SKRIPSI
PENERAPAN PASAL 12 UNDANG – UNDANG NOMOR 40 TAHUN 1999 TENTANG PERS.
Oleh, M. ALFIANSYAH ZUGITO B 111 08 813
BAGIAN HUKUM PIDANA Fakultas Hukum UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012
i
HALAMAN JUDUL
Penerapan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers
PROPOSAL Sebagai Usulan Seminar Penyusunan Skripsi pada bagian Hukum Pidana Program Studi Ilmu Hukum.
Disusun dan diajukan oleh : M. ALFIANSYAH ZUGITO B 111 08 813
BAGIAN HUKUM PIDANA Fakultas Hukum UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012
ii
iii
iv
v
ABSTRAK M. Alfiansyah Zugito, (B 111 08 813), Penerapan Pasal 12 Undang – Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers (di bawah bimbingan H. M. Said Karim, selaku pembimbing I dan Hijrah Adhyanti M, selaku pembimbing II). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang melatarbelakangi terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 tahun1999 tentang Pers. Penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (library research) dan penelitian lapangan (field research), dengan tipe penelitian deskriptif, yaitu penganalisisan data yang diperoleh dari studi lapangan dan kepustakaan dengan cara menjelaskan dan menggambarkan kenyataan objek. Pendekatan masalah dilakukan secara yuridis, yaitu kajian terhadap peraturan perundang- undangan. Data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh langsung dari objek penelitian di lapangan dan data sekunder yang diperoleh dari hasil studi kepustakaan. Penelitian ini dilaksanakan di Dewan Pers Jakarta, PWI Cabang SulSel dan Pengadilan Negeri Makassar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : 1. Pertanggungjawaban pidana bagi media pers yang melakukan pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dipertanggungjawabkan oleh penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Dalam hal pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka secara eksternal perusahaan tersebut diwakili oleh penanggung jawab. Namun secara internal, pertanggungjawaban pidana tersebut dibebankan kepada perusahaan pers. Hal itu karena ancaman hukumannya hanya berupa pidana denda, bukan hukuman penjara. 2. Penerapan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sulit ditegakkan. Hal itu karena pengawasan dan pelaksanaan hukumnya yang sangat lemah. Baik pada organisasi pers, maupun di kepolisian. Hal ini sesuai hasil penelitian di Dewan Pers Jakarta dan di Pengadilan Negeri Makassar, belum ada satupun kasus pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers diproses hukum sebagaimana mestinya.
vi
UCAPAN TERIMA KASIH Bismillahirrahmanirrahim Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh. Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayahNya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat dirampungkan. Tidak lupa pula penulis kirimkan shalawat dan taslim kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, Nabi yang telah membawa ummatnya dari alam yang gelap gulita ke alam yang terang benderang dengan memperkenalkan Islam sebagai agama “Rahmatanlil’alamin”. Penulis sangat bersyukur, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan. Sebuah kelegaan, karena segala sesuatunya akan dimulai dari sini. Dalam kesempatan inilah, penulis patut m e n y a m p a i k a n terima kasih kepada mereka yang telah memberikan semangat, membantu, menemani, menghibur, dan menguatkan hati penulis. Pembuatan skripsi ini jelas mengalami banyak halangan, khususnya masalah data yang kadang membuat pesimis akan selesainya penulisan skripsi ini. Namun, harapan orang tua, cita-cita penulis dan dorongan dari semua pihak, selalu membangkitkan kembali semangat penulis untuk tetap optimis dan terus berusaha demi masa depan yang terbuka luas. Cita-cita dan harapan serta doa dari kedua orang tua membuat penulis mampu melewati hari-hari yang panjang. Kurang lebih empat tahun, p e n u l i s lewati dengan penuh harapan dan d a l a m suka, cita terlewatinya. Akhirnya, hari ini penulis bertekad untuk menyelesaikan studi dan sudah saatnya untuk membalas jasa-jasa kedua orang tua. Keluarga yang selalu penulis cintai, kasihi, dan banggakan yang selalu memberi penulis motivasi, do’a, dan nasehat yang takkan penulis lupakan. Dengan rasa rendah diri dan rasa hormat yang sangat tinggi penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua penulis, H. Zulkifli Gani Ottoh, S.H., Hj. Nursiah dan Nur Ulkiah, yang selama ini telah banyak berkorban baik pikiran, materi dan tenaga, demi
vii
terwujudnya cita-citaku. Penulis bangga menjadi anak yang tak pernah dibiarkan kesulitan dalam menimbah ilmu dan menambah pengetahuan di luar perkuliahan. Demikian pula dorongan semangat yang penulis peroleh dari kakak dan adik-adik, yakni M. Arya Aryatullah Zugito, SE., Nurmilhasari Zugito, ,M. Aksa Ardiansyah Zugito, Nur Ananda Ulfiany Zugito, M. Afli Alamsyah Zugito, Afni Ramadhani Zugito dan Nur Afiliya Triasty Zugito, senantiasa memberi yang terbaik buat penulis. Serta s e l u r u h keluarga besar penulis yang senantiasa turut berdoa buat penulis Pada kesempatan kali ini, dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan hasil penelitian yang penulis upayakan secara maksimal dengan segenap keterbatasan dan kekurangan penulis miliki sebagai manusia biasa. Namun dengan berbekal pengetahuan yang ada, serta arahan, bimbingan dan petunjuk dari Prof. Dr. H. M. Said Karim, selaku pembimbing I dan Hijrah Adhyanti, S.H. M.H, selaku pembimbing II yang selalu meluangkan waktu di tengah kesibukannya yang luar biasa, semata-mata untuk memberi bimbingan, saran dan kritik. Semua dilakukan dengan ikhlas dan sabar. Tak kalah lagi, beliau senantiasa menebarkan keceriaan dan semangat, serta optimismenya kepada penulis. Sikap ini akan selalu penulis kenang selamanya. Dari semua itulah, penulis menitipkan ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bemanfaat, khususnya bagi civitas dan teman-teman mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin. Mudah-mudahan dapat bermanfaat sebagai bahan bacaan atau untuk menambah pustaka, khususnya bagi Jurusan Hukum Pidana pada Fakultas Hukum, sekaligus sebagai almamater yang penulis cintai dan banggakan. Di sinilah penulis dibesarkan dalam menimbah pengdidikan. Harapan penulis, semoga karya ini dapat menjadi berkah dari Allah SWT bagi siapa pun yang memanfaatkanya. Amin. Dengan segala kerendahan hati, ucapan terima kasih yang tak terhingga, Penulis berikan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. H . Idrus A. Paturusi, Sp.B., SP.BO., selaku Rektor Universitas Hasanuddin. 2. Bapak Prof. Dr. Aswanto, S.H., M.H., D.F.M., Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.
viii
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H., Pembantu Dekan I, Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H., Pembantu Dekan II, dan Romi Librayanto, S.H., M.H., Pembantu Dekan III. 4. Bapak Prof. Dr. Muhadar, S.H. M.S.., Ketua Bagian Hukum Pidana. 5. Bapak Prof. Dr. Andi Sofyan, S.H. M.H., Ibu Haeranah, S.H., M.H., dan Ibu Dara Indrawati, S.H.,M.H., sebagai penguji skripsi ini.. 6. Bapak Dr. Hasbir, S.H., M.H., pembimbing akademik penulis.. 7. Om Howard Kouwagam, S.H., Om Jinhard Kouwagam, S.H., Om Erlanggwang Wahyu dan Kak Dr. Adhitya Jinhard, S.H. M.H. 8. Bapak Wina Armada Sukardi, Anggota Dewan Pers dan Pengurus PWI Pusat di Jakarta. 9. Pihak Dewan Pers Jakarta, Pengurus dan Anggota PWI Cabang SulSel, Media FAJAR Group dan Pengadilan Negeri Makassar yang telah banyak membantu selama melakukan penelitian. 10. Para Dosen/Pengajar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, betapa mereka sangat berjasa dalam menggembleng penulis, terutama dalam pemahaman atas pelbagai konsep dalam ilmu hukum. Penulis berhutang budi kepada beliau semua. Pemikiran dan cara pandang penulis dalam melihat serta memaknai pelbagai persoalan hukum, sangat dipengaruhi oleh pemikiran beliau semua. Kurang dari empat tahun berinteraksi dengan beliau semua, sangat membuka cakrawala penulis. Lebih dari itu, betapa b e s a r m a k n a d a r i uraian kuliah yang penulis cermati diruang kuliah serta p a n d a n g a n pemikiran beliau semua, sangat mendorong penulis untuk belajar lebih giat lagi. 11. Bapak Drs. H. Muh. Bahar Akkase Teng, Lcp. M.Hum., dosen pembimbing lapangan ketika penulis melaksanakan KKN di Kelurahan Mandala, Kecamatan Mamajang, Kota Makassar. 12. Ibu Dra. Sri Wahyuni, Kasubag Akademik, serta para staf akademik. 13. Sahabat terdekatku yang saya cintai Chaerani Misriandini Siregar, terima kasih telah menemani selama duka mau pun suka. 14. Sahabat – sahabatku yang seperjuangan di Fakultas Hukum ( Handri, Didiek, Andhika, Iannuary, Ikhwan, Akbar olleng, Popo, Ical, Rifki, Wawan, Erzat, Djaka, Bhine, Rima, Ushie, Marnie, Tri Aprini, Unhie, Widie dan semua yang tidak sempat penulis sebut satu
ix
persatu). Mereka telah memberikan banyak arti persahabatan, persaudaraan dan kebersamaan selama penulis menginjakkan kaki di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin tahun 2008 lalu. Begitu banyak kisah yang telah tercipta bersama mereka yang takkan pernah penulis lupakan. Sekalipun kita tak lagi ditempat yang sama, namun kenangan bersama kalian akan selalu menjadi teman dalam melanjutkan petualangan penulis dalam menggapai masa depan yang cerah dan kehidupan yang sebenarnya. 15. Sahabatku anak Mandala (Itha, Putri, Dilla, Priska, Hakim, Zul, Akbar, Ari, Dafy, Nandar, Wawan, Nany, Law, Debi dan Fiza), kita pelihara hubungan silaturahin selamanya. 16. Rekan-rekan KKN, Kemitraan Pemkot M a k a s s a r d a n U n h a s Angkatan I tahun 2011, begitu banyak cerita yang telah kita lalui bersama. 17. Keluarga besar Mahasiswa Fakultas Hukum tanpa terkecuali yang telah menjadi bagian dari penulis selama ini. Serta ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membuat perjalanan hidup penulis selama kuliah menjadi penuh warna dan penuh arti dan banyak menciptakan kisah yang akan penulis jadikan kisah klasik di masa depan yang takkan pernah lekang oleh waktu. Akhir kata, “Adabanirobbi fa-ahsana ta’dibi” Hamba diberi pendidikan (adab) oleh Rabbku, maka Dia menjadikan adab (pendidikan)-ku yang terbaik. Menjadi hutang bagi penulis kepada Allah SWT Kelak menjadi manusia yang baik. Amin.
Makassar, 29 November 2012
Penulis
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................ i PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................... ii PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ............................. iii PENGESAHAN SKRIPSI ................................................................ iv ABSTRAK ....................................................................................... v UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................. vi DAFTAR ISI ................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang ....................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .................................................................. 5 C. Tujuan Penelitian .................................................................... 6 D. Kegunaan Penelitian .............................................................. 6
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Pers dan Delik Pers ............................................. 8 B. Pengertian Wartawan .............................................................. 18 C. Pertanggungjawaban Pidana ................................................. 20 D. Perusahaan Pers ..................................................................... 30 E. Pelanggaran Perusahaan Pers ............................................... 33
BAB III : METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ..................................................................... 42 B. Jenis dan Sumber Data........................................................... 42 C. Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 43 D. Teknik Analisis Data ............................................................... 43 i
BAB IV : PEMBAHASAN A. Pertanggungjawaban atas Pelanggaran Pasal 12 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ........ 45 B. Penerapan Hukum atas Pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers........... 53
BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan .............................................................................. 67 B. Saran ......................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 71 LAMPIRAN ..................................................................................... 73
ii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Sebagaimana diketahui, euforia kebebasan pers sedemikian besarnya di awal era reformasi tahun 1998. Dampaknya pun dirasakan hingga tahun
2012 ini. Kebebasan itu ditandai dengan banyaknya
terbit surat kabar dan majalah di seluruh Indonesia. Ironisnya, banyak di antaranya tidak mengindahkan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), terutama Pasal 12. Di Kawasan Timur Indonesia, khususnya di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, banyaknya penerbitan pers beredar hanya karena longgarnya pengawasan peraturan, sehinga kelemahan ini dimanfaatkan bagi kalangan orang atau pihak tertentu untuk mendirikan usaha media pers dan juga pebisnis percetakan pers, tanpa mengindahkan ataupun mengikuti persyaratan mendirikan badan usaha tersebut. Kebebasan itu tercermin tanpa batas dan tanggung jawab. Pers media cetak terbit bebas dan tidak terawasi. Malah di antaranya tanpa berbadan hukum. Seperti memiliki surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP), dan atau salah satu bentuk badan hukum perusahaan lainnya. Misalnya, perseroan terbatas (PT) dan lain sebagainya. Saat itu, fenomena kebebasan pers terlihat sama dan merata di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia. Baik di Ibu Kota Jakarta, maupun di kabupaten dan kota. Seperti di beberapa kota besar di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Kondisi seperti inilah sehingga 1
penulis terdorong untuk melakukan penelitian saksama terhadap berbagai media cetak di KTI tersebut. Melihat begitu gampangnya mendirikan perusahaan pers, sehingga banyak pengusaha atau orang-orang tertentu begitu mudahnya menjadi pemimpin redaksi atau perusahaan pers tanpa memiliki pengalaman dan latar belakang dalam dunia jurnalistik sebagaimana lazimnya. Ironisnya, surat kabar mereka yang tidak berbadan hukum, begitu mudah beredar merata di hampir seluruh instansi pemerintahan yang membidangi urusan hukum. Sebagaimana hasil pantauan penulis di Jakarta pada tanggal 11 hingga 25 Juni 2012, banyak beredar media cetak yang tidak
mengindahkan Undang-Undang Pers. Baik
berbentuk surat kabar, majalah, maupun berbentuk selebaran. Misalnya di kantor Dewan Pers, dan juga di beberapa kantor redaksi penerbitan koran, di Mabes Polri, dan bahkan di kantor pusat Persatuan Wartwan Indonesia (PWI) di Jakarta. Media-media cetak itu beredar di instansi dan organisasi tersebut tanpa ada yang persoalkan atau mempedulikan jenis-jenis pelanggarannya. Sekalipun kebebasan pers itu difasilitasi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, namun sayangnya tidak diikuti dengan tindakan aparat untuk melakukakan pengawasan, terutama tentang
arti
kebebasan
pers
itu
sendiri.
Akibat
longgarnya
pengawasan, maka setiap orang bisa mendirikan perusahaan penerbitan pers dengan hanya semata-mata berbekal uang. Bahkan
2
tidak sedikit perusahaan pers yang berani melanggar dengan tidak berbadan hukum sama sekali. kebebasan usaha penerbitan pers tersebut berlangsung tanpa kendali dan arah. Tidak jelas ke mana tujuan dan fungsi pers itu sendiri. Sulit prediksikan akan menciptakan pers yang bertanggung jawab, mapan dan profesional. Selama berlakunya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, pemerintah dan masyarakat menuntut agar pers memainkan fungsinya
secara
ideal
sebagai
sarana
komunikasi, informasi,
sosialisasi dan hiburan. Menurut Sabam Leo Batubara (2007 : 05) bahwa : “Pers ideal hanya dapat tumbuh dalam iklim yang ideal. Kondisi sosial dan ekonomi Indonesia masih jauh dari kondisi ideal. Sebagaimana kondisi ekonomi, politik, dan sosial di Indonesia yang masih compangcamping, begitu pula agaknya kinerja pers Indonesia. Iklim kemerdekaan pers telah menyuburkan minat anggota masyarakat untuk terjun dalam industri media. Banyak pemain baru dalam industri pers belum sepenuhnya menerapkan prinsip kepengelolaan pers dengan baik. Kemerdekaan pers memang tidak menjamin munculnya pers-pers yang baik kinerjanya, sebagaimana sistem demokrasi tidak menjamin tegaknya kedaulatan rakyat, keadilan, dan hak asasi. Kemerdekaan pers di Indonesia diperoleh dengan susah payah. Dalam kemerdekaan itu pers diharapkan memberikan sumbangan yang signifikan bagi proses demokrasi dan pembangunan di Indonesia.” Dalam skripsi ini, penulis akan membahas salah satu jenis pelanggaran media pers di Indonesia, yaitu terhadap ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang menegaskan bahwa : “Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.”
3
Atas ketentuan tersebut di atas, Penulis mengambil sampel suatu penerbitan di Ibu Kota Jakarta yang telah melakukan pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers adalah Tabloid NEGARAWAN edisi 23 April 2012 yang tidak memuat nama dan alamat percetakan tempat tabloid itu dicetak. Demikian pula, hasil penelitian kami di Kantor Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulawesi Selatan dan di Percetakan Fajar Utama Intermedia, Makassar, berbagai media certak pun melakukan pelanggaran yang sama, sebagaimana tercantum dalam bagian akhir skripsi ini. Penataan media pers di Indonesia, sebenarnya telah diatur dan dibuatkan regulasi yang cukup baik. Salah satu lembaga yang diberi kewenangan itu adalah Dewan Pers. Hal itu jelas terurai dalam Undang-Undang
Nomor
40
Tahun
1999
tentang
Pers
untuk
membenahi dan meningkatkan kualitas pers Indonesia. Apalagi Dewan Pers dibekali kewenangan yang begitu besar dari sebagian besar pengusaha nasional media pers di Indonesia, yaitu pada 9 Februari 2010 di Palembang. Pemimpin pers nasional tersebut bersatu pada saat peringatan puncak acara Hari Pers Nasional. Dukungan itu ditandai dengan penandatanganan untuk menyerahkan sepenuhnya kepada Dewan Pers melakukan sertifikasi dan menguji kembali seluruh wartawan di Indonesia dan sekaligus perusahaan persnya masing-masing. Aktivitas sertifikasi tersebut dikenal dengan nama Standar Kompetensi Wartawan dan Media Pers di Indonesia. Dengan dasar penyerahan kewenangan itulah pihak Dewan Pers melakukan
4
sertifikasi sejak tahun 2011 yang lalu. Kesepakatan dan penyerahan wewenang tersebut dikenal dengan nama “Piagam Palembang” yang dicetuskan di hadapan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Dua tahun berikutnya, pada tanggal 9 Februari 2012 di acara yang sama, yakni saat peringatan puncak Hari Pers Nasional di Jambi, kembali Dewan Pers, mewakili pers Indonesia
menandatangani
kesepakatan kerja sama dengan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (KAPOLRI). Penandatanganan tersebut untuk pelaksanaan secara konkret Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Tujuan kerja sama itu untuk menjadikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers sebagai dasar hukum dalam setiap terjadi pelanggaran pers di Indonesia. Selama ini, oleh pihak penyidik atau penegak hukum senantiasa masih menggunakan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam setiap terjadi kasus delik atau pelanggaran pers. Berdasarkan berbagai uraian tersebut di atas, maka penulis kemudian
tertarik
untuk
melakukan
mendukung skripsi ini yang diberi judul
penelitian
dalam
rangka
“Pelanggaran Pasal 12
Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers “. B. Rumusan Masalah. Berdasarkan kondisi dan fenomena media pers tersebut di atas, dipandang perlu dilakukan penelitian mengenai penerapan Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, serta penerapan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sehubungan dengan
5
alasan tersebut, penulis menguraikan rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah
pertanggungjawaban
pidana
yang
melakukan
tindak pidana penerbitan media pers, khususnya ketentuan Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. 2. Sejauhmana penerapan sanksi pidana terhadap perusahaan media pers yang melanggar atau melakukan tindak pidana Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. C. Tujuan Penelitian. Berdasarkan uraian pada latar belakang serta perumusan masalah di atas, maka penulisan ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP); 2. Mengetahui
penerapan pidana, dan atau sanksi terhadap
pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. D. Kegunaan Penelitian. Berbagai kegunaan dapat diperoleh dalam penulisan ini dengan dukungan penelitian yang dilakukan sebagaimana mestinya, seperti : 1. Memberikan pola pemikiran yang dapat menjadi acuan bagi pengambilkebijakan dan para penegak hukum dalam penerapan pertanggungjawaban pidana pers.
6
2. Menambah khasanah kepustakaan ilmiah di bidang hukum pidana pada umumnya, dan bagi masyarakat pers khususnya. 3. Mendapatkan data pelanggaran perusahaan penerbitan media pers, seperti surat kabar dan majalah. 4. Memberi gambaran secara konkret atas adanya perkembangan baru dengan ditandatangani kerja sama antara Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dengan Ketua Dewan Pers 2012 dalam penerapan hukum terhadap pelanggaran penerbitan pers, atau delik pers.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Guna menciptakan kerangka berpikir yang sama dalam menelaah materi skripsi yang disajikan ini, maka beberapa istilah yang dipergunakan perlu diberi kejelasan pengertian, terutama istilah pers, delik pers, wartawan, perusahaan,
perusahaan penerbitan media pers dan
perusahaan percetakan pers. A. Pengertian Pers dan Delik Pers. 1. Pers. Istilah “pers” (Belanda) , “press” (Inggris), “presse” (Perancis) berasal dari bahasa Latin “pressare” atau “pressus”, yang berarti tekanan atau cetak. Definisi terminologisnya ialah media massa cetak atau media cetak. Istilah pers sendiri lazim diartikan sebagai surat kabar (newspaper) atau majalah (magazines). Menurut Samsul Wahidin (2006:35) bahwa : “Keberadaan pers dari terjemahannya istilah ini pada umumnya adalah sebagai media penghimpit atau penekan dalam masyarakat. Makna lebih tegasnya adalah dalam fungsinya sebagai kontrol sosial. Di sini juga tidak jarang menjadi sebuah media penekanan terhadap kebijakan tertentu yang dinilai tidak dijalankan sebagaimana mestinya oleh pihak yang seharusnya secara lurus dapat menjalankannya.” Pada kamus lengkap Bahasa Indonesia (EM Zul Fajri – Ratu Aprillia Senja,
2000 : 647) menjelaskan bahwa pengertian pers
adalah: 1. Usaha percetakan dan penerbitan; 2. Orang yang bergerak dalam penyiaran berita; 3. Wartawan;
8
4. Penyiaran berita melalui koran, majalah, televisi, radio, dan sebagainya. Sementara menurut Brilyan Prathama Putra (2000 : 270) bahwa kata pers adalah singkatan dari: 1. Person atau orang, diri dan atau dari orang ke orang; 2. Personil. Demikian pula menurut EM Zul Fajri – Ratu Aprillia Senja (1995 : 647), bahwa kata person sama maksudnya dengan kata pribadi atau perseorangan. Begitu pula dengan kata personil diartikan sama dengan kata personal yang berarti bersifat perorangan atau bersifat pribadi. Dari uraian tersebut di atas, dijelaskan bahwa pers adalah pekerjaan orang untuk orang lain, seperti orang yang bergerak dalam pekerjaan penyiaran berita untuk koran, majalah, televisi, radio, dan jenis saluran yang ada. Menurut Maskun Iskandar dan Atmakusumah (2001 : 7), bahwa : “Istilah pers (bahasa Belanda) atau press (bahasa Inggris) muncul setelah ditemukan mesin cetak oleh Johannes Gutenberg tahun 1450. Pria yang tinggal di tepi sungai Rhein, di Kota Mainz, Jerman, merintis pembuatan mesin cetak sejak sepuluh tahun sebelumnya. Masalahnya saat itu, tidaklah mudah mencari bahan baku untuk percetakan, seperti salah satu jenis kayu tertentu yang dapat digunakan untuk mengukir huruf. Selain itu, kayu itupun harus kuat untuk dapat menghasilkan cetakan yang banyak dan tahan untuk ditekan berulang-ulang. Pres (persen) atau press, artinya tekan. Istilah tersebut dipakai pula untuk wartawan elektronik, seperti televisi dan radio yang tidak menggunakan media cetak”. Selain itu, pers juga diartikan bagi para pekerja di media elektronik, seperti radio dan televisi. Bahkan, dengan perkembangan peralatan
9
telekomunikasi informasi, dewasa ini ada lagi satu media baru yang cukup berkembang, yaitu dikenal dengan nama media on line, atau lazim disebut dengan media “dunia maya” melalui internet. Pers berkembang cukup pesat di Indonesia setelah repormasi tahun 1998. Atas perkembangan inilah, sehingga lahirlah UndangUndang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, di mana berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dalam berbagai aktivitasnya, pers terikat dengan berbagai peraturan serta ketentuan dan kode etik jurnalistik dari Dewan Pers. Dasar aktivitas pers di Indonesia diurai dalam Pasal 28F UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Selanjutnya, pada Pasal 1 ayat (1) dan ayat (6) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menjelaskan bahwa : “ayat (1), Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia”. “ayat (6), Pers Nasional adalah pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers Indonesia”.
10
Lebih jauh diuraikan tentang asas, fungsi, hak, kewajiban dan peranan pers dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sebagai berikut : Pasal 2 :
Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum. Pasal 3 : (1) Pers nasional mempunyai fungsin sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial. (2) Di samping fungsi-fungsi tersebut ayat (1), pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi. Pasal 4 : (1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. (2)Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. (4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak. Pasal 5 : (1) Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. (2) Pers wajib melayani Hak Jawab. (3) Pers wajib melayani Hak Koreksi. Demikian pula, dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, menjelasakan bahwa
pers nasional, berperan
sebagai berikut : a. Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; b. Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan; c. Mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; d. Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum; Memperjuangkan keadilan dan kebenaran. 11
2. Delik Pers. Pada masa reformasi, enam belas tahun lalu, setelah jatuhnya pemerintahan orde baru, lahirlah Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Undang-Undang ini diundangkan pada tanggal 23 September 1999 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3887. Undang-Undang yang terdiri dari 10 Bab dan 21 Pasal ini, merupakan sebuah bukti sejarah yang monumental dalam menegakkan hukum. Dalam Undang-Undang ini, kebebasan pers menjelma menjadi kemerdekaan pers yang implikasikannya dalam bentuk
larangan
terhadap penyensoran, pembredelan atau larangan penyiaran, yang dahulu pada zaman orde baru merupakan “pembelengguan” terhadap aktivitas kehidupan pers di Indonesia. Sehubungan
dengan
hal
tersebut,
Wikrama
Iryans
Abidiin
(2005:23) menyatakan bahwa : “Ketentuan baru tentang pers ini tampaknya membawa angin segar bagi kemerdekaan pers setelah tiga dasawarsa dibelenggu rezim sebelumnya. Yang paling spektakuler dari undang undang tentang pers adalah setiap orang berhak menerbitkan pers tanpa memerlukan SIT dan sejenisnya. Kemudian, undang-undang baru ini menjamin tidak ada sensor dan pembredelan pers, serta perbuatan menghalangi kegiatan jurnalistik dapat dikenakan pidana.” Walaupun Pers di Indonesia telah memperoleh angin segar dengan adanya Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, namun berdasarkan hasil pengkajian organisasi wartawan internasional Reporter Tanpa Perbatasan (Reporters Sand Frontieres/RSF) yang diumumkan dari kantor pusatnya di Paris, tanggal 26 Oktober 2004,
12
kebebasan pers Indonesia ditempatkan pada peringkat ke-117, dari 167 negara yang dipantau. RSF secara khusus menyebutkan, antara lain, penggunaan “hukum yang ketinggalan zaman (outdated laws)” terhadap pers sabagai salah satu alasan untuk menempatkan kebebasan pers di beberapa negara, termasuk Indonesia, pada peringkat yang rendah. Dalam kasus di Indonesia, yang dimaksudkan dengan hukum yang ketinggalan zaman, adalah terutama dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan warisa pemerintahan kolonial belanda dari sekitar satu abad yang silam. Dalam KUHP Indonesia, terdapat sedikitnya 35 pasal yang dapat digunakan terhadap wartawan karena karya jurnalistiknya, atau demonstran dan penceramah serta aktivis advokasi karena ekspresi dan pendapat mereka, dengan sanksi hukuman penjara maksimal tujuh tahun. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, belum ada rumusan yang jelas mengenai pengertian delik pers dalam peraturan perundangundangan khususnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Istilah ini hanyalah istilah untuk memudahkan menginformasikan kepada masyarakat bahwa pers pun dapat dipakai sebagai salah satu sarana terjadinya tindak pidana. Jadi “pers” hanyalah sarananya saja, sedangkan pelaku tetaplah subjek hukum, yang biasa diperankan oleh orang perorangan seperti wartawan. Namun bisa juga diperankan oleh korporasi
atau
perusahaan
yang
dalam
mekanisme
pertanggungjawabannya diwakili oleh pemimpin redaksi atau orang lain
13
yang ditunjuk khusus sebagai penanggungjawab, Hinca IP. Panjaitan (Wina Armada Sukardi 2007:170). Em Zul Fajri – Ratu Aprilia Senja (2000 : 244) menjelaskan bahwa : “delik sama dengan perbuatan yang dapat dikenai hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang.” Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia
(Anonim,
1988:248)
mendefinisikan delik pers sebagai: “tulisan di surat kabar atau media lainnya yang melanggar undang-undang”, sedangkan Bachsan Mustafa (1987:87)
memberikan
pengertian
delik
pers
sebagai
:“semua
kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh seorang wartawan atau seorang penulis dengan menggunakan media pers sebagai alatnya”. Wina Armada Sukardi (2007:122) memberikan tiga kriteria umum delik pers: 1. Ia harus dilakukan dengan barang-barang cetakan. 2. Perbuatan yang dipidanakan harus terdiri dari peryataan pikiran atau perasaan, dan 3. Dari rumusan delik harus ternyata bahwa publikasi merupakan satu syarat untuk dapat menumbuhkan suatu kejahatan apabila kejahatan tersebut dilakukan dengan suatu tulisan. Berdasarkan kriteria tersebut, maka menurut Bambang Sadono (1993:60) bahwa: “Suatu delik baru dapat dikatakan memenuhi syarat sebagai delik pers adalah jika perbuatan tersebut mengandung pernyataan, pikiran, perasaan seseorang yang kemudian diwujudkan dalam bentuk barang cetakan dan disebarluaskan kepada khalayak ramai. Pengujian secara hukum apakah suatu pernyataan tergolong delik pers atau tidak, tergantung pada dampak yang timbul dan korelasinya dengan kesamaan unsur yang dirumuskan dalam perundang-undangan pidana.” Hinca
IP.
Panjaitan
(Wina
Armada
Sukardi,
2007:126),
menyebutkan tiga parameter atau kriteria yang harus dipenuhi agar
14
suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh jurnalis tergolong delik akibat pemberitaan pers, adalah : 1. Adanya pengumuman pikiran dan perasaan dan pengumuman pikiran dan perasaan itu dilakukan melalui barang cetakan. Secara a contario, pengumuman pikiran dan perasaan yang dilakukan tidak melalui barang cetakan, tidak dapat digolongkan delik akibat pemberitaan pers. 2. Pengumuman pikiran dan perasaan yang dilakukan melalui barang cetaka itu harus merupakan perbuatan yang dapat dipidana menurut hukum, sesuai asas hukum pidana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyatakan tiada suatu perbuatan dapat dipidana, melainkan atas ketentuan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu terjadi (nullum crimen,nulla poena, sive preavia lege poenali). 3. Pengumuman pikiran dan perasaan yang dilakukan dapat melalui barang cetakan dan dapat dipidana tersebut, harus dapat dibuktika bahwa segala sesuatunya telah disiarkan kepada masyarakat umum atau dipublikasikan. Dari berbagai pendapat tersebut di atas, seorang jurnalis bisa disebut melakukan delik akibat pemberitaan pers, jika dapat dibuktikan ketertarikan yang utuh antara pikiran dan perasaan. Dilakukan dengan barang cetakan dan diumumkan ke publik. Inipun harus ditambah lagi dengan pembuktian di pengadilan apakah perbuatan itu sungguhsungguh dilakukan dengan sengaja (opzet) atau dilakukan dengan tidak sengaja atau lalai (culpa). Indriyanto Seno Aji (Wikrama Iryans Abidin 2005:6) melakukan penggolongan delik pers yang ada dalam KUHP sebagai berikut: 1. Delik Penabur Kebencian (Hatzaai Artikelen) dalam Pasal 154, 155, 156 dan Pasal 157 KUHP, Delik Penghinaan (Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP). Perangkat hukum inilah yang dijadikan landasan legalitas untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pers. Implementasi lain adalah masih berlakunya “Hatzaai Artikelen” (Pasal Penabur Kebencian) kepada pemerintah. 2. Delik Hasutan (Pasal 160 dan Pasal 161 KUHP). 3. Delik Menyiarkan Kabar Bohong (Pasal XIV dan XV UU No. 1 tahun 1946 sebagai pengganti Pasal 171 yang telah dicabut) 4. Delik Kesusilaan (Pasal 282 dan Pasal 533 KUHP).
15
Kalangan pers menolak masalah-masalah yang timbul akibat pemberitaan pers diselesaikan dengan penerapan ketentuan-ketentuan pidana. R. H. Siregar (Wina Armada Sukardi 2007:140) menyatakan bahwa perkara pers agar diselesaikan melalui Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, sesuai dengan Prinsip ultimum remedium.
Dengan
demikian,
penggunaan
pasal-pasal
pidana
merupakan pilihan terakhir apabila tidak ada lagi upaya hukum lain untuk menangani perkara akibat pemberitaan pers. Dalam Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers ditentukan mekanisme hak jawab dan hak koreksi sebagai mekanisme penyelesaian masalah akibat pemberitaan pers. Pasal 1 angka 11 dan angka 12 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers mendefinisikan hak jawab sebagai “Hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya”, sedangkan pengertian hak koreksi adalah “hak setiap orang untuk mengoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun orang lain”. Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, maka Pers berkewajiban untuk melayani hak jawab tersebut. Apabila kewajiban ini tidak dilaksanakan, maka sesuai ketentuan Pasal 18 ayat (2), perusahaan pers yang melakukan pelanggaran tersebut dapat dipidana dengan denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). 16
Terkait
dengan
hak
jawab,
Indriyanto
Seno
Aji
(2005:21)
menjelaskan sebagai berikut : “ Lembaga Hak Jawab bermaksud mengadakan suatu reaksi terhadap suatu kesalahan dan terhadap apa yang dipandang kurang benar, tentunya tanpa memberikan suatu penjelasan (explanation), komentar (comment) ataupun pendapat dan kesimpulan (opinion and conclusion) terhadap pemberitaan yang menyesatkan tersebut. Konkritnya, koreksi yang diberikan oleh pers tersebut hanyalah terbatas pada isi berita yang tidak benar itu saja, sedangkan kerugian materiil atas segala akibat pemberitaan tersebut belum menemukan solusinya melalui etika pers, kecuali melalui perangkat hukum (perdata, pidana, maupun administrasi).” Bertolak dari perbedaan pendapat antara penolakan kalangan pers untuk dikriminalisasikan dalam KUHP dan Rancangan Undang – Undang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) dan kalangan yang masih menghendaki pembatasan kebebasan pers melalui rambu-rambu pidana, maka timbul pendapat untuk melakukan revisi atas Undang-Undang Pers yang berlaku saat ini. Hal ini mengingat bahwa alasan para penegak hukum selama ini untuk tidak menggunakan Undang-Undang Pers sebagai lex specialis dari KUHP adalah karena Undang-Undang Pers tidak memenuhi syarat formal dan material tentang doktrin hukum khusus sebagai pengecualian atas hukum umum. Nono Anwar Makarim (Wina Armada Sukardi 2007:33) menjelaskan alasan Undang-Undang Pers tidak dapat menjadi lex specialis, sebagai berikut: “Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers juga tidak bisa dianggap sebagai lex specialis karena ia tidak memenuhi syarat yang disebut self-contained regime. Suatu self-contained regime adalah suatu kumpulan ketentuan primer tentang sesuatu hal yang dikaitkan dengan kumpulan kekuatan sekunder yang 17
harus didahulukan dari ketentuan-ketentuan sekunder yang ditetapkan oleh hukum yang berlaku umum. Di dalam regime semacam itu terdapat ketentuan khusus tentang hak, kewajiban dan kewenangan serta aturan yang bersangkutan dengan administrasi aturan tersebut, termasuk aturan khusus tentang penanganan pelanggaran. Kalau hak jawab disebut lex specialis, maka dalam hal ini undang-undang pers tidak berhadapan dengan suatu lex generalis yang mengatur hal-hal yang sama secara umum. Doktrin lex specialis dan lex generalis diciptakan untuk memecahkan konflik hukum (conflicts of law) dan menetukan (Choice of law).” Berdasarkan uraian di atas, maka apabila kalangan pers tetap teguh untuk menggunakan Undang – Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai acuan dalam penyelesaian sengketa pers, sebagaimana asas lex specialis derogat legi generali, maka Undang-Undang Pers tersebut perlu direvisi dengan memasukkan karakteristik terhadap perbuatan yang sama dengan peraturan perundang-undangan umum (KUHP, KUH Perdata dan sebagainya). Dalam pemecahan masalah delik pers ini, pada tanggal 09 Februari 2012 di Jambi, pada saat memperingati puncak acara Hari Pers Nasional, di
hadapan Presiden Indonesia, ditandatangani
nota
kesepahaman antara Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) dengan Ketua Dewan Pers Indonesia tentang penerapan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, dan/atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). B. Pengertian Wartawan. Penegasan Pasal 1 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 Tentang Pers, bahwa : “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.”
18
Dewan Pers (Standar Kompetensi Wartawan, 2010 :6) menegaskan bahwa : “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran lainnya.” Menurut Maskun Iskandar Atmakusumah (2012 : 07), bahwa : “Istilah wartawan berasal dari kata sansekerta, wrtta, artinya digerakkan, terjadi, lalu, lewat, soal, peristiwa, tindakan, tingkah laku, atau bisa juga berarti berita (P.J. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuno – Indonesia). Istilah wartawan digunakan pada masa kemerdekaan sebagai pengganti kata jurnalis pada zaman Belanda.” Selanjutnya, dalam Peraturan Dewan Pers Nomor 05/PeraturanDP/IV/2008 tentang Standar Perlindungan Profesi Wartawan (Dewan Pers, 2010 : 57) menyatakan bahwa : “Wartawan adalah pilar utama kemerdekaan pers. Oleh karena itu dalam menjalankan tugas profesinya wartawan mutlak mendapat perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Untuk itu Standar Perlindungan Profesi Wartawan ini dibuat sebagaimana : 1. Perlindungan yang diatur dalam standar ini adalah perlindungan hukum untuk wartawan yang menaati kode etik jurnalistik dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya memenuhi hak masyarakat memperoleh informasi; 2. Dalam melaksanakan tugas jurnalistik, wartawan memperoleh perlindungan hukum dari negara, masyarakat, dan perusahaan pers. Tugas jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui media massa; 3. Dalam menjalankan tugas jurnalistik, wartawan dilindungi dari tindak kekerasan, pengambilan, penyitaan dan atau perampasan alat-alat kerja, serta tidak boleh dihambat atau diintimidasi oleh pihak manapun; 4. Karya jurnalistik wartawan dilindungi dari segala bentuk penyensoran; 5. Wartawan yang ditugaskan khusus di wilayah berbahaya dan atau konflik wajib dilengkapi surat penugasan, peralatan keselamatan yang memenuhi syarat, asuransi, serta 19
pengetahuan, keterampilan dari perusahaan pers yang berkaitan dengan kepentingan penugasannya; 6. Dalam penugasan jurnalistik di wilayah konflik bersenjata, wartawan yang telah menunjukkan identitas sebagai wartawan dan tidak menggunakan identitas pihak yang bertikai, wajib diperlakukan sebagai pihak yang netral dan diberikan perlindungan hukum sehingga dilarang diintimidasi, disandera, disiksa, dianiaya, apalagi dibunuh; 7. Dalam kesaksian perkara yang menyangkut karya jurnalistik, penanggungjawabnya hanya dapat ditanya mengenai berita yang telah dipublikasikan. Wartawan dapat menggunakan hak tolak untuk melindungi sumber informasi; 8. Pemilik atau manajemen perusahaan pers dilarang memaksa wartawan untuk membuat berita yang melanggar kode etik jurnalistik dan atau hukum yang berlaku.” C. Pertanggungjawaban Pidana. 1. Pengertian Pidana. Menurut beberapa ahli hukum pidana, pengertian pidana adalah sebagai berikut : Van Hamel (Lamintang, P. A. F, 1984 : 47) arti pidana atau straf menurut hukum positif adalah : “suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama Negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh Negara.” Menurut Simons (Lamintang, P. A. F, 1984 : 48}, pidana atau straf adalah: “suatu penderitaan oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu norma, yang dengan suatu perbuatan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang bersalah.” Adapun menurut Agra Jansen (Lamintang, P. A. F. 1984 : 48), berpendapat bahwa pidana atau straf adalah :
20
“Alat yang dipergunakan oleh penguasa (hakim) untuk memperingatkan mereka yang telah melakukan suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian dari perlindungan yang seharusnya dinikmati oleh terpidana atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya, yaitu seandainya ia telah tidak melakukan suatu tindak pidana.” Menurut Roeslan Saleh (Bambang Waluyo, 2004 : 9), mengatakan : “pidana adalah reaksi atas delik yang banyak berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpahkan Negara pada pembuat delik.” Pengertian Hukum Pidana banyak dikemukakan oleh para ahli hukum secara mendalam berdasarkan tafsir dan pengetahuan masing-masing. Adapun pengertian Hukum Pidana yang telah dibuat oleh W.L.G. Lemaire (P.A.F. Lamintang, 1997 : 1) yang berbunyi sebagai berikut : “Het strafrecht is samengesteld uit die normen welke gedboden en verboden bevatten en waaraan (door de wetgever) als sancti straf, d.i. een bijzonder leed, is gekoppeld. Men kan dus ook zeggen dat het strafrecht het normen stelsel is, dat bepaalt op welke gedragingen (doen of niet-doen waar handelen verplicht) en onder welke omstandighenden het recht met reageert en waaruit deze straf bestaat.” Yang artinya : “Hukum Pidana itu sendiri dari norma-norma yang berisi keharusan-kaharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa hukum pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu di mana terdapat suatu keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut.” W.F.C.
Van
Hattum
(P.A.F.
Lamintang,
1997
:
telah
merumuskan hukum pidana sebagai berikut : 21
“Het samenstel van de beginselen en regelen, welke de staat of eenige andere oenbare rechtsgemeeschap volgt, in zoover hij als handhaver der openbare rechtsorde, onrecht verbeidt en aan zijner voorschrifren voor den overtreder een bijzzonder leed als straf verbindt.” Yang artinya : “Suatu keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh Negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya, di mana mereka itu sebagai pemelihara dari suatu ketertiban hukum umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peraturanperaturannya dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.” Karena demikian sulitnya membuat suatu rumusan mengenai hukum pidana yang berlaku secara umum, maka W.P.J. Pompe (P.A.F. Lamintang,1997 : 3) telah membuat suatu rumusan yang sangat singkat mengenai hukum pidana dengan mengatakan : “Het strafrecht wordt, evenals het straatsrecht, het burgerlijk recht en andere delen van het recht, gewoonlijk opgeval al seen geheel van min of meer algemene, van de concrete omstanddigheden abstraherende, regels.” Yang artinya : “hukum pidana itu sama halnya dengan hukum tata Negara, hukum perdata, dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya diartikan sebagai keseluruhan dari peraturanperaturan yang sedikit banyak bersifat umum yang diabstrahir dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.” Menurut Simons, hukum pidana itu dapat dibagi menjadi hukum pidana dalam arti objektif atau strafrecht in objectieve zin dan hukum pidana dalam arti subjektif atau strafrecht in subjective zin. Hukum pidana dalam arti objektif adalah hukum pidana yang berlaku, atau yang juga disebut sebagai hukum positif atau ius poenale. Hukum pidana dalam arti objektif tersebut, oleh Simons (P.A.F. Lamintang, 1997 : 4) telah dirumuskan sebagai berikut :
22
“het geheel van verboden, aan walker overtrending door de staat of eenige andereopenbare rechtsgemeenscahp voor den overtreder een bijzonder leed “straf” verboden is, van de voorschriften, door welke de voorwaarden voor dit rechtsgevolg worden aangewezen, en van de bepalingen, krachtens welke de straf wordt opgelegd en toegepast.” Yang artinya : “keseluruhan dari larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang atas pelanggarannya oleh Negara atau suatu masyarakat hukum umum lainnya telah dikaitkan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman, dan keseluruhan dari peraturan-peraturan di mana syarat-syarat mengenai akibat hukum itu telah diatur serta keseluruhan dari peraturan-peraturan yang mengatur masalah penjatuhan dan pelaksanaan dari hukumannya itu sendiri.” Adapun Moeljatno (Andi Hamzah, 2008 : 4), merumuskan hukum pidana sebagai sesuatu yang terbagi atas dua bagian yang tidak terpisahkan, yakni hukum pidana materil dan hukum pidana formil, yang diartikan sebagai berikut : “Hukum pidana adalah sebagian dari pada keseluruhan hukum yang berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut, 2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang diancamkan, 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Penjatuhan pidana kepada seseorang atau badan hukum tentu saja haruslah atas adanya putusan hakim yang bersifat tetap dengan harus melalui pembuktian di persidangan. Adapun jika si tersangka dinyatakan tidak bersalah, maka yang bersangkutan wajib untuk dibebaskan. Selain itu, agar suatu peristiwa dapat dikatakan sebagai suatu delik harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :
23
a. Harus ada perbuatan, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang; b. Perbuatan harus sesuai sebagaimana yang dirumuskan dalam Undang-Undang. Pelakunya harus telah melakukan sesuatu kesalahan dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. c. Harus ada kesalahan yang dapat dipertanggungjawabkan. Jadi dapat dikatakan bahwa perbuatan tersebut memang dapat dibuktikan sebagai suatu perbuatan yang melanggar ketentuan hukum. d. Harus ada ancaman hukumannya (sanksi). Dengan kata lain, ketentuan yang dilanggar tersebut haruslah mencantumkan sanksinya.” 2. Pengertian Pemidanaan. Menurut Sudarto (Lamintang, P. A. F, 1984 : 49), pemidanaan adalah sinonim dari kata penghukuman, yang berarti : “Penghukuman berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan tetapi juga hukum perdata. Pemidanaan dalam bidang pidana, yang kerapkali berakronim dengan pemberian pidana atau penjatuhan pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna sama dengan sentence atau veroordeling.” Berdasarkan defenisi tersebut, menyatakan bahwa pemidanaan itu sendiri sebenarnya bermakna luas, bukan hanya menyangkut dari segi hukum pidana saja, akan tetapi juga dari segi hukum perdata. Hal tersebut tergantung dari pokok permasalahan yang dibahas, yang mana jika membahas mengenai pidana, maka tujuannya adalah mengenai masalah penghukuman dalam arti pidana. Menurut Andi Hamzah (2008 :27) tujuan pemidanaan adalah sebagai berikut:
24
“Tujuan hukum pidana tidak melulu dicapai dengan pengenaan pidana, tetapi merupakan upaya represif yang kuat berupa tindakan-tindakan pengamanan. Pidana dipandang sebagai suatu nestapa yang dikenakan kepada pembuat karena melakukan suatu delik. Ini bukan merupakan tujuan akhir, tetapi tujuan terdekat. Inilah perbedaan antara pidana dan tindakan, karena tindakan dapat berupa nestapa, tetapi juga bukan tujuan. Tujuan akhir pidana dan tindakan dapat menjadi satu, yaitu memperbaiki pembuat.” Berdasarkan uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pemidanaan atau pemberian pidana dijatuhkan sebagai tahap memperbaiki pembuat. Misalnya seseorang dimasukkan ke dalam penjara, maksudnya ialah untuk memperbaiki tingkah lakunya yang buruk.
Selanjutnya
pemasyarakatan,
dikatakan
yakni
kelak
sebagai dapat
proses
diterima
pemulihan
kembali
oleh
masyarakat. P.A.F. Lamintang (1984 : 23), mengatakan bahwa terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dalam pemidanaan ini, yakni : 1. Untuk memperbaiki pribadi dari penjahat; 2. Untuk membuat orang menjadi jera untuk melakukan suatu kejahatan; 3. Untuk membuat penjahat menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan lainnya, yakni penjahat yang dengan cara lain sudah tidak dapat diperbaiki. 3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana. Menyangkut pidana dan kepidanaan, berikut ini ditegaskan bagaimana pertanggungjawaban pidana dalam pelanggaran pers di Indonesia. Menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi (2002 : 250), bahwa :
25
“Pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menetukan apakah seseorang tersangka/ terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Pertanggungjawaban pidana orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang tersebut adalah tindak pidana yang dilakukannya. Jadi, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan seseorang.” Membicarakan dicampurkan
mengenai atau
perbuatan
dimasukkan
pidana,
tidak
pertanggungjawaban
boleh pidana,
karena pertanggungjawaban pidana merupakan suatu hal yang berbeda, bahkan beberapa pakar hukum beranggapan sebagai suatu hal yang harus dipisahkan. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya dilekatkan sanksi pidana. Dengan demikian, jikalau melihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana, sedangkan sifat-sifat orang yang melakukannya merupakan bagian dari pertangungjawaban. Perbuatan pidana hanya merujuk pada dilarang atau diancamnya perbuatan dengan suatu tindak pidana. Orang yang melakukan perbuatan pidana kemudian dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Hal tersebut tergatung kesalahan
orang
dalam
melakukan
perbuatan
pidana.
Pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Menurut Moeljatno (Chairul Huda, 2006:19) bahwa: “ Orang tidak mungkin dipertaggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tapi meskipun 26
dengan melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana. Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. Pertanggungjawaban pidana hanya terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindak pidana. Sebaliknya, eksistensi suatu tindak pidana tidak tergantung pada apakah ada orang-orang yang pada kenyataanya melakuka tindak pidana tersebut. Terdapat sejumlah perbuatan yang tetap menjadi tindak pidana sekalipun tidak ada orang yang dipertangungjawabkan karena telah melakukannya.” Jadi tidak mungkin seseorang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, jika yang bersangkutan tidak melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban sebelumnya
pidana
seseorang
telah
hanya
akan
terjadi
setelah
melakukan
tindak
pidana.
Pertanggungjawaban pidana harus dilakukan atas dasar hukum yang tidak tertulis : “tidak ada pidana jika tidak ada kesalahan” (gee straf zonder schuld, actus no facit reum nisi mens sit rea). Dalam
menelusuri
apakah
seseorang
dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka pertama-tama dilakukan
dengan
menjawab
pertanyaan,
apakah
yang
bersangkutan melakukan tindak pidana. Suatu tindak pidana terdiri dari actus rea dan mens rea, seperti yang dikemukakan oleh Curzon (ChairulHuda, 2006:21) : the maxim draw attention two essensial elemen of crime: the physical element (actus reus) and the mental element (mens reus). (Tindak pidana terdiri dari dua unsur yaitu fisik dan mental.) Menurut Milson (Chairul Huda, 2006:2), Maksim ini umumnya dipahami sebagai an act is not a crime in the absence of a guilty 27
mind. Dengan demikian, suatu perbuatan bukan merupakan tindak pidana jika tak ada unsur mental atau mens rea. Dalam hal ini bahwa kesalahan dipandang sebagai suatu unsur tindak pidana. Sasaran yang dituju oleh pidana adalah orang, atau terbatas pada kualitas seseorang. Hal ini berarti hal itu ditujukan terhadap subjek hukum pidana. Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief (1998:97), pengertian subjek tindak pidana meliputi dua hal, yaitu: “Siapa yang melakukan tindak pidana (si pembuat) dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan adalah si pembuat, tapi tidaklah selalu demikian. Menurutnya, tidak selalu yang dipertanggungjawabkan adalah orang yang mewujudkan isi rumusan undang-undang tentang tindak pidana.” Telah dikatakan bahwa pertanggungjawaban pidana tidaklah mungkin terjadi tanpa sebelumnya seseorang melakukan tindak pidana. Dengan demikian pertangungjawaban pidana selalu tertuju pada pembuat tindak pidana. Dalam hal ini si pembuat tidak dapat dipersamakan dengan pelaku materil. Pertanggungjawaban pidana tidak hanya ditujukan terhadap perilaku materil (pleger) tetapi juga pada pembuat (dader). Oleh karenanya, pertanggungjawaban pidana itu ditujukan terhadap orang yang melakukan tindak pidana (pelaku) atau orang lain ada kaitannya dengannya (pembuat selain pelaku), merupakan persoalan penetapan suatu tidak pidana (kriminalisasi) dan bukan persoalan pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana terjadi hanya jika sebelumnya subjek hukum pidana tersebut melakukan tindak pidana. Tidaklah
28
mungkin orang yang dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana tanpa sebelumnya yang bersangkutan melakukan tindak pidana. Sebaliknya sangat mungkin memasukkan dalam larangan yang disertai ancaman pidana hubungan tertentu antara seseorang dengan orang lain yang melakukan tindak pidana. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 55 KUHP yang memidanakan penyuruh (doenpleger) dan penganjur (uitloker) karena mempunyai hubungan tertentu dengan pelaku materil (pleger). Baik negara penganut civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban
pidana
dirumuskan
secara
negatif,
maksudnya undang-undang justru merumuskan keadaan yang menyebabkan pembuat tidak dipertanggungjawabkan (Andi Zainal Abidin Farid, 2007:260). Dengan demikian, yang diatur adalah keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tindak pidana. Sebagian adalah alasan untuk penghapus kesalahan pada civil law system. Sementara pada common law system diterima berbagai
alasan
umum
pembelaan
ataupun
alasan
umum
peniadaan pertanggungjawaban. Perumusan pertanggungjawaban secara negatif dapat terlihat dalam perumusan ketentuan Pasal 44, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50 dan Pasal 51 KUHP. Kesemuanya merumuskan hal-hal yang dapat
mengecualikan
pembuat
dari
pengenaan
pidana.
Pengecualian pidana di sini dapat dibaca sebagai pengecualian
29
adanya pertanggungjawaban pidana. Hal ini berarti, pada keadaan tertentu dapat berarti pengecualian adanya kesalahan. Konsep pertanggungjawaban pidana merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap seorang pembuat tindak pidana. Sementara itu, berpangkal pada gagasan monodualistik, pidana,
bukan
proses hanya
wajar
penentuan
dilakukan
pertanggungjawaban
dengan
memperhatikan
kepentingan masyarakat, tapi juga kepentingan pembuat itu sendiri. Proses itu bergantung pada dipenuhinya syarat dan keadaan dapat dicelanya pembuat tindak pidana, sehingga sah dijatuhi pidana. Menurut D. J. Galligan (Chairul Huda, 2006:63) bahwa : “ apabila persyaratan ini diabaikan dan tidak tampak keadaan minimal yang menunjukkan pembuat dapat dicela, maka hukum dan institusinya telah gagal memenuhi fungsinya.” Simons (Roeslan Saleh, 1983:139) mengatakan bahwa: “Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila seseorang itu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Dengan memperhatikan dua hal, keadaan bathin orang yang melakukan perbuatan dan hubungan antara keadaan bathin itu dengan perbuatan yang dilakukan.” D. Perusahaan Pers. 1. Pengertian Perusahaan. Membahas tentang pelanggaran perusahaan penerbitan pers dan perusahaan percetakan pers, terlebih dahulu perlu diuraikan tentang
30
pengertian perusahaan itu sendiri.
Menurut Mulhadi (2010 : 6),
bahwa : “istilah perusahaan adalah istilah yang lahir sebagai akibat adanya pembaharuan dalam Hukum Dagang. Oleh karena itulah, sejak beberapa pasal dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dicabut, maka sejak saat itu pula istilah dan pengertian pedagang dan perbuatan perdagangan (perniagaan) tidak layak lagi mewakili kepentingan kaum pedagang khususnya dan masyarakat pada umumnya yang kemungkinan memiliki hubungan, kepentingan dan atau ambil bagian dalam aktivitas perusahaan.”
Soekardono (Mulhadi 2010 : 7) memaparkan definisi, bahwa : “Perusahaan adalah salah satu pengertian ekonomi yang juga masuk ke dalam lapangan Hukum Perdata, khususnya Hukum Dagang. Melalui Staatblad; 1938/276, istilah Perusahaan masuk ke dalam Hukum Dagang dengan menggantikan istilah pedagang dan perbuatan perdagangan.” Istilah perusahaan ataupun definisinya dapat disimak, baik oleh ahli atau ilmuan, maupun penegasan dari undang-undang, seperti yang ditulis Mulhadi (2010 : 8), sebagai berikut : “Beberapa ahli atau ilmuan memberikan pendapat tentang istilah Perusahaan, yaitu : a. Pemerintah Belanda (Menteri Kehakiman Belanda) ketika membacakan Memorie van Toelichting, atau rencana undangundang, yaitu Wetboek van Koophandel (WvK) di depan parlemen, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perusahaan, adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-terangan, dalam kedudukan tertentu dan untuk mencari laba. b. Molengraaff berpendapat bahwa perusahaan adalah keseluruhan perbuatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar, untuk mendapatkan penghasilan, dengan cara memperniagakan barang-barang, menyerahkan barang-barang, atau mengadakan perjanjian-perjanjian perdagangan. Di sini, Molengraaff memandang perusahaan dari sudut ekonomi.”
31
2. Pengertian Perusahaan Pers. Lazim diketahui, bahwa perusahaan pers, adalah perusahaan yang bergerak dalam usaha media massa, antara lain media cetak dan media elektronik. Dijelaskan pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, bahwa : “Perusahaan Pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi.” Berdasarkan penjelasan undang-undang tersebut di atas, bahwa pengertian perusahaan pers untuk media cetak, adalah perusahaan yang bergerak dalam usaha penerbitan dan atau percetakan media pers seperti surat kabar, majalah, buletin, dan semua jenis media pers. Demikian pula, semua yang terkait dengan pers telah ditetapkan pembahasannya dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Melihat perkembangan aktivitas usaha media pers cetak di Indonesia, maka sejak tahun 2010 Dewan Pers melakukan Sertifikasi Standar Perusahaan Penerbitan Pers. Salah satu tujuan menetapkan standar perusahaan penerbitan pers, adalah untuk mewujudkan kemerdekaan pers yang profesional. Standar ini merupakan pedoman perusahaan penerbitan pers agar mampu menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial, serta sebagai lembaga ekonomi
32
Standar yang diterapkan Dewan Pers (2010 :53), bahwa untuk persyaratan mendirikan perusahaan penerbitan pers di Indonesia harus memenuhi beberapa ketentuan, sebagai berikut : 1. Yang dimaksud perusahaan pers adalah badan hukum Indonesia yang menyelenggarakan usaha pers meliputi perusahaan media cetak, media elektronik, dan kantor berita, serta perusahaan media lainnya yang secara khusus menyelenggarakan, menyiarkan, atau menyalurkan informasi. 2. Perusahaan pers berbadan hukum perseroan terbatas dan badan-badan hukum yang dibentuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 3. Perusahaan pers harus mendapat pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM atau instansi lain yang berwenang. 4. Perusahaan pers memiliki komitmen untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. 5. Perusahaan pers memiliki modal dasar sekurang-kurangnya sebesar Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) atau ditentukan oleh Peraturan Dewan Pers. 6. Perusahaan pers memiliki kemampuan keuangan yang cukup untuk menjalankan kegiatan perusahaan secara teratur sekurangkurangnya selama 6 (enam) bulan. 7. Penambahan modal asing pada perusahaan pers media cetak dilakukan melalui pasar modal dan tidak boleh mencapai mayoritas, untuk media penyiaran tidak boleh lebih dari 20 % dari seluruh modal. E. Pelanggaran Perusahaan Pers. Dalam memaparkan pelanggaran perusahaan penerbitan media pers dan perusahaan percetakan di Kota Makassar, penulis didukung beberapa data penerbitan
media pers yang diterbitkan
tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Banyak perusahaan penerbitan pers di Kawasan Timur Indonesia menerbitkan surat kabar atau majalah tanpa mencantumkan nama dan alamat percetakan pers sebagaimana amanat Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Dengan demikian, antara
33
perusahaan percetakan pers dengan perusahaan media pers samasama tidak mematuhi amanat Undang-Undang tersebut. Melihat perkembangan usaha media pers di tanah air tanpa kendali dan tidak lagi mengutamakan kualitas, profesional, mapan dan mandiri, terutama penegakkan netralitas dalam berbagai kepentingan, sehingga Tarman Azzam, Ketua Umum Persatuan Wartawan
Indonesia
periode
2005
–
2009
menyampaikan
kekhawatirannya. Menurut Tarman Azzam (2008 : 05), bahwa : “Masyarakat pers harus mampu mengatur diri sendiri dengan menghormati standar profesi dan ketentuan hukum agar tidak terjadinya campur tangan pihak lain terhadap perikehidupan pers nasional, terutama harus terhindar dari intervensi kekuasaan pemerintah maupun publik yang anarkis. Sudah tentu, pers harus memperhatikan kepentingan nasional. Hal ini menjadi tantangan terbesar bagi para pengelola pers nasional.” Sebagaimana Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, secara tegas mengatur dan sekaligus menegaskan sanksi pidana bagi perusahaan pers, sebagai berikut : “Perusahaan Pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.” Dalam penjelasan pasal demi pasal Undang-Undang Republik Indonesia nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, untuk Pasal 12 huruf a dijelaskan bahwa Pengumuman secara terbuka dilakukan dengan cara : “Media cetak memuat kolom nama, alamat, dan penanggung jawab penerbitan, serta nama dan alamat percetakan. Pengumuman tersebut dimaksudkan sebagai wujud pertanggungjawaban atas karya jurnalistik yang diterbitkan atau 34
disiarkan. Yang dimaksud dengan penanggung jawab, adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi. Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana, menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku.” Perusahaan pers yang tidak mengindahkan ketentuan ini, akan diancaman hukuman atau sanksi pidana yang tercantum dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yaitu: “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupia)”. Pelanggaran tersebut, jelas harus dipertanggungjawabkan oleh seluruh
perusahaan
penerbitan
pers,
dan
atau
perusahaan
percetakan pers. Khusus yang telah berbadan hukum, seperti perseroan terbatas (pt), mutlak harus melaksanakan seluruh kewajibannya. Muladi dan Dwidja Priyatno (Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, 2010 : 31) menjelaskan bahwa : “Perseroan terbatas atau PT adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya (lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). Pengertian Korporasi di dalam hukum pidana sebagai ius constituendum dapat dijumpai dalam Konsep Rancangan KUHP Baru Buku I 2004 – 2005 Pasal 182 yang menyatakan, Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dan dari orang dan / atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.” Kesimpulannya,
pelanggaran
yang
dilakukan
percetakan
penerbitan pers dan percetakan umum lainnya, seperti usaha printing, tetap harus memenuhi ketentuan hukum pidana. Misalnya, ketika menyangkut pertanggungjawaban pidana atas karya jurnalistik 35
atau akibat karya jurnalistik, maka sistem pertanggung jawabannya adalah sistem pertanggung jawaban fiktif dan suksektif. Disebut fiktif, karena walaupun persangkaan atau dugaan tindak pidana atau perbuatan pidana dilakukan seorang reporter atau seorang redaktur, mereka tidak dapat dikenakan tuduhan, karena pertanggung jawabnya sudah diambil alih oleh pihak lain, yaitu nama penanggung jawab yang dicantumkan sebagai penanggung jawab. Oleh karena itu, apabila ada dugaan atau perasangka adanya tindak pidana atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh sebuah perusahaan pers, maka yang harus menjalaninya bukan reporter, redaktur atau pembuat
berita
dibebankan
yang
kepada
penanggung
jawab.
membuat
kesalahan
itu.
Bukan
juga
perusahaan,
melainkan
ditanggung
oleh
Itulah
sebabnya
dalam
sistem
pertanggungjawaban pers disebut sistem pertanggungjawaban fiktif dan suksektif. Pers dalam melakukan aktivitasnya,
senantiasa tetap
berada di garis tidak berpihak, atau menegakkan netralitas dalam setiap pnerbitannya. Artinya, pers tetap sebagai jurnalis yang menegakkan keindependensinya, supremasi hukum, Hak Asasi Manusia,
profesional, mapan, mandiri dan bermoral.
Dewan Pers (2008 : 110) menetapkan Beberapa pasal menyangkut kenetralitasan pers Indonesia, antara lain : “Pasal 1:
Wartawan Indonesia bersikap independen menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.
36
Penafsiran: a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers. b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi. c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan yang setara. d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain. “Pasal 2:
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.
Penafsiran: Cara-cara yang profesional adalah: a. b. c. d. e.
Menunjukkan identitas diri kepada narasumber; Menghormati hak-hak privasi; Tidak menyuap; Menghasilkan berita yang faktual dan jelas narasumbernya; Rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tantang sumber dan ditampilkan secara berimbang; f. Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara; g. Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri; h. Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik. “Pasal 3:
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.
Penafsiran: a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu. b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional. c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta. d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.
37
“Pasal 8:
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.
Penafsiran: a. b.
Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas. Diskrimiasi adalah pembedaan perlakuan.
“Pasal 11:
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.
Penafsiran: a.
b.
c.
Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan sama baiknya. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.
Sebagai pers yang independen dan profesional, peran dan kepeduliannya senantiasa dituntut oleh masyarakat dan semua pihak yang berkepentingan, agar dalam menyajikan pemberitaannya benarbenar tidak berpihak, terutama di ranah politik. Peranan pers dalam setiap penyelenggaraan Pemilihan Umum (PEMILU) untuk Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan anggota Legislatif, atau pun Pemilihan Umum Kepala Daerah (PEMILUKADA) di setiap provinsi atau pun di kabupaten kota, harus turut menjaga stabilitas keamanan di daerah. Demikian pula, pers harus dapat menghindari para provokator yang memiliki kepentingan politik. Pers juga harus dapat “mendinginkan” setiap terjadi konflik kepentingan dalam setiap penyelenggaraan Pemilukada di daerah masing-masing. 38
Seperti dalam Pernyataan Dewan Pers Nomor 31/P-DP/V/2005 tentang PERS dan PILKADA 2005 (Dewan Pers Periode, 2010 : 119) bahwa : Komunitas pers, agar menyosialisasikan terlaksananya Pilkada yang jujur, adil, dan damai, dengan cara menyebarkan informasi dan menghasilkan karya jurnalistik yang selalu berpegang pada prinsip jurnalisme yang profesional dan beretika. Berkaitan dengan itu, Dewan Pers perlu menyampaikan kapada komunitas pers – dan masyarakat pada umumnya – hal-hal sebagai berikut: 1. Pers bakal menjadi salah satu sarana kampanye dan ajang pertarungan pendapat bagi para calon kepala daerah, untuk mempengaruhi dan merebut simpati pemilih. Oleh karena itu, pers perlu memainkan peran sabagai sarana politik yang baik. Pers harus menjaga independensi dan sikap kritis, tidak terjebak menjadi alat kampanye pihak-pihak yang berkompetisi, apalagi menjadi sarana kampanye negatif. Pers patut memilih informasi dan materi kampanye dengan orientasi membangun proses pilkada yang aman dan tertib, dengan mengedepankan prinsip jurnalisme damai. 2. Wartawan dituntut untuk selalu bersikap adil, seimbang, dan independen. Oleh karena itu, bagi wartawan yang tercatat mencalonkan, dan atau melibatkan diri dalam Pilkada wajib menegaskan posisinya dan menyatakan mengundurkan diri atau non-aktif sabagai wartawan. Hal ini untuk menghindari adanya perbenturan kepentingan (conflict of interest) dan pelanggaran prinsip etika jurnalisme. Prinsip ini juga berlaku bagi wartawan yang secara individu maupun kelompok menjadi “Tim Sukses” calon Kepala Daerah yang ikut Pilkada. 3. Dewan Pers menghimbau, agar masyarakat aktif memantau kinerja media dalam peliputan Pilkada. Jika masyarakat melihat terjadinya bias pers, pemberitaan media yang memihak secara terang-terangan, atau penyalahgunaan profesi wartawan, maka masyarakat jangan ragu untuk mengingatkan media bersangkutan, atau mengadu ke Dewan Pers. Begitu besarnya pengaruh pers terhadap berbagai bentuk aktivitas kehidupan, sehingga peminatnya pun bermunculan di seluruh ibukota provinsi dan kabupaten kota lainnya.
Bisnis
perusahaan penerbitan pers dan percetakan pers, makin berkembang setelah memasuki era reformasi. Bahkan hingga
39
kini, percetakan melaju pesat, terutama percetakan surat kabar mingguan, dan atau surat kabar yang tidak jelas periode terbitnya. Sekalipun beberapa pasal dalam Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah memberi fasilitas, yakni kesempatan luas terhadap warga negara Indonesia untuk mendirikan perusahaan penerbitan pers, tetapi tetap tunduk dan memenuhi berbagai persyaratan. Salah satunya adalah harus berbentuk badan hukum. Berbagai prilaku pengusaha penerbit media pers dalam berbisnis surat kabar, maupun majalah yang tidak mengindahkan atau tanpa mempedulikan adanya sejumlah larangan dalam undang-undang. Sebagaimana data penulis peroleh, pelanggaran yang dilakukan perusahaan penerbitan atau usaha percetakan, antara lain : 1. Tidak berbadan hukum dari penetapan dari Kementerian Hukum dan HAM. 2. Tidak memiliki berbagai bentuk legalitas, seperti; 2.1.
Surat Izin Usaha Penempatan (SIUP)
2.2.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
2.3.
Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP)
3. Tidak jelas alamat kantor redaksi dan pemasaran. 4. Tidak mencantumkan alamat percetakan. 5. Sangat bebas mencetak surat kabar, majalah, dan atau jenisjenis cetakan dengan menggunakan mesin printing, seperti
40
untuk baliho, spanduk, poster, branding di kendaraan beroda empat ke atas, dan lain sebagainya. Akibat begitu pesatnya perkembangan dan persaingan bisnis percetakan pers dan usaha percetakan printing, maka tidak terkendali pertumbuhan berbagai perusahaan yang sama sekali tidak diawasi persyaratan perizinannya. Pelanggaran suatu perusahaan penerbitan atau percetakan di era kebebasan dan kemerdekaan pers di Indonesia, selain sebagai bentuk
penyalahgunaan undang-undang dan berbagai aturan
terkait, juga karena begitu cepatnya pergerakan bisnis komunikasi informasi dalam mengikuti modernisasi peralatan mesin cetak. Apalagi mesin-mesin cetak dan printing begitu mudahnya diperoleh dan murah, terutama buatan dari Negara China.
41
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian. Maksud dari lokasi penelitian adalah suatu tempat atau wilayah dilakukan penelitian tersebut untuk mendukung penulisan skripsi ini. Penulis menetapkan lokasi penelitian, antara lain di : 1. Pengadilan Negeri Kota Makassar. 2. Perusahaan Percetakan P.T. Fajar Utama Intermedia. 3. Kantor Pusat Persatuan Wartawan Indonesia di Jakarta. 4. Kantor Dewan Pers di Jakarta. 5. Kantor Penerbitan Media Pers Kelompok Group FAJAR di Jakarta. 6. Kantor Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Sulawesi Selatan di Makassar. Sebagian besar penelitian di lakukan di Kota Makassar, sebagai Kota Metropolitan yang memiliki ciri khas dan karakteristik tersendiri dalam kondisi tertentu memungkinkan terjadinya tindak pidana, khususnya melakukan tindak pidana Pasal 12 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers. B. Jenis dan Sumber Data Dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi untuk menunjang penelitian ini :
42
1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari bersumber pertama (responden) dengan cara wawancara dan/atau kuesioner terhadap sejumlah pemimpin redaksi di Sulawesi Selatan 2. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh berupa sumber-sumber tertentu, meliputi bahan-bahan pustaka, berupa hasil studi, peraturan
perundang-undangan,
buku-buku
pengetahuan,
makalah, dan sejumlah penerbitan media cetak, seperti surat kabar, majalah dan foto-foto hasil cetakan printing. C. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut : 1. Wawancara, yaitu penulis melakukan tanya jawab langsung terhadap responden yang kesehariannya memimpin media cetak, baik berupa surat kabar, maupun majalah. Wawancara dilakukan menyangkut hal-hal yang berhubungan dengan fokus kajian dalam penelitian ini, yakni tentang penerapan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. 2. Kuesioner, yaitu penulis menyebarkan daftar pertanyaan tertulis yang disusun secara sistematis yang ditujukan langsung kepada responden yang kesehariannya memimpin media cetak. D. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh, baik data primer maupun data sekunder, dianalisis secara kualitatif dan disajikan secara deskriptif dengan
43
memaparkan kondisi yang ada di lokasi penelitian, terutama yang ada hubungannya dengan aturan dalam acuan objek penelitian ini.
44
BAB IV PEMBAHASAN A. Pertanggungjawaban Atas Pelanggaran Pasal 12 Undang – Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sistem pertanggungjawaban pers memiliki keunikan sendiri. Menurut Wina Armada Sukardi (2012 : 195), bahwa : “ Jika menyangkut gugatan perdata, maka sistem pertanggungjawaban berlaku sistem pertanggungjawaban korporatif. Artinya, yang bertanggung jawab adalah badan hukum dari penerbitan pers. Dengan demikian, jika ada beban yang harus dibayar atas suatu gugatan, maka yang harus bertanggung jawab adalah perusahaan persnya. Tetapi, ketika menyangkut pertanggungjawaban pidana atas karya jurnalistik atau akibat karya jurnalistiknya, maka sistem pertanggungjawabannya adalah sistem pertanggungjawaban fiktif dan suksektif. Disebut fiktif, karena walaupun persangkaan atau dugaan tindak pidana atau perbuatan pidana dilakukan seorang reporter atau seorang redaktur, mereka tidak dapat dikenakan tuduhan karena pertanggungjawabannya sudah diambil alih oleh pihak lain, yaitu nama penanggung jawab yang dicantumkan sebagai penanggung jawab. Dengan demikian, maka ini pertanggungjawaban fiktif. Pihak yang melakukan tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan, melainkan diambil alih oleh pihak lain. Nah, pihak lain tersebut adalah orang yang ditunjuk oleh perusahaan pers sebagai penanggung jawab. Dalam hal ini, sistem pertanggungjawaban pidana akibat karya jurnalistik, pertama – tama diambil alih oleh perusahaan pers, tetapi bukan perusahaan pers yang kemudian bertanggung jawab, tetapi oleh perusahaan pers pertanggungjawaban itu dialihkan kepada penanggung jawab.” Uraian tersebut di atas menjelaskan bahwa apabila ada dugaan atau persangkaan adanya tindakan pidana atau perbuatan pidana yang dilakukan oleh sebuah perusahaan pers, maka yang harus menjalaninya bukan reporter, redaktur atau pembuat berita yang membuat kesalahan itu. Bukan juga dibebankan kepada perusahaan, melainkan ditanggung oleh penanggung jawab. Olehnya itu, dalam
45
sistem pertanggungjawaban pers disebut sistem pertanggungjawaban fiktif dan suksektif. Perusahaan pers diwajibkan oleh Undang-Undang Pers untuk mengumumkan nama penanggung jawab, karena menganut sistem pertanggungjawaban fiktif dan susektif.
Tanpa disebutnya nama
penanggung jawab dalam karya jurnalistik, akan menimbulkan kesulitan untuk menentukan yang harus menanggung beban tanggung jawab. Dalam terminologi Undang-Undang Pers yang lama, juga dalam tradisi pers, tanggung jawab itu biasanya dipegang oleh pemimpin radaksi atau chief editor . Sampai sekarang masih banyak perusahaan pers yang berpendapat semacam ini, sehingga tidak mencantumkan siapa penanggung jawabnya. Padahal dalam Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, pencantuman nama penanggung jawabnya merupakan suatu kewajiban dan tidak lagi memakai terminologi pemimpin redaksi, walaupun pemakaian istilah pemimpin redaksi tidak dilarang. Perubahan yang patut diperhatikan oleh penyelenggara perusahaan pers adalah adanya pergeseran dalam Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers bahwa pemimpin redaksi tidak lagi secara otomatis disamakan dengan penanggung jawab. Posisi pemimpin
redaksi
boleh
diletakan
di
mana
saja,
sepanjang
pencantuman penanggung jawab harus tetap diumumkan. Sebagaimana diketahui, bahwa
sebelum lahirnya Undang
Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, dikenal beberapa jabatan dalam perusahaan media cetak, seperti Pemimpin Umum, Pemimpin
46
Perusahaan dan Pemimpin Redaksi. Jabatan Pemimpin Umum, merupakan jabatan tertinggi dalam sebuah perusahaan media cetak. Dalam
operasional
sehari-hari,
biasanya
Pemimpin
Umum
mendelegasikan tugas-tugas internal perusahaan kepada Pemimpin perusahaan, hal itu apabila menyangkut pengelolaan manajemen keuangan, pemasaran iklan dan koran. Sedangkan bagi Pemimpin Redaksi
diberi
kewenangan
dan
bertanggung jawab terhadap
keseluruhan mekanisme dan hasil kerja di bidang keredaksian. Artinya, semua yang menyangkut tentang hasil kerja wartaran yang dimuat dalam media cetak, yakni surat kabar atau majalah, menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemimpin redaksi. Di era reformasi yang ditandai dengan lahirnya UndangUndang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, pengembangan pers cukup
signifikan.
Pihak
Pemerintah,
Telekomunikasi dan Informasi, Penerangan,
yakni
Kementerian
sebelumnya bernama Departemen
telah mengharuskan kepada semua penerbitan pers
yang berbadan hukum harus mendapat pengesahan dari Departemen Hukum
dan
HAM
atau
instansi
yang
berwenang.
Di
dalam
penyelenggaraan aktivitas penerbitan pers harus menggunakan istilah Komisaris dan Direksi. Tujuannya, agar jelas siapa pemilik dan pelaksana operasional. Mereka yang duduk di jajaran komisaris akan diketahui sebagai pemilik, dan atau orang tertentu yang sangat berpengaruh di dalam usaha penerbitan pers tersebut. Sementara di jajaran direksi dijabat orang-orang yang dalam kapasitasnya sehari-
47
hari memimpin bagian-bagian tertentu, seperti perusahaan, redaksi, produksi, pemasaran, keuangan, umum dan sumber daya manusia. Dalam keseharian aktivitas penerbitan media cetak, harus jelas personalnya yang bertanggung jawab di bidang masing-masing. Pembidangan ini harus dapat dilihat dan tertera dalam setiap edisi penerbitan. Sebagaimana ketentuan Pasal 12 dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers bahwa : “Perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan; khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan.” Menurut Priyambodo RH (2012 : 39) bahwa : “Sesuai dengan UU Pers, yang dimaksud dengan penanggung jawab Adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang Usaha dan bidang redaksi. Dalam posisi itu, penanggung jawab dianggap bertanggung jawab terhadap keseluruhan proses dan hasil produksi serta konsekuensi hukum perusahaan. Oleh karena itu, penanggungjawab harus memiliki pengalaman dan kompetensi wartawan setara dengan pemimpin redaksi.” Selanjutnya, seorang pemimpin redaksi dapat berfungsi sebagai penanggung jawab harian, dan atau mendelegasikan kepada salah seorang pimpinan bagian di redaksi. Misalnya, kepada wakil pemimpin redaksi atau diserahkan kepada salah seorang redaktur. Hal itu ditempuh karena jabatan pemimpin redaksi yang memiliki tanggung jawab penuh terhadap penerbitan pers. Seorang pemimpin redaksi menempati posisi strategis dalam perusahaan pers. Lagi pula,
pemimpin redaksi dapat
memberikan pengaruh yang besar terhadap tingkat profesionalitas pers. Oleh karena itu, pemimpin redaksi haruslah berada dalam jenjang status terhormat yang ditempatkan Dewan Pers sebagai “Wartawan Kompeten 48
Utama”. Penetapan itu berdasarkan hasil uji kompetensi wartawan yang dilakukan Dewan Pers melalui lembaga penguji sertifikasi. Pemimpin redaksi, adalah wartawan pada jenjang tertinggi dalam suatu perusahaan penerbitan pers. Dalam pada itu, pemimpin redaksi mempunyai pengalaman yang memadai. Oleh karena itu, seorang wartawan
yang
berpotensi
karena
kualitas,
profesional
dan
berpengalaman selayaknya diberi peluang untuk menduduki puncak karirnya di bidang keredaksian. Sebagaimana diutarakan oleh Priyambodo RH (2012 : 39) bahwa : “Seorang wartawan yang telah disertifikasi dan dinyatakan kompeten dan menyandang predikat sebagai wartawan utama oleh Dewan Pers, tidak boleh ada ketentuan yang bersifat diskriminatif dan melawan pertumbuhan alamiah yang menghalangi seseorang wartawan menjadi pemimpin redaksi. Wartawan yang dapat menjadi pemimpin redaksi ialah mereka yang telah memiliki kompetensi wartawan utama dan pengalaman kerja sebagai wartawan minimal 5 (lima) tahun.”
Dari uraian tersebut di atas, jelaslah, bahwa seorang pemimpin redaksi seharusnya juga sebagai penanggung jawab dalam penerbitan pers. Bilamana tanggung jawab itu didelegasikan lagi kepada salah seorang staf redaksi, haruslah jelas tertera dan diumumkan dalam setiap edisi penerbitan media yang bersangkutan, agar khalayak dapat mengetahui, terutama bilama terjadi delik pers atau kasus hukum lainnya. Dalam kaitannya dengan Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sangat jelas bahwa redaksilah yang memegang amanah untuk bertanggung jawab dalam setiap penerbitan pers. Olehnya
49
itu,
dalam
setiap
penerbitan
pers,
redaksi
harus
memuat
atau
mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka melalui media yang bersangkutan. Khusus untuk penerbitan pers ditambah nama dan alamat percetakan. Harapan itu diperjelas dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang yang diajukan pemerintah, sebagaimana ditulis Wina Armada Sukardi (2007 : 98) bahwa : “Untuk menghindari terjadinya dualisme kepemimpinan dalam perusahaan pers, pemimpin umum sebaiknya dijabat direktur utama atau ketua badan hukum perusahaan. Sedangkan pemimpin redaksi dijabat oleh anggota pengurus lainnya dalam badan hukum perusahaan. Ketentuan ini memberikan pertanggungjawaban penuh mengenai isi seluruh penerbitan pers kepada pemimpin redaksi. Kebebasan kolektif dalam hal ini, pelaksananya diwakili oleh satu atau dua wartawan atau karyawan pada lembaga media massa yang bersangkutan. Demikian pula pada tanggung jawab hukum bersifat kolektif, lazimnya diwakili oleh pemimpin redaksi.” Harapan tersebut di atas justru ditolak oleh Bambang Sadono, dari Fraksi Karya Pembangunan pada saat pembahasan rancangan undangundang pers ini yang akhirnya melahirkan Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Penolakan tersebut, lebih lanjut ditulis Wina Armada Sukardi (2007 : 99), bahwa : “Tidak dapat menerima apabila ada pelimpahan tanggung jawab hukum kepada pemimpin redaksi. Pendapat ini didasari kenyataan, jika pemimpin redaksi sedang ke luar negeri atau sakit dan ada berita yang menimbulkan masalah hukum, selama ini pemimpin redaksi harus yang paling bertanggung jawab, padahal dia tidak tahu menahu soal itu. Hal ini dinilai tidak adil dan menimbulkan masalah. Kalau ada gugutan lembaga, maka pengurus badan hukum yang akan mewakili lembaga itu. Tapi kalau kesalahan orang perorangan, maka hukum pidana yang berlaku. Jadi siapa yang bersalah itu yang harus bertanggung jawab.”
50
Sekalipun
demikian,
siapapun
yang
diberi
amanah
sebagai
penanggung jawab ke dalam dan ke luar, tetap harus kembali sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers yang masih berlaku. Isi penjelasan Pasal 12 soal penanggung jawab menegaskan bahwa : “yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah penanggung jawab perusahaan pers yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi.” Kemudian penjelasan Pasal 18 ayat (2) menegaskan bahwa : “dalam hal pelanggaran pidana yang dilakukan oleh perusahaan pers, maka perusahaan pers tersebut diwakili oleh penanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 12.” Dilihat isi penjelasan tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan penanggung jawab adalah : 1.
Penanggung jawab perusahaan pers;
2.
Penanggung jawab yang meliputi bidang usaha dan bidang redaksi;
3.
Penanggung
jawab
mewakili
perusahaan
dalam
kasus
pelanggaran pidana.
Menurut Wina Armada Sukardi (2007 : 118) bahwa : “Perusahaan pers sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (2) Undang Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah badan hukum Indonesia. Berdasarkan hukum Indonesia, untuk perusahaan berbadan Hukum penanggung jawabnya adalah pengurus perusahaan tersebut. Jika perusahaan berbentuk Perseroan Terbatas (PT) sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan, maka pengurusnya adalah direksinya, sehingga direksi inilah yang menjadi penanggung jawab. Direksi atau pengurus badan hukum mewakili perusahaan ke dalam dan ke luar. Artinya, pengurus atau dereksi 51
merupakan penanggung jawab terhadap seluruh aktivitas perusahaan. Tanggung jawab itu ada di pundak mereka, karena mereka adalah pengendali perusahaan atas badan hukum. Ketentuan ini memang cocok dengan isi penjelasan resmi pasal 18 ayat (2) yang menegaskan dalam masalah pidana perusahaan pers diwakili oleh penanggung jawab. Ini juga sesuai dengan isi penjelasan resmi pasal 12 yang menyebut penanggung jawab adalah penanggung jawab pers yang meliputi bidang usaha dan redaksi.” Lebih jauh dijelaskan Wina Armada Sukardi (2007 : 119) bahwa : “pengurus badan usaha atau direksi harus bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan perusahaan pers, termasuk dampak hukum dari berita yang muncul. Kendati pun mungkin di jajaran direksi perusahaan pers yang bersangkutan tidak terlibat atau tidak memahami isi berita yang disiarkan. Termasuk berita-berita yang ditulis oleh para wartawan dengan pencantuman nama penulisnya (by line) tetap menjadi tanggung jawab penanggung jawab perusahaan pers dan bukan si penulis berita itu. Apabila kebetulan pemimpin redaksinya merangkap sebagai salah satu direksi (misalnya direktur pemberitaan, tidak akan menjadi masalah.” Hasil penelitian penulis pada 20 – 28 Juni 2012 di PT. Media FAJAR yang menerbitkan surat kabar Harian FAJAR di Makassar, di mana pada jajaran direksi terdapat 2 (dua) nama berasal dari redaksi yang diangkat sebagai direktur produksi yang membidangi beberapa bagian dalam perusahaan dan sekaligus menjabat sebagai pemimpin redaksi yang juga ditetapkan
sebagai
penanggung
jawab
sehari-hari.
Misalnya,
Syukriansyah Latief sebagai Direktur dan juga sebagai Pemimpin Redaksi yang bertanggung jawab terhadap setiap edisi penerbitan di Harian FAJAR. Selanjutnya diangkat pula Faisal Syam sebagai Wakil Direktur, Wakil Pemimpin Redaksi dan sekaligus sebagai Wakil Penanggung Jawab Harian. Dengan demikian, misalnya, apabila P.T. Media Fajar yang menerbitkan surat kabar Harian Fajar melakukan pelanggaran terhadap
52
Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, maka yang harus bertanggung adalah Syukriansyah Latief yang menerima jabatan Direktur membidangi usaha dan keredaksian. B. Penerapan Hukum Atas Pelanggaran Pasal 12 Undang – Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Sejauhmana penerapan dan sanksi hukum terhadap media cetak yang melanggar pasal 12 Undang-Undang
nomor 40 tahun
1999 tentang Pers, terlebih dahulu perlu pembahasan lebih lanjut atas hasil penelitian terhadap 30 (tiga puluh) media cetak yang terbit di Kawasan Timur Indonesia dan beberapa dari Ibu Kota Jakarta. Penelitian
difokuskan
terhadap
media
cetak
yang
melakukan
pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tersebut. Dari 30 (tiga puluh) media cetak yang terbit dan beredar luas di Kawasan Timur Indonesia dan Jakarta, penulis membagi dengan 3 (tiga) jenis kriteria, yaitu : 1. Media cetak yang memuat sepenuhnya ketentuan Pasal 12; 2. Media cetak yang hanya memuat sebagian, yaitu hanya kolom nama, alamat, dan penanggung jawab penerbit, namun tidak memuat nama dan alamat percetakan tempat media tersebut dicetak; 3. Media cetak yang sama sekali tidak memuat seluruh ketentuan Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
53
Berikut ini diuraikan hasil penelitian penelitian terhadap 18 (delapan belas) media cetak di Provinsi Sulawesi Selatan atas pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Penelitian Terhadap 18 Media Pers di Sulawesi Selatan Menyangkut Pasal 12 Undang - Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Melanggar Keseluruhan 25%
Mematuhi Keseluruhan 11%
64%
Sebagian Mematuhi, sebagian Melanggar
Pada grafik tersebut di atas, dapat diketahui jumlah media yang tidak memenuhi ketentuan tentuan Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun ahun 1999 tentang Pers, ternyata cukup signifikan signifikan perbedaannya satu sama lain. lain Media Pers yang melakukan pelanggaran sebesar 64 %. Sedangkan yang memenuhi keseluruhan ketentuan undang-undang undang undang sebanyak 11 %, dan terakhir yang hanya memenuhi sebagian aturan tersebut sebanyak 25 %. Kondisi seperti ini membuktikan, bahwa kondisi kehidupan pers di era setelah reformasi tidak sepenuhnya sepenuhnya tunduk terhadap Pasal 12 Undang UndangUndang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sekalipun diancam sanksi sank pidana dan atau denda Rp. R 100.000.000.00 (seratus ratus juta rupiah).
54
Lebih jauh tentang media pers di Kawasan Timur Indonesia, b berikut ini diuraikan periode de terbit dan jumlah surat kabar yang beredar di Provinsi Sulawesi Selatan.
Jumlah Media Cetak Di SulSel
22%
Harian 17 Media
42% Mingguan 26 Media Bulanan 31 Media 36%
Keterangan Jumlah dan Periode Terbit : 1. Harian : 17 Media 2. Mingguan : 26 Media 3. Bulanan : 31 Media Jumlah : 74 Media (tujuh puluh empat media)
Sumber Dewan Pers, 13 – 19 Juni
2010
Pembahasan tentang penerapan sanksi Pidana atau sanksi lainnya terhadap media pers yang melalukan pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, pada tanggal 19 April – 06 Oktober 2012 2012, penulis melakukan penelitian dan melakukan pendataan di masing-masing masing : 1. Kantor Dewan Pers, di Jakarta; 2. Kantor Perwakilan Media Medi Pers FAJAR Group di Jakarta; 3. Kantor Pengadilan Negeri Makassar, di Makassar; 4. Kantor Sekretariat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Sulawesi Selatan di Makassar; 55
5. Kantor PT. Media FAJAR (Harian FAJAR) di Makassar, dan 6. Kantor Percetakan PT. FAJAR Utama Intermedia (FUI) di Makassar. Dari hasil penelitian dan pengumpulan data tersebut, ternyata baik Dewan Pers maupun Pengadilan Negeri Makassar tidak pernah menjatuhkan sanksi atau hukuman terhadap penanggung jawab media pers yang melanggar Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Berbagai alasan disampaikan oleh kedua lembaga tersebut adalah akibat tidak diterapkannya aturan ini, yakni : a. Dewan Pers bukan lembaga yang menerapkan sanksi atau menghukum media pers, sebagaimana tidak ditemukan satupun pasal di dalam UU Pers yang memberi kewenangan itu. b. Pengadilan Negeri Makassar tidak pernah menerima pelimpahan kasus pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers dari pihak kepolisian. c. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Serikat Surat Kabar (SPS) Cabang Sulawesi Selatan tidak pernah memberi sanksi atau menghukum seorang penanggung jawab dan
perusahaan pers,
karena pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tidak memberi kewenangan terhadap kedua organisasi itu. Atas kelemahan ini, baik Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia dan komponen pers lainnya, seharusnya difasilitasi suatu regulasi atau ketentuan tentang kewenangan dalam pemberian sanksi
56
atau hukuman terhadap pers yang melakukan pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tersebut. Selama ini, peran Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia dan Serikat Penerbit Surat Kabar hanya sebatas memanggil, menegur dan mengeluarkan
rekomendasi
atas
kesalahan
media
pers.
Seperti
diketahui, bahwa pelanggaran media pers terhadap Pasal 12 UndangUndang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers itu yang pada akhirnya ditanggung kembali kepada perusahaan media pers tersebut, namun kenyataannya, sanksi itu tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Salah satu kenyataan tidak terlaksanakannya sanksi Pasal 12 tersebut, karena lembaga-lembaga atau organisasi pers di Indonesia tidak dibekali kewenangan menjatuhkan sanksi. Kenyataan ini dialami oleh 12 (dua belas) komponen pers yang erat hubungannya dengan kehidupan pers di Indonesia. Sanksi tidak saja berbentuk hukuman, tetapi minimal berupa rekomendasi untuk tidak memperkenankan media pers tersebut beroperasi. Pada akhirnya, rekomendasi tersebut oleh lembaga hukum, seperti Kehakiman akan menjadikan alasan untuk menutup perusahaan pers tersebut. Ke dua belas komponen pers itu adalah : 1. Dewan Pers; 2. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI); 3. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 4. Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) 5. Aliansi Jurnalis Indipenden (AJI)
57
6. Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) 7. Serikat Pemerhati Surat Kabar (SPS) 8. Serikat Grafika Pers (SGP) 9. Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) 10. Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) 11. Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) 12. Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI). Hasil penelitian penulis terhadap media pers di Kawasan Timur Indonesia dan beberapa dari Ibu Kota Jakarta, diperoleh data atas banyaknya yang melakukan pelanggaran terhadap Pasal 12 UndangUndang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Namun sayangnya, hingga pembuatan skripsi ini penulis lakukan, tidak satu pun pelanggaran perusahaan media pers itu diproses sebagaimana hukum yang berlaku. Baik sanksi dari Dewan Pers, maupun dari pihak yang berwajib. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa ancaman hukuman yang tertera dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers menjelaskan sebagai berikut : “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 12 dipidana dengan Pidana denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).” Ancaman hukuman tersebut hanya berlaku khusus untuk ketentuan yang tertera dalam Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, sehingga pihak Kepolisian tidak pernah memprosesnya, kanrena tidak ada laporan, pengaduan, ataupun keberatan dari pihak merasa dirugikan dengan tidak mengindahkan ketentuan ini. Sebenarnya,
58
dapat saja diproses pihak kepolisian, sekalipun tidak ada keberatan ataupun laporan dari masyarakat, ketentuan hukum tersebut harus tetap ditegakkan. Polisi harus tegas, lebih peduli dan cermat pengikuti setiap pelanggaran tersebut. Ketegasan dan kepastian hukum itu perlu, karena ketentuan ini bukan delik aduan yang harus menggunakan pasal-pasal lainnya dalam Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dan atau yang terkait dengan KUHP. Sebenarnya, jikalau menyangkut pelanggaran Pasal 12 UndangUndang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers ini perlu ditegakkan, maka yang terlebih dahulu diberi kewenangan adalah kepada Dewan Pers. Seyogianya, Dewan Pers harus tegas dan benar-benar berfungsi sebagai wakil dari negara, sebelum ditangani pihak kepolisian. Kewenangan ini sangat beralasan, karena keberadaan Dewan Pers selain dibentuk oleh undang-undang, juga aktivitasnya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Sebagaimana amanah yang tertera dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, bahwa Dewan Pers dapat memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian
pengaduan
masyarakat
atas
kasus-kasus
yang
berhubungan dengan pemberitaan pers. Seharusnya, kewenangan tersebut dilengkapi dengan pemberian sanksi. Atau setidaknya, Dewan Pers dapat melanjutkan dengan menyerahkannya kepada kepolisian untuk penegakkan hukum selanjutnya. Namun sayangnya, setelah penulis melakukan penelitian di Dewan Pers Jakarta dan Pengadilan Negeri di Makassar, ternyata baik Dewan Pers, maupun pihak yang berwajib, hanya 59
berfungsi sebaga fasilitator bilamana terjadi pelanggaran media pers. Baik menyangkut delik pers, maupun berupa keberatan-keberatan dari masyarakat pembaca. Dewan Pers dibentuk berdasarkan Pasal 15
Undang-Undang
nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Salah satu tujuan dibentuknya Dewan Pers,
adalah
untuk
mengembangkan
kemerdekaan
pers
dan
meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional. Fungsi Dewan Pers pada penerapan pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers tertera pada Pasal 15 huruf “d”, yaitu : “Memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubungan dengan pemberitaan pers”. Hal ini sudah sesuai dengan fungsi yang digariskan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 untuk membentuk Dewan Pers. Sebagai fungsi maksimal Dewan Pers, diperlukan untuk memfasilitasi sarana kemerdekaan pers, yaitu sebagai salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis”. Sebagai bahan dan data untuk mendukung penelitian terhadap berbagai media, penulis lakukan interviu melalui kuesioner. Hal demikian sekaligus untuk mendapatkan gambaran bahwa ada tidaknya kebebasan yang terbuka luas bagi orang tertentu dalam menerbitkan media cetak tanpa dilandasi dengan pemahaman dan ketentuan hukum yang berlaku. Berikut ini penulis paparkan hasil interviu dan kuesioner terhadap 30 orang pemimpin redaksi media cetak.
60
Media cetak yang berhasil penulis hubungi sebagai responden, adalah 30 (tiga puluh) pemimpin redaksi di Kawasan Timur Indonesia, yaitu : 1. M. Faisal Syam, Kepala Redaksi Harian FAJAR Makassar; 2. Mustawa Nur, S.H., M.H., Pemimpin Redaksi Harian Berita Kota Makassar; 3. Salim Djati Mamma, Pemimpin Redaksi Harian Ujungpandang Ekspres, Makassar; 4. Subhan Yusuf, Pemimpin Redaksi Harian Rakyat SulSel, Makassar; 5. Faisal Palapa, Pemimpin Redaksi Harian Pare Post, Pare Pare; 6. Amran Sayuti, Pemimpin Redaksi Harian Palopo Post, Kota Palopo; 7. Muh. Bachtiar, Pemimpin Redaksi Harian Radar Bone, Kabupaten Bone; 8. Zainuddin Saleha, Pemimpin Redaksi Harian Radar Bulukumba, Kabupaten Bulukumba; 9. Naskah M. Nabhan, Pemimpin Redaksi Harian Radar Sulbar, Provinsi Sulawesi Barat; 10. Kristina, Pemimpin Redaksi Mingguan Radar Kaltim, Kota Balikpapan, Provinsi Kalimantan Timur; 11. Milwan Lukman, Pemimpin Redaksi Harian Kendari Post, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara; 12. Yunita, Pemimpin Redaksi Radar Palu, Kota Palu, Sulawesi Tengah; 13. Machfud Waliulu. Pemimpin Redaksi Harian Ambon Ekspres, Kota Ambon, provinsi Maluku;
61
14. Mahdar, Pemimpin Redaksi Harian Kendari Ekspres, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara; 15. Mustafa Kupung, Pemimpin Redaksi Mingguan Negarawan, DKI Jakarta; 16. Ahmad Ibrahim, Pemimpin Redaksi Harian Radar Ambon, Kota Ambon, Provinsi Maluku; 17. Ramli Akhmad, Pemimpin Redaksi Harian Radar Buton, Kabupaten Bau-Bau, Provinsi Sulawesi Tenggara; 18. Simon Petrus, Pemimpin Redaksi Harian Timor Ekspres, Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur; 19. Nurhayana Kamar, Pemimpin Redaksi Harian Fajar Pendidikan, Kota Makassar, Sulawesi Selatan; 20. M. Anwar Sanusi, Pemimpin Redaksi Mingguan Makassar Pena, Kota Makassar, Sulawesi Selatan; 21. Hasan Kuba, Pemimpin Redaksi Mingguan Tabloid Lintas, Kota Makassar, Sulawesi Selatan; 22. Asnawin, Pemimpin Redaksi Mingguan Tabloid Almamater, Kota Makassar, Sulawesi Selatan; 23. A. Baso Tenri Gowa, Pemimpin Redaksi Mingguan Tabloid Komando Plus, Kota Makassar, Sulawesi Selatan; 24. Rifai Manangkasi, Pemimpin Redaksi Mingguan Tabloid Borgol, Kota Makassar, Sulawesi Selatan;l 25. Gunt Sumedi, Pemimpin Redaksi Mingguan Polemaju Pratama, Kota Makassar, Sulawesi Selatan;
62
26. Annas Dahlan, Pemimpin Redaksi Mingguan Transparansi Indonesia, Indonesia Kota Makassar, assar, Sulawesi Selatan. 27. Mufti Hendrawan, Pemimpin Redaksi Majalah Halo Polisi Polisi, Kota Makassar, Sulawesi Selatan; 28. Elvianus Kawengian, SH, Pemimpin Redaksi SKU “Pedoman” “Pedoman”, Kota Makassar; 29. Kristhine, Direktur Surat Kabar “Info Kaltim”,, Kota Balikpapan; 30. M. Rapsell Alie, Direktur Tabloid Mingguan “IBU “ & ANAK”, ”, Jakarta.
Berikut ini dipaparkan hasil penelitian terhadap 30 (tiga puluh) perusahaan media pers yang tersebar di Kawasan Timur Indonesia, dan sebagian terbit di Ibu Kota Jakarta. Wilayah ilayah Terbit 30 Media Pers
40%
Dalam Sulawesi Selatan 60%
Luar Sulawesi Selatan
Keterangan : -
18 (60 %) Perusahaan Media Responden terbit dalam Provinsi Sulawesi awesi Selatan.
-
12 (40) Perusahaan Media Responden tertbit di luar luar Provinsi Sulawesi awesi Selatan.
63
Periode terbit 30 Media milik Responden
100% 80%
Harian, 56.66
60% Keterangan :
40%
-
Surat Kabar Responden TerbitMingguan, Harian = 17 Media (56,66 %) 43.3
-
Surat Kabar Responden Terbit Mingguan = 13 Media (43,33 %)
20% 0%
Sebanyak 30 media pers hasil kuesioner yang periode terbitnya Harian sebanyak 17 perusahaan (56,66 %). Sedangkan periode terbit Mingguan sebanyak 13 perusahan (43,33 %). Perkembangan media pers pers setelah reformasi, ternyata dari hasil penelitian di Dewan Pers Jakarta, didominasi oled edisi mingguan, terutama di Sulawesi Selatan. Respons
balik
dan
pernyataan
tertulis
dari
sejumlah
Responden/Pemimpin Redaksi media cetak FAJAR Group dan Anggota PWI Sulawesi Selatan yang berhasil penulis hubungi diurai dalam bentuk grafik. Pertanyaan tentang Perlu Tidaknya Mengamademen UU No. 40 tahun 1999 tentang pers. 10%
Setuju. 23%
Dipertahankan. 67%
Terserah.
64
Dari jawaban atas pertanyaan tersebut di atas (67 %),, ternyata mayoritas menyetujui dilakukan amandemen terhadap Undang Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Alasan mereka karena sangat lemahnya pengawasan, pengawasan, dan atau tidak adanya ketegasan dari pihak pihak-pihak yang telah diberi kewenangan berdasarkan undang-undang undang undang untu untuk menegakkan hukum di Indonesia.
Pertanyaan tentang Perlu Tidaknya Penerapan Pasal 12 2% 17% Masih Perlu Perketat Aturan Diabaikan 81%
Pertanyaan tentang Perlu Tidaknya Diperberat Sanksi Pelanggaran Pasal 12 3% 15% Perlu Tegas Perlunak 82%
Abaikan
65
Penerapan Pasal 12 Undang-Undang 40 tahun 1999 tentang Pers tidak diindahkan oleh media pers tersebut di atas (82 %), oleh karena : 1. Pengawasan lemah; 2. Belum pernah terjadi penegakkan sanksi dari aparat hukum; 3. Disepelehkan, baik penegak hukum, maupun media pers;
66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1) Berdasarkan hasil penelitian terhadap penerapan dan penegakkan hukum atas pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun
1999
tentang
Pers,
dipertanggungjawabkan
oleh
pertanggungjawab perusahaan
media
pidana
tetap
pers
yang
bersangkutan. Hal itu karena hukumannya hanya berupa denda, dan bukan hukuman badan. Jadi, sekalipun penanggung jawab tersebut telah didelegasikan atau diberikan kepada seseorang, maka atas ketentuan pasal tersebut, tetap perusahaan media pers yang akan menanggung hukuman itu, yaitu berupa denda sebesar Rp. 100.000.000.00 (seratus juta rupiah). Kondisi ini sesuai dengan kenyataan, bahwa usaha media pers adalah pekerjaan kolektif yang dikerjakan secara bersama-sama. Sekalipun telah ditunjuk atau diangkat seseorang sebagai penanggung jawab ke dalam dan ke luar. 2) Ancaman hukuman atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12 Undang-Undang
nomor
40
tahun
1999
tentang
Pers
dipertanggungjawabkan oleh seorang yang ditunjuk sebagai penanggung jawab ke luar (eksternal), namun untuk penjatuhan sanksi
berupa
denda
sebesar
Rp.
100.000.000.00
tetap
dibebankan kepada perusahaan media bersangkutan, karena
67
bukan hukuman badan sebagaimana lazimnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) 3) Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers bukan delik aduan. Sekalipun demikian, hasil penelitian di Pengadilan Negeri Makassar, ternyata pihak penegak hukum sama sekali tidak pernah melakukan atau memproses setiap pelanggaran Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Demikian pula hal serupa, tidak pernah terjadi di Dewan Pers menjatuhkan sanksi denda Rp. 100.000.000.00 kepada penerbit yang melanggar ketentuan ini. 4) Hasil penelitian terhadap 30 (tiga puluh) pemimpin media pers di Kawasan Timur Indonesia dan sebagian dari Ibu Kota Jakarta atas pandangan mereka terhadap Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Mereka tetap mengharapkan agar pasal tersebut tetap dipertahankan, dan malah diminta untuk dipertegas. 5) Pihak
Kepolisian
dengan
Dewan
Pers
harus
bekerjasama
menegakkan Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers; 6) Faktor yang melatarbelakangi terjadinya pelanggaran terhadap Pasal 12 Undang-Undang Nomor 40 tahun1999 tentang Pers, oleh karena : a. Kurangnya pemahaman; b. Kurangnya perhatian; c. Tidak pernah ada kasus diproses di pengadilan;
68
d. Penerbit tidak merasa takut. 7) Upaya dalam menanggulangi pelanggaran Pasal 12 UndangUndang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yaitu : a. Sosialisasikan terus menerus terhadap semua lembaga terkait, khususnya terhadap media pers masing-masing, baik di tingkat nasional, maupun di daerah provinsi, kabupaten dan kota. b. Tindakan represif dari PWI, SPS, Dewan Pers, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan, guna menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat pers dengan cara melakukan penyuluhan dan
dengan
melibatkan
masyarakat
luas
dalam
upaya
menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab masing-masing. B. Saran a. Dewan Pers dan Kepolisian harus diberi kewenangan untuk memberi sanksi administratif terhadap pers yang melanggar pasalpasal apapun dalam Undang-Undang
nomor 40 tahun 1999
tentang Pers. Misalnya, menarik atau membatalkan keanggotaan pers masing-masing, serta melanjutkan proses hukum kepada pihak kepolisian.. b. Kepolisian harus konsisten atas kewenangan yang ditegaskan oleh Pasal 12 Undang-Undang nomor 40 tahun 1999, baik untuk penuntutan hukum, maupun pemidanaan. Aturan hukum harus ditegakkan sebaik mungkin, sesuai dengan peruntukkannya, tanpa pilih kasih.
69
c. Kementerian Hukum dan HAM harus tegas dan selektif dalam memberikan atau mengeluarkan persetujuan akta notaris terhadap perusahaan pers, terutama dalam perpanjangan izin perusahaan media pers.
70
DAFTAR PUSTAKA A. Buku.
Abdulkadir, Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, Cetakan keempat, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Bambang Waluyo, 2008, Pidana dan Pemidanaan, Cetakan ketiga, Jakarta, PT Sinar Grafika. Dewan Pers, 2010, Standar Kompetensi Wartawan, Cetakan kedua, Jakarta, Perpustakaan Nasional R.I. Hamzah, Andi, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan/Edisi Revisi 2008, Jakarta, PT Rineka Cipta. Lamintang, P.A.F, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan Ketiga, Bandung, PT Citra Aditya Bakti. Lembaga Pers Dr Soetomo, 2011, Pedoman Uji Kompetensi Wartawan Cetakan Pertama, Jakarta, Perpustakaan Nasional R.I. Mulhadi, 2010, Hukum Perusahaan, Bentuk-Bentuk Badan Usaha di Indonesia, Cetakan Pertama, Bogor, PT Ghalia Indonesia. Muladi – Dwidja Priyatno, 2010, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Cetakan kedua, Jakarta, Kharisma Putra Utama. Maskun Iskandar, 2012, Panduan Jurnalistik Praktis, Cetakan Pertama, Jakarta, PT Semesta Rakyat Merdeka. Sabam Leo Batubara, 2007, Menegakkan Kemerdekaan Pers, Cetakan Pertama, Jakarta, Dewan Pers. Soedjono Dirdjosisworo, 1997, Hukum Perusahaan, Mengenai Bentuk - Bentuk Perusahaan (Badan Usaha) di Indonesia, Cetakan Pertama, Bandung, PT Mandar Maju. Usman Yatim, 2012, Solusi Pers Mengatasi Masalah Bangsa, Cetakan Pertama, Jakarta, PT Wahana Semesta Intermedia. Wina Armada Soekardi, 2007, Keutamaan di Balik Kontroversi Undang - Undang Pers, Cetakan Pertama, Jakarta, Dewan Pers. Wina Armada Soekardi, 2008, Kode Etik Jurnalistik & Dewan Pers, Cetakan Pertama, Jakarta, Dewan Pers. Wikrama Iryans Abidin, 2005, Politik Hukum Pers Indonesia, Jakarta, P.T. Grasindo. Wina Armada Sukardi, 2012, Kajian Tuntas 350 Tanya Jawab UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik, Jakarta, Dewan Pers. 71
Tim Dewan Pers, 2011, Data Pers Nasional 2011, Jakarta, Dewan Pers.
B. Peraturan Perundang – undangan. ____, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. ____, Undang – Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. ____, Konvensi Nasional Media Massa
Se Indonesia, 2007,
Mewujudkan Pers Independen dan Berkualitas untuk Memperjuangkan Kesejahteraan
Bangsa,
Cetakan
Pertama,
Jakarta,
Departemen Komunikasi dan Informasi (sekarang Kementerian Komunikasi dan Informasi).
C. Kliping koran yang terkait dengan ketentuan Pasal 12 UndangUndang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
72
73
74
75
76
77
dipending dulu............. BAB IV PEMBAHASAN 78