FUNGSI DAN KEDUDUKAN LEMBAGA PERS SEBAGAI INFRASTRUKTUR POLITIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 28 F UNDANG UNDANG DASAR 1945
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menempuh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
Oleh : Nama Npm Program Kekhususan
: Andi Yuba Nurjannah Abubakar : 10040007010 : Hukum Tata Negara
Pembimbing I: DR. Hj. Rini Irianti Sundary, S.H., M.H.
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2011
Bandung, Oktober 2011
Disetujui untuk diajukan ke Muka Sidang Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
Pembimbing I
Pembimbing II
DR. Hj. Rini Irianti Sundary, SH., MH
Nurul Chotidjah, SH., MH
Mengetahui Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung
DR. H. Asyhar Hidayat, SH., MH,
MOTTO :
“Kemudian, sesungguhnya Tuhanmu (mengampuni) bagi orang-orang yang mengerjakan kesalahan karena kebodohannya, kemudian mereka bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), sesungguhnya” (Q.S : An-Nahl : 119)
“…Dengan Rahmat Allah S.W.T. Kupersembahkan untuk kedua orang tuaku Tercinta dan Adikku Tersayang…”
ABSTRAK Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan mengeluarkan pendapat harus dijamin. Lebih khusus, kemerdekaan berserikat dan berpendapat ini diatur dalam Pasal 28 F UndangUndang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Ketentuan itu menggambarkan bahwa Negara Indonesia adalah negara yang demokratis dan berkedaulatan. Wujud kedaulatan rakyat disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yaitu bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat. Pers merupakan alat komunikasi politik dengan fungsinya sebagai alat kontrol sosial dimana pers itu sendiri berkedudukan sebagai infrastruktur politik yang mempunyai fungsi sebagai pilar keempat demokrasi. Identifikasi masalah yang pertama adalah bagaimana fungsi dan kedudukan Lembaga Pers di Indonesia sebagai infrastruktur politik menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 dan bagaimana independensi Lembaga Pers di Indonesia dihubungkan dengan Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945? Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan Yuridis Normatif yaitu suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum. Metode penelitiannya adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan kondisi objektif mengenai objek penelitian permasalahan pers sebagai media informasi dalam kedudukannya sebagai infrastruktur politik di Indonesia. Metode deskriptif yang digunakan adalah untuk mengungkapkan fakta atas permasalahan yang diteliti. Hasil penelitian adalah, pers menjalankan fungsi infrastruktur politik yang mengawasi kinerja pemerintah dan pers berjalan juga sebagai alat kontrol sosial yang mempengaruhi kebijakan politik dan yang pada saat-saat tertentu dapat mempengaruhi kebijakan politik. Kekritisan yang dimiliki pers merupakan fakta lapangan, itu semua adalah dalam rangka kontrol dan disitulah pers mengambil peranan. Peranan pers sebagai infrastruktur politik yang menjadi alat komunikasi politik inilah yang menimbulkan keterkaitan dan hubungan antara pers dan pemerintah untuk membentuk jaringan serta mengkondusifkan stabilisasi politik. Kinerja lembaga pers di Indonesia menjalankan tugasnya secara tersendiri, bebas dari pengaruh manapun, dan bebas dari kepentingan politik apapun, pers hanya menjalankan tugasnya sebagai infrastruktur politik di Indonesia dan sebagai alat kontrol sosial.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Assalamualaikum Wr.Wb Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat dalam menempuh ujian Sidang Sarjana Hukum guna menyelesaikan Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, adapun Judul skripsi ini adalah: FUNGSI
DAN
INFRASTRUKTUR
KEDUDUKAN POLITIK
LEMBAGA
BERDASARKAN
PERS
SEBAGAI
UNDANG-UNDANG
NOMOR 40 TAHUN 1999 DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 28 F UNDANG UNDANG DASAR 1945 Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan-kekurangannya. Hal ini dikarenakan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki, namun penulis beharap semoga skripsi ini berguna bagi penulis khususnya, maupun bagi pembaca umumnya. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada; yang terhormat dan yang saya cintai juga banggakan Ibu DR. Hj. Rini Irianti Sundary, SH., MH selaku pembimbing I, serta kepada Ibu Nurul Chotidjah, SH., MH selaku pembimbing II yang telah sabar dan ikhlas meluangkan waktu dan tenaga serta pengetahuannya dalam
memberikan bimbingan dan pengarahannya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan sedalamdalamnya kepada yang tercinta Ayahanda Ir. Abubakar Ahmad dan Ibunda Hj. Okeu Yuliati Yachya serta Adikku Andi Lia Fadhillah yang selalu memberi semangat, mengirimkan doa dan kasih sayangnya serta selalu mendukung dan membantu penulis dalam setiap langkah. Terimakasih banyak Mama, Papa. Pada kesempatan ini pula tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1.
Yang Terhormat Bapak Prof. DR. Dr. H. Muhammad Taufiq S Boesoerie THT.KL, selaku Rektor Universitas Islam bandung.
2.
Yang Terhormat Bapak DR. H. Asyhar Hidayat, SH., MH, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
3.
Yang Terhormat Bapak DR. Efik Yusdiansyah, SH., MH, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
4.
Yang Terhormat Ibu Nurul Chotidjah, SH., MH, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
5.
Yang Terhormat Ibu DR. Hj. Rini Irianti Sundary, SH., MH, selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung.
6.
Yang Terhormat Dosen-Dosen khususnya Dosen Hukum Tata Negara dan Karyawan Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung..
7.
Keluarga Besar Alm. H. Moch. Yachya dan Alm. Andi Paranru. Wa Aa, Wa Ani, Wa Etit, Wa Adang, Wa Uceu, Alm. Wa Elly & Wa Maman, Wa Tatty, Wa Ida, Wa Iceu, Wa Ceppy, Wa Agus, Mang Deni, Bi Dinceu, Mang Iwan, Bi Susan, Om Sukwan, Tante Susi. Sepupuku tersayang; Teh Rani, Kang Arief, Kang Andum, Teh Ratih, Teh Selvi, A Ade, Ceu Andri, Ceu Nita, Kaka Ira, Kang Isal, Mbak Nuga, A Sonny, Teh Nur, A Dani, Teh Ita, A Andi, Teh Ari, Teh Yulia, Mas Yanto, Teh Lulu, Mas Ian, Kang Aries, Kang Adri, Wulan, Nenden.
8.
Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Islam, khususnya Kepengurusan Masa Juang 2009-2010; Intan R.A Herayani, Pelangi Mustika Tamoy, Rina Karlina., SH,. Syamsul Ma’arif, Kelana Surya Alam, Jefri Maulana Akbar dan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
9.
Teman-Teman Seperjuangan Satu Team: Andi Nabila SH, Vina Silviana SH, Fanny Fitriawati, Fanny Trihandayani SH, Kinanti Kemala Ayu SH, Irni Aryani SH, Fani Citra Ayu, Syifa Meissa SH. Kawan-Kawan seperjuangan Hukum Tata Negara; Boy Antonious Pratama, Haris Rahadian SH, Johari Hidayat, Fanny Fauzi SH dan yang lainnya. Sahabat-sahabat ku; Fidia Kandhisa, Tri Agustiningsih, Elis Rodiah, Firman Firdaus, Wildan Firdaus, Yoga, Angga Gumilar, Choirulhabib, Revin Cahya Pribadi, Intan Puspitasari, Hajar Farah, serta kawan-kawan Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung khususnya Angkatan 2007.
10. Kakak-kakak senior Keluarga Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung Angkatan 1999; Aries Purnama., S.Ikom, Muhammad Irfan.,
S.Ikom, M. Ikhsan., S.Ikom., M. Fatturahman S.Ikom., Lukman Fuad S.Sos., Kodir Suratno.,S.Ikom., Bambang Ramdany.,S.Ikom.,
Lita Setyawati.,
S.Ikom., Dani., S.Ikom, Ruri Anwary., S.Ikom., Andri John., S.Ikom., Muhammad Ijus.,S.Ikom, Nadya, Dessy Sulistiowati S.Ikom, Fanny. Terimakasih untuk dukungan dan semangatnya, kan ku kenang slalu kebersamaan kita. Kawan lama di Universitas Indonesia yang baru meraih gelar sarjana dan selalu menjadi motivasi saya untuk menjadi orang yang sukses Agantaranansa Juanda., SH. Serta sahabat lama yang selalu memberikan semangat Putri Pratiwi., A.Md., terimakasih saya ucapkan juga khusus kepada Rakanda Adi Rinaldi Firman S.Pt yang telah memberikan dukungan, semangat dan humornya kepada penulis, terimakasih Silly untuk do’a dan dukungannya. 11. Kawan – kawan SD.KARTIKA III-4 CIMAHI angkatan 2001; Keluarga Besar SMPN 1 Bandung angkatan 2004; Crew Lapangan Basket SMPN 1 Bandung; Keluarga Besar PKS 1 Bandung; khususnya Nesya Valentia Sumirana S.Sos dan Endah Puspitasari S.Ikom; Keluarga Besar SMA ANGKASA angkatan 2007 Bandung dan kawan-kawan di UNISBA yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 12. Sahabat-sahabatku yang selalu ada dalam setiap langkah: Derry Novalia, Denalia Triarini, Mustika Hidayat, Yulia Nuradha, Ajeng Rheini dan Putri Wulandari, Terimakasih untuk kebersamaan kita. 13. Keponakan-keponakan yang selalu menyayangiku dan mencintaiku; Ryano Praputranto, Ricardo Praputranto, Mario Praputranto, Alessandro Praputranto,
Abraham Manuel, Ibrahim Malik, Yitzak Leiwakabessy, Azriel Nizamacario M, Muhammad Hafizh, Difa Salsabilla, Ismail, Rafat Ilyaas, Orlando Orandito, Dila Faradila, Anissa, Ghossan, Nouval, Amel, Zahra Nabila, Belvana Qolbiya, Puput Nurjanah, Reza, Rizal,. Terimakasih untuk senyumannya dan semangatnya. Atas bantuan dan jasa-jasa semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini, penulis mengucapkam Doa agar ALLAH SWT melimpahkan rahmat dan KaruniaNya kepada kita semua. Amin Ya Robbal Alamin .. Wassalammualaikum Wr.Wb
Bandung, Oktober 2011 Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. i KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi BAB
I
PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang Penelitian ..............................................................1 B. Identifikasi Masalah ....................................................................12 C. Tujuan Penelitian ........................................................................12 D. Kegunaan Penelitian ....................................................................13 E. Kerangka Pemikiran ...................................................................13 F. Metode Penelitian ........................................................................25
BAB II
KAJIAN TEORITIS MENGENAI LEMBAGA PERS .................28 A. Pengertian Pers .............................................................................28 B. Makna Kebebasan Pers ................................................................34 C. Dasar Konstitusional mengenai Kebebasan Menyatakan Pendapat .......................................................................................40 D. Hubungan Antara Kebebasan Pers dan Hak Asasi Manusia ........42
BAB III PENYELENGGARAAN KEGIATAN PERS DI INDONESIA...45 A. Hubungan antara Pers dan Pemerintah ........................................45 B. Permasalahan Pers ........................................................................49 1. Ancaman Pemboikotan Yang dilakukan Oleh Pemerintah terhadap Pers ...........................................................................49
2. Tindakan Represif Pemerintah Pada Masa Pemerintahan Orde Baru .........................................................................................54 BAB IV FUNGSI DAN KEDUDUKAN LEMBAGA PERS SEBAGAI INFRASTRUKTUR POLITIK BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999
TENTANG PERS
DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 28 F UNDANG UNDANG DASAR 1945 ......................................................................................56 A. Pengantar ......................................................................................56 B. Fungsi dan Kedudukan Lembaga Pers di Indonesia Sebagai Infrastruktur Politik ......................................................................61 C. Hubungan Indenpendensi Lembaga Pers dengan Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 ........................................................67 BAB V
PENUTUP ..........................................................................................71 A. Simpulan ......................................................................................71 B. Saran .............................................................................................72
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa kemerdekaan menyatakan pikiran dan mengeluarkan pendapat harus dijamin, yang selengkapnya sebagai berikut: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang.” Lebih khusus, kemerdekaan berserikat dan berpendapat itu juga diatur dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” Ketentuan itu menggambarkan bahwa Negara Republik Indonesia dibangun dalam sebuah negara demokratis yang berkedaulatan sehingga demokratisasi di Indonesia dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Kedaulatan di atas berisikan asas kedaulatan rakyat yang dianut oleh Undang-Undang Dasar 1945 yakni Asas Pancasila, seperti disebutkan dalam Pembukaannya Alenia ke-4, yang disebutkan sebagai berikut: “............ Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berkedaulatan
rakyat…………..“). Asas ini menghendaki agar setiap tindakan dari pemerintah harus berdasarkan kemauan rakyat.1 Hakikat demokrasi dapat ditelaah awalnya dari pengertian demokrasi dari segi bahasa, yang terdiri dari dua kata yaitu "demos" yang berarti rakyat dan "cratos" yang berarti kekuasaan atau kedaulatan. Jadi, demokrasi di sini diartikan sebagai kedaulatan yang berada di tangan rakyat, dalam kata lain berarti rakyat yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam penentuan keputusan. Terminologi demokrasi menurut Josefh A. Schmeter.2 Merupakan suatu perencanaan institusional dalam mencapai keputusan politik dimana individu memperoleh kekuasaan untuk memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sedangkan menurut Philippe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl, demokrasi merupakan sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah terpilih. Dari pendapat beberapa ahli tersebut, terdapat suatu kesimpulan bahwa dalam demokrasi, rakyat-lah yang berperan sebagai pemegang kekuasaan, pembuat dan penentu kebijakan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilakukan secara langsung oleh rakyat atau mewakilinya melalui lembaga perwakilan. 3
1
Moh.kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1981, hlm. 104 2 www.Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi.com, diakses tanggal 15 Maret 2011, Jam : 14.00 3 Ibid
Wujud kedaulatan rakyat disebutkan dalam konsideran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yaitu bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara
yang
demokratis, sehingga kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat dapat terlaksana. Kebebasan pers merupakan hak asasi yang paling mendasar, hak asasi yang mendasar ini tidak boleh dibatasi dengan alasan apapun, kecuali kebebasan itu akan merugikan orang lain. Dengan adanya Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa kebebasan mengeluarkan pikiran atau pendapat agar terwujudnya kehidupan demokrasi. Apa yang disebutkan diatas merupakan hakikat akar dari sistem kebebasan pers di Indonesia dan merupakan konsep dan bentuk dasar dari sistem kebebasan pers tersebut. Undang-Undang Dasar 1945 menggunakan istilah kemerdekaan bukan kebebasan tidak lepas dari latar belakang sejarah pembentukan Undang-Undang Dasar 1945, dimana istilah “merdeka” menjadi sangat populer digunakan sebagai seruan pekik perjuangan. Kebebasan pers merupakan salah satu hak asasi manusia, yakni hak untuk mempunyai pendapat sendiri dan melahirkan pikiran-pikiran baik secara lisan maupun tulisan. Selama ini landasan konstitusional pers yang bebas di negara kita diasumsikan bersumber pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, namun kelaziman pasal tersebut dianggap bermuara pada kebebasan menyatakan pendapat kenegaraan di lembaga-lembaga perwakilan rakyat, kebebasan menyatakan pendapat dalam tulisan dan media komunikasi massa lainnya.
Tegasnya, kebebasan diatur dengan peraturan perundang-undangan, atau dengan kebebasannya adalah di dalam kerangka undang-undang yang mengaturnya. 4 Disebutkan dalam Pasal 2
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 1984 tentang Dewan Pers: “Dewan bertugas mendampingi Pemerintah dalam membina pertumbuhan dan perkembangan Pers Nasional yang sehat dan dinamis berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dinyatakan bahwa “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia” Kemerdekaan pers merupakan suatu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pers di indonesia atau yang biasa disebut dengan pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. Namun seiring dengan perkembangan masa pers nasional juga mempunyai fungsi sebagai lembaga ekonomi. Kemerdekaan pers pun dijamin sebagai hak asasi warga negara, dan untuk menjamin itu maka pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, menyebarluaskan gagasan dan informasi, dalam pertanggungjawabannya pun pers
4
Alex Sobur, Etika Pers Profesionalisme dan Hati Nurani, Humaniora Utama Press (HUP), Bandung, 2001, hlm. 322 – 324.
memiliki hak untuk menolak memberitahukan identitas dari narasumber atau yang disebut dengan hak tolak. Dalam politik hukum, dikenal dengan suprastruktur politik dan infrastruktur politik dimana peran pers disini cukup besar. Pers merupakan alat komunikasi politik dengan fungsinya sebagai alat kontrol sosial. Hukum sebagai prodak politik dipengaruhi oleh konfigurasi politik, dimana konfigurasi politik itu dilihat dari infrastruktur dan suprastruktur politiknya. Suprastruktur politik adalah pemerintah sedangkan pers disini berkedudukan dalam infrastrktur politik, pers pun juga disini berfungsi sebagai alat komunikasi politik, agar lebih jelas penulis bisa memaparkan lembaga atau orang yang termasuk dalam infrastruktur politik ini, yaitu terdiri dari: Partai Politik, Kelompok kepentingan (interest group), Kelompok penekan (pressure group), Alat komunikasi politik (pers), dan tokoh politik.5 Pers sebagai alat komunikasi politik memiliki arti yang perlu dipahami dengan seksama, politik itu sendiri memiliki definisi yang sangat bervariasi. Politik adalah siapa memperoleh apa, kapan, dan dimana, pembagian nilai-nilai oleh yang berwenang, kekuasaan dan pemegang kekuasaan, pengaruh, tindakan yang diarahkan untuk mempertahankan dan atau memperluas tindakan lainnya, dari semua pandangan yang beragam itu ada persesuaian umum bahwa politik mencakup sesuatu yang dilakukan orang; politik adalah kegiatan. Dan ia adalah
5
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2005, hlm. 120-121
kegiatan yang dibedakan meskipun kegiatan itu tidak selalu berhasil, dari kegiatan yang lain misalnya ekonomi, keagamaan, atletik dan sebagainya.6 Politik itu seperti komunikasi, adalah sebuah proses dan seperti komunikasi, politik melibatkan pembicaraan. Ini bukan merupakan pembicaraan dalam arti sempit seperti sebuah kata yang diucapkan, melainkan pembicaraan dalam arti yang lebih insklusif, yang berarti segala cara orang bertukar simbol. Ilmuwan politik Mark Roelofs mengatakan dengan cara yang sederhana, “Politik adalah pembicaraan; atau lebih tepat kegiatan politik atau berpolitik adalah berbicara. Ia menekankan bahwa politik tidak hanya pembicaraan, juga tidak semua pembicaraan adalah politik. Akan tetapi “hakikat pengalaman politik, dan bukan hanya kondisi dasarnya, ialah bahwa ia adalah kegiatan berkomunikasi antara orang-orang. 7 Komunikasi meliputi politik, dari transaksi yang kita sebut transaksi politik muncul makna perselisihan sosial dan penyesuaiannya, dan dalam proses itu tercipta konflik-konflik baru. Juga tersusun makna-makna yang terus berubah yang diberikan oleh warga negara kepada gagasan-gagasan abstrak seperti demokrasi, kemerdekaan atau keadilan, jadi dalam sebuah literatur dikatakan bahwa komunikasi politik adalah kegiatan komunikasi yang dianggap komunikasi politik berdasarkan konsekuensi-konsekuensinya baik aktual maupun potensial yang mengatur perbuatan manusia di dalam kondisi-kondisi konflik.8 Apabila disebutkan bahwa ada alat komunikasi politik, maka ada pula perangkat komunikator politiknya. Terdapat tinjauan hubungan antara dua 6
Dan Nimo, Komunikasi Politik, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2005, hlm. 8. Ibid. 8 Dan Nimo, Op cit, hlm. 9 7
perangkat komunikator politik, yakni pejabat pemerintah dan jurnalis.Hubungan itu membentuk jaringan yang melibatkan pejabat dalam peran sumber berita dan jurnalis sebagai saluran komunikasi. Hasilnya, berupa transaksi saluran-saluran, dan menciptakan hubungan pemerintah dan pers. Peran pers dalam membuat berita serta peran pemerintah dalam mengelola berita dan konsekuensi proses pembuatan berita dan pengelolaan berita terhadap komunikasi politik.9 Perkembangan pers dari masa ke masa mengalami berbagai macam fluktuasi mengenai eksistensinya, diukur dari sistem pemerintahan di Indonesia yang sedang berjalan, karena itu pers pun juga mempunyai perjalanan yang panjang sehingga pers bisa seperti sekarang ini. Pada saat Indonesia mengalami perubahan yang berulang-ulang mengenai penetapan dan penerapan lain dalam menjalankan Undang-Undang dasarnya pers pun juga mengalami eksistensi yang berbeda setiap jamannya. Karena sekarang ini Indonesia menganut sistem Kemerdekaan Pers maka penulis mencoba meneliti mengenai Kebebasan Pers yang sebelumnya. Pada saat pemberlakuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 setelah penggantian pemberlakuan Konstitusi RIS, kebebasan pers sejalan dengan liberalisme yang dianut pada periode itu, maka kebebasan pers juga hidup dalam irama itu, pada kurun waktu itu bermunculan pula pers mahasiswa, disamping pers umum. Jika pada tahun 1945-1949 hanya ada pers mahasiswa idea, maka setelah tahun 1950 bermunculan pers mahasiswa di berbagai kota. Sehingga pada
9
Ibid. hlm. 214
tanggal 18 Agustus 1955 diselenggarakan Konferensi Pers Mahasiswa Indonesia (IWMI) dan serikat Pers Mahasiswa Indonesia.10 Pemaparan tentang kebangkitan Pers Mahasiswa Indonesia tersebut menunjukkan
betapa
mudahnya
masyarakat
dari
berbagai
golongan
mengekspresikan pendapat pada era demokrasi liberal ini. Alfian menulis: “Pers yang makin berkembang sebagai salah satu saluran komunikasi politik yang ampuh pada waktu itu betul-betul tampak menikmati kebebasan yang nyaris tak terbatas atau hampir tak terkendali”.11 Pada awal-awal pengakuan kedaulatan terlihat adanya kerjasama yang baik antara Pemerintah Indonesia dan Pers. Keduanya sama-sama menggelorakan semangat kemerdekaan. Pejabat-pejabat pemerintah memberikan suara yang menggembirakan tentang kehidupan pers ketika menyatakan kebebasan pers merupakan sesuatu yang mutlak bagi kebebasan jiwa, martabat manusia, dan dasar bagi proses demokrasi. Pemerintah juga memberikan bantuan yang sangat diperlukan oleh industri pers waktu itu, yakni mengimpor, mensubsidi kertas dan koran dan memberikan pinjaman keuangan.12 Dengan adanya data tentang fakta seperti itu, para pakar masih menyebut bahwa kebebasan pers itu masih ada karena dalam keadaan yang masih memungkinkan bagi pemerintah untuk melakukan sebuah tindakan yang disebut
10
Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Karya Unipress, Jakarta, 1983, hlm. 39-41. 11 Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991, hlm. 33. 12 Edward C Smith, Sejarah pembredelan Pers Indonesia, Grafiti Pers, Jakarta, 1983, hlm. 97
dengan anti pers ternyata kalangan pers sendiri melawan dengan tulisan-tulisan yang amat keras. Jadi ada kemungkinan konfrontasi secara berimbang dan dalam berhadapan itu pihak pers berdiri dengan tegar. Karena betapa berani dan bebasnya pers saat itu maka pers ditindak oleh pemerintah, tetapi mereka dapat terus mengkritik dan bersuara lantang. Dari analisis isi berita-berita koran tersebut terlihat bahwa serangan pers bukan hanya ditunjukkan kepada pemerintah akan tetapi ditunjukkan kepada sesama surat kabar. Keadaan seperti ini bisa dimengerti karena waktu itu hampir setiap koran menjadi corong partai, aliran politik, ideologi, atau golongan primodial tertentu.13 Dalam era orde baru kegiatan pers mulai sempit dan tidak sebebas sebelumnya, cenderung terkekang, setelah beberapa kurun waktu dengan segala gejolak politik dan permasalahan negara Indonesia maka beralihlah kepada era reformasi dimana reformasi mempunyai buah sendiri yaitu kebebasan pers yang menjadi cirinya. Disebutkan bahwa pers mempunyai kekuatan yang besar dilihat dari fungsinya, yakni pers dengan segala penyajian beritanya dapat mempengaruhi arus informasi dan menciptakan sebuah opini publik yang global, pers juga mempunyai kekuatan untuk mengalihkan isu kepada isu tandingan lainnya dengan maksud dan tujuan agar opini masyarakat berubah. Maka dari itu pers mempunyai lembaga sendiri yang independen juga pers mempunyai kantor berita dan perusahaan pers untuk melaksanakan kegiatan jurnalistik dengan mengemban sifat objektif kepada setiap perangkat jurnalistiknya.
13
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 59
Pers juga mempunyai kaitan yang erat dengan pemerintah, dimana untuk menghindari tuduhan bahwa pers mempunyai kecenderungan politik, banyak organisasi
berita
yang
bersiteguh
bahwa
jurnalis
melaksanakan
teori
“objektifitas”. Seperti argumentasi salah satu tokoh komunikasi Tuchman yang menyatakan bahwa pelaporan objektif adalah ritual, prosedur rutin hampir tidak ada hubungannya dengan penghilangan sikap memihak dari pembuatan berita. Dalam arti yang penting, setiap jurnalis yang memasukkan laporan melakukan banyak sekali kebijaksanaan.14 Setiap pembahasan bagaimana pers menyajikan berita politik harus dimulai dari kesadaran bahwa berita yang relevan dengan politik meliputi bagian yang relatif kecil dari makanan media sehari-hari. Penyajian beritanya bervariasa diantara tipe publikasinya. Pemerintah seperti juga pers membuat, atau menetapkan berita melalui pengumpulan berita, yang dengan mengelola arus informasi. Juga jurnalis menggunakan konvensi, rutin dan kebiasaan yang membantunya dalam penyusaian diri dengan ikhwal yang tak terduga dalam mengumpulkan berita, pejabat pemerintah mengembangkan sarana institusional untuk membantunya menggunakan, mempubikasikan, mengontrol, mengumpulkan, dan mempengaruhi berita untuk tujuan persuatif. Kegiatan pemerintah yang diarahkan kepada tujuan melalui penggunaan informasi ini dinamakan manajemen informasi (penciptaan pengolahan, penghalusan, dan pengedaran citra untuk mempengaruhi opini publik).
14
Dan Nimo, Op cit, hlm. 223
Pemerintah menggunakan pers untuk berbagai tujuan, mengajukan program dan tujuan kebijakan, menciptakan dan menyesuaikannya kepada kesadaran umum dan membina dukungan rakyat. Karena pemerintah menaruh perhatian kepada pers, maka berita mempunyai dampak pada mereka.15 Permasalahan yang terjadi sekarang, pemerintah melalui pernyataan seorang Menteri Sekertaris Kabinet, Dipo Alam yang akan memblokir 3 media yang diduga mereka membuat berita negatif tentang pemerintah. Masalah ini menyangkut tentang kebebasan pers di Indonesia, karena pernyataan Dipo Alam tersebut banyak pihak yang mengecam karena kebebasan pers dalam beropini dan mengkritisi pemerintah mulai dibatasi, padahal dalam negara demokrasi, memboikot (apalagi memberangus pers) adalah tindakan inkonstitusional yang menabrak prinsip paling asasi dalam demokrasi. Kritik, adalah energi terbesar demokrasi. Kekuasaan mutlak dan tak terkontrol amat ditabukan dalam adab demokrasi. Karena itulah, negara yang demokratis, tak cuma memetingkan aspek keseimbangan (balancing of power) di antara cabang kekuasaan (eksekutiflegislatif-yudikatif) untuk saling mengontrol, namun juga menempatkan masyarakat,
termasuk
pers,
sebagai
elemen
penting
kontrol
publik.
Banyak juga yang menduga pernyataan Dipo Alam itu menyangkut kepentingan politik. Berdasarkan
uraian
diatas,
penulis
mengungkapkannya dalam bentuk skripsi dengan judul:
15
Ibid, hlm. 259.
tertarik
sekali
untuk
“FUNGSI
DAN
INFRASTRUKTUR
KEDUDUKAN POLITIK
LEMBAGA
BERDASARKAN
PERS
SEBAGAI
UNDANG-UNDANG
NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 28 F UNDANG UNDANG DASAR 1945”
B. Identifikasi Masalah Untuk mengarahkan perhatian pada penelitian, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana fungsi dan kedudukan Lembaga Pers di Indonesia sebagai Infrastruktur politik menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999?
2.
Bagaimana independensi Lembaga Pers di Indonesia dihubungkan dengan Pasal 28 F Undang Undang Dasar 1945?
C. Tujuan penelitian Maksud dan tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui fungsi dan kedudukan Lembaga Pers di Indonesia sebagai Infrastruktur politik menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999.
2.
Untuk mengetahui independensi Lembaga Pers di Indonesia dihubungkan dengan Pasal 28 F Undang Undang Dasar 1945.
D. Kegunaan Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Kegunaan Teoritis Memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan dalam bidang Ilmu Hukum pada umumnya dan secara khusus pada bidang Hukum Tata Negara.
2.
Kegunaan Praktis Untuk memberikan informasi yang berguna bagi kalangan eksekutif sebagai suprastruktur politik, kantor berita serta organisasi-organisasi berita, Perusahaan pers juga para wartawan atau jurnalisnya.
E. Kerangka Pemikiran Setiap negara modern dewasa ini selalu menyebut dirinya negara hukum dan negara demokrasi, apapun sistem politik yang dianut negara-negara tersebut. Salah satu indikasi kearah pernyataan tersebut adalah bahwa negara-negara modern pada umumnya mempunyai sebuah konstitusi yang tertulis, mempunyai lembaga-lembaga perwakilan dan mempunyai lembaga-lembaga pengadilan.16 Pengakuan kepada suatu negara sebagai negara hukum (government by law) sangat penting, karena kekuasaan negara dan politik bukanlah tidak terbatas (tidak absolut). Perlu pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan dan kekuasaan terhadap negara politik tersebut. Dalam negara hukum tersebut,
16
Bagirmanan, Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, dan Negara Hukum, Kumpulan Esai Bina menghormati Prof.DR.R.Sri Soemantri Martosoewignjo,S.H, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, hlm. 193
pembatasan terhadap kekuasaan negara dan politik haruslah dilakukan dengan jelas, yang tidak dapat dilanggar oleh siapapun.17 Negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan dan tersusun dalam suatu konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut harus tunduk pada hukum yang sama.18 Konsep Negara Hukum mempunyai esensi dasar berupa: 1. 2. 3. 4. 5.
Negara memiliki hukum yang adil. Berlakunya prinsip distribusi kekuasaan. Semua orang, termasuk penguasa Negara harus tunduk kepada hukum. Semua orang mendapat perlakuan yang sama dalam hukum. Perlindungan hukum terhadap hak-hak rakyat.19 Seperti kita ketahui dalam Negara Demokrasi, kekuasaan tertinggi ada
pada rakyat dimana kedaulatan itu ada pada tangan rakyat, dan pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang demokratis, kemerdekaam menyatakan fikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa20. Demokrasi sebagai suatu sistem telah dijadikan alternatif dalam berbagai tatanan aktivitas bermasyarakat dan bernegara di beberapa negara.21
17
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama, Bandung, 2009, hlm. 1 Ibid, hlm. 3 19 Ibid, hlm. 6 20 www.Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi.com, Op Cit. 21 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta, 2005, hlm 109 18
Adapun ciri demokrasi sebagai wujud kedaulatan rakyat: 1. Kekuasaan tertinggi negara ada pada rakyat. Rakyat adalah sumber kekuasaan yang sekaligus melakukan dan mengawasi kekuasaan. Setiap kekuasaan harus tunduk pada kemauan rakyat. Rakyat setiap saat dapat mengganti penyelenggaraan kekuasaan yang tidak mencerminkan kehendak atau kepentingan rakyat. 2. Hukum dalam negara demokrasi merupakan rumusan dari kehendak rakyat. Hukum tidak boleh bertentangan dengan kemauan dan kepentingan rakyat. 3. Kekuasaan pemerintahan demokrasi dibatasi, baik secara politik, hukum, atau sosial. Karena itu, harus ada mekanisme untuk memeriksa apakah pemerintahan masih didukung atau perlu diganti dengan yang baru. 4. Pemerintahan demokrasi harus terbuka (transparan) sehingga dapat dikontrol oleh masyarakat baik kontrol langsung atau melalui mekanisme perwakilan.22
Dengan demikian makna demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat bernegara mengandung pengertian bahwa rakyatlah yang memberikan ketentuan dalam masalah-masalah mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijakan negara, karena kebijakan tersebut akan menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian maka negara yang menganut sistem demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Dari sudut organisasi, demokrasi berarti pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.23 Negara yang menganut paham demokrasi, sebaiknya tidak hanya mendengarkan kemauan kaum mayoritas semata, namun juga kemauan kaum minoritas, meskipun dalam prakteknya, masih sulit menemui hal yang demikian
22
Bagirmanan, Membangun Supremasi Hukum, makalah pada ceramah dihadapan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung, 10 September 2000, hlm. 5 23 Ibid
itu. Pemerintahan dari rakyat berhubungan erat dengan pemerintahan legitimasi dan pemerintahan tidak legitimasi. Pemerintahan legitimasi berarti pemerintahan yang berkuasa mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat. Sebaliknya, pemerintahan tidak legitimasi adalah pemerintahan yang sedang memegang kendali kekuasaan tidak mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyat. Legitimasi ini merupakan hal yang sangat penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintah dapat menjalankan program pemerintahan dan pembangunan sebagai wujud dari amanat yang diberikan rakyat kepada pemerintah. Adapun asas dari demokrasi adalah:24 1. Adanya pembagian kekuasaan (sharing power) Hal tersebut dimaksudkan agar antara pembuatan undang-undang dan pelaksana undang-undang dapat terjadi suatu bentuk pengawasan atau kontrol (checking power with power) 2. Adanya pemilihan umum yang bebas (general election) Untuk terpilihnya pemerintahan yang dikehendaki rakyat, diperlukan pemilihan umum yang dilaksanakan secara jujur, adil, bebas dan demokratis oleh lembaga independen. 3. Adanya manajemen pemerintahan yang terbuka Hal tersebut dimaksudkan agar pemerintahan yang tercipta tidak bersifat kaku dan otoriter, maka diperlukanlah partisipasi rakyat dalam menilai pemerintahan, dilakukan secara transparan, dan menerapkan akuntabilitas publik. 4. Adanya kebebasan individu Ini diperlukan dalam negara demokrasi untuk membuktikan bahwa rakyat memang diberi kebebasan seluas-luasnya dan tidak dikekang seperti negara otoriter, sehingga rakyat tidak perlu lagi dihantui rasa takut. 5. Adanya peradilan yang bebas Dimaksudkan agar peradilan dan hukum tidak tercampur aduk dengan aparat pemerintah karena dikhawatirkan akan terjadi ketidakadilan dan bentuk penyelewengan hukum lainnya. Dengan tidak tercampurnya hal tersebut, diharapkan pula nantinya lembaga peradilan dapat bersikap adil dalam pemutusan perkara. 24
www.Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi, Op Cit.
Sedangkan menurut Robert Dahl, ada tujuh prinsip ditegakkannya demokrasi, yaitu kontrol atas keputusan pemerintah, pemilihan yang teliti dan jujur, hak memilih dan dipilih, kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman, kebebasan mengakses informasi serta kebebasan berserikat. Selain prinsip tersebut, demokrasi berdiri di atas fondasi fundamental yaitu otoritas, privasi, tanggung jawab, dan keadilan.25 Dalam Hukum Tata Negara kedaulatan itu memiliki arti yang relatif yang artinya kedaulatan itu tidak hanya dikenal pada negara-negara yang mempunyai kekuasaan penuh keluar dan kedalam saja, tapi juga bisa dikenakan kepada negara-negara yang terikat dalam suatu perjanjian. Artinya kedaulatan mengalami perubahan-perubahan sepanjang perkembangan sejarah manusia. Ajaran kedaulatan rakyat lahir dari J.J Rousseau sebagai kelanjutan dari filsafatnya yang bersumber pada perasaan.26 Teori kedaulatan rakyat menurut J.J Rousseau adalah teori kedaulatan yang lahir sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat, menurut teori ini rakyatlah yang berdaulat dan mewakilkan atau menyerahkan kekuasaannya pada negara, dalam teori ini pun dikenal mengenai teori perjanjian masyarakat (kontrak sosial) yang menyatakan bahwa dalam suatu negara, natural liberty telah berubah menjadi civil liberty dimana rakyat memiliki hak-haknya. Kekuasaan rakyat menjadi hal yang tertinggi untuk lembaga perwakilannya
25 26
Ibid Moh. Kusnardi dan Harmaniy Ibrahim, Op Cit, hlm 104 .
didasarkan suara terbanyak, keputusan dari suara terbanyak itu selalu mewakili kepentingan umum.Teori inilah yang dianut Negara indonesia.27 Kedaulatan rakyat merupakan bagian dari model demokrasi dimana menurut kacamata Ilmu Hukum Tata Negara itu bersumber dari perbedaan nilainilai dasar bersama yang dianut oleh rakyat masing-masing negara, dan secara khusus pada gilirannya tercermin melalui perbedaan pada sistem pembagian kekuasaaan dan sifat hubungan antar lembaga-lembaga negara yang harus tetap berpegang pada 4 (empat) prinsip, yaitu: 1. Prinsip Kedaulatan Rakyat, dimana Konstitusi negara yang bersangkutan harus menetapkan bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat) 2. Prinsip Perwakilan, dimana Konstitusi negara yang bersangkutan harus menetapkan bahwa kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat itu dilaksanakan oleh sebuah atau beberapa lemabag perwakilan rakyat. 3. Prinsip Pemilihan Umum, dimana untuk menetapkan siapakah diantara warga negara yang akan duduk di lembaga-lembaga perwakilan rakyat yang menjalankan kedaulatan rakyat itu, harus diselenggarakan melalui pemilihan umum. 4. Prinsip Suara Mayoritas, dimana mekanisme pengambilan keputusan dilaksanakan berdasarkan keberpihakan kepada suara mayoritas.28
Demokrasi merupakan perwujudan dari negara hukum, disamping itu demokrasi juga harus melindungi Hak Asasi Manusia. Kepustakaan tentang Hak Asasi Manusia membagi hak-hak dasar menjadi Hak Asasi Manusia yang bersifat klasik (de klassieke grondrechten) dan Hak Asasi Manusia yang bersifat Sosial (de sociale grondrechten)29. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28 F merupakan bagian dari Pasal 28 berdasarkan literatur mengenai Hak Asasi Manusia. Hak
27
Yara M, Mencari Model Demokrasi Ala Indonesia, Makalah Pembicara Panel Pada Simposium “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani”, Komisi Kebudayaan Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 2006 28 Ibid 29 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alimni, 1984, hlm. 45.
Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugrah Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat atau negara. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa: “Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia”
Setelah Perang Dunia II, Presiden Franklin D. Roosevelt memperkenalkan prinsip “Four Freedom”, menurutnya ada empat macam manusia suci sehingga harus dihormati dan dilindungi, keempat hak suci manusia tersebut adalah: 1. Kemerdekaan berbicara 2. Kemerdekaan bagi tiap orang untuk mengabdi kepada Tuhannya menurut kepercayaan masing-masing. 3. Kebebasan dari kemiskinan 4. Kebebasan dari ketakutan30
Sejalan dengan Hak Asasi Manusia, maka kebebasan mengeluarkan pendapat, berkumpul, berserikat bisa disalurkan atau dikembangkan melalui beberapa
bentuk
baik
lisan,
maupun
tulisan
yang
selanjutnya
bisa
ditransformasikan kepada masyarakat umum yang diatur dalam Pasal 28 F Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, 30
30
Krisna Harahap, Kebebasan Pers Indonesia, Grafiti Budi Utama, Bandung, 1996, hlm.
serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” Seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 bahwa Pers merupakan lembaga indenpenden yang dapat melaksanakan kegiatan jurnalistiknya, dengan menganut teori objektifitas. Terdapat hubungan antara indenpenden dan objektifitas. Secara termonologi dikatakan bahwa objetif adalah suatu sikap yang sportif dengan tidak ada sikap memihak. Sedangkan independen adalah berdiri sendiri tanpa bantuan dan pengaruh dari luar. Pers mempunyai kekuatan hukum karena dilindungi oleh Undang-Undang dasar 1945 Pasal 28 dan di atur penuh oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, agar tata cara melaksanakan kegiatan jurnalistiknya sesuai dengan aturan dan tidak sedemikian bebas rulenya dan tetap mengindahkan hak-hak mereka apalagi mengenai narasumber. Untuk menghindari kecenderungan politik, maka pers bersiteguh bahwa penyajian beritanya menganut teori objetifitas. Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers disebutkan bahwa pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pers pun juga memiliki hak tolak untuk menolak mengungkapkan nama atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakannya dan hak jawab untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya. Maka dari itulah pers mempunyai peran tersendiri dalam menjalankan kegiatannya.
Sebagai alat kontrol sosial pun pers mempunyai fungsi stabilisasi tehadap gejolak isu yang berkembang namun pers juga tidak menghilangkan apa yang seharusnya mereka kawal dan beritakan dengan layak. Namun sebagai infrastruktur politik tentunya pers mempunyai kewajiban untuk menjadi penengah antara masyarakat dan pemerintah. Kegiatan seperti ini merupakan wujud harmonisasi kehidupan berdaulat, demokratis dan praktek kenegaraan yang ideal. Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah Republik indonesia Nomor 1 Tahun 1984 menyatakan: “mengembangkan interaksi positif antara pemerintah, pers, dan masyarakat dalam rangka pelaksanaan asas kebebasan pers yang bertanggung jawab berdasarkan pancasila” Pers merupakan pilar keempat dalam penegakan demokrasi pada sebuah negara setelah legislatif, eksekutif dan yudikatif. Salah satu peranan pers adalah sebagai penyedia informasi bagi masyarakat yang berkaitan dengan berbagai persoalan baik dalam kaitan dengan kehidupan kenegaraan dan pemerintahan maupun
masalah
yang
berkaitan
dengan
kehidupan
masyarakat.31
Pers lebih ditekankan berposisi pada sifat indenpendensi yang bebas menyebarkan informasi dan pendapat. Pers hanya harus dapat bertanggung jawab secara yuridis di pengadilan dan bertanggung jawab etika jurnalistik atas isi berita atau informasi yang disebarkan. Pers juga dapat berfungsi sebagai pengawas terhadap kinerja pemerintah. Pemerintah menggunakan pers untuk berbagai tujuan, mengajukan program dan tujuan kebijakan, menciptakan dan menyesuaikannya kepada 31
www.Demokrasi dan pendidikan demokrasi.com, Op Cit
kesadaran umum dan membina dukungan rakyat. Karena pemerintah menaruh perhatian kepada pers, maka berita mempunyai dampak pada mereka. Dalam perjalanan kehidupan pers, pers pun juga mempunyai batasanbatasan
yakni
etika pers untuk menjalankan kehidupan jurnalistiknya.
Pembahasan etika selalu berhubungan dengan soal “keharusan” yakni upaya untuk menemukan dan mencari hal-hal yang baik dan buruk. Pers yang etis adalah pers yang memberikan informasi dan fakta yang benar dari berbagai sumber sehingga khalayak pembaca dapat menilai sendiri informasi tersebut. Berdasarkan aspek ini, kita dapat menilai sendiri informasi tersebut. Berdasarkan aspek ini, kita dapat melihat betapa luasnya bidang etika pers. Mulai dari pencarian berita, pengorganisiran data sampai penulisan berita. Jika soal “keharusan” itu dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, Bab II, Pasal 3 (fungsi pers), Pasal 4 (Hak Pers), Pasal 5 (Kewajiban Pers), dan Pasal 6 (Peranan Pers), akan tampak hal-hal yang harus kita pahami. Dikatakan dalam Pasal 3 yakni: 1.
Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial;
2.
Disamping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Fungsi yang harus digaris bawahi berkaitan dengan fungsi pers diatas
adalah fungsi kontrol sosial. Kontrol sosial artinya kontrol masyarakat. Makna
dari kata kontrol sosial tersebut adalah terkandung dalam makna demokratic atau open management yang didalamnya terdapat unsur-unsur:32 a.
Social participation (keikutsertaan rakyat dalam pemerintahan);
b.
Social responsibility (pertanggung jawaban pemerintah terhadap rakyat;
c.
Social support (dukungan rakyat terhadap pemerintah);
d.
Social control (kontrol masyarakat terhadap tindakan pemerintah).33 Jelaslah bahwa istilah kontrol sosial sebenarnya tidak dapat dipidahkan
dari isi demokrasi atau prinsip-prinsip demokrasi. Bahkan, dapat dikatakan bahwa alat kontrol sosial dan demokrasi merupakan satu kesatuan yang bulat. Setiap ada kontrol sosial sendirinya ada demokrasi atau usaha untuk menyampaikan demokrasi. Tentang hal ini, dengan tegas mengatakan, “Demokrasi tanpa sosial kontrol adalah kosong, dan sosial kontrol tanpa demokrasi adalah bohong”. Karena itu antara kontrol sosial dan demokrasi diibaratkan bagai gula dan manisnya. Fungsi kontrol sosial pers bisa dimaknai sebagai sikap pers dalam melaksanakan fungsinya yang ditujukan terhadap perorangan atau kelompok dengan maksud memperbaiki keadaan melalui tulisan yang disalurkan secara langsung atau tidak langsung terhadap aparatur pemerintahan atau lembagalembaga masyarakat yang terkait sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Pelaksanaan fungsi kontrol sosial pers mempunyai banyak tujuan, antara lain, sebagai berikut:34 32
Alex Sobur, Etika Pers Profesionalisme dan Hati Nurani, Humaniora Utama Press (HUP), Bandung, 2001, hlm. 147-152 33 Ibid, hlm. 47-152 34 Ibid, hlm. 153.
1.
Untuk menjaga agar undang-undang yang telah dibuat oleh rakyat dijalankan sebaik-baiknya oleh semua pihak; 2. Untuk melindungi hak-hak asasi manusia dari tindakan yang dilakukan sewenang-wenang oleh siapapun; 3. Untuk melindungi kepentingan-kepentingan masyarakat, baik kepentingan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Lewat kontrol sosial yang dilaksanakan secara efektif institusional dan konstitusional, kepentingan-kepentingan masyarakaat akan terjamin; 4. Untuk menjaga agar jalannya pemerintahan sesuai dengan UUD, UU, serta kehendak seluruh lapisan masyarakat dan bangsa; 5. Untuk mewujudkan agar perencanaan negara, baik perencanaan politik, ekonomi, sosial, maupun budaya sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan sehingga tujuan yang akan dicapai dapat diwujudkan; 6. Untuk menjaga agar aparat pemerintah menjalankan menjalankan tugas-tugasnya dengan baik dan mengabdi pada masyarakat; 7. Untuk menjaga agar dalam penggunaan budget negara sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan sehingga tujuan yang akan dicapai dapat diwujudkan; 8. Untuk mewujudkan administrasi negara agar dalam menjalankan kegiatan-kegiatannya itu berjalan sesuai dengan ketentuanketentuan yang ada dan berorientasi pada kepentingankepentingan rakyat, baik kepentingan politik, sosial, ekonomi, budaya, maupun hankam dan negara; 9. Untuk melakukan koreksi-koreksi, apakah pemerintah dalam menempatkan pejabat-pejabat, baik pada eselon atas, menengah, dan berdasarkan kepada kualitas, baik pendidikan maupun pengalamannya dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih; 10. Untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersifat korektif yang berupa informasi ataupun pernyataan-pernyataan yang bersifat membantu terhadap pemerintah mengenai orang-orang yang akan menjabat atau menempati suatu posisi di dalam badanbadan administrasi negara, yang bertalian dengan kualitas pribadi, baik dari sudut akhlak maupun loyalitas terhadap ideologi; 11. Secara organisatoris, kontrol sosial di dalam administrasi negara yang demokratik atau pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat merupakan bagian integral atau bagian yang tidak terpisah-pisah dari kedaulatan itu sendiri, mengingat kontrol sosial berfungsi untuk mengetahui sampai sejauh manakah kedaulatan rakyat itu dijalankan pemerintah; 12. Untuk mengetahui apakah kekuasaan legislatif yang merupakan bagian kekuasaan dari kedaulatan rakyat yang dijalankan oleh
13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
20.
Badan Perwakilan Politik atau Badan Perwakilan Rakyat yang berupa undang-undang itu harus memuat aspirasi rakyat; Untuk mengoreksi keputusan-keputusan yang dibuat badan yudikatif; Untuk mengoreksi tindakan-tindakan administratif atau administrasi negara dalam arti sempit; Untuk menjalankan pengawasan melekat yang telah dilakukan aparatur negara; Mewujudkan pemerintahan yang bersih dan stabil agar pemerintahan itu mendapat dukungan rakyat; Membantu tegaknya pemerintahan berdasarkan hukum; Untuk menunjang pemerintahan yang demokratis sehingga tidak mengarah kepada tiranisme, nepotisme; Untuk menunjang pemerintahan dalam rangka menjalankan open management atau pengelolaan pemerintahan secara terbuka, yaitu terwujudnya partisipasi masyarakat terhadap pemerintah, terbentuknya responsibility of government, baik pertanggung jawaban politik, sosial, budaya, hankam, maupun tegaknya dukungan dari masyarakat yang sehat; Untuk mewujudkan adanya kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.35
F. Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1.
Sifat Penelitian Sifat penelitian yang digunakan adalah Deskriptif Analitis, yaitu suatu metode yang memaparkan serta menjelaskan fakta-fakta hukum yang selanjutnya diadakan analisis yang mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data yang menggambarkan tentang Indenpendensi lembaga pers
35
Ibid, hlm. 153.
sebagai media informasi dalam kedudukannya sebagai infrastruktur politik di Indonesia. 2.
Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipergunakan adalah Metode Yuridis Normatif yaitu suatu penelitian yang menekankan pada ilmu hukum dan juga memerlukan bantuan ilmu-ilmu lainnya.
3.
Tahap Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan 2 tahap, yaitu: a.
Penelitian kepustakaan (Library Research) Yaitu suatu teknik pengumpulan data yang ada kaitannya dengan penelitian ini meliputi peraturan perundang-undangan, buku-buku yang ada kaitannya dengan hukum dan pers.
b.
Penelitian Lapangan (Field Research) Yaitu usaha untuk mengumpulkan data melalui suatu penelitian, pengamatan, atau penyelidikan dengan mengadakan wawancara secara langsung dengan instansi-instansi terkait atau orang-orang yang mempunyai keahlian di bidang yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian ini.
4.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Studi dokumen untuk memperoleh data sekunder b. Wawancara untuk memperoleh data primer.
5.
Metode Analisis Data Setelah memperoleh data tersebut kemudian dianalisa dengan menggunakan Metode Kualitatif, yaitu bahwa penulisan dan studi kepustakaan maupun studi lainnya tidak menggunakan angka-angka, tabel dan rumus statistik.
BAB II KAJIAN TEORITIS MENGENAI LEMBAGA PERS
E. Pengertian Pers Secara Etimologis, kata pers (Belanda), atau press (Inggris), atau presse (Prancis), berasal dari bahasa Latin, pressare dari kata premere, yang berarti “tekan” atau “cetak”. Definisi terminologisnya ialah “media massa cetak”, disingkat “media cetak”. Bahasa Belandanya, gedrukten atau drukpers, atau press. Bahasa Inggrisnya, printed media atau printing press, atau press. Media massa, menurut Gamble & Gamble, adalah bagian komunikasi antara manusia (human comunication), dalam arti media merupakan saluran atau sarana untuk memperluas dan memperjauh jangkauan proses penyampaian pesan antarmanusia. 36
Istilah pers ini telah dikenal oleh masyarakat kita sebagai salah satu jenis media massa atau media komunikasi massa. Istilah pers juga sudah lazim diartikan sebagai “surat kabar” (newspaper) atau “majalah” (magazine). Pers menurut Weiner adalah “(1) wartawan cetak atau media cetak (istilah yang meluas untuk semua media); (2) publisitas, peliputan berita; (3) mesin cetak, naik cetak.”37 Pers mencakup pengertian dalam arti sempit dan dalam arti luas, Pers dalam arti sempit mengandung penyiaran-penyiaran pikiran, gagasan, ataupun berita-berita dengan jalan kata tertulis. Sebaliknya, pers dalam arti luas 36
Alex Sobur, Etika Pers Profesionalisme dan Hati Nurani, Humaniora Utama Press (HUP), Bandung, 2001, hlm. 14 37 Ibid
memasukkan didalamnya semua media mass communications yang memancarkan perasaan seseorang, baik dengan kata-kata tertulis maupun kata-kata lisan38. Pers juga dapat didekati dari dua sisi. Yang pertama, dari sisi pers sebagai lembaga kemasyarakatan dan yang kedua pers sebagai alat perjuangan nasional yang mengutamakan sifat-sifat idiil. Definisi otentik pers disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, yaitu “Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.” Secara garis besar pers adalah media cetak yang mengandung penyiaran fakta, pikiran, ataupun gagasan dengan kata-kata tertulis. Pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini harus melaksanakan asas, fungsi, hak kewajiban dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional, sehingga harus mendapat jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun, itulah sebabnya mengapa pers disebut dengan lembaga yang independen. Pers nasional juga berperan ikut menjaga ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
38
Oemar Seno Adjie, Mass Media dan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1977, hlm. 13.
Pada hakikatnya semua orang yang melaksanakan kegiatan pers dan yang terlibat didalamnya memiliki keterkaitan dengan Etika Pers. Etika Pers adalah filsafat di bidang moral pers, yaitu bidang yang mengenai kewajiban-kewajiban pers dan tentang apa yang merupakan pers yang baik dan pers yang buruk, pers yang benar dan pers yang salah, pers yang tepat dan pers yang tidak tepat. Atau Etika Pers adalah ilmu atau studi tentang peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku pers; atau dengan perkataan lain, etika pers itu berbicara tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang terlibat dalam kegiatan pers, Etika pers mempermasalhkan bagaimana seharusnya pers itu dilaksanakan agar dapat memenuhi fungsinya dengan baik. Sumber etika pers adalah kesadaran moral. Bahwa harus ada etika dalam pergaulan hidup, baik yang tersirat maupun tidak tersirat. Di dalam kehidupan pers pun dirasa perlu adanya norma-norma etik tertentu, sebagaimana halnya dalam bidang-bidang keprofesian lainnya.39 Falsafah Pers adalah nilai-nilai atau prinsip untuk dijadikan pedoman dalam menangani urusan-urusan praktis yang disusun berdasarkan sistem plitik yang dianut masyarakat dimana pers tersebut berada. Ada 4 teori tentang pers (four theories of the press) yang ditulis oleh Slebert, Peterson dan Scramm yaitu:40 1.
Autoritarium theory (teori pers otoriter), isinya adalah: a. Membela kekuasaan yang absolut. Pers harus mendukung kebijakan pemerintah dan mengabadi pada negara. 39 40
Alex Sobur, Op Cit, hlm. 146 - 147 Blog, Pengertian Pers, diakses tanggal 27 Maret 2011, Jam: 20.45
b. Membela kekuasaan yang absolut. c. Penerbit diawasi lembaga-lembaga tertentu, izin terbit dan sensor. Prinsip dari teori adalah negara memiliki kedudukan lebih tinggi dari pada individu dalam skala nilai kehidupan sosial dan beranggapan bahwa kekuasaan pemerintah harus dipusatkan pada satu orang elit, dan pers harus berfungsi sebagai alat kontrol sosial untuk memelihara ketertiban dan pemerintahan golongan elit. Keberadaan pers sepenuhnya dimaksudkan untuk menunjang kerajaan maka pemerintah langsung menguasai dan mengawasi kegiatan media massa. 2.
Libertarian Theory (teori pers liberal / bebas), menurut teori ini: a. Manusia dipandang sebagai makhluk nasional yang dapat membedakan yang benar dan yang salah. b. Pers menjadi mitra dalam upaya pencarian kebenaran dan bukan sebagai alat pemerintah. d. Pers menjadi pengawas pemerintah. e. Pers dijadikan sebagai pencari keuntungan secara materi bagi pemiliknya sendiri. Teori ini berargumentasi bahwa pers harus berjalan dengan cara tidak terkekang, untuk menciptakan pluralisme titik pandang yang memberikan pengujian independen terhadap pemerintah dan peluang untuk menelaah semua opini secara bebas dan terbuka. Menurut teori ini, pada dasarnya manusia mempunyai hak-hak yang diperolehnya secara alamiah, teori ini beranggapan bahwa apabila ada kontrol dari pemerintah maka potensi
manusia untuk mengejar kebenaran tidak akan berkembang, karena hal tersebut hanya akan terwujud dalamiklim kebebasan menyatakan pendapat. Libertarian beranggapan bahwa pers harus memiliki kebebasan yang seluasluasnya untuk membantu manusia dalam upayanya menemukan kebenaran. 3.
Social Responsibility Theory (teori pers pertanggungjawaban sosial) berisi tentang: a. Media harus menyajikan berita-berita, peristiwa sehari-hari yang dapat dipercaya, lengkap & cerdas dalam konteks yang memberikan makna. b. Media berfungsi sebagai forum untuk pertukaran komentar dan kritik. c. Media memproyeksikan gambar-gambar yang benar-benar mewakili kelompok-kelompok konstuen dalam masyarakat. d. Media menyajikan dan menjelaskan tujuan dan nilai-nilai masyarakat. e. Media harus menyediakan akses penuh terhadap informasi yang tersembunyi pada suatu saat. Teori ini menerima prinsip pers bebas tetapi pers yang melaksanakan pelayanan masyarakat melalui kritik sosial dan pendidikan masyarakat yang bertanggungjawab, dengan anggapan bahwa jaminan atas hak pemilikan bagi pemilikan pers.Teori ini dianggap sebagai bentuk revisi terhadap ketiga teori sebelumnya yang kurang memberikan tanggung jawab kepada masyarakat. Teori tanggung jawab sosial mendasarkan pandangannya kepada suatu prinsip bahwa kebebasan pers harus disertai dengan kewajiban-kewajiban dan pers mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat guna melaksanakan tugas-tugas pokok yang dibebankan kepada komunikasi massa dalam
masyarakat modern dewasa ini. Jadi kebebasan pers menurut teori ini harus melihat kepentingan umum atau masyarakat di lingkungannya. 4.
The Soviet communist theory (teori pers komunis soviet) yang berisi: a. Pers menopang kehidupan sistem sosialis soviet rusia. b. Memelihara pengawasan yang dilakukan pemerintah terhadap segala kegiatan pers. c. Segala sesuatu yang yang memerlukan keputusan dan penetapan umumnya dilakukan oleh pejabat pemerintah sendiri. d. Tidak adanya kebebasan pers. Teori ini melihat pers sebagai alat untuk menyampaikan kebijakan sosial untuk kepentingan ideologi dan tujuan yang diwakili oleh partai komunis. Pers sepenuhnya merupakan alat pemerintah (partai) dan bagian integral dari negara. Fungsi pers komunis diterapkan sebagai alat untuk melakukan “indoktrinisasi massa” atau “pendidikan masa/bimbingan massa” yang dilancarkan oleh partai. Bimbingan atau pendidikan itu dilakukan melalui “agitasi” dan “propaganda” yang merupakan salah satu aspek terpenting dari fungsi partai. Dalam hubungannya dalm fungsi dan peranan pers sebagai alat pemerintah dan partai, pers harus menjadi suatu “Collective Propagandist dan Collective Organizer”.41 Pers mempunyai dua sisi kedudukan, yaitu: pertama ia merupakan media
komunikasi yang tertua di dunia, dan kedua, pers sebagai lembaga masyarakat atau institusi sosial merupakan bagian integral dari masyarakat, dan bukan 41
1956.
Fred A. Siebert, Four Theories of The Press, University of Illinois Press, Urbana, III,
merupakan unsur yang asing dan terpisah daripadanya. Dan sebagai lembaga masyarakat ia mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lembaga- lembaga masyarakat lainnya.42
F. Makna Kebebasan Pers Menurut kamus besar bahasa Indonesia, “bebas” berarti Lepas sama sekali (tidak terhalang, tidak terganggu), bebas bergerak, berbuat dan sebagainya. Lepas dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, tidak dikenakan hukuman. Kebebasan pers memiliki arti yang masih relatif dilihat dari termonologi katanya, bebas bisa berarti bebas sebebebas-bebasnya dimana pers memiliki kewenangan yang lebih dari lembaga apapun, bebas yang tidak terikat oleh aturan apapun, juga bebas dalam menganalisa bahkan memanipulasi berita yang tidak sesuai dengan kenyataannya yang terjadi. Kebebasan pers itu rumit, pelik dan penuh tanggung jawab43. Berdasarkan asas demokrasi pancasila, kebebasan pers di Indonesia dapat digambarkan sebagai berikut: 1. Kebebasan pers harus diartikan sebagai kebebasan kebebasan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat bukan sebagai kemerdekaan untuk memperoleh alat-alat dari ekspresi sperti dikemukakan oleh kaum sosialis. 2. Kebebasan pers tidak mengundang lembaga sensor preventif. 3. Kebebasan ini bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak, dan bukanlah tidak bersyarat sifatnya. 4. Kebebasan pers merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas-batas tertentu, dengan syarat limitatif, dan demokrasi.44
42
Blog, Sejarah Pers, diakses tanggal 27 Maret 2011, Jam: 20.59 Jakob Oetama, Persepektif Pers Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1987, hlm. 86 44 Oemar Seno Adji, Mass Media dan Hukum Erlangga, 1973, hlm. 96 43
Kebebasan berdasarkan asas pancasila ini memang sangat ideal dengan kebebasan pers yang seharusnya. Karena dijelaskan bahwa kebebasan pers itu bukan berarti tidak terbatas sebebas-bebasnya, akan tetapi kebebasan disini memiliki sifat yang bersyarat. Kebebasan pers yang terjadi dalam era demokrasi yang merupakan hasil dari reformasi ini mengalami kebebasan yang sangat bebas sehingga menimbulkan banyak permasalahan dan polemik di kalangan masyarakat bernegara. Karena dari kata kebebasan tersebut pers berlindung dibalik kemerdekaan persnya itu. Dengan senjata “kebebasan-pers” itu wartawan seolah mempunyai kewenangan
suprastruktur yang terlegitimasi, sehingga merasa
berhak mengorek informasi dari siapapun terutama pejabat publik. Atas nama kebebasan memperoleh informasi publik, seorang insan-pers merasa mempunyai hak “menerobos” masuk ke wilayah yang sebetulnya sudah termasuk rahasia negara. Memang definisi rahasia negara juga masih dapat diperdebatkan. “Cover both sides”, demikian motto yang selalu dikemukakan oleh insanpers dalam satu diskusi, dialog, ataupun seminar, bila pembicaraan menyangkut pertanyaan atau pernyataan tentang ketidakberpihakan pers. Wakil pers tersebut selalu meyakinkan kepada audience, bahwa pihaknya selalu netral, tanpa tekanan pihak manapun, karena pers mempunyai kebebasan untuk menyampaikan setiap informasi yang diperlukan publik, yang dijamin oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Penjaminan kebebasan itu dituangkan pada Pasal 4: 1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak warga negara 2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran
3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. 4. Dalam pertanggungjawaban pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak Pasal 4 tersebut diatas memang tidak menjelaskan secara rinci bahwa sebenarnya yang dimaksudkan dengan Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak warga negara adalah Kemerdekaan pers yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya supremasi hukum, dan tanggung jawab profesinya diatur dalam Kode Etik Jurnalistik serta sesuai dengan hati nurani insan pers. Bahwa artinya ketika seseorang yang akan menulis sebuah berita bukanlah dengan kebebasan yang tidak sesuai dengan analisis hati nuraninya apalagi sampai bebas menulis tentang kebohongan. Karena pers diharapkan menjadi pilar keadilan, kejujuran, keterbukaan, demokratisasi di republik ini. Sedangkan maksud dari terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran bukan berarti mutlak pers nasional tidak bisa dikenakan sensor, pembredelan dan pelarangan penyiaran, tetapi itu semua tidak berlaku pada media cetak dan elektronik. Siaran yang bukan merupakan bagian dari pelaksanaan kegiatan jurnalistik diatur dalam ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Pasal 7 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers: “Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum” Pasal-pasal inilah yang menguatkan insan pers untuk melegitimasi “Kebebasan Pers” nya itu. Situasi ini sebenarnya baik-baik saja dan bahkan positif
selama
kebebasan
pers
yang
dimiliki
itu
dijalankan
dengan
penuh
pertanggungjawaban. Resikonya, apabila kemudian terjadi keberatan dari seseorang atau kelompok masyarakat atas pemberitaan yang ditulisnya, maka pers harus berani mempertanggungjawabkannya didepan pengadilan. Karena sangat mungkin kebebasan pers ini bertentangan dengan hak asasi manusia untuk memepertahankan kehidupan pribadinya. Kebebasan pers merupakan wujud dari kemerdekaan pers yang keduanya memiliki peranan dan arti yang sama, yaitu wujud kedaulatan rakyat dimana keduanya berasaskan prinsip-prinsip demokrasin keadilan, dan supremasi hukum. Kemerdekaan pers menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis. Seperti yang telah disebutkan bahwa Kemerdekaan Pers merupakan wujud kedaulatan rakyat yang tentunya harus mempunyai unsur tanggung jawab dalam pemberitaannya jangan sampai melanggar kode etiknya. Mengingat ada beberapa ketentuan dalam kode etik jurnalistik mengenai tugas jurnalis yang hanya melaporkan fakta dan pendapat yang jelas sumbernya, disebutkan juga bahwa jurnalis harus menggunakan cara-cara yang etis untuk memperoleh berita, foto, dan dokumen. Selain itu, disebutkan juga bahwa jurnalis harus segera meralat setiap pemberitaan yang diketahuinya tidak akurat, jurnalis juga harus menghormati privasi seoseorang serta mengenai etika, jurnalis diharuskan untuk tidak menyajikan berita dengan mengumbar kecabulan, kekejaman, kekerasan fisik, dan seksual.
Kemerdekaan pers bukanlah tujuan, melainkan sarana untuk mencapai tujuan tertentu. Kemerdekaan pers hanya sebuah wadah untuk mengapresiasikan berita-berita yang akurat serta murni sehingga memiliki gagasan-gagasan dan pemikiran kreatif yang bisa membangun kesadaran umum dan opini publik yang sesuai dengan realita, tanpa intervensi dari manapun, juga murni berita yang bersumber dari narasumber. Asumsi dasar yang melandasi gagasan kemerdekaan pers: 1. Kemerdekaan pers dibutuhkan untuk pencarian kebenaran. 2. Kemerdekaan pers dibutuhkan untuk mengontrol penguasa. 3. Kemerdekaan pers dibutuhkan untuk menciptakan masyarakat yang mempunyai pengetahuan memadai tentang lingkungan sehingga dapat mengambil keputusan secara rasional dalam proses pengambilan keputusan, pra-syarat bagi keterlibatan publik dalam proses politik. 4. Kemerdekaan pers dibutuhkan dalam rangka menciptakan apa yang disebut sebagai publik sphare, yakni sebuah ruang bebas dimana beragam suara yang bertentangan dapat terwadahi secara merdeka dan otonom.45 Kemerdekaan pers merujuk pada kemerdekaan untuk mengumpulkan dan menyiarkan informasi yang terkait dengan kepentingan publik. Karena itu kemerdekaan pers tidak mencakup kebebasan untuk menyiarkan berita bohong, penyebaran
pornografi,
penyebaran
fitnah,
penghinaan
dan
lain-lain.
Kemerdekaan pers tidak berarti kemerdekaan tanpa batas yang mengatur apa saja yang perlu dibatasi dan apa saja yang tidak perlu dibatasi.46
45
Ade Armando, Kemerdekaan Pers Bukan kemerdekaan Absolut, disampaikan pada Seminar pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Denpasar, 14-18 Juli 2003. 46 Ibid
Media yang bebas bukanlah tujuan. Itu adalah proses mencapai tujuan. Kalau keterbukaan dan kebebasan itu bisa mengganggu tujuan, tentu kita harus mengevaluasi proses, tidak mengevaluasi tujuan. Jika kebebasan dan keterbukaan pers sebagai buah reformasi bertentangan dengan tujuan negara, maka harus ada evaluasi dan upaya penghentian bersama-sama termasuk oleh pers sendiri. Kalau karena kebebasan pers yang terjadi masyarakat menjadi brutal, maka harus dihentikan. Kalau pers bebas memuat apa saja yang bisa menimbulkan masalah untuk moral bangsa, itu harus dihentikan secara bersama-sama oleh kita semua, termasuk oleh pers sendiri.47 Untuk mengontrol semua kegiatan ini maka diperlukan tanggung jawab besar yang dimiliki oleh Majelis Kode Etik yang bertugas untuk melakukan pengawasan dalam pelaksanaan kode etik dan melakukan pemeriksaan terkait dengan pelanggaran kode etik, memberikan putusan dan penjatuhan sanksi atau pemulihan nama, serta mengajukann usul untuk pembaruan kode etik. Dari penafsiran mengenai kebebasan pers dan kemerdekaan pers, saya lebih sepakat dengan Kemerdekaan Pers karena pertama, Undang-Undang Dasar 1945 tidak menggunakan istilah “kebebasan” melainkan kemerdekaan. Kita dapat memaklumi penggunaan istilah kemerdekaan itu oleh Undang-Undang Dasar 1945 mengingat sejarah pembentukannya yakni dalam masa perjuangan kemerekaan Republik Indonesia (PPKI)
tahun 1945. Pada masa itu istilah
“merdeka” menjadi sangat populer dan digunakan sebagai seruan dan ajakan pada setiap pertemuan, ditulis pada tembok-tembok, pada dinding kereta api dari dalam 47
M. Jusuf Kalla, Tujuan Negara, disampaikan dalam Acara Peringatan Hari Pers Nasional, Bogor, 3 April 2006.
nyanyian-nyanyian yang menggelorakan semangat perjuangan kemerdekaan Bangsa dan Negara Indonesia48. Kedua, dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 pun disebutkan dengan kata “Kemerdekaan Pers”. Ketiga, kemerdekaan pers tidak memiliki arti yang ambigu karena kemerdekaan pers mempunyai definisi yang merdeka dan memiliki aturan-aturan untuk menyelenggarakannya. Kebebasan pers bukan berarti sebebas-bebasnya tanpa norma apapun. Bila dilihat Pasal 28 UUD 1945 khususnya huruf F dan kemudian huruf G, maka mestinya insan-pers dapat memahami, bahwa kebebasan yang merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia tanpa kecuali, harus satu paket dengan kewajibannya untuk menghormati hak warga negara Indonesia yang lainnya secara seimbang.49
G. Dasar Konstitusional mengenai Kebebasan Menyatakan Pendapat Pers di Indonesia dilandasi oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, yaitu tentang kemerdekaan mengeluarkan pikiran, yang akan ditentukan dalam undang-undang. Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia memuat kebebasan menyatakan pendapat, baik bentuk ungkapan lisan maupun tulisan, termasuk kebebasan berserikat. Pasal 28 Undang- Undang Dasar 1945:
48
Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Komunikasi Massa Indonesia, Citra Aditya Bakti,
hlm. 86 49
Hidajanto Djamal, Kebebasan Pers Antara Fakta dan Kenyataan, Makalah, Jakarta, April, 2006
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undangundang.” Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya,serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia” Dalam konteks itulah dapat dipahami bahwa Negara Republik Indonesia merupakan negara yang demokratis dan menganut asas kedaulatan rakyat sebagaimana disebutkan dalam Pembukan Undang-Undang Dasar 1945 alenia ke4 yang menyebutkan bahwa: “............ Maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berkedaulatan rakyat…………..“). Asas ini menghendaki agar setiap tindakan dari pemerintah harus berdasarkan kemauan rakyat. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu hak yang paling mendasar dalam kehidupan bernegara. Pasal 19 DUHAM (Deklarasi Hukum dan Hak Asasi Manusia) PBB Tahun 1948 menyebutkan: “Setiap orang berhak atas kebebasan memilih dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini, termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima, serta menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dengan tidak memandang batas” Ketentuan ini dijabarkan dalam kovenan Sipil dan politik, khususnya Pasal 19 dan 20. Isi kedua pasal tersebut tidak hanya menjamin prinsip kebebasan bagi pers, tetapi lebih luas lagi, yakni bagi setiap orang, termasuk media massa: 1. Setiap orang berhak untuk mempunyai pendapat tanpa diganggu 2. Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pendapat. Hak ini termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan
memberikan informasi dan ide apapun tanpa memperhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau memalui media lainnya sesuai dengan pilihannya. 3. Pelaksanaan hak yang diatur dalam pasal 2 ayat ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh karena itu hak tersebut dapat dikenai pembatasan tertentu, namun pembatasan tersebut hanya diperbolehkan apabila diatur menurut hukum dan dibutuhkan untuk (a) meghormati hak atau nama baik orang lain, (b) melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum, atau moral masyarakat.
H. Hubungan Antara Kebebasan Pers dan Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia merupakan hak yang melekat pada diri manusia yang bersifat kodrati dan fundamental sebagai suatu anugrah Allah yang harus dihormati, dijaga dan dilindungi oleh setiap individu, masyarakat, atau negara. Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai Hak Asasi Manusia mengatakan bahwa Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia. Kebebasan pada hakikatnya merupakan salah satu hak asasi manusia karena kebebasan itu melekat pada diri manusia. Karena kebebasan itu, kebebasan manusia tidak dapat dilimpahkan kepada manusia lainnya. Apabila kebebasan yang ada pada manusia diambil atau diserahkan kepada orang lain50. Berkaitan dengan kebebasan sebagai salah satu hak asasi manusia, dapat dikatakan bahwa hak asasi merupakan hak yang dimiliki oleh manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersama-sama dengan kelahiran dan kehadirannya dalam kehidupan 50
Alex Sobur, Op Cit, hlm. 289
masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa perbedaan bangsa, ras, agama atau kelamin, dan karena itu bersifat asasi serta universal. Dasar dari semua hak asasi adalah prinsip bahwa manusia harus memperoleh kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat dan cita-citanya.51 Hak-hak asasi manusia yang bersifat universal tersebut meliputi hak atas kebebasan untuk mengeluarkan pendapat, hak atas kedudukan yang sama dalam hukum, hak atas kebebasan berkumpul, hak atas kebebasan beragama, hak atas penghidupan yang layak, hak atas kebebasan berserikat, dan hak atas pengajaran. Kebebasan untuk menyatakan pendapat, menyampaikan informasi adalah hak setiap orang, mengenai penyampaian tersebut bisa digunakan dalam bentuk tulisan, lisan, gambar, suara. Kebebasan berfikir dan analisis dimiliki setiap orang dan untuk menyatakan pendapat baik sendiri maupun dimuka umum juga merupakan hak setiap manusia. Setiap masyarakat, negara, atau individu memiliki kemerdekaan
berserikat
dan
berkumpul
termasuk
berorganisasi
dan
memilikinaturan mainnya sendiri. Dalam hal ini, kebebasan pers dan hak asasi manusia mempunyai hubungan erat antara keduanya. Kemerdekaan pers harus menghormati hak-hak asasi manusia dalam penyajian beritanya, misalnya tidak memuat masalah yang terlalu pribadi sehingga menimbulkan ketersinggungan objek yang diberitakan. Hak untuk kebebasan, kebebasan berfikir, hak menyatakan pendapat dan hak untuk berhimpun dan bur dan berserikat pun diatur dalam DUHAM mengenai hak personal, hak legal, hak sipil, dan politik. Dalam
51
Budiarjo, Kebebasan dan Hak Asasi Manusia, www.kebebasanpers.org, diunduh pada tanggal 09 Mei 2011, jam: 16:00.
aturan ini terdapat kedudukan jelas untuk kemerdekaan pers, namun kemerdekaan pers pun juga harus menghormati hak fundamental manusia dengan fitrahnya untuk saling menghargai. Sementara itu, dalam Undang Undang Dasar 1945 memuat dengan terperinci mengenai Hak Asasi Manusia yakni, Pertama,Hak kebebasan untuk mengeluarkan pendapat yang artinya manusia memiliki hak untuk berfikir dan mengeluarkan pendapat apapun itu baik dimuka umum maupun tidak. Kedua, hak kedudukan yang sama dalam hukum. Ketiga, hak kebebasan berkumpul, hak ini mengandung makna bebas berkumpul, baik personal dengan personal lainnya maupun berorganisasi sehingga memiliki pemikiran-pemikiran yang baru. Keempat, hak kebebasan beragama. Kelima, Hak penghidupan yang layak. Keenam, hak kebebasan berserikat, dimana setiap orang yang berkumpul dan berserikat ini memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat seperti yang telah disebutkan diatas. Ketujuh, adalah hak memperoleh pengajaran atau pendidikan. Dapat dimengerti bahwa kebebasan pers yang merupakan hak asasi manusia
itu
harus
dilndungi
dengan
kewajiban
asasi
pula,
yaitu
pertanggungjawaban. Dengan demikian konstruksinya adalah “kebebasan pers yang bertanggungjawab”.52
52
Krisna Harahap, Op Cit, hlm. 50
BAB III PENYELENGGARAAN KEGIATAN PERS DI INDONESIA
A. Hubungan antara Pers dan Pemerintah Sebagai pilar keempat demokrasi, pers memiliki relasi yang banyak terhadap setiap pribadi maupun institusi, dengan fungsinya sebagai media informasi pun pers dapat mempengaruhi penilaian setiap orang terhadap apa yang disiarkannya, maka dari itu ketika pers mempunyai kedudukan sebagai infrastruktur politik pers dapat membantu perkembangan dan kinerja pemerintah yang dengan legitimasinya pers menjadi agent of change antara pemerintah dan masyarakat. Hubungan antara pers dan pemerintah itu berkaitan, dilihat dari segi politik hukum yang dimana pemerintah sebagai suprastruktur politik dan pers sebagai infrastruktur politik. Pers sebagai alat kontrol sosial yang menjadi alat komunikasi politik inilah yang menimbulkan keterkaitan antara pers dan pemerintah. Hubungan itu membentuk jaringan yang melibatkan pejabat dalam peran sumber berita dan pers sebagai alat komunikasi. Pers menjadi agen pembangunan (agent of development) yang ikut serta untuk mengkondusifkan stabilisasi politik guna menyokong pertumbuhan ekonomi agar pers bisa berfungsi juga sebagai salah satu pilar stabilisasi untuk tanggung jawab politiknnya. Hasilnya, menciptakan hubungan antara pers dan pemerintah. Dilihat dari teori utama mengenai hubungan pemerintah dan pers, pers memang berfungsi sebagai alat kontrol sosial yang mempunyai andil dalam stabilisasi negara dengan kewenangan kemerdekaan persnya yang tidak terkekang,
dalam kontribusinya terhadap kehidupan politik di Indonesia ada tiga fungsi yang bisa dilakukan oleh pers. Pertama, pers mampu membangun agenda politik bagi masyarakat, pers akan menjadi penentu mengenai apa yang dipikirkan orang tentang politik, orang akan membicarakan politik berdasarkan apa yang dibicarakan oleh pers, sebaliknya apa yang dibicarakan oleh masyarakat akan menjadi agenda politik pada pers. Kedua, pers akan mendefinisikan realitas politik yang tengah berlangsung dalam sebuah sistem politik, orang akan belajar politik dari pers. Ketiga, pers mampu melakukan intervensi terhadap dunia politik yang dipahami dan ditafsirkan masing-masing orang dan kelompok, mereka diberi pilihan oleh pers sesuai dengan subjektifitas politiknya untuk mengambil makna, sikap, dan perilaku dari berbagai peristiwa politik itu.53 Pada saat lain pers menjadi penafsir, mempertimbangkan dan menilai apa yang dilakukan oleh pemerintah dan bekerja sebagai cabang penguji dan pilar keempat dari pemerintahan. Setiap saat pemerintah dan pers mempunyai hubungan yang politis.254 Eksistensi pers sebagai institusi sosial dapat dilihat dari dua jalan, yang pertama adalah dilihat dari tindakan profesional dan hasil kerja pelaku profesi yang menjalankan kegiatan jurnalisme, dan yang kedua adalah sebagai institusi sosial. Karena itu, setiap kali membicarakan keberadaan pers kita dapat memilahnya dalam dua tingkat. Tingkat pertama berupa tindakan personal yang memiliki kaidah profesional, dari keluaran tindakan personal ini kemudian mewujud berupa penampilan (perfomance) media pers. Manakala penampilan ini 53 54
Alex Sobur, Op Cit, hlm.120 Dan Nimo, Op Cit, hlm.260
memiliki makna sosial, barulah kita memasuki tingkat kedua, yaitu institusi sosial.54 Pers
sebagai
media
komunikasi
massa
merupakan
subsistem
kemasyarakatan dari sistem dari sistem kemasyarakatan yang kompleks. Itulah sebabnya pertautan pelbagai komponen yang terlibat dalam misi pers juga semakin kompleks. Pertama, pers sebagai lembaga dan media. Lembaga pers banyak pertautannya dengan komponen lain seperti dengan UUD 1945 yang saya ambil dari judul saya dalam skripsi ini, juga erat kaitannya dengan UU Pokok Pers yaitu Undang-Undang Nomor 40 tahnu 1999. Kedua, komunikator, yakni wartawan atau semua orang yang terlibat dalam penerbitan pers seperti orang yang mengelola berita. Ketiga, pesan yang disiarkan pers. Komponen ini dipandang cukup kompleks disebabkan ia harus mengandung nilai yang mampu membangkitkan perhatian dan memenuhi kepentingan khalayak pembaca. Salah pilih dalam dalam menyeleksi pesan atau salah sunting dalam pengemasannya, bisa mengakibatkan terancamnya keselamatan media yang menyiarkannya. Keempat, komunikan yang artinya khalayak pembaca. Para pembaca bukan saja terdiri atas anggota masyarakat, melainkan juga pemerintah. Kompleksnya, pembaca yang terdiri atas anggota masyarakat ialah keanekaragaman dalam hal kepentingan, cita-cita, kesenangan, status sosial, taraf pendidikan, tingkat kebudayaan, agama, tata nilai dan lain-lain. Selain khalayak umum, ada juga khalayak pembaca yang terdiri atas orang-orang pemerintah, yang satu dan yang
54
Alex Sobur, Op Cit, hlm. 167.
lainnya berbeda dalam kepekaan terhadap pesan berisi kritik sebagai kontrol sosial.55 Revolusi media telah membawa perubahan perilaku masyarakat tak saja dalam mengakses informasi namun dalam kegiatan menyebarluaskan informasi. Revolusi media harus diperhitungkan sesiapapun pelaku media jika hendak tetap bertahan dalam persaingan bisnis media, perubahan di bidang media ini pula harus diantisipasi oleh pembuat undang-undang terkait dengan relevansi undang-undang yang mengatur mengenai media. Hal ini karena perubahan yang diakibatkan oleh inovasi di bidang teknologi informasi membuat berbagai definisi (termasuk yang dibentuk oleh hukum) menjadi tak lagi relevan.56 Pers digunakan sebagai alat vital untuk berkomunikasi dngan warga negara, Hasilnya berupa transaksi sumber saluran dan menciptakan hubungan pemerintah dan pers, peran pers dalam membuat berita serta peran pemerintah dalam mengelola berita, dan konsekuaensi proses pembuatan pengelolaan berita terhadap komunikasi politik.57 Dalam kegiatan penyelenggaraan pers terdapat proses-proses yang harus ditinjau. Pengaruh organisasi berita, sangat menentukan ke arah mana kegiatan pers akan berlanjut. Organisasi berita adalah badan usaha yang personelnya mengumpulkan, menyunting, dan menyebarkan laporan serta evaluasi tenteng peristiwa. Organisasi berita bersifat birokratis. Organisasi berita itu hierarkis dalam meliput cerita. 34
55
Alex Sobur, Op Cit, hlm. 167-168 Blog. Jurnalisme Global, diakses tanggal 15 April 2011, Jam: 18.30 57 Dan Nimo, Op Cit, hlm. 214 56
Nilai organisasi juga masuk ke dalam pengolahan berita televisi. Yang pasti, pengarah jaringan berita berfikir dengan cara dialektis. Oleh sebab itu, kisah berita televisi yang baik memiliki unsur konflik yang kuat unsur tesis lawan antitesis. Dalam menetapkan berita setiap hari, peristiwa yang memiliki sifat konflik mendapat perhatian utama persengketaan hukum dan bentuk lain mendominasi berita televisi malam. Masuknya faktor ekonomi kedalam pembuatan berita yang paling jelas ialah melalui kenyataan bahwa organisasi berita adalah usaha ekonomi yang menghidupi diri terutama melalui penjualan produk dan periklanan.58
B. Permasalahan Pers 1.
Ancaman Pemboikotan Yang dilakukan Oleh Pemerintah terhadap Pers Dari beberapa masalah mengenai pers terdapat salah satunya adalah
permasalahan dimana pemerintah melalui pernyataan seorang Menteri Sekertaris Kabinet, Dipo Alam yang akan memblokir 3 media yang diduga mereka membuat berita negatif mengenai pemerintah. Masalah ini menyangkut tentang kebebasan pers di Indonesia, karena pernyataan Dipo Alam tersebut banyak pihak yang mengecam karena kemerdekaan pers untuk beropini dan mengkritisi pemerintah mulai
dibatasi.
Padahal,
dalam
negara
demokrasi,
memboikot
apalagi
memberangus pers adalah tindakan institusional yang menabrak prinsip paling asasi dalam demokrasi, yakni kebebasan untuk menyatakan pendapat.
58
Ibid
Semua itu bermula dari pernyataan Dipo Alam di Istana Bogor, ia meminta para pejabat memboikot televisi dan media cetak yang selalu menjelekjelekan pemerintah. Boikot yang dimaksudkan ialah boikot pemberian iklan maupun akses narasumber. Ancaman itu menyulut kemarahan Metro TV dan Media Indonesia, keduanya berada dalam satu grup usaha dan menganggap pernyataan Dipo Alam ini telah memposisikan pemerintah sebagai musuh pers. Sekertaris Kabinet Dipo Alam menyatakan dengan pernyataannya itu ia tidak akan pernah melontarkan ancaman boikot terhadap media. Ia hanya mengkritik media karena terkesan tidak berimbang dan memojokkan pemerintah. Dipo Alam juga menyatakan bahwa ia tidak akan pernah meminta maaf karena pernyataannya itu. Pernyataan tersebut dikemukakan oleh Dipo Alam dalam acara diskusi bertema, “Ancaman Boikot Pemerintah, Indenpendensi Pers dan Kepentingan Publik”, di Jakarta, disaksikan oleh Dewan Pers yang dhadiri oleh anggota Dewan Pers, Bambang Harimurti dan pengamat politik Effendi Ghazali. Dalam diskusi itu Dipo Alam menyatakan, uang pemerintah lebih baik digunakan untuk perbaikan humas daripada memasang iklan di media, namun Dipo Alam menolak jika pemerintah melakukan pemboikotan terhadap 3 media yang kritis kepada pemerintah. Tiga media itu adalah Metro TV, Tv One, dan Media Indonesia. Tidak jauh dari pernyataan terbuka Dipo Alam tersebut, ia membuat pernyataan kontroversial. Dipo Alam memerintahkan instansi pemerintah memboikot ketiga media tersebut dengan membatasi pemberian Informasi dan wawancara, termasuk penghentian tayangan iklan dari setiap kementrian dan institusi pemerintah. Dipo mengatakan bahwa ketiga media itu selalu menjelek-
jelekan pemerintah dan menuai kebencian kepada pemerintah. Dipo menilai Tv One dan Metro TV itu tidak murni dalam pemberitaan. Dalam wacananya itu Dipo memberikan contoh ketika kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Kupang Nusa tenggara Timur, 9 Febuari 2011, kedua media tersebut menyatakan rakyat Kupang menolak Presiden padahal rakyat Kupang melakukan unjuk rasa itu hanya dengan segelintir orang saja. Sementara orang yang menyambut kedatangan Presiden jauh lebih banyak. Pernyataan Dipo Alam bahwa ia tidak memboikot pers itu tidak sesuai dengan kenyataannya yang pada suatu saat ketika Metro TV akan medatangkan narasumber, Direktur Pemberitaan dan Program Metro TV Suryopratomo mengungkapkan bahwa sejumlah narasumber membatalkan kehadirannya untuk program acara dan wawamcara. Ancaman Dipo Alam bahwa pemerintah akan melarang pemasangan iklan dan menjadi narasumber untuk media ini ternyata cukup ampuh. Karena merasa pemberitaan yang kritis terhadap kinerja pemerintah adalah berdasarkan fakta lapangan, Suryopratomo menegaskan bahwa Metro TV dan Media Indonesia akan tetap melanjutkan pemberitaan seperti itu. Mereka memutuskan akan tetap kritis dan mereka tidak punya agenda apapun, menurut mereka kekritisan bukan masalah apriori, tapi itu semua berdasarkan fakta lapangan. Itu semua dalam rangka kontrol dan disitulah media mengambil peranan. Pernyataan Dipo Alam ini ternayata sangat disesalkan oleh anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Hal ini dinilai sebagai sebuah pelecehan terhadap
institusi media, seolah media bisa dibungkam daya kritisnya kalau dapat iklan. Anggota Komisi I DPR, Teguh juwarno juga mengatakan bahwa Indenpendensi media itu harus tetp dihormati dan hubungan pemerintah bersama media tetap dibangun dengan prinsip saling menghormati. Hubungan dengan media massa harus dibangun dengan prinsip respek dan saling menghormati peran dan profesi masing-masing. Dengan pernyataan-pernyataan Dipo yang sangat sensitif itu terus menuai protes. Dipo bahkan dianggap telah menumbuhkan lagi semangat otoritarianisme yang bertolak belakang dengan era demokrasi. Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menjelaskan ada tiga alasan mengapa pernyataan Dipo Alam ini bisa dikategorikan sebagai ancaman terhadap pers. Pertama, Dipo menyerukan agar jajaran pemerintah termasuk masyarakat tidak menonton televisi ataupun membaca berita di media cetak yang dianggap kelewat menjelekkan pemerintah. Kedua, Dipo telah mengancam media yang dianggap kritis dengan memberi instruksi kepada pemerintah agar menyetop iklan di media tersebut. Ketiga, boikot media yang menurut Dipo sebuah pembelajaran tidaklah tepat. Pasalnya, pembelajaran terhadap pers dilakukan dengan mekanisme aturan yang berlaku dengan ancaman. Harapannya insan pers terus merespon ancaman Dipo Alam tersebut, bila ancaman itu dibiarkan, maka bukan tidak mungkin pemberangusan media massa akan terjadi dalam waktu dekat. Grup media ini lalu melaporkan Dipo Alam ke polisi. Mantan aktivis mahasiswa itu dituduh melanggar Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 karena menghambat tugas jurnalistik. Dipo juga dianggap melanggar Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Seharusnya, jika Dipo merasa terdapat pemberitaan oleh televisi atau media cetak yang merugikan pemerintah, mestinya ia mengadukan hal ini ke Komisi Penyiaran Indonesia atau Dewan Pers. Biarlah lembaga ini yang menilai dan menjatuhkan sanksi bila memang media itu telah melanggar kode etik atau Undang-Undang Pers. Sikap yang sama seharusnya diambil oleh kalangan media. Terlalu terburuburu mengadukan Dipo ke polisi juga kurang bijak karena justru memperuncing persoalan. Sekalipun amat berlebihan dan penuh dengan ancaman, pernyataan sang pejabat tetap harus dilihat pula dari sisi lain, yaitu sebagai kritik terhadap pers. Saling kritik justru akan membuat pemerintah maupun kalangan pers bisa mengoreksi diri. Pers tak boleh hanya menayangkan berita-berita yang menguntungkan kelompoknya sendiri. Sebaliknya, pemerintah harus berlapang dada mengahadapi kritik. Apalagi kebijakan pemerintah maupun perilaku para pejabat terkadang tidak tepat. Media yang merupakan pilar keempat demokrasi bukan hanya sebagai sumber berita atau informasi, melainkan juga sebagai pembawa dan penyambung suara rakyat. Lebih penting lagi, keberadaan media memiliki kemampuan sebagai daya tekan atau penyeimbang bagi tiga pilar demokrasi lainnya. Di era demokrasi digital saat ini, rakyat tidak dapat lagi dikekang atau dikendalikan oleh penguasa atau pemerintah. Itulah arti sebenarnya dari sebuah demokrasi, yakni suatu kebebasan untuk mengemukakan pendapat yang dilandasi kejujuran dan keterbukaan.
Pasal 52 Undang-Undang Nomor 14 Tahub 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) sudah mengatur tentang keterbukaan informasi publik suatu lembaga negara oleh masyarakat. Mengelola informasi global untuk kemaslahatan masyarakat luas merupakan tugas dari negara. Untuk itu, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengatakan kejujuean tentang segala informasi kepada rakyatnya. Yang terjadi kebanyakan rakyat saat ini tidak mendapatkan informasi secara benar sehingga hal itu menciptakan permasalahan di masyarakat.
2.
Tindakan Represif Pemerintah Pada Masa Pemerintahan Orde Baru Selama pemerintahan Orde Baru, pers terbelenggu oleh kekuasaan yang
sangat represif. Konsepsi tentang pers bebas bertanggung jawab tidak pernah terwujud. Demikian pula konsepsi tentang Pers Pancasila, hanya dijadikan kedok oleh penguasa untuk membatasi pers. Ketika itu, setiap penerbitan diwajibkan memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pemerintah dapat mencabut SIUPP kalau suat penerbitan memuat tulisan yang dinilai tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah. Beberapa panerbitan dicabut SIUPP-nya selama masa kekuasaan Soeharto. Pemberitaan tentang Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) menyebabkan 11 surat kabar ditutup. Tahun 1978, 7 surat kabar Ibu Kota juga dibredel. Begitu hebat tekanan pemerintah sehingga para pemimpin redaksi secara bersama-sama mengirim “surat minta maaf” kepada Soeharto, setelah media mereka dilarang terbit oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban.
Pembredelan juga terjadi tahun 1994. SIUPP 3 majalah dibatalkan karena memberitakan kasus pembelian kapal bekas dari negara Jerman Timur. Pers menemukan kebebasan substansial di bawah kepemimpinan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Langkah Gus Dur menghapus Departemen Penerangan (Deppen) ibarat puncak dalam proses keterbukaan dan demokratisasi kehidupan pers. Bersama pengahpusan Deppen, hilang juga SIUPP. Pers dapat memberitakan secara bebas semua peristiwa tanpa dibayangi pembredelan. Dinamika kehidupan pers pun meningkat sehingga pemberitaan yang disajukan lebih bervariasi. Pemerintah tidak lagi mencampuri urusan penerbitan, namun mengembalikannya kepada dunia penerbitan sendiri, yang berarti pula mengembalikan kepada masyarakat.
BAB IV FUNGSI DAN KEDUDUKAN LEMBAGA PERS SEBAGAI INFRASTRUKTUR POLITIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 28 F UNDANG UNDANG DASAR 1945
A. Pengantar Negara Republik Indonesia yang dibangun dalam sebuah negara demokratis yang berkedaulatan sehingga demokratisasi di Indonesia dapat berjalan dengan sebaik-baiknya. Terminologi demokrasi merupakan suatu perencanaan institusional dalam mencapai keputusan politik dimana individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif suara rakyat. Demokrasi juga merupakan sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil mereka yang telah mereka pilih. Kesimpulannya, bahwa dalam demokrasi rakyatlah yang berperan sebagai pemegang kekuasaan, pembuat, dan penentu kebijakan tertinggi dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan serta pengontrol terhadap pelaksanaan kebijakannya baik yang dilakukan secara langsung oleh rakyat atau yang mewakilinya melalui lembaga perwakilan. Wujud kedaulatan rakyat tersebut merupakan kemerdekaan pers yang menjadi unsur penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, yang akhirnya kemerdekaan mengeluarkan
pikiran dan pendapat dapat terlaksana. Kemerdekaan pers yang merupakan wujud kedaulatan rakyat ini berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum. Pemerintah menggunakan pers untuk berbagai tujuan, mengajukan program dan tujuan kebijakan, menciptakan dan menyesuaikannya kepada kesadaran umum dan membina dukungan rakyat. Karena pemerintah menaruh perhatian kepada mereka, maka berita mempunyai dampak kepada mereka. Berita yang diinformasikan kepada masyarakat ini memang sangat mempengaruhi penilaian dari masyarakat itu sendiri yang pada akhirnya stabilitas pemerintah dan citra pemerintah itu sendiri berpengaruh terhadap penilaian masyarakat. Indonesia sebagai negara hukum yang memiliki sistem politik tersendiri, pastilah sangat membutuhkan lembaga atau media yang berfungsi untuk menjadi stabilisator. Kekuasaan negara yang berhubungan dengan politik ini sebenarnya tidak terbatas, maka dari itu diperlukan adanya pembatasan-pembatasan terhadap kewenangan kekuasaan terhadap politik tersebut. Mengingat kondisi pers pada masa pra-reformasi ini sangat terkekang sehingga acapkali kita dengar pernyataan, “tembokpun bisa bicara”, itu menggambarkan bahwa sebagaimana terkekangnya pers pada saat itu, dan kebebasan menyatakan pendapat cenderung terkekang dan terpenjara, karena sistem seperti ini menghasilkan tirani dan menyengsarakan rakyat, tidak adanya hubungan kerjasama yang erat antara pemerintah dan rakyat, karena tidak adanya penengah antara keduanya. Kondisi ini tidak membangun cita-cita negara ini sendiri, kondisi inipun cukup mengisolasi hak manusia untuk menyatakan pendapatnya, kritiknya dan
segala asumsinya. Yang dimana semua itu diawali dengan timbulnya pertanyaan sehingga adanya pertanyaan itu dikarenakan adanya ketidak singkronan antara teori dan realita. Seperti yang kita lihat pada masa orde baru dimana pers terbelenggu oleh kekuasaan yang represif, Konsepsi tentang pers yang bebas dan bertanggung jawab tidak pernah terwujud, penulis menilai karena adanya pemerintahan yang otoriter. Konsepsi tentang pers pancasila, hanya dijadikan kedok oleh penguasa untuk membatasi pers. Sehingga apa yang dicita-citakan untuk menjadi negara yang berdaulat itu belum terwujud. Rezim orde baru yang begitu lamanya pun juga mempengaruhi kinerja pers yang menjadi sempit. Ketika itu, setiap penerbitan diwajibkan memiliki Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pemeritah dapat mencabut SIUPP kalau surat penerbitan memuat tulisan yang dinilai tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah. Beberapa panerbitan dicabut SIUPP-nya selama masa kekuasaan Soeharto. Pemberitaan tentang Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari) menyebabkan 11 surat kabar ditutup. Tahun 1978, 7 surat kabar Ibu Kota juga dibredel. Begitu hebat tekanan pemerintah sehingga para pemimpin redaksi secara bersama-sama mengirim “surat minta maaf” kepada Soeharto, setelah media mereka dilarang terbit oleh Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Pembredelan juga terjadi tahun 1994. SIUPP 3 majalah dibatalkan karena memberitakan kasus pembelian kapal bekas dari negara Jerman Timur. Pers menemukan kebebasan substansial di bawah kepemimpinan Presiden KH Abdurrahman Wahid. Langkah Gus Dur menghapus Departemen Penerangan
(Deppen) ibarat puncak dalam proses keterbukaan dan demokratisasi kehidupan pers. Bersama pengahpusan Deppen, hilang juga SIUPP. Pers dapat memberitakan secara bebas semua peristiwa tanpa dibayangi pembredelan. Dinamika kehidupan pers pun meningkat sehingga pemberitaan yang disajikan lebih bervariasi. Pemerintah tidak lagi mencampuri urusan penerbitan, namun mengembalikannya kepada dunia penerbitan sendiri, yang berarti pula mengembalikan kepada masyarakat. Sejak jatuhnya rezim orde baru, lahirlah reformasi yang membuahkan kemerdekaan pers untuk menjadi cirinya. Euforia ini dinikmati oleh setiap golongan di negara ini, Indonesia. Tidak sedikit pula permasalahan yang lahir akibat dari kemerdekaan pers ini. Namun menurut penulis, bukan hanya sekedar euforia belaka, melainkan insan pers memang memiliki potensi untuk menggunakan kapasitasnya sebagai pengamat politik dan sebagai kawan dari golongan penekan dan golongan kepentingan sebagai infrastruktur politik di Indonesia. Pers memiliki andil yang besar dalam perkembangan pemikiran kaum mayoritas Indonesia sebagai pengamat berita, khususnya berita politik.Salah satu contoh dapat dikemukakan berkaitan dengan penyiaran berita oleh lembaga pers yang dinilai sebagai alat komunikasi politik dan sebagai agen perantara antara pemerintah dan masyarakat, misalnya dalam suatu agenda besar di Indonesia yang diperingati oleh seluruh warga Negara Indonesia, penulis ambil salah satu contoh agenda itu yakni ketika Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Negara Republik Indonesia tanggal 20 Oktober 2009, dimana segelintir warga negara Indonesia ini memang merayakan terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Budiono.
Tidak sedikit organisasi yang membantu menyuarakan orientasi-orientasi dari rakyat kepada Pemerintahan SBY-Budiono ini. Kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan di daerahnya masing-masing seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Badan Eksekutif Mahasiswa, dan bahkan kaum buruh sekalipun serta merta bersamasama turun ke jalan untuk melaksanakan aksi-demonstrasi untuk menyuarakan kepentingan-kepentingan rakyat, adalah banyak orientasi dari rakyat ini terhadap kinerja pemerintahan. Seperti kesejahteraan sosial, keadilan rakyat, pemerataan pembangunan dan lain-lain. Ketika pelaksanaan aksi demonstrasi ini adalah hal yang sangat mungkin jika mereka ini tidak didengarkan oleh pemerintah. Bagaimana tidak, teriakan-teriakan mereka memang tidak akan fokus dan tidak akan jelas terdengar oleh pemerintah, hanya mungkin saja masyarakat setempat mendengar sedikitnya apa yang mereka suarakan dalam agenda aksi demonstrasi ini. Disinilah maka pers bertindak dan media siap untuk datang kemana agenda aksi tersebut di gelar, karena memang para demonstran memerlukan bantuan media agar media dapat menulis apa yang mereka suarakan, sehingga dari situlah penulisan berita tersebut menciptakan transaksi saluran yang berupa hubungan pers dengan masyarakat dan hubungan pers dengan pemerintah.
Karena, dalam
penyajian berita ini, maka khalayak umum yang disebut dengan masyarakat dapat membaca apa yang sedang terjadi secara aktual dan dari situ lah sistem kontrol dapat dilakukan, dan dalam hal ini pula maka segala aspirasi-aspirasi rakyat tersebut dapat diketahui oleh pemerintah, karena disitulah pers berperan dan menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol sosial dan media infromasi.
B. Fungsi
dan
Kedudukan
Lembaga
Pers
di
Indonesia
Sebagai
Infrastruktur Politik Dalam kedudukannya sebagai infrastruktur politik di Indonesia, pers mempunyai
kedudukan
sebagai
media
informasi
yang memiliki
tugas
menyampaikan informasi kepada masyarakat melalui saluran-saluran yang tersedia. Fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial mempunyai keterkaitan yang saling berhubungan. Sebagaimana peran sertanya seperti yang disebutkan dalam pasal 17 yang menyebutkan bahwa masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan, kegiatan yang dimaksud adalah memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, etika, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers, juga menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional. UU Pers yang dinilai menganut doktrin komunikasi politik, dipahami sebagai hak publik untuk mempertanyakan setiap kebijakan atau keputusan seorang pejabat publik, tentang hal-hal yang menyangkut kepentingan publik, dan doktrin ini selalu menjadi bagian integral dari konsep kebebasan pers. UU Pers akhirnya menjadi sebuah keputusan politik yang mahal tapi tepat untuk menjamin kemerdekaan pers dan menjalankan fungsinya secara maksimal. Fungsi maksimal pers diperlukan karena Kemerdekaan Pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis.
Substansi yang ada dalam UU Pers ini menempatkan pers dengan peran, fungsi, hak, dan kewajiban untuk selalu melalukan kontrol sosial dalam masyarakat, pasca reformasi yang mengakhiri pemerintahan otoriter mantan Presiden Soeharto selama 30 tahun. Maka itu kemerdekaan pers akan tetap menjunjung
tinggi
lancarnya
proses
reformasi
dengan
tetap
konsisten
melancarkan kritik terhadap pemerintah. Selain UU Pers sebagai lex specialis adalah tidak pernah adanya negara yang jatuh bangkrut karena menjamin kemerdekaan pers. Hal ini telah terbukti di beberapa negara yang telah menerapkan kemerdekaan pers untuk melakukan kontrol sosial sejak lama bahkan ratusan tahun dan mereka tetap bisa mau dan kaya. UU Pers adalah lex specialis secara historis dan politisnya. Mengingat UU Pers ini sendiri adalah hasil keputusan politik yang mengatur tata cara penyelesaian sengketa yang mungkin timbul karena pemberitaan dengan pelayanan Hak Jawab dan Hak Koreksi, maka menurut mereka mengingkari UU Pers adalah historis. Penyelesaian atas masalah yang timbul akibat pemberitaan pers melalui mekanisme jurnalistik ini adalah salah satu buah kemerdekaan pers dan demokratisasi yang timbul akibat gerakan Reformasi tahun 1998, yang membuka jalan dari pers otoriter menjadi pers yang merdeka. Pers sudah dianggap sebagai fenomena kehidupan masyarakat modern. Pers juga diamati sebagai barometer dan perlambang “kebebasan” dan “hak asasi manusia”. Seperti yang telah disebutkan diatas mengenai lingkungan politiknya, pers merupakan bagian dari lingkungan sosial politiknya. Secara kecil-kecilan, pers berhasrat besar untuk memprakarsai beberapa perubahan didalam lingkungan
tersebut agar jangan sampai terjadi kemandekan, namun sebuah penerbitan pers secara realistik tidak bisa terlalu jauh keluar dari lingkungan sosial politik tempat ia hidup dan bekerja. Pers sebagai media informasi adalah fungsi pers yang paling standar. Munculnya jurnalistik adalah karena adanya informasi yang hendak disampaikan oleh pihak tertentu kepada khalayak masyarakat. Informasi yang disajikan pers merupakan berita-berita yang telah di seleksi sedemikian rupa dari berbagai macam berita yang masuk ke meja redaksi, dari berbagai sumber yang dikumpulkan oleh reporter di lapangan. Jika diperhatikan berita yang di sajikan pers itu adalah peristiwa yang mampu mempengaruhi banyak orang tidak hanya orang tertentu saja. Berita yang di sajikan pers tidak hanya yang masih hangat (baru) namun juga mengandung hal – hal yang menarik perhatian masyarakat banyak. Dan dampaknya positif pada penyebaran informasi dan banyaknya dana yang terserap oleh pers. Semua komunikasi sosial mempunyai fungsi sebagai Pengamatan Lingkungan, menunjuk pada upaya pengumpulan dan penyebaran informasi mengenai berbagai peristiwa yang terjadi didalam dan diluar lingkungan suatu masyarakat. Lalu fungsinya sebagai pencapaian konsensus yang mencakup interprestasi terhadap informasi dan preskripsi untuk mencapai konsensus dalam upaya mencagah konsekuensi-konsekuensi yang tidak diinginkan, dan yang terakhir adalah fungsinya sebagai sosialisasi merujuk pada pewarisan nilai-nilai serta norma-norma dari satu generasi ke generasi berikutnya, atau dari satu kelompok masyarakat ke kelompok masyarakat lainnya.
Dalam proses pencapaian terbentuknya masyarakat informasi peranan pers dalam pembangunan nasional adalah sebagai agen pembaharuan (agent of social change). Letak fungsi atau peranannya adalah membantu mempercepat proses peralihan masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat yang modern. Fungsi lembaga pers sebagai infrasruktur politik di Indonesia seiring dengan fungsi pers nya itu sendiri sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999. Pers juga sebagai alat komunikasi politik. Dalam permasalahan yang terjadi sekarang adalah pers memang memliki legitimasi sebagai suatu lembaga yang merdeka dalam menceritakan sebuah peristiwa, dan kemerdekaannya ini dinilai independen dan tidak terpengaruh oleh siapapun atau kepentingan lembaga apapun karena pers dinilai objektif. Dalam pembahasan permasalahan yang penulis angkat di Bab sebelumnya, penulis menilai bahwa pers dalam kondisi paska reformasi memang sudah merdeka bahkan bebas dalam memberikan informasinya. Pers pun juga telah melaksanakan fungsinya sebagai alat kontrol sosial, dari setiap pemberitaan yang dilakukan oleh pers dan dari setiap permasalahan yang pers ungkapkan dalam bentuk apapun itu sudah mempengaruhi opini masyarakat dan membangun pola pikir bersama yang mungkin memang masih subjektif penilaian dari masyarakatnya itu sendiri. Pers menjadi agen perantara antara pemerintah dan masyarakat, dalam kondisi politik Indonesia sekarang ini penulis menilai memang banyaknya permasalahan dalam perpolitikan di Indonesia, keadilan yang memang mulai dinilai kurang bagi masyarakat kecil, disinilah peran lembaga pers untuk
menyajikan berita yang seadanya dan setelah itu, masyarakat menilai sendiri dan memetakan sendiri bagaimana situasi dan kondisi konflik yang terjadi masa ini. Masyarakat tidak akan mengetahui bagaimana dan apa yang sedang terjadi di pemerintahan, mereka mengetahui melalui sarana informasi yang disebut dengan pers. Pers yang merdeka dan bebas adalah pers yang tetap pada aturan kode yang mengaturnya. Bagaimana seharusnya pers berperan dan dimana seharusnya pers berkedudukan. Dalam hal ini penulis mengambil permasalahan dalam bab sebelumnya sebagai salah satu contoh permasalahan pers yang terjadi saat ini untuk menjadi objek analisis ditinjau dari fungsi lembaga pers itu sendiri. Ancaman pemboikotan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap pers melalui pernyataan Mentri Sekertaris Kabinet, Dipo Alam dinilai mengancam kemerdekaan pers dan menghilangkan fungsi pers sebagai alat kontrol sosial, karena sebenarnya kritik itu diperlukan oleh siapapun apalagi dalam konteks lembaga negara. Pers sudah menjalankan fungsinya dengan legalitas pers sebagai pilar keempat demokrasi, yakni memberitakan secara objektif pernyataan Dipo Alam tersebut. Adalah terdapat kesenjangan ketika Dipo Alam ini memerintahkan kepada instansi pemerintah untuk memboikot 3 media yaitu Metro TV, Tv One dan Media Indonesia. Kongkritnya adalah memberikan batasan informasi dan wawancara, termasuk penghentian tayangan iklan dari setiap kementrian dan instansi pemerintah. Menurut hemat penulis, adalah benar bahwa pernyataan Dipo Alam ini yang menyatakan bahwa ia ingin presiden naik gaji adalah hal yang kontroversial
mengingat kondisi mentalitas dan sosiologis masyarakat Indonesia yang masih banyak mengalami keterbelakangan bahkan cenderung miskin. Maka, dengan mengesampingkan kepentingan apapun ketika pers memberitakan seperti itu secara objektif tidak ada salahnya, karena tujuan dari muatan berita ini adalah mungkin yang pertama memang agar pihak kepala negara mengetahui orientasi dari mentrinya, dan yang kedua adalah memang menjalankan tugasnya sebagai media informasi. Penulis amati, apakah yang salah dengan pemberitaan ini? Ketika seseorang tersulut kemarahannya dan terpancing sehingga mengancam kemerdekaan pers ini maka sebenarnya hal ini telah membangkitkan semangat otoritarianisme yang pernah menyengsarakan rakyat. Padahal, dalam negara demokrasi
memboikot
apalagi
memberangus
pers
adalah
tindakan
inkonstitusional yang menabrak prinsip paling asasi dalam demokrasi, yakni kebebasan mengeluarkan pikiran dan menyatakan pendapat. Kekritisan bukan masalah apriori melainkan berdasarkan fakta lapangan, itu semua dalam rangka kontrol dan disitulah media mengambil peranan. Saling kritik justru akan membuat pemerintah maupun kalangan pers bisa mengoreksi diri. Pers tak boleh hanya menayangkan berita-berita yang menguntungkan kelompoknya sendiri. Sebaliknya, pemerintah harus berlapang dada mengahadapi kritik. Apalagi kebijakan pemerintah maupun perilaku para pejabat terkadang tidak tepat. Media yang merupakan pilar keempat demokrasi bukan hanya sebagai sumber berita atau informasi, melainkan juga sebagai pembawa dan penyambung suara rakyat. Lebih penting lagi, keberadaan media memiliki kemampuan sebagai
daya tekan atau penyeimbang bagi tiga pilar demokrasi lainnya. Di era demokrasi digital saat ini, rakyat tidak dapat lagi dikekang atau dikendalikan oleh penguasa atau pemerintah. Itulah arti sebenarnya dari sebuah demokrasi, yakni suatu kebebasan untuk mengemukakan pendapat yang dilandasi kejujuran dan keterbukaan. Karena pers mampu membangun agenda politik bagi masyarakat, pers akan menjadi penentu mengenai apa yang dipikirkan orang mengenai politik dan karena pers dapat mendefinisikan realitas politik maka pers dapat mempengaruhi keputusan politik, disinilah terlihat bagaimana fungsi dan kedudukan pers sebagai infrastruktur politik di Indonesia.
C. Hubungan Indenpendensi Lembaga Pers dengan Pasal 28 F UndangUndang Dasar 1945 Ketentuan dalam Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 ini mengatakan bahwa setiap orang itu berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Dalam pemaparan isi pasal diatas tersebut maka penulis mencoba untuk menganalisis dan mendeskripsikan apa yang dimaksud dengan pernyataan tersebut. Dapat penulis ambil beberapa unsur dari pernyataan diatas tersebut. Unsur-unsur itu adalah setiap orang, siapapun itu, individu manapun berhak untuk berkomunikasi yang artinya melakukan interaksi berupa komunikasi dengan siapapun. Unsur selanjutnya adalah setiap orang atau setiap individu tersebut berhak untuk
memperoleh informasi, berhak memperoleh informasi disini adalah setiap individu memiliki hak untuk mengetahui segala sesuatunya melalui media apapun untuk memperoleh sebuah informasi, dalam pasal ini dinyatakan bahwa hak-hak tersebut ditujukan untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, dalam artian mengembangkan pribadi disini adalah mengembangkan pemikiran setiap individu untuk menyampaikan segala aspirasinya, analisis sosialnya, dan mengolah pemikirannya tersebut untuk ditransformasikan kepada orang lain, ketika seorang individu bisa melakukan pengembangan diri, maka itu berdampak pula kepada lingkungan sosialnya. Unsur yang terakhir adalah setiap individu tersebut berhak untuk mencari informasi, memperoleh informasi, memiliki informasi, menyimpan informasi, dengan menggunakan jenis saluran yang tersedia. Pernyataan ini penulis ambil pengertiannya dalam 2 arti, yang pertama adalah dalam arti sempit dan yang kedua adalah dalam arti luas. Pengertian dalam arti sempitnya adalah mengenai konteks yang dikhususkan untuk pers itu sendiri, jadi sebenarnya pengertian dalam arti sempit ini hanya menjelaskan mengenai hal ikhwal mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan informasi dengan menggunakan jenis saluran yang tersedia adalah dalam konteks pers, yaitu memang untuk kegiatan pers itu sendiri. Pengertian dalam arti luasnya bisa penulis analogikan dengan kegiatan sehari-hari setiap individu pada umumnya. Bahwa dalam hal mencari, memperoleh, memiliki dan menyimpan informasi ini tidak terpatok dengan kegiatan pers saja melainkan daily activities setiap individu pada umumnya, seperti belajar, diskusi, rapat dan lainlain.
Hubungannya dengan keindenpendensian lembaga pers bisa penulis paparkan dalam bagian ini. Sebelum memasuki pembahasan tersebut, penulis harus mengawali dengan pengertian indenpendensi itu sendiri. Adopsi dari bahasa inggris, independen berasal dari kata “independent” yang artinya adalah merdeka, sendiri, berdiri sendiri, bebas. Independen berarti bebas dari pengaruh apapun untuk konteks lembaga pers. Lembaga pers di Indonesia yang dinilai objektif mungkin dinilai kebanyakan orang belum independen, karena mungkin yang pertama adalah berangkat dari kepentingan setiap individu dibelakangnya, akan tetapi menurut penulis sendiri, pers dinilai mendekati independen karena pers ini memang menjalankan tugasnya secara tersendiri, dan para wartawan atau jurnalisnya pun bukan berasal kebanyakan dari partai politik dan kepentingan manapun, dalam penyiaran berintanya pers hanya memerlukan essensi yang sebenarnya dan untuk konteksnya pun pers memang sudah mengetahui sendiri apa yang harus pers bahas. Karena unsur yang mendukungnya adalah pers harus menyiarkan berita dengan konsep 5W+1H, yang isinya What, Why, Where, When, Who dan How. Ketika wartawan atau jurnalis nya orang non hukum, maka sebenarnya merekapun juga dalam memberitakan sebuah peristiwa politik haruslah dengan analisis hukum dengan mengacu pasal-pasal dan aturan yang mengatur mengenai periatiwa tersebut, dalam contoh ini maka pemberitaan merupakan hasil yang objektif dan independen. Jika memang berita yang pers informasikan tidak sesuai maka sudah ada yang dewan pers yang berwenang untuk menegurnya. Indenpendensi lembaga pers ini memang memiliki keterkaitan dengan isi Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945, karena setiap insan pers
memiliki kemerdekaan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasinya serta berhak juga untuk menyimpan dan memberitakannya, tentunya dengan batasanbatasan tertentu yang dinilai memang layak untuk diberitakan. Pers berjalan dengan cara yang tidak terkekang untuk menciptakan titik pandang yang memberikan pengujian independen bebas dan terbuka. Pers tidak terpengaruh kepentingan apapun dan tekanan dari manapun untuk membuat berita.
BAB V PENUTUP
A. Simpulan 1.
Pers menjalankan fungsi infrastruktur politik yang mengawasi kinerja pemerintah dan pers berjalan juga sebagai alat kontrol sosial yang mempengaruhi kebijakan politik dan yang pada saat-saat tertentu dapat mempengaruhi kebijakan politik. Kekritisan yang dimiliki pers merupakan fakta lapangan, itu semua adalah dalam rangka kontrol dan disitulah pers mengambil peranan. Peranan pers sebagai infrastruktur politik yang menjadi alat komunikasi politik inilah yang menimbulkan keterkaitan dan hubungan antara pers dan pemerintah untuk membentuk jaringan serta mengkondusifkan stabilisasi politik. Keberadaan pers memiliki kemampuan sebagai daya tekan atau penyeimbang bagi tiga pilar demokrasi lainnya
2.
Kinerja lembaga pers di Indonesia menjalankan tugasnya secara tersendiri, bebas dari pengaruh manapun, dan bebas dari kepentingan politik apapun, pers hanya menjalankan tugasnya sebagai infrastruktur politik di Indonesia dan sebagai alat kontrol sosial. Dalam perjalanannya pers didukung oleh Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 dan didukung oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers itu sendiri. Indenpendensi lembaga pers di Indonesia yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 secara aplikatif
dinilai sudah baik, karena lembaga pers sejauh ini telah maksimal dalam menjalankan fungsi dan kedudukannya.
B. Saran 1.
Dalam kehidupan bernegara yang menganut teori demokrasi dan kedaulatan rakyat diperlukan partisipasi dari pihak dan lembaga manapun yang mendukung berjalannya suatu negara dan tentunya untuk bersamasama mencapai tujuan negara itu sendiri. Negara Indonesia yang memiliki Lembaga Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif harus melakukan ballancing untuk setiap fungsinya, satu sama lain lembaga ini harus saling membutuhkan, mendorong dan saling memberi masukan sesuai dengan wewenangnya masing-masing. Apalagi dalam konteks negara demokrasi, yang dinamakan kritik itu pasti sudah adam dan tentunya kritik yang membangun. Pilar keempat demokrasi selain tiga lembaga tersebut diatas adalah pers yang mempunyai fungsi sebagai alat kontrol sosial dan sebagai infrastruktur politik. Pers disini harus memiliki sifat objektif dalam mengkritisi pemerintah dan pers pun juga harus berkesinambungan dengan pemerintah.
2.
Pemerintah harus mendukung kinerja pers yang memiliki wewenang untuk memberi masukan dan mengkritik pemerintah untuk menjaga stabilisasi negara dan untuk menjaga hubungannya dengan pemerintah, pemerintah pun juga harus mempertimbangkan apa yang di kritik oleh pers, karena maksud dari pers adalah untuk stabilisasi. Pers pun juga
sebenarnya harus menerima saran yang berupa kritikan dari pemerintah atau pada msyarakat, karena sangat memungkinkan pers pun juga melakukan kesalahan, saling kritik justru akan membuat pemerintah maupun kalangan pers bisa saling mengoreksi diri. Pers tidak boleh hanya menayangkan berita yang menguntungkan kelompoknya sendiri, sebaliknya pemerintah harus berlapang dada mengahadapi kritik-kritik dari pers. Apalagi kebijakan pemerintah maupun perilaku para pejabat terkadang tidak tepat. Dari kegiatan saling mengoreksi inilah akan terciptanya kedamaian dan kerjasama yang erat antara pemerintah dan pers, sehingga pemerintah dan pers bisa saling membantu satu sama lain dan bisa mengantar Indonesia kepada tujuan yang sebenarnya, serta implementasi dari Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur banyak hal ini bisa terealisasikan, bukan hanya peraturan yang otentik saja, melainkan rakyat dan semua lembaganya pun turut mengimplementasikannya. Sehingga tujuan Negara Republik Indonesia bisa tercapai dan sistem yang adapun bisa berangsur membaik.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU Alex Sobur, Etika Pers Profesionalisme dan Hati Nurani, Humaniora Utama Press (HUP), Bandung, 2001. Alfian, Komunikasi Politik dan Sistem Politik Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1991. Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Karya Unipress, Jakarta, 1983. Bachsan Mustafa, Sistem Hukum Komunikasi Massa Indonesia, Citra Aditya Bakti, 2005. Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia, dan Negara Hukum, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996. Dan Nimo, Komunikasi Politik, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2005. Edward C. Smith, Sejarah Pembredelan Pers Indonesia, Grafiti Pers, Jakarta, 1983. Fred A. Siebert, Four Theories of The Press, University of Illinois Press, Urbana, III, 1956. Hidajanto Djamal, Kebebasan Pers Antara Fakta dan Kenyataan, Makalah, Jakarta, April, 2006. Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2005. Jakob Oetama, Persepektif Pers Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1987. Krisna Harahap, Kebebasan Pers Indonesia, Grafiti Budi Utama, Bandung, 1996. Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta, 1981 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama, Bandung, 2009. Oemar Seno Adjie, Mass Media dan Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1977. Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alimni, 1984.
B.
PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1984 tentang Dewan Pers
C. ARTIKEL, JURNAL DAN SEMINAR Ade Armando, Kemerdekaan Pers Bukan kemerdekaan Absolut, disampaikan pada Seminar pembangunan Hukum Nasional VIII Tema Penegakan Hukum Dalam Era Pembangunan Berkelanjutan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Denpasar, 14-18 Juli 2003. Bagir manan, Membangun Supremasi Hukum, makalah pada ceramah dihadapan mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Islam Bandung, 10 September 2000. M. Jusuf Kalla, Tujuan Negara, disampaikan dalam Acara Peringatan Hari Pers Nasional, Bogor, 3 April 2006. Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Prenada Media, Jakarta, 2005. Yara M, Mencari Model Demokrasi Ala Indonesia, Makalah Pembicara Panel Pada Simposium “Membangun Negara dan Mengembangkan Demokrasi dan Masyarakat Madani”, Komisi Kebudayaan IlmuIlmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 2006.
D. INTERNET Budiarjo, Kebebasan dan Hak Asasi Manusia, www.kebebasanpers.org, diunduh pada tanggal 09 Mei 2011. www.Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi.com, diakses tanggal 15 Maret 2011. www.Demokrasi dan Pendidikan Demokrasi.com.