Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian Penyunting: Undang Kurnia, F. Agus, D. Setyorini, dan A. Setiyanto
FUNGSI LAHAN SAWAH DALAM MITIGASI KENAIKAN SUHU UDARA DI DAERAH ALIRAN SUNGAI CITARUM THE ROLE OF PADDY FIELD IN MITIGATION AIR TEMPERATURE IN CITARUM RIVER BASIN S. Sutono, S. H. Tala’ohu, dan F. Agus Balai Penelitian Tanah, Bogor
ABSTRAK Perubahan suhu udara dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya adalah oleh perubahan penggunaan lahan. Setiap penggunaan lahan mempunyai karakteristik suhu pada siang dan malam hari. Penelitian ini bertujuan untuk menduga besarnya biaya pengganti (replacement cost method/RCM) fungsi sawah dalam mitigasi kenaikan suhu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu udara di area lahan sawah lebih tinggi dibandingkan dengan area kebun campuran, tetapi lebih rendah dibandingkan dengan di daerah permukiman. Biaya pengganti dari mitigasi kenaikan suhu udara diduga dari biaya pembelian dan perawatan system pendingin.Adapun biaya tersebut kurang lebih mencapai Rp. 75,7 juta per tahun untuk mewakili 700.000 hektar daerah tangkapan air dengan lahan sawah di dalamnya seluas 200.000 hektar. ABSTRACT Air temperature changes might be caused by several factors, one of them is land use change. Every land use has an effect on night and day temperature characteristics. The study objective was to valuate replacement cost of heat mitigation function of paddy field. The results showed that air temperature in paddy field was higher than mixed garden but lower than in housing areas. The replacement cost of heat mitigation was estimated based on purchasing and maintenance costs of the cooling system and it was approximately Rp. 75.7 billion annually for the 700,000 ha catchment having paddy field area of about 200,000 ha.
ISBN 979-9474-20-5
159
Sutono et al.
PENDAHULUAN Faktor iklim yang banyak dijadikan pembicaraan sehari-hari adalah suhu dan curah hujan. Akan tetapi curah hujan lebih sering dikaji karena sangat berhubungan dengan turun naiknya produksi pertanian di Indonesia. Suhu lebih sering dibicarakan dan dirasakan ketika udara terasa sangat panas, sehingga badan berkeringat pada siang dan atau malam hari. Suhu dan panas mempunyai perbedaan dalam istilah, tetapi kebiasaan kita sering menyamakan suhu dengan panas. Panas adalah energi total dari pergerakan molekuler suatu benda, sedangkan suhu merupakan energi kinetis rata-rata dari pergerakan suatu benda. Energi tersebut berasal dari surya yang dipancarkan dalam gelombang pendek diterima oleh bumi, bumi memancarkan kembali dalam gelombang panjang kemudian diserap atmosfer dan memanaskan udara yang kita rasakan sehari-hari. Penyebaran suhu di atas permukaan bumi diantaranya dipengaruhi oleh jumlah radiasi surya yang diterima bumi, ketinggian (altitude), angin, dan lain-lain. Indonesia menerima radiasi matahari sepanjang hari dan sepanjang tahun dalam jumlah relatif sama. Suhu udara bergantung pada ketinggian tempat dari permukaan laut, makin tinggi makin rendah suhunya (Manan, et al., 1980). Pergerakan udara secara horizontal yang dikenal dengan arah angin membawa panas. Suhu udara sejak pagi hari merambat naik sesuai dengan meningkatnya radiasi surya dan mencapai puncaknya antara pukul 12oo – 15oo WIB kemudian menurun kembali bersamaan dengan tenggelamnya matahari. Pada saat suhu udara terasa sangat panas biasanya kegiatan petani beralih ke tempat-tempat yang agak terlindung, digubug atau bahkan pulang ke rumah. Pada saat inilah kenyamanan suhu terasa sangat diperlukan. Kenyamanan suhu ini dibutuhkan oleh setiap orang, baik yang bekerja di luar gedung, di dalam gedung, dan bahkan dalam berkendaraan. Dalam hal ini apakah penggunaan lahan dapat mempengaruhi tingkat kenyamanan tersebut? Makalah ini memaparkan pendugaan besarnya biaya pengganti (replacement cost) yang harus dikeluarkan oleh masyarakat sehubungan dengan meningkatnya suhu udara di permukiman. BAHAN DAN METODE Pengukuran suhu udara menggunakan termometer air raksa, dilaksanakan di Cianjur, Bandung, dan Purwakarta. Pengukuran dilakukan pada jam yang sama yaitu setiap jam 11, 12, 13, 14, dan 15 WIB di siang hari saat suhu udara mencapai puncak. Pengukuran suhu dilakukan pada penggunaan lahan permukiman, sawah, dan kebun
160
Fungsi Lahan Sawah dalam Mitigasi Kenaikan Suhu Udara
campuran secara bersamaan. Ketiga tempat pengukuran tersebut (permukiman, sawah, dan kebun campuran) terletak pada satu garis kontur yang sama, sehingga bias pengukuran sebagai akibat perbedaan ketinggian tidak terjadi. Perbedaan suhu yang diakibatkan oleh beda ketinggian diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) dari stasiun SMPK Pacet (1100 m dpl), Geofisika Bandung (791 m), dan Cikumpay (80 m), untuk tahun 1985, 1990, dan 2000. Cianjur dipilih sebagai sample sebab kota ini berada di kaki bukit yang diperkirakan belum mengalami banyak perubahan suhu dan mewakili daerah hulu DAS Citarum. Bandung sebagai kota besar yang berada di daerah tengah DAS Citarum, dan Purwakarta sebagai kota kecil yang berada di daerah datar dari DAS Citarum bagian hilir. Di Kabupaten Cianjur, pengamatan dilakukan di Desa Bojongherang, Limbangansari, dan Babakan Karet, di Kabupaten Purwakarta pengamatan dilakukan di Desa Anjun, serta di Kotamadya Bandung pengamatan dilakukan di Kelurahan Ciateul, Turangga, Lingkar Selatan, dan Citarum. Di kota Bandung, survei penggunaan kipas angin dan AC (air conditioner) dilakukan tidak bersamaan dengan pengukuran suhu udara. Selain mencatat jumlah pemakai peralatan elektrik tersebut, juga dicatat perkiraan penggunaannya setiap hari dan penambahan biaya pemakaian listrik. Hasil pengukuran dirata-ratakan untuk memperoleh satu nilai suhu dengan rumus: T = (t11 + t12 + t13 + t14 + t15)/5 Dimana : T = suhu rata-rata dan t = suhu pada jam tertentu (yakni jam 11, 12, 13, 14, dan 15 WIB) Selain menghitung suhu rata-rata, dilakukan juga survei untuk mengetahui jumlah pemakai kipas angin dan AC di permukiman tempat pengukuran suhu dilakukan. Rata-rata suhu dihitung berdasarkan rumus: T = (suhu maksimum + suhu minimum)/2 Dimana : T = rata-rata suhu berdasarkan suhu maksimum dan minimum bulanan Biaya pengganti (replacement cost) atau biaya yang dikeluarkan untuk menurunkan suhu udara sebagai akibat lahan sawah beralih fungsi menjadi permukiman dihitung dengan rumus (Agus et al., 2002):
161
Sutono et al.
RCHM = ElU {(Hf (Mf + Df) + PAC (MAC + DAc)} Dimana: ElU Hf Mf Df PAC MAC DAC
= pengguna AC dan kipas angin (%) = jumlah kepala keluarga pengguna kipas angin = biaya pemeliharaan kipas angin (Rp/tahun) = biaya penyusutan kipas angin (Rp/tahun) = jumlah kepala keluarga pengguna AC = biaya pemeliharaan AC (Rp/tahun) = biaya penyusutan AC (Rp/tahun) HASIL DAN PEMBAHASAN Perbedaan suhu udara di DAS Citarum
Suhu di Pacet (1100 m dpl) pada tahun 1985 lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1990 dan 2000. Suhu pada bulan Juni hampir sama walaupun suhu tahun 1985 masih lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1990 dan 2000. Hal ini menunjukkan bahwa di Pacet sejak tahun 1985 terjadi kenaikan suhu, berkisar 1 sampai 2 oC (Gambar 1).
25
Suhu rata-rata (oC)
24 23 22 21
1985 1990 2000
20 19 18 17 16 Des
Nop
okt
Sep
Ags
Juli
Juni
Mei
Apr
Mart
Peb
Jan
15
Bulan
Gambar 1. Perbedaan suhu rata-rata bulanan di stasiun Pacet
162
Fungsi Lahan Sawah dalam Mitigasi Kenaikan Suhu Udara
Rata-rata suhu bulanan di Bandung dengan ketinggian 791 m lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di Pacet. Hal ini dapat dimengerti, sebab Pacet lebih tinggi dibandingkan dengan Bandung. Pada tahun 1985 suhu di Bandung berkisar antara 22 – 23 oC (Gambar 2), sedangkan pada tahun 1990 dan 2000 berkisar antara 23 – 25 oC. Pada tahun 1990 suhu di Kota Bandung tidak berbeda dengan tahun 2000. Kenaikan suhu berkisar 1 – 2 oC. Rata-rata suhu pada tahun 1985 di Cikumpay (Purwakarta) pada ketinggian 80 m lebih rendah dibandingkan dengan tahun 1990 dan 2000. Pada bulan Mei dan Juni 2000 suhu meningkat paling tinggi dibandingkan dengan bulan lainnya. Pada tahun 1985 suhu rata-rata bulanan berkisar antara 26 – 27 oC, sedangkan pada tahun 1990 dan 2000 berkisar antara 27 – 29 oC (Gambar 3). Hal ini menunjukkan bahwa tahun 1990 dan 2000 terjadi peningkatan suhu dibandingkan dengan tahun 1985.
Suhu rata-rata (oC)
25 24 1985
23
1990 22
2000
21 20 Jan
Peb Mart Apr
Mei
Juni
Juli
Ags
Sep
okt
Nop Des
Bulan
Gambar 2. Perbedaan suhu rata-rata bulanan di stasiun Geofisika Bandung (ketinggian 791 m)
Masyarakat Cianjur pada siang dan sore hari merasakan lebih panas setelah bendung Cirata beroperasi penuh dibandingkan sebelum ada bendungan. Bendungan Cirata hanya beberapa kilometer dari Cianjur, sehingga perubahan suhu di bendungan Cirata dapat dirasakan sampai ke kota Cianjur. Hal ini dapat dimengerti sebab pada siang dan sore hari suhu permukaan bumi lebih panas dibandingkan dengan suhu permukaan air, sehingga terjadi perpindahan bahang dari Cirata ke Cianjur. Selain itu, penyimpanan energi oleh air dilepaskan perlahan-lahan, sehingga air terasa lebih hangat lebih lama dan hal ini dirasakan oleh masyarakat di sekitar Ciranjang dan Cipeuyeum. Perubahan suhu pada periode 1985 sampai 2000 tidak saja disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan, tetapi lebih disebabkan oleh pemanasan bumi secara global. Saat ini suhu bumi secara global meningkat sekitar 2 0C, dan mengakibatkan gunung-gunung es di kutub mulai mencair (Republika, 23 Januari 2003).
163
Sutono et al.
30
Suhu rata-rata
29 28 1985 27
1990 2000
26 25 24 Jan Peb Mart Apr
Mei Juni Juli Ags Sep
okt
Nop Des
Bulan
Gambar 3. Perbedaan suhu rata-rata bulanan di stasiun Cikumpay (ketinggian 80 m) Perbedaan suhu antara sawah dengan permukiman dan kebun campuran Suhu di area kebun campuran lebih sejuk dibandingkan dengan di sawah atau permukiman. Suhu rata-rata siang hari pada pukul 11 oo – 15 oo di DAS Citarum adalah kebun campuran 29 oC, di permukiman 34,3 oC, dan sawah 32,3 oC. Rata-rata perbedaan suhu di area persawahan dengan di permukiman pada siang hari pukul 11 oo – 15 oo adalah 2 oC, antara permukiman dengan kebun campuran adalah 5,5 oC dan antara kebun campuran dengan sawah adalah 3,6 oC (Tabel 1). Rata-rata perbedaan suhu harian pada penggunaan lahan permukiman, sawah, dan kebun campuran disajikan pada Gambar 4, 5, dan 6. Tabel 1. Rata-rata perbedaan suhu di areal sawah dengan permukiman dan kebun campuran di DAS Citarum Lokasi
Perbedaan suhu
Rata-rata suhu pukul 11oo – 15 oo WIB P S Kc
P-S
P - Kc
Kc – S
2 3 1 2
Ta 5,5 5,5 5,5
Ta 2,5 4,5 3,6
o
C
Bandung Cianjur Purwakarta Rata-rata perbedaan
34 34 35
32 31 34
Ta 28,5 29,5
Keterangan: P = Permukiman, S = Sawah, Kc = Kebun campuran, ta = tidak ada angka
164
Fungsi Lahan Sawah dalam Mitigasi Kenaikan Suhu Udara
Sebagai ilustrasi, perlu dipaparkan kesaksian masyarakat. Di Desa Anjun, Purwakarta dengan ketinggian sekitar 200 m dpl, pada tahun 1960-an masih berkabut pada pagi hari, tetapi sekarang hal tersebut sukar dijumpai. Demikian juga di Bandung dan Cianjur, pada tahun 1960-an jika pagi-pagi udara dingin masih terasa menggigit, tetapi sekarang ini tidak lagi. Di Cianjur, suhu udara siang hari terendah terjadi di area kebun campuran, sekitar 28 0C, sawah 30 0C, dan permukiman 32 0C (Gambar 4). Di Bandung, suhu udara siang hari di permukiman kota 33 0C – 35 0C, sedangkan di persawahan 30 0C – 32 0C. Suhu di kota Bandung lebih tinggi dibandingkan dengan di kota Cianjur. Di Purwakarta pun polanya hampir sama di sekitar kebun campuran 28 0C – 30 0C, di sawah 31 0C – 33 0C, dan di permukiman dekat jalan raya 36 0C – 39 0C (Gambar 6). 35
Suhu (oC)
33 Permukiman Sawah Kebun campur
31 29 27 25 11
12
13
14
15
Jam pengamatan
Gambar 4. Perbedaan suhu pada penggunaan lahan yang berbeda di Bojongherang, dan Babakan Karet, Cianjur Peningkatan suhu pada area persawahan sebagai akibat adanya genangan air di dalam petakan, disebabkan permukaan air sebagai penerima radiasi surya, akan menyimpan bahang lebih lama dibandingkan dengan permukaan tanah. Bahang yang tersimpan akan dilepaskan perlahan-lahan sehingga dicapai keseimbangan suhu, ketika bahang ini terlepas ke atmosfir menyebabkan peningkatan suhu udara. Rendahnya suhu di area kebun campuran karena sinar surya lebih banyak yang terhalang oleh kanopi pepohonan dan tidak mencapai permukaan bumi. Padahal media untuk memanaskan udara yang paling cepat adalah adanya pantulan energi gelombang panjang dari permukaan bumi ke udara. Pantulan energi tersebut terhambat, sehingga suhu terukur lebih rendah dibandingkan dengan sawah.
165
Sutono et al.
36 35
Suhu (oC)
34 33 32
Permukiman Sawah
31 30 29 28 27 11
12
13
14
15
Jam pengamatan
Gambar 5. Perbedaan suhu sawah dan permukiman di Bandung
41 39
Suhu (oC)
37 35
Permukiman Sawah Kebun campur
33 31 29 27 25 11
12
13
14
15
Jam pengamatan
Gambr 6. Perbedaan suhu pada penggunaan lahan yang berbeda di Citeko, Anjun, Purwakarta Karakteristik suhu di permukiman berbeda. Peningkatan suhu disebabkan oleh banyak faktor seperti kepadatan penduduk, gas buang kendaraan bermotor, aspal jalan yang mudah memancarkan energi gelombang panjang, dan sebagainya. Oleh karena itu, peningkatan suhu di permukiman terasa lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya.
166
Fungsi Lahan Sawah dalam Mitigasi Kenaikan Suhu Udara
Pendugaan biaya pengganti (replacement cost) Peningkatan suhu di permukiman diikuti dengan peningkatan pengeluaran penduduk untuk mendapatkan kenyamanan di tempat tinggalnya. Masyarakat perkotaan sudah memanfaatkan kipas angin untuk mengembalikan kenyamanan yang hilang. Di perkotaan seperti Bandung, lebih dari 60% masyarakatnya telah menggunakan kipas angin. Kipas angin tersebut bekerja rata-rata selama 4,5 jam per hari dengan tambahan pengeluaran sebesar Rp. 2.500,- per bulan. Masyarakat kota yang lebih mampu menggunakan air conditioner selama 24 jam per hari dengan tambahan pengeluaran sekitar Rp. 60.000,- per bulan (Tabel 2). Masyarakat pedesaan belum terbiasa dengan kipas angin. Selain karena harganya mahal bagi ukuran buruh tani, juga disebabkan pada siang hari para petani lebih banyak berada di luar rumah untuk keperluan usaha taninya termasuk menggembala ternak. Kipas angin dimanfaatkan oleh sekitar 4% kepala keluarga di pedesaan dan kota kecil dengan tambahan biaya sebesar Rp. 1.500 setiap bulan. Jika ditelusuri lebih jauh, maka permukiman yang dekat dengan kebun campuran dan berada pada ketinggian lebih dari 450 m dpl lebih sedikit yang menggunakan kipas angin dibandingkan dengan permukiman yang berada dekat sawah dan kota kecil seperti Cianjur. Kasus di Purwakarta memiliki ciri yang berbeda, masyarakat di sekitar Plered lebih banyak yang bekerja di luar rumah dan selalu berdekatan dengan tungku pembakaran, sehingga kipas angin belum banyak dimanfaatkan sebagai pendingin ruangan. Tabel 2. Rata-rata pemakaian kipas angin dan AC di pedesaan dan perkotaan Lokasi
Jumlah KK
Pemakai kipas angina KK Lama Tambahan biaya
KK
Pemakai AC Lama Tambahan biaya
%
Jam/ hari
Rp/bln
%
Jam/ hari
Rp/bln
3.315 1.320 3.400
10 0.5 0.01
4 2 3
3.000 1.000 1.000
0,08 0 0
6 0 0
20.000 0 0
Purwakarta Anjun Rata-rata pedesaan
944
5 3,88
2 2,75
1.000 1.500
0 0,02
0 1,5
0 5.000
Bandung Ciateul Turangga Lingkar Selatan Citarum Rata-rata perkotaan
1.977 3.044 2.200 707
90 65 10 80 61,25
6 6 3 3 4,5
4.000 4.000 1.000 1.000 2..500
5 10 10 20 11,25
24 24 24 24 24
60.000 60.000 60.000 60.000 60.000
Cianjur Bojongherang Limbangansari Babakan Karet
Keterangan: KK = kepala keluarga, AC = air conditioner
167
Sutono et al.
Banyak alasan yang dikemukakan, kenapa masyarakat terutama di perkotaan membeli kipas angin atau AC. Berbagai alasan tersebut muaranya hanya satu, yaitu untuk memenuhi kebutuhan kenyamanan, namun apakah didukung oleh kemampuan membeli peralatan tersebut. Jika pendapatan tidak mendukung, maka masyarakat hanya sedikit saja yang membeli kipas angin atau AC seperti di Anjun, Purwakarta. Namun bagi masyarakat perkotaan seperti di Bandung, kipas angin dan AC sudah menjadi kebutuhan yang tidak terelakan. Udara siang hari terasa panas, pendapatan mendukung untuk membeli kipas angin atau AC, dan kadang-kadang gengsi/prestise pun mulai diperlihatkan. Penduduk di DAS Citarum yang berjumlah 1.595.275 KK (Tabel 3) tersebar di Kabupaten Cianjur, Bandung, Purwakarta, dan Kotamadya Bandung. Konsumsi listrik di Indonesia mencapai 340,28 Kwh/kapita (BPS, 1997), dengan anggota keluarga sekitar 4,3 orang per KK (BPS, 1991) maka konsumsi listrik di DAS Citarum mencapai 2.344.212.761 kwh. Diasumsikan bahwa pengguna kipas angin dan AC adalah masyarakat yang mempunyai penghasilan >Rp. 200.000,-/bulan yang jumlahnya 5% di pedesaan dan 23% di perkotaan (BPS, 1997). Pengguna AC berjumlah sekitar 6% dan pengguna kipas angin diperkirakan sebanyak 44%. Penggunaan AC dan kipas angin ini disebabkan adanya kenaikan suhu pada siang dan atau malam hari. Oleh karena itu untuk mempertahankan kenyamanan ketika sedang beristirahat diperlukan kipas angin atau AC. Tabel 3. Jumlah kepala keluarga (KK) serta pengguna AC dan kipas angin di DAS Citarum Kabupaten/Kotamadya
Jumlah KK
Kotamadya Bandung Kabupaten Bandung Kabupaten Purwakarta Kabupaten Cianjur Jumlah
595.425 832.030 159.785 8.035 1.595.275
AC 66.985 41.602 32 2 108.620
Pengguna Kipas angin 357.255 332.812 6.391 402 696.860
Untuk menghitung biaya pengganti digunakan asumsi Rp 8.000,- sama dengan US$ 1,-. Biaya pemeliharaan dan penyusutan untuk setiap unit AC dan kipas angin disajikan pada Tabel 4. Biaya pemeliharaan setiap unit AC dan kipas angin termasuk biaya penggunaan aliran listrik. Biaya pemeliharaan ini akan naik sesuai dengan kenaikan tarif listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Berdasarkan biaya pemeliharaan dan biaya penyusutan ini, maka dapat dihitung biaya pengganti yang harus dikeluarkan sebagai akibat kenaikan suhu udara. Biaya pengganti ini adalah biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu udara di permukiman, terutama di
168
Fungsi Lahan Sawah dalam Mitigasi Kenaikan Suhu Udara
dalam rumah. Kenaikan suhu udara menimbulkan kenaikan biaya pengganti untuk memperoleh kenyamanan yang hilang. Tabel 4. Biaya pemeliharaan dan penyusutan AC dan kipas angin Komponen Biaya pemeliharaan setiap unit AC Biaya pemeliharaan setiap unit kipas angin Biaya penyusutan setiap unit AC Biaya penyusutan setiap unit kipas angin
Jumlah biaya Rp 576.000 48.000 304.000 32.000
Besarnya biaya pengganti yang dikeluarkan oleh pemilik AC dan kipas angin di seluruh DAS Citarum mencapai Rp. 75,7 milyar setiap tahun (Tabel 5). Pengeluaran tersebut akan meningkat dua kali lipat apabila peningkatan suhu terus terjadi. Peningkatan suhu sekitar 1 – 2 oC menimbulkan peningkatan pengeluaran masyarakat untuk meraih kembali kenyamanan yang hilang. Namun perlu diingat bahwa kenaikan suhu tersebut tidak hanya disebabkan oleh berkurang atau hilangnya lahan sawah, tetapi juga oleh berkurangnya lahan pertanian nonsawah dan genangan di dam Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Tabel 5. Biaya pengganti karena terjadi kenaikan suhu Kabupaten/Kotamadya
Kotamadya Bandung Kabupaten Bandung Kabupaten Purwakarta Kabupaten Cianjur Jumlah
AC
Biaya pengganti Kipas angin Rp/tahun
29.473.537.500 18.304.660.000 14.061.080 707.080 47.792.965.660 Jumlah seluruh biaya pengganti
14.290.200.000 13.312.480.000 255.656.000 16.070.000 27.874.406.000 75.667.371.660
KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Suhu udara rata-rata siang hari pada aera persawahan di DAS Citarum adalah sekitar 32 oC lebih rendah dibandingkan dengan area permukiman 34 oC.
2.
Biaya pengganti yang harus dikeluarkan masyarakat untuk memperoleh kembali kenyamanan (suhu yang sejuk) yang hilang akibat konversi lahan sawah dapat mencapai Rp. 75,7 milyar setahun.
169
Sutono et al.
DAFTAR PUSTAKA Agus. F, R.L. Watung, H. Suganda, S.H. Tala’ohu, S. Sutono, and R. Nurmanaf. 2002. Multifunctionality and Sustainability on Agriculture in Citarum River Basin, West Java. Report of The Second Experts Meeting of The ASEANJAPAN Project on Multifunctionality of Paddy Farming and its Effects in ASEAN Member Countries. Ha Noi, Viet Nam, 7-9 August 2002. Annex 12. (Unpublished) Badan Meteorologi dan Geofisika. 2000. Kumpulan Data Iklim. Stasiun Klimatologi, BMG Bogor. Biro Pusat Statistik. 1991. Statistik Indonesia tahun 1990. BPS. Jakarta Biro Pusat Statistik. 1997. Statistik Indonesia tahun 1996. BPS. Jakarta Manan, M.E., R.E. Chambers, W. Sukardi, D. Murdiyarso, dan I. Santoso. 1990. Klimatologi Pertanian Dasar. Bag. Klimatologi Pertanian. Dep. Ilmu-ilmu Pengetahuan Alam, Fak. Pertanian. IPB. Republika. 2003. Masa es kutub mencair tiba. Republika No. 18. tahun ke 11. Kamis, 23 Januari 2003.
170