyrhizus - Hylocereus costaricensis - Selenicereus megalanthus
9
Khasiat yang membuat buah naga ini banyak dicari masyarakat, antara lain dapat menurunkan kolesterol, menurunkan kadar lemak, penyeimbang kadar gula darah, pencegah kanker, pelindung kesehatan mulut, pencegah pendarahan, obat keluhan keputihan, mencegah kanker usus, menguatkan fungsi ginjal dan tulang, menguatkan daya kerja otak, meningkatkan ketajaman mata, sebagai bahan kosmetik, mengobati sembelit, mengobati hipertensi, memperhalus kulit wajah, dan meningkatkan daya tahan tubuh (Anonim 2007).
B. Laju Respirasi Buah-buahan Respirasi merupakan suatu proses pembongkaran bahan organik yang tersimpan (karbohidrat, protein, lemak) menjadi bahan sederhana dan produk akhirnya berupa energi. Secara sederhana proses respirasi dapat digambarkan dengan persamaan kimia sebagai berikut: C6H12O6 + 6 O2
6 CO2 + 6 H2O + 674 kkal energi
Respirasi dibedakan dalam tiga tingkatan: (i) pemecahan polisakarida menjadi gula sederhana, (ii) oksidasi gula menjadi asam piruvat, dan (iii) transformasi piruvat dan asam-asam organik lainnya secara aerobik menjadi CO2, air, dan energi (Pantastico 1986). Biasanya respirasi ditentukan dengan pengukuran CO2 dan O2, yaitu dengan pengukuran laju penggunaan O2 atau dengan penentuan laju pengeluaran CO2. Laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk daya simpan buah setelah panen. Laju respirasi yang tinggi biasanya disertai oleh umur simpan pendek. Hal itu juga merupakan petunjuk laju kemunduran mutu dan nilainya sebagai bahan makanan (Pantastico 1986). Berdasarkan laju respirasinya, buah-buahan digolongkan dalam dua kategori, yaitu klimaterik dan non-klimaterik. Buah klimaterik ditandai dengan pola respirasi sebelum terjadi kelayuan, yaitu pada saat kelayuan tiba-tiba produksi CO2 meningkat dan kemudian turun lagi sedangkan pada buah non-klimaterik pola respirasinya tidak menunjukkan adanya kenaikan produksi CO2 yang mencolok (Winarno & Aman 1981).
10
Penyimpanan buah segar terolah minimal berlapis edibel dalam kemasan termodifikasi merupakan sistem dinamis dan terdapat beberapa proses yang terjadi secara simultan, yaitu respirasi produk, pindah massa, dan pindah panas melalui film kemasan. Dalam kemasan, pada awalnya sistem dalam keadaan tidak setimbang dan kemudian konsentrasi O2 menurun serta konsentrasi CO2 dan H2O meningkat. Hal ini mengakibatkan terjadinya proses pindah massa, yaitu pindah massa O2 dari udara atmosfer ke dalam kemasan, serta pindah massa CO2 dan H2O dari dalam kemasan ke udara atmosfer. Kays (1991) mengatakan bahwa komposisi gas udara dengan nyata mempengaruhi laju respirasi maupun metabolisme buah dan sayuran. Respirasi merupakan indikator yang baik bagi aktivitas metabolik jaringan sehingga dapat digunakan sebagai petunjuk terhadap potensi umur simpan buah. Oleh karena itu, apabila laju respirasi diketahui, maka perencanaan penanganan buah segar terolah minimal berlapis edibel dapat diatur sedemikian rupa sehingga kerusakan pasca proses dapat diperkecil semaksimal mungkin.
C. Buah Terolah Minimal (Minimally Processed) Pada umumnya, buah yang akan dikonsumsi oleh konsumen merupakan buah yang telah masak. Selain itu, dengan bertambahnya aktivitas serta jam kerja yang tinggi, maka para konsumen lebih menginginkan buah siap hidang yang tentunya segar serta berpenampilan menarik. Salah satu cara untuk memenuhi keinginan konsumen adalah dengan menyajikan buah terolah minimal yang praktis dikonsumsi serta sesuai kebutuhan. Teknologi olah minimal (minimally processing) mencakup semua operasi seperti pencucian, sortasi, trimming, pengupasan, pengirisan, dan coring (pembuangan biji) yang cenderung tidak mempengaruhi kualitas produk dari keadaan segarnya (Shewfelt 1987). Produk
olahan
minimal
lebih
mudah
mengalami
kerusakan
dibandingkan dengan produk utuh (Krochta et al. 1992). Pengolahan minimal yang dilakukan pada buah-buahan dan sayur-sayuran pada dasarnya adalah membuat luka terbuka pada buah-buahan dan sayur-sayuran tersebut. Adanya
11
luka tersebut akan menyebabkan terjadinya berbagai proses yang pada akhirnya
menurunkan
kualitas,
misalnya
oksidasi
enzimatis
yang
menyebabkan pencoklatan, peningkatan laju respirasi yang menyebabkan peningkatan laju kehilangan bobot, peningkatan laju pelayuan dan pembusukan, serta mempermudah masuknya mikroorganisme ke dalam jaringan buah-buahan atau sayur-sayuran. Sementara itu, Garcia dan Barrett (2002) menyatakan bahwa terbatasnya umur simpan produk olahan minimal buah-buahan dan sayursayuran adalah kerusakan mikrobiologis, kerusakan karena menjadi kering, perubahan warna atau browning, perubahan warna menjadi lebih pucat, perubahan tekstur dan terjadinya penyimpangan flavor dan bau. Kriteria utama produk olahan minimal bagi konsumen adalah penampakan produk dengan faktor utama adalah warna produk. Kerusakan akibat membuang kulit, mengiris, mengambil inti, dan sebagainya, dapat diminimalkan dengan mempelajari akibat dari berbagai teknik yang digunakan untuk masing-masing tahapan proses. Sebagai contoh, stabilitas dari koyakan letuce dapat diperpanjang ketika potongan dilakukan dengan menggunakan mata pisau tajam pada kegiatan pengirisan (Bolin et al. 1977). Hasil penelitian Musfira (2008) memaparkan laju respirasi irisan bit pada suhu 0°C, 5°C, dan suhu ruang berturut-turut adalah 2.81 ml CO2/ kg.jam dan 2.59 ml O2/kg.jam, 5.48 ml CO2/kg.jam dan 6.46 ml O2/kg.jam, serta 32.20 ml/ CO2kg.jam dan 37.56 ml O2/kg.jam. Menurut Solihati (2008) rata-rata laju produksi CO2 buah naga terolah minimal pada suhu ruang, 10°C, dan 5°C berturut-turut adalah 55.88 ml/kg.jam, 11.82 ml/kg.jam, dan 11.51 ml/kg.jam. sedangkan rata-rata laju konsumsi O2 pada masing-masing suhu sebesar 50.89 ml/kg.jam, 13.08 ml/kg.jam, dan 13.97 ml/kg.jam. Dillah (2009) menyimpulkan bahwa irisan buah campuran kedondong, nenas, dan jambu air pada suhu 5°C, 10°C, dan ruang berturut-turut adalah 5.18 ml CO2/kg.jam dan 6.04 ml O2/kg.jam, 5.6 ml CO2/kg.jam dan 7.56 ml O2/kg.jam, serta 45.29 ml CO2/kg.jam dan 60.15 ml O2/kg.jam. Menurut Sugiarto (2005) laju respirasi bawang daun rajangan pada masa
12
penyimpanan adalah 34.72 ml O2/kg.jam dan 64.93 ml CO2/kg.jam (suhu kamar), 19.51 ml O2/kg.jam dan 20.59 ml CO2/kg.jam (suhu 10°C), serta 15.06 ml O2/kg.jam dan 14.21 ml CO2/kg.jam (suhu 5°C). Martini (2005) memaparkan laju konsumsi O2 dan produksi CO2 pada jambu biji terolah minimal tanpa biji pada suhu 10°C sebesar 4.02 ml O2/kg.jam dan 3.48 ml CO2/kg.jam sedangkan pada suhu 15°C sebesar 8.89 ml O2/kg.jam dan 9.42 ml CO2/kg.jam. Untuk laju konsumsi O2 dan produksi CO2 pada jambu biji terolah minimal dengan biji pada suhu 10°C sebesar 5.17 ml O2/kg.jam dan 3.62 ml CO2/kg.jam sedangkan pada suhu 15°C sebesar 7.83 ml O2/kg.jam dan 6.42 ml CO2/kg.jam.
D. Buah Terolah Minimal Dengan Pelapis Edibel (Edible Coating) Salah satu perlakuan terhadap produk terolah minimal untuk memperpanjang masa simpannya, yakni dengan menggunakan pelapis edibel (edible coating). Keuntungan pelapis edibel selain dapat melindungi produk pangan juga penampakan asli produk dapat dipertahankan, dapat langsung dimakan, serta aman. Menurut Krochta (1992), edible coating adalah lapisan tipis kontinyu yang terbuat dari bahan bisa dimakan, yang digunakan di atas atau diantara produk pangan, berfungsi sebagai penahan (barrier) perpindahan massa (uap air, O2, CO2) atau sebagai pembawa (carrier) bahan tambahan makanan seperti zat antimikrobial dan antioksidan. Wong et al. (1994), menyatakan bahwa secara teoritis bahan edible coating harus memiliki beberapa sifat, antara lain menahan kehilangan kelembaban produk, memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi, serta menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet, dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan. Bahan dasar pembentuk edible coating sangat mempengaruhi sifat-sifat edible coating itu sendiri. Edible coating yang berasal dari hidrokoloid memiliki ketahanan yang baik terhadap gas O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik, namun ketahanan terhadap uap air rendah akibat sifat
13
hidrofiliknya. Oleh karena itu, protein dan polisakarida tidak dapat digunakan sebagai penahan (barrier) terhadap kelembaban pada permukaan yang mempunyai aktivitas air permukaan tinggi (Garnida 2006). Hal ini menurut Wong et al. (1994) berarti lapisan hidrofilik sebaiknya dihindari penggunaannya untuk menyimpan buah pada kelembaban relatif yang tinggi. Edible coating dari lipid merupakan tahanan yang baik terhadap uap air, meningkatkan kilap permukaan dan mengurangi abrasi. Pada suhu ruang, bahan yang berasal dari lemak merupakan barrier terhadap uap air yang terbaik. Sedangkan edible coating yang berasal dari polisakarida menurut Baldwin (1994) lebih unggul dalam menahan perpindahan gas dibandingkan uap air. Menurut Wong et al. (1994), edible coating yang hanya terdiri dari satu komponen bahan tidak dapat memberikan hasil yang memuaskan dibandingkan dengan yang dibuat dari emulsi campuran beberapa bahan. Metode penggunaan edible coating pada buah dan sayuran menurut Grant dan Burns (1994) dapat berupa pencelupan (dip application), pembuihan (foam application), penyemprotan (spray application), penetesan (drip application), dan penetesan terkendali (controlled drip application). Cara aplikasi ini tergantung pada jumlah, ukuran, sifat produk, dan hasil yang diinginkan. Pada penelitian ini yang digunakan sebagai pelapis edibel adalah glukomanan. Menurut Marchesault dan Sarko (1967) berdasarkan bentuk ikatannya dibedakan menjadi dua golongan manan, yaitu glukomanan dan galaktomanan. Glukomanan merupakan polisakarida yang tersusun oleh satuan D-glukosa dan D-mannosa dengan perbandingan dua banding satu (Smith & Srivasta 1956). Hasil analisis secara metilasi yang dilakukan Rebbers dan Smith (1954) menunjukkan bahwa glukomanan disusun oleh Dglikopiranosa dan D-mannopiranosa berikatan 1.4 β-glikosida. Glukomanan banyak terdapat dalam tanaman Konjak/Iles-iles. Konjak glukomanan merupakan serat alam kental yang paling mudah larut dan membentuk larutan yang sangat kental. Keunggulan glukomanan dari konjak (Firmansyah 2010) adalah:
14
1) Merupakan serat yang secara alami bisa larut dalam air, tidak mengandung lemak gula, tepung atau protein 2) Tidak mengandung/rendah kalori 3) Bebas dari gandum 4) Tembus cahaya dan bersifat seperti agar-agar serta tidak berbau 5) Dapat disimpan di bawah suhu ruangan selama sekitar satu tahun Larutan glukomanan dapat membentuk lapisan tipis yang mempunyai sifat tembus pandang. Dengan penambahan gliserin atau NaOH lapisan tipis yang terbentuk bersifat kedap air (Budiman 1970). Glukomanan dalam air mempunyai kemampuan mengembang yang besar sekitar 138-200%. Glukomanan juga mempunyai sifat mencair seperti agar, sehingga dapat digunakan dalam pertumbuhan mikroba pengganti agar (Boelhasrin et al. 1970). Berdasarkan sifat
melekatnya tepung manan lebih baik
jika
dibandingkan dengan perekat lainnya, seperti jagung dan beras. Pada suhu yang rendah daya rekatnya tidak hilang sehingga banyak digunakan dalam industri perekat kertas (Soedarsono & Abdulmanap 1963). Di dalam industri farmasi, larutan tepung manan digunakan sebagai bahan pengikat dalam pembuatan tablet. Pada pembuatan tablet dibutuhkan suatu bahan pengisi yang dapat memecah tablet di dalam lambung, biasanya digunakan pati atau agar-agar yang mempunyai sifat mengembang dalam air. Karena manan mempunyai sifat mengembang yang lebih besar dibandingkan pati dan agar-agar, maka pemakaian tepung manan dalam pembuatan tablet akan memberikan hasil yang lebih baik (Budiman 1970). Di dalam industri makanan tepung manan dapat digunakan sebagai zat pengental, misalnya dalam pembuatan sirup, sari buah, dan sebagainya. Di Jepang, tepung manan telah secara luas digunakan untuk makanan tradisional dengan shirataki dan konyaku. Menurut Dekker (1979), jika manan dikonsumsi maka bahan makanan dapat berperan sebagai serat dietari yang dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah. Berikut adalah perbandingan mutu tepung iles produksi Indonesia dan Jepang. 15
Tabel 2. Perbandingan mutu tepung iles produksi Indonesia dan Jepang
Karakteristik
Warna Kekentalan (cps)
Sanindo,
Kyo-B,
Propal Shimizu,
Indonesia 1)
Jepang 2)
Jepang 2)
Coklat Keabuan
Putih
Putih
< 10 000
28 000
10 000-100 000
30-40
55
67
Kadar glukomanan (%) 1)
: Soewandhi et al. 1995
2)
: Internet, 2001b
Glukomanan yang paling baik adalah glukomanan kualitas A dengan kekentalan di atas 100 000 cps. Dari segi harga dibandingkan dengan pelapis edibel lain, yakni low methoxy protein, harga glukomanan lebih murah. Harga glukomanan Rp 100 000/ kg sedangkan harga low methoxy pectin Rp 1 500 000/kg. Sehingga harga low methoxy pectin adalah 15 kali dari harga glukomanan. Hasil penelitian Andina (2005) menyebutkan bahwa perlakuan buah melon berlapis edibel pektin mampu mempertahankan umur simpan dan mutu buah melon yang lebih baik sampai hari ke-18 penyimpanan pada suhu 5°C dibandingkan tanpa pelapis edibel di mana buah melon hanya bertahan 10 hari. Riyanto (2005) memaparkan bahwa Isinglass dengan karakterisasi yang terpilih, yaitu konsentrasi asam asetat 1.5% dan pemberian gelembung renang kering sebanyak 0.5 gram dalam 100 ml larutan asam asetat selama pencelupan 30 menit dapat mempertahankan masa simpan udang masak dari 2 hari menjadi 5 hari selama penyimpanan dingin suhu 0-5°C. Ratule (1999) menyatakan bahwa lama masa simpan buah mangga siap hidang terlapis film edibel adalah 6.6 hari. Paramawati (1998) juga menyatakan bahwa suku salak segar terbungkus pelapis edibel mempunyai umur simpan 9.2 hari dengan kombinasi komposisi atmosfer 6±1% O2 dan 14±2% CO2 pada suhu 5°C. Fardiaz et al. (1999) memaparkan bahwa buah mangga arumanis terolah minimal berlapis edibel (low methoxy) yang disimpan pada suhu 5°C
16
dapat bertahan sampai hari ke-5 sedangkan jika disimpan pada suhu 10°C dapat bertahan sampai hari ke-4. Setiasih et al. (1998) menyimpulkan bahwa formula pelapis edibel dari pektin bermetoksi rendah yang ditambah 0.25% asam stearat disertai dengan perlakuan penyimpanan 10°C dan kelembaban 65% dapat digunakan pada mangga arumanis terolah minimal.
E. Penyimpanan dalam Kemasan Atmosfer Termodifikasi pada Suhu Rendah Salah satu teknik penyimpanan segar komoditas hortikultura dapat dilakukan secara Modified Atmosfer Packaging (MAP). Teknik atmosfer termodifikasi adalah pengubahan komposisi udara dengan pengurangan atau penambahan gas tertentu ke dalam udara normal (78.08% N2, 20.95% O2, dan 0.03% CO2). Teknik atmosfer termodifikasi untuk produk buah-buahan dan sayur-sayuran selalu dicirikan dengan penurunan oksigen (O2) dan peningkatan konsentrasi karbondioksida (CO2) (Kader 1992). Pengubahan komposisi udara tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kemasan tertentu yang memiliki permeabilitas terhadap oksigen dan karbondioksida tertentu sehingga dengan sendirinya terjadi pengubahan komposisi udara. Perubahan komposisi udara di dalam kemasan terjadi karena konsumsi oksigen oleh komoditi selama penyimpanan. Selain itu, adanya produksi karbondioksida oleh komoditi dan pertukaran gas dengan lingkungan melalui film kemasan (Zagory 1988). Batas toleransi konsentrasi kenaikan CO2 atau penurunan O2 bervariasi tergantung dari jenis komoditas. Jangkauan konsentrasi minimum O2 dan maksimum CO2 masing-masing antara 0.5-5.0% O2 dan 2-15% CO2 (Kader 1992). Penyimpanan pada suhu rendah merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan kesegaran dari buah-buahan. Diketahui bahwa buah-buahan merupakan komoditas yang mudah sekali mengalami kerusakan setelah panen, baik kerusakan secara fisik, mekanis, maupun mikrobiologis. Penyimpanan dengan suhu rendah dapat menghambat kelayuan, laju
17
kehilangan air, laju respirasi, dan kecepatan reaksi biokimia, serta laju pertumbuhan mikroba. Teknik penyimpanan atmosfer termodifikasi yang dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu rendah dapat memperpanjang umur simpan produk hortikultura. Suhu, kelembaban udara (RH), dan komposisi atmosfer udara penyimpanan dapat dimanipulasi untuk menekan laju respirasi dan pada akhirnya dapat meminimalkan kerusakan produk selama penyimpanan (Pantastico 1975). Penyimpanan dalam atmosfer termodifikasi tidak dianjurkan tanpa dikombinasikan dengan penyimpanan pada suhu rendah terutama pada daerah beriklim tropis. Panasnya udara lingkungan justru dapat mempercepat laju respirasi dan selanjutnya mempercepat kerusakan produk. Berikut adalah beberapa hasil penelitian mengenai penyimpanan dalam atmosfer termodifikasi pada suhu rendah. Solihati (2008) merekomendasikan penyimpanan buah naga terolah minimal dalam udara dengan komposisi 2-4% O2 dan 7-9% CO2 pada suhu 5°C selama 4 hari. Martini (2005) merekomendasikan jambu biji terolah minimal selama 8 hari pada suhu 10°C dalam komposisi atmosfer 1-3% O2 dan 8-10% CO2. Sukara (2007) menyarankan komposisi atmosfer untuk penyimpanan irisan sirsak terolah minimal adalah 11±1% O2 dan 2±1% CO2 pada suhu penyimpanan 5°C. Pada kondisi ini sirsak dapat bertahan hingga 6 hari dalam kemasan stretch film. Hasil penelitian Dillah (2009) memaparkan bahwa komposisi atmosfer yang disarankan untuk penyimpanan buah campuran kedondong, nenas, dan jambu air adalah 7-9% CO2 dan 8-10% O2 pada suhu penyimpanan 5°C. Sugiarto (2005) menyarankan komposisi atmosfer yang disarankan untuk bawang daun rajangan adalah 3-5% O2 dan 3-5% CO2 pada suhu 5°C selama 14 hari. Musfira (2008) merekomendasikan komposisi atmosfer yang disarankan untuk penyimpanan irisan bit adalah 1-3% CO2 dan 7-9% O2 pada suhu penyimpanan 0°C. Ratule (1999) memaparkan bahwa kondisi optimum penyimpanan buah mangga siap hidang berlapis film edibel adalah komposisi atmosfer 4±1% O2 dan 11±2% CO2 pada suhu penyimpanan 10°C.
18
Paramawati (1998) menyimpulkan bahwa kondisi penyimpanan suku salak segar terbungkus pelapis edibel adalah pada perlakuan penyimpanan dengan komposisi gas 6±1% O2 dan 14±2% CO2 pada suhu penyimpanan 5°C. Purwadaria et al. (1997) memaparkan bahwa umur simpan buah mangga arumanis terolah minimal pada suhu 15° adalah 6 hari lebih pendek dibanding penyimpanan suhu 10°C yakni 8 hari. Kemasan merupakan komponen penting dalam teknik atmosfer termodifikasi. Pemilihan kemasan yang tepat akan memperpanjang masa simpan produk pangan. Film plastik yang digunakan untuk pengemasan dalam atmosfer termodifikasi ada berbagai jenis yang penting dapat memberikan fungsi perlindungan, memiliki kekuatan, kemampuan dikelim panas, kejernihan, dan kemampuan cetaknya (printable surface). Namun demikian yang paling penting untuk pengemasan atmosfer termodifikasi adalah permeabilitasnya terhadap oksigen dan karbondioksida (Zagory 1995). Koefisien permeabilitas film plastik untuk pengemasan dapat dilihat pada Tabel 3 (Gunadnya 1993). Tabel 3. Koefisien permeabilitas film kemasan hasil perhitungan dan penetapan (ml.mil/m2.jam.atm) 10°C a) 15°C a) 25°C b) Jenis Film Kemasan O2 CO2 O2 CO2 CO2 CO2 Low-density Polyethylene
-
-
-
-
1000
3600
Polypropylene (PP)
265
364
294
430
229
656
Stretch film
342
888
473
748
4143
6226
White stretch film
226
422
291
412
1464
1470
(LDPE)
Keterangan: a) b)
: hasil perhitungan : hasil penetapan Model umum matematika untuk menghitung permeabilitas kemasan
berdasarkan konsentrasi O2 dan CO2 dapat menggunakan persamaan (8) dan (9) sebagai berikut (Deily dan Rizvi 1981) : 19
𝐾𝑦 = 𝐾𝑧 =
𝑊𝑅 𝑦 𝐴(𝑦 𝑎 − 𝑦) 𝑊𝑅 𝑧 𝐴(𝑧− 𝑧𝑎 )
...................................................................... .................(8) .........................................................................................(9)
Ky : permeabilitas terhadap O2 (ml.mil/m2.jam.atm) Kz : permeabilitas terhadap CO2 (ml.mil/m2.jam.atm) Untuk mendapatkan rancangan kemasan berupa berat produk yang dikemas dilakukan perhitungan menggunakan persamaan (10) sebagai berikut (Mannappeuma dan Singh 1989) : 𝑊=
𝑃𝑦 𝐴(𝑦 𝑎 −𝑦) 𝑅𝑦 𝑏
=
𝑃𝑧 𝐴 (𝑧− 𝑍𝑎 ) 𝑅𝑧 𝑏
..................................................................(10)
di mana: A : luas permukaan kemasan (m2) W : berat bahan yang dikemas (kg) Py : permeabilitas terhadap O2 (ml.mil/m2.jam.atm) ya : konsentrasi O2 udara normal (%) y : konsentrasi O2 dalam kemasan (%) Ry : laju konsumsi O2 (ml/kg,jam) Pz : permeabilitas terhadap CO2 (ml.mil/m2.jam.atm) za : konsentrasi CO2 udara normal (%) z : konsentrasi CO2 dalam kemasan (%) Rz : laju konsumsi CO2 (ml/kg,jam) b : tebal kemasan (mil) Hasil penelitian Solihati (2008) memaparkan bahwa buah naga terolah minimal seberat 0.106-0.319 kg yang dikemas menggunakan styrofoam
20
berukuran 11 cm x 15 cm dan stretch film serta disimpan pada suhu 5°C dapat bertahan sampai hari ke-6. Berdasarkan penelitian Musfira (2008) menyimpulkan bahwa irisan bit dengan berat 200 g yang dikemas menggunakan film stretch film pada wadah styrofoam berukuran 8 cm x 8 cm masih dapat diterima konsumen sampai hari ke-10. Rusmono et al. (1999) memaparkan bahwa mangga arumanis terolah minimal berlapis edibel dalam kemasan stretch film pada penyimpanan 10°C dapat bertahan sampai hari ke-5. Dillah (2009) memaparkan bahwa irisan buah campuran kedondong, nenas, dan jambu air dengan berat 200 g yang dikemas menggunakan kemasan white stretch film pada wadah styrofoam berukuran 12 cm x 7 cm masih dapat diterima konsumen sampai hari ke-8. Sugiarto (2005) menyimpulkan bahwa umur simpan bawang daun rajangan (100 g) yang dikemas dalam kantung plastik LDPE tebal 60 µm dengan luas kantung 104.5 cm2 dengan suhu penyimpanan 5°C adalah 14 hari. Ratule (1999) memaparkan bahwa kemasan terpilih untuk penyimpanan buah mangga siap hidang adalah stretch film selama 6.6 hari. Nasution (1999) juga memaparkan bahwa kemasan untuk mangga arumanis terolah minimal berlapis edibel untuk memperoleh masa simpan yang terpanjang adalah menggunakan wadah tryfoam (15 cm x 20 cm) dengan film kemasan stretch film selama 7.55 hari. Paramawati (1998) menyimpulkan bahwa jenis film kemasan yang memenuhi persyaratan untuk mengemas suku salak segar terbungkus pelapis edibel adalah jenis white stretch film.
21