H HA ASSIILL PPEEN NEELLIITTIIA AN N
STUDI KUALITATIF SOSIO-PSIKOLOGI MASYARAKAT TERHADAP PENYAKIT MALARIA DI DAERAH ENDEMIS MALARIA (STUDI KASUS DI KECAMATAN GUNUNGSITOLI, KABUPATEN NIAS) Fotarisman Zaluchu1 dan Abdul Jalil Amri Arma2 1
Peneliti di Badan Penelitian dan Pengembangan, Provinsi Sumatera Utara 2 Pengajar pada Departemen Kependudukan dan Biostatistik FKM USU
ABSTRACT Malaria is one of the most communicable diseases in Indonesia. In Nias District, North Sumatra Province, malaria is prevalent and contributing to the endemic status of malaria. The previous study showed that human behavior had a relationship with this disease. the objective of this study is to analyze the dynamic of this human behavior. This research was designed using qualitative approach. Key informants were people understanding about this problem and having experiences with this disease. Using EZ-Text 3.06 developed by CDC, descriptive method was developed. Located in Gunungsitoli, this study had collected 8 key informants. The result of study showed that people in endemic area tend to manage their problem by using their own perception and knowledge. While they felt “fever”, for instance, they had their own “diagnostic” for malaria disease. They were familiar buying “pil kina” as a drug for malaria. As a culture, they did not thought malaria as a problem. This study recommend that the community behavior towards malaria have to be changed in order to prevent the resistance of malaria drug in Nias. Keywords: Endemic disease, Malaria, Human behavior, Socio psichological factors PENDAHULUAN Penyakit malaria merupakan masalah kesehatan masyarakat. Menurut laporan World Health Organization (WHO), pada tahun 1998 setiap tahunnya 1-2 juta penduduk dunia mati karena tertular penyakit ini, dari prevalensi malaria sebanyak 270 juta penduduk setiap tahunnya (Agoes, 1998). Bahkan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Departemen Kesehatan RI pada tahun 1996/1997 memperkirakan 40% penduduk dunia terancam infeksi ini dan jumlah prevalensi tercatat 200 - 300 juta tiap tahunnya. Annual Parasite Incidence (API) malaria yang menurun dari 0,21 per 1000 penduduk pada tahun 1989 menjadi 0,09 per 1000 penduduk pada tahun 1996 di Jawa-Bali, meningkat lagi menjadi 0,2 per 1000 penduduk pada
tahun 1998. Parasite Rate (PR) malaria di luar Jawa-Bali yang semula sebesar 3,97 persen pada tahun 1995 meningkat menjadi 4,78 persen pada tahun 1997. Penyakit ini bahkan disebut sebagai emerging disease, yaitu salah satu penyakit menular yang insidensinya pada manusia bertambah atau meningkat pada dua dekade terakhir ini. Hal ini dikarenakan karena malaria menunjukkan wujud epidemiologis dan klinis yang berbeda dari sebelumnya dan dikhawatirkan akan mengancam jumlah penduduk dunia di masa yang akan datang (Agoes, 1998). Penyakit malaria merupakan penyakit yang endemis di daerah tropis termasuk di Indonesia. Menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001, terdapat 15 juta kasus malaria dengan 38.000 kematian setiap tahunnya dan diperkirakan 35% penduduk
18 Universitas Sumatera Utara
Indonesia tinggal di daerah berisiko tertular malaria. Dari 293 Kabupeten/Kota yang ada di Indonesia,167 Kabupaten/Kota merupakan wilayah endemis malaria (Depkes, 2006). Angka kesakitan malaria di Jawa dan Bali annual parasite incidence (API) pada tahun 2000 sebesar 0,81‰ turun menjadi 0,15‰ pada tahun 2004. Untuk di Luar Jawa dan Bali, annual malaria incidence (AMI) pada tahun 2000 sebesar 31,09‰ turun menjadi 20,57‰ pada tahun 2004. Namun sejak 1997-2005 kejadian luar biasa (KLB) malaria masih sering terjadi, dengan jumlah kasus 32.987 penderita dan 559 kematian akibat malaria dan case fatality rate (CFR) malaria berat yang dilaporkan dari beberapa rumah sakit berkisar 10-50% (Depkes, 2006). Di Indonesia, malaria merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena menyebabkan 14% kematian dari jumlah kematian di rumah sakit dan juga menjadi sebab 20% kunjungan ke fasilitas kesehatan (Santoso dkk, 1994). Di Sumatera Utara sendiri, PR menunjukkan kenaikan, yaitu dari 2,21% pada tahun 1992, dan menjadi 5,67% pada tahun 1993 (SKRT, 1994). Data Dinas Kesehatan Kabupaten Nias diperoleh keterangan bahwa pada tahun 2005 penyakit malaria menempati urutan pertama dari sepuluh penyakit utama di Kabupaten Nias, yaitu sebanyak 23.237 kasus (34,45%). Penyakit malaria merupakan penyakit yang endemis di Kabupaten Nias (Harijanto, 2000). Upaya pemberantasan telah di laksanakan, namun angka kesakitan malaria masih tinggi hal ini terbukti dengan AMI Kabupaten Nias masih tinggi, yaitu tahun 2004 85,78‰, tahun 2005 52,02 ‰ dan tahun 2006 42,12‰. Di samping tingginya AMI yang memperlihatkan bahwa pelaksanaan program pengendalian malaria belum mencapai hasil yang diharapkan, juga ditunjukkan dengan adanya KLB malaria di Nias tahun 2005 sejumlah 253 kasus, kematian 2 orang dengan AR = 2,97% dan CFR = 0,79% (Dinas Kesehatan Kabupaten Nias, 2006) Jika dibandingkan dengan jumlah seluruh penderita malaria klinis di Propinsi Sumatera Utara, yaitu sebesar 79.472 orang maka Kabupaten Nias mencapai 63% diantaranya, dengan Annual Malaria Incidence (AMI) tahun 1998 tertinggi diantara seluruh kabupaten di Propinsi
Sumatera Utara, yaitu sebesar 73,01 (Profil Kesehatan Sumatera Utara, 1999). Tingginya angka kejadian penyakit malaria ini berhubungan erat dengan beberapa faktor, dan yang terpenting diantaranya berkaitan dengan lingkungan. Pemberantasan ditujukan kepada perubahan dan modifikasi lingkungan seperti pembuatan kolam ikan, penggunaan vektor biologi pemakan jentik nyamuk, dan intervensi menggunakan buku petunjuk dan petugas lapangan malaria. Akan tetapi yang pernah dilakukan di atas merupakan tindakan intervensi yang ditujukan kepada upaya mencegah vektor mempengaruhi manusia dan belum pada perubahan manusianya sendiri. Lingkungan sebagai tempat berkembangnya vektor malaria banyak dipengaruhi oleh faktor sosio psikologi (Belding, 1958; WHO, 1986). Padahal, pengendalian terhadap faktor tersebut akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penyebaran malaria (WHO, 1986). Hasil penelitian ini akan menjadi masukan berarti bagi pengelolaan lingkungan, secara khusus untuk menghasilkan lingkungan yang baik dan what bagi semua orang untuk kelangsungan kehidupannya. Pengetahuan yang lebih baik tentang faktor-faktor ini juga akan dapat memberikan jalan keluar yang lebih baik, efektif, efisien dalam pengendalian malaria (WHO, 1986). Kabupaten Nias, merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Sumatera Utara dan merupakan sebuah pulau yang dikelilingi oleh lautan. Pulau ini yang sekaligus merupakan satu kabupaten memanjang dari Utara ke Selatan dengan panjang 120 km dengan lebar Timur ke Barat 40 km. Luas seluruh pulau ini termasuk pulau-pulau kecil di sekitarnya adalah 5.625 km2 yang sebagian besar masih ditutupi oleh hutan sekunder (Gulo, 1983). Hujan dan kemarau silih berganti sepanjang tahun. Penduduk, yang sebagian besar merupakan penduduk miskin (berdasarkan klasifikasi Bappenas, seluruh desa di Nias merupakan penerima Inpres Desa Tertinggal, 1996) menyesuaikan kegiatan pertanian subsisten mereka dengan musim tersebut. Di pulau ini terdapat beberapa sungai besar, akan tetapi sangat dangkal sehingga tidak merupakan sarana transportasi. Struktur tanah muda membuat banyak sarana jalan rusak cepat. Akibatnya
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25) 19 Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma Universitas Sumatera Utara
pada sebagian besar daerah, sulit dijangkau oleh kendaraan umum. Nias mempunyai potensi alam untuk pariwisata dan lingkungan sehingga sektor pariwisata merupakan salah satu sumber pendapatan bagi daerah ini. Dengan demikian, penanggulangan malaria di Kabupaten Nias bukan hanya berdampak positip kepada kesehatan masyarakat namun juga akan mampu untuk menarik kunjungan turis ke daerah ini. Karena malaria erat kaitannya dengan produktivitas masyarakat, maka penanggulangannya diharapkan akan berdampak pada peningkatan kemampuan ekonomi masyarakat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sosio-psikologi masyarakat terhadap penyakit malaria. Beberapa penelitian yang dilakukan terdahulu di Kabupaten Nias, antara lain Boewono dan Nalim (1996), Dewi dkk (1996), dan Boewono dkk (1997) telah meneliti keberadaan vektor penyakit malaria ini dan merekomendasikan penelitian sosiopsikologi. Dengan demikian, hasil penelitian ini dibarapkan akan dapat menghasilkan masukan bagi program pemberantasan malaria yang lebih efektif di daerah yang lebih spesifik (WHO, 1986). METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif. Sampel didapatkan dengan menggunakan metode snow ball dan menemukan 8 orang informan kunci (key informan). Analisa menggunakan pendekatan deskriptif dibantu dengan software khusus kualitatif EZ-Text 3,06 dari CDC. Lokasi penelitian dipusatkan di Kecamatan Gunungsitoli dengan asumsi bahwa komunikasi dengan informan akan lebih mudah dilakukan. Syarat informan adalah tokoh masyarakat yang mengetahui bagaimana perilaku masyarakat di Kecamatan Gunungsitoli, memiliki waktu dan bisa berkomunikasi. Pertanyaan penelitian dipersiapkan dengan menggunakan panduan wawancara dengan alat bantu tape recorder dan catatan wawancara selama wawancara dilakukan. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengetahuan masyarakat mengenai penyakit malaria ini umumnya berdasarkan
20
gejala. Seperti diuraikan oleh salah seorang informan, "....jika seseorang mengalami demam tinggi (faaukhu) dan menggigil (o'afu) selama 2-3 hari itu pasti terkena malaria..."
Pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap malaria ini dibandingkan dengan beberapa penelitian memiliki variasi sesuai dengan kondisi setempat. Di Banjanegara dan Temanggung, penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa hanya sedikit masyarakat yang mengetahui dengan benar tentang gejala dan tanda-tanda malaria. Sementara di Berakit, Riau Kepualauan, penelitian yang dilakukan pada tahun 1983 menunjukkan bahwa secara umum masyarakat mengetahui mengenai gejala tanda-tanda malaria. Penelitian yang dilakukan di 3 desa Jawa Tengah juga menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk mengetahui dengan benar permasalahan malaria (Santoso dan Kasnodihardjo, 1991). Kondisi desa penelitian yang secara umum telah lama menjadi daerah endemis serta transportasi yang mudah dijangkau, menyebabkan informasi dan program kesehatan menjadi lebih mudah didapatkan dan diperoleh masyarakat. Masyarakat dari dirinya sendiri sudah membangun persepsi bahwa yang namanya malaria berhubungan dengan demam dan menggigil. Salah seorang informan lain mengungkapkan, ”....biasanya seluruh sendi kita terasa sakit dan tidak enak. Kadang-kadang disertai dengan sakit kepala yang berkepanjangan.”
Manusia memang belajar dari pengalamannya. Informan menyatakan bahwa malaria pernah terjadi pada mereka bahkan ada informan yang pernah terserang lebih dari satu kali. Secara teoritis, masa inkubasi malaria adalah antara 12 sampai 30 hari. Penularan terjadi dengan perantaraan gigitan nyamuk Anopheles sp. Di Indonesia terdapat 93 spesies Anopheles yang dapat merupakan vektor penyakit malaria, dan 18 diantaranya telah dikonfirmasi (Kirnowardoyo, 1991). Beberapa jenis Anopheles yang terpenting di antaranya adalah Anopheles sundaicus, Anopheles aconitus, Anopheles maculatus, Anopheles leucoshyrus, dan Anopheles
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25) Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma Universitas Sumatera Utara
hyrcanus. Penderita memiliki gejala sakit kepala, lesu, diikuti demam tinggi seringkali disertai meracau dan menggigil, diakhiri berkeringat banyak. Plasmodium sp. dapat pula menyerang otak menyebabkan Malaria cerebralis dengan gejela-gejala kaku kuduk, kesadaran menurun seperti pada gejala radang otak lainnya. (Entjang, 1997). Manusia merupakan cumber utama dari penyebaran parasit malaria. Walaupun ada indikasi bahwa primata yang lain dapat merupakan sumber infeksi, akan tetapi masih belum cukup bukti untuk menyatakan keterlibatan tersebut (McGregor, 1985). Menurut Bruce-Chiralt (1985), jenis kelamin dan umur tidak penting dalam penularan malaria ini, tetapi anak-anak memiliki kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang dewasa. Penduduk asli di suatu daerah endemik masih juga dapat terkena infeksi; hanya gejala klinik biasanya lebih ringan. Di antara penduduk asli secara alami ada yang tidak mudah dan mudah sekali terkena infeksi malaria. Bayi yang baru lahir di daerah endemik sering sekali masih mempunyai kekebalan yang didapat dari ibunya. Perpindahan penduduk ke dan dari daerah endemik masih menimbulkan masalah malaria (Oemijati, 1991). Lingkungan sosial budaya dan ekonomi setempat juga mempengaruhi besar kecilnya kontak antara manusia dengan vektor (Oemijati, 1991). Berbagai kebiasaan seperti cara membuat rumah, cara bertani dan adat kebiasaan lainnya dapat menambah kontak antara manusia dengan vektor. Di Indonesia bagian Timur, orang membangun rumah dengan dinding yang dibuat dari gabagaba, yaitu batang daun pohon sagu. Dinding rumah seperti itu biasanya tidak rapat sehingga nyamuk dengan mudah dapat masuk ke dalam rumah. Kebiasaan menunggui ladang selama bercocok tanam dan tidur di pondok-pondok yang sangat sederhana sangat menambah pemaparan (exposure). Juga bekerja di hutan dan berburu yang mengharuskan seseorang bermalam di hutan sering kali mengakibatkan terjadinya malaria. Kelambu yang sudah dipunyai sebagian besar masyarakat pedesaan, wring sangat kurang penggunaannya. Karena udara panas orang
lebih suka tidur tanpa kelambu, dan ini menambah pemaparan. Perilaku manusia terhadap lingkungannya merupakan faktor penting dalam penyakit malaria ini. Penelitian Santoso dan Kasnodihardjo (1991), Kirnowardoyo (1991) dan berbagai penelitian lainnya menunjukkan bahwa perilaku masyarakat terhadap perumahan dan lingkungan merupakan penyebab kerentanan penyebaran malaria di daerah penelitian. Pengetahuan yang rendah menenai malaria, pencegahan dan pengobatannya, sikap dan pandangan budaya yang tidak waspada terhadap malaria serta tindakan di lingkungan pemukiman, merupakan pendukung bagi hadirnya vektor malaria. (Oemijati, 1991). Uniknya, masyarakat sendiri telah pula mengetahui bagaimana meresponi apa yang dialaminya. Seperti diuraikan oleh salah seorang informan, mengenai pengobatan, informan umumnya telah ”mengetahui” obatnya, "... dulu, biasanya masyarakat memakai Bintang Tujuh. Tetapi sekarang ini, mereka sudah tahu tentang kholoroquin. Mereka biasanya kalau sudah mengalami demam sampai 3 hari, langsung meminum obat malaria atau biasa juga disebut dengan pil kina tersebut..."
Ketika ditelusuri mengenai sumber pengetahuan tersebut, ternyata mereka mendapatkanya dari pengalaman sendiri dan juga informasi dari teman yang memberikan informasi tersebut kepada mereka. Ungkapan salah seorang informan adalah sebagai berikut, ”....biasanya masyarakat yang sudah pernah diberikan obat kina tidak perlu ke dokter lagi. Mereka biasa mendapatkannya di apotek..”
Pengobatan dengan cara seperti ini merupakan suatu hal yang tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di Banjarnegara dan Temanggung. Ditemukan bahwa bila penduduknya ”merasa” sakit malaria penyembuhannya dengan cara minum pil. Pola yang sama juga ditemukan di 3 desa di Jawa Tengah (Santoso dan Kasnodihardjo, 1991). Masalah yang menjadi kekhawatiran adalah walaupun mereka tahu bahwa pengobatan malaria adalah dengan
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25) 21 Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma Universitas Sumatera Utara
kholoroquin atau sejenisnya, mereka kebanyakan melakukan pengobatan dengan cara yang tidak benar. Seorang informan mengungkapkannya:
masih tetap bisa bekerja. Kalau demam, ia kan tinggal meminum obat. Jadi, tidak perlu menganggap malaria itu sebagai penyakit yang berbahaya..."
"... setelah merasa bahwa demamnya sudah sembuh dan mereka dapat kembali bekerja, biasnya masyarakat mengira bahwa malarianya sudah sembuh. Mereka mengentikan meminum obat tersebut lalu kembali meminumnya jika demam dan panas kambuh lagi..."
Sarwono (1997) mengutip Sudarti menjelaskan keadaan ini dengan menyatakan bahwa umumnya masyarakat tradisional memandang seseorang sebagai sakit jika orang itu kehilangan nafsu makannya atau gairah kerjanya, tidak dapat lagi menjalankan tugasnya sehari-hari secara optimal atau kehilangan kekuatan sehingga harus tinggal di tempat tidur. Dilanjutkannya, selama seseorang masih mampu melaksanakan fungsinya seperti biasa maka orang itu masih dikatakan sehat. Dan akibatnya, masyarakat cenderung tidak perduli dengan keadaan rumah dan lingkungannya.
Dikhawatirkan, cara pengobatan yang tidak sesuai dengan petunjuk pemakaian obat ini akan dapat menimbulkan resistensi terhadap pengobatan malaria. Penelitian yang dilakukan di sejumlah tempat endemik malaria di Indonesia oleh Din Safrudin dan kawan-kawan (1999-2000) ternyata menemukan bahwa di daerah seperti Lampung, Nias dan Kalimantan Timur 100% dari parasit malarianya mempunyai mutasi gen di tubuh parasit malaria (dalam Majalah Tempo, 19 Maret 2000). Akibatnya, karena masyarakat sudah mengetahui sendiri ”obatnya” maka masyarakat mengganggap bahwa bahwa malaria tidak berbahaya, atau penyakit biasa dan bahkan menyatakan bahwa malaria bukan penyakit menular yang harus dikuatirkan. Seperti diungkapkan oleh salah seorang informan. "...malaria dulu menjadi momok bagi penduduk. Tetapi sekarang sudah tidak demikian. Malaria seperti sudah menjadi penyakit masyarakat..." Yang lainnya,” ah, tidak perlu kuatirlah, kan hanya tinggal minum obatnya...”
Malaria yang telah sekian lama menjadi suatu penyakit masyarakat, dianggap tidak lagi menjadi penyakit yang berbahaya. Salah seorang informan bahkan menyatakan bahwa malaria adalah bagian dari budaya mereka. "Bagi saya, malaria itu telah menjadi tradisi di masyarakat. Malaria adalah penyakit budaya. Tidak ada seorangpun di masyarakat yang tidak tahu apa itu malaria..."
Anggapan bahwa malaria merupakan penyakit biasa dan tidak menular juga diungkapkan oleh seorang informan. "Masyarakat menganggap bahwa malaria tidak menimbulkan apa-apa bagi dirinya. Ia
22
"Mengenai rumah, yah apa adanya saja. Masyarakat kita tidak tahu apakah itu memenui syarat kesehatan atau tidak. Yang penting, mereka sudah mempunyai rumah. Soal apakah lingkungan mereka terjaga atau tidak, itu lain hal lagi. Manalah masuk dalam pengertiannya tentang malaria itu"
Temuan-temuan di atas merupakan penemuan yang sejalan dengan penelitian yang dilakukan di Berakit, Riau dan Jawa Tengah yang merupakan salah satu daerah hiperendemik malaria. Masyarakat di daerah tersebut tidak melakukan tindakan pencegahan terhadap kemungkinan tertular malaria, karena menganggap bahwa malaria bukan merupakan penyakit menular dan tidak berbahaya, dan merupakan penyakit biasa karena dalam kehidupan sehari-hari penderita malaria masih tetap bekerja (Santoso dan Kasnodihardjo, 1991). Menurut Notoatmodjo (1993), persepsi terhadap keadaan sakit menyebabkan masyarakat tidak bertindak atau tidak melakukan kegiatan apa-apa terhadap penyakitnya tersebut. Tetapi jika sakit, perilaku yang dilakukan adalah justru juga tetap tidak bertindak oleh karena kondisi yang demikian tidak menganggu kegiatan atau kerja mereka sehari-hari. Mungkin mereka beranggapan bahwa tanpa bertindak apa-apapun simptom yang dideritanya akan lenyap dengan sendirinya. Tidak jarang pula masyarakat memprioritaskan tugas-tugas lain yang dianggap lebih penting daripada mengobati sakitnya. Atau perilaku yang dilakukan adalah melakukan tindakan
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25) Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma Universitas Sumatera Utara
pengobatan sendiri dengan salah satu alasan yaitu kepercayaan pada diri sendiri dan sudah merasa bahwa berdasarkan pengalamanpengalaman yang lalu usaha-usaha pengobatan sendiri sudah dapat mendatangkan kesembuhan. Menurut Notoatmodjo, perilaku lain juga dapat terjadi yaitu masyarakat mencari pengobatan dengan membeli obat-obat di warung-warung obat dan sejenisnya. Pilihan terhadap pengobatan ke fasilitas-fasilitas kesehatan modern dan dokter hanyalah pilihan terakhir dari masyarakat. Perilaku tersebut menunjukkan adanya penyimpangan yang akhirnya dapat membahayakan kehidupannya sendiri (Salan, 1988). Masalah ini merupakan suatu problema kesehatan, oleh karena sebagian besar masyarakat masih menganggap bahwa kesehatan adalah kepentingan sekunder, yang dapat diabaikan oleh kepentingan primer yaitu makanan dan tempat perlindungan. Sajono (1995) menyatakan bahwa dalam masyarakat dimana sebagian anggotanya menderita malaria misalnya, hal itu dipandang normal dalam kehidupan masyarakat tersebut. WHO (dalam Notoatmodjo, 1993) menganalisa bahwa yang menyebabkan seseorang itu berperilaku tertentu adalah karena adanya 4 (empat) alasan pokok yaitu Pertama. Pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap, kepercayaankepercayaan, dan penilaian-penilaian seseorang terhadap objek kesehatan. Pengetahuan diperoleh dari pengelaman sendiri atau pengelaman orang lain. Kepercayaan sering diperoleh dari orang tua, kakek atau nenek. Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain yang paling dekat. Sikap membuat seseorang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sikap positif terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud dalam tindakan nyata. Akan tetapi, sikap dipengaruhi oleh situasi seat itu, acuan terhadap pengalaman orang lain, pengalaman dan nilai di masyarakat. Kedua, referensi akan mempengaruhi perilaku orang. Apabila seseorang itu penting
untuknya, maka apa yang ia katakan atau perbuat cenderung untuk dicontoh. Orangorang yang dianggap penting ini disebut kelompok referensi (referensi group), antara lain guru, kepala adat (suku), kepala desa, dan sebagainya. Ketiga, sumber daya (resources), mencakup uang, waktu, tenaga, dan sebagainya. Semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang atau kelompok masyarakat. Pengaruh sumber-sumber daya terhadap perilaku dapat bersifat positif maupun negatif Keempat, perilaku normal, kebiasan, nilai-nilai, dan penggunaan somber-somber di dalam masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang pada umumnya disebut kebudayaan. Kebudayaan ini terbentuk dalam waktu yang lama sebagai akibat dan kehidupan suatu masyarakat bersama. Kebudayaan selalu berubah, baik lambat ataupun cepat, sesuai dengan peradaban umat manusia. Kebudayaan atau pola hidup, masyarakat di sini merupakan kombinasi dari semua yang telah disebutkan sebelumnya. Perilaku normal adalah salah satu aspek dari kebudayaan den selanjutnya kebudayaan mempenyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini. Berkaitan dengan penyakit, maka di masyarakat terdapat perbedaan dalam meresponi interaksi terhadap penyakit. Masyarakat memiliki pandangan yang beraneka ragam mengenai konsep sehat-sakit (Notoatmodjo, 1993). Penyakit (disease) adalah suatu bentuk reaksi biologis terhadap suatu organisme, benda asing, atau luka (injury). Hal ini adalah suatu fenomena yang objektif yang ditandai oleh perubahan fungsifungsi tubuh sebagai organisme biologis. Sedangkan sakit (illnes) adalah penilaian seseorang terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang langsung dialaminya. Hal ini merupakan fenomena (subjektif) yang ditandai dengan perasaan tidak enak (feeling unwell). Batasan tersebut akan dapat menjelaskan misalnya kenapa seseorang secara objektif dapat terkena penyakit, namun dia tidak merasa sakit. Atau sebaliknya seseorang merasa sakit atau merasakan sesuatu di dalam tubuhnya tetapi dari pemeriksaan klinis tidak diperoleh bukti bahwa is sakit Perilaku sakit diartikan sebagai segala bentuk tindakan yang diperlukan oleh
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25) 23 Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma Universitas Sumatera Utara
individu yang sedang sakit agar memperoleh kesembuhan, sedangkan perilaku sehat adalah tindakan yang dilakukan individu untuk memelihara den meningkatkan kesehatannya, termasuk pencegahan penyakit, perawatan kebersihan diri (personal hygiene); penjagaan kebugaran melalui olahraga den makanan bergizi (Sarwono, 1997). Secara khusus, menurut Yukaida (1997) pandangan masyarakat mengenai perilaku kuat ini memiliki variasi antara lain merasa kuat bila tidak ada gangguan fisik, merasa kuat walaupun ada gangguan fisik tetapi masih mampu melakukan aktivitas, merasa kuat walaupun ada gangguan psikis tetapi masih mampu melakukan aktivitas, merasa kuat melakukan aktivitas dengan anggota fisik yang tidak lengkap (cacat). Dari pengertian tersebut, terdapat subjektivitas pengertian sehat di masyarakat, secara khusus untuk ketiga pengertian terakhir. Subjektivitas tersebut, selanjutnya menurut Yukaida (1997) disebabkan oleh faktor ekonomi, faktor budaya, serta faktor sosial. Ketiga faktor ini pulalah yang akan menyebabkan perbedaan pengertian masyarakat mengenai konsep sakit. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat keyakinan di masyarakat bahwa malaria adalah merupakan masalah biasa yang bisa mereka tangani sendiri dengan menggunakan pengetahuan yang sudah mereka dapatkan sebelumnya. Sebagai daerah endemis malaria, masyarakat terbiasa menggunakan obat yang umumnya mudah mereka dapatkan. Hal inilah yang bisa menyebabkan resistensi terhadap program pengobatan. Disarankan untuk segera mengubah pola perilaku demikian karena akan menimbulkan kegagalan terhadap pencegahan dan pengobatan malaria. Pendekatan pendidikan perilaku bisa diterapkan. DAFTAR PUSTAKA Agoes, R. 1998. Pemanasan Global dan Antisipasi Dampaknya pada Perubahan pola Sebar Penyakit Menular. Dalam Manusia, Kesehatan dan Lingkungan (Editor Kudwiratni Setiono, Johan Sm, Anna A). Bandung, Alumni: halaman 77-94
24
Belding, DL. 1958. Basic Clinical Parasitology. Appleton-CenturyCrofts, Inc. New York. p87-121 Boewono, DT; S. Nalim; T. Sularto; Mujiono; dan Sukarno. 1997. Penentuan Vektor Malaria di Kecamatan Teluk Dalam Nias. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran No. 118 halaman 9-14 Bruce-Chiralt, L.J. 1985. Essential Malariology. A Wiley-Medical Publication Depkes RI. 2006. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Malaria di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Dewi, R.M; HA. Marwoto; S. Nalim; Sekartuti dan E. Tjitra. 1996. Penelitian Malaria di Kecamatan Teluk Dalam, Nias. Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran No. 106 halaman 5-9 Dinkes Kabupaten Nias. 2006. Profil Kesehatan Kabupaten Nias Tahun 2005. Gunungsitoli: Dinas Kesehatan Entjang, I. 1997. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung: Citra Aditya Bakti Gulo, W. 1983. Benih Yang Tumbuh BNKP. Salatiga: Percetakan Satya Wacana halaman 3 Kirnowardoyo, S. 1991. Penelitian Vektor Malaria yang Dilakukan Oleh Institusi Kesehatan Tahun 1975-1990. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan Nomor 19 (4) 1991 halaman 24-31 Majalah Mingguan Tempo. Edisi 13-19 Maret 2000 halaman 48-49 Majalah Mingguan Tempo. Edisi 15-21 Mei 2000 halaman 73 McGregor, LA. 1985. Malaria. Epidemiology and The Community Control of Disease in Warm Climate Countries (Editor Derek Robinson) Churchill Livingstone. Edinburgh London Melbourne and New York. Notoatmodjo, S. 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan. Jogjakarta: Andi Offset Oemijati, S. 1991. Masalah Malaria di Indonesia. Kumpulan Makalah Simposium Malaria (Editor Wita Pribadi, Rusli Muljono dan Inge Sutanto). Jakarta: Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia halaman 1-8
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25) Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma Universitas Sumatera Utara
Sajono. 1995. Manusia, Masyarakat dan Kesehatan. Jakarta: Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Tahun XXIII, Nomor 7 halaman 479-497 Salan, R. 1988. Perilaku Kesehatan, Perilaku Kesakitan dan Peranan Sakit (Suatu Introduksi). Jakarta: Cermin Dunia Kedokteran, No. 51 halaman 31-34 Santoso, SS; Bintari Rukmono; Wita Pribadi; Sri Soewasti Soetanto; dan Sudarti. 1994. Pengetahuan, Pengalaman, Pandangan dan Pola Pencarian Pengobatan Tentang Penyakit Malaria di Daerah Hiper Endemik Mimika Timur, Irian Jaya. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan No. 22(3) halaman 24-38 Santoso, SS dan Kasnodihardjo. 1991. Suatu Tinjauan Aspek Sosial Budaya Dalam Kaitannya Dengan Penularan dan Penanggulangan Malaria. Jakarta: Buletin Penelitian Kesehatan No. 19 (4) halaman 42-50
Santoso, SS; Sunanti Zalbawi, dan Wita Pribadi. 1995. Penanggulangan penyakit Malaria Melalui Peran Serta Masyarakat di Berakit, Riau Kepulauan. Jakarta: Jurnal Jaringan Epidemiologi Nasional, Edisi 2 halaman 21-27 Santoso SS, dan Wita Pribadi. 1996. Pengaruh Buku Panduan Malaria terhadap Pengetahuan, Sikap dan Perilaku di Daerah yang Berdekatan dengan Penelitian. Jakarta: Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, tahun XXIV, Nomor 8 halaman 514520 Sarwono, S. 1997. Sosiologi Kesehatan, beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Jogjakarta: GM University Press WHO. 1986. WHO Expert Committee on Malaria (8th Report), Technical Report Series. Geneva WHO. 1999. World Health Report 1999. Geneva. Yukaida, N. 1997. Tinjauan Konsep Sehat dan Sakit Serta Status Kesehatan di Masyarakat. Jakarta: Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Tahun XXV, Nomor I halaman 9-12
Studi Kualitatif Sosio-psikologi Masyarakat terhadap Penyakit Malaria (18–25) 25 Fotarisman Zaluchu dan Abdul Jalil Amri Arma Universitas Sumatera Utara