G. Galunggung, Konservasi Wilayah Bukit Sepuluh Ribu, Peran dan Fungsinya Terhadap Kota Tasikmalaya (Isya Nurrahmat Dana)
G. GALUNGGUNG, KONSERVASI WILAYAH BUKIT SEPULUH RIBU, PERAN DAN FUNGSINYA TERHADAP KOTA TASIKMALAYA Isya Nurrahmat DANA Sari Gunung Galunggung adalah gunungapi aktif tipe A berlokasi di Tasikmalaya, dikenal masyarakat karena letusan terakhirnya berlangsung selama 9 bulan, mulai 5 April 1982 sampai dengan Pebruari 1983. Letusan pertama tercatat tahun 1822 cukup dahsyat sehingga menelan korban 4011 jiwa, dan melanda ribuan hektar tanah pertanian. Letusan lain di masa lampau yang lebih dahsyat menghasilkan suatu kawah (kaldera) tapal kuda dan longsoran (debris avalance) kearah tenggara membentuk kumpulan bukit yang disebut Bukit Sepuluh Ribu. Dalam mitigasi letusan G. Galunggung diperlukan pemantauan dan penyelidikan, untuk memprediksi aktivitasnya dimasa datang. Upaya pendekatan lain secara statistik perlu dilakukan pula untuk mengetahui hubungan antara kegempaan yang merusak (skala besar) dengan aktivitas letusan G. Galunggung, sehubungan lokasi pusat gempa yang berdekatan (gempa 2/11/ 1979; 16/4/1980; 2/9/2009 dan 10/01/ 2010). Bukit Sepuluh Ribu yang berada diantara G. Galunggung dan Kota Tasikmalaya dapat berfungsi sebagai tanggul alam yang melindungi kota dari bahaya awan panas dan lahar. Namun adanya pengambilan pasir dan pembangunan pengembangan kota mengarah ke kumpulan bukit, perlu kiranya dilakukan konservasi wilayah bukit tersebut yang difungsikan sebagai daerah resapan air atau paru-paru kota/taman Kota dan atau sebagai lokasi wisata alam yang terpadu. Kata Kunci: G. Galunggung, kawah tapal kuda, erupsi, longsoran, Bukit Sepuluh Ribu, tanggul alam, taman kota.
Pendahuluan Gunung Galunggung salah satu gunungapi aktif tipe A berlokasi di sebelah barat laut Kota Tasikmalaya, posisi puncaknya pada 108o,04’ BT dan 07o15’ LS, yang di kenal oleh masyarakat saat ini karena letusannya yang terakhir cukup menarik dan menghebohkan dunia dengan beberapa kali letusannya secara periodik hampir setiap minggu selama 9 bulan, tepatnya mulai hari senin 5 April 1982 sampai dengan Pebruari 1983, letusan itu masih teringat pada benak setiap orang yang saat ini umurnya sudah diatas 35 tahunan (foto 1). Foto 1. Foto satelit Kabupaten Tasikmalaya dan G. Galunggung (google)
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2010: 25-32
Hal :25
G. Galunggung, Konservasi Wilayah Bukit Sepuluh Ribu, Peran dan Fungsinya Terhadap Kota Tasikmalaya (Isya Nurrahmat Dana)
Letusan yang tercatat pertama dalam sejarah aktifitasnya adalah letusan tahun 1822, kemudian tahun 1894, dengan beberapa kali letusan, berlangsung hanya beberapa hari saja, dan pembentukan kubah lava tahun 1918, yang berlangsung beberapa minggu, sedangkan letusan terakhirnya terjadi pada periode tahun 1982-1983, yang membuat masyarakat Tasikmalaya menjadi panik (foto 2). Letusan-letusan yang tidak tercatat di dalam masa pra sejarah sebelum tahun 1822, dapat dianalisa dari data dan fakta yang ada di lapangan, berupa endapan-endapan vulkanik yang membentuk tubuh gunung tersebut, menunjukan hasil letusan pada masa pra sejarah yang tidak kalah dahsyatnya, misalnya: adanya kawah besar yang berbentuk tapalkuda, menunjukan jejak suatu letusan besar, disertai dengan longsoran vulkanik yang dahsyat, sehingga terbentuk bukit-bukit di sekitar kota Tasikmalaya yang disebut Bukit Sepuluh Ribu, (foto 3), sejarah letusan pada tabel 1.
Latar belakang permasalahan Yang jadi pertanyaan apakah dikemudian hari akan terjadi lagi suatu letusan dahsyat? Jawabannya, dengan memperhatikan data hasil endapannya dan statistik letusannya dimasa lampau yang berperiode 60 - 70 tahunan tersebut, yaitu 1822, 1894, 1918, 1982, bahwa mungkin masih akan terjadi letusan cukup dahsyat, karena sekarang lubang kepundannya sudah tersumbat kembali olrh aliran lava hasil erupsi tahun 1982.
Tabel 1. Sejarah Aktifitas G. Galunggung • Waktu tidak diketahui (>2000 tahun lalu), Terjadi letusan dahsyat terbentuknya kawah tapal kuda dan pembentukan bukit sepuluh ribu (Ten thousand hill, berjumlah 3648 bukit, Escher 1925). • Oktober 1822, tercatat letusan explosif menghasilkan awan panas mencapai > 10 km dari kawah, menelan korban 4011 jiwa dan ribuan hektar tanah pertanian terlanda. • Oktober 1894 Letusan explosif tidak ada korban jiwa, ribuan hektar tanah pertanian terlanda. • Juli 1918 Erupsi effusif, pembentukan kubah lava Gunung Jadi di dalam kawah. • 5 April 1982 – Januari 1983 letusan explosif berkali kali setiap minggu. Abu mencapai Australia dan 2 pesawat terbang mendarat darurat akibat abu letusannya (35.000 mengungsi, ribuan hektar tanah pertanian rusak. Diakhiri pembentukan sindercone dan sumbat lava di dalam kawah, yang terjadi pada periode Januari Februari 1983. (Kusumadinata K. 1979 , dan Katili J.A & Sudradjat A. 1984).)
Foto 2. Letusan G. Galunggung tahun 1982, abunya mencapai 10 km tingginya, dan sebarannya sampai Australia (Foto PVMBG).
Hal :26
Foto 3. Panorama G. Galunggung yang indah merupakan tubuh gunungapi yang sudah terpotong kearah pengambilan foto, membentuk kawah tapal kuda dengan kolam ikan di bawah kandang ayam (Foto. Heri Supartono).
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2010: 26-32
G. Galunggung, Konservasi Wilayah Bukit Sepuluh Ribu, Peran dan Fungsinya Terhadap Kota Tasikmalaya (Isya Nurrahmat Dana)
Data Lapangan Memperhatikan dan menganalisa data, bahwa: G. Galunggung selalu meletus cukup dahsyat dan menghasilkan aliran-aliran awan panas, piroklastik jatuhan dan hujan abu yang lebat, biasanya diakhiri dengan adanya lava, yang membentuk kubah lava, aliran lava didalam kawah atau hanya menyumbat lubang kawah. Pada letusan tahun 1982, yang cukup lama dan cukup dahsyat itu tidak menimbulkan korban terkena letusan secara langsung, adapun yang terjadi adalah korban luka secara tidak langsung akibat kepanikan masyarakat saat melakukan evakuasi, misalnya kecelakaan di jalan raya. Keadaan demikian dikarenakan saat letusan G. Galunggung 1982 tidak terjadi letusan terarah sebagaimana letusan tahun 1894. Awan panas yang membahayakan hanya sampai daerah Kp. Sinagar 5 km dari kawah dan masyarakat sudah menyadari bahaya yang akan ditimbulkan oleh letusan tersebut. Masyarakat menghindar dengan cara mengungsi menjauhi daerah yang terkena dampak letusan tersebut. Selain itu Pemerintah Daerah sangat memperhatikan keselamatan masyarakatnya dengan melakukan mitigasi penanggulangan bencana yang terkoordinasi antar instansi yang sangat baik di masa itu. Pemerintah Pusat melakukan pemantauan dan pengamatan gunungapi, Pembuatan tanggultanggul pengelak aliran lahar agar lahar tersebut tidak merusak dan tidak meluas, hanya beberapa kampung yang terlanda awan panas dan lahar G. Galunggung. Letusan G. Galunggung 1982 diawali dengan tahap penghancuran kubah lava Gunung Jadi dan sumbat lava di kepundannya, selama sembilan bulan. Letusan ini sangat kuat berupa letusan tipe plinian, dengan tinggi letusan mencapai 10 – 15 km yang sebaran abunya cukup jauh hingga ke Australia. Setelah lubang kepundan terbuka, terjadilah letusan-letusan kecil tipe strombolian yang berlangsung beberapa minggu, kemudian terbentuk kerucut sinder yang diakhiri dengan aliran lava di dalam kawah tersebut (Katili J.A & Sudradjat A. 1984). Karena air hujan dan air meteorik
berlimpah di sekitar puncak G. Galunggung dan dasar kawah cukup kedap air, sehingga kawah tersebut terisi air membentuk danau kawah, (foto 4).
Foto 4. Kawah G. Galunggung tampa terisi air membentuk danau dan di tengah berbentuk pulau kecil kerucut sinder 1982 (Foto Heri Supartono).
Untuk memprediksi dan menganalisa data statistik dari sejarah kegempaan dan letusan G. Galunggung kita mencoba menghubungkannya barangkali ada kaitannya antara gempabumi tektonik yang merusakan daerah Tasikmalaya dan sekitarnya yang terjadi 3 tahun sebelum letusan G. Galunggung 1982, yaitu gempa tektonik 1979 dan 1980. Maka untuk itu apakah gempabumi yang terjadi 2 September 2009 berpengaruh pada aktivitas G. Galunggung dimasa mendatang. Sejarah letusan G.Galunggung periode panjang antara 60 – 70 tahun dan periode pendek 20 - 30 tahun. Bila kita mengacu pada pengalaman letusan tahun 1982, berarti letusan terjadi setelah 3 tahun gempabumi besar di Tasikmalaya yang lokasi pusat gempanya ternyata berdekatan dengan gempa yang terjadi 2 september 2009, diperkirakan bila lempeng kerak bumi yang bergerak itu sama, ada kemungkinan dalam waktu dua (2) atau tiga (3) tahun mendatang G. Galunggung akan meningkat aktivitasnya, hanya aktifitas itu termasuk periode istirahat yang pendek yaitu antara 20 – 30 tahun, sampai saat ini sudah beristirahat > 27 tahun. Namun bila peningkatan aktivitasnya terjadi dalam periode pendek ini mungkin sama halnya dengan aktivitas erupsi tahun 1918 yaitu
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2010: 27-32
Hal :27
G. Galunggung, Konservasi Wilayah Bukit Sepuluh Ribu, Peran dan Fungsinya Terhadap Kota Tasikmalaya (Isya Nurrahmat Dana)
terbentuknya kubah lava Gunung Jadi, yang mana kegiatannya identik dengan pembentukan kubah lava di G. Kelud tahun 2007. Tetapi itu semua hanyalah hitungan spekulasi tanpa alasan dan argumentasi kuat, kecuali dilakukan penelitian lebih seksama untuk mempelajari hubungan antara gempa tektonik dengan letusan gunungapi. Perspektif aktifitas G. Galunggung dimasa datang Akankah terjadi letusan lagi? Dan Kapan? Berdasarkan data, bahwa: G. Galunggung sering meletus dahsyat (explosif) dan menghasilkan aliran-aliran awan panas, piroklastik jatuhan dan hujan abu lebat, biasanya diakhiri dengan adanya lava, yang membentuk kubah, aliran lava didalam kawah atau sumbat lava di lubang kepundan, (disusul dengan lahar bila hujan turun). Erupsi (letusan) adalah proses alam yang sifatnya berulang, dikarenakan G. Galunggung berada di dalam jalur gunungapi yang masih aktif (volcanic arch) dan selama belum ada perubahan yang berarti mungkin perulangan masih dapat terjadi. Waktu istirahat erupsi G. Galungggung adalah 60-70 tahunan (periode panjang) dan periode pendeknya 20-30 tahunan. Kegempaan merusak (skala besar) bila dihubungkan dengan Erupsi G. Galunggung, adalah : Tabel 2. Gempa Tektonik di Tasikmalaya dan Letusan G. Galunggung Gempa tektonik Tasikmalaya
Selang waktu
Letusan G.Galu nggung
? ? ? 1979 & 1980 (6,4 SR)
3 tahun
1822 1894 1918 1982
2009 (7,3 SR) 2010 (5,4 SR)
3 tahun ?
Waktu istirahat
72 tahun 24 tahun 64 tahun
2012 > 27 tahun (kapan ?)
Lokasi pusat gempabumi merusak di Tasikmalaya tahun 1979, 1980, 2009 dan 2010, pada derajat bujur dan lintang yang hampir sama (berdekatan), yaitu: 8,6 LS-107,8 BT ; 8,25 LS-108,8 BT ; 8,24 LS-107,32 BT dan 8,02 LS – 107,91 BT. Kemungkinan besar berada pada lempeng yang sama. (Supartoyo & Surono 2008, dan Portal VSI). Seandainya dimasa mendatang G. Galunggung giat tentu diawali dengan adanya peningkatan kegempaan, bila terjadi erupsi diawali dengan aktifitas hydrothermal seperti letusan freatik dan freatomagmatik, kemudian letusan dahsyat beberapa kali dan diakhiri dengan aliran lava berupa sumbat atau kubah lava seperti kejadian pembentukan kubah lava G. Jadi 1918, atau lava hasil erupsi 1982. Ini akan mengikuti kaidah aktifitas vulkanik yang mana setiap Gunungapi bererupsi (meletus) diawali dengan kegempaan vulkanik, namun tidak semuanya peningkatan kegempaan harus diikuti letusan, bisa berhenti karena energinya (tenaganya) tidak cukup, namun periode pendek G. Galunggung tahun 1918 tidak ada letusan besar hanya terjadi letusan freatik kemudian strombolian dan pembentukan kubah, mirip dengan pembentukan kubah tahun 2007 di G. Kelut. Bukit Sepuluh Ribu dan Fungsinya Bukit-bukit yang tersebar di sebelah tenggara G. Galunggung, yang mengarah dan hingga kota Tasikmalaya terutama di sebelah barat laut kota, merupakan onggokan batuan atau bagian dari tubuh G. Galunggung yang roboh bersamaan dengan terjadinya suatu letusan yang dahsyat, yang terjadi ribuan tahun lalu. Bukit-bukit tersebut dinamai Bukit Sepuluh Ribu (Ten Thousand Hils). Kota Tasikmalaya berada pada kawasan perbukitan sepuluh ribu tersebut, dan konon kabarnya nama Tasikmalaya ini berasal dari kata “Keusik Ngalayah” yang artinya pasir bertebaran dimana-mana, atau bisa pula berasal dari kata Tasik yang artinya danau, yang mana di sekitar Tasikmalaya ini subur dengan air sehingga banyak sekali kolam-kolam tempat memelihara ikan darat, yang sudah menjadi tradisi
(Supartoyo & Surono 2008, dan Portal VSI). Hal :28
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2010: 28-32
G. Galunggung, Konservasi Wilayah Bukit Sepuluh Ribu, Peran dan Fungsinya Terhadap Kota Tasikmalaya (Isya Nurrahmat Dana)
masyarakat terutama di pedesaan yang selalu ada kolam dihalaman rumah. Kumpulan bukit yang berada diantara kota Tasikmalaya dan G. Galunggung ini, merupakan onggokan bebatuan hasil erupsi G. Galunggung masa lalu, karena letusannya cukup dahsyat dan lubang kepundannya berpindah sehingga sebagian tubuh Gunungapi tersebut runtuh membentuk bukit-bukit yang disebut bukit sepuluh ribu. Beberapa ahli mengajukan model mekanisma terbentuknya “Kumpulan Bukit Sepuluh Ribu “ itu. Pertama adalah Escher (1925), seorang akhli geologi zaman Belanda, mengemukakan bahwa terbentuknya Bukit Sepuluh Ribu adalah akibat longsoran sebagian dari tubuh gunungapi, karena adanya air dalam danau kawahnya melimpas (over flow) dan menjebol dindingnya di saat terjadi erupsi, menyebabkan runtuhnya sebagian dinding kawah bagian tenggara, yang semakin lebar dan membesar karena banjir bandang dan erosi kuat, sehingga terbentuklah bukit sepuluh ribu. MT. Zen (1967) berpendapat bahwa terbentuknya bukit sepuluh ribu ini akibat erupsi yang dahsyat namun tidak mengemukakan bagaimana mekanisme pembentukannya, hanya mendeskripsikan bahwa bukit-bukit yang berada di tengah kumpulannya mempunyai ketinggian lebih tinggi dan makin besar, terdistribusi semakin besar di bagian tengahnya dan kumpulan bukit hasil erupsi seperti ini disebut kumpulan bukit tipe Galunggung. A. D. Wirakusumah (1982) mengemukakan bahwa mekanisme pembentukan bukit sepuluh ribu ini dikarenakan adanya aktifitas erupsi yang terarah ke sebelah tenggara dan mengakibatkan pula bagian tubuh gunungapi (dinding kawah) runtuh keluar didorong oleh letusan terarah tadi (arah letusan berpindah) sehingga masih tampak sisa kawah utama yang ada di puncak, dan yang menjadi media pembawanya adalah ”pyroclastic flow” (awan panas), jadi tidak berpengaruhnya unsur air. Dalam Geologi Gunung Galunggung (Sutikno Bronto, 1983), mendeskripsikan mekanisme pembentukan bukit sepuluh ribu akibat dari longsoran besar karena runtuhnya
bagian tubuh G. Galunggung bersamaan dengan terbentuknya kawah tapal kuda disebabkan oleh berpindahnya titik erupsi yang menyamping (menghasilkan letusan terarah).
Gambar 1. Sketsa penampang dari G. Galunggung ke arah Tasikmalaya
Bukit Sepuluh Ribu yang berada diantara kota Tasikmalaya dan G. Galunggung merupakan onggokan bebatuan atau bukit-bukit yang terdistribusi cukup luas dengan sebarannya berbentuk kipas aluvial dengan garis tengah 10 km, seluas kira-kira 70 km2, seperti terlihat pada gambar 2, bila dilihat posisinya dapat berfungsi sebagai tanggul alam yang akan melindungi kota Tasikmalaya dari ancaman aliran awan panas G. Galunggung, seandainya terjadi letusan terarah. Dengan demikian perlu kiranya pemerintah untuk mengkonservasikan kawasan perbukitan tersebut. Bukit-bukit yang rimbun dengan pepohonan yang tinggi dapat berfungsi pula sebagai paru-paru kota atau taman-taman kota atau dapat pula berfungsi sebagai daerah resapan air, karena disekelilingnya masih terdapat pesawahan yang sangat subur (foto 5, dan 6).
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2010: 29-32
Hal :29
G. Galunggung, Konservasi Wilayah Bukit Sepuluh Ribu, Peran dan Fungsinya Terhadap Kota Tasikmalaya (Isya Nurrahmat Dana)
Tabel 3. Besaran bukit dan jumlahnya yang dihitung Escher 1925. 0–10 m 2571
Gambar 2 . Sebaran Kumpulan Bukit Sepuluh Ribu di Tasikmalaya (Escher 1925).
G. Galunggung
1020m 722
2030m 244
3040m 77
4050m 26
5060m 6
6070m 2
jumlah 3648
Kemudian bila kita perhatikan keadaan bukit sepuluh ribu yang ada di sekitar Tasikmalaya ternyata sudah diperhitungkan menjadi penghalang / tanggul alam pada peta Kawasan Rawan Bencana G. Galunggung, yang menunjukan aliran lahar atau KRB 1 yang mengarah ke tenggara sudah terhalang oleh kumpulan bukit sepuluh ribu. Tampak beberapa aliran lahar yang masih dapat menerobos menuju kota Tasikmalaya. Untuk konservasi wilayah ”Bukit Sepuluh Ribu” harus di prioritaskan pada daerah-daerah dimana aliran lahar menerobos tersebut, seperti pada sungai Cihideung dan sungai Ciloseh yang mengalir menuju kota Tasikmalaya. Kalau pengambilan pasir mengarah ke penggalian Bukit-bukit itu, tentu aliran lahar dapat mengancam Kota Tasikmalaya, bila terjadi letusan lagi.
Kumpulan Bukit Sepuluh Ribu
Gambar 3. Peta Kawasan Rawan Bencana G. Galunggung, kumpulan bukit sepuluh ribu berada pada daerah lingkaran, dan wilayah kota sekarang pada kotak.
Escher (1925) membagi besaran bukitbukit menjadi beberapa kategori, yaitu mulai dari yang paling pendek antara 0 -10 m hingga 60 – 70 m, dan total jumlah bukit tersebut adalah : 3648 buah bukit (tabel 3). Dengan sebarannya terlihat pada gambar 2, yang berada di tengah kumpulan bukit tersebut menunjukan ketinggiannya relatif paling tinggi.
Hal :30
Foto 5. Bukit Sepuluh Ribu, hasil longsoran vulkanik, di sekitar kota Tasikmalaya dikelilingi pesawahan, (foto Isya N.Dana).
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2010: 30-32
G. Galunggung, Konservasi Wilayah Bukit Sepuluh Ribu, Peran dan Fungsinya Terhadap Kota Tasikmalaya (Isya Nurrahmat Dana)
sepuluh ribu
G. Galunggung
Foto 6. Salah satu bukit hasil longsoran G. Galunggung masa lampau yang hampir habis digali, yang sangat perlu dikonservasikan (Foto Isya N.Dana).
Wisata Bukit Sepuluh Ribu Dengan berkembangnya penduduk khususnya di Tasikmalaya, maka pemerintahanpun berkembang menjadi Pemerintahan Kabupaten dan Pemerintahan Kota Tasikmalaya. Kebutuhan akan lahan pemukiman ataupun sarana dan prasarana lainnya turut berkembang, misalnya dibangunnya gedung pemerintahan, jalan ”by pass” yang membentang dari Indihiang ke arah Sambongpari, dibangunnya kawasan terminal dan bangunan pasar yang baru untuk menunjang sarana perekonomian dan lainnya. Aktifitas atau kegiatan G. Galunggung tidak melihat dan tidak memperhatikan pemerintahannya, bila sudah saatnya bererupsi tidak akan bertanya apakah pemerintahan atau penduduk siap atau tidak. Untuk keselarasan pembangunan dan perkembangan tersebut perlu kiranya pemikiran yang positif tanpa mengurangi maksud dan tujuan pembangunan dan perkembangan Kota / Kabupaten Tasikmalaya, yaitu pemikiran untuk membangun kawasan wisata sambil mengkonservasikan kawasan Bukit Sepuluh Ribu ini, yang mana kawasan itu banyak manfaatnya bagi penduduk Kota Tasikmalaya.
Foto 7. Salah satu danau yang cukup besar (Situ Gede) di Tasikmalaya sebagai tempat wisata, diantara bukit sepuluh ribu dengan latar belakang G. Galunggung, tempat ini masih perlu dikembangkan menjadi kawasan wisata terpadu (Foto Risnandar).
Kumpulan Bukit Sepuluh Ribu yang cukup baik dan masih tampak agak utuh terbentang dari desa Bantar, Situgede, Mangkubumi dan Cipari atau berdekatan dengan Balai Kota dan terminal bus yang baru. Kawasan ini sebagian dapat dikonservasikan sebagai kawasan yang utuh dan atau dijadikan kawasan wisata yang dapat dilengkapi dengan berbagai kegiatan, baik kegiatan bermain anakanak atau orang tua, misalnya kegiatan olahraga memanjat tebing, “motocross”, lapangan olahraga, kereta gantung, gedung pertunjukan dan sarana-sarana saintifik lainnya untuk menunjang kemajuan dibidang pendidikan, serta sarana lainnya yang menunjang untuk keperluan pariwisata, seperti: Hotel, kuliner, cindera mata khas Tasikmalaya dan lain-lain. Tempat yang sudah menjadi kawasan wisata antara lain di daerah Situ Gede. (foto 7), daerah ini termasuk dalam wilayah Kota Tasikmalaya. Perluasan daerah pemukiman dan pembangunan gedung, baik tempat usaha ataupun pembangunan supermarket / pasar, gedung pemerintahan dan terminal masih mengarah ke penggalian bukit – bukit (dengan meratakan bukit-bukit), berarti usaha dan upaya dari pemerintah Kota Tasikmalaya untuk mengkonservasikan Bukit Sepuluh Ribu ini belum tampak.
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2010: 31-32
Hal :31
G. Galunggung, Konservasi Wilayah Bukit Sepuluh Ribu, Peran dan Fungsinya Terhadap Kota Tasikmalaya (Isya Nurrahmat Dana)
Kesimpulan Perlunya dilakukan penyelidikan dan penelitian yang lebih koprihensif dalam mempelajari hubungan antara kegempaan yang merusak (skala besar) dan berpusat di wilayah Tasikmalaya selatan, terhadap aktifitas letusan G. Galunggung, hanya mungkin akan memerlukan waktu yang cukup panjang. Konservasi Bukit Sepuluh Ribu sangat diperlukan mengingat perkembangan Kota yang semakin luas, sehingga bukit-bukit tersebut sudah banyak berkurang, terutama di kawasan sepanjang sungai Cihideung dan Ciloseh yang alirannya mengarah ke Kota (pemukiman padat). Bukit – bukit yang berada di wilayah kota sebaiknya di konservasikan dijadikan taman-taman kota atau taman-taman wisata yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan paru-paru kota.
Daftar Pustaka: Bronto, S. ,1982, Geologi G. Galunggung, Procedings PIT XI Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Jakarta 8 – 9 Desember 1982. pp. 7 – 15. Escher, B.G. 1920, L’Eruption du Gounoung Galounggoung en Juillet 1918, Natuurk. Tijdschr. Nederl.Ind, 80, pp. 260-264 ---------, 1925, L’Eboulement prehistorique de Tasikmalaya et le volcan Galounggoung (Java) , Leid. Geol. Meded. 1, pp 8 -21.
Hal :32
Katili, J.A. and Sudradjat, A. 1984, Galunggung, The 1982 – 1983 Eruption, Volcanological Survey of Indonesia, Directorate General of Geology and Mineral Resources, Department of Mines and Energy, Republic of Indonesia. Kusumadinata, K. , 1979, Galunggung, Data Dasar Gunungapi Indonesia, p. 178 – 189, Direktorat Vulkanologi Bandung. Portal Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, tahun 2010, portal.vsi.esdm.go.id/joomla/ Supartoyo dan Surono, 2008, Katalog Gempa Bumi Merusak di Indonesia Tahun 1629 – 2007, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Wirakusumah A.D. 1981. Laporan Kemajuan I Pemetaan Geologi Daerah G. Galunggung, Jawa Barat, (Direktorat Vulkanologi, Bandung. Wirakusumah A.D. 1982. Perbukitan Sepuluh Ribu di Tasikmalaya. Berita Geologi, 14, (23), 211-213. Zen, M.T., 1969, The Occurence of Hill Swarms and Wave Like Undulations Around Some Indonesian Volcanoes, Bull. Natl. Inst, Geol. & Mining Bandung, 2 (3) p. 41 - 49.
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 5 Nomor 1, Januari 2010: 32-32