168
GAGASAN REFORMASI BIROKRASI DALAM RANCANGAN UNDANG UNDANG (RUU) TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN Dwiyanto Indiahono Jurusan Ilmu Administrasi Negara FISIP UNSOED e-mail:
[email protected] Abstract Draft of Public Administration Law in the reality is arranging how public administration done by government and citizen. This draft is legal fundament to put down public functionary rights and obligations, governmental institution (as public organization) and public as citizen more equal. Bureaucracy reform have to be viewed as complex domain, and also require the complex effort to support it. RUU AP has to esteem as part of bureaucracy reform effort in Indonesia. And to hope happened high acceleration in bureaucracy reform, hence RUU AP has to be supported with effort of developing commitment of public functionaries, developing system public service, improving the quality of human resource, improving exploiting of technology in bureaucracy (e-gov) and create best culture of bureaucracy. Key words: bureaucracy reform, public administration law, and culture of bureaucracy. Abstrak Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) sejatinya adalah rancangan undangundang yang mengatur bagaimana administrasi pemerintahan dilakukan oleh pemerintah dan warga negaranya. RUU ini merupakan dasar hukum untuk meletakkan hak dan kewajiban pejabat publik, badan/ institusi pemerintah (sebagai organisasi publik) dan publik sebagai warga negara secara lebih berkeadilan. Reformasi birokrasi harus dipandang sebagai ranah yang kompleks, dan perlu upaya yang kompleks juga untuk mendukungnya. RUU AP amat patut dihargai sebagai bagian dari upaya reformasi birokrasi di Indonesia. Dan untuk berharap terjadi akselerasi yang tinggi dalam reformasi birokrasi, maka RUU AP harus didukung dengan upaya peningkatan komitmen para pejabat publik, mengembangkan sistem pelayanan publik, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan pemanfaatan teknologi dalam birokrasi (e-gov) dan menciptakan budaya unggul birokrasi. Kata kunci: reformasi birokrasi, hukum administrasi negara, dan budaya birokrasi
Pendahuluan Jika menunjuk pada birokrasi yang dikemukakan Weber, maka organisasi yang baik adalah organisasi yang di dalamnya terdapat aktor rasional, terdapat pembagian kerja yang jelas (spesialisasi), kepemimpinan pada satu pucuk pimpinan (hirarki), dan rentang kendali yang memadai. Konsep birokrasi Weber ini harus diejawantahkan secara berhat-hati, sebab bisa jadi konsep ini justeru memicu lahirnya masalah pada birokrasi (biropathologi). Konsep birokrasi ala Weberian dianggap kaku, dan tidak responsif terhadap kondisi yang dihadapi organisasi. Pembagian kerja yang amat spesifik menjadikan birokrat sebagai anggota organisasi
yang mekanis, tidak kreatif, dan lambat dalam memberikan jawaban atas permasalahan yang dihadapi secara mendesak. Satu pucuk pimpinan dalam organisasi diduga menjadikan birokrat amat patuh kepada atasan tanpa bisa mengembangkan rasionalitasnya sebagai pelayan publik. Birokrat tidak lagi menjadi pelayanan publik, melainkan menghamba kepada atasan sebagai raja tunggal yang absolut. Birokrasi Weber yang kaku, tidak responsif dan dinamis nampaknya tercermin dalam birokrasi yang ada di Indonesia. Birokrasi yang berbelit, tidak transparan, tidak partisipatif dan hegemonik menjadi permasalahan-permasalahan yang menjadi pekerjaan rumah reformasi birokrasi.
Gagasan Reformasi Birokrasi dalam RUU tentang Administrasi Pemerintahan 169
Reformasi birokrasi dengan demikian harus diarahkan pada tumbuhnya kesadaran birokrat dan publik atas terselenggaranya tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Reformasi birokrasi harus mencakup perubahan yang menyeluruh (holistic) dan berkelanjutan (sustainable). Salah satu hal yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi adalah dengan merancang undang-undang administrasi pemerintahan. Rancangan undang-undang administrasi pemerintahan yang diusulkan menjadi undangundang administrasi pemerintahan merupakan dasar hukum yang menjamin kepastian hukum institusi pemerintah dan juga mengusahakan tindakan-tindakan yang profesional dari institusi, pejabat dan aparat pemerintah. Rancangan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) menjadi penting untuk menambah kekuatan mesin reformasi birokrasi yang telah berjalan. Sehingga gagasan baru terkait dengan reformasi birokrasi dalam RUU AP, dan hal lain apakah yang dapat dilakukan pemerintah untuk menambah laji gerbong reformasi birokrasi menjadi hal-hal yang menarik untuk diungkap. Mencermati hal di atas, maka tulisan ini berusaha untuk menganalisis persoalan yang terkait dengan gagasan-gagasan baru yang ditawarkan RUU AP dalam reformasi birokrasi serta hal-hal yang sepatutnya dilakukan pemerintah untuk melengkapi proses reformasi birokrasi di Indonesia. Pembahasan Gagasan-Gagasan dalam RUU AP untuk Reformasi Birokrasi Pemerintah dengan segala komitmennya telah memulai reformasi birokrasi dengan mengeluarkan berbagai macam aturan pendukung. Salah satu produk hukum yang sedang dalam proses adalah Rancangan Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan (RUU AP). Dua pertimbangan dari RUU AP adalah Pertama, bahwa sesuai dengan asas negara hukum yang demokratis semua tindakan hukum dan tindakan materiil Administrasi Pemerintahan yang dilakukan pejabat publik harus berdasarkan kepada ketentuan hukum
dan peraturan perundang-undangan dan asasasas umum pemerintahan yang baik. Kedua, bahwa penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang transparan, mudah, cepat, tepat, pasti, efisien, efektif dan partisipatif memerlukan undang-undang yang memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat secara adil dan tidak berpihak. Pertimbangan lahirnya RUU AP di atas, setidaknya menunjukkan upaya pemerintah untuk memberikan kepastian hukum atas setiap tindakan yang dilakukan pemerintah dan upaya untuk menciptakan perlindungan hukum kepada warga masyarakat secara adil dan tidak berpihak guna mewujudkan penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan yang transparan, mudah, cepat, tepat, pasti, efisien, efektif dan partisipatif. Hal inilah yang menjadi sebab mengapa good governance berhadap-hadapan secara kasat mata dengan tindak pidana korupsi yang berlaku di birokrasi1. Hal di atas selaras pula dengan saran pemecahan masalah-masalah administrasi negara pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia R.I. Seminar ini merekomendasikan diperlukan pendekatan dan dukungan sistem administrasi negara yang mengindahkan nilai-nilai dan prinsip good governance serta asas-asas penyelenggaraan pemerintahan yang baik (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) dan sumber daya aparatur negara (pejabat politik dan karier) yang memiliki integritas, kemampuan profesional, dan konsistensi dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut, baik dalam jajaran eksekutif, legislatif dan yudikatif2. Saat ini hukum memang tengah berada dalam situasi transisi yaitu hukum yang tadinya berparadigma pada kekuasaan mulai ditinggalkan dan mengalami reorientasi pada hukum 1
2
Dwiyanto Indiahono, “Korupsi Versus Good Governance: Analitis Kritis Pemberdayaan Pers Melawan Korupsi”, Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa, 17 (1) Maret 2009, hlm. 33-42. Laporan Hasil Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman Dan Hak Asasi Manusia R.I. Kuta, Bali, 14 - 18 Juli 2003, hlm. 10.
170 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 1 Januari 2011
yang berwajah kerakyatan dan berkeadilan3. Hukum harus menampilkan wajah yang ramah bukan hanya kepada penguasa, elit atau golongan ”the have”, tetapi juga harus bersikap ramah kepada setiap warga negara. ”Ramah” di sini harus diartikan bahwa hukum diyakini, dipatuhi sebagai instrumen untuk melindungi hak setiap warga negara, tanpa ada rasa takut adanya pencideraan terhadap hak asasi warga negara yang lain. Hukum mampu menjadi benteng keadilan bagi para warga negara. Nilainilai keadilan, kebenaran dan kesamaan dimuka hukum harus tercakup didalamnya. Martin Luther King Jr. mengungkapkan bahwa undangundang yang adil adalah Pertama, aturan kreasi manusia yang diseleraskan dengan undang-undang moral atau undang-undang Tuhan; Kedua, Undang-undang manapun yang menjunjung tinggi martabat manusia; Ketiga, aturan di mana mayoritas mendorong minoritas untuk patuh terhadap apa yang hendak ia patuhi. Sebaliknya, undang-undang yang tidak adil adalah Pertama, aturan yang bertentangan dengan undang-undang moral; Kedua, Undangundang yang merendahkan martabat manusia; Ketiga, aturan yang menyengsarakan minoritas, dimana mereka tidak diberi ruang untuk bertindak atau berkreasi, sebab mereka tidak memiliki kemerdekaan hak untuk memilih4. Hal di atas menjadi penting karena setiap warga negara adalah makhluk yang memiliki cipta, rasa dan karsa. Warga negara merupakan insan cerdas yang mampu berpikir rasional demi kepentingan dirinya. Jika warga negara merasa ada perlakuan yang tidak adil oleh pemerintah kepada warga negara, maka dikhawatirkan warga negara akan melakukan pembangkangan kepada pemerintah5. Bentuk pembangkangan ini bisa berbentuk demonstrasi, tidak menaati hukum yang diskriminatif, atau bentuk 3
4
5
Erdiansyah, “Fenomena Perbuatan Main Hakim Sendiri dalam Perspektif Sosiologi Hukum”, Jurnal Hukum Respublica, 8 (1) November 2008. hlm. 19-20. Josh McNary dalam Antonio L. Casado da Rocha, 2002, Pembangkangan Sipil. Pasuruan: Penerbit Tadarus, hlm. xix Dwiyanto Indiahono, “Civil Society dan Pembangkangan Publik (Analisis Reaksi Kekecewaan Publik Terhadap Pemerintah”, Jurnal Ilmiah Hukum dan Dinamika Masyarakat, FH. Universitas 17 Agustus Semarang, 6 (1) Oktober 2008, hlm: 70-84.
lain sebagai ekspresi kekesalan dan kekecewaannya kepada pemerintah. Pejabat publik secara ideal mampu menjalankan prinsip-prinsip good governance secara baik. RUU AP pun berupaya mewajibkan kepada pejabat publik menjalankan hak, wewenang, kewajiban dan tanggung jawabnya dengan melaksanakan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Asas-asas pemerintahan umum yang baik itu antara lain, pertama, asas kepastian. Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggaraan pemerintahan. Kedua, asas keseimbangan. Asas keseimbangan adalah asas yang mewajibkan pejabat administrasi pemerintahan atau badan untuk menjaga, menjamin, paling tidak mengupayakan keseimbangan, yaitu: (1) keseimbangan kepentingan antara individu dengan individu; (2) keseimbangan kepentingan antara individu dengan masyarakat; (3) keseimbangan kepentingan antara pemerintah dengan warga negara; (4) keseimbangan kepentingan antara generasi yang sekarang dan generasi mendatang; (5) keseimbangan kepentingan antara manusia dan ekosistemnya. Ketiga, asas kesamaan. Asas kesamaan adalah asas yang mengutamakan perlakuan yang sama dari kebijaksanaan pemerintah. asas motivasi. Keempat, asas motivasi adalah asas pemberian suatu keputusan yang harus dapat didukung oleh alasan-alasan dengan dasar fakta yang dijadikan dasar suatu keputusan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kelima, asas kecermatan. Asas kecermatan adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu keputusan harus dipersiapkan terlebih dahulu dan kemudian keputusan tersebut diambil dengan cermat. Keenam, asas tidak melampaui dan atau mencampuradukan kewenangan. Asas tidak melampaui atau mencampuradukkan kewenangan adalah asas yang mewajibkan setiap Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan tidak menggunakan kewenangan yang dimilikinya untuk kepentingan pribadinya. Ketujuh, asas bertindak yang wajar. Asas bertindak yang wajar
Gagasan Reformasi Birokrasi dalam RUU tentang Administrasi Pemerintahan 171
adalah asas yang mewajibkan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan untuk tidak bertindak dan membuat keputusan yang diskriminatif. Kedelapan, asas keadilan. Asas keadilan adalah setiap penyelenggaraan administrasi pemerintahan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap warga negara. Kesembilan, asas kewajaran dan kepatutan. Asas kewajaran dan kepatutan adalah asas yang mewajibkan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan untuk tidak bertindak sewenangwenang. Kesepuluh, asas menanggapi pengharapan yang wajar. Asas menanggapi pengharapan yang wajar adalah asas yang mewajibkan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan menepati janjinya yang menimbulkan pengharapan yang wajar kepada para pemohon atas layanan dan tindakan yang dibutuhkan dari pemerintah. Kesebelas, asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal. Asas meniadakan akibat-akibat suatu keputusan yang batal adalah asas yang mewajibkan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan untuk mengambil tindakan segera atau mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat keputusan yang batal. Keduabelas, asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi. Asas perlindungan atas pandangan hidup pribadi adalah asas yang mewajibkan Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan menghormati pandangan hidup pribadi seseorang atau kelompok dan melakukan tindakan serta memberikan layanan tanpa melakukan diskriminasi kepada setiap warga masyarakat. Ketigabelas, asas tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Asas Tertib Penyelenggaraan administrasi pemerintahan adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian, dan keseimbangan dalam pengendalian Penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan. Keempatbelas, asas keterbukaan. Asas keterbukaan adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan dengan tetap memperhatikan
perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Kelimabelas, asas proporsionalitas. Asas proporsionalitas adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban warga atau penduduk yang berkepentingan dalam keputusan atau perilaku pejabat administrasi pemerintahan di satu fihak, dan antara kepentingan warga dan penyelenggaraan pemerintahan di lain fihak. Keenambelas, asas profesionalitas. Asas profesionalitas adalah asas yang mengutamakan keahlian yang sesuai dengan tugas dan kode etik yang berlaku bagi Pejabat Administrasi Pemerintahan atau Badan yang mengeluarkan keputusan administrasi pemerintahan yang bersangkutan. Ketujuhbelas, asas akuntabilitas. Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan Penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedelapanbelas, asas kepentingan umum. Asas kepentingan umum adalah asas yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, selektif dan tidak diskriminatif. Kesembilanbelas, asas efisiensi. Asas Efisiensi adalah asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang berorientasi pada minimalisasi penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil kerja yang terbaik. Keduapuluh, asas efektifitas. Asas Efektivitas adalah asas penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang berorientasi pada tujuan yang tepat guna dan berdayaguna. Asas-asas yang terdapat dalam RUU AP sejatinya sudah sangat lengkap dan ideal sebagai landasan bagi birokrat maupun publik dalam rangka turut serta dalam proses penyelenggaraan good governance secara lebih baik. Penegakan asas-asas ini dalam kehidupan sehari-hari bagi para pejabat publik akan memperbesar kesempatan untuk melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh dan berkelanjutan. Terlebih dalam RUU AP juga te-
172 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 1 Januari 2011
lah dijelaskan dengan jelas tujuan dari UU AP ini, yaitu menciptakan tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan; menciptakan kepastian hukum; mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang; menjamin akuntabelitas Pejabat Adminsitrasi Pemerintah atau Badan; memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat dan aparatur pemerintah; menerapkan asas-asas umum pemerintahan yang baik; dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat. Birokrasi selama ini dikenal sebagai institusi pemerintah yang bertindak secara otonom dan tidak akuntabel. Padahal birokrasi sebagai sebuah institusi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan urusan dan kepentingan publik diwajibkan untuk memberikan pertanggungjawaban yang baik dengan menunjukkan kinerja yang baik pula. Birokrasi yang baik adalah birokrasi yang memiliki kinerja yang baik. Pemahaman bahwa birokrasi adalah pihak otonom, mandiri dan layak untuk bersikap diam atas kinerja yang buruk layak disingkirkan. Pemahaman birokrasi yang otonom, mandiri dan tidak layak dikontrol oleh publik adalah pemahaman birokrasi kerajaan dan kolonial yang sudah tidak relevan lagi. Birokrasi sekarang dituntut untuk menunjukkan kinerja yang baik, yaitu dengan melakukan kegiatan pemenuhan urusan dan kepentingan publik dengan lebih produktif, berkualitas, responsif, responsibel dan akuntabel. Agus Dwiyanto mengemukakan ada 5 (lima) indikator untuk mengukur kinerja birokrasi. Pertama, produktivitas. Konsep produktivitas tidak hanya mengukur tungkat efisiensi, tetapi juga efektifitas pelayanan. Kedua, kualitas pelayanan. Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dari organisasi publik. Dengan demikian, kepuasan masyarakat terhadap layanan dapat dijadikan indikator kinerja organisasi publik.
Ketiga, responsivitas. Responsivitas adalah kemampuan organisasi untuk mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan prioritas pelayanan, dan mengembangkan program-program pelayanan publik sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Keempat, responsibilitas. Responsibilitas menjelaskan apakah pelaksanaan kegiatan organisasi publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip administrasi yang benar atau sesuai dengan kebijakan organisasi, baik yang eksplisit maupun implisit. Kelima, Akuntabelitas. Akuntabelitas publik menunjuk pada seberapa besar kebijakan dan kegiatan organisasi publik tunduk pada para pejabat politik yang dipilih oleh rakyat. Asumsinya adalah bahwa para pejabat politik tersebut karena dipilih oleh rakyat, dengan sendirinya akan selalu merepresentasikan kepentingan rakyat.6 Menunjuk pada hal di atas, maka reformasi birokrasi harus mampu menciptakan birokrasi yang produktif, dengan kualitas pelayanan publik yang memadai, responsif, responsibel dan akuntabel. Reformasi birokrasi ke depan setidaknya membutuhkan tiga prasyarat utama, yaitu komitmen elit, responsivitas dan akuntabilitas. Pertama, Komitmen Elit. Komitmen menjadi kajian yang menarik ketika berbicara mengenai hak-hak orang lain, terlebih bagi kepentingan publik. Tak ada yang menampik bahwa kajiankajian tentang komitmen terus menduduki ranking teratas dalam pelatihan-pelatihan kepemimpinan dewasa ini. Kajian tentang komitmen sekarang telah menggantikan kajian-kaijan mengenai manajemen dan keahlian lainnya. Kajian tentang komitmen, menjadi trend ketika keahlian manajerial ternyata tidak serta merta membawa organisasi (khususnya organisasi publik) untuk lebih responsif dan peduli dengan kepentingan publik. Keahlian manajerial yang selama ini dibanggakan ternyata malah dimanfaatkan sebagian yang lain untuk membodohi publik. Komitmen (khususnya elit) dibutuhkan untuk memulai perubahan sistem birokrasi. Komitmen adalah kemauan yang kuat untuk 6
Agus Dwiyanto dkk, 2006, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press, hlm. 50-51
Gagasan Reformasi Birokrasi dalam RUU tentang Administrasi Pemerintahan 173
tetap peduli dengan urusan-urusan publik dan mengaktualisasikannya dalam kehidupan berbirokrasi. Ia ada karena komitmennya untuk memajukan kesejahteraan rakyat, dan ia pun ada karena sadar bahwa ia adalah makhluk sosial yang membutuhkan dan dibutuhkan orang lain. Kedua, responsivitas. Aparat pemerintah harus mau duduk sejajar di depan publik, berdiskusi dan mengetahui keluh kesah dan harapannya terhadap pelayanan yang dibutuhkan. Aparat pemerintah kedepan adalah manusia yang bukan hanya memiliki lima indera untuk mencitra kepentingan publik dan kepuasannya. Aparat pemerintah ke depan mungkin harus memiliki panca indera keenam atau bahkan lebih untuk kesempurnaannya dalam menampung aspirasi publik. Publik didudukkan sebagai mitra dan manusia yang bermartabat: memiliki asa, rasa dan karsa. Wujud penghargaan dan rasa percaya kepada warga negara adalah dengan mendengar keluh kesah, saran, masukan dan kritik. Aparat pemerintah ke depan adalah seseorang yang “tersenyum” kala diberi masukan demi kepuasan publik dalam pelayanan. Ketiga, akuntabilitas. Aparat pemerintah dengan segala kewenangannya harus mampu dan mau secara transparan mempertanggungjawabkan apa yang akan dan telah dilakukannya. Setiap aktifitas pemerintah harus dapat diukur kaberhasilannya, pemerintah harus mempublish indikator dari aktifitasnya sehingga publik dapat mengetahui bahwa pemerintah benar-benar “bersih” dan “ikhlas” melakukan aktifitas untuk menyejahterakan publik7. Secara umum dalam RUU AP akan ditemukan beberapa gagasan yang dapat mendukung kepastian hukum atas perilaku pejabat publik, organisasi pemerintah dan publik, serta reformasi birokrasi. Gagasan penting RUU AP yang dapat ditunjuk antara lain. Pertama, hubungan antar instansi pemerintah. Hal ini mengatur bagaimana hubungan yang sinergis antar institusi pemerintah dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan. Hal ini me7
Dwiyanto Indiahono, 2006, Reformasi “Birokrasi Amplop”: Mungkinkah?. Yogyakarta: Gavamedia, hlm. 171175
rupakan terobosan baru untuk menunjukkan perilaku profesional dari instansi pemerintah. Antar instansi pemerintah harus memulai kerja tim yang lebih solid sehingga tujuan pembangunan dapat tercapai dengan lebih capat dan efisien. Kedua, pemanfaatan teknologi dalam RUU AP. Aktifitas birokrasi ke depan harus di kembangkan dengan memanfaatkan teknologi. Hal ini nampaknya telah diakomodir dalam RUU AP, yaitu dengan mencantumkan pasal: Komunikasi Elektronik. Pasal ini melegitimasikan bahwa pengiriman keputusan administrasi pemerintahan dapat dilakukan dengan media elektronik, jika publik atau badan mempunyai akses untuk membuka secara elektronik tersebut; menyamakan bentuk elektronik dari keputusan administrasi pemerintahan dengan bentuk yang tertulis, meskipun demikian 30 hari sejak diputuskan, keputusan yang asli harus dikirimkan. Ketiga, prosedur administrasi pemerintahan. Hal ini menunjuk pada upaya memberikan kepastian hukum dalam prosedur administrasi pemerintahan, diantaranya menjelaskan para pihak yang berhak untuk ikut serta dalam administrasi pemerintahan; menjelaskan kepastian bahwa seorang pejabat tidak berwenang untuk pembuatan keputusan administrasi pemerintahan jika memiliki hubungan dengan para pihak yang terlibat; menjelaskan kebolehan memberikan kuasa dalam hal tindakan dan prosedur administrasi pemerintahan; menjelaskan proses pengujian administrasi pemerintahan; menjelaskan tentang proses dan syarat yang dibutuhkan dalam legalisasi dokumen administrasi pemerintahan; adanya kewajiban bagi pejabat atau badan pemerintah untuk melakukan dengar pendapat jika keputusan administrasi pemerintahan yang akibatnya memberatkan, membebani atau mengurangi hak orangperorangan. Keempat, keputusan administrasi pemerintahan. Hal ini menunjuk pada upaya memberikan kepastian hukum pada beberapa hal, diantaranya: menjelaskan syarat-sahnya keputusan administrasi pemerintahan; keberlakuan surat keputusan; batas-batas diskresi; dan
174 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 1 Januari 2011
penyampaian keputusan; pencabutan, penarikan, pembatalan dan revisi keputusan administrasi pemerintahan. Hal ini menjadi sangat penting agar warga negara terhindar dari sikap arogan para pejabat publik atau institusi pemerintahan. Kepastian hukum ini akan menuntut sikap profesionalisme aparat pemerintah serta tanggung jawab pemerintah dalam berhubungan dengan setiap warga negara. Kelima, upaya administratif terhadap keputusan administrasi pemerintahan. Hal ini menunjuk adanya kepastian hukum tentang diperbolehkannya usaha untuk menyampaikan keberatan atas keputusan administrasi pemerintahan, tata cara, dan batas akhir menyampaikan keberatan. Kepastian hukum merupakan perlindungan para pencari keadilan terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu8. Hal ini menjadi penting sebagai landasan hukum untuk memberikan kritik dan saran atas kebijakan pemerintah. Upaya ini juga memberikan kepastian hukum, bahwa jika terdapat upaya administrasi dari para pihak, maka keputusan administrasi pemerintah tersebut dapat ditunda untuk diberlakukan. Tidak hanya itu, jika dalam kenyataannya pencabutan atau pembatalan keputusan administrasi pemerintahan menimbulkan ganti rugi, maka pemerintah memberikan garansi akan memberikan ganti rugi secara wajar. Beberapa Hal Lain yang Harus Dilakukan dalam Reformasi Birokrasi Reformasi birokrasi merupakan upaya untuk menciptakan kinerja birokrasi secara lebih baik. RUU AP merupakan salah satu media untuk memberikan kepastian hukum atas setiap kegiatan yang dilakukan oleh publik dan pemerintah dalam administrasi pemerintahan. RUU AP ini setidaknya menjadi panduan awal bagaimana organisasi publik, pejabat publik, dan anggota masyarakat dalam berurusan dengan administrasi pemerintahan. Ada beberapa hal 8
Ratnawati, “Putusan Hakim antara Harapan dan Realitas (Refleksi Hasil Riset Putusan Hakim)”, Jurnal Ilmu Hukum Amanna Gappa, 17 (1), Maret 2009, hlm. 66
yang dikemudian hari menjadi pekerjaan rumah paska ditetapkannya RUU AP jika menginginkan birokrasi memiliki kinerja lebih baik. Pertama, meningkatkan komitmen para pejabat publik. Hal ini menunjuk bahwa pejabat publik harus mulai bersikap egaliter di depan publik. Pejabat publik bukanlah seorang raja dan pejabat kerajaan yang ingin selalu di layani oleh publik. Pejabat publik harus mengetahui posisinya sebagai public servant yang harus mau mendengar kritik, masukan dan keinginan dari publik. Pejabat publik juga harus mulai menggagas ide perubahan yang bermakna untuk menciptakan kebijakan publik yang rasional dan demokratis, serta pelayanan publik yang lebih memuaskan. Khusus akan pentingnya mindset dan komitmen perubahan pada seorang pemimpin, Sri Sultan Hamengku Buwono X pernah menyatakan: “Jadi, jangan berharap reformasi kepemerintahan bisa terjadi, bila pimpinan puncak tidak memiliki visi dan keinginan kuat untuk suatu perubahan”. Hal ini menjadi semakin harus lebih diperhatikan karena berdasarkan penelitian Slamet Rosyadi di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, kadar keterbukaan pikiran aparatur pemerintah daerah sebagian besar masih rendah.9 Kedua, mengembangkan sistem pelayanan publik. Hal ini menunjuk bahwa mengembangkan sistem pelayanan publik yang memuaskan merupakan tantangan yang tidak ringan dalam reformasi birokrasi ke depan. Sistem pelayanan publik harus menjamin (a) Pelayanan yang pro kepada publik dan mampu mengikis budaya paternalisme (pelayanan yang pro kepada kepada pimpinan atau birokrat pimpinan birokrasi), yaitu menunjuk bahwa sistem yang terbangun harus menjadi pioner dalam mendudukkan warga negara sebagai publik yang harus mendapatkan hak dilayani secara lebih baik oleh aparat pemerintah. Pelayanan publik membutuhkan kepercayaan publik sebagai legitimasinya, sedangkan kepercayaan publik sendiri amat dipengaruhi oleh standar kepuasan. Standar kepuasan publik sendiri dalam kondisi
9
Slamet Rosyadi. 2010, Paradigma Baru Manajemen Pembangunan. Yogyakarta: Gavamedia, hlm. 16-23.
Gagasan Reformasi Birokrasi dalam RUU tentang Administrasi Pemerintahan 175
ideal akan terus naik10. (b) Kepastian atas pelayanan yang diberikan, yaitu menunjuk bahwa sistem yang dibentuk harus mampu menjamin publik mendapatkan pelayanan secara pasti, jelas, dan konsisten. Publik harus mendapatkan informasi terhadap mekanisme dan prosedur pelayanan, besaran beaya dan waktu yang diperlukan dalam suatu jenis pelayanan. Hal di atas sering disebut sebagai maklumat pelayanan, yaitu pernyataan dari institusi pemerintah terkait dengan suatu jenis pelayanan yang berisi rincian kejelasan dari mulai input, proses hingga penyelesaian suatu jenis pelayanan. Dalam maklumat pelayanan terdapat informasi jenis pelayanan, prosedur, waktu dan biaya dari suatu jenis pelayanan publik. Lebih penting lagi adalah institusi pemerintah menjamin bahwa maklumat pelayanan tersebut bukan hanya pernyataan pepesan kosong belaka, tetapi harus dapat direalisasikan secara lebih baik, konsisten dan sungguh-sungguh. (c) Tidak ada diskriminasi dalam pelayanan publik, yaitu menunjuk bahwa sistem yang dibangun menjamin setiap warga negara akan didudukkan secara sederajat, diperlakukan secara wajar dan dijamin untuk mendapatkan pelayanan secara layak. (d) Sistem insentif, yaitu menunjuk bahwa sistem yang dibangun mampu memberikan insentif reward kepada aparatur pemerintah yang berprestasi dan menunjukkan kinerja positif dalam pelayanan publik, dan sebaliknya menimpakan punishment kepada aparatur yang lalai dan mencoba menghancurkan sistem baik yang sedang dibangun. “Organizational leaders must constantly maintain a flow of resources into their organization to cover the incentives tha must be paid out to induce people to contribute to the organization11. Sistem semacam ini menjadi penting untuk dapat memotivasi para aparatur pemerintah secara konsisten membangun sistem pelayanan publik yang lebih memuaskan, menjaga keberlangsungan sistem dan menghilangkan resistensi 10
11
Carol W. Lewis dan Stuart C. Gilman, 2005, The Ethics in Public Service: a Problem-Solving Guide, San Fransisco: Jossey-Bass, hlm. 22-27 Barnard, Simon, March and Simon dalam Hal G. Rainey, 1997, Understanding and Managing Public Organization, San Fransisco: The Jossey Bass Publisher, hlm. 210
dari aparatur pemerintah yang phobi terhadap perubahan. Organisasi yang kreatif menghargai dan memberi reward terhadap kreatifitas12. (e) Semangat kerja sama dan pemberdayaan tim, yaitu menunjuk bahwa sistem yang sedang dibangun akan menjamin hidupnya budaya kerja sama saling asah, asih dan asuh tanpa harus dibatasi secara rigid oleh kotak-kotak spesialisasi. Hal ini menjadi penting karena organisasi publik sudah terlampau lama dibius oleh birokrasi weberian yang mengajarkan manusia untuk bertindak sebagai spesialis tanpa mau memandang keberadaan kolega sebagai saudara/teman dalam mencapai tujuan. Akibatnya, ketika ada satu elemen birokrasi yang mandeg maka tugasnya tidak dapat terduplikasi oleh yang lain. Sistem pelayanan publik yang baru dibangun harus membuat para aparat pemerintah mampu hidup secara berdampingan saling mengembangkan diri dalam kerjasama yang dinamis dan saling menduplikasi dan membantu jika diperlukan oleh bagian yang lain. Organisasi publik ke depan adalah organisasi dengan gerak serempak dari seluruh aparatur pemerintah untuk mencapai visi dan misi pemerintah secara bersama-sama. (f) Pengembangan kualitas pelayanan, yaitu menunjuk bahwa sistem yang dibangun harus menjamin adanya mekanisme pengembangan kualitas pelayanan secara terus menerus. Hal ini dimaksudkan bahwa organisasi publik harus menjadi makhluk pembelajar yang tidak letih untuk mengembangkan kualitas pelayanan publik, guna terus mengimbangi tuntutan kepuasan publik yang kian tinggi pula. Ketiga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia. “Changing public service, changing public servant?” demikian sub bagian terakhir tulisan Andrew Gray sebagai konklosi dari tulisan berjudul Government and Administration: Public Service and Public Servants. Ia mengungkapkan bahwa pelayanan publik amat dipengaruhi oleh skill dan komitmen pelayan publik kepada pelayanan itu sendiri. Tak heran membuka tulisan itu ia menyitir pendapat: 12
Gary Steiner dalam A. Usmara (ed), 2003, Handbook of Organization: Kajian dan Teori Organisasi, Yogyakarta: Penerbit Amara Books, hlm. 302
176 Jurnal Dinamika Hukum Vol. 11 No. 1 Januari 2011
“public services can be a calling and not a career”.13 Sumber daya manusia atau aparatur pemerintah juga menjadi faktor penting dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik. Hal ini dikarenakan tanpa kualitas manusia yang memadai maka gerak reformasi pelayanan publik akan mengalami kendala yang berat. Aparatur pemerintah yang belum memiliki mindset bahwa publik adalah makhluk yang paling berhak mendapatkan pelayanan terbaik, akan cenderung apatis terhadap publik dan perubahan peningkatan kualitas pelayanan publik. Sebaliknya, sumber daya manusia atau aparatur pemerintah yang telah memiliki mindset yang baik terhadap pelayanan publik yang pro kepada publik akan senantiasa memikirkan prosesi perubahan pelayanan publik yang mungkin dilakukan, dan merekalah yang akan menekan kepada elit untuk berkomitmen kepada perubahan pelayanan publik, berkomitmen kepada penciptaan sistem pelayanan publik yang lebih baik serta berkomitmen kepada penggunaan teknologi yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Agus Dwiyanto juga menyatakan bahwa salah satu faktor rendahnya pemberian pelayanan yang berkualitas adalah rendahnya sumber daya manusia. Menurutnya rendahnya kualitas sumber daya manusia ditunjukkan dengan ketidakmampuan petugas memberikan solusi kepada customer atau yang lebih dikenal dengan melakukan tindakan diskresi. Keempat, meningkatkan pemanfaatan teknologi dalam birokrasi (e-gov). Teknologi menjadi faktor penting dalam peningkatan kualitas pelayanan publik karena dengan penggunaan teknologi akan memaksa komitmen elit, sistem dan aparatur pemerintah untuk berubah. Kehadiran teknologi yang meningkatkan kualitas pelayanan publik akan membuka wawasan para aparatur pemerintah dan elit yang akan memaksa mereka untuk berubah. Sebaliknya, penggunaan teknologi amat tergantung dari aparatur dan elit di daerah, sebab tanpa dukungan, komitmen dan kualitas mereka, tekno-
logi yang semaju apapun tidak akan berarti apa-apa. Pemanfaatan teknologi dalam peningkatan kualitas pelayanan publik sudah selayaknya menjadi perhatian para pemerintah daerah. Sebab, dengan memanfaatkan teknologi, pelayanan publik akan dapat dilakukan dengan akselerasi yang lebih cepat. Kelima, menciptakan budaya unggul birokrasi. Hal ini menunjuk pada upaya menciptakan karakter budaya birokrasi yang dapat membangun iklim yang mendukung terciptanya birokrasi yang berkinerja baik. Budaya unggul birokrasi yang dikembangkan berorientasi pada pemberian pelayanan publik secara lebih baik dan kebijakan publik yang rasional serta demokratis. Berbicara mengenai budaya birokrasi, Neo dan Chen dalam buku Dynamic Governance: Embedding Culture Capabilities and Chande in Singapura (2007) mengemukakan bahwa institusi yang dinamis dicirikan dengan adanya ide baru, persepsi yang segar, upgrading yang berkelanjutan, aksi-aksi yang cepat, adaptasi yang fleksibel dan inovasi yang kreatif. Institusi yang semacam ini akan melahirkan institusi yang selalu belajar, kebijakan yang cepat dan efektif dan perubahan yang tiada berakhir. Neo dan Chen juga mengkonseptualisasikan dan mendiskusikan tiga kemampuan governance Singapura: 1) thinking ahead – the ability to perceive early signals of future developments that may affect a nation in order to remain relevant to the world, 2) thinking again – the ability and willingnes to rethink and remake currently functioning policies so that they perform better, 3) thinking across – the ability and opennes to cross boundaries to learn from the experience of others so that new ideas and concepts may be introduces into an institution”14. Budaya unggul birokrasi dapat menciptakan kader-kader birokrasi yang juga unggul, siap mengawal prosesi reformasi birokrasi secara lebih baik, lebih inovatif dan berani 14
13
Andrew Gray, “Government and Administration: Public Service and Public Servants. Parliamentary Affairs”, Academic Research Library, 58 (2) Apr 2005, hlm. 230
Boon Siong Neo and Geraldine Chen, 2007, Dynamic Governance: Embedding Culture Capabilities and Chande in Singapura. Singapura: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd, hlm. 3.
Gagasan Reformasi Birokrasi dalam RUU tentang Administrasi Pemerintahan 177
mengambil perubahan baru untuk kehidupan yang semakin dinamis. Penutup RUU AP sejatinya adalah undangundang yang mengatur bagaimana administrasi pemerintahan dilakukan oleh pemerintah dan warga negaranya. RUU ini memuat beberapa gagasan yang dapat menjadi awal bagi reformasi birokrasi yaitu: hubungan yang sinergis antar institusi pemerintah dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan; pemanfaatan teknologi, kepastian hukum dalam prosedur administrasi pemerintahan; kepastian hukum atas keputusan adminstrasi pemerintahan; dan upaya administratif terhadap keputusan administrasi pemerintahan. Pejabat publik dengan demikian dituntut untuk lebih bertanggungjawab atas pelaksanaan tugasnya. RUU AP ini dapat menjadi salah satu pendukung tegaknya pilar good governance: transparansi, akuntabelitas, dan kepastian hukum. Meski RUU AP telah memuat gagasan tentang kepastian hubungan antara pemerintah dan warga negaranya, agar terjadi akselerasi yang memadai dalam reformasi birokrasi, maka disarankan beberapa upaya lain yang harus dilakukan, yaitu: meningkatkan komitmen para pejabat publik, mengembangkan sistem pelayanan publik, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, meningkatkan pemanfaatan teknologi dalam birokrasi (e-gov), dan menciptakan budaya unggul birokrasi.