TESIS
FUNGSI NOTARIS DALAM MENJAMIN KEABSAHAN SURAT KUASA KHUSUS GUGATAN PENGADILAN YANG DIBUBUHI DENGAN CAP JEMPOL SEBAGAI PENGGANTI TANDA TANGAN
I MADE MULYAWAN SUBAWA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
TESIS
FUNGSI NOTARIS DALAM MENJAMIN KEABSAHAN SURAT KUASA KHUSUS GUGATAN PENGADILAN YANG DIBUBUHI DENGAN CAP JEMPOL SEBAGAI PENGGANTI TANDA TANGAN
I MADE MULYAWAN SUBAWA N.I.M : 1192462013
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
FUNGSI NOTARIS DALAM MENJAMIN KEABSAHAN SURAT KUASA KHUSUS GUGATAN PENGADILAN YANG DIBUBUHI DENGAN CAP JEMPOL SEBAGAI PENGGANTI TANDA TANGAN
Tesis untuk memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
I MADE MULYAWAN SUBAWA N.I.M : 1192462013
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI KENOTARIATAN PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 14 DESEMBER 2013
PEMBIMBING I
PEMBIMBING II
Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S. NIP. 19530914 1979031 002
Dr. I Dewa Made Suartha, S.H., M.H. NIP. 19571212 198601 001
Mengetahui
Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana Universitas Udayana
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.H. NIP. 19650221 199003 1 005
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S. (K) NIP. 19590215 198510 2 001
iii
TESIS INI TELAH DIUJI PADA TANGGAL : 12 DESEMBER 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor : 3355/UN14.4/HK/2013 Tanggal: 10 Desember 2013
Ketua
: Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H., M.S.
Anggota
:
1. Dr. I Dewa Made Suartha, S.H., M.H. 2. Prof. Dr. I Ketut Mertha, S.H., M.Hum 3. Prof. Dr. I Wayan Parsa, S.H., M.Hum 4. Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya, SH., M.H.
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan di bawah ini: Nama
: I MADE MULYAWAN SUBAWA
NIM
: 1192462013
Program Studi
: Magister Kenotariatan
Judul Tesis
: FUNGSI NOTARIS DALAM MENJAMIN KEABSAHAN SURAT KUASA KHUSUS GUGATAN PENGADILAN YANG DIBUBUHI DENGAN CAP JEMPOL SEBAGAI PENGGANTI TANDA TANGAN
Dengan ini menyatakan dengan sebenarnya bahwa karya ilmiah tesis ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 9 Desember 2013 Yang membuat pernyataan
(I Made Mulyawan Subawa)
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kuasa dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Fungsi Notaris Dalam Menjamin Keabsahan Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan Yang Dibubuhi Dengan Cap Jempol Sebagai Pengganti Tanda Tangan”, Tesis ini jauh dari sempurna, dengan segala kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang membangun bagi penyempurnaan tesis ini. Besar harapan penulis agar tesis ini dapat memenuhi kriteria sebagai salah satu syarat meraih gelar Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. Penulisan tesis ini tidak akan terwujud tanpa bantuan serta dukungan dari para pembimbing dan berbagai pihak. Untuk itu melalui tulisan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, S.H.,
M.S., selaku Pembimbing I dan Dr. I Dewa Made Suartha,S.H., M.H., selaku Pembimbing II yang telah meluangkan banyak waktu diantara kesibukan beliau untuk
membimbing penulis, memberikan dorongan, semangat, serta nasehat-nasehat selama penulis menyelesaikan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD, selaku Rektor Universitas Udayana beserta staff atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan studi di lingkungan Universitas Udayana. Terima kasih juga ditujukan kepada Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K), selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang
vi
sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairacana, S.H., M.H., selaku Dekan Fakultas Hukum dan kepada Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H., M.H. selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan, atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana. Terima kasih juga penulis tujukan kepada Bapak dan Ibu Dosen pengajar yang telah memberikan ilmunya, beserta seluruh staf administrasi dan perpustakaan yang telah membantu penulis selama proses perkuliahan dan proses penyusunan tesis ini. Para senior dan seluruh teman-teman Angkatan III Mandiri yang telah memberikan banyak bantuan, semangat, dan rasa persaudaraan yang tinggi selama penulis melaksanakan perkuliahan dan penyusunan tesis di lingkungan Program Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Udayana Teristimewa ucapan terima kasih penulis kepada Ayahanda (alm) dan Ibunda tercinta yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan dengan penuh kasih sayang. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada istri dan anak-anak tercinta yang selalu memberikan pengertian, kasih sayang serta doanya. Terima kasih juga kepada seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Akhirnya, besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama para pemerhati hukum perdata pada umumnya dan ilmu kenotariatan pada khususnya. Atas segala bantuan dan jasa baik yang telah Bapak, Ibu dan rekan-rekan berikan, penulis menghaturkan terima kasih.
Denpasar, 9 Desember 2013 Penulis
vii
ABSTRAK FUNGSI NOTARIS DALAM MENJAMIN KEABSAHAN SURAT KUASA KHUSUS GUGATAN PENGADILAN YANG DIBUBUHI DENGAN CAP JEMPOL SEBAGAI PENGGANTI TANDA TANGAN Dalam praktiknya sering kali terjadi akta yang disahkan oleh notaris dipersoalkan, adakalanya akta tersebut mendapatkan gugatan di muka pengadilan. Penyebabnya adalah akibat dari kelalaian yang dilakukan oleh notaris sendiri, atau karena tidak tegasnya aturan yang mengatur sehingga peranan notaris menjadi tidak tepat sasaran. Salah satu pengesahan yang wenang dilakukan oleh seorang notaris adalah mengenai pembubuhan cap jempol dalam surat kuasa khusus gugatan pengadilan, terkait dengan hal tersebut isu hukum yang diungkapkan dalam tulisan ini beranjak dari norma kabur pada Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang tidak secara tegas mengatur penggunaan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan dalam pembuatan akta, sehingga dirumuskan masalah secara yuridis mengenai fungsi notaris dalam pembuatan surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan dan keabsahan surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan. Metode penelitian yang dipakai dalam penelitian ini meliputi ; jenis penelitian adalah penelitian hukum yang bersifat normatif, jenis pendekatan adalah deskriptif analisis dengan pendekatan juridis normatif, yaitu dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach); pendekatan konsep (conseptual approach) pendekatan kasus (case apporah), dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pembubuhan cap jempol dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak pernah diatur secara tegas namun dalam prakteknya sering diartikan sama dengan penandatanganan. Apabila surat kuasa khusus untuk bertindak di pengadilan berbentuk akta di bawah tangan yang dibubuhi cap jempol, maka akta tersebut harus dilegalisasi, Waarmerking yang biasa dilakukan dalam praktek peradilan terhadap akta yang bercap jempol bermakna sama dengan registrasi yaitu memberi kepastian tanggal (date certain) pendaftaran di Notaris, sehingga kurang tepat jika diterapkan pada penghadap yang buta huruf. Sedangkan legalisasi memberikan kepastian tanda tangan, tanggal, dan isi akta, serta mendapatkan penjelasan dari seorang notaris mengenai isi dan maksud dari surat kuasa khusus tersebut dibuat. Dengan demikian maka akta itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Ketentuan ini harus dipertegas dalam UUJN sebagai panduan bagi para notaris dalam menangani klien yang tidak mampu membubuhkan tanda tangannya karena mengalami buta huruf. Kata kunci: Fungsi notaris, cap jempol, surat kuasa khusus gugatan pengadilan. viii
ABSTRACT
NOTARIAL FUNCTION IN ENSURING THE VALIDITY OF A SPECIAL POWER OF ATTORNEY COURT LAWSUITS STAMPED WITH THUMBPRINT AS A REPLACEMENT OF SIGNATURE
In practice, it is often that a legalized deed which is made by a notary being an issue, the deed sometimes gets a lawsuit in court. The cause of this is the negligence of committed by the notary himself, it could also be happened because of the rules does not specifically set up so that the role of a notary is not well targeted. One of the attestation authorities by a notary is about affixing the thumbprint in special power of attorney of prevailing in judiciary. Therefore, the legal issues described in this paper depart from the norm blurred of Article 44 paragraph (1) of Law Number 30 Year 2004 concerning the Notary not expressly regulate the use of thumbprint as a replacement of signatures in deed, so that formulated juridical problems regarding the notarial function in making a special power of attorney court lawsuits stamped with thumbprint as a replacement of signature and the validity of special power of attorney court lawsuits stamped with thumbprint as a replacement of signature. The methodology research used in this study included: types of the research is a normative legal research, type of approach is a descriptive analysis of the normative juridical approach, i.e. rapprochement of law (statute approach); rapprochement of concept (conceptual approach) rapprochement of case (case approach), by doing the study of those cases relating to the issues that have faced a court decision having permanent legal force. The conclusion is affixed thumbprint in the legislation is never set expressly, but in practice it is often synonymous with the signing. If the special power of attorney to act in the courts is in the form of deed under hand with thumbprint, then the deed should be legalized. Waarmerking that commonly used in practice of justice going toward to the deed with thumbprint have same meaning with the date of registration which is to give certainty date (certain date) enrollment in Notary, it make less precise when the applied parties are illiterate.Whereas, legalization is providing certainty signature, date, and contents of the deed, also get an explanation of a notary about the contents and the purpose of the special power of attorney made. Therefore, the deed has perfect strength authentication. This provision must be asserted in UUJN as a guide for notaries in dealing with clients who are not able to affix his signature due to illiteracy.
Keywords: Function notary, thumbprint, special power of attorney court lawsuits. ix
RINGKASAN Tesis ini menganalisis tentang fungsi notaris dalam menjamin keabsahan surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tandatangan. Bab I menguraikan latar belakang masalah tentang adanya putusan yang berbeda terhadap pengesahan notaris atas surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan. Sedangkan yang menjadi pedoman bagi seorang notaris yaitu Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris tidak secara tegas mengaturnya. Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut maka pada sub bab ini diuraikan mengenai rumusan permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, landasan teoritis dan metode penelitian yang digunakan. Bab II sebagai penjabaran dari kajian pustaka yang membahas mengenai fungsi notaris dalam pembuatan surat kuasa khusus yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan, kajian pustaka yang dibahas meliputi empat sub bab, pertama mengenai tinjauan umum tentang Notaris, kedua mengenai tinjauan umum tentang cap jempol dalam pembuatan akta, ketiga mengenai tinjauan umum tentang surat kuasa, dan yang keempat mengenai tinjauan umum surat gugatan pengadilan. Bab III merupakan hasil penelitian dan pembahasan terhadap rumusan permasalahan pertama yang diuraikan dalam tiga sub bab, pertama menguraikan tentang kedudukan Notaris terhadap akta yang dibuat sesuai dengan syarat formil, kedua mengenai hubungan Notaris dengan para penghadap dan akta yang dibuatnya, dan yang ketiga mengenai kewenangan Notaris dalam pembuatan surat kuasa khusus gugatan pengadilan. Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan rumusan permasalahan kedua yang diuraikan dalam empat sub bab, pertama membahas mengenai fungsi tanda tangan dalam pembuatan akta, kedua mengenai pembubuhan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan, ketiga mengenai kekuatan pembuktian akta dibawah tangan yang disahkan Notaris, keempat mengenai pertanggungjawaban Notaris atas akta yang dilegalisir, dan kelima mengenai pengesahan surat kuasa khusus gugatan pengadilan. Bab V sebagai bab pentutup yang menguraikan mengenai simpulan dan saran. Adapun simpulan pembahasan di atas adalah : Dalam hal pembuatan surat kuasa khusus yang berlaku di pengadilan, notaris berwenang membuat surat kuasa khusus dalam bentuk akta autentik maupun memberikan pengesahan terhadap surat kuasa khusus yang dibuat dibawah tangan. Terhadap surat kuasa khusus yang dibubuhi dengan cap jempol oleh seorang buta huruf, baik dalam bentuk akta autentik maupun di bawah tangan harus dilegalisasi karena legalisasi memberikan kepastian tanda tangan, tanggal, dan isi akta dijelaskan atau dibacakan oleh notaris, sehingga mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Waarmerking yang biasa digunakan kurang tepat diterapkan pada klien yang buta huruf karena yang bersangkutan tidak dapat membaca sehingga belum tentu mengerti dengan isi atau maksud dan tujuan dari pembuatan akta tersebut. Warmerking hanya semakna x
dengan registrasi yaitu memberi kepastian tanggal (date certain) pendaftaran di Notaris. Ketentuan mengenai legalisasi terhadap surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai tanda tangan agar dipertegas dalam UUJN sebagai pedoman yang pasti bagi para notaris dalam menangani klien yang tidak mampu membubuhkan tanda tangan karena yang bersangkutan buta huruf. Sebagai saran dalam penelitian ini adalah Dalam Rancangan Perubahan UUJN nantinya agar pengaturan tentang pengesahan pembubuhan cap jempol oleh seorang buta huruf dalam akta atau surat kuasa khusus yang berlaku di pengadilan secara jelas diatur sehingga fungsi notaris selain sebagai pejabat pembuat akta autentik mempunyai pedoman yang pasti. Dengan demikian maka pihak yang tidak mampu menanda tangani akta yang dibuatnya karena tidak mampu membaca dan menulis mendapatkan kepastian hukum. Ke depan perlu dipertimbangkan pula mengenai pemakaian cap jempol dalam pembuatan akta, karena ditinjau dari aspek kepastian hukum sebenarnya memiliki kekuatan pembuktian yang lebih baik, mengingat cap sidik jari seseorang lebih sulit dipalsukan dibandingkan dengan tanda tangan.
xi
DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DEPAN SAMPUL DALAM ................................................................................................
i
PRASYARAT GELAR.........................................................................................
ii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ...................................................................
iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ..................................................................
v
UCAPAN TERIMA KASIH ................................................................................
vi
ABSTRAK ..............................................................................................................
viii
ABSTRACT .............................................................................................................
ix
RINGKASAN.........................................................................................................
x
DAFTAR ISI ..........................................................................................................
xii
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................................
1
1.1. Latar Belakang Masalah ................................................................................
1
1.2. Rumusan Masalah ..........................................................................................
15
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................
15
1.3.1 Tujuan Umum ......................................................................................
15
1.3.2 Tujuan Khusus .....................................................................................
16
1.4. Manfaat Penelitian ..........................................................................................
16
1.4.1 Manfaat Teoritis ...................................................................................
16
1.4.2 Manfaat Praktis .....................................................................................
17
1.5. Landasan Teoritis.. ..........................................................................................
17
xii
1.6. Metode Penelitian ...........................................................................................
35
1.6.1 Jenis Penelitian ....................................................................................
37
1.6.2 Jenis Pendekatan ...................................................................................
38
1.6.3 Sumber Bahan Hukum .........................................................................
39
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ..................................................
41
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ...........................................................
42
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS, CAP JEMPOL, SURAT
KUASA
KHUSUS
DAN
SURAT
GUGATAN
PENGADILAN .....................................................................................
44
2.1. Tinjauan Umum Tentang Notaris ...................................................................
44
2.1.1 Pengertian Notaris ................................................................................
44
2.1.2 Kewenangan, Kewajiban dan Larangan bagi Notaris ........................
52
2.2. Tinjauan Umum Tentang Cap Jempol Dalam Pembuatan Akta ..................
63
2.3. Tinjauan Umum Tentang Surat Kuasa ..........................................................
65
2.3.1 Pengertian Pemberian Kuasa ...............................................................
65
2.3.2 Pembatasan, Pelaksanaan dan Berakhirnya Surat Kuasa ...................
74
2.3.4 Surat Kuasa Khusus Yang Berlaku Di Pengadilan ............................
78
2.4. Tinjauan Umum Tentang Surat Gugatan Pengadilan....................................
80
BAB III SURAT KUASA KHUSUS GUGATAN PENGADILAN YANG DIBUBUHI
DENGAN
CAP
JEMPOL
SEBAGAI
PENGGANTI TANDA TANGAN .....................................................
83
3.1. Kedudukan Notaris Terhadap Akta Yang Dibuat Sesuai Dengan Syarat Formil ............................................................................................................... xiii
83
3.2. Hubungan Notaris dengan Para Penghadap Dan Akta Yang Dibuatnya .....
87
3.3. Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan ........................................................................................................
95
BAB IV PENGESAHAN NOTARIS ATAS SURAT KUASA KHUSUS GUGATAN PENGADILAN YANG DIBUBUHI DENGAN CAP JEMPOL SEBAGAI PENGGANTI TANDA TANGAN .....
112
4.1. Fungsi Tanda Tangan Dalam Pembuatan Akta .............................................
114
4.2. Pembubuhan Cap Jempol Sebagai Pengganti Tanda Tangan .......................
119
4.3. Kekuatan Pembuktian Akta Di Bawah Tangan Yang Disahkan Oleh Notaris ..............................................................................................................
126
4.4. Pertanggungjawaban Notaris Atas Akta yang Dilegalisir ............................
129
4.5. Pengesahan Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan .................................
132
BAB V PENUTUP .................................................................................................
136
5.1. Simpulan................................................................................... ....................
136
5.2. Saran........................................................................................ .....................
137
DAFTAR PUSTAKA
xiv
BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG MASALAH Dewasa ini perkembangan dunia kenotariatan di Indonesia mengalami kemajuan yang cukup menggembirakan. Hal ini dapat dilihat dari bertambah banyaknya jumlah notaris yang berpraktek. Perkembangan ini akan membuat masyarakat memiliki banyak pilihan dan dapat lebih selektif dalam menentukan siapa notaris yang ditunjuk menangani akta yang dibuatnya. Produk hukum yang dikeluarkan oleh notaris adalah berupa akta-akta yang memiliki sifat autentik dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Sebagaimana definisi akta autentik yang disebutkan dalam Pasal 1868 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata, yang selanjutnya disebut KUHPerdata: “Suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya.” Menurut S.J. Fockema Anreae, dalam
bukunya “Rechts geleerd
Handwoorddenboek”, kata akta itu berasal dari bahasa latin “acta” yang berarti geschrift atau surat.1 Ulntuk dapat digolongkan sebagai akta suatu surat harus ada tanda tangannya. Sebagaimana yang diisyaratkan dalam Pasal 1869 KUHPerdata, bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai 1
S.J. Fockema Andreae, Rechtgeleerd Handwoorddenboek, 1951, Bij J.B. Wolter Uitgeversmaat,N.V. Gronogen, Jakarta, hal. 9. 1
2 dimaksud di atas sebagaimana Pasal 1868 KUHPerdata atau karena suatu cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta autentik namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak. Sektor pelayanan jasa publik semakin berkembang seiring dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat atas pelayanan jasa. Hal ini berdampak pula pada peningkatan di bidang jasa notaris. Peran notaris dalam sektor pelayanan jasa adalah sebagai pejabat yang diberi kewenangan oleh negara untuk melayani masyarakat di bidang hukum. Sebagai pejabat yang dilantik oleh negara dan mengemban tugas dalam hal keperdataan, wajib mentaati payung hukum yang ada, dalam hal ini tunduk pada aturan khusus yang mengatur tentang bagaimana sebaiknya notaris melaksanakan tugas dan kewenangannya. Dalam menjalankan fungsinya seorang notaris wajib berpedoman pada Undang - Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris selanjutnya disebut UUJN. Kehidupan masyarakat dalam pelayanan jasa publik erat kaitannya dengan kebutuhan untuk mendapatkan kepastian hukum. Terkait dengan hal tersebut, landasan filosofis dibentuknya UUJN adalah terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum. Terwujudnya ketiga hal tersebut berintikan kebenaran dan keadilan melalui akta yang dibuatnya. Notaris harus dapat memberikan kepastian hukum kepada masyarakat pengguna jasa notaris. 2 Produk hukum yang dikeluarkan oleh notaris adalah berupa akta-akta yang
2
http://www.wawasanhukum.blogspot.com, Biro Humas dan HLN. Hasbullah, 3 Juli 2007, Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum,. diakses tanggal 21 April 2013.
3 memiliki sifat autentik dan memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna bagi kedua belah pihak, ahli warisnya atau orang-orang yang mendapatkan hak daripadanya. Dengan kata lain, isi akta autentik dianggap benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan. Akta autentik mempunyai 3 macam kekuatan pembuktian, yaitu: 1) Kekuatan pembuktian formil:
Membuktikan
kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap pada saat yang tercantum dalam akta sesuai dengan prosedur yang ditentukan dalam pembuatan akta; 2) Kekuatan pembuktian materiil: Membuktikan antara para pihak, bahwa benar-benar peristiwa yang tersebut dalam akta telah terjadi; 3) Kekuatan mengikat: Membuktikan antara para pihak dan pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut dalam akta yang bersangkutan telah menghadap dan menerangkan apa yang ditulis dalam akta tersebut. 3 Seorang Notaris di era keterbukaan informasi seperti sekarang ini sudah seharusnya memiliki keterampilan dan kecakapan yang lebih baik. Keterampilan dan kecakapan yang dimaksud tidak saja terampil terkait dengan salah satu tugasnya merangkai kalimat dalam akta autentik. Selain itu harus memiliki kecakapan dalam hal mengantisipasi hal-hal yang mungkin dapat menjeratnya ke ranah pelanggaran hukum. Pelanggaran yang dimaksud akibat dari kelalaiannya dalam menuangkan maksud dari para pihak ke dalam akta. Disamping itu, ada hal yang tidak kalah pentingnya yaitu memenuhi ketentuan undang – undang dalam 3
Habieb Adjie, 2008, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Rafika Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie I), hal. 72.
4 pembuatan akta autentik maupun akta dibawah tangan yang memerlukan pengesahan dari seorang notaris, mengengingat bukti tertulis sangat penting artinya dalam dunia peradilan di Indonesia. Indonesia sebagai negara bekas jajahan Belanda menganut sistem hukum sebagaimana yang diwariskan oleh Belanda yaitu sistem hukum Eropa Kontinental. Berarti, peran notaris sebagai pejabat pembuat akta otentik mempunyai andil yang besar dalam sistem hukum ini. Notariat seperti yang dikenal di zaman „Republik der Verenigde Nederlanden‟ mulai masuk pada permulaan abad ke-17 di Indonesia. Pada tahun 1620, Melchior Kerchem, diangkat sebagai notaris pertama di Indonesia. 4 Sebagai penganut sistem hukum Eropa Kontinental maka pembuktian utamanya yaitu pada bukti tertulis, berbeda dengan negara – negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon seperti di Amerika Serikat misalnya, mereka mengenal Notary public tapi tidak menjalani pendidikan sebagai yurist dan menjabat dalam jangka waktu tertentu, selain itu kewenangan notary public tersebut tidak lebih dari pembuatan certificates dan tugasnya hanya sejauh membubuhkan stempel dan tandatangannya saja. Sebagai alat bukti, kekuatannya tidak mengikat dan berada di bawah keterangan saksi. Hukum pembuktian dalam sistem hukum Anglo-Saxon, kepercayaan terhadap bukti tulisan digantungkan pada pembuktian dengan keterangan saksi. 5
4
R. Soegondo Notodisoerjo 1993, Hukum Notariat Di Indonesia Suatu Perjalanan, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 22. 5 Herlien Budiono, 1998, Akta Otentik Dan Notaris Pada Sistem Hukum Anglo-Saxon Dan Sistem Hukum Romawi, Percikan Gagasan Tentang Hukum Ke-III Kumpulan Karangan Ilmiah Alumni FH Unpar, Mandar Maju,Bandung, hal. 104.
5 Akta yang dibuat di hadapan notaris di Indonesia dalam praktiknya sering kali dipermasalahkan di pengadilan, adakalanya seorang notaris dijadikan saksi bahkan mendapatkan gugatan di muka pengadilan. Penyebabnya adalah akibat dari kelalaian yang dilakukan oleh notaris sendiri, bisa juga disebabkan secara tidak langsung yang dilakukan oleh orang lain. Apabila masalah yang timbul akibat dari kelalaian notaris dalam memenuhi ketentuan undang – undang maka akan berakibat akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktiaan sebagai akta di bawah tangan atau bahkan menjadi batal demi hukum. Sebagai pejabat umum, dalam melaksanakan fungsinya seorang notaris diharapkan mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat umum dengan sebaik-baiknya. Senantiasa berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku adalah mutlak bagi seorang notaris. Notaris tidak saja berwenang membuat akta autentik, juga berwenang mengesahkan akta dibawah tangan yang dibuat oleh para pihak. Pasal 1875 KUHPerdata mengatur bahwa suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui. Tulisan tersebut memberikan hak terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka. Dengan demikian berlakulah ketentuan Pasal 1871 KUHPerdata untuk tulisan itu. Tulisan tersebut merupakan bukti yang sempurna seperti suatu akta autentik. Berdasarkan Pasal 1874 KUHPerdata bahwa “Tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani dibawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan
6 rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum”. Akta dibawah tangan adalah suatu surat yang ditandatangani dan dibuat dengan maksud untuk dijadikan bukti dari suatu perbuatan hukum. Akta dibawah tangan mempunyai kekuatan bukti yang sempurna seperti akta autentik, apabila isi dan tanda tangan dari akta tersebut diakui oleh orang yang bersangkutan. Sedangkan akta autentik tidak memerlukan pengakuan dari pihak yang bersangkutan agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Pembubuhan cap jempol di atas akta belum dapat dikatakan sebagai pengganti tanda tangan apabila pembubuhannya dilakukan tanpa pengesahan dari pejabat berwenang. Kewenangan notaris terhadap pengesahan pembubuhan cap jempol diatur pada Pasal 44 ayat (1) UUJN yang berbunyi “Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan Notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya. Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas dalam akta”. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa pembubuhan cap jempol dapat dipakai sebagai pengganti tanda tangan. Akan tetapi pembubuhan cap jempol bukanlah merupakan satu-satunya cara yang dapat dilakukan bagi mereka yang tidak dapat menandatangani akta yang dibuatnya. Rumusan
pasal
dalam
UUJN
yang
mengisyaratkan
pengecualian
penandatanganan tidak secara tegas menyebutkan bahwa cap jempol atau cap sidik jarilah yang digunakan selain tanda tangan, tidak dibubuhi dengan cap jempolpun suatu akta jika dijelaskan alasannya oleh notaris maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian layaknya akta autentik.
7 Penggunaan cap jempol diatur dalam ketentuan BW (Burgerlijk Wetboek) Pasal 1874 ayat 2 (toeg. Stbl. 16-42; gew. 19-603 dan 775) seperti dikutip oleh Tan Thong Kie, menyatakan: Med de onderteekening van een onderhandsch geschrift wordt gelijkgesteld een daaronder gestelde vingerafdruk gewaarmerkt door een gedagteekende verklaring van eenen notaris of eenen anderen bij ordonnantie aan te wijzen ambtenaar, waaruit blijkt, dat hij den stelfer van den vingerafdruk kent, of dat deze hem bekend gemaakt is, dat de inhoud der akte aan den steller van den vingerafdruk kent, of dat deze hem bekend gemaakt is, dot de inhoud der akte aan den steller van den vingerafdruk duidelijk is voorgehouden, en dat daarna de vingerafdruk in tegenvoordigheid van den ambtenaar is gesteld. De ambtenaar boekt het geschrift. Diterjemahkan oleh Soebekti sbb: Dengan penandatanganan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang tertanggal dari seorang notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang, dari mana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol, atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan di hadapan pegawai tadi. Pegawai ini harus membukukan tulisan tersebut. 6 Ketentuan di atas menunjukkan bahwa pembubuhan cap jempol dapat dipakai sebagai pengganti tanda tangan, akan tetapi belum sepenuhnya mengatur bahwa cap jempol dapat menggantikan tanda tangan, melainkan hanya dipersamakan dengan akta di bawah tangan jika telah disahkan oleh pejabat berwenang. Dengan kata lain pembubuhan cap jempol dapat mengakibatkan kedudukan akta otentik terdegradasi menjadi akta di bawah tangan. Hal ini menandakan bahwa dalam hukum perdata pembubuhan cap jempol tidak dapat disamakan dengan tanda tangan, oleh karenanya memerlukan pengesahan sehingga mempunyai kekuatan pembuktian di pengadilan. Pada umumnya cap jempol dibubuhkan sebagai pengganti tanda tangan karena yang bersangkutan 6
Tan Thong Kie, 2007, Serba Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, (selanjutnya disebut Tan Thong Kie I), hal 480.
8 buta huruf sehingga tidak mampu menandatangani akta yang dibuatnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa di Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari buta huruf. Sebagaimana dirilis oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Nonformal, dan Informal (Ditjen PAUDNI). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bahwa di tahun 2011 jumlah penduduk Indonesia yang berusia 15-59 tahun yang masih buta aksara ada 6,7 juta orang. Sebanyak 2,3 juta orang adalah laki-laki dan 4,4 juta perempuan. 7 Tan Thong
Kie
dalam bukunya
“Serba-Serbi Praktek
Notaris”
mengungkapkan bahwa di luar negeri umumnya orang sudah lebih maju dan dapat membubuhkan tanda tangan, maka mereka boleh dikatakan tidak terdapat lagi sidik jari di atas akta perjanjian. Di luar negeri sidik jari hanya ada dan diperlukan apabila orang itu segan memberitahukan identitasnya, yaitu penjahat-penjahat dalam hal melakukan aksinya; di Indonesia baik dalam akta maupun dalam hal kejahatan.8
Notaris juga berperan dalam pembuatan surat kuasa bagi seseorang
yang ingin mewakilkan kepada seorang pengacara di hadapan pengadilan. Bagi pemberi kuasa buta huruf dapat membubuhkan cap sidik ibu jari atau cap jempolnya. Setelah cap jempol tersebut disahkan oleh
seorang notaris atau
pejabat yang berwenang lainnya, barulah seorang pengacara dapat mewakili kepentingan pemberi kuasa di hadapan pengadilan. Kententuan Pasal 123 Herzien Inlandsch Reglement, yang selanjutnya disebut HIR mengisyaratkan bahwa yang dimaksud dengan kuasa disini haruslah berupa kuasa khusus, yakni perjanjian
7
http://www.paudni.kemdikbud.go.id / anggaran-bantuan - rp4801 -miliaruntuk -daerah-terpadat-buta-aksara/ diakses pada tanggal 21 April 2013. 8 Tan Thong Kie I, Op cit., hal 481.
9 pemberian kuasa yang diberikan oleh seorang lastgever kepada si kuasa untuk melaksanakan salah satu kepentingan tertentu dari kepentingan si lastgever. Hal ini berbeda dengan kuasa umum yang memberikan kewenangan kepada si kuasa untuk mengurusi kepentingan si principal secara umum. Surat kuasa khusus yang akan dipakai untuk mewakili pemberi kuasa terdapat pada Pasal 123 HIR tetapi tidak mengatur mengenai bagaimana surat kuasa khusus gugatan di pengadilan itu harus dibuat, Pasal 123 HIR hanya menyatakan bahwa surat kuasa khusus tersebut berbentuk tertulis (semacam surat). Kata Surat dalam hukum perdata dapat dipersamakan dengan akta. Oleh karena itu surat kuasa khusus tersebut dapat dibuat dengan berbagai bentuk akta. Dalam bentuk autentik surat kuasa khusus tersebut mempunyai bentuk sebagai berikut : 1) Surat kuasa khusus yang dibuat dihadapan notaris dengan dihadiri oleh principal atau pemberi kuasa dan si penerima kuasa. Namun demikian sebenarnya surat kuasa khusus tersebut mempunyai bentuk yang bebas (vrijk vorm), tidak harus berbentuk akta notaris; 2) Surat kuasa khusus yang dibuat di depan panitera pengadilan yang sesuai dengan kewenangan relative. Kemudian akta yang dibuat di depan panitera itu harus dilegalisir oleh kepala pengadilan negeri agar akta tersebut sah menjadi suatu akta yang autentik. Surat kuasa khusus dalam bentuk akta dibawah tangan dibuat antara si principal atau pemberi kuasa dan penerima kuasa tanpa perantara pejabat yang berwenang yang ditanda tangani kedua belah pihak dan mencantumkan tanggal penandatanganan. Namun sebenarnya akta dibawah tangan yang dibubuhi cap jempol dapat juga digunakan sebagai surat kuasa khusus karena akta yang
10 dibubuhi cap jempol itu memenuhi syarat formal hanya saja pada akta yang dibubuhi cap jempol harus dilegalisir dan didaftarkan sesuai dengan Stb. 1916 no 46, hal ini ditegaskan di dalam putusan MA no 272 k/pdt/1983, dan ditegaskan kembali dalam putusan MA no 3332 k/pdt/1991. Hal ini berbeda dengan akta yang ditandatangi karena akta yang ditandatangani tidak harus di legalisir dan hal tersebut adalah sesuatu yang legal binding sesuai dengan Putusan MA no 779 k/pdt/1992. Mengenai kewenangan Notaris dalam melakukan legalisir ini dalam prakteknya ternyata memerlukan kehati-hatian dan kecermatan sehingga tidak berakibat cacat hukum pada akta tersebut di kemudian hari. Seperti yang terjadi pada surat kuasa khusus yang dibuat di hadapan Notaris di Blora pada tanggal 25 Agustus 2008 dan dilegalisir dengan No.04/Leg/2008. Mahkamah Agung dalam putusannya bernomor: 1040 K/Pdt/2010, pada hari Kamis tanggal 30 September 2010, mengabulkan permohonan kasasi dari para pemohon kasasi yaitu membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Blora No.207/Pdt/2009/PT.Smg., tanggal 25 Agustus 2009 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Blora No.24/Pdt.G/2008/PN.Bla., tanggal 9 Pebruari 2009. Salah satu dari eksepsi pemohon yang dikabulkan adalah mengenai ketidak absahan cap jempol yang dibubuhkan dalam surat kuasa termohon yang telah dilegalisir oleh notaris tersebut. Sebagai perbandingan dengan kasus di atas, pada persidangan berbeda di tahun 2008, yang memperkarakan obyek sengketa berupa sebidang tanah milik Putusan Mahkamah Agung Nomor: 9 K/Pdt/2008 dalam perkara tersebut tidak
11 mengabulkan eksepsi pemohon kasasi yang salah satunya mempermasalahkan pengesahan cap jempol oleh notaris yang dibubuhkan sebagai pengganti tanda tangan pada surat kuasa khusus. Padahal notaris hanya me-waarmerking cap jempol tersebut. Ini berarti bahwa surat kuasa bercap jempol yang diwaarmerking dianggap sah dan tidak cacat hukum. Dari 2 (dua) kasus di atas menggambarkan bahwa ada dua pendapat yang berbeda di kalangan pengadilan dan notaris sendiri dalam menyikapi surat kuasa khusus yang bercap jempol. Selama ini memang ada dua pendapat yang berkembang tentang surat kuasa khusus yang dibubuhi cap jempol oleh pemberi kuasa yang buta huruf. Hal ini diungkapkan oleh Sudikno Mertokusumo, pendapat pertama beragumentasi bahwa
upaya waarmerking tersebut lazim di lingkungan peradilan, demikian pula ulasan dalam kepustakaan yang ada selama ini. Sedangkan pendapat kedua berpendapat bahwa untuk surat kuasa yang demikian tidak cukup dengan waarmerking, tetapi harus dengan legalisasi. 9 Pembubuhan cap jempol dalam surat kuasa khusus adalah jalan keluar bagi mereka yang tidak mampu membubuhkan tanda tangan. Akan tetapi jika menyimak dari kasus yang telah disampaikan di atas, dalam dunia peradilan di Indonesia masih terdapat kesalah pahaman terhadap bagaimana seharusnya seorang notaris dalam mengesahkan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan oleh seorang yang buta huruf. Sedangkan UUJN sebagai pedoman bagi notaris mengisyaratkan
9
pengecualian
bagi
para
penghadap
yang
tidak
dapat
Sudikno Mertokusumo, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ketiga, Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), hal. 118.
12 membubuhkan tanda tangan tapi tidak menyebutkan bahwa cap jempol dapat dipakai sebagai pengganti tanda tangan dan bagaimana sebaiknya cap jempol tersebut disahkan. Norma kabur pada Pasal 44 ayat (1) UUJN dikaitkan dengan kasus-kasus yang telah diuraikan di atas melatar belakangi penulis sehingga tertarik untuk mengangkat tema tersebut ke dalam suatu Penulisan Hukum (Tesis) yang berjudul: “FUNGSI NOTARIS DALAM MENJAMIN KEABSAHAN SURAT KUASA KHUSUS GUGATAN PENGADILAN YANG DIBUBUHI DENGAN CAP JEMPOL SEBAGAI PENGGANTI TANDA TANGAN”. Berdasarkan hasil penelusuran penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang menyangkut masalah “Fungsi Notaris Dalam Menjamin Keabsahan Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan Yang Dibubuhi Dengan Cap Jempol Sebagai Pengganti Tandatangan”, tidak ditemukan Tesis maupun karya tulis lainnya dengan judul yang sama. Namun dapat dibandingkan dengan 2 (dua) penelitian yang mengangkat permasalahan mengenai cap jempol dalam akta notaris, yaitu: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Yosril A., SH. pada tahun 2006 dari Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, dengan judul “Aspek Hukum Pembubuhan Cap Ibu Jari/Cap Jempol Dalam Pembuatan Akta Autentik”, menggunakan metode pendekatan yuridis empiris, dengan rumusan masalah: Apakah pembubuhan cap ibu jari/cap jempol dapat diartikan sama dengan penandatanganan dan apakah pembubuhan cap ibu jari/cap jempol mempunyai akibat hukum dalam pembuatan suatu akta autentik. Simpulan dari tesis ini adalah: 1) Pembubuhan cap ibu jari/cap jempol dapatlah dikatakan sama
13 dengan pembubuhan tanda tangan, hanya saja harus tegaskan dalam akta sebab-sebab pembubuhan cap ibu jari/cap jempol dilakukan; 2) Akibat hukum yang ditimbulkan oleh tindakan pembubuhan cap ibu jari/cap jempol dalam pembuatan akta Notariil maupun akta Pejabat Pembuat Akta Tanah adalah sama dengan akibat hukum yang ditimbulkan oleh pembubuhan tanda tangan. 2. Penelitian Hadi Suwignyo di Tahun 2009 dari Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang. Dengan judul “Keabsahan Cap Jempol Sebagai Pengganti Tanda Tangan Dalam Pembuatan Akta Autentik”, menggunakan metode penelitian yuridis normatif, Permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini
adalah: Apakah cap
jempol dapat menggantikan tanda tangan dalam pembuatan akta autentik dan apakah akibat hukum pembubuhan cap jempol dalam pembuatan suatu akta autentik. Simpulannya adalah : 1) Pembubuhan cap jempol atau ibu jari dalam pembuatan akta autentik khususnya dalam pembuatan akta notaris tidak dapat dipersamakan dengan pembubuhan tanda tangan, oleh karena dalam UndangUndang Jabatan Notaris telah ditegaskan bahwa akta notaris harus ditanda tangani dan apabila para penghadap tidak dapat membubuhkan tanda tangan maka
harus
dijelaskan alasannya
dengan jelas, keterangan
tentang
penandatangan ini dimuat dalam akhir akta. Dengan demikian tidak diperlukan pembubuhan cap jempol. Namun dalam pembuatan akta oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah, cap jempol atau ibu jari dibubuhkan sebagai pengganti tanda tangan. 2) Suatu akta tidak akan kehilangan otensitasnya apabila para penghadap tidak membubuhkan tanda tangannya, sepanjang
14 keadaan tersebut dijelaskan dalam akta, sehingga apabila penghadap tidak membubuhan cap jempol atau ibu jari sebagai pengganti tanda tangan dalam pembuatan akta autentik tidak akan membawa akibat hukum akta tersebut kehilangan otensitasnya. Akta tersebut tetap sah secara hukum dan tetap memilki nilai sebagai akta autentik walaupun tidak dibubuhkan cap jempol atau ibu jari sebagai pengganti tanda tangan; 3) Pembubuhan cap jempol atau ibu jari merupakan suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri terjadi dalam praktek hukum sehari-hari termasuk dalam praktek notaris, mengingat sampai saat ini bangsa dan negara kita yang tercinta ini belum bebas secara penuh dari buta huruf. Sehingga saudara-saudara kita yang tidak bisa membaca dan menulis, biasanya akan membubuhkan cap jempol atau ibu jari sebagai pengganti tanda tangannya. Namun bukan berarti pembubuhan cap jempol atau ibu jari tersebut dapat diartikan sebagai pengganti tanda tangan secara hukum dalam pembuatan akta autentik. Ketentuan untuk menjelaskan bahwa terdapatnya penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dalam pembuatan akta autentik harus dijelaskan dalam akta harus dipatuhi notaris, apabila ketentuan tersebut dilanggar maka akta tersebut dapat kehilangan otensitasnya; 4) Untuk tidak menimbulkan tafsir hukum yang berbeda dalam penggunaan cap jempol atau ibu jari untuk pembuatan akta autentik, penulis menyarankan agar hal tersebut dijelaskan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan demi terciptanya kepastian hukum. Menurut penulis cap jempol apabila telah diatur secara jelas penggunaannya sebagai pengganti tanda tangan akan lebih baik, mengingat apabila ditinjau dari aspek kepastian
15 hukum cap jempol atau ibu jari sesungguhnya lebih memiliki kepastian oleh karena cap jempol/ibu jari/sidik jari dari setiap orang adalah berbeda sehingga tidak dapat dipalsukan, hal ini berbeda dengan tanda tangan yang dapat ditiru dan berubah-ubah. Dalam dua penelitian terdahulu telah menjawab rumusan masalah tentang keabsahan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan dan akibat hukum dari pembubuhan cap jempol tersebut dalam akta notaris. Sedangkan dalam tesis ini penulis mengungkapkan permasalahan yang berbeda yaitu fungsi notaris dalam pembuatan surat kuasa gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tandatangan dan keabsahan surat kuasa tersebut. Persamaan permasalahan yang dikemukakan terletak pada cap jempol atau cap sidik jari yang dipakai sebagai pengganti tanda tangan dalam akta yang dibuat di hadapan notaris.
I.2. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan atas uraian dari latar belakang masalah tersebut di atas, menimbulkan masalah hukum yang dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.
Apa fungsi Notaris dalam pembuatan surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan?
2.
Bagaimana keabsahan surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan?
16 I.3. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1.3.1. Tujuan Umum Secara umum yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah bertujuan untuk mengembangkan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process (ilmu sebagai proses), dengan paradigma ini ilmu tidak akan pernah mandeg (final) dalam penggaliannya atas kebenarannya di bidang obyeknya masing-masing. Dalam hal ini penulis ingin mengetahui lebih mendalam mengenai fungsi notaris dalam menjamin keabsahan surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan. 1.3.2. Tujuan Khusus Di samping tujuan umum tersebut di atas, penelitian ini secara spesifik diharapkan mampu : 1.
Untuk mengetahui dan mengkaji fungsi notaris dalam pembuatan surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan, yang berlaku di lembaga peradilan.
2.
Untuk mengetahui dan mengkaji keabsahan surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan, yang berlaku di lembaga peradilan.
17 1.4. MANFAAT PENELITIAN Penulis
berharap
penelitian
ini
dapat
memberi
manfaat
bagi
pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. Adapun kontribusi bagi kedua aspek tersebut, yaitu : 1.4.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, referensi atau bahan bacaan tambahan bagi mahasiswa fakultas hukum. Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dan menjadi sumbangan pemikiran bagi pengembangan substansi disiplin ilmu hukum, terutama di bidang kenotariatan, dalam hal pembuatan surat kuasa khusus yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan, yang berlaku di lembaga peradilan. 1.4.2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan pemikiran serta khasanah penelitian ilmu hukum yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan lembaga yang terkait di dalamnya serta masyarakat dan pihak yang terkait dalam mengambil keputusan selanjutnya. Diharapkan
dapat
memberikan
sumbangan
bagi
hukum
positif
dan
memberikan pemikiran untuk dijadikan bahan pertimbangan bagi notaris dalam pembuatan surat kuasa khusus yang melibatkan pihak yang ingin membubuhkan cap jempol untuk keperluan di lembaga peradilan.
18 1.5. LANDASAN TEORITIS Landasan Teoritis merupakan landasan berfikir yang bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Begitu pula landasan teori berfungsi sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian. Dalam setiap penelitian selalu harus disertai dedngan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan pengumpulan, pengolahan, menganalisis serta mengkonstruksi bahan-bahan hukum. Adanya perbedaan pandangan dari berbagai pihak terhadap suatu objek, akan melahirkan teori-teori yang berbeda, oleh karena itu dalam suatu penelitian termasuk penelitian hukum, pembatasan-pembatasan (kerangka) baik teori maupun konsepsi merupakan hal yang penting agar tidak terjebak dalam polemik yang tidak terarah. ”Pentingnya kerangka konsepsional dan landasan atau kerangka teoritis dalam penelitian hukum, dikemukakan juga oleh Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, bahkan menurut mereka kedua kerangka tersebut merupakan unsur yang sangat penting 10. “Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktifitas penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori”
11
. ”Teori merupakan serangkaian asumsi, konsep, defenisi
dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto dan Mahmudji I), hal.7. 11 Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, (selanjutnya disebut Serjono Soekanto I), hal. 6.
19 cara merumuskan hubungan antar konsep” 12 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati, dan dikarenakan penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif, maka landasan teori diarahkan secara khas ilmu hukum, maksudnya penelitian ini berusaha untuk memahami kebijakan hukum terhadap keabsahan cap jempol yang dibubuhkan dalam surat kuasa khusus yang dibuat dihadapan notaris. Diperlukan landasan teoritis sebagai pisau analisis dalam menjawab rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas. Adapun konsep dan teori - teori yang digunakan adalah teori fungsi, teori kepastian hukum, teori perlindungan hukum, teori legitimasi, dan teori keabsahan. 1.5.1. Teori Fungsi Menurut Ridwan HR, pengertian fungsi adalah lingkungan kerja yang terperinci dalam hubungannya secara keseluruhan. Fungsi-fungsi dinamakan jabatan. Jabatan adalah suatu lembaga dengan lingkup pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang. 13 Fungsi dapat disebutkan jabatan, menurut pendapat N.E Algra dan H.C.J.C. Janssen dalam Ridwan HR sebagai :”Een ambt is een anstituut met eigen werkkring waaraan bij de instelling duurzaam en welomschreven taak en bevoegdheden zijn verleend”.14 (jabatan adalah suatu lembaga dengan lingkup
12
Ashofa Burhan, 1996, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta,
hal. 19. 13
Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, Grafindo Persada, Jakarta, hal 73. 14 Ibid.
20 pekerjaan sendiri yang dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang). Wewenang sangat erat kaitannya dengan kewajiban dan tanggung jawab. Menurut Max Weber dalam Taliziduhu, mengatakan bahwa wewenang adalah kekuasaan yang sah. Ada tiga macam tipe ideal wewenang, pertama wewenang tradisional, kedua karismtik, dan ketiga legal rasional. Wewenang yang terakhir inilah menjadi basis wewenang pemerintahan. 15 Pendapat dari Bernard dalam Taliziduhu mengungkapkan mengapa perintah atau aturan dari pihak yang berwenang ditolak atau diterima, kerangka pemikiran itu akhirnya bermuara pada prinsip bahwa pengguanaan wewenang harus dipertanggungjawabkan. Jika wewenang terkait dengan tanggung jawab, maka kewajiban terkait dengan hak, berkaitan pula dengan posisi atau kedudukan. Pemerintah berkewajiban melayani masyarakat karena statusnya yang memiliki kekuasaan nyata dan langsung. Kewajiban bisa lahir dari perintah, seorang yang mendapatkan tugas wajib menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Ada tiga sumber kewajiban; janji atau commitment, status, dan perintah (mandat). Janji wajib dipenuhi (penuh, total, lengkap, sempurna) ditepati dan ditunaikan. Dalam bahasa Belanda, prestatie (prestasi) berarti penunaian, pelunasan. Disebut prestasi jika berhasil menepati janji, jika tidak dianggap wanprestatie. Pemerintah berjanji (commited) tatkala ia dengan kehendaknya bebas menerima jabatan dibawah sumpah. Setiap orang atau
15
Taliziduhu Ndraha, 2003, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 1, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 85.
21 organ pemerintahan mengangkat sumpah, berikrar, berjanji, atau dilantik sebelum memangku suatu fungsi, jabatan atau tugas. 16 Tanggung jawab merupakan salah satu mata rantai terpenting yang menghubungkan perintah, janji (commitment), dan status dengan percaya dalam hubungan pemerintahan. Sumber teori tentang tanggung jawab yang diungkapkan dalam Taliziduhu, salah satunya lahir dari pendapat Herbert J Spiro, yang mengatakan bahwa Responsibility dapat diartikan sebagai accountability (perhitungan), sebagai obligation (kewajiban), dan sebagai cause (penggerak, acts).17 Accountibility menunjukkan sejauh mana seorang pelaku pemerintahan terbukti mampu menjalankan tugas atau perintah yang diamanatkan kepadanya, menurut cara, alat, dan tingkat pencapaian sasaran yang telah ditetapkan, terlepas dari persoalan, apakah ia menyetujui perintah itu atau ia merasakan terpaksa, dipaksa, harus atau karena tiada pilihan, dan dalam pada itu ia harus menerima resikonya. Obligation atau obligativeness menunjukkan sejauh mana seorang pelaku pemerintahan menepa ti, menunaikan, dan memenuhi janji (pledge, commitment, sense of duty) yang lahir dari kesepakatannya kepada Tuhan, alam, masyarakat dan dirinya sendiri, hingga pada suatu saat sedia menunaikan kewajiban-kewajiban yang lahir atau akibat dari status (kedudukan, posisi) sebagai pemerintah dan sejauh mana bersedia memikul sanksi, dampak atau risikonya. Cause atau causativeness menunjukkan sejauh mana tingkat kepedulian yang menggerakkan seorang pelaku pemerintahan terlepas dari (tinggi-rendah) statusnya atau jabatannya, untuk bertindak atas inisiatif sendiri (Freies ermessen, 16 17
Ibid, hal. 86-88. Ibid
22 discretion) berdasarkan pilihan bebas (free will) dalam menghadapi suatu masalah atau perubahan, dan siap menanggung segala resiko atau akibatnya. 18 Seorang notaris sebagai pejabat umum yang dilantik oleh pemerintah dalam melayani masyarakat diharapkan mampu menempatkan fungsinya sesuai dengan tugas, wewenang dan tanggung jawabnya sehingga dapat memenuhi keinginan para pihak dengan tetap berpegang teguh pada peraturan perundangundangan dan kode etik yang berlaku. Jika dikaitkan dengan relevansi dari teori fungsi dengan penelitian ini terletak pada bagaimana seorang notaris menyadari bahwa wewenangnya bukanlah sekedar membuat akta autentik, melainkan kewenangan lainnya yang diatur oleh undang-undang. Dalam pembuatan surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan, seorang notaris wenang memberikan pengesahan dengan tepat, sehingga apa yang dibuat memenuhi ketentuan perundang-undangan dan yang lebih penting lagi adalah dapat dipakai sebagaimana mestinya. 1.5.2. Teori Kepastian Hukum Menurut Radbruch sebagaimana dikutip oleh Theo Huijbers Teori Kepastian Hukum adalah : Hubungan antara keadilan dan kepastian hukum perlu diperhatikan. Oleh sebab kepastian hukum harus dijaga demi keamanan dalam negara, maka hukum positif selalu harus ditaati, pun pula kalau isinya kurang adil, atau juga kurang sesuai dengan tujuan hukum. Tetapi terdapat kekecualian, yakni bilamana pertentangan antara isi tata hukum dan keadilan menjadi begitu besar,
18
Ibid
23 sehingga tata hukum itu nampak tidak adil pada saat itu tata hukum itu boleh dilepaskan.19 Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah di putuskan20. Tujuan utama dari hukum itu ada ialah kepastian hukum, keadilan bagi sebagian besar masyarakat, dan yang terakhir memberi manfaat bagi masyarakat itu sendiri. Hukum diciptakan bukan untuk memperburuk keadaan, melainkan memberikan ketiga poin dari tujuan hukum di atas. Indonesia merupakan sebuah negara hukum, namun menurut Satjipto Rahardjo sudah enampuluh tahun lebih bangsa Indonesia bernegara hukum, tetapi sesudah negara itu berdiri pada tahun 1945, ternyata masih banyak hal yang perlu diperjelas dan dimantapkan. Negara hukum Indonesia tidak statis dan merupakan sebuah bangunan yang selesai sejak dilahirkan. Risalah ini menjawab dengan mengatakan, kita bernegara hukum untuk membuat rakyat merasa bahagia dalam negara hukum Indonesia. 21 Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu Negara Hukum (Rechsstaat/The Rule of Law). Dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, 19
Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, hal. 163. 20 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), hal 158. 21 Satjipto Rahardjo, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo I), hal 107.
24 yang menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Dalam negara hukum, negara mengakui dan melindungi hak asasi manusia setiap individu tanpa membedakan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law).22 Ada tiga aspek penting dari rule of law yang dikemukakan oleh A.V. Dicey, sebagai berikut: no man is punishable or can be lawfully made to suffer in body or goods for distinct breach of law established in the ordinary legal manner before the ordinary courts of the land in this sense, the rule of law is contransted with every system of government based on the exercise by person in outhority of wide, arbitrary, or discretionary power of constraint; no man is above the law; every man and woman, whatever be his or her rank or condition, is subject to the ordinary law of the ralm and amenable to the jurisdiction of the ordinary tribunals; and the general principles of the condition (as, for example, the right to personal liberty; or the right of public meeting) are, with us, the result of yudicial decisions determining the right of private persons in particular cases brought before the courts.23 Pernyataan Dicey mengenai tiga aspek penting rule of law memiliki pengertian bahwa aspek pertama dari rule of law yaitu tak seorangpun dapat dihukum atau secara hukum dapat dibuat menderita tubuh atau harta bendanya kecuali atas pelanggaran hukum tertentu yang tertuang dalam tata cara bukan biasa dihadapan pengadilan hukum Negara 24 Aspek kedua, yaitu tidak seorang pun berada di atas hukum, namun setiap orang apapun pangkat atau kondisinya, tunduk pada hukum biasa yang merupakan lingkup dan berada di dalam yuridiksi 22
Adnan Buyung Nasution, 2007, Bantuan Hukum, Akses Masyarakat Marginal Terhadap Keadilan (Tinjauan, Sejarah, Konsep, Kebijakan, Penerapan dan Perbandingan di Berbagai Negara), Lembaga Bantuan Hukum, Jakarta, hal. 97. 23 A.V. Dicey,1952, introduction to the study of the constitution, cet 2, terjemahan dari nurhadi, nusamedia, bandung, hal. 254-255. 24 ibid, hal. 258
25 biasa.25 Aspek Ketiga, yaitu, Konstitusi di jiwai oleh rule of law dengan alas an bahwa prinsip-prinsip umum konstitusi (misalnya terkait dengan hak kebebasan atau hak untuk mengadakan rapat) merupakan hasil dan keputusan yudisial yang menentukan hak – hak individu pada kasus-kasus tertentu yang dibawa ke pengadilan.26 Hukum perjanjian mengenal adanya asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja. Manusia atau yang dalam bahasa hukum disebut sebagai orang, adalah makhluk yang membutuhkan bantuan dari orang lain. Hidup tanpa bantuan dari 25 26
ibid, hal.259 Ibid
26 orang lain tidak akan bisa berjalan dengan baik dan tidak akan bisa tercapai. Sering kita lihat dan mungkin kita alami betapa sulitnya kita tanpa ada teman yang bisa membantu dan menemani kita, kita tidak akan bisa berinteraksi dan bersosialisasi. Makhluk individu dan makhluk sosial sangat berkaitan erat dalam kehidupan sehari-hari. Betapa pentingnya peranan masyarakat di sekitar kita sehingga perlu melakukan interaksi antara satu sama lain. Untuk itu maka diperlukan hukum, Tugas yang sangat fundamental hukum adalah menciptakan ketertiban, sebab ketertiban merupakan suatu syarat dari adanya masyarakat yang teratur. Hal ini berlaku bagi masyarakat manusia dalam segala bentuknya. Oleh karena itu pengertian manusia, masyarakat dan hukum tak akan mungkin dipisahpisahkan.27 Agar tercapai ketertiban dalam masyarakat, maka diusahakanlah untuk mengadakan kepastian. Kepastian disini diartikan sebagai kepastian hukum dan kepastian oleh karena hukum. Hal ini disebabkan karena pengertian hukum mempunyai dua segi. Segi pertama adalah bahwa ada hukum yang pasti bagi peristiwa yang kongkret, segi kedua adalah adanya suatu perlindungan hukum terhadap kesewenang-wenangan.28 Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan (rechtgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).29 Teori Kepastian Hukum dihubungkan dengan penelitian ini terkait dengan peran seorang notaris dalam memberikan kepastian hukum bagi kliennya. Seorang
27
Soerjono Soekamto, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekamto III), hal. 42. 28 Ibid. 29 Achmad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung Agung Tbk, Jakarta, hal. 85.
27 notaris hendaknya mengetahui apa yang mesti dilakukan pada saat mengesahkan surat kuasa khusus yang dibubuhi dengan cap jempol oleh pihak yang buta huruf sehingga surat tersebut dapat dipakai di pengadilan. Untuk dapat memberikan kepastian hukum, notaris berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya selain itu perlu adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan. 1.5.3. Teori Perlindungan Hukum Hukum Menurut Philipus M Hadjon Negara Indonesia sebagai Negara hukum berdasarkan Pancasila haruslah memberikan perlindungan hukum terhadap warga masyarakatnya yang sesuai dengan Pancasila. Oleh karena itu perlindungan hukum berdsasarkan Pancasila berarti pengakuan dan perlindungan hukum akan harkat dan martabat manusia atas dasar nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan serta keadilan sosial. Nilai-nilai tersebut melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wadah Negara kesatuan yang menjunjung tinggi semangat kekeluargaan dalam mencapai kesejahteraan bersama. Perlindungan hukum di dalam Negara yang berdasarkan Pancasila, maka asas yang penting adalah asas kerukunan berdasarkan kekeluargaan. 30 Hukum Menurut Philipus M Hadjon perlindungan hukum dalam kepustakaan
30
hukum
berbahasa
Belanda
dikenal
dengan
sebutan
Philipus M.Hadjon, 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. bina Ilmu, Surabaya, (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon I), hal 84.
28 rechtsbescherming
van
de
burgers.31
Pendapat
ini
menunjukkan
kata
perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa belanda, yakni rechtbescherming. Dari pengertiannya, dalam kata perlindungan terdapat suatu usaha untuk memberikan hak-hak pihak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang telah dilakukan. Philipus M hadjon menyebutkan terdapat 2 macam perlindungan hukum bagi rakyat, yaitu : a) Perlindungan Hukum Preventif yaitu kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapatkan bentuk yang definitive. Perlindungan hukum preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya suatu sengketa; b) Perlindungan hukum represif yaitu bertujuan menyelesaikan sengketa perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi pemerintah yang didasarkan kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum preventif, pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Fitzgerald seperti dikutip Satjipto Raharjo menjelaskan teori perlindungan hukum
Salmond
bahwa
hukum
bertujuan
mengintegrasikan
dan
mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan
dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. 32
Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga
31
Philipus M hadjon,1998, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II), hal.1. 32 Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Satjipto Raharjo II), hal. 53.
29 hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.33 Kata perlindungan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia berarti tempat berlindung atau merupakan perbuatan (hal) melindungi, misalnya memberi perlindungan kepada orang yang lemah. 34 Menurut Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan hukum adalah kumpulan peraturan atau kaedah yang mempunyai isi yang bersifat umum dan normative, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normative karena menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.35 Jadi perlindungan hukum adalah suatu perbuatan hal melindungi subjek – subjek hukum dengan peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku
dan
pelaksanaannya
dapat
dipaksakan dengan suatu sanksi. Teori perlindungan hukum berdasarkan UUD 1945 terdapat dalam Alinea ke empat Pemukaan UUU 1945 yang menyebutkan bahwa “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Secara teoritik, aline ke empat pembukaan UUD 1945 telah menentukan suatu teori perlindungan hukum bagi segenap bangsa Indonesia. Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat. Pada dasarnya perlindungan hukum
33
Ibid, hal. 69. WJS. Poerwadarminta, 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, (selanjutnya disebut WJS. Poerwadarminta II), hal. 600. 35 Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo II), hal 38. 34
30 merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat, dan antara perseoranan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif.36 Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. 37 Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Adapun elemen dan ciri-ciri Negara Hukum Pancasila ialah: a) Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas kerukunan; b) Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara; c) Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana terakhir; d) Keseimbangan antara hak dan kewajiban. Berdasarkan elemen-elemen tersebut, perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah diarahkan kepada: a) Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa, dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan represif; b) Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa 36
Lili Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rusdakarya, Bandung, hal. 118. 37 Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Sunaryati Hartono I), hal. 55.
31 antara pemerintah dan rakyat dengan cara musyawarah; c) Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tentram terutama melalui hubungan acaranya.38 Upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum. Meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan. Fungsi primer hukum, yakni melindungi rakyat dari bahaya dan tindakan yang dapat merugikan dan menderitakan hidupnya dari orang lain, masyarakat maupun penguasa. Di samping itu berfungsi pula untuk memberikan keadilan serta
menjadi sarana
untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Perlindungan, keadilan, dan kesejahteraan tersebut ditujukan pada subyek hukum yaitu pendukung hak dan kewajiban, tidak terkecuali kaum wanita. 39 Dihubungkan dengan penelitian ini, teori perlindungan hukum terkait dengan bagaimana seorang penghadap yang memiliki keterbatasan (buta huruf), mendapatkan perlindungan hukum atas pembubuhan cap jempol sebagai pengganti tanda yang dibubuhkan pada surat kuasa khusus yang berlaku di
38
Maria Alfons, 2010, Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal /Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang, hal. 18. 39 http://www.supanto. staff .hukum.uns .ac.id, Supanto, Perlindungan Hukum Wanita, Diakses Pada Tanggal 21 April 2013.
32 pengadilan. Mengingat para pihak atau masyarakat berhak
mendapatkan
perlindungan hukum yang lahir dari suatu ketentuan hukum yang bersifat preventif yaitu mencegah terjadinya suatu sengketa sehingga surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan dapat dipakai sebagaimana yang diharapkannya. 1.5.4. Teori Legitimasi Secara garis besar ada empat teori legitimasi yang menjadi pembenaran suatu negara, diantaranya: 1) Legitimasi Teologis; 2) Legitimasi Sosiologis; 3) Legitimasi Yuridis; 4) Legitimasi Etis/ Filosofis. 1. Legitimasi Teologis Merupakan legitimasi yang berorientasi kepada Tuhan; bernegara dianggap sebagai sebuah manifestasi pengabdian hamba terhadap Khaliqnya. Keberadaan pemerintahan dibenarkan sebagai perpanjangan tangan dari kekuasaan Tuhan yang memerintahkan hamba-Nya agar hidup teratur dalam mengabdi pada-Nya Indonesia sendiri mengakui keberadaan kemerdekaan negara sebagi rahmat Allah yang Maha Kuasa, bahwa Tuhan diinsyafi telah memberikan berkah dan rahmatnya bagi bangsa Indonesia adalah suatu contoh legitimasi teologis. 2. Legitimasi Sosiologis Legitimasi sosiologis ditandai dengan adanya suatu persetujuan sosial dimana rakyat tunduk kepada ketentuan-ketentuan negara. Persetujuan sosial ini terbentuk karena adanya kekuasaan negara; biasanya terlihat dari kenyataan politik yang menunjukkan
adanya
kekuatan
kelembagaan
negara
yang
menguasai
perikehidupannya sebagai warga negara. Sebagai contoh ialah negara dibenarkan
33 mengeluarkan ’sertifikat hak milik’ atas tanah untuk diberikan kepada warganegaranya yang telah memiliki persyaratan tertentu. 3. Legitimasi Yuridis Pembenaran yuridis (hukum) ditandai dengan adanya dasar hukum yang jelas (legalitas) atas keberadaan entitas negara. Sebagai contoh ialah Negara Republik Indonesia dengan proklamasi 17 Agustus 1945 menunjukkan keberadaannya sebagai nation-state baru yang masuk ke dalam pergaulan masyarakat hukum Internasional. Dari sudut teori kontrak, proklamasi ini adalah uniteral contract yang mendapat pengakuan dari dunia internasional sebagai subjek hukum internasional baru yang memiliki hak-hak dan kewajiban sebagai anggota masyarakat hukum internasional. Keberadaan konstitusinya, UUD 1945, menegaskan dasar yuridis eksistensi ketatanegaraannya sebagai komunitas politik yang mandiri (independen); tidak berada dibawah kedaulatan negara lain dan mampu mempertahankan kemerdekaan secara politik maupun sosiologis. Keberadaan unsur-unsur negara dan adanya pengakuan internasional menjadi dasar legitimasi konstatasi de jure bagi Republik Indonesia 4. Legitimasi Etis/ Filosofis Pendasaran keabsahan negara secara etis dapat dilihat dari pendapat Wolf dan Hegel. Pembentukan negara adalah keharusan moral yasng tertinggi (Wolf) untuk mewujudkan cita-cita tertinggi dari manusia dalam suatu entitas politik yang bernama negara (Hegel). Maka berdasarkan pendapat tesebut tindakan berkuasa negara dapat dibenarkan karena negara memang merupakan cita-cita
34 manusia yang membentuknya. Dalam konteks negara RI, secara etis keberadaan negara juga dimaksudkan untuk merealisir tujuan-tujuan etis secara kolektif. Legitimasi etis (filosofis) adalah penyempurna akhir dari kemauan dan kemampuan berkuasa. Sebanyak apapun penguasa memiliki legitimasi sebagai background kekuasaanya, legitimasi akhir dan terus terus kontinu adalah legitimasi etis-nya. Tanpa legitimasi etis kontinu yang berpihak pada kepentingan kemanusiaan, maka suatu kekuasaan pemerintahan hanya tinggal menunggu waktu untuk dijatuhkan. 40 Teori legitimasi dihubungkan dengan tulisan ini terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh notaris sebagai pejabat umum yang dilantik oleh pemerintah, merupakan kepanjang tanganan dari negara khususnya di bidang hukum perdata. Dalam jabatan yang disandang sudah semestinya seorang notaris melaksanakan tugasnya dengan berorientasi kepada Tuhan, melaksanakan ketentuan yang berlaku, memiliki dasar hukum yang jelas, dan berpihak pada kepentingan masyarakat. 1.5.4. Teori Keabsahan Teori keabsahan menurut Hadjon mensyaratkan keabsahan tindak pemerintah didasarkan pada aspek kewenangan, aspek prosedur, dan aspek substansi 41. aspek kewenangan mensyaratkan tiap tindakan pemerintahan harus
40
http:// pembelajaranhukumindonesia.blogspot.com/2011/11/teori pem benar - an - negara. html, diakses tanggal 30 September 2013. 41 Phipilus Mandiri Hadjon, 10 Oktober 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Surabaya, hal 7.
35 bertumpu atas kewenangan yang sah (atribusi, delegasi, maupun mandat) 42. Tiap kewenangan dibatasi oleh isi (materi), wilayah, dan waktu. Cacat dalam aspek – aspek tersebut menimbulkan cacat kewenangan (onbevoegdheid)43 Aspek prosedur dari teori keabsahan, bertumpu atas asas Negara hukum, asas demokrasi dan asas instrumental. Asas Negara hukum berkaitan dengan perlindungan hak-hak dasar manusia. Asas demokrasi berkaitan dengan asas keterbukaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Asas instrumental meliputi asas efisiensi (doelmatigheid, daya guna) dan asas efektivitas (loeltreffenheid, hasil guna).44 Aspek substansi menegaskan bahwa kewenangan pemerintah dibatasi secara substansial, yakni menyangkut “apa” dan “untuk apa”. Cacat substansial menyangkut “apa” merupakan tindakan sewenang-wenang, dan cacat substansial menyangkut “untuk apa” merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang45 Teori keabsahan tersebut di atas, jika dikaitkan dengan rumusan masalah dalam penelitian ini digunakan untuk dapat
memahami kewenangan
yang dimiliki oleh notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah. Notaris diharapkan mampu memberikan pelayanan yang sesuai dengan aspek kewenangannya, aspek prosedur dan aspek substansi sebagaimana dimaksud dalam teori ini. Konsep dan teori - teori yang diuraikan di atas dipergunakan untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Konsep Fungsi, Teori Legitimasi, dan Teori Keabsahan dipergunakan untuk dapat menjawab rumusan 42
Ibid Ibid, hal 9. 44 Ibid 45 Ibid, hal 10. 43
36 masalah pertama yaitu fungsi notaris dalam pembuatan surat kuasa khusus bercap jempol yang berlaku di pengadilan. Teori Kepastian Hukum dan Teori Perlindungan Hukum dipergunakan untuk dapat menjawab rumusan masalah kedua, yaitu keabsahan surat kuasa khusus bercap jempol yang berlaku di pengadilan. Alasan penggunaan teori - teori tersebut yang pertama untuk mengetahui bagaimana fungsi notaris dalam pembuatan akta dibawah tangan, khususnya dalam hal peran dan kewenangan notaris dalam pembuatan surat kuasa khusus bercap jempol yang berlaku di pengadilan. Sedangkan pada rumusan masalah kedua, untuk mengetahui bagaimana keabsahan pemakaian cap jempol dalam surat kuasa khusus. Hal ini mengingat adanya dua pendapat yang berbeda tentang pengesahan mengenai surat kuasa khusus tersebut.
1.6. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi terhadap bahan hukum yang telah dikumpulkan dan diolah. 46 Oleh karena penelitian merupakan suatu saran (ilmiah) bagi
pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang ditetapkan harus
46
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 1985, penelitian hukum normatif suatu tinjauan singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto & Sri Mamudji II), hal. 1.
37 senantiasa di sesuikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya dan hal ini tidaklah selalu berarti metodologi yang dipergunakan berbagai ilmu pengetahuan pasti akan berbeda secara utuh. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, metodologi penelitian hukum juga mempunyai ciri-ciri tertentu yang merupakan identitasnya, oleh karena ilmu hukum dapat dibedakan dari ilmuilmu pengetahuan lainnya. Penelitian pada dasarnya adalah suatu kegiatan yang terencana dilakukan dengan metode ilmiah bertujuan untuk mendapatkan data baru guna membuktikan kebenaran ataupun ketidakbenaran dari suatu gejala atau hipotesa yang ada. 47 Secara khusus menurut jenis, sifat, dan tujuannya suatu penelitian hukum dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris. 48 Peneltian hukum normatif adalah penelitian doktriner, juga disebut sebagai penelitian kepustakaan atau studi dokumen. Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditunjukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan - bahan hukum yang lain. Sebagai penelitian ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan. Dalam penelitian hukum yang normatif biasanya hanya dipergunakan sumber-sumber bahan hukum sekunder saja, yaitu
buku-buku,
47
buku-buku
harian,
peraturan
perundang-undangan,
Bambang Waluyo, 1991, Penelitian hukum dalam praktek, Sinar grafika, Jakarta, hal. 6. 48 Ibid, hal. 13.
38 keputusan-keputusan pengadilan, teori-teori hukum dan pendapat para sarjana hukum terkemuka.49 Metode penelitian hukum adalah sebagai cara kerja ilmuan yang salah satunya ditandai dengan penggunaan metode (Inggris method, Latin methodus, Yunani methodos, meta berarti di atas, sedangkan thodos berarti suatu jalan, suatu cara). Van Peursen menerjemahkan pengertian metode secara harfiah, mula-mula metode diartikan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh menjadi penyelidikan atau penelitian berlangsung menurut suatu rencana tertentu. 50 Metode atau cara pengkajian dilakukan secara deskriptif analitik yaitu menguraikan kaidah-kaidah dalam aturan hukum yang berhubungan dengan fungsi notaris dalam menjamin keabsahan surat kuasa khusus yang dibubuhi cap jempol, sehingga tidak ada kontradiksi dalam kaidah-kaidah hukum yang ada. 1.6.1. Jenis Penelitian Penelitian yang dilakukan dalam penulisan tesis ini, merupakan penelitian hukum normatif. Sebagai penelitian hukum yang bersifat akademis berkaitan dengan upaya untuk memberikan sumbangan yang berharga bagi perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang kenotariatan. Sebagai penelitian hukum dalam kegiatan akademis, dimaksudkan untuk membedakan dengan penelitian hukum dalam kaitannya dengan kegiatan yang bersifat
49
Ibid, hal. 14. Johny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang, hal. 26. 50
39 praktis yang lebih diarahkan untuk memecahkan masalah-masalah praktis. 51 Bidang ilmu hukum memiliki karakter yang khas yakni dengan sifatnya yang normatif. Sifat khas (sui generis), ilmu hukum tersebut bercirikan : a) bersifat empiris analitis yakni memaparkan dan menganalitis terhadap isi dan struktur hukum; b) sistimatisasi gejala hukum; c) melakukan interpretasi terhadap substansi hukum yang berlaku; d) menilai hukum yang berlaku; serta e) arti praktis ilmu hukum berkaitan erat dengan dimensi normatifnya. 52 Menurut Bambang Sunggono, penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum teoritis atau dogmatik, karena tidak mengkaji pelaksanaan atau implementasi hukum, penemuan hukum dalam perkara pidana ataupun perdata, sistematik hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum dan sejarah hukum. 53 Dalam tesis ini yang dimaksud dengan penelitian hukum adalah penelitian hukum yang bersifat akademis yang di dalamnya terkandung sifat normatif dan doktrinal untuk menjawab berbagai permasalahan yang diajukan. Penelitian ini beranjak dari adanya norma kabur dalam ketentuan Pasal 44 ayat (1) UUJN yang menyebutkan bahwa, “Segera setelah akta dibacakan, akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan 51
Peter Mahmud Marzuki, 2001, Penelitian Hukum, Vol. 16 No. 1, Maret-April, Yuridika, Surabaya, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), hal. 103-126. 52 Herowati Poesoko, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT) , Laks. Bank Pressindo, Yogyakarta, hal. 27. 53 Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 83-102.
40 menyebutkan alasannya”. Ketentuan pengecualian bagi penghadap yang tidak dapat membubuhkan tandatangan dalam pasal ini yang menurut penulis sebagai norma kabur karena tidak dengan jelas diatur mengenai pemakaian cap jempol sebagai pengganti tanda tangan. 1.6.2. Jenis Pendekatan Beberapa pendekatan dikenal dalam penelitian hukum normatif, yaitu : pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analisis (analitical approach), pendekatan perbandingan
(comperative
approach),
pendekatan
sejarah
(historical
approach), pendekatan filsafat (fhilosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach)54, sedangkan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: pendekatan perundang-undangan (statute approach); pendekatan konsep (conseptual approach) pendekatan kasus (case apporah), dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan yang tetap. Sehingga dalam pemecahan permasalahan ini yang diutamakan ratio decidendi atau reasoning, yaitu alasan-alasan hakim untuk sampai kepada keputusannya.55 1.6.3. Sumber Bahan Hukum Sumber bahan hukum dalam penelitian ini berasal dari penelitian kepustakan (library research). Penelitian kepustakaan adalah menggunakan
54
Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta, (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki III), hal. 93-137. 55 Ibid, hal.119.
41 bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer adalah bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah, contohnya: berbagai peraturan perundang-undangan; putusan pengadilan; traktat. Sumber bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan yang isinya membahas bahan hukum primer, contohnya: buku -buku dan artikelartikel. Bahan hukum tertier adalah bahan-bahan hukum yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, contohnya kamus, buku pegangan. 56 Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang diperoleh atau di kumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Bahan hukum sekunder diperoleh dengan penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapatpendapat atau tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan-ketentuan formal maupun bahan hukum melalui naskah resmi yang ada. Dalam penelitian ini yang dijadikan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang bersumber dari : 1. Bahan-bahan hukum primer yang mengikat, yaitu: Kitab Undangundang Hukum Perdata, Undang-Undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 2. Bahan-Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum
56
Ashshofa Burhan, op.cit, hal. 103-104.
42 sekunder dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yang terdiri dari : kamus, buku literatur, arsip di Pengadilan Negeri berupa Putusan. Buku-buku kenotariatan atau buku-buku yang membahas tentang kenotariatan, dan buku-buku
yang
membahas tentang akta notaris dalam hal ini surat kuasa khusus yang dilegalisasi oleh notaris. 3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yaitu berupa kamus hukum dan Kamus Bahasa Indonesia, ensiklopedia, dan sebagainya. 1.6.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan
bahan-bahan
hukum
diawali
dengan
kegiatan
inventarisasi, dengan pengoleksian dan pengorganisasian bahan-bahan hukum ke dalam suatu sistem informasi, sehingga memudahkan kembali penelusuran bahan-bahan hukum tersebut. Bahan-bahan hukum tersebut dikumpulkan dengan studi dokumentasi, yakni dengan melakukan pencatatan terhadap sumber-sumber bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, selanjutnya dilakukan inventarisasi bahan-bahan hukum yang relevan dengan cara pencatatan atau pengutipan dengan menggunakan sistem kartu. Masing-masing kartu diberikan identitas sumber bahan hukum yang dikutip dan halaman dari sumber kutipan. Di samping itu, diklasifikasikan menurut sistematika rencana tesis, sehingga ada kartu untuk bahan-bahan Bab I, Bab II, dan seterusnya, kecuali untuk bagian penutup. Kemudian dilakukan kualifikasi fakta dan
43 hukum.57 Selanjutnya akan dilakukan penelusuran melalui kepustakaan yang berkaitan dengan fungsi notaris dalam menjamin keabsahan surat kuasa khusu s bercap jempol yang berlaku di pengadilan. Dalam penelitian ini, akan diteliti bahan hukum sekunder. Dengan demikian ada dua kegiatan utama yang dilakukan dalam melaksanakan penelitian ini, yaitu studi kepustakaan (Library Research), yang diperoleh melalui kepustakaan, dengan mengkaji, menelaah dan mengolah literatur, peraturan perundang-undangan, artikel-artikel atau tulisan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan diteliti dan wawancara, yakni dengan mengajukan pertanyaan kepada narasumber secara bebas. 1.6.5. Teknik Analisis Bahan Hukum Analisis bahan hukum adalah pengolahan bahan hukum yang diperoleh baik dari penelitian pustaka maupun penelitian lapangan. Terhadap bahan hukum
primer
kelengkapannya
yang
didapat
dari
dan kejelasannya
lapangan untuk
terlebih
diklasifikasi
dahulu serta
diteliti
dilakukan
penyusunan secara sistematis serta konsisten untuk memudahkan melakukan analisis. Bahan hukum primer inipun terlebih dahulu di koreksi untuk menyelesaikan bahan yang paling revelan dengan rumusan masalah yang ada. Bahan hukum sekunder yang didapat dari kepustakaan dipilih serta dihimpun secara sistematis, sehingga dapat dijadikan acuan dalam melakukan analisis. Dari hasil bahan hukum penelitian pustaka maupun lapangan ini dilakukan pembahasan secara deskriptif analitis. Deskriptif adalah pemaparan hasil
57
Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Sunaryati Hartono II), hal. 150.
44 penelitian dengan tujuan agar diperoleh suatu gambaran yang menyeluruh namun tetap sistematik terutama mengenai fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diajukan dalam usulan penelitian ini. Analitis artinya gambaran yang diperoleh tersebut dilakukan analisis dengan cermat sehingga dapat diketahui tentang tujuan dari penelitian ini sendiri yaitu membuktikan permasalahan sebagai mana telah dirumuskan dalam perumusan masalah yang ada pada latar belakang usulan penelitian ini. Analisis bahan-bahan hukum dalam
penelitian
ini
akan
dilakukan
secara
analisis
kualitatif dan
komprehensif. Analisis kualitatif artinya, menguraikan bahan-bahan hukum secara bermutu dengan bentuk kalimat yang teratur, runtut, logis dan tidak tumpang tindih serta efektif, sehingga memudahkan interpretasi bahan-bahan hukum dan pemahaman hasil analisa. Komprehensif artinya, analisa dilakukan secara mendalam dan dari berbagai aspek sesuai dengan lingkup penelitian. Analisis bahan hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik deskriptif, mendiskripsikan bahan-bahan dengan cara mengkonstruksikan hukum dan argumentasi, yang selanjutnya dilakukan penilaian berdasarkan pada alasanalasan yang bersifat penalaran hukum, yakni dengan mengemukakan doktrin dan asas-asas yang ada terkait dengan permasalahan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS, CAP JEMPOL, SURAT KUASA KHUSUS DAN SURAT GUGATAN PENGADILAN
2.1. Tinjauan Umum tentang Notaris 2.1.1. Pengertian Notaris Menurut ketentuan dalam Pasal 1 ayat (1) UUJN disebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta autentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Walaupun menurut definisi tersebut ditegaskan bahwa Notaris itu
adalah pejabat umum
(openbare ambtenaar), ia bukan pegawai menurut undang-undang atau peraturanperaturan kepegawaian negeri. Ia tidak menerima gaji, bukan bezoldigd staatsambt, tetapi honorarium sebagai penghargaan atas jasa yang telah diberikan kepada masyarakat.58 Pengertian tentang notaris sebagaimana yang di maksud pada Pasal 1 Reglement of Notaris Ambt in Indonesie Staatblad 1860-3 yang menyatakan: De Notarissen zijn openbare ambtenaren, ulsluitend bevoeq om authentieke akten op te maken wegens alle handelingen, overeenkomsten en beschikkingen, waarvan eene algemeene verordening geschrift blijken zal, daarvan de dagtekening te verzekeren, de akten in bewaring te houden en daarvan grossen, afschriften en uittreksels uit te geven; alles voor zzover het opmaken dier akten ene algemene verordening niet ook aan andere ambtenaren of personen opgedragen of voorbehouden is. 59
58
Komar Andasasmita, 1981, Notaris I, Sumur, Bandung, (selanjutnya disebut Komar Andasasmita I), hal 45. 59 Engelbrecht De Wetboeken wetten en Veroordeningen, Benevens de Grondwet van de Republiek Indonesie, 1998, Ichtiar Baru-Van Voeve, Jakarta, hal. 882. 45
46 Pasal 1 tersebut di atas diterjemahkan oleh G.H.S. Lumban Tobing sebagai berikut: Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu Akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. 60 Notaris adalah seorang pejabat Negara atau pejabat umum yang dapat diangkat oleh Negara untuk melakukan tugas - tugas Negara dalam pelayanan hukum kepada masyarakat demi tercapainya kepastian hukum sebagai pejabat pembuat akta autentik dalam hal keperdataan. Yang dimaksud dengan pejabat umum disini adalah orang yang diangkat untuk menduduki jabatan umum oleh penguasa umum untuk melakukan tugas negara atau Pemerintah sebagaimana pendapat dari F.MJ. “Hij die door het openbaar gezag is aangesteld tot een openbare betrekking om te verrichten een del van de taak van de staat of zijn organen, is te beschouwen als openbaar ambtenaar”.61 Menurut Kamus Indonesia Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat
akta autentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud
dalam undang undang ini (Peraturan Jabatan Notaris). Notary Public dalam Black’s Law Dictionary menyebutkan bahwa “ A person authorized by a state to administer 60
G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, hal 31. 61 F.M.J. Jansen, 1987, Executie-en Beslagrecht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, hal. 28.
47 oaths, certify documents, attest to the authenticity of signatures, and perform official acts in commercial matters”62 Dari pernyataan ini dapat dipahami bahwa notaris adalah seseorang yang ditunjuk oleh negara untuk megambil sumpah, menerangkan isi sesuatu dokumen, mengesahkan keaslian tanda tangan dan menjalankan pekerjaan resmi lainnya yang ditentukan dibidang komersil. Menurut Reglement op het Notarisambt (Peraturan Jabatan
Notaris). Ditegaskan dalam Pasal 1 Peraturan
Jabatan Notaris yang dimaksud dengan Notaris, adalah pejabat umum yang satu satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki atau dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse (salinan sah), salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. 63 Menurut Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor.M.01HT.03.01 Tahun 2006, tentang Syarat dan Tata Cara Pengangkatan Dan Pemindahan, dan Pemberhentian Notaris. Untuk dapat membuat akta autentik orang tersebut harus berkedudukan sebagai pejabat umum. Ada hal penting yang harus diingat sebagaimana tersirat dalam Pasal 1 UUJN bahwa Notaris adalah pejabat umum sesuai dengan yang diisyaratkan oleh pasal tersebut bahwa kewenangan atau kewajiban utamanya adalah membuat akta-akta autentik., jadi
62
Henry Campbell Black, 1991, Black’s Law Dictionary, West Publishing & Co, St. Paul, Minnesota, hal.1085. 63 Komar Andasasmita, 1984, Notaris I, Sumur Bandung, (selanjutnya disebut Komar Andasasmita II), hal.45
48 notaris merupakan pejabat umum demikian pula yang dimaksud pada Pasal 1868 Kitab Undang Undang Hukum Perdata selanjutnya disebut KUHPerdata. Memperhatikan uraian Pasal 1 UUJN, dapat dijelaskan bahwa notaris adalah: a) Pejabat umum; b) Berwenang membuat akta; c) Autentik; d) Ditentukan oleh Undang-undang. Sedangkan dalam Pasal 2 UUJN disebutkan bahwa notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri, selanjutnya dalam Pasal 3 dijelaskan bahwa untuk dapat diangkat menjadi notaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, maka harus memenuhi syarat-syarat berikut: a) warga negara Indonesia; b) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c) berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d) sehat jasmani dan rohani; e) berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan; f) telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan notaris dalam waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut pada kantor notaris atas prakarsa sendiri atau rekomendasi organisasi notaris setelah lulus strata dua kenotariatan, dan; g) tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undangundang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan notaris. Menurut Gandasubrata, notaris adalah pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah termasuk unsur penegak hukum yang memberikan pelayanan kepada masyarakat.64 Di dalam tugasnya sehari-hari ia menetapkan hukum dalam aktanya sebagai akta autentik yang merupakan alat bukti yang kuat sehingga memberikan pembuktian lengkap kepada para pihak yang membuatnya. Alat bukti merupakan keseluruhan bahan yang digunakan sebagai pembuktian dalam perkara yang 64
H.R. Purwoto S. Gandasubrata, 1998, Renungan Hukum, IKAHI Cabang Mahkamah Agung RI, Jakarta, hal 484.
49 disidangkan di pengadilan 65 Bukti tertulis dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan biasanya dengan sengaja seseorang menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai apabila terjadi suatu perselisihan, dan bukti tadi lazimnya berupa tulisan. 66 Notaris sebagai salah satu pejabat umum mempunyai peranan penting dalam menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum melalui akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapannya, mengingat akta autentik sebagai alat bukti terkuat dan memiliki nilai yuridis yang esensial dalam setiap hubungan hukum bila terjadi sengketa dalam kehidupan masyarakat. Notaris merupakan pengemban profesi luhur yang memiliki 4 (empat) ciri-ciri pokok. Pertama, bekerja secara bertanggung jawab, dapat dilihat dari mutu dan dampak pekerjaan. Kedua, menciptakan keadilan, dalam arti tidak memihak dan bekerja dengan tidak melanggar hak pihak manapun. Ketiga, bekerja tanpa pamrih demi kepentingan klien dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat sesama anggota profesi dan organisasi profesinya.67 Profesi notaris disebut juga sebagai salah satu penegak hukum karena notaris membuat alat bukti tertulis yang mempunyai kekuatan pembuktian. Para ahli hukum berpendapat bahwa akta notaris dapat diterima dalam pengadilan sebagai bukti yang mutlak mengenai isinya, tetapi meskipun demikian dapat diadakan penyangkalan dengan bukti sebaliknya oleh saksi-saksi, yang dapat membuktikan bahwa apa yang diterangkan oleh notaris
65
Bachtiar effendie, 1991, Masdari Tasmin dan A.Chodari, Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 49. 66 Darwan Prinst, 1998, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, CV.Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 157. 67 Http//Adln.Lib.unair.ac.id, Lanny Kusumawati, Tanggung Jawab Jabatan Notaris. diakses tanggal 20 Agustus 2013.
50 dalam aktanya adalah benar. 68 Sebagai pejabat umum, notaris diangkat oleh negara dan bekerja juga untuk kepentingan negara. Namun demikian notaris bukanlah pegawai negeri, sebab notaris tidak menerima gaji dari negara, melainkan hanya menerima honorarium atau fee dari klien. Notaris dapat dikatakan sebagai pegawai pemerintah yang tidak menerima gaji dari pemerintah, akan tetapi notaris dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari pemerintah. Oleh karena itu, bukan saja notaris yang harus dilindungi tetapi juga para konsumennya, yaitu masyarakat pengguna jasa notaris.69 Salah satu fungsi negara yaitu dapat memberikan pelayanan umum kepada rakyatnya. Pemisahan atau pembagian kekuasaan negara seperti yang tertuang pada bab I, khususnya eksekutif dengan tugas untuk melayani kepentingan umum dalam bidang hukum publik. Eksekutif ini biasanya disebuit dengan pemerintah. Dalam hukum administrasi mereka yang mengisi posisi eksekutif atau pemerintah disebut sebagai badan atau pejabat tata usaha negara. Tidak semua pelayanan umum tersebut dapat dilakukan oleh eksekutif berdasarkan peraturan perundangundangan yang mengatur jabatan-jabatan eksekutif. Jika eksekutif sebagai pejabat tata usaha negara mengeluarkan suatu keputusan yang bersifat konkrit, individual dan final ternyata merugikan orangperorangan atau badan hukum perdata lainnya, maka yang merasa dirugikan tersebut dapat mengajukan keputusan tersebut ke pengadilan tata usaha negara atau jika ada terlebih dapat menempuh banding atau keberatan. Salah satu
68
Liliana Tedjosaputro, 1991, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, CV. Agung, Semarang, hal 4. 69 Suhrawardi K. Lubis, 2006, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal 34.
51 bentuk pelayanan negara kepada rakyatnya yaitu negara memeberikan kesempatan kepada rakyat untuk memperoleh tanda bukti atau dokumen hukum yang berkaitan dalam hukum perdata, untuk keperluan tersebut diberikan kepada pejabat umum yang dijabat oleh notaris. Dengan kontruksi seperti itu bahwa notaris menjalankan sebagian kekuasaan negara dalam bidang hukum perdata untuk melayani kepentingan rakyat memerlukan bukti atau dokumen hukum berbentuk akta autentik yang diakui oleh negara sebagai bukti yang sempurna. Ketentuan umum dalam UUJN selain menjelaskan mengenai pengertian notaries juga menjelaskan pengertian mengenai pejabat sementara notaris, notaris pengganti, dan notaris pengganti khusus. Adapun pengertian tersebut diatas: Pejabat Sementara Notaris adalah seorang yang untuk sementara menjabat sebagai notaris untuk menjalankan jabatan notaris yang meninggal dunia, diberhentikan, atau diberhentikan sementara. (Pasal 1 ayat (2) UUJN), sedangkan Notaris Pengganti adalah seorang yang untuk sementara diangkat sebagai notaris untuk menggantikan notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatannya sebagai notaris (Pasal 1 ayat (3) UUJN), notaris pengganti sifatnya hanya sementara saja, sehingga dapat disebut menjalankan tugas jabatan notaris dari notaris yang sedang cuti, sakit, atau untuk sementara berhalangan menjalankan jabatan sebagai notaris. Ketentuan pasal ini untuk menjaga kesinambungan jabatan notaris sepanjang kewenangan notaris masih melekat pada notaris yang digantikan. 70 Menurut Pasal 1 ayat (4) UUJN, Notaris Pengganti Khusus adalah seorang yang 70
Habib Adjie, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung (selanjutnya disebut Habib Adjie II), hal 43.
52 diangkat sebagai notaris khusus untuk membuat akta tertentu sebagaimana disebutkan dalam surat penetapannya sebagai notaris karena di dalam satu daerah kabupaten atau kota terdapat hanya seorang notaris, sedangkan notaris yang bersangkutan menurut ketentuan undang-undang ini tidak boleh membuat akta dimaksud. Pengaturan Notaris Pengganti Khusus ini perlu dikaitkan dengan tempat kedudukan notaris dan wilayah jabatan notaris. Notaris dalam menjalankan profesinya memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat yang diatur dalam UUJN yang diundangkan tanggal 6 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117. Dengan berlakunya undang-undang ini, maka Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia / Peraturan Jabatan Notaris Di Indonesia (Stb. 1860 Nomor 3) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Keberadaan notaris, secara etis yuridis, diatur dalam rambu-rambu UU Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860-3) berdasarkan Staatsblad 1855-79 tentang Burgerlijk Wetboek (BW/Kitab UU Hukum Perdata), terutama Buku Keempat dalam Pasal-Pasal sebelumnya, yang secara sistematis merangkum suatu pola ketentuan alat bukti berupa tulisan sebagai berikut: a) bahwa barang siapa mendalilkan peristiwa di mana ia mendasarkan suatu hak, wajib baginya membuktikan peristiwa itu; dan sebaliknya terhadap bantahan atas hak orang lain (1865 KUHPerdata); b) bahwa salah satu alat bukti ialah tulisan dalam bentuk autentik dan di bawah tangan. Tulisan autentik ialah suatu akta yang dibuat sebagaimana ditentukan oleh undang-undang; dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang; di tempat mana akta itu dibuat (1866-1868 KUH Perdata); c) bahwa notaris adalah pejabat umum satu-satunya yang berwenang membuat akta
53 autentik… (Pasal 1 Staatsblad 1860-3). Ketentuan tersebut menunjukkan alat bukti tertulis yang dibuat autentik oleh atau di hadapan notaris berada dalam wilayah hukum perdata (pribadi/privat). Ini berbeda dengan istilah ”barang bukti” dalam hukum pidana atau ”dokumen surat” dalam hukum administrasi negara ataupun hukum tata usaha negara yang biasa disebut dengan surat keputusan (beschikking), di mana termasuk dalam wilayah hukum publik. Alat bukti tertulis autentik yang dibuat notaris berbeda maksud tujuan dan dasar hukumnya dengan surat keputusan yang dibuat oleh badan atau pejabat tata usaha negara dalam melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah. UUJN, sebagai produk hukum nasional, dan secara substantif Undang Undang tentang Jabatan Notaris yang baru tersebut juga berorientasi kepada sebagian besar ketentuan-ketentuan dalam PJN (Staatsbiad 1860:3). Oleh karena itu kajian dalam penulisan ini tetap mengacu kepada UUJN dan dengan membandingkanan pada Peraturan Jabatan Notaris (Staatblad 1860:3). 2.1.2. Kewenangan, Kewajiban dan Larangan Notaris Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut di atas diuaraikan secara jelas dalam Pasal 15 UUJN, yang menyatakan bahwa: 1. Notaris berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan
akta, semuanya itu sepanjang
54 pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. 2. Notaris berwenang pula : a) mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b) membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c) membuat copy dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d) melakukan pengesahan kecocokan fotocopi dengan surat aslinya; e) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f) membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g. membuat akta risalah lelang. 3. Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Bila dikaitkan dengan Pasal 1 Stbl.1860 Nomor 3 tentang Notaris Reglement atau Peraturan Jabatan Notaris mengatakan bahwa : Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, dan memberikan grosse, salinan honorarium sebagai penghargaan atas jasa yang telah diberikan kepada masyarakat71 dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu
71
Komar Andasasmita I, op.cit., hal 45
55 oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. 72 Akta yang dibuat oleh Notaris bersifat autentik bukan saja karena undangundang yang menetapkan demikian, tetapi juga karena akta itu dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 Kitab Undangundang Hukum Perdata yang menyatakan : Suatu akta autentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya. Bentuk akta ada dua yaitu akta yang dibuat oleh Notaris (relaas akta) dan akta yang dibuat di hadapan Notaris (partij akta)73, Akta yang dibuat oleh Notaris dapat merupakan suatu akta yang memuat relaas atau menguraikan secara autentik suatu tindakan yang dilakukan atau suatu keadaan yang dilihat atau yang disaksikan oleh pembuat akta itu, yakni Notaris sendiri, didalam menjalankan jabatannya sebagai Notaris akta ini disebut juga akta yang dibuat oleh (door) Notaris (sebagai pejabat umum). Akta Notaris dapat juga berisikan suatu cerita dari apa yang terjadi, karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain di hadapan Notaris, artinya yang diterangakan atau yang diceritakan oleh pihak lain terhadap Notaris dalam menjalankan jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang dihadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu di konstantir oleh notaris dalam suatu akta autentik, akta ini disebut pula akta yang dibuat dihadapan (ten overstaan) Notaris.
72 73
G.H.S. Lumbun Tobing, Op Cit., Hal.31. Ibid, hal. 51
56 Ada dua bentuk akta notaris yaitu : 1) Akta yang dibuat oleh (door) notaris atau yang dinamakan akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten); 2) Akta yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris atau yang dinamakan akta partij (partij akten). Di dalam semua akta ini notaris menerangkan atau memberikan dalam jabatannya sebagai pejabat umum kesaksian dari semua apa yang dilihat, disaksikan dan dialaminya, yang dilakukan pihak lain, Dalam golongan akta yang dimaksud pada sub 2 termasuk akta-akta yang memuat perjanjian hibah, jual beli (tidak termasuk penjualan dimuka umum atau lelang), kemampuan terakhir (wasiat), kuasa dan lain sebagainya. Di dalam akta partij ini dicantumkan secara autentik keterangan-keterangan dari orang-orang yang bertindak sebagai pihak-pihak dalam akta itu, di samping relaas dari Notaris itu sendiri yang menyatakan bahwa orangorang yang hadir itu telah menyatakan kehendaknya tertentu, sebagaimana dicantumkan dalam akta. UUJN merupakan dasar hukum bagi Notaris sebagai satu satunya pejabat yang berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan sepanjang perbuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Maka Notaris tidak dapat menolak pembuatan akta apabila dimintakan kepadanya kecuali terdapat alasan yang mendasar. Pasal 15 ayat (2) UUJN mengatur mengenai kewenangan khusus notaris untuk melakukan tindakan hukum tertentu, seperti: a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tanda tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; b) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; c) Memberi kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa
57 salinan yang memuat uraian bagimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; d) Melakukan pengesahan kecocokan photo copy dengan surat aslinya; e) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; f) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau g) Membuat akta risalah lelang. Pasal 47 UUJN mengatur mengenai surat kuasa autentik dan dibawah tangan yang merupakan wewenang dari Notaris, berbunyi sebagai berikut : (1) Surat kuasa autentik atau surat lainnya yang menjadi dasar kewenangan pembuatan akta yang dikeluarkan dalam bentuk originali atau surat kuasa di bawah tangan wajib dilekatkan pada Minuta Akta. (2) Surat kuasa autentik yang dibuat dalam bentuk Minuta Akta diuraikan dalam akta. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak wajib dilakukan apabila surat kuasa telah dilekatkan pada akta yang dibuat di hadapan Notaris yang sama dan hal tersebut dinyatakan dalam akta. Pihak atau penghadap yang tidak bertindak untuk dirinya sendiri, dimungkinkan terjadinya kuasa subtitusi yaitu : Apabila Penerima Kuasa dari orang yang mewakilkan (Pemberi Kuasa) tidak menghendaki menjalankan sendiri kuasanya itu, tetapi menguasakan lagi kepada orang lain (pihak ke 3). Penerima kuasa pertama berdasarkan hak subtitusi yang diterimanya, menempatkan orang lain selaku penerima kuasa. Pihak ang menerima subtitusi ini disebut Kuasa Subtitusi, yang sekarang menggatikan tempat atau posisi penerima kuasa yang pertama yang telah mengundurkan diri dari jalur hubungan antara dia dengan pemberi kuasa. Dalam hal ini pemegang Kuasa Subtitusi tetap sebagai pihak yang mewakili langsung pemberi kuasa. Ada kesamaan terkait dengan pengertian Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik. Pejabat umum yang dimaksud dalam
58 ketentuan tersebut adalah seseorang yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk melayani publik dalam halhal tertentu karena ia ikut serta melaksanakan suatu kekuasaan yang bersumber pada kewibawaan dari pemerintah. Dengan demikian hal tersebut di atas semakin mempertegas kedudukan Notaris sebagai pejabat ataupun pegawai umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya”. Hal tersebut menunjukan bahwa sifat dari keautentikan suatu akta tergantung dari bentuk akta tersebut yang diatur dalam undang-undang
serta dibuat oleh pejabat yang berwenang di wilayah hukum
kewenangannya. Dalam hal ini menunjukan kewenangan utama dari Notaris adalah untuk membuat akta autentik sehingga dengan demikian akta yang dibuat oleh Notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta autentik, seperti yang di maksud dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jabatan notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara. Suatu lembaga yang dibuat atau diciptakan oleh negara, baik kewenangan atau materi muatannya tidak berdasarkan pada peraturan perundang-undangan, delegasi atau mandate. Melainkan berdasarkan wewenang yang timbul dari freis ermessen yang dilekatkan pada administrasi negara untuk mewujudkan suatu tujuan yang dibenarkan oleh hukum (Beleidsregel).74
74
hal 15.
Bagir Manan, 2004, Hukum Positif Indonesia, UII Press, Yogyakarta,
59 Seorang Notaris dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya sudah semestinya dapat mempertanggung jawabkan setiap tindakan ataupun perbuatan yang dilakukan, hal tersebut bukan saja dilaksanakan untuk menjaga nama baiknya tetapi juga menjaga kehormatan dan nama baik dari lembaga kenotariatan sebagai wadah dari para Notaris-Notaris di seluruh Indonesia. Berkenaan dengan hal tersebut maka oleh UUJN, diatur tentang kewajiban Notaris dalam Pasal 16 yang menyatakan bahwa : 1. Dalam menjalankan jabatannya, Notaris berkewajiban : a) bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum; b) membuat akta dalam bentuk Minuta Akta dan menyimpannya sebagai bagian dari Protokol Notaris; c) mengeluarkan Grosse Akta, Salinan Akta, atau Kutipan Akta berdasarkan Minuta Akta; d) memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya; e) merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain; f) menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak dapat dimuat dalam dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih dari satu buku, dan mencatat jumlah Minuta Akta, Bulan, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku; g) membuat daftar dari akta protes terhadap tidak dibayar atau tidak diterimanya surat berharga; h) membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu pembuatan akta setiap bulan; i) mengirimkan daftar
60 akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar nihil yang berkenaan dengan wasiat ke Daftar Pusat Wasiat Departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5 (lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya; j. mencatat dalam reportorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap akhir bulan; k. mempunyai cap/stempel yang memuat lambang negara Republik Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan, dan tempat kedudukan yang bersangkutan; l) membacakan akta dihadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris; m) menerima magang calon Notaris. 2. Menyimpan Minuta Akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku, dalam hal notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali. 3. Akta originali sebagaimana dimaksud dalam pada ayat (2) adalah akta : a) pembayaran uang sewa, bunga, dan pensiun; b) penawaran pembayaran tunai; c) protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga; d) akta kuasa; e) keterangan kepemilikan; atau f) akta lainnya berdasarkan peraturan perundang- undangan. 4. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1 (satu) rangkap, ditandatangani pada waktu, bentuk, dan isi yang sama, dengan ketentuan pada setiap kata tertulis kata-kata “berlaku sebagai satu dan satu berlaku untuk semua”. 5. Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
61 6. Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k ditetapkan dengan peraturan Menteri. 7. Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l tidak wajib dilakukan , jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena penghadap telah membaca sendiri, mengetahui, dan memahami isinya, dengan ketentuan bahwa hal tesebut dinyatakan dalam penutup akta serta dalam setiap halaman Minuta Akta diparaf oleh penghadap, saksi, dan Notaris. 8. Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf l dan ayat (7) tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. 9. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk pembuatan akta wasiat. Notaris dalam menjalankan jabatannya tidak bisa dilepaskan dari ketentuan dasar dalam pasal-pasal tersebut diatas yang mengatur mengenai kewenangan dan jabatan Notaris. Bila hal tersebut tidak diterapkan oleh Notaris dalam menjalankan jabatannya, maka sudah dapat dipastikan Notaris tersebut sangat rawan dan dekat dengan pelanggaran jabatan dan dapat berakibat pada keabsahan ataupun keautentikan dari akta yang dibuatnya maupun pada dirinya sendiri yang dapat dikenakan sanksi akibat perbuatannya tersebut. Kewajiban-kewajiban Notaris disertai pula dengan larangan - larangan bagi Notaris dalam menjalankan jabatannya sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 17 UUJN, sebagai berikut : 1) menjalankan jabatan di luar wilayah jabatannya; 2) meninggalkan wilayah jabatannya lebih dari 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa
62 alasan yang sah; 3) merangkap sebagai pegawai negeri; 4) merangkap jabatan sebagai pejabat negara; 5) merangkap jabatan sebagai advokat; 6) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah atau Badan Usaha Swasta; 7) merangkap jabatan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah di luar wilayah jabatan Notaris; 8) menjadi Notaris pengganti; atau 9) melakukan pekerjaan lain yang bertentangan dengan norma agama, kesusilaan, atau kepatutan yang dapat mempengaruhi kehormatan dan martabat jabatan Notaris. Larangan-larangan tersebut dimaksudkan untuk menjamin kepentingan masyarakat yang memerlukan jasa Notaris. Selanjutnya, larangan dalam ketentuan Pasal 17 huruf a UUJN dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan sekaligus mencegah terjadinya persaingan tidak sehat antar Notaris dalam menjalankan jabatannya. Salah satu upaya dalam mencegah persaingan tersebut, Notaris hendaknya memperhatikan ketentuan mengenai honorarium yang merupakan hak Notaris atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya (Pasal 36 UUJN) dengan tidak memungut biaya yang terlampau murah dibanding rekan-rekan Notaris lainnya, namun dengan tetap melaksanakan kewajiban dalam memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 UUJN. Berkaitan dengan kedudukan dan wilayah jabatan Notaris, Pasal 18 UUJN menyatakan bahwa Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah kabupaten atau kota, dan mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Selanjutnya Pasal 19 Ayat (1) UUJN menyatakan, bahwa Notaris wajib mempunyai hanya satu kantor, yaitu di tempat kedudukannya. Notaris tidak
63 berwenang secara teratur menjalankan jabatan di luar tempat kedudukannya (Pasal 19 Ayat (2) UUJN). Dengan demikian Notaris hanya mempunyai satu kantor, Notaris dilarang mempunyai kantor cabang, perwakilan, dan/atau bentuk lainnya, sehingga akta Notaris sedapat-dapatnya dilangsungkan di kantor Notaris kecuali perbuatan akta-akta tertentu, misalnya Akta Risalah Rapat. Selain sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 17 UUJN, mengenai larangan bagi Notaris juga diatur dalam Pasal 18 Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 Tentang Kenotarisan (selanjutnya disebut Kepmenkeh Nomor M01.HT.03.01 Tahun 2003), Notaris dilarang : 1) membuka kantor cabang atau mempunyai kantor lebih dari satu; 2) melakukan tindakan atau perbuatan yang dapat merendahkan martabat jabatan Notaris; 3) meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, kecuali ada izin dari Pejabat yang berwenang atau dalam keadaan cuti. 4) mengadakan promosi yang menyangkut jabatan Notaris melalui media cetak maupun media elektronik; 5) membacakan dan menandatangani akta di luar wilayah kerja Notaris yang bersangkutan: 6) menyimpan protokol setelah Notaris yang bersangkutan diberhentikan oleh Menteri; 7) merangkap jabatan sebagai ketua atau anggota lembaga tinggi negara tanpa mengambil cuti jabatan. 8) merangkap jabatan sebagai pemimpin atau pegawai badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah, pegawai swasta; 9) merangkap jabatan sebagai pejabat pembuat akta tanah di luar wilayah kerja Notaris. 10) menolak calon Notaris magang di kantornya. Berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 86 UUJN, Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan jabatan Notaris tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Undang-
64 Undang ini. Kepmenkeh Nomor M-01.HT.03.01 Tahun 2003 merupakan salah satu peraturan pelaksanaan yang dimaksud, salah satu yang sudah diganti adalah mengenai larangan meninggalkan daerah kerja lebih dari tiga hari, sekarang berdasarkan Pasal 17 UUJN, adalah 7 (tujuh) hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang sah meninggalkan wilayah jabatan. 2.2. Tinjauan Umum Tentang Cap Jempol dalam Pembuatan Akta Sidik jari (fingerprint) adalah hasil reproduksi tapak jari baik yang sengaja diambil, dicapkan dengan tinta, maupun bekas yang ditinggalkan pada benda karena pernah tersentuh kulit telapak tangan atau kaki. Sidik jari manusia digunakan untuk keperluan identifikasi karena tidak ada dua manusia yang memiliki sidik jari persis sama. Identifikasi sidik jari (daktiloskopi) sering digunakan di kalangan kepolisian. Dalam anatomi manusia, jempol atau ibu jari merupakan salah satu jari pada tangan. Di Indonesia khususnya dalam bidang notariat sidik jari dipakai sebagai pengganti tanda tangan seseorang yang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya, baik karena buta huruf maupun karena tangannya cacat atau lumpuh, suatu hal yang sering terjadi di Indonesia.75 Setiap orang mempunyai gambar kulit jari-jari yang tidak berubah dan jarang sekali ada dua orang yang gambar kulit jari-jarinya sama. Dengan penandatangan sepucuk tulisan di bawah tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau seorang pegawai lain yang ditunjuk oleh undang- undang, dari mana ternyata bahwa ia mengenal si
75
Tan Thong Kie 2000, Studi Notariat, Serba-serbi Praktek Notaris, Edisi Baru, PT Icthiat Baru Van Hoeve, Jakarta. (selanjutnya disebut Tan Thong Kie II), hal 196.
65 pembubuh cap jempol, atau bahwa orang lain telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta telah dijelaskan kepada orang itu, dan setelah itu cap jempol dibubuhkan dihadapaan pegawai tadi dan pegawai tersebut harus membukukan tulisan tersebut. 76 Pembahasan mengenai cap ibu jari/cap jempol jarang ditemui dalam literatur kepustakaan Indonesia. Dalam buku Peraturan Jabatan Notaris hanya disinggung mengenai jalan keluar “ ... bagi orang- orang buta huruf atau orang - orang lain yang karena kecelakaan atau sebab-sebab lain tidak dapat membubuhkan tanda tangannya di atas akta, agar mereka juga dapat membuat akta partij (partij acte) dihadapan notaris” 77. Hal tersebut dikarenakan dalam akta partij, penandatanganan akta oleh para penghadap merupakan suatu syarat yang tidak dapat ditiadakan. Akan tetapi dalam buku yang sama juga disebutkan bahwa cap jempol bukan merupakan tanda tangan huruf, sehingga karenanya tidak memenuhi persyaratan penandatanganan nama (het tekenen van de naam). Dalam hal ini tanda tangan digantikan oleh yang dinamakan Surrogaat, yaitu dengan memberikan keterangan atau alasan kepada notaris dengan mengatakan “saya mau menandatangani akta ini, akan tetapi saya tidak pandai menulis dan karenanya saya tidak dapat membubuhkan tandatangan saya pada akta ini”. Ketentuan tersebut juga ditegaskan dalam Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004, yang menyatakan alasan tersebut harus dinyatakan dengan tegas dalam akta.
76 77
Ibid GHS. Lumban Tobing, Op. Cit, hal 211.
66 2.3. Tinjauan Umum Tentang Surat Kuasa 2.3.1. Pengertian Pemberian Kuasa Perkembangan kehidupan saat ini sudah semakin maju, kesibukan seseorangpun kian bertambah. Tidak jarang ditemukan orang yang tidak mampu menghadiri suatu urusan secara fisik, sehingga mewakilkan kepada orang lain untuk mengurus kepentingan tertentu. Agar orang yang diserahi tugas untuk menyelesaikan kepentingannya tersebut, dapat bertindak atas namanya, maka dengan suatu perjanjian, ia menyerahkan kekuasaan atau wewenangnya. Pengertian pemberian kuasa dalam Pasal 1792 KUHPerdata adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Oleh karena pemberian kuasa adalah merupakan suatu perjanjian, maka pemberi kuasa dan penerima kuasa dapat membuat surat kuasa yang sesuai dengan kesepakatan selain yang telah ditentukan oleh undang-undang. Dalam kesepakatan pemberian kuasa terdapat beberapa sifat pokok yaitu penerima kuasa langsung berkapasitas sebagai wakil pemberi kuasa, pemberian kuasa bersifat konsensual yaitu dibuat berdasarkan kesepakatan dan kekuatan mengikat tindakan kuasa hanya terbatas pada kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa, begitu juga dalam hal tanggung jawab para pihak dalam pemberian kuasa. Dari pengertian pemberian kuasa dalam Pasal 1792 KUH Perdata tersebut maka dapat diambil kesimpulan yaitu : a) Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian; b) Untuk melakukan suatu perbuatan hukum; c) Adanya perwakilan, yaitu seseorang atas nama orang lain melakukan suatu urusan. Dengan kata lain, suatu perjanjian pemberian kuasa haruslah memenuhi ketiga unsur pokok
67 tersebut. Jika salah satu saja dari ketiga unsur pokok tersebut tidak ada, maka perjanjian yang diadakan, bukanlah perjanjian pemberian kuasa sebagaimana yang dimaksud oleh Pasal 1792 KUHPerdata. Dengan demikian, maka pembedaan atas ketiga unsur pokok tersebut, hanyalah sekadar pembagian untuk memudahkan pembahasan dan bukan merupakan suatu pemisahan, karena ketiga unsur pokok tersebut adalah satu kesatuan yang utuh dan bulat. Pemberian kuasa apabila dilihat dari sifat perjanjiannya dapat dibedakan menjadi 4, yaitu : a) Pemberian kuasa umum, adalah pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum dan meliputi semua kepentingan pemberi kuasa, diatur dalam Pasal 1795 KUHPerdata; b) Pemberian kuasa khusus, adalah pemberian kuasa hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Dalam hal ini pemberi kuasa menyebutkan apa yang harus dilakukan; c) Kuasa istimewa (agen) Diatur dalam Pasal 1796 KUHPerdata; d) Kuasa Perantara, di dalam dunia perdagangan sering disebut dengan makelar dimana pemberi kuasa memberi perintah kepada agen untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga yang pada pokoknya langsung mengikat pihak ketiga sepanjang tidak bertentangan dengan batas kewenangan yang diberikan. 78 Kuasa pada dasarnya merupakan pengalihan wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Pengalihan wewenang tersebut dapat terjadi dikarenakan : 1. Karena tidak cakap hukum, pada dasarnya setiap orang cakap untuk melakukan suatu tindakan hukum, kecuali bagi mereka yang oleh Undang-Undang dinyatakan tidak cakap. Mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak 78
M. Yahya Harahap, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disebut M. Yahya Harahap I), hal. 46-47.
68 cakap hukum tidak dapat melakukan tindakan hukum tanpa bantuan orang lain. Contohnya : Orang yang belum dewasa dapat dibantu oleh orang tua atau wali dan mereka yang berada di bawah pengampuan dapat dibantu oleh pengampu (kurator). Batasan usia dewasa yang digunakan oleh para notaris dalam membuat suatu akta autentik adalah usia 21 (dua puluh satu) tahun; b) bertindak dalam kapasitasnya sebagai kuasa; dalam beberapa hal sering dijumpai seseorang yang bertindak bukan untuk diri sendiri ataupun bertindak untuk orang lain secara perorangan melainkan bertindak untuk badan hukum karena kapasitas dan kedudukannya dalam badan hukum tersebut. Orang-orang yang dalam kapasitas dan kedudukannya sebagai wakil atau kuasa badan hukum yang bersangkutan tidak memerlukan surat kuasa dari manapun karena sudah dicantumkan dalam anggaran dasar badan hukum tersebut maupun dalam undang-undang mengenai perwakilannya; c) Tidak memiliki kewenangan bertindak; Kewenangan bertindak seseorang dapat dilihat dari kecakapan hukumnya. Namun tidak selalu orang yang cakap hukum mempunyai kewenangan bertindak. Orang dewasa yang menurut undang-undang mempunyai kecakapan hukum belum tentu memiliki wewenang untuk bertindak mengenai suatu hal, karena kewenangan bertindak dapat berarti hak yang dimiliki seseorang untuk melakukan suatu tindakan. Dalam hal lain dapat diartikan juga sebagai kekuasaan untuk bertindak. Pasal 1793 ayat 1 KUHPerdata mengatur mengenai cara pemberian kuasa, yaitu dengan: a) Akta autentik. pemberian kuasa diberikan dalam bentuk akta. Untuk tindakan hukum tertentu seperti hibah dan pemberian hipotik harus dilakukan dengan akta autentik, diatur dalam ketentuan Pasal 1171 KUHPerdsata. Adapun
69 yang dimaksud dengan akta autentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pegawaipegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat mana akta dibuat. Yang dimaksud dengan pegawai umum diatas adalah pejabat umum, yaitu selain notaris, adalah juga juru sitam pegawai catatan sipil, panitera pengadilan negeri. “dibuat oleh” berarti akta tersebut dibuat oleh pejabat umum itu sendiri, yang mengetahui sendiri adanya suatu peristiwa, sehingga kebenaran formil dan materiil dari akta itu selalu ada; b) Surat dibawah tangan. caranya dengan membuat persetujuan dalam suatu surat atas segel yang dibuatnya sendiri diluar pejabat resmi. Jadi surat kuasa yang dibuat dibawah tangan ini adalah suatu persetujuan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Pasal 1867 KUHPerdata menyatakan, “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan autentik maupun tulisan dibawah tangan.” Tulisan dibawah tangan ini dibuat dengan tujuan untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa. Dalam Pasal 1874 KUHPerdata diberikan pengertian tentang surat dibawah tangan yaitu surat-surat atau tulisan-tulisan yang ditandatangani dan dibuat dengan sengaja untuk menjadi bukti dari suatu peristiwa tanpa melalui seorang pejabat umum.79 Karena surat dibawah tangan ini dibuat tanpa melalui seorang pejabat umum, maka ketentuan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1875 KUHPerdata berlaku, yaitu, “suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui memberikan terhadap orang-orang yang 79
Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 88.
70 menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti akta autentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 KUHPerdata untuk tulisan itu. Kekuatan surat dibawah tangan terletak pada pengakuan pihak yang membuatnya. Dalam hal tanda tangan atau tulisan dalam surat dibawah tangan disangkal, maka pihak yang mempergunakan surat tersebut harus membuktikan kebenaran dari surat dibawah tangan tersebut; c) Surat biasa, berbeda dengan surat dibawah tangan, pemberian kuasa dengan surat biasa, surat tersebut tidak perlu diatas segel. Di dalam surat tersebut dimuat persetujuan yang dibuat antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa untuk melakukan perbuatan hukum mengenai kuasa yang harus dilakukan; d) Secara lisan pemberian kuasa dengan lisan ini dilakukan tanpa bukti apapun. Namun dalam hal ini biasanya dilakukan antara orang yang saling mengenal dan percaya. Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian konsensual dalam arti sudah mengikat (sah) pada detik tercapainya kata sepakat antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Oleh karena itu sesuai dengan Pasal 1793 ayat (1) KUHPerdata tersebut diatas, maka pemberian kuasa dapat dilakukan secara lisan, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan dengan diucapkan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa danselanjutnya pemberian kuasa ini diterima baik oleh penerima kuasa; e) Secara diam-diam, artinya apabila seseorang melakukan suatu tindakan atas nama orang lain dan yang bersangkutan menerimanya walaupun tidak disampaikan secara formal. Buku ke III KUHPerdata tentang perikatan pada prinsipnya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu bab 1 hingga bab 4 merupakan bagian umum dan bab 5
71 hingga bab 18 merupakan bagian khusus. Antara bagian umum dan bagian khusus ini terdapat hubungan yang erat, yaitu asas-asas yang terdapat pada bagian umum, berlaku dan harus diberlakukan pada bagian khusus. Perjanjian pemberian kuasa yang diatur dalam Pasal 1792 sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata terdapat dalam bab 16 buku ke III, sehingga merupakan bagian khusus. Hal ini berarti bahwa semua asas hukum perjanjian dari bagian umum yang terdapat dalam bab 1 sampai dengan bab 4 buku ke III KUHPerdata berlaku dan harus diberlakukan pada perjanjian pemberian kuasa. Dengan demikian, maka asas kebebasan berkontrak juga berlaku di dalam perjanjian pemberian kuasa, walaupun berlakunya disertai pembatasan, yaitu dengan mengindahkan dan memperhatikan ketentuanketentuan yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata mengenai syarat sahnya perjanjian, Pasal 1337 KUHPerdata mengenai sebab terlarang dan Pasal 1330 KUHPerdata mengenai orang-orang yang tidak cakap dalam membuat persetujuan. Di dalam Pasal 1792 KUHPerdata telah disebutkan bahwa pemberian kuasa adalah merupakan suatu persetujuan atau perjanjian. Sehubungan dengan perumusan tersebut, maka dalam perjanjian pemberian kuasa, pihak pemberi kuasa wajib memberikan wewenang dan kekuasaannya kepada pihak penerima kuasa agar untuk dan atas namanya, si penerima kuasa bertindak menyelenggarakan suatu urusan. Sedangkan penerima kuasa wajib melaksanakan urusan tersebut demu kepentingan pemberi kuasa. Oleh karena itu didalam perjanjian pemberian kuasa ini telah menimbulkan kewajibankewajiban bagi pemberi kuasa maupun penerima kuasa sebagai berikut : 1. Kewajiban bagi penerima kuasa dinyatakan dalam Pasal 1800 KUHPerdata, “si kuasa diwajibkan, selama ia belum dibebaskan, melaksanakan kuasanya, dan ia
72 menanggung segala biaya, kerugian dan bunga yang sekiranya dapat timbul karena tidak dilaksanakannya kuasa itu. Begitu pula ia diwajibkan menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dunia, jika dengan tidak segera menyelesaikannya dapat menimbulkan suatu kerugian.” Sedangkan kewajiban bagi pemberi kuasa dinyatakan dalam Pasal 1807 KUHPerdata, “si pemberi kuasa diwajibkan memenuhi perikatan yang diperbuat oleh si kuasa menurut kekuasaan yang ia telah berikan kepadanya. Ia tidak terikat pada apa yang diperbuat selebihnya daripada itu, selainnya sekedar ia telah menyetujuinya secara tegas atau diam-diam.” Dan selanjutnya dalam Pasal 1808 KUHPerdata, “si pemberi kuasa diwajibkan mengembalikan kepada si kuasa persekot-persekot dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh orang ini untuk melaksanakan kuasanya, begitu pula untuk membayar upahnya jika ini telah diperjanjikan. Jika si kuasa tidak melakukan sesuatu kelalaian, maka si pemberi kuasa tidak dapat meluputkan diri dari kewajiban mengembalikan persekot-persekot dan biaya-biaya serta membayar upah tersebut diatas, sekalipun urusannya tidak berhasil.” 2. Untuk melakukan suatu perbuatan hukum “menyelenggarakan suatu urusan” sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1792 KUHPerdata adalah untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Adapun perbuatan hukum yang dimaksud dalam pasal ini adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh penerima kuasa atas suatu urusan yang dibebankan atau diinginkan oleh pemberi kuasa yang diharapkan akan
menghasilkan
suatu
akibat
hukum
demi
kepentingan
pemberi
73 kuasa.
80
Agar supaya penerima kuasa dapat melakukan perbuatan hukum yang
dimaksud, maka ia diberi kekuasaan atau wewenang oleh pemberi kuasa. Dengan kekuasaan atau wewenang yang ada pada penerima kuasa inilah, yang membuat ia berwenang melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan dan atas nama pemberi kuasa. 81 Sehingga apa yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah merupakan tanggung jawab dari pemberi kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan oleh penerima kuasa tersebut sesuai dengan kuasa yang diberikan. Oleh karena itu, segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukan si penerima kuasa, akan menjadi hak dan kewajiban dari si pemberi kuasa. Jika penerima kuasa lalai melaksanakan kewajibannya maka Pasal 1801 KUHPerdata menyatakan,” si kuasa tidak saja bertanggung jawab tentang perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, tetapi juga tentang kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya. Namun itu tanggung jawab tentang kelalaian-kelalaian bagi seseorang yang dengan CumaCuma menerima kuasa adalah tidak sebegitu berat seperti yang dapat diminta dari seseorang yang untuk itu menerima upah.” Dengan demikian penerima kuasa dapat bebas menjalankan peranannya dalam batas-batas wewenang dan kekuasaannya, sebagaimana yang telah digariskan oleh pemberi kuasa dan sudah tentu penerima kuasa tidak boleh lupa bahwa ia bertindak atas nama dan mewakili pemberi kuasa. Perbuatan hukum ini akan terus berlangsung selama pemberi kuasa belum mencabut kuasanya atau sampai saat selesainya perbuatan 80
Subekti, 1982, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut Subekti I), hal.158. 81 M. Yahya Harahap, 1982, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Bandung, (selanjutnya disebut M.Yahya Harahap II), hal. 307.
74 hukum yang dimaksud atau dapat juga dengan meninggalnya salah satu pihak. Adanya perwakilan, yaitu seseorang atas nama orang lain melakukan suatu urusan. Pada bagian akhir dari Pasal 1792 KUHPerdata dinyatakan bahwa untuk “atas namanya” menyelenggarakan suatu urusan. Maksud dari kata-kata atas nama pada pasal ini adalah mewakili yang berarti bahwa pemberi kuasa mewakilkan82 kepada penerima kuasa untuk mengurus dan melaksanakan kepentingan pemberi kuasa dan selanjutnya penerima kuasa bertindak/berbuat sebagai wakil atau mewakili pemberi kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa. Oleh karena itu penerima kuasa akan langsung berkedudukan sebagai wakil pemberi kuasa. Seandainya penerima kuasa tidak langsung berkedudukan menjadi wakil dari pemberi kuasa, maka berarti penerima kuasa tersebut hubungannya hanya terbatas dengan pemberi kuasa saja sehingga hubungan tersebut bersifat intern antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa. Akibatnya penerima kuasa tidak dapat bertindak kepada pihak ketiga atas nama pemberi kuasa. Sebab itulah pengertian pemberian kuasa pada pasal ini adalah penerima kuasa bertindak mewakili pemberi kuasa, yaitu penerima kuasa langsung bertindak untuk melakukan perbuatan hukum mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga. Orang yang diberi kuasa dalam melakukan perbuatan hukum itu adalah “atas nama” orang yang memberi kuasa, maka dikatakan ia mewakili pemberi kuasa. Dengan demikian apa yang dilakukan penerima kuasa adalah atas tanggungan pemberi kuasa. Segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan
82
Ibid, hal.306.
75 yang dilakukan penerima kuasa akan menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa. Sehingga kalau perbuatan yang dilakukan penerima kuasa itu adalah membuat perjanjian, maka pemberi kuasa lah yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut. 2.3.2. Pembatasan, Pelaksanaan dan Berakhirnya Surat Kuasa Pembatasan pemberian kuasa bila dilihat dari cara bertindaknya penerima kuasa dapat dibedakan menjadi dua, yaitu : a) Penerima kuasa bertindak atas namanya sendiri. Hal ini sering dilakukan oleh seorang komisioner yang melakukan perbuatan hukum seolah-olah untuk dirinya sendiri; b) Penerima kuasa bertindak atas nama orang lain, perbuatan yang dilakukan untuk orang lain dan pada saat melakukannya penerima kuasa menyatakan bahwa ia melakukannya untuk orang lain.83 Surat kuasa seperti yang termaksud dalam Pasal 1792 KUHPerdata dibuat untuk memberi ketegasan mengenai pemberian kuasa dari seseorang/badan hukum kepada orang atau pihak lain untuk melakukan suatu tindakan/perbuatan hukum yang karena suatu hal tidak dapat dilakukan sendiri oleh yang mempunyai hak atas perbuatan tersebut. Perbuatan hukum apapun pada dasarnya dapat dilakukan dengan surat kuasa, misalnya surat kuasa untuk menghadap di muka pengadilan, surat kuasa dalam rangka pembuatan akte Notaris, dan lainnya. Namun yang membedakan adalah bagaimana penerapan surat kuasa tersebut kedalam masing-masing tindakan hukum.
83
Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, hal 11.
76 Pada Pasal 1793 KUH Perdata ayat (1) disebutkan : “kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan bahkan dalam bentuk sepucuk surat ataupun dengan lisan”. Sedangkan pada ayat (2) disebutkan mengenai pemberian kuasa secara diam-diam, namun untuk perbuatan hukum yang berkaitan dengan tanah hanya dapat dilakukan dengan akta autentik. Menyelenggarakan suatu urusan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1792 KUHPerdata adalah untuk melakukan “suatu perbuatan hukum”. Adapun perbuatan hukum yang dimaksud adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh si penerima kuasa, yaitu menyelenggarakan suatu urusan demi kepentingan si pemberi kuasa. Agar penerima kuasa dapat melakukan perbuatan hukum yang dimaksud, maka ia diberi kekuasaan oleh pemberi kuasa yang menyebabkan ia berwenang melakukan perbuatan hukum untuk kepentingan dan atas nama pemberi kuasa. 84 Dengan adanya pemberian kuasa segala perbuatan yang dilakukan oleh penerima kuasa adalah merupakan tanggung jawab dari pemberi kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan penerima kuasa dilakukan sesuai dengan kuasa yang diberikan. Sehingga segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh penerima kuasa akan menjadi hak dan kewajinban pemberi kuasa. Perbuatan hukum ini akan terus berlangsung selama pemberi kuasa belum mencabut kuasanya atau sampai saat selesainya perbuatan hukum yang dimaksud atau dapat juga dengan meninggalnya salah satu pihak, Jadi dengan kata lain seseorang yang diberi kuasa (penerima kuasa) adalah wakil dari pemberi kuasa dan ia mempunyai kekuasaan yang sama dengan pemberi kuasa untuk melakukan suatu urusan dan/atau perbuatan. Akan tetapi dalam 84
M. Yahya Harahap II, 1982, Op Cit, hal. 307.
77 hal kekuasaan penerima kuasa tetap dibatasi oleh kepentingan pemberi kuasa seperti yang telah diperjanjikan. Berakhirnya pemberian kuasa diatur dalam Pasal 1813 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata. Hal tersebut disebabkan karena : 1) Ditariknya kembali kuasa oleh pemberi kuasa; 2) Pemberitahuan penghentian kuasa oleh penerima kuasa; 3) Pemberi kuasa atau penerima kuasa meninggal, dibawah pengampuan atau pailit; 4) Bila yang memberikan kuasa adalah perempuan dan melakukan perkawinan. Pada umumnya suatu perjanjian tidak berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak, tetapi pemberian kuasa itu berakhir apabila pemberi kuasa atau penerima kuasa meninggal dunia. Pemberian kuasa tergolong pada perjanjian dimana prestasi sangat erat hubungannya dengan pribadi para pihak. Dalam praktek ini kita juga tidak memberikan kuasa kepada orang yang belum kita kenal, tetapi kita memilih orang yang dapat kita percaya untuk mengurus kepentingan-kepentingan kita. Mengenai kawinnya seorang perempuan yang memberikan atau menerima kuasa, dengan lahirnya yurisprudensi yang menganggap seorang perempuan yang bersuami sepenuhnya
cakap menurut hukum, ketentuan
yang berkenaan dengan kawinnya seorang perempuan dengan sendirinya tidak berlaku lagi. 85 Pemberi
kuasa
dapat
menarik
kembali
kuasanya,
manakala
itu
dikehendakinya, dan jika ada alasan untuk itu memaksa si kuasa untuk mengembalikan kuasa yang dipegangnya (Pasal 1814 KUHPerdata). Yang
85
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Subekti II), hal. 151.
78 dimaksudkan dengan ketentuan ini adalah bahwa si pemberi kuasa dapat menghentikan kuasa tersebut kapan saja asal dengan pemberitahuan penghentian dengan mengingat waktu yang secukupnya. Bila si kuasa tidak mau menyerahkan kembali kuasanya secara sukarela, ia dapat dipaksa berbuat demikian melalui pengadilan. Penarikan kuasa kembali yang hanya diberitahukan kepada si kuasa, tidak dapat diajukan terhadap orang-orang pihak ketiga yang karena mereka tidak mengetahui tentang penarikan kembali itu, telah mengadakan suatu perjanjian dengan si kuasa. Hal ini tidak mengurangi tuntutan pemberi kuasa kepada penerima kuasa, sebagaimana diatur dalam Pasal 1815 KUHPerdata. Dalam praktek, penarikan kembali itu diumumkan dalam beberapa surat kabar dan diberitahukan dengan surat kepada para pihak atau relasi yang berkepentingan. Dari alasan-alasan berakhirnya masa pemberian surat kuasa dapat disimpulkan beberapa hal antara lain : a) Bahwa pemberian kuasa dapat berakhir setiap saat dan apabila perlu dapat dilakukan dengan cara memaksa; b) Penarikan pemberian kuasa harus dengan sepengetahuan penerima kuasa; c) Dalam hal pemberi kuasa meninggal dunia maka penerima kuasa tetap dapat melakukan tugasnya kecuali ada penarikan surat kuasa (hanya dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli); d) Dalam hal penerima kuasa yang meninggal dunia maka ahli warisnya harus sesegera mungkin memberitahuan kepada pemberi kuasa dan melakukan tindakan yang perlu untuk kepentingan penerima kuasa. Selain daripada alasan-alasan yang diuraikan dalam Pasal 1813 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1819 KUHPerdata, terdapat alasan lain yang dapat mengakhiri pemberian kuasa yaitu karena lewatnya masa berlaku surat kuasa serta terpenuhinya syarat untuk pemberian kuasa, misalnya kuasa untuk pengurusan sesuatu.
79 2.3.3. Surat Kuasa Khusus Yang Berlaku di Pengadilan Para pihak yang hendak berperkara di muka pengadilan prinsipnya tidak harus diwakilkan atau dikuasakan kepada pihak lain. Dalam artian, pemeriksaan perkara di persidangan bisa secara langsung terhadap para pihak, namun apabila dikehendaki oleh pihak yang berperkara dan memang ada alasan untuk itu, maka kehadiran mereka bisa dikuasakan. Yang dimaksud dengan surat kuasa khusus di pengadilan ialah surat yang dibuat untuk satu perkara tertentu dan untuk satu tingkatan pengadilan pada lingkup badan peradilan tertentu. Jadi surat kuasa ini misalnya, hanya diperuntukkan dalam penyelesaian perkara perjanjian utang piutang antara penggugat/pemberi kuasa dan tergugat pada salah satu Pengadilan Negeri di Indonesia. Apabila timbul perkara yang lain, misalnya perjanjian sewa - menyewa, maka untuk penyesaiannya diperlukan surat kuasa yang baru yang diperuntukkan bagi si penerima kuasa. Demikian pula apabila perkara yang pertama dimintakan pemeriksaan
di
tingkat
banding
pada
Pengadilan
Tinggi,
maka
untuk
penyelesaiannya pun masih diperlukan surat kuasa yang baru bagi si penerima kuasa.86 Pasal 123 HIR tidak menetapkan tentang bagaimana surat kuasa khusus yang akan dipakai untuk mewakili principal di pengadilan itu harus dibuat, Pasal 123 HIR hanya menyatakan bahwa surat kuasa khusus tersebut berbentuk tertulis (semacam surat). Dalam hukum perdata kata surat dapat dipersamakan dengan akta. Oleh karena itu surat kuasa khusus tersebut dapat dibuat dengan berbagai bentuk akta. Adapun secara garis besar dikenal 2 macam bentuk akta yakni akta autentik dan akta 86
Bambang Sugeng AS dan Sujayadi, 2012, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal 11.
80 dibawah tangan. Dengan demikan surat kuasa khusus tersebut mempunyai bentuk sebagai berikut : 1. Akta Autentik Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh pejabat berwenang untuk itu serta pembuatannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tata cara pembuatan akta tersebut. Adapun dalam lembaga lastgeving dikenal 2 macam akta autentik yaitu: a
Akta Notaris Surat kuasa khusus dapat dibuat dihadapan notaris dengan dihadiri oleh principal atau pemberi kuasa dan si penerima kuasa. Namun demikian sebenarnya surat kuasa khusus tersebut mempunyai bentuk yang bebas (vrijk vorm), tidak harus berbentuk akta notaris.
b. Akta yang dibuat di depan panitera Surat kuasa khusus dapat juga dibuat di depan panitera pengadilan yang sesuai dengan kewenangan relative. Kemudian akta yang dibuat di depan panitera itu harus dilegalisir oleh kepala PN agar akta tersebut sah menjadi suatu akta yang autentik. 2. Akta dibawah tangan Adalah akta yang dibuat antara si principal atau pemberi kuasa dan penerima kuasa tanpa perantara pejabat yang berwenang yang ditanda tangani kedua belah pihak dan mencantumkan tanggal penandatanganan. Namun sebenarnya akta dibawah tangan yang dibubuhi cap jempol dapat juga digunakan sebagai surat kuasa khusus karena akta yang dibubuhi cap jempol itu memenuhi syarat formal
81 hanya saja pada akta yang dibubuhi cap jempol harus dilegalisir dan di daftarkan sesuai dengan Stb. 1916 no 46, hal ini ditegaskan di dalam putusan MA no 272 k/pdt/1983, dan ditegaskan kembali dalam putusan MA no 3332 k/pdt/1991. Hal ini berbeda dengan akta yang ditandatangi karena akta yang ditanda tangani tidak harus di legalisir dan hal tersebut adalah sesuatu yang legal binding sesuai dengan Putusan MA no 779 k/pdt/1992. 2.4. Tinjauan Umum Surat Gugatan Pengadilan Menurut Pasal 118 HIR gugatan di pengadilan harus diajukan dengan surat permintaan yang ditanda tangani oleh penggugat atau wakilnya. surat permintaan Ini dalam praktik disebut surat gugatan. Karena gugatan harus diajukan dengan surat gugatan, maka bagi mereka yang buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatannya secara lisan kepada ketua pengaidilan negeri yang berwenang untuk mengadili gugatannya dan mohon agar dibuatkan surat gugatan berdasarkan ketentuan Pasal 120 HIR. Dengan demikian, gugatan dapat diajukan baik secara tertulis maupun secara lisan. Dalam hal diajukan seara lisan, maka Ketua Pengadilan Negeri akan memerintahkan untuk mencatat gugatan tersebut. 87 Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam pengajuan surat gugatan, sebagai berikut: 1. Surat gugatan harus ditandatangani oleh penggugat atau wakilnya (kuasa hukumnya). Oleh karea Itu, apabila ada surat kuasa maka tanggal surat gugatan harus lebih muda daripada tanggal surat kuasa.
87
Bambang Sugeng dan Sujayadi, ibid, hal 20.
82 2. Surat kuasa harus tertanggal, menyebut dengan jelas nama penggugat dan tergugat, tempat mereka dan kalau perlu jabatan kedudukan penggugat dan tergugat (ex Pasal 1357 B.W). 3. Surat gugatan sebaiknya diketik, dan tidak perlu pula dibubuhkan materai 4. Surat gugatan harus dibuat dalam beberapa rangkap. Satu helai ialah aslinya untuk pengadilan negeri, satu helai untuk arsip penggugat dan ditambah sekian banyak salinan lagi untuk masing-masing tergugat dan tergugat. 5. Surat gugatan harus didaftar di Kepaniteraan Pengadilan negeri yang berkompeten dengan membayar suatu persekot (uang muka) perkara. 88 Syarat utama bagi pihak yang ingin mengajukan gugatan adalah orang tersebut haruslah mempunyai kepentingan. Apabila seseorang tidak mempunyai kepentingan, maka ia tidak dapat mengajukan gugatan, seperti yang dikenal dengan asas point d‟interest, point d‟action atau tiada gugatan tanpa kepentingan hukum. Selain itu, sesuai ketentuan dalam hukum acara perdata (HIR), dalam Pasal 123 yang menentukan bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang bersangkutan, atau yang berkepentingan, dan bukan oleh orang lain. Seandainya gugatan diajukan oleh orang lain, maka harus ada surat kuasa yang diharuskan dipakai dalam persidangan di Pengadilan Negeri. Dalam hukum perdata, tuntutan hak dengan mengajukan gugatan dapat terjadi karena adanya perbuatan Wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum atau adanya peristiwa lain sehingga merugikan pihak tertentu, oleh karenanya gugatan hanya dapat diajukan oleh pihak yang berkepentingan dan bilamana ada hubungan hukum.
88
Ibid
83 HIR tidak mengatur dengan tegas syarat-syarat dan bentuk suatu gugatan, tetapi untuk tercapainya maksud dari suatu gugatan, di samping adanya alasan hukum yang kuat serta kebenaran, adanya tuntutan metode penyampaian serta susunan surat gugatan sangat penting untuk menentukan diterima atau ditolaknya gugatan. Secara umum beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan surat gugatan ke Pengadilan Negeri adalah mengenai uraian duduk perkara atau posita yang menunjukkan adanya hubungan hukum yang menjadi dasar dan alasan diajukannya tuntutan hak, selanjutnya tuntutan/petitum yang merupakan kesimpulan gugatan berupa tuntutan-tuntutan yang dimohonkan oleh Penggugat. Petitum dapat terdiri dari Tuntutan Pokok dan Tuntutan Tambahan. Apabila peristiwa-peristiwa hukum yang diuraikan pada posita bertentangan dengan apa yang dimohon dalam petitum akan menyebabkan surat gugatan menjadi kabur dan tidak jelas sehingga gugatan tidak dapat diteirma oleh Pengadilan. Terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut dapat diajukan Banding ke Pengadilan Tinggi, kasasi ke Mahkamah Agung dan upaya hukum yang terakhir adalah Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung.
BAB III SURAT KUASA KHUSUS GUGATAN PENGADILAN YANG DIBUBUHI DENGAN CAP JEMPOL SEBAGAI PENGGANTI TANDA TANGAN
3.1. Kedudukan Notaris Terhadap Akta Yang Dibuat Sesuai Dengan Syarat Formil Pada bab sebelumnya telah diuraikan mengenai pengertian notaris sebagai pejabat
umum.
Pejabat
Umum
merupakan
terjemahan
dari
istilah
OpenbareAmtbtenaren yang terdapat dalam Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (PJN) dan Pasal 1868 KUHPerdata.89 Berdasarkan pengertian tersebut
maka notaris
berwenang membuat akta sepanjang dikehendaki oleh para pihak atau menurut aturan hukum wajib dibuat dalam bentuk akta autentik. Pembuatan akta tersebut harus berdasarkan aturan hukum yang berkaitan dengan aturan atau prosedur pembuatan akta notaris, sehingga Jabatan Notaris sebagai Pejabat Umum tidak perlu lagi diberi sebutan lain yang berkaitan dengan kewenangan notaris. Jabatan notaris sebagaiman Pasal 1 PJN menyatakan bahwa: Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya, dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pasal 1868 89
Habib Adjie, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), CV. Mandar Maju, Bandung, (Selanjutnya disebut Habib Adjie III), hal 15. 84
85 KUHPerdata menyatakan bahwa: “Suatu akta autentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat”. Diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai peristiwa hukum. Pemberian kualifikasi notaris sebagai Pejabat Umum berkaitan dengan wewenang notaris. Menurut Pasal 15 ayat (1) UUJN bahwa notaris berwenang membuat akta autentik, sepanjang pembuatan akta-akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain. Pemberian wewenang kepada pejabat atau instansi lain, seperti Kantor Catatan Sipil, tidak berarti memberikan kualifikasi sebagai Pejabat Umum tapi hanya menjalankan fungsi sebagai Pejabat Umum saja ketika membuat akta-akta yang ditentukan oleh aturan hukum, dan kedudukan mereka tetap dalam jabatannya semula sebagai Pegawai Negeri. 90
Wet op het Notarisambt yang
mulai berlaku tanggal 3 April 1999, Pasal 1 huruf a menyebutkan bahwa: “Notaris: de ambtenaar”, notaris tidak lagi disebut sebagai Openbaar Ambtenaar sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 Wet op het Notarisambt yang lama. Notaris sekarang ini tidak dipersoalkan apakah sebagai Pejabat Umum atau bukan, dan perlu diperhatikan bahwa istilah Openbaar Ambtenaar dalam konteks ini tidak bermakna umum, tetapi publik. Ambt pada dasarnya adalah jabatan publik, sehingga jabatan notaris adalah Jabatan Publik tanpa perlu atribut Openbaarb. Apabila ketentuan dalam Wet op het Notarisambt tersebut di atas dijadikan rujukan untuk memberikan pengertian yang
90
Ibid., hal 17.
86 sama terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (1) UUJN, maka Pejabat Umum yang dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tersebut harus dibaca sebagai Pejabat Publik. Notaris sebagai Pejabat Publik tidak sama dengan pejabat publik dalam bidang pemerintahan yang dikategorikan sebagai Pejabat Tata Usaha Negara. Notaris sebagai Pejabat Publik produk akhirnya yaitu akta autentik, yang terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat konkret, individual dan final serta tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi seseorang atau badan hukum perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan para pihak yang dituangkan dalam akta notaris yang dibuat dihadapan atau oleh notaris.91 Notaris merupakan suatu Jabatan (publik) mempunyai karakteristik, yaitu: 92 1. Sebagai Jabatan, UUJN merupakan unifikasi di bidang pengaturan Jabatan Notaris, artinya satu-satunya aturan hukum dalam bentuk undang-undang yang mengatur Jabatan Notaris di Indonesia, sehingga segala hal yang berkaitan Notaris di Indonesia harus mengacu kepada UUJN. Jabatan Notaris merupakan suatu lembaga yang diciptakan oleh negara, menempatkan notaris sebagai jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan atau Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Tugas yang sengaja dibuat oleh aturan hukum untuk keperluan dan fungsi tertentu serta bersifat berkesinambungan sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap; 2. Notaris mempunyai kewenangan tertentu, setiap wewenang yang diberikan kepada jabatan harus ada aturan hukumnya. Sebagai batasan agar jabatannya 91 92
Habib Adjie IV, Op.Cit., hal 21 Habib Adjie I, Op.Cit., hal 15-16.
87 dapat berjalan dengan baik, dan tidak bertabrakan dengan wewenang jabatan lainnya. Apabila seseorang pejabat (notaris) melakukan suatu tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan, dapat dikategorikan sebagai perbuatan melanggar wewenang. Wewenang notaris hanya dicantumkan dalam Pasal 15 ayat (1), (2) dan (3)UUJN; 3. Diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, Pasal 2 UUJN menyatakan bahwa notaris diangkat dan diberhentikan oleh menteri (pemerintah), dalam hal ini menteri yang diberi tugas dan tanggungjawabnya meliputi bidang kenotariatan (Pasal 1 angka 14 UUJN). Meskipun notaris secara administratif diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tidak berarti notaris menjadi subordinasi (bawahan) yang mengangkatnya. Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya: a) Bersifat mandiri (autonomous);
b) Tidak memihak siapapun (impartial); c)
Tidak tergantung kepada siapapun (independent), yang berarti dalammenjalankan tugas jabatannya tidak dapat dicampuri oleh pihak yangmengangkatnya atau pihak lain; d) Tidak menerima gaji atau pensiun dari yang mengangkatnya. Notaris diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah, tetapi tidakmenerima gaji dan pensiun dari pemerintah. Notaris hanya menerima honorarium atas jasa hukum yang diberikan sesuai dengan kewenangannya(Pasal 36 ayat (1) UUJN). Notaris juga wajib memberikan jasa hukum dibidang kenotariatan secara cumacuma kepada orang yang tidak mampu (Pasal 37 UUJN).Jabatan notaris bukan suatu jabatan yang digaji, notaris tidak menerima gajinya dari pemerintah sebagaimana halnya pegawai negeri, akan tetapi darimereka yang meminta jasanya. Notaris adalah pegawai penerintah tanpa gajipemerintah, notaris
88 dipensiunkan oleh pemerintah tanpa mendapat pensiun dari pemerintah. 93; e) Akuntabilitas atas pekerjaannya kepada masyarakat. Kehadiran notaris untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang memerlukan akta autentik dalam bidang hukum perdata, sehingga notaris mempunyai tanggung jawab untuk melayani masyarakat, masyarakat dapat menggugat secara perdata notaris, dan menuntut biaya, ganti rugi dan bunga jika ternyata akta tersebut dapat dibuktikan dibuat tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, hal ini merupakan bentuk akuntabilitas notaris kepada masyarakat. 3.2. Hubungan Notaris dengan Para Penghadap dan Akta Yang Dibuatnya Terkait dengan peran dan fungsi Notaris pada common law system, Laurence Lefflaurence mengatakan bahwa: “Public notary is to ensure that a person who sign the documents is the person who sign the document is the person pupated, is aware andga is not under obvious duress, and another duty is verify that the person has authority to sign the document94 Terjemahan bebasnya adalah : tugas utama Notaris adalah untuk memastikan bahwa orang yang menandatangani dokumen adalah orang yang memiliki tujuan yang jelas, sadar dan tidak di bawah tekanan dan tugas lainnya untuk memverifikasi orang yang memiliki kewenangan untuk menandatangani dokumen/akta. Penghadap datang ke notaris agar tindakan atau perbuatan hukumnya diformulasikan ke dalam akta autentik sesuai dengan kewenangan notaris, kemudian notaris membuatkan akta atas permintaan atau keinginan para penghadap tersebut, 93
G.H.S Lumban Tobing, 1992, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan Ketiga, P.T. Gelora Aksara, Jakarta, (selanjutnya disebut G.H.S. Lumban Tobing II), hal. 36. 94 Laurence lefflaurence, 2002, notaries and electronic notarization , western illinois university, hal.2.
89 maka dalam hal ini memberikan landasan kepada notaris dan para penghadap telah terjadi hubungan hukum. Notaris harus menjamin bahwa akta yang dibuat tersebut telah sesuai menurut aturan hukum yang sudah ditentukan, sehingga kepentingan yang bersangkutan terlindungi dengan akta tersebut. Para penghadap datang dengan kesadaran sendiri dan mengutarakan keinginannya di hadapan notaris, yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk akta notaris sesuai aturan hukum yang berlaku, dan suatu hal yang tidak mungkin notaris membuatkan akta tanpa ada permintaan dari siapapun. Hubungan hukum antara notaris dan penghadap merupakan hubungan hokum yang khas, dengan karakter: 95 a) Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam bentuk pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu; b) Mereka yang datang ke hadapan notaris, dengan anggapan bahwa notaris mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginanpara pihak secara tertulis dalam bentuk akta autentik; c) Hasil akhir dari tindakan notaris berdasarkan kewenangan notaris yang berasal dari permintaan atau keinginan para pihak sendiri; d) Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan. Pasal 39 ayat (3) huruf c menyebutkan bahwa “penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan padanya ...”. Pengertian dikenal bukan dalam arti kenal akrab, tetapi kenal yang dimaksud dalam arti yuridis yaitu ada kesesuaian antara nama dan alamat yang disebutkan oleh yang bersangkutan di hadapan notaris dan juga dengan bukti-bukti atau identitas atas dirinya yang diperlihatkan kepada notaris. Hal lain yang harus diperhatikan ialah bahwa yang bersangkutan mempunyai
95
Habib Adjie I, Op.Cit, hal 16-17.
90 wewenang untuk melakukan suatu tindakan hukum yang akan disebutkan dalam akta.96 Adanya pernyataan di dalam akta bahwa “menghadap kepada saya, tuan A” telah dapat diketahui bahwa penghadap dikenal oleh notaris sebagai tuan A. Beberapa contoh dari hal-hal yang dapat terjadi di dalam praktek notaris :
97
a) Para penghadap dikenal oleh notaris, hal mana oleh notaris dinyatakan dalam akta yang dibuatnya. Hal sedemikian tidak terdapat pelanggaran, orang-orang yang disebut dalam akta itu dianggap benar-benar hadir dihadapan notaris, sampai dapat dibuktikan sebaliknya; b) Di dalam akta dinyatakan, bahwa para penghadap dikenal oleh notaris, tetapi ternyata notaris melakukan kekhilafan mengenai identitas dari para penghadap, artinya notaris tidak mengenal para penghadap. Sekalipun undangundang tidak menyatakannya secara tegas, akta itu tidak mempunyai kekuatan autentik; c) Notaris tidak mengenal para penghadap, tetapi diperkenalkan kepadanya sesuai dengan cara yang ditentukan dalam undang-undang, dalam hal ini tidak terdapat pelanggaran; d) Notaris tidak mengenal para penghadap dan mereka diperkenalkan kepada notaris oleh dua orang saksi pengenal, yang tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang untuk menjadi saksi. Akibatnya ialah akta itu tidak mempunyai kekuatan autentik; e) Di dalam akta tidak disebutkan secara tegas tentang pengenalan atau mengenai adanya perbuatan memperkenalkan. Akibatnya akta hanya memiliki kekuatan sebagai akta di bawah tangan. Secara prinsip, notaris bersifat pasif melayani para pihak yang menghadap kepadanya. Notaris hanya bertugas mencatat atau menuliskan dalam akta apa-apa yang diterangkan para pihak, tidak berhak mengubah, mengurangi atau menambah apa 96 97
Habib Adjie I, Op.Cit, hal 19. G.H.S Lumban Tobing, Op.Cit, hal 182-183.
91 yang diterangkan para penghadap. 98 Menurut Yahya Harahap, sikap yang demikian dianggap terlampau kaku, oleh karena itu pada masa sekarang muncul pendapat bahwa notaris memiliki kewenangan untuk:99 a.) Mengkonstantir atau menentukan apa yang terjadi di hadapan matanya; b) Oleh karena itu, dia berhak mengkonstantir atau menentukan fakta yang diperolehnya guna meluruskan isi akta yang lebih layak. Sifat pasif ditinjau dari segi rasio tidak mutlak tetapi dilenturkan secara relatif dengan acuan penerapan bahwa pada prinsipnya notaris tidak berwenang menyelidiki kebenaran keterangan yang dikemukakan para pihak. Perihal keterangan yang disampaikan para pihak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan kesusilaan, maka notaris harus menolak membuat akta yang diminta.100 Hubungan notaris dengan para penghadap tidak dapat dipastikan atau ditentukan pada awal notaris dan para penghadap berhubungan, karena pada saat itu belum terjadi permasalahan apapun. Menentukan bentuk hubungan hukum antara notaris dengan para penghadap harus dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1869 KUHPerdata, bahwa akta autentik terdegradasi menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan dengan alasan: 1) tidak berwenangnya pejabat umum yang bersangkutan, atau; 2) tidak mampunya pejabat umum yang bersangkutan dalam membuat akta, atau; 3) cacat dalam bentuknya, atau karena akta notaris dibatalkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk menggugat notaris sebagai suatu 98
Subekti, 1987, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, (selanjutnya disebut Subekti III), hal 27. 99 M. Yahya Harahap II, Op.Cit., hal 573. 100 M. Yahya Harahap II, Op. Cit., hal 62
92 perbuatan melawan hukum. 101 Perbuatan melawan hukum dapat terjadi satu pihak merugikan pihak lain tanpa adanya suatu kesengajaan tapi menimbulkan kerugian pada salahsatu pihak. Notaris dalam praktiknya melakukan pekerjaan berdasarkan kewenangannya atau dalam ruang lingkup tugas jabatan sebagai notaries berdasarkan UUJN. Sepanjang notaris melaksanakan jabatannya sesuai UUJN dan telah memenuhi semua tata cara dan persyaratan dalam pembuataan akta, dan yang bersangkutan telah pula sesuai dengan para pihak yang menghadap notaris, maka tuntutan dalam bentuk perbuatan melawan hukum tidak mungkin dilakukan.102 Hubungan Notaris dengan Akta yang Dibuatnya Ditinjau dari segi pembuatan akta
autentik,
Pasal
1868
KUHPerdata
mengenal
dua
bentuk
cara
mewujudkannya: 103 1. Dibuat oleh pejabat Bentuk pertama, dibuat oleh pejabat yang berwenang. Biasanya akta autentik yang dibuat oleh pejabat meliputi akta autentik di bidang hukum publik dan dibuat oleh pejabat yang bertugas di bidang eksekutif yang berwenanguntuk itu, yang disebut pejabat tata usaha negara. Umumnya akta autentikdibuat oleh pejabat yang berwenang berdasarkan permohonan dari yangberkepentingan,
tetapi
ada
juga
tanpa
permintaan
dari
yang
berkepentingan.Pembuatan akta tersebut dikaitkan dengan fungsi tertentu seperti pembuatanberita acara atau putusan pengadilan, dibuat berdasar pelaksanaan fungsi penegakan hukum yang didasarkan undang-undang;
101
Habib Adjie I, Op.Cit., hal 19. Habib Adjie I, Op.Cit., hal 18 103 M. Yahya Harahap II, Op.Cit., hal 570-571. 102
93 2. Dibuat di hadapan pejabat Akta autentik yang dibuat di hadapan pejabat pada umumnya: a) Meliputi hal-hal yang berkenaan dalam bidang hukum perdata dan bisnis; b) Biasanya berupa akta yang berisi dan melahirkan persetujuan bagi para pihak yang datang menghadap dan menandatanganinya; c) Para pihak yang berkepentingan datang menghadap pejabat yang berwenang, dan kepada pejabat itu mereka sampaikan keterangan sertameminta agar keterangan itu dituangkan dalam bentuk akta. Pasal 1868 KUHPerdata merupakan sumber untuk otensitas akta notaris juga merupakan dasar legalitas eksistensi akta notaris, dengan syaratsyarat sebagai berikut: 104 a) Akta harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) seorang pejabat umum; b) Akta harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; c) Pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta tersebut.Akta yang dibuat oleh notaris dalam praktek notaris disebut akta relaas yang berisi uraian notaris yang dilihat dan disaksikan notaris sendiri atas permintaan para pihak, agar tindakan atau perbuatan para pihak yangdilakukan dituangkan ke dalam bentuk akta notaris. Akta yang dibuat dihadapan notaris, dalam praktek notaris disebut Akta Pihak, yang berisi uraian atau keterangan, pernyataan para pihak yang diberikan atau diceritakandi hadapan notaris. Pembuatan akta baik akta relaas maupun akta pihak, yang menjadi dasar utama dalam pembuatan akta notaris yaitu harus ada keinginanatau kehendak dan permintaan para pihak, jika
104
Habib Adjie, 2009, Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, (Selanjutnya disebut Habib Adjie IV), hal 56-57.
94 keinginan para pihak tidak ada, maka notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud. 105 Akta dibuat berdasarkan bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Lahirnya UUJN menegaskan keberadaan akta notaris dan mendapat pengukuhan karena bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dalam hal ini ditentukan dalam Pasal 38 UUJN. Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan kewenangan notaris membuat akta secara umum, dengan batasan: 106 a) Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang; b) Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh aturan hukum atau dikehendaki oleh yang berkepentingan; c) Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapaakta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan. Notaris membuatakta
untuk
setiap
orang,
tetapi agar
menjaga
netralitas
notaris
dalampembuatan akta, ada batasan yang ditentukan dalam Pasal 52 UUJN; d) Berwenang mengenai tempat, di mana akta itu dibuat, hal ini sesuai dengantempat kedudukan dan wilayah jabatan notaris; e) Mengenai waktu pembuatan akta, dalam hal ini notaris harus menjamin kepastian waktu menghadap para penghadap yang tercantum dalam akta. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter yuridis dari akta notaris yaitu: a) Akta notaris wajib dibuat dalam bentuk yang sudah ditentukan undang-undang (UUJN); b) Akta notaris dibuat karena ada permintaan para pihak dan bukan keinginan notaris; c) Meskipun dalam akta notaris tercantum nama 105 106
Habib Adjie III, Op.Cit., hal 44. Habib Adjie IV, Op.Cit., hal 56.
95 notaris, tapi notaris tidak berkedudukan sebagai pihak bersama-sama para pihak atau penghadap yang namanya tercantum dalam akta; d) Mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Siapapun terikat dalam akta notaris serta tidak dapat ditafsirkan lain, selain yang tercantum dalam akta tersebut; e) Pembatalan daya ikat akta notaris hanya dapat dilakukan atas kesepakatan para pihak yang namanya tercantum dalam akta. Jika ada yang tidak setuju, maka pihak yang setuju harus mengajukan permohonan ke pengadilan umum agar akta yang bersangkutan tidak mengikat lagi dengan alasan-alasan tertentu yang dapat dibuktikan. Notaris membuat akta harus sesuai dengan syarat formil dan materiil pembuatan akta, yaitu: 107 1. Syarat formil: a) Dibuat di hadapan pejabat yang berwenang, dalam hal ini notaris; b) Dihadiri para pihak (Pasal 39 UUJN); c) Kedua belah pihak dikenal atau diperkenalkan kepada notaris. (Pasal 39 ayat(2) UUJN ); d) Dihadiri oleh dua orang saksi. (Pasal 40 ayat (1) UUJN)
e) Menyebut identitas notaris
(pejabat), penghadap, dan para saksi. (Pasal 38 ayat (2), (3), dan (4) UUJN); f) Menyebut tempat, hari, bulan dan tahun pembuatan akta. (Pasal 38 ayat (2) UUJN); g) Notaris membacakan akta di hadapan para penghadap. (Pasal 16 ayat (1) huruf l UUJN) h) Ditandatangani oleh semua pihak. (Pasal 44 UUJN); i) Penegasan pembacaan, penerjemahan dan penandatanganan pada bagian penutup akta. (Pasal 45 ayat (3) UUJN) 2. Syarat materiil: a) Berisi keterangan kesepakatan para pihak; b) Isi keterangan perbuatan hukum; c) Pembuatan akta sengaja dimaksudkan sebagai alat bukti.
107
M. Yahya Harahap II, Op.Cit., hal 574-579.
96 Kedudukan notaris berkaitan dengan akta yang dibuatnya, parameternya harus kepada prosedur pembuatan akta notaris, dalam hal ini UUJN. 108 Apabila semua prosedur telah dilakukan (telah memenuhi syarat formil dan materil), maka akta yang bersangkutan tetap mengikat mereka yang membuatnya di hadapan notaris. Memidanakan notaris dengan alasan-alasan pada aspek formil, tidak akan membatalkan akta notaris yang dijadikan sebagai objek perkara pidana tersebut. Aspek materiil dari akta notaris, segala hal yang tertuang harus dinilai benar sebagai pernyataan notaris dalam akta relaas dan harus dinilai sebagai pernyataan para pihak dalam akta pihak, hal apa saja yang harus ada secara materiil dalam akta harus mempunyai batasan tertentu. Menentukan batasan seperti itu tergantung dari apa yang dilihat, didengar oleh notaris atau yang dinyatakan, diterangkan oleh para pihak dihadapan notaris. 3.3. Kewenangan Notaris Dalam Pembuatan Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan Menyimak dari apa yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya mengenai kedudukan notaris serta hubungannya dengan para penghadap dan akta yang dibuatnnya, jelaslah bahwa produk akhir yang diterbitkan oleh notaris adalah akta autentik, jika akta yang dibuatnya tidak sesuai dengan syarat formil dan materiil maka akta tersebut terdegradasi menjadi mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Surat kuasa khusus untuk keperluan di persidangan dapat dibuat dalam bentuk akta autentik, salah satu syarat dari akta adalah tercantum tanda tangan di dalamnya. Sedangkan pembubuhan cap jempol bukanlah syarat mutlak
108
Habib Adjie II, Op.Cit., hal 69.
97 bagi mereka yang tidak dapat membubuhkan tanda tangannya dalam akta autentik. Dengan demikian maka fungsi notaris dalam pembuatan surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan adalah sangat erat kaitannya dengan kewenangan yang dimilikinya. Kewenangan notaris, dalam melayani masyarakat diharapkan mampu menempatkan fungsinya atau peranannya sesuai dengan keinginan para pihak dengan tetap berpegang teguh pada peraturan perundang-undangan dan kode etik yang berlaku. Pisau analisis yang dipakai pada bab ini adalah konsep fungsi bahwa wewenang seorang notaris bukanlah sekedar membuat akta autentik, melainkan kewenangan lainnya yang diatur oleh undang-undang. Dalam pembuatan surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tandatangan, seorang notaris berwenang memberikan pengesahan dengan tepat, sehingga apa yang dibuat memenuhi ketentuan perundang-undangan dan yang lebih penting lagi adalah atas kebijakannya surat tersebut dapat dipakai sebagaimana mestinya. Selain konsep tersebut teori legitimasi juga terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh notaris. Sebagai pejabat umum yang dilantik oleh pemerintah, notaris merupakan kepanjang tanganan dari negara khususnya di bidang hukum perdata. Dalam jabatan yang disandang sudah semestinya seorang notaris melaksanakan tugasnya dengan berorientasi kepada Tuhan atau kebenaran, melaksanakan ketentuan yang berlaku, memiliki dasar hukum yang jelas, dan berpihak pada kepentingan masyarakat. Wewenang adalah suatu tindakan hukum yang diatur dan diberikan kepada suatu jabatan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
98 mengatur jabatan yang bersangkutan. Dalam Hukum Administrasi wewenang bisa diperoleh secara atribut, delegasi atau mandat109 Kewenangan notaris menurut UUJN Pasal 15 adalah Membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya sepanjang pembuatan akta tersebut tidak ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Selain membuat akta autentik, notaris juga berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapakan kepastian tanggal pembuatan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus yang dikenal dengan sebutan legalisasi. Legalisasi adalah tindakan mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan yang dibuat sendiri oleh orang perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas yang bermaterai cukup yang di tanda tangani di hadapan notaris dan didaftarkan dalam buku khusus yang disediakan oleh notaris. Kewenangan lainya dari notaris diatur dalam ketentuan Pasal 51 UUJN yaitu : 1) Membukukan suratsurat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus (waarmerking); 2) Membuat kopi dari asli surat dibawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; 3) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya (legalisir); 4) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 5) Membuat akta yang berhubungan dengan pertanahan; 6) Membuat akta risalah lelang; 7) Membetulkan 109
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Refika Aditama, Bandung, (selanjutnya disebut Habib Adjie V), hal.77.
99 kesalahan tulis dan/atau kesalahan ketik yang terdapat pada minuta akta yang telah di tanda tangan, dengan membuat berita acara dan memberikan catatan tentang hal tersebut pada minuta akta asli yang menyebutkan tanggal dan nomor berita acara pembetulan, dan salinan tersebut dikirimkan ke para pihak. Surat Kuasa Khusus yang dibuat untuk kepentingan di pengadilan adalah merupakan salah satu dari bentuk perjanjian yang dibuat dalam bentuk akta dan diselesaikan oleh atau dihadapan notaris. Dalam hal ini pemberian kuasa harus dibuktikan dengan adanya tindakan pemberian dan penerimaan dari si pemberi maupun penerima kuasa berupa tanda tangan. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa pemberian kuasa merupakan suatu bentuk perikatan hukum yang lahir karena kesepakatan kedua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masingmasing pihak sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1792 KUHPerdata, dan bukti lahirnya kesepakatan dalam perikatan hukum tertulis adalah kedua belah pihak yang membuat sutau perjanjian harus menandatanganinya. Pemberian Kuasa dapat juga berarti pelimpahan wewenang. Pemberian Kuasa secara tertulis dapat dilakukan secara akta notaris maupun di bawah tangan. Pemberian kuasa (lastgeving) yang terdapat dalam Pasal 1792 KUHPerdata itu mengandung unsur: a) persetujuan; b) memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan; dan c) atas nama pemberi kuasa. Unsur persetujuan ini harus memenuhi syarat-syarat persetujuan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata: a) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c) suatu hal tertentu; dan d) suatu sebab yang halal. Unsur memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah sesuai dengan
100 yang telah disetujui oleh para pihak, baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas. Unsur atas nama pemberi kuasa berarti bahwa penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari pemberi kuasa. Yang dimaksud dengan Surat Kuasa Khusus berdasarkan ketentuan dari Pasal 123 HIR, 147 RBg dan SEMA No. 6 Tahun 1994 tanggal 14 Oktober 1994 yaitu surat kuasa yang diperuntukkan untuk di Pengadilan, syaratsyaratnya adalah: a) Harus berbentuk tertulis; b) Dapat dibuat secara dibawah tangan, dapat dibuat oleh Panitera Pengadilan yang kemudian dilegalisir oleh Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim dan dapat pula berbentuk akta autentik yang dibuat dihadapan Notaris; c) Harus menyebut Identitas para pihak yang berperkara; d) Menegaskan objek dan kasus yang diperkarakan; e) Dalam perkara pidana, harus menyebutkan identitas Terdakwa dan Penasihat Hukum serta menyebutkan pasalpasal yang diduga atau didakwakan. Syarat pembuatan surat kuasa khusus gugatan di pengadilan tidak mutlak harus dibuat dihadapan notaris, apabila pihak yang ingin mengajukan gugatan adalah mereka yang tidak mampu membaca atau buta huruf dibuka kemungkinan untuk mengajukan gugatannya secara lisan kepada ketua pengadilan negeri yang berwenang untuk mengadili gugatannya dan mohon agar dibuatkan surat gugatan berdasarkan ketentuan Pasal 120 HIR. Dengan ketentuan tersebut gugatan sebenarnya tidak harus dalam bentuk akta, melainkan dapat diajukan baik secara tertulis maupun secara lisan. Dalam hal diajukan seara lisan, maka Ketua Pengadilan Negeri akan memerintahkan untuk mencatat gugatan tersebut.
101 Meskipun pembuatan surat kuasa khusus untuk gugatan di pengadilan tidak harus dibuat di hadapan notaris dan bukanlah kewenangan utama dari seorang notaris, bukan berarti bahwa kewenangan tersebut dapat diabaikan. Notaris harus mampu menjalankan dengan sebaik-baiknya kewenangan lainnya selain pembuatan akta autentik sejauh diamanatkan oleh undang – undang, sehingga masyarakat memperoleh kepastian hukum terkait dengan pembuatan surat kuasa khusus yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan. Notaris mempunyai kewenangan membuat surat kuasa khusus berdasarkan keterangan para penghadap, sehingga surat kuasa khusus tersebut akan berkekuatan hukum sebagai akta autentik yaitu bersifat sempurna. Sedangkan jika dibuat langsung oleh para pihak, maka fungsi atau peranan notaris dalam hal ini adalah untuk memberikan kekuatan pembuktian terhadap akta yang dibuat tersebut yaitu dengan mengesahkan tanda tangan
dan
menetapkan
kepastian
tanggal
surat
dibawah
tangan
dan
mendaftarkannya dalam buku khusus notaris. Terkait dengan fungsi notaris sebagamana diuraikan di atas, maka wewenang pengesahan oleh notaris yang dilakukan terhadap surat kuasa khusus yang dibuat di bawah tangan akan dapat memberikan kepastian hukum terhadap para pihak, asalkan pengesahannya sesuai ketentuan perundang-undangan. Berikut pengesahan yang umum dilakukan oleh seorang notaris dalam surat kuasa khusus gugatan di pengadilan: 3.1.1. Legalisasi Surat Kuasa Khusus Dibawah Tangan Legalisasi adalah pengesahan dari surat surat yang dibuat di bawah tangan dalam mana semua pihak yang membuat surat tersebut datang dihadapan notaris, dan
102 notaris membacakan dan menjelaskan isi surat tersebut untuk selanjutnya surat tersebut diberi tanggal dan ditandatangani oleh para pihak dan akhirnya baru dilegalisasi oleh notaris. 110 Dalam Komar Andasasmita, yang dimaksud dengan legalisasi adalah penandatanganan suatu tulisan di bawah tangan dengan cap (tapak) jempol/jari (vingeratdruk) yang “gewaarmerkt” oleh seorang Notaris yang berwenang lainnya, dimana Notaris tersebut mengenal yang menerangkan tapak jempol/jari atau diperkenalkan kepadanya dan bahwa isi aktanya secara jelas diingatkan (voorgehouden) dan bahwa penerapan tapak jempol/jari itu dilakukan dihadapan Notaris. 111 Sudikno Mertokusumo mengungkapkan bahwa legalisasi merupakan pengesahan akta dibawah tangan yang dibacakan oleh Notaris dan ditanda tangani oleh penghadap di muka Notaris pada waktu itu juga untuk menjamin kepastian tanggal dari akta yang bersangkutan. Para penghadap yang mencantumkan tanda tangannya dikenal oleh Notaris atau diperkenalkan kepada Notaris, kemudian Notaris menjelaskan isi akta tersebut kepada penandatangan atau yang membubuhkan cap ibu jari dan pada waktu itu juga akta itu lalu ditandatangani atau dibubuhi cap ibu jari oleh yang bersangkutan dihadapan Notaris tersebut. Notaris mencatat nomor legalisasi dalam buku daftar legalisasi. Tanggal dilakukannya tanda tangan atau pembubuhan cap ibu jari harus sama dengan tanggal
110
Ida Rosida Suryana, 1999, Serba-Serbi Jabatan Notaris, Universitas Padjajaran, Bandung, hal. 19. 111 Komar Andasasmita, 1997, Akta II Notaris dan Contoh-contoh Akta, Ikatan Notaris Indonesia, (selanjutnya disebut Komar Andasasmita III), hal 41.
103 legalisasi. Untuk dijadikan alat bukti yang berlaku di pegadilan maka legalisasi ini harus bermaterai cukup. 112 Pembuatan akta yang dilakukan dihadapan notaris artinya bahwa dokumen atau surat yang dibuat di bawah tangan tersebut ditanda-tangani di hadapan notaris, setelah dokumen/surat tersebut dibacakan atau dijelaskan oleh Notaris yang bersangkutan. Sehingga tanggal dokumen atau surat yang bersangkutan adalah sama dengan tanggal legalisasi dari notaris. Dengan demikian, notaris menjamin keabsahan tanda-tangan dari para pihak yang dilegalisir tanda-tangannya, dan pihak (yang bertanda-tangan dalam dokumen) karena sudah dijelaskan oleh notaris tentang isi surat tersebut, tidak bisa menyangkal dan mengatakan bahwa yang bersangkutan tidak mengerti isi dari dokumen/surat tersebut. 113 Notaris kadang membedakan legalisasi yang dilakukannya dengan melegalisasi tanda-tangan saja. Dimana dalam legalisasi tanda-tangan tersebut notaris tidak membacakan isi dokumen/surat dimaksud, yang kadang-kadang disebabkan oleh beberapa hal, misalnya: notaris tidak mengerti bahasa dari dokumen tersebut (contohnya: dokumen yang ditulis dalam Bahasa Mandarin atau bahasa lain yang tidak dimengerti oleh notaris yang bersangkutan) atau notaris tidak terlibat pada saat pembahasan dokumen di antara para pihak yang bertanda-tangan.114 Menurut Bambang Sugeng, legalisasi adalah pengesahan tanda tangan dalam akta dibawah tangan yang dilakukan dihadapan pegawai umum, contoh rumusan
112
Sudikno Mertokusumo, 2002, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Kedelapan, Liberty, Yogyakarta, hal 153. 113 http: // mkn - unsri . blogspot . com /2010/02/ perbedaan - legalisasi dengan waarmerking. html. Diakses tanggal 10 September 2013. 114 Ibid
104 leglisasi oleh notaris115 : Pada hari ini………….. tanggal ……………. telah menghadap pada saya ……………………………… Notaris di Denpasar. Tuan ………………… yang telah saya Notaris kenal, menerangkan bahwa isi dan maksud akta tersebut telah saya Notaris bacakan dan terangkan kepada penghadap. Kemudian penghadap tersebut membubuhkan tandatangannya di hadapan saya notaris. Kemudian akta ini didaftarkan di bawah Nomor ……………………………….… Rumusan kalimat legalisasi juga dicantumkan dalam pasal 2 ayat 1 Ordonansi yang berbunyi sebagai berikut: Keterangan yang oleh para notaris dan pejabat lainnya yang ditunjuk oleh pasal 1 dicantumkan pada kaki akta berbunyi: Saya yang bertanda tangan di bawah ini …………….. notaris (Bupati/ walikota kepala daerah …………….. ketua pengadilan negeri ……………..) di …………….., menerangkan …………….. yang saya, notaris, kenal (atau diperkenalkan kepada saya, notaris) dan kemudian tuan/ nyonya…………….. tersebut membubuhkan tanda tangannya (cap ibu jarinya) di atas akta ini di hadapan saya, notaris. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk legalisasi surat kuasa khusus gugatan pengadilan diperlukan adanya tiga unsur, yakni: a) Yang mencantumkan tanda tangan atau cap ibu jari di atas akta di bawah tangan tersebut dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris tersebut; b) Bahwa akta tersebut telah dijelaskan isinya oleh notaris kepada si pembubuh tanda tangan/ cap ibu jari itu; c) Bahwa setelah itu, maka seketika itu juga akta itu lantas ditandatangani atau dibubuhi cap ibu jari oleh orang yang bersangkutan di hadapan notaris tersebut. Selain dari apa yang telah dirumuskan di atas, ada beberapa hal yang perlu ditambahkan pada isi rumusan legalisasi, yakni: a) Selain nama penghadap (pembubuh tanda tangan atau cap ibu jari) harus pula dicantumkan pekerjaan dan tempat tinggalnya; b) Jikalau penghadap itu tidak dikenal melainkan diperkenalkan 115
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Op.Cit., hal 69.
105 kepada notaris, maka saksi yang memperkenalkan itu jumlahnya harus dua orang; c) Nama, pekerjaan dan tempat tinggal para saksi yang memperkenalkan juga harus dicantumkan dalam akta tersebut; d) Tanggal dilakukannya penandatanganan/ pembubuhan cap ibu jari beserta tanggal legalisasi akta tertentu harus sama dan dicantumkan di bagian bawah keterangan notaris tersebut. Surat di bawah tangan yang dilegalisasi, maka notaris bertanggung jawab atas 4 (empat) hal, yaitu:116 a) Identitas, Notaris berkewajiban meneliti identitas pihakpihak yang akan menandatangani surat/akta di bawah tangan (KTP, Paspor, SIM), atau diperkenalkan oleh orang lain, meneliti apakah cakap untuk melakukan perbuatan
hukum,
meneliti
apakah
pihak-pihak
yang
berwenang
yang
menandatangani surat/akta; b) Isi Akta Notaris wajib membacakan isi akta kepada pihak-pihak dan menanyakan apakah benar isi akta yang demikian yang dikehendaki pihak pihak; c) Tandatangan: Mereka harus menandatangani di hadapan notaris; d) Tanggal: Membubuhi tanggal pada akta di bawah tangan tersebut kemudian dibukukan ke buku daftar yang telah disediakan untuk itu.” Adapun tujuan dari legalisasi atas penandatanganan akta di bawah tangan adalah: 117 1) Agar terdapat kepastian atas kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta, dan juga kepastian atas kebenaran bahwa tanda tangan itu adalah benar sebagai tanda tangan Para Pihak; 2) Dengan demikian, para pihak pada dasarnya tidak leluasa lagi untuk menanda tangan yang terdapat pada akta.
116
H.M. Imron, 2006, Legalisasi Harus Dilengkapi Saksi, Renvoi Nomor 10/34 April 2006, hal. 1. 117 M. Yahya Harahap II, Op Cit, hal. 597.
106 3.1.2. Waarmerking Surat Kuasa Khusus Dibawah angan Waarmerking adalah pendaftaran dengan membubuhkan cap dan kemudian mendaftarnya dalam buku pendaftaran yang disediakan untuk itu. Artinya, dokumen atau surat kuasa khusus yang bersangkutan di daftar dalam buku khusus yang dibuat oleh Notaris. Biasanya hal ini ditempuh apabila dokumen atau surat kuasa khusus tersebut sudah ditanda-tangani terlebih dahulu oleh para pihak, sebelum di sampaikan kepada notaris yang bersangkutan. Contohnya: Surat kuasa khusus tertanggal 1 November 2013 yang ditanda-tangani oleh Tuan Nyoman dan Tuan Wayan. Jika hendak disahkan oleh Notaris pada tanggal 18 November 2013, maka bentuknya tidak bisa legalisasi biasa, melainkan hanya bisa didaftar (waarmerking) saja. Jika ditinjau dari sudut kekuatan hukumnya untuk pembuktian, maka tentu saja lebih kuat Legalisasi daripada Register (waarmerking). Istilah waarmerking ini oleh praktek notariat diterjemahkan menjadi “dibukukukan” dan ada pula memakai perkataan “ditandai”. Yang dimaksud dengan “didaftarkan” ialah hasil perbuatan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (2) Ordonansi, yang berbunyi: “Akta di bawah tangan sepanjang tidak ada memuat perkataan yang dimaksud dalam ayat pertama, jikalau hendak dipergunakan sebagai bukti terhadap pihak ketiga mengenai hari, tanggal, bulan akta itu dapat ditandai oleh notaris atau oleh salah seorang pegawai yang ditunjuk oleh ayat pertama dengan membubuhkan perkataan “didaftarkan” pada kaki akta itu dan menandatanganinya serta membubuhkan hari, tanggal, bulan hal itu dilakukan.” Sekali lagi diingatkan bahwa perkataan
“ditandai”
dapat
diganti
dengan
perkataan
“dibubuhkan”
atau
“didaftarkan”. Adapun akta yang dibubuhi perkataan “ditandai” ini adalah akta yang
107 belum disodorkan kepada notaris telah ditandatangani terlebih dahulu oleh pihak yang berkepentingan di luar hadirnya notaris (bukan di depan notaris). Dengan kata lain, notaris tidak mengetahui kapan akta itu ditandatangani dan juga tidak mengetahui siapa yang menandatanganinya. Oleh karena itu, tidak ada jaminan kepastian mengenai tanggal penandatanganan dan juga ada jaminan kepastian tentang siapa yang menandai/ membubuhkan cap ibu jari di atas akta itu. Jaminan kepastian satu-satunya yang ada hanyalah bahwa akta tersebut telah ada pada tanggal akta itu ditandai. Satu-satunya kepastian hukum yang diperoleh sebagai akibat adanya tindakan “waarmerking” ialah bahwa eksistensi dalam arti kata, hari, tanggal, bulan akta di bawah tangan yang ditandai itu telah diakui terhitung sejak tanggal diadakannya waarmerking satu dan lain sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 1880 KUHPerdata. Kewenangan untuk melegalisir dan me-waarmerking, Ordonantie Staatblad 1916 nomor 46 jo nomor 43 menyatakan: Pasal 1 : Selain Notaris, Juga ditunjuk untuk melegalisir dan me-warmerking akta di bawah tangan adalah Bupati, Ketua Pengadilan Negeri dan Walikota. Pasal 2 ayat (2) : Akta di bawah tangan yang tidak dilegalisir bila mau dijadikan. bukti di Pengadilan, bisa di waarmerking oleh notaris dengan dibubuhi perkataan “ditandai” dan ditandatangani oleh notaris dan menyebutkan pula hari, bulan, sewaktu di- waarmerking. Dalam Pasal 3 Staatblad 1916 nomor 46 disebutkan suatu pengaturan tentang register yang harus diadakan untuk mencatat akta-akta di bawah tangan itu, antara lain menentukan bahwa pembukuan dalam register itu memuat, antara lain: 118 a) Nomor dan tanggal
118
R Soegondo Notodisoerjo, Op. Cit, hal 205
108 pembukuan; b) Nama orang yang membubuhi tanda tangan atau cap jari pada akta; c) Tanggal isi singkat pada akta. Secara ilmiah maksud dan tujuan (streking) tindakan penandatanganan suatu fakta hukum (rechtfeit), yaitu:119 “suatu pernyataan kemauan pembuat tanda tangan (penandatanganan) bahwa ia dengan menandatangananinya di bawah suatu tulisan menghendaki agar tulisan itu dalam hukum dianggap sebagai tulisannya sendiri.”
Dalam praktek sering ditemukan surat-surat di bawah tangan
yang dikuatkan oleh pejabat yang tidak berwenang untuk itu misalnya Lurah. Dimana dalam perjanjian jual beli rumah dan tanah misalnya, masyarakat sering meminta lurah untuk memberikan. penguatan sebagai yang “mengetahui” terhadap perjanjian mereka tersebut yang dilakukan dengan akta di bawah tangan. Kata “mengetahui”, di cap dan di tandanangani oleh RT, RW, Lurah dan Camat dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai legalisasi. “walaupun sejak Undang Undang Pokok Agraria Tahun 1960 ditentukan bahwa jual beli tanah harus dilakukan dengan akta pejabat pembuat akta tanah”. 120 Legalisasi yang diperbuatnya itu tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh undang-undang, bahkan sering juga oleh pejabat tertentu dilegalisir surat di bawah tangan yang tanggal penandatangannya oleh yang bersangkutan jauh sebelum tanggal dilakukan legalisasi, hal ini jelas tidak sesuai dengan maksud dan tujuan dari legalisasi karena legalisasi ditandatangani sesuai hari pembuatan surat tersebut, dihadapan notaris atau pengadilan. Berikut rumusan waarmerking atau pendaftaran akta dibawah tangan pada pegawai umum dalam hal ini notaris.
119
Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat Praktek Notaris Buku II, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, (selanjutnya disebut Tan Thong Kie III), hal.288. 120 A. Kohar, op. cit, hal. 32.
109 Pada hari ini…………………. tanggal …………. telah didaftarkan (gewaarmerk) dalam buku khusus disediakan untuk itu, dengan nomor seperti di atas, oleh saya ………… Notaris di Denpasar. 121 3.1.3. Perbedaan Antara Waarmerking dengan Legalisasi Ketentuan paling tua yang mengatur tentang Waarmerking dapat ditemukan dalam Engelbrecht 1960 hlm.1753, yakni ordonansi stbl.1867-29 yang berjudul : Bepalingen nopens de bewjskrscht van onderhandse geschriftenvan indonesiers of met hen gelijkgestelde personen, Atau dalam bahasa Indonesia : Ketentuan-ketentuan mengenai kekuatan sebagai bukti dari surat-surat dibawah tangan yang dibuat oleh golongan hukum pribumi atau orang-orang yang disamakan dengan mereka. Di dalam Pasal 1 ditentukan, bahwa cap jempol disamakan dengan tanda tangan hanya apabila cap jempol itu di-Waarmerk (yang bertanggal) oleh seorang Notaris atau pejabat lain yang ditunjuk dalam ordonansi dalam keterangannya harus dinyatakan bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan cap jempol atau orang itu diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta itu dijelaskan (voorhouden) kepada itu, setelah itu orangnya membubuhkan cap jempolnya di hadapan pejabat itu. Setelah ordonansi itu dirubah dengan stbl.1916-46 jo.43, Pasal 1 ayat (2), (Tentang Wewenang Legalisasi dan Waarmerking ) hanya menentukan bahwa sebuah cap jempol/jari tanda tangan orang termasuk golongan hukum pribumi (dan mereka yang disamakan) dibawah wesel, surat order, aksep, surat-surat atas nama pembawa (aan toonder), dan surat-surat dagang lainnya, disamakan dengan sebuah akta dibawah tangan, asalkan akta itu diberi waarmerking oleh seorang Notaris atau pejabat yang
121
Bambang Sugeng dan Sujayadi, Op. Cit, hal. 69.
110 ditunjuk oleh Pemerintah, bahwa ia mengenal orang yang membubuhkan cap jempol atau sidik jari atas tanda itu, bahwa isi akta itu telah dijelaskan kepada orang itu dan akhirnya, cap jempol atau sidik jari itu dibubuhkan dihadapan pegawai itu, disinilah baru untuk pertama kali seorang Notaris diberi hak untuk melegalisasi akta dibawah tangan.122 Berdasarkan ketentuan tersebut, istilah untuk pengesahan akta di bawah tangan yang dibubuhi cap jempol telah populer dalam ranah hukum perdata disebut waarmerking. Kalangan hakim umumnya juga mengenal upaya pengesahan itu dengan istilah waarmerking, kendati ada sebagian tidak sependapat. Waarmerking merupakan bagian tugas bidang kenotariatan. Oleh karena itu, untuk memahami istilah waarmerking, perlu melakukan kajian dengan rujukan kepustakaan bidang kenotariatan. Dalam kajian pustaka kenotariatan, istilah waarmerking yang dahulu dipahami sebagai pengesahan yang dimaksud Pasal 1874 KUHPerdata, Staatsblad 1867-29 Pasal 1 juncto Staatsblad 1916-46, dan Pasal 286 RBg. mengalami peyempitan makna. De Bruyn Mgz dalam Tan Thong Kie membedakan dua istilah antara verklaring van visum dan legalisasi. Verklaring van visum semakna dengan waarmerking atau registrasi, sedangkan yang dimaksud Pasal 1874 KUHPerdata, Staatsblad 1867-29 Pasal 1 juncto Staatsblad 1916-46, dan Pasal 286 RBg. adalah legalisasi. Verklaring van visum semakna dengan waarmerken yang maksudnya memberi tanggal pasti (date certain), yaitu keterangan bahwa Notaris telah melihat (gezein) akta di bawah tangan pada hari itu, yaitu tanggal ketika Notaris melihatnya, bukan tanggal yang dikehendaki kliennya. Oleh karena verklaring van visum ini 122
De Bruyn Mgz dikutip kembali Thong Kie, Tan, 2000, Studi Notariat, Serba serbi praktek Notaris, Edisi Baru. PT.Icthiat baru van hoeve, hal. 123.
111 hanya memberi tanggal pasti, maka tanda tangan atau cap jempol yang tertera di atas surat di bawah tangan tersebut tidak pasti dan tetap dapat disangkal oleh orangnya atau ahli warisnya, tetapi tanggal tidak dapat disangkal. 3.1.4. Perbedaan Penerapan Waarmerking dan Legalisasi Dalam Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan Setelah memahami pengertian waarmerking dan legalisasi, selanjutnya akan dikemukakan perbedaan penerapan waarmerking dan legalisasi atas surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tandatangan. 1. Waarmerking atau Verklaring van visum atau Registrasi Waarmerking semakna dengan registrasi ygaitu surat kuasa didaftar dalam register yang disediakan untuk itu oleh notaris. Registrasi sebatas pendaftaran dalam register tanpa melihat isi surat kuasa. Jadi, waarmerking merupakan pembukuan surat tersebut yang memenuhi sebagian proses legalisasi yang dimaksud Pasal 1874 KUHPerdata dan Pasal 286 RBg. Contoh penerapannya: Surat kuasa khusus bertanggal 21 September 2013 yang sudah dibubuhi cap jempol, kemudian dibawa menghadap Notaris pada tanggal 12 Oktober 2013, maka Notaris hanya bisa melakukan waarmerking atau mendaftar dengan tanggal sesuai ketika kliennya menghadap. Waarmerking ini tidak menyatakan sesuatu mengenai siapa yang menandatangani akta dan isi akta tersebut. 2. Legalisasi adalah memberi kepastian hukum bagi pengadilan tentang kebenaran orang yang memberi kuasa maupun mengenai kebenaran pembuatan kuasa itu. Contoh penerapannya: Akta di bawah tangan yang belum dibubuhi cap jempol
112 (vingeratdruk) diberikan kepada Notaris dan di hadapan Notaris dibubuhi cap jempol oleh orang yang buta huruf setelah isi akta dijelaskan oleh Notaris (voorhouden) kepadanya. Dalam legalisasi, tanggal dan cap jempol adalah pasti karena cap jempol dibubuhkan di hadapan Notaris dan isi akta dijelaskan oleh Notaris.
BAB IV PENGESAHAN NOTARIS ATAS SURAT KUASA KHUSUS GUGATAN PENGADILAN YANG DIBUBUHI DENGAN CAP JEMPOL SEBAGAI PENGGANTI TANDA TANGAN
Pembubuhan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan dalam pembuatan akta berpotensi membuat akta autentik terdegradasi menjadi akta dibawah tangan. Padahal cap jempol diketahui memiliki keunikan tersendiri karena karakteristiknya yang tidak mungkin memiliki kesamaan dengan orang lain, sehingga sangat sulit dipalsukan. Penelitian tesis terdahulu telah mengungkapkan bahwa pembubuhan cap ibu jari atau cap jempol dapatlah dikatakan sama dengan pembubuhan tanda tangan, akan tetapi dengan syarat harus ditegaskan oleh seorang pejabat umum tentang sebab-sebab pembubuhan cap ibu jari/cap jempol dilakukan. Pendapat lain mengatakan bahwa pembubuhan cap jempol atau ibu jari dalam pembuatan akta autentik khususnya dalam pembuatan akta notaris tidak dapat dipersamakan dengan pembubuhan tanda tangan, oleh karena dalam UUJN telah ditegaskan bahwa akta notaris harus ditanda tangani dan apabila para penghadap tidak dapat membubuhkan tanda tangan maka harus dijelaskan alasannya dengan jelas, keterangan tentang penandatangan ini dimuat dalam akhir akta. Suatu akta tidak akan kehilangan otensitasnya apabila para penghadap tidak membubuhkan tanda tangannya, sepanjang keadaan tersebut dijelaskan dalam akta, sehingga apabila penghadap tidak membubuhan cap jempol atau ibu jari sebagai pengganti tanda tangan dalam pembuatan akta autentik tidak akan membawa akibat hukum akta tersebut kehilangan 113
114 otensitasnya. Akta tersebut tetap sah secara hukum dan tetap memilki nilai sebagai akta autentik walaupun tidak dibubuhkan cap jempol atau ibu jari sebagai pengganti tanda tangan. Penulis pada bab ini menganalisis tentang keabsahan surat kuasa khusus gugatan pengadilan yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan, diketahui bahwa surat kuasa khusus tersebut dapat dibuat dalam bentuk akta notaris. Pisau analisis yang digunakan adalah Teori Kepastian Hukum terkait dengan fungsi seorang notaris dalam memberikan kepastian hukum bagi kliennya. Seorang notaris hendaknya mengetahui apa yang mesti dilakukan pada saat mengesahkan surat kuasa khusus yang dibubuhi dengan cap jempol oleh pihak yang buta huruf sehingga surat tersebut dapat dipakai di pengadilan. Untuk dapat memberikan kepastian hukum, notaris berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya selain itu perlu adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim yang satu dengan hakim lainnya untuk kasus serupa yang telah diputuskan. Selain menggunakan teori kepastian hukum, digunakan juga teori perlindungan hukum dikaitkan dengan para penghadap yang memiliki keterbatasan (buta huruf), yang hendak membubuhkan cap jempolnya sebagai pengganti tanda tangan dalam surat kuasa khusus untuk keperluan gugatan pengadilan. Mengingat para pihak atau masyarakat berhak mendapatkan perlindungan hukum yang lahir dari suatu ketentuan hukum yang bersifat preventif yaitu mencegah terjadinya suatu sengketa sehingga
surat
kuasa
khusus
tersebut
dapat
dipakai
sebagaimana
diharapkannya. Selanjutnya teori keabsahan, digunakan untuk dapat
yang
memahami
kewenangan yang dimiliki oleh notaris sebagai pejabat umum yang diangkat oleh
115 pemerintah, sehingga dapat memberikan pelayanan yang sesuai dengan aspek kewenangannya, aspek prosedur dan aspek substansi sebagaimana dimaksud dalam teori ini. 4.1. Fungsi Tanda Tangan Dalam Pembuatan Akta Akta adalah surat yang dibubuhi dengan tandatangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang tujuan pembuatannya adalah dengan sengaja sebagai alat bukti. Jadi un tuk dapat dikatakan sebagai akta maka surat tersebut harus ditandatangani. Keharusan penanda tanganan surat agar dapat disebut sebagai akta diisyaratkan pada Pasal 1869 KUHPerdata. Apabila akta dibuat oleh orang yang tidak berkuasa atau tidak cakap atau akta tersebut bentuknya cacat maka bukanlah akta autentik melainkan mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika ditandatangani oleh para pihak. Fungsi tandatangan di sini adalah untuk memberi ciri atau untuk mengindividualisir sebuah akta. 123 Akta yang dibuat oleh para pihak dapat diidentifikasi dari tanda tangan yang dibubuhkan pada aktaakta tersebut. Nama atau tandatangan yang ditulis dengan huruf balok tidaklah cukup, karena dari tulisan huruf balok itu tidak menampakkan ciri-ciri atau sifat-sifat si pembuat. Tanda tangan biasanya pembubuhan nama dengan tulis jalan sehingga penulisan paraf atau singkatan nama saja dianggap belum cukup. Dalam hal terdapat perbedaan tandatangan hal ini sepenuhnya diserahkan kepada hakim tanpa diperlukan mendengar saksi ahli. Surat yang ditandatangani oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan dalam hukum tidak dapat diajukan sebagai bukti. Seorang tidak dapat menyatakan secara sah, bahwa orang tersebut tertipu oleh pihak 123
Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, : Liberty, Yogyakarta, hal.121.
116 lain telah meletakkan tanda tangannya di bawah suatu perjanjian tanpa membaca surat perjanjian itu terlebih dulu: 124 Fungsi terpenting dari akta adalah sebagai alat bukti dan kekuatan pembuktian dari pada akta dapat dibedakan sebagai berikut : 125 1) Kekuatan pembuktian lahir yaitu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir apa yang tampak pada lahirnya, Yaitu bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta dianggap mempunyai kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya; 2) Kekuatan pembuktian formil: kekuatan pembuktian formil itu menyangkut pertanyaan ada atau tidaknya suatu pernyataan. Jadi kekuatan pembuktian formil ini didasarkan atas benar tidaknya ada pernyataan oleh yang bertanda tangan di bawah akta itu. Kekuatan pembuktian formil ini memberi kepastian tentang peristiwa bahwa Pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat dalam akta; 3) Kekuatan pembuktian materiil: Kekuatan pembuktian materiil ini menyangkut jawaban dari pertanyaan benar atau tidak benarnya isi pernyataan di dalam akta itu. Jadi kekuatan pembuktian materiil ini memberi kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat dalam akta. Menurut Pasal 285 RBg maka akta autentik bagi para pihak dan ahli warisnya serta mereka yang memperoleh hak dari padanya, merupakan bukti sempurna, tentang apa yang termuat didalamnya dan bahkan tentang yang terdapat dalam akta sebagai penuturan belaka, yang terakhir ini
124
Sudikno Mertokusumo II, Op Cit, hal. 122 Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung. hal. 47-48. 125
117 hanya sepanjang yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok akta Dalam hal yang diterangkan dalam akta tersebut tidak ada hubungan langsung dengan pokok akta menurut Pasal 1871 KUHPerdata, hal itu hanya akan berlaku sebagai permulaan bukti tertulis. Selanjutnya menurut Pasal 1872 KUHPerdata apabila
akta
autentik
yang
bagaimanapun
sifatnya
diduga
palsu,
maka
pelaksanaannya dapat ditangguhkan. Akta yang lahirnya tampak sebagai akta autentik serta memenuhi syaratsyarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, maka akta itu berlaku atau dapat dianggap sebagai akta autentik, sampai terbukti sebaliknya. Pada kekuatan pembuktian lahir seperti ini berlaku asas acta publica probant sese ipsa, yang berarti bahwa suatu
tandatangan pejabat yang tercantum dalam akta dianggap sebagai
aslinnya sampai ada pembuktian sebaliknya. Pembuktiannya terletak pada siapa yang mempersoalkan atau menggugat tentang keabsahannya atau autentiknya akta tersebut. Kekuatan pembuktian lahir ini berlaku bagi kepentingan atau keuntungan dan terhadap setiap orang dan tidak terbatas pada para pihak saja. Sebagai alat bukti maka akta atentik baik akta pejabat maupun akta para pihak keistimewaannya terletak pada kekuatan pembuktian lahir. Dalam arti formil akta autentik membuktikan kebenaran dari pada apa yang dilihat, didengar dan dilakukan oleh pejabat yang membuatnya. Dalam hal ini yang telah pasti ialah tentang tanggal dan tempat akta dibuat serta keaslian tanda tangan dari para pihak. Pada akta pejabat tidak ada pernyataan atau keterangan dari para pihak, pejabatlah yang menerangkan seluruh isi dari pada akta tersebut dimana keterangan demikian sudah pasti bagi siapapun. Sedangkan pada akta para pihak bagi siapapun telah pasti bahwa para
118 pihak dan pejabat menyatakan semua apa yang tercantum diperbuat dan ditandatangani para pihak. Kekuatan pembuktian materiil dari akta autentik maupun akta pejabat, tidak lain adalah untuk membuktikan kebenaran tentang apa yang dilihat dan dilakukan oleh pejabat. Apabila pejabat mendengar keterangan pihak yang bersangkutan, maka itu berarti bahwa apa yang diterangkan oleh para pihak telah pasti diterangan atau dinyatakan terlepas daripada kebenaran isi keterangan tersebut. Dalam akta pejabat, pernyataan dari para pihak tidak ada, kebenaran dan pernyataan pejabat bahwa akta itu dibuat oleh pejabat adalah pasti bagi siapapun, sepanjang isinya sesuai dengan daftar aslinya harus dianggap benar sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Akta seperti ini dikatakan memiliki kekuatan pembuktian materiil, dengan kata lain kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim apabila ada pihak yang menggugat atau mempermasalahkannya. Akta yang dibuat oleh para pihak, bagi para pihak dan yang memperoleh hak daripadanya merupakan bukti sempurna. Semua akta partij mempunyai kekuatan pembuktian materiil. Bagi kepentingan dan terhadap pihak ketiga kekuatan pembuktian materiil ini diserahkan kepada pertimbangan hakim. Mengenai kekuatan pembuktian lahir pada akta di bawah tangan, sesorang terhadap siapa akta di bawah tangan itu digunakan diwajibkan mengakui atau tidak kebenaran tandatangannya, sedangkan bagi ahli warisnya cukup hanya menerangkan bahwa ahli waris mengenal atau tidak mengenal tanda tangan tersebut. Apabila tanda tangan dalam akta tersebut ternyata dipungkiri maka hakimlah memerintahkan agar kebenaran akta itu diperiksa Apabila tandatangan yang dibubuhkan di dalam akta diakui oleh yang bersangkutan,
119 maka akta di bawah tangan itu mempunyai kekuatan dan menjadi bukti sempurna. Dengan diakui tanda tangannya, maka isi pernyataan dalam akta di bawah tangan itu tidak dapat lagi disangkal. Akta di bawah tangan tidak akan memiliki kekuatan pembuktian lahir apabila tandatangan pada akta di bawah tangan itu tidak diakui oleh yang bersangkutan. Akta yang diakui tanda tangannya merupakan bukti sempurna yang berlaku terhadap para pihak yang bersangkutan, sedangkan terhadap pihak ketiga akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Subekti bahwa akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian formil kalau tandatangan pada akta tersebut telah diakui. 126 Itu berarti bahwa keterangan atau pernyataan diatas tandatangan. itu adalah keterangan atau pernyataan yang dibuat oleh yang menandatangani. Jadi apabila seorang telah menandatangani suatu surat perjanjian tanpa membaca terlebih dahulu isi surat perjanjian tersebut dan kemudian menyatakan bahwa dirinya tertipu, pernyataan tersebut tidak dapat dianggap secara sah sehinga memerlukan pembuktian lebih lanjut. Kekuatan pembuktian formil dari akta di bawah tangan ini sama dengan kekuatan pembuktian formil dari akta autentik. Berdasarkan hal tersebut, maka telah pasti kebenarannya apabilai yang menandatangani menyatakan seperti yang terdapat diatas akta adalah tandatangannya. Kekuatan pembuktian materiil dari akta di bawah tangan menurut Pasal 1875 KUHPerdata, maka akta di bawah tangan yang diakui oleh arang terhadap siapa akta itu digunakan atau yang dapat dianggap diakui menurut undang-undang bagi yang menandatangani, ahli warisnya serta orang-orang
126
Subekti, 1986, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta, hal. 68
120 yang mendapat hak dari orang tersebut, merupakan bukti sempurna seperti akta autentik. Berdasarkan hal tersebut, isi keterangan di dalam akta di bawah tangan itu berlaku sebagai benar terhadap siapa yang membuatnya dan demi keuntungan orang untuk siapa pernyataan itu dibuat. Suatu akta di bawah tangan hanyalah memberi pembuktian sempurna demi keuntungan orang kepada siapa pihak yang membubuhi tanda tangannya ingin memberi bukti, sedangkan terhadap pihak lain kekuatan. pembuktiannya adalah bebas. Akta di bawah tangan yang telah dilegalisasi oleh notaris akan memberikan kepastian bagi hakim mengenai tanggal dan identitas dari pihak yang mengadakan perjanjian tersebut serta tanda tangan yang dibubuhkan dalam surat itu benar berasal dan dibubuhkan oleh orang yang namanya tercantum dalam surat itu. Orang yang membubuhkan tanda tangannya dalam surat tidak lagi dapat mengatakan bahwa para pihak atau salah satu pihak tidak mengetahui apa isi surat itu, karena isinya telah dibacakan dan dijelaskan terlebih dahulu sebelum para pihak membubuhkan tandatangannya dihadapan pejabat umum tersebut. Berdasarkan hal tersebut maka akta di bawah tangan yang telah memperoleh legalisasi dari notaris membantu hakim dalam hal pembuktian karena dengan diakuinya tandatangan tersebut maka isi akta pun dianggap sebagai kesepakatan para pihak karena akta di bawah tangan kebenarannya terletak pada tandatangan para pihak, sehingga dapat disebut sebagai bukti yang sempurna. 4.2. Pembubuhan Cap Jempol Sebagai Pengganti Tanda Tangan Surat di bawah tangan yang dibubuhkan dengan cap jempol
disamakan
dengan tandatangan apabila dalam surat tersebut diperkuat dengan keterangan
121 bertanggal dari seorang notaris atau pegawai lain yang diisyaratkan oleh undang – undangan yang menyatakan bahwa cap jempol yang dibubuhkan pada akta tersebut dilakukan oleh para pihak di hadapan notaris atau pejabat umum yang ditentukan oleh undang – undang, kemudian pejabat umum membukukan akta tersebut. Apabila yang bersangkutan menginginkan, bisa juga pada surat-surat dibawah tangan diberikan keterangan yang bertanggal oleh seorang notaris atau pegawai lain yang ditunjuk
dengan
undang-undang
yang
menyatakan
bahwa
orang
yang
menandatangani surat itu dikenal olehnya atau diperkenalkan kepadanya, bahwa isi akta itu telah dijelaskan kepada orang itu dan bahwa setelah itu akta tersebut ditandatangani dihadapan pegawai bersangkutan. Hal yang diuraikan di atas sesuai dengan ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata, Stb.1876 no.29 dan Pasal 1286 RBg), yang berbunyi: Dipersamakan dengan tandatangan pada suatu akta di bawah tangan ialah sidik jari (cap jari atau cap jempol) yang dikuatkan dengan suatu keterangan yang diberi tanggal oleh seorang notaris atau pejabat lain yang ditunjuk oleh undangundang, yang menyatakan bahwa pejabat tersebut mengenal orang yang membubuhkan sidik jari atau orang itu diperkenalkan kepadanya, dan bahwa isi akta itu telah dibacakan dan dijelaskan kepadanya, kemudian sidik jari itu dibubuhkan pada akta di hadapan pejabat tersebut. Dalam hukum perdata penggunaan cap jempol ternyata tidak semudah seperti penggunaan tanda tangan dalam suatu akta atau surat. Untuk sah dan sempurnanya cap jempol harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain: 1) Dilegalisir oleh pejabat yang berwenang: 2) Dilegalisir diberi tanggal; 3) Dibubuhi pernyataan dari pejabat yang melegalisir, bahwa orang yang membubuhkan cap jempol dikenal atau diperkenalkan kepadanya; 4) Isi akta telah dijelaskan kepada yang bersangkutan; 5) Pembubuhan cap jempol dilakukan di hadapan pejabat tersebut. Dari syarat-syarat
122 tersebut, kekuatan cap jempol rupanya lebih rumit agar mendapat kekuatan hukum yang sempurna. Padahal jika dilihat dari segi kepastian hukumnya cap jempol lebih kuat kepastian hukumnya dibandingkan dengan tanda tangan, mengingat sidik jari yang dimiliki setiap orang berbeda dengan yang dipunyai oleh orang lain. Artinya niat jahat dari seorang untuk memalsukannya tidak gampang. Beda halnya dengan tanda tangan yang dengan begitu mudah ditiru sehingga gampang dipalsukan. Oleh sebab itu kurang tepat kiranya jika ada yang mengatakan bahwa cap jempol tidak dapat disamakan dengan kekutann hukum yang melekat dalam sebuah tanda tangan.127 Surat-surat di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa surat itu digunakannya atau yang dianggap diakui menurut cara yang sah menjadi bukti yang cukup seperti suatu akta autentik terhadap yang menandatanganinya dan ahli waris mereka serta yang mendapatkan haknya, dengan demikian hakim harus menganggap benar isi dari akta tersebut sepanjang ketidakbenarannya tidak dapat dibuktikan oleh lawan. Seseorang terhadap siapa surat di bawah tangan itu digunakan, diwajibkan dengan tegas membenarkan atau memungkiri tulisanmya atau tandatangannya itu, akan tetapi ahli warisnya atau yang mendapat hak daripadanya sudah cukup dengan menerangkan, bahwa pihak tersebut tidak mengenal tulisan atau tandatangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang diwakilinya. Seseorang yang tidak mengakui tulisan atau tandatangannya atau apabila ahli warisnya atau orang yang mendapatkan haknya menerangkan tidak mengenal tulisan atau tanda tangan itu,
127
http: // www. negarahukum. com / hukum / tujuan – tanda -tangan. html, diakses pada tanggal 12 Oktober 2013.
123 maka hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dan kejelasan tentang surat itu diperiksanya. Akta di bawah tangan sepanjang tidak dibubuhi keterangan, mengenai pertanggalannya terhadap pihak ketiga tidak mempunyai kekuatan lebih jauh daripada hari bulan tatkala akta itu diberi keterangan dan dibukukan menurut Ordonantie Staatblad 1916 No.46 atau dari hari bulan sejak mana adanya akta itu dipersaksikan kepada akta-akta yang dibuat oleh pegawai-pegawai umum, atau dari hari bulan sejak mana pihak ketiga terhadap siapa akta itu digunakan telah mengakui adanya akta itu dengan tulisan. Seorang Penggugat yang hendak membuktikan suatu peristiwa tertentu, maka orang tersebut dapat menerangkan peristiwa tersebut dihadapan hakim di persidangan agar hakim secara langsung dapat melihatnya dengan mata kepala sendiri tentang hal yang dipertentangkan tersebut yang tidak sesuai dengan isi dari perjanjian. Menurut ketentuan dalam RBg, dalam acara perdata hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undangundang saja. Alat - alat bukti dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang undang tertuang dalam bunyi Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUHPerdata. Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi dua yaitu surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta, sedangkan akta sendiri dibagi lebih lanjut menjadi akta autentik dan akta di bawah tangan. Pengesahan sidik jari yang lebih dikenal dengan legalisasi ini berbeda
124 dengan legalisasi atau pengesahan menurut undang-undang dari akta kelahiran dimana pengesahan tandatangan pegawai pencatatan sipil yang tercantum dalam akta kelahiran tersebut dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri. Pada hakekatnya pengesahan akta kelahiran oleh hakim baru diperlukan apabila diragukan sahnya tanda tangan pegawai pencatatan sipil (Stb. 1899 no. 25 Pasal 25, Stb 1917 no. 130 Pasal 27, Stb. 1920 no. 751 Pasal 22, Hoge Raad 22 Juni 1908 W 8735). Akta baik dalam bentuk autentik maupun dibawah tangan tidak dapat dikatakan sebagai akta kalau tidak ditanda tangani. Hal ini menyebabkan seseorang yang tidak bisa membuat tanda tangan tidak mungkin mengeluarkan suatu akta. Dari isyarat undang-undang tersebut maka cap ibu jari atau cap jempol yang dibubuhkan sebagai pengganti tanda tangan oleh seseorang yang buta huruf maupun yang berhalangan menandatangani akta karena hal lain sebenarnya tidak ada manfaatnya karena cap jempol jelas bukan berupa tanda tangan atau tanda huruf, kecuali apabila dibuat dengan cara yang telah ditentukan oleh undang-undang. Ketidak mampuan seseorang menanda tangani akta, dalam kebiasaan yang ada di lingkungan hukum Indonesia, digantikan dengan cap ibu jari atau cap jempol. Kebiasaan ini tentu tidak akan ada pengaruhnya apabila yang dicap jempol tersebut adalah surat biasa yang bukan merupakan alat bukti. Apabila surat yang dicap jempol tersebut adalah akta baik itu akta autentik ataupun akta di bawah tangan yang dibuat dengan tujuan sebagai alat bukti, maka hal ini harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Surat atau tulisan yang hanya dibubuhi dengan cap jempol dapat disebut sebagai akta dibawah tangan apabila dilakukan dihadapan seorang pejabat umum
125 yang berwenang untuk itu atas ketentuan yang diatur oleh undang-undang, sesuai dengan ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata yang telah mengisyaratkan bahwa sebenarnya ada dispensasi atau pengecualian bagi mereka yang tidak mampu menanda tangani akta dengan bantuan dari pejabat umum. Namun kewenangan yang dimiliki oleh pejabat umum tersebut tidak akan merubah akta yang dibuat secara dibawah tangan menjadi akta autentik, melainkan hanya sebatas menyaksikan pembubuhan cap ibu jari/cap jempol dan menjelaskan dengan cara membacakan isi dari akta telah dibuat oleh para pihak. Notaris sebagai pejabat umum mempunyai kewenangan untuk mengesahkan cap jempol yang dibubuhi dalam surat kuasa khusus, peran inilah yang disebut dengan Legalisasi. Surat kuasa khusus dibawah tangan yang dibubuhi dengan cap jempol untuk memperkuat pembuktiannya di depan pengadilan wajib dilegalisasi oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk itu. Esensi dari legalisasi terhadap akta dibawah tangan bukanlah untuk mengubah akta dibawah tangan menjadi akta autentik, melainkan dengan adanya pengesahan tersebut sebenarnya para pihak atau para penghadap tidak dapat lagi memungkiri apa yang telah dibuatnya termasuk pembubuhan cap jempol dalam akta tersebut, karena seorang pejabat yang berwenang untuk itu telah menyaksikan dan membacakan isi akta sebelum para pihak membubuhkan cap jempolnya. Dengan telah dilegalisasinya akta yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana yang dimiliki oleh akta autentik yaitu pembuktian materiil, formil dan pembuktian di depan hakim.
126 Surat kuasa khusus yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan masih banyak ditemukan dalam praktik peradilan di Indonesia, alasannya, selain karena orang yang membubuhkan cap jempol tidak mampu membaca dan menulis, ada juga karena alasan fisik tidak bisa membubuhkan tanda tangan. Mereka beranggapan bahwa pembubuhan cap jempol tersebut sudah tuntas sebagai pengganti tanda tangan. Dasar hukum atau ketentuan hukum yang mengatur pembubuhan cap jempol yaitu Pasal 1874 KUHPerdata, Staatsblad 1867-29 Pasal 1 juncto Staatsblad 1916-46, dan Pasal 286 RBg. mengatur kebolehan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan dengan ketentuan pembubuhan cap jempol tersebut mendapat pengesahan notaris. Menurut M. Yahya Harahap, surat kuasa khusus
yang
berbentuk akta
dibawah tangan dapat dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan, surat kusa yang demikiaan sah menurut hukum. 128 Sesuai dengan yurisprudensi Mahkamah Agung, Putusan MA Nomor 272 K/Pdt/1983, agar surat kuasa khusus yang dibubuhi cap jempol sah, harus dilegalisir serta didaftar menurut Ordonansi St. 1916 No. 46. Putusan itu mempertimbangkan, surat kuasa khusus boleh berbentuk akta notaris, atau akta yang dibuat dihadapan panitera PN sesuai dengan kompetensi relatif, maupun berbentuk akta dibawah tangan dengan cap jempol, asal dilegalisir serta didaftarkan.129 Berdasarkan uraian tersebut, pembubuhan cap jempol dalam surat kuasa khusus tidak ada manfaatnya, kecuali dilakukan berdasarkan ketentuan hukum
128
M. Yahya Harahap, 2007, Hukum Acara perdata, Sinar Grafiaka, Jakarta, Cet ke 6, hal. 18 129 Ibid
127 sebagaimana Pasal 1874 KUHPerdata, Staatsblad 1867-29 Pasal 1 juncto Staatsblad 1916-46, dan Pasal 286 RBg. tersebut yang telah mengatur untuk surat kuasa khusus yang demikian harus mendapat pengesahan dari notaris. Putusan Mahkamah Agung Nomor 272 K/Pdt/1983 juga menegaskan bahwa surat kuasa khusus yang dibubuhi cap jempol atau ibu jari harus dilegalisasi dan didafar sesuai Ordonansi St. 1916 Nomor 46. 4.3. Kekuatan Pembuktian Akta Dibawah Tangan Yang disahkan Notaris Bukti tulisan dalam perkara perdata merupakan bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan seringkali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti dalam membuat perjanjian yang dapat dipakai kalau timbul suatu perselisihan. Pada umumnya dapat dikatakan, bahwa jika seorang dengan jalan kesepakatan mengadakan sesuatu perjanjian, oleh karena orang tersebut menghendakinya, maka yang menjadi dasar dari mengikatkan diri itu ialah kehendak atau niatnya. Niat orang tidak dapat diketahui secara langsung, oleh karena itu maka di dalam pergaulan hidup, orang dapat mengetahui apa yang dikehendaki oleh sesamanya hanya dari pernyataannya saja yang diucapkan baik secara lisan atau yang dituliskan. Di dalam tulisan pernyataan itulah yang mewujudkan kehendak orang dan oleh sebab niat orang tidak dapat diraba atau dilihat maka terikatnya seseorang kepada pernyataan tersebut merupakan perwujudan dari niat atau kehendaknya. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka di dalam undang-undang diakui adanya keadaan mengikat; baik menurut peraturan yang tertulis, maupun menurut peraturan yang tidak tertulis atau adat. Secara teori, suatu perjanjian timbul atas dasar kata sepakat, terjadinya oleh karena ada niat dari orang-orang yang bersangkutan
128 akan tetapi secara praktis yang merupakan pegangan ialah pernyataan kehendak atau niat tersebut. Berdasarkan pernyataan niat yang timbal balik tersebut, maka terjadilah suatu perjanjian dan dari perjanjian itu keluarlah hak dan kewajiban buat kedua belah pihak atau salah satu pihak diantaranya. Hak dari salah satu pihak adalah berlawanan dengan kewajiban dari pihak yang lainnya, maka hal ini memberikan hak untuk menuntut. Di dalam perjanjian yang timbal balik maka kedua belah pihak masingmasing mempunyai hak untuk menuntut dan masing- masing mempunyai kewajiban. Hal terikat kepada pertanyaan kehendak atau niat itu, adalah amat penting untuk digunakan sebagai bukti surat. Penggunaan bukti surat oleh pihak di dalam akta terhadap pihak lain mempunyai akibat lain terhadap atau oleh pihak ketiga. Hakim pada suatu persidangan sangat memerlukan adanya alat-alat bukti untuk dapat memberikan penyelesaian (putusan) berdasarkan pembuktian yang diajukan. Dalam proses pembuktian akan dapat ditentukan kebenaran menurut hukum serta dapat menjamin perlindungan terhadap hak - hak para pihak yang berperkara secara seimbang. Akta yang merupakan alat bukti tertulis yang paling utama dalam perkara perdata adalah suatu surat yang ditandatangani, memuat keterangan tentang kejadiankejadian atau hal-hal, yang merupakan dasar dari suatu perjanjian, dapat dikatakan bahwa akta itu adalah suatu tulisan dengan mana dinyatakan sesuatu perbuatan hukum. Akta demikian ada yang sifatnya akta autentik dan ada yang sifatnya di bawah tangan. Akta autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dimuka seorang pegawai umum, oleh siapa di dalam akta itu dicatat pernyataan pihak yang menyuruh membuat akta itu. Pegawai umum yang dimaksud disini ialah pegawai-pegawai yang
129 dinyatakan dengan undang-undang mempunyai wewenang untuk membuat akta autentik, misalnya notaris. Akta autentik tidak dapat disangkal kebenarannya kecuali jika dapat dibuktikan sebaliknya misalnya ada kepalsuan dalam akta autentik tersebut. Sehingga bagi hakim akan sangat mudah dan tidak ragu-ragu mengabulkan gugatan penggugat yang telah didukung dengan alat bukti akta autentik. Akta di bawah tangan berisi juga catatan dari suatu perbuatan hukum, akan tetapi bedanya dengan akta autentik, bahwa akta di bawah tangan tidak dibuat dihadapan pegawai umum, melainkan oleh para pihak sendiri. Untuk dapat berkekuatan hukum sama dengan akta autentik sehingga tidak bermasalah dipersidangan maka akta dibawah tangan inilah yang harus disahkan oleh oleh pejabat umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Kekuatan bukti yang pada umumnya dimiliki oleh akta autentik, tidaklah ada pada akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan hanya mempunyai kekuatan pembuktian formal, yaitu bila tanda tangan pada akta itu diakui (dan ini sebenarnya sudah merupakan bukti pengakuan) yang berarti pernyataan yang tercantum dalam akta itu diakui dan dibenarkan. Berdasarkan hal tersebut maka isi akta yang diakui, adalah sungguh sungguh pernyataan pihak-pihak yang bersangkutan, apa yang masih dapat disangkal ialah bahwa pernyataan itu diberikan pada tanggal yang tertulis didalam akta itu, sebab tanggal tidak termasuk isi pernyataan pihak-pihak yang bersangkutan. Berdasarkan hal tersebut maka kekuatan akta di bawah tangan sebagai bukti terhadap pihak ketiga mengenai isi pernyataan di dalamnya berbeda sekali dari pada yang mengenai penanggalan akta itu. Akta di bawah tangan yang diakui
130 merupakan suatu bukti terhadap siapapun juga, atas kebenaran pernyataan dari pihakpihak yang membuatnya di dalam akta itu dalam bentuk yang dapat diraba dan dapat dilihat, akan tetapi bahwa pernyataan. itu diberikan pada tanggal yang tertulis dalam akta itu, hanya merupakan suatu kepastian untuk pihak-pihak yang menandatangani akta tersebut dan ahli waris para pihak serta orang-orang yang menerima haknya. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa pihak-pihak yang menandatangani akta tersebut sudah tentu dapat mengetahui dengan pasti kapan membubuhkan tandatangannya
dalam
akta.
Pihak
ketiga
yaitu
orang
yang
tidak
ikut
menandatanganinya dan yang bukan menjadi ahli waris atau yang menerima hak dari menandatangani hanya dapat melihat hitam diatas putih isi pernyataan tersebut tetapi tidak akan dapat rnemeriksa atau meyakinkan apakah tanda tangan tersebut diletakkan pada tanggal yang disebutkan dalam akta. Akan tetapi secara material, kekuatan pembuktian akka di bawah tangan tersebut hanya berlaku terhadap orang untuk siapa pernyataan itu diberikan, sedangkan terhadap pihak lain, kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim (pembuktian bebas). 4.4.
Pertanggungjawaban Notaris Atas Akta yang Dilegalisasi Kewenangan pengesahan oleh seorang notaris terhadap suatu akta di bawah
tangan tentunya diikuti dengan adanya pertanggunganjawaban atas tindakan tersebut. Berkaitan dengan pertanggunganjawaban seorang notaris, masih terdapat kerancuan mengenai batas pertanggungjawaban Notaris, berdasarkan Pasal 65 UUJN, yaitu meskipun semua akta yang dibuat oleh Notaris, Notaris Pengganti, Notaris Pengganti Khusus, dan Pejabat Sementara Notaris telah diserahkan atau dipindahkan kepada pihak penyimpan Protokol Notaris, hal ini berarti meskipun sudah berhenti atau
131 pensiun sebagai Notaris, masih harus bertanggungjawab sampai hembusan nafas terakhir. Seharusnya, hal yang logis yaitu jika seorang Notaris, yang sudah tidak menjabat lagi meskipun yang bersangkutan masih hidup, tidak dapat diminta lagi pertanggungjawabannya dalam bentuk apapun, dan Notaris penyimpan protokol wajib memperlihatkan atau memberikan fotokopi dari minuta akta yang diketahui sesuai dengan aslinya oleh Notaris penyimpan protokol atau oleh Majelis Pengawas Daerah (MPD) untuk protokol Notaris yang telah berumur 25 (dua puluh lima) tahun atau lebih (Pasal 63 ayat (5) UUJN). Berdasarkan pengertian seperti itu, keberadaan Pasal 65 UUJN tersebut tidak sesuai dengan makna bahwa akta Notaris sebagai akta autentik
yang
mempunyai
nilai
pembuktian
yang
sempurna.
Batas
pertanggungjawaban Notaris, dapat diminta sepanjang mereka masih berwenang dalam melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris, atau kesalahan-kesalahan yang dilakukan dalam menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris dan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan terhadap Notaris dapat dijatuhkan sepanjang Notaris masih berwenang untuk melaksanakan tugas jabatan sebagai Notaris. Dengan kontruksi pertanggungjawaban seperti di atas, tidak akan ada lagi Notaris, Notaris Pengganti, Penjabat
Sementara
Notaris
atau
Notaris
Pengganti
Khusus
diminta
pertangungjawabannya lagi setelah yang bersangkutan berhenti dari tugas jabatannya sebagai Notaris. Kontruksi pertanggungjawaban seperti ini sesuai dengan jiwa Pasal 1870 KUHPerdata, bahwa: “Suatu akta autentik memberikan di antara para pihak beserta para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.” Penyimpanan protokol Notaris oleh Notaris pemegang protokol merupakan suatu upaya untuk
132 menjaga umur yuridis akta Notaris sebagai alat bukti yang sempurna bagi para pihak atau ahli warisnya tentang segala hal yang termuat dalam akta tersebut. Akta Notaris dalam bentuk salinan selamanya akan ada jika disimpan oleh yang bersangkutan, dan dalam bentuk minuta juga akan ada selamanya, yaitu yang disimpan oleh Notaris sendiri atau oleh Notaris pemegang protokol atau oleh Majelis Pengawas Daerah. Meskipun Notaris meninggal dunia tetapi akta Notaris akan tetap ada dan mempunyai umur yuridis, melebihi umur biologis Notaris. Di kalangan masyarakat umum maupun di kalangan para pejabat, terdapat pengertian yang salah mengenai arti dari legalisasi ini. Sebagian masyarakat berpendapat bahwa
dengan
dilegalisasinya surat di bawah tangan itu, surat itu memperoleh kedudukan sebagai akta autentik, dengan dalam perkataan surat itu dianggap seolah-alah dibuat oleh atau dihadapan notaris, padahal pejabat umum dimaksud hanyalah menjamin mengenai tanggal dan tandatangan dari para pihak yang bersangkutan atas dasar kesepakatan para pihak itu sendiri. Dengan demikian pertanggungjawaban Notaris atas kebenaran akta di bawah tangan yang dilegalisainya adalah kepastian tanda tangan artinya pasti bahwa yang tanda tangan itu memang pihak dalam perjanjian, bukan orang lain. Dikatakan demikian karena yang melegalisasi surat itu disyaratkan harus mengenal orang yang menandatangan tersebut dengan cara melihat tanda pengenalnya seperti Kartu Tanda Penduduk dan lain-lain. Jika yang melegalisasi kenal benar orangnya, maka barulah mereka itu
membubuhkan tandatangannya
dihadapan yang
melegalisasi pada saat, hari dan tanggal itu juga. Selain itu sepanjang masih mempunyai wewenang untuk menjalankan tugas jabatan sebagai Notaris.
133 4.5. Pengesahan Surat Kuasa Khusus Gugatan Pengadilan Pengesahan terhadap surat kuasa khusus dibawah tangan diperlukan guna memberi kepastian hukum kepada hakim tentang kebenaran surat kuasa khusus yang dibuat oleh pencari keadilan untuk keperluan persidangan. Hal ini sejalan dengan yurisprudensi MA RI Nomor: 3038 K/Pdt/1981, tanggal 18 September1986. Tugas dan pekerjaan dari seorang notaris tidak hanya membuat akta autentik tetapi juga melakukan pendaftaran dan pengesahan akta-akta yang dibuat di bawah tangan (Legalisasi dan Waarmerking), memberikan nasehat hukum dan penjelasan undangundang kepada para pihak yang membuatnya dan membuat akta pendirian dan perubahan Perseroan Terbatas di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Legalisasi merupakan pengesahan akta di bawah tangan yang dibacakan oleh notaris dan ditanda tangani oleh penghadap dimuka notaris pada waktu itu juga untuk menjamin kepastian tanggal dari akta yang bersangkutan. Dimana para penghadap yang mencantumkan tanda tangannya itu dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris. Mengenai legalisasi Pasal 1874 KUHPerdata menyatakan: “Sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap akta-akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum. Terkait dengan contoh kasus dalam tulisan ini yang terjadi pada surat kuasa khusus yang dibuat di hadapan Notaris Niken Sukmawati, S.H., M.Kn. Notaris di Blora
pada
tanggal
25
Agustus
2008
dengan
bukti
dilegalisir
dengan
No.04/Leg/2008. Mahkamah Agung dalam putusannya bernomor: 1040 K/Pdt/2010, menyatakan bahwa cap jempol yang dibubuhkan dalam surat kuasa termohon buta
134 huruf yang telah dilegalisasi oleh notaris tersebut dinyatakan tidak sah. Sedangkan pada persidangan kasus berbeda di tahun 2008, Putusan Mahkamah Agung Nomor: 9 K/Pdt/2008 surat kuasa oleh pemberi kuasa buta huruf yang hanya di-warmerking dianggap sah dan tidak cacat hukum. Ketidak pastian ini tentu harus dipertegas dengan peraturan perundang-undangan yang jelas, sehingga para penegak hukum kita khususnya para hakim dimanapun mereka bertugas mempunyai sikap yang sama, demikian pula dengan pertanggungjawaban notaris terhadap kliennya. Keabsahan sebuah surat kuasa khusus yang dicap jempol oleh penghadap buta huruf mestinya dilegalisasi oleh notaris atau pejabat yang berwenang lainnya. Pertimbangan Mahkamah Agung dalam putusannya bernomor 1040 K/Pdt/2010, tentang Pembatalan Putusan Pengadilan Tinggi Blora Nomor 207/Pdt/2009/PT.Smg yang menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Blora Nomor 24/Pdt.G/2008/PN.Bla. adalah sebagai berikut130: 1
Bahwa pengesahan yang dilakukan hanya sekedar menerangkan isi dan maksudnya kepada pemberi kuasa dan penerima kuasa; bahwa tidak ada suatu keterangan, khususnya dari pemberi kuasa, apakah benar telah mengetahui dan mengerti serta memahami apa yang telah diterangkan atau dijelaskan isi dan maksud dari surat kuasa termaksud oleh Notaris selaku pejabat yang melegalisasi surat kuasa tersebut dan yang memberikan persetujuan atas surat kuasa tersebut. Atau tanpa menanyakan kepada masing-masing pihak apakah para pihak sudah mengerti dan memahami serta menyetujui tentang isi dan maksud surat kuasa tersebut. 130
http://www.putusan.mahkamahagung.go.id/Putusan No. 1040K /Pdt / 2010, diakses pada tanggal 21 April 2013.
135 2. Bahwa dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blora menyatakan bahwa dengan telah dibubuhkannya cap jempol oleh Penggugat Terbanding Termohon Kasasi,
maka Penggugat Terbanding
Termohon Kasasi dianggap telah memahami isi dan maksud dari pemberian Surat Kuasa Khusus kepada penerima kuasa. Bahwa pendapat dan pertimbangan seperti tersebut di atas adalah keliru dan terlalu sumir, karena keabsahan surat kuasa semacam itu harus dijelaskan dan diterangkan oleh Notaris, surat apa yang dibubuhi cap jempol itu. 3. Bahwa selain itu, Majelis Hakim Tingkat Banding dan Majelis Hakim Tingkat Pertama ternyata juga tidak memahami istilah “legalisir” dengan legalisasi; bahwa 2 (dua) istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda dan tentu saja mempunyai akibat hukum yang berbeda pula; bahwa hal tersebut ternyata dalam pertimbangan hukum putusan pengadilan Negeri Blora a quo pada halaman 18 yang berbunyi sebagai berikut: Menimbang, bahwa mengenai eksepsi kuasa para tergugat tentang surat kuasa penggugat tertanggal 23 Agustus 2008 cacat hukum dan tidak sah maka dalam hal ini Majelis berpendapat bahwa dengan dibuatnya Surat Kuasa di hadapan Notaris Niken Sukmawati, S.H., Mkn., Notaris di Blora pada tanggal 25 Agustus 2008 dan dilegalisir dengan No.04/Leg/2008, dimana sebelum Surat Kuasa tersebut dilegalisir; Bahwa pertimbangan hukum yang menyatakan bahwa surat kuasa dari nyonya Parinah (ic. Penggugat Terbanding Termohon Kasasi) tersebut hanya dilegalisir saja, justru telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 123 HIR
136 jo Pasal 147 ayat (3) R.Bg. jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 1 Tahun 1959 tertanggal Januari 1959 tentang Pengesahan Cap Jempol jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Republik No. 10 Tahun 1964 tertanggal 30 April 1964 tentang Pasal 147 ayat (3) Rechtsreglement Buitengewesten yang telah secara tegas mengatur bahwa Surat Kuasa dari seorang yang buta huruf atau tidak bisa membaca dan menulis harus dilegalisasi oleh pejabat yang berwenang/ Notaris (ic.Notaris menerangkan atau menjelaskan isi dan maksud dari Surat Kuasa termaksud kepada para pihak, teristimewa pada pemberi kuasa/ nyonya Parinah yang nota bene adalah seorang yang buta huruf atau tidak bisa membaca dan menulis), tidak cukup hanya sekedar dilegalisir saja; Bahwa dengan demikian, maka pertimbangan hukum yang diambil oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Semarang dan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Blora tersebut adalah bertentangan dengan hukum dan berakibat pada ama putusan yang cacat hukum. Menurut penulis, jika ditinjau dari sudut kekuatan hukumnya untuk pembuktian, maka tentu saja lebih kuat Legalisasi daripada Register (waarmerking). Dalam hal surat kuasa khusus yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda angan sebaiknya dilegalisasi bukan di warmerking, karena dengan legalisasi notaris mengetahui secara pasti kapan surat kuasa khusus tersebut disetujui oleh kedua belah pihak dengan kata lain pada saat surat itu dibubuhi dengan cap jempol atau ditanda tangani notaris secara langsung menyaksikannya. Selain disaksikan, Notaris juga menerangkan kepada pihak penghadap isi dan maksud dari surat kuasa tersebut.
137 Ketentuan mengenai pengesahan pembubuhan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan tidak diatur dengan tegas dalam UUJN sehingga pengesahan yang dilakukan antara notaris yang satu dengan yang lain berbeda. Kenyataannya surat kuasa khusus yang disahkannya menjadi cacat hukum. Hal ini tentu sangat merugikan bagi pihak yang ingin membubuhkan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan, jika surat kuasa khusus gugatannya di pengadilan terhadap suatu perkara dipermasalahkan. Pengesahan yang cacat hukum berakibat pada pembatalan keputusan Hakim terdahulu, hal inilah yang perlu menjadi perhatian sehingga masyarakat yang memerlukan jasa notaris mendapatkan kepastian hukum. Ketentuan Pasal 1874 KUHPerdata dan yurisprudensi tentang pemakaian cap jempol sudah semestinya dituangkan dengan jelas dalam UUJN sehingga menjadikan pedoman yang pasti bagi notaris dalam menerapkan kewenangan yang dimilikinya.
BAB V PENUTUP
5.1
Simpulan Berdasarkan uraian pada bab – bab sebelumnya dapat ditarik simpulan-
simpulan sebagai berikut: 1. Fungsi notaris dikaitkan dalam pembuatan surat kuasa khusus gugatan pengadilan berwenang memberikan pengesahan dengan tepat atas cap jempol yang dipakai sebagai pengganti tanda tangan. Dengan demikian akta yang dibuat memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Penghadap yang membuat akta harus dikenal oleh notaris, dalam arti yuridis ada kesesuaian antara nama dan alamat yang disebutkan oleh yang bersangkutan di hadapan notaris sehingga akta yang dibuat dapat dipertanggungjawabkan. 2. Terhadap surat kuasa khusus yang dibubuhi dengan cap jempol oleh seorang buta huruf, baik dalam bentuk akta autentik maupun di bawah tangan harus dilegalisasi karena legalisasi memberikan kepastian tanda tangan, tanggal, dan isi akta dijelaskan atau dibacakan oleh notaris. Dengan demikian akta itu mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Waarmerking dalam praktek notaris kurang tepat dilakukan pada klien
yang buta huruf karena yang
bersangkutan tidak dapat membaca isi akta yang dibuatnya sehingga berpotensi tidak mendapatkan kepastian hukum bagi yang bersangkutan. Waarmerking hanya semakna dengan registrasi yaitu memberi kepastian tanggal (date certain) pendaftaran di Notaris. Ketentuan mengenai legalisasi terhadap surat kuasa 138
139 khusus yang dibubuhi dengan cap jempol hendaknya dipertegas dalam UUJN sebagai pedoman yang pasti bagi para notaris dalam menangani klien yang tidak mampu membubuhkan tanda tangan karena yang bersangkutan buta huruf. 5.2
Saran Berdasarkan simpulan-simpulan di atas, penulis menyarankan sebagai
berikut: 1. Kepada para notaris agar lebih teliti dan cermat dalam memberikan pengesahan terhadap akta yang dibubuhi dengan cap jempol sebagai pengganti tanda tangan. 2. Kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, agar dalam Rancangan Perubahan UUJN nantinya pengaturan tentang pengesahan pembubuhan cap jempol dalam akta secara jelas diatur sehingga notaris mempunyai pedoman yang pasti sesuai dengan fungsinya. Perlu kiranya dipertimbangkan mengenai pemakaian cap jempol dalam pembuatan akta, karena ditinjau dari aspek kepastian hukum, sebenarnya cap sidik ibu jari atau cap jempol memiliki kekuatan pembuktian yang lebih baik karena lebih sulit dipalsukan dibandingkan dengan tanda tangan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku:
Adjie, Habib, 2008, Sanksi Perdata & Aministrasi Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Rafika Aditama, Bandung. -------, 2008, Hukum Notaris Indonesia, Rafika Aditama, Bandung. -------, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), Refika Aditama, Bandung. -------, 2009, Sanksi Perdata dan Administrasi Terhadap Notaris sebagai Pejabat Publik, Rafika Aditama, Bandung. -------, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Tulisan), CV. Mandar Maju, Bandung. Ali, Achmad, 2002, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung Agung Tbk, Jakarta. Andasasmita, Komar, 1981, Notaris I, Sumur Bandung. -------, 1984, Notaris I, Sumur, Bandung. -------, 1997, Akta II Notaris Dan Contoh-Contoh akta, Ikatan Notaris Indonesia, Bandung. Andreae S.J., Fockema, Rechtgeleerd Handwoorddenboek, 1951, Bij J.B. Wolter Uitgeversmaat,N.V. Gronogen, Jakarta. Black, Henry Campbell, 1991, Black‟s Law Dictionary, West Publishing & Co, St. Paul, Minnesota. Budiono, Herlien, 1998, Akta Otentik Dan Notaris Pada Sistem Hukum AngloSaxon Dan Sistem Hukum Romawi, Percikan Gagasan Tentang Hukum KeIII Kumpulan Karangan Ilmiah Alumni FH Unpar, Mandar Maju,Bandung, hal. 104. Burhan, Ashofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Reneka Cipta, Jakarta.
140
141 Dicey, A.V., 1952, introduction to the study of the constitution, cet 2, terjemahan dari nurhadi, nusamedia, bandung. Effendie, Bachtiar, 1991, Masdari Tasmin dan A.Chodari, Surat Gugat dan Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata, PT.Citra Aditya Bakti Bandung. Gandasubrata H.R. Purwoto S,, 1998, Renungan Hukum, IKAHI Cabang Mahkamah Agung RI, Jakarta. Hadjon, Philipus M., 1987, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, PT. Bina Ilmu, Surabaya. -------, 1998, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya. Harahap, M. Yahya, 2005, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta. -------, 1982, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Bandung. Hartono, Sunaryati, 1991 “Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional”, Alumni, Bandung. -------, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad Ke-20, Alumni, Bandung. Ibrahim, Johny, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Publishing, Malang. Imron H.M., 2006, Legalisasi Harus Dilengkapi Saksi, Renvoi Nomor 10/34 April 2006. Jansen F.M.J., 1987, Executie-en Beslagrecht, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle. Kie, Tan Thong, 2007, Serba Serbi Praktek Notaris, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta. Lefflaurence, Laurence, 2002, notaries and electronic notarization, western illinois university, hal.2. Lubis, Suhrawardi K., 2006, Etika Profesi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2001, Penelitian Hukum, Vol. 16 No. 1, Maret-April, Yuridika, Surabaya. -------, 2005, Penelitian Hukum, Fajar Inter Pratama Offset, Jakarta. -------, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media Group, Jakarta.
142
Manan, Bagir, 2004, Hukum Positif Indonesia, UII Press, Yogyakarta. Mertokusumo, Sudikno, 1988, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ketiga, Liberty, Yogyakarta. -------, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat, : Liberty, Yogyakarta, hal.121. Ndraha, Taliziduhu, 2003, Kybernology (Ilmu Pemerintahan Baru) 1, Rineka cipta, Jakarta. Poerwadarminta, W.J.S., 1986, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Poesoko, Herowati, 2007, Parate Executie Obyek Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma dan Kesesatan Penalaran dalam UUHT), Laks. Bank Pressindo, Yogyakarta. Prinst, Darwan, 1998, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata, CV.Citra Aditya Bakti, Bandung. Raharjo, Satijipto, 2000, “Ilmu Hukum’, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung. -------, 2009, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, Genta Publishing, Yogyakarta. Rasjidi, Lili, dan Putra, I.B Wyasa, 1993, “Hukum Sebagai Suatu Sistem”, Remaja Rusdakarya, Bandung. -------, 1991, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta. Ridwan, H.R., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sugeng, Bambang AS. dan Sujayadi, 2012, Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Samudera, Teguh, 1992, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, alumni, Bandung. Sasangka, Hari, dan Rifai, Ahmad, 2005, Perbandingan HIR dengan RBG, CV. MandarMaju, Bandung. Setiawan, 1992, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung.
143 Subekti, 1982, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung. -------, 1986, Pembuktian dan Daluwarsa, Intermasa, Jakarta. -------, 1995, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung. -------, 1987, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta. Soekanto, Soerjono, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta. -------, 1983, Penegakan Hukum, Binacipta, Jakarta. -------, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta. Soekanto, Soerjono & Mamudji Sri, 1985, Penelitian Hukum Normative Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta. -------, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sunggono, Bambang, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Supomo, 1972, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Jakarta. Suryana, Ida Rosida, 1999, Serba – Serbi Jabatan Notaris, Universitas Padjajaran, Bandung. Tedjosaputro, Liliana, 1991, Malpraktek Notaris dan Hukum Pidana, CV.Agung, Semarang. Tobing, G.H.S Lumban, 1992, Peraturan Jabatan Notaris, Cetakan Ketiga, PT. Gelora Aksara, Jakarta. Waluyo, Bambang, 1991, Penelitian hukum dalam praktek, Sinar grafika, Jakarta.
Karya Imiah: Hadjon, Phipilus Mandiri, 10 Oktober 1994, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih. Orasi Ilmiah Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Surabaya. Alfons, Maria, 2010, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produkproduk Masyarakat Lokal /Dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, Universitas Brawijaya, Malang.
144
Peraturan Perundang-Undangan: Kitab Undang Undang Hukum Perdata Engelbrecht De Wetboeken wetten en Veroordeningen, Benevens de Grondwet van de Republiek Indonesie, 1998, Ichtiar Baru-Van Voeve, Jakarta. Het Herziene Indonesisch Reglement, S 1941 : 44 (HIR) Staatblad 1916 Nomor 46 Tentang Kewenangan Legalisasi dan Waarmerking Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
Internet: http://wwww.paudni.kemdikbud.go.id, anggaran bantuan rp.4801 miliar untuk daerah terpadat buta aksara. http://www.wawasanhukum.blogspot.com, 3 Juli 2007 , Biro Humas dan HLN. Hasbullah, Notaris dan Jaminan Kepastian Hukum. http://portalukm.com/siklus-usaha/mengelola-usaha/hukum, Mengelola Usaha. http://www.putusan.mahkamahagung.go.id/ Putusan No. 9 K/Pdt/2008. http://www.putusan.mahkamahagung.go.id/ Putusan No.1040 K/Pdt/2010. http://www.negarahukum.com/hukum/tujuan-tanda-tangan.html.