Fondasi Evolusi Studi Genomik Algae1 Catatan‐Catatan Kritis untuk Studi Genomik Algae dan Implikasinya pada Studi Molekuler Rumput Laut di Indonesia
Ferry Fredy Karwur Universitas Kristen Satya Wacana Abstrak Indonesia adalah negara pantai, kaya akan algae. Tulisan berikut memberikan perpektif evolusi akan pentingnya studi genomik algae di Indonesia. Dan sebagai demikian, perkembangan-perkembangan muktahir studi genomik algae menjadi titik berangkatnya sebagai genome tools untuk membangun mainstream Indonesia sendiri berdasarkan keunikan spesies, lingkungan, kekayaan hayati, dan kepentingan nasional. Pemanfaatan genome tools ini dan pengembangan mainstream baru itu harus bersifat kolaboratif-konsorsium dengan prinsip “strategic pooling and sharing of resources”. Kata Kunci: algae, evolusi, eukariota, genomik
Pengantar Algae adalah kumpulan organisme fotosintetik yang muncul dalam garis pewarisan tertentu yang berevolusi secara bebas dan yang dapat hidup dalam lingkungan terestrial, namun terutama pada lingkungan perairan (Popper, et al., 2011 1 ).
1
Bahan yang disampaikan dalam Seminar Nasional dan Workshop Rumput Laut 2014 oleh UKK Seaweed Universitas Diponegoro, 8 Maret 2014 (Hotel Siliwangi Semarang).
Algae memiliki peran hayati yang sangat fundamental. Mereka menyusun dan membangun diversitas perairan, mempengaruhi perubahan-perubahan evolusi biosfer, dan melalui layanan ekologisnya berperan fundamental dalam kemantapan, adaptasi, serta perubahan iklim dan lingkungan. Algae juga memiliki kemanfaatan manusia yang hakiki. Algae merupakan faktor penting dalam pengelolaan sumberdaya perairan; sumber pangan, pakan, zat gizi, bahan bioaktif untuk kesehatan, bahan baku industrial, serta sumber energi kini dan masa depan (Radmer, 1996 2 ; U.S. Department of Energy, 2010 3 ) Estimasi kekayaan spesies makroalgae laut saja sekitar 6,200 s/d 13,248, dan terbanyak adalah algae merah (3,900 – 9.500 spesies), diikuti oleh algae coklat (1500 – 2151 spesies), dan algae hijau (>800 – 1597) (lihat: Guillermo Diaz-Pulido & Laurence, 2008) 4 . Jika ditambah dengan kekayaan spesies dari divisi Chrysophyta yang berjumlah lebih dari 12,500 spesies (Wilson, 1986) 5 maka total spesies algae mencapai 27.000 (termasuk Dinoflagellates dan Euglenoids, yang berjumlah sekitar 1,900 spesies). Jumlah ini tentu tidak besar ketimbang jumlah spesies Fungi (46,000 spesies) atau Plantae (248.428 spesies). Walaupun jumlah spesiesnya tidak sebanyak plantae, diktum Theodosius Dobzhansky, bahwa, “nothing in biology makes sense except in the light of evolution” -tiada yang bermakna dalam alam hayati kecuali dalam terang evolusi-- berlaku dalam menjelaskan hubungan antar kelas algae, dan hubungan antara algae dengan organisme berplastida lain bukan algae. Lebih lanjut bahkan untuk dapat memahami
algae dalam peran fundamental di dalam biosfer, kita tidak bisa mengelak untuk menemukan jawabannya di dalam terang dan cahaya evolusi akan bagaimana algae itu hadir dan mengikuti arus sejarah evolusi, karena dari sejarah (evolusi) kita belajar kehidupan, sebagaimana ungkapan: “historia magistra vitae” atau sejarah adalah guru kehidupan (Cicero, 106-43 SM, sebagaimana disetir oleh Gultom, 2014). Landasan Evolusi Lebih dari tiga milyar tahun lampau, fotosintesis [dengan fotosistem I] telah beroperasi namun tidak menghasilkan oksigen. Oksigen atmosfer praktis belum ada. Fotosistem II (oksigenik) tampil dalam sejarah evolusi ≈ 2.8 milyar tahun lalu. Ia memanfaatkan air sebagai sumber elektron 2 untuk memanen cahaya matahari dengan hasil samping O2. Kehadiran fotosistem II pada sianobakteri menjadi “biang” perubahan dunia anoxic ke dunia oxic 3 . Bukti kehadiran sianobakteri pada lebih dari 2 milyar tahun lalu antara lain adanya fosil sianobakteri Eoentophysalis belcherensis pada batuan Belcher di Kanada (Knoll, 1992 6 ). Sejak itu, dunia berubah dan tidak balik lagi ke dunia anoxic. Kehadiran oksigen yang terus merangkak naik meningkatkan efisiensi produksi energi seluler. Oksigen menjadi umpan-balik positif bagi ribuan rentetan reaksi aerobik dan bagi kemunculan organisme yang lebih kompleks. Hal tersebut menjadi kunci dari munculnya eukarion
2
3
Dihasilkannya O2 oleh fotosistem II karena terseleksinya kompleks mangan (Mn) pada sistem enzim “katalase purba”, yang awalnya hanya dapat menghancurkan H2O2 menjadi dapat memotong air (H-O-H) dan menghasilkan O2. Bukti kehadiran sianobakteri pada lebih dari 2 milyar tahun lalu antara lain dibuktikan dengan adanya fosil sianobakteri Eoentophysalis belcherensis pada batuan Belcher di Kanada.
fotosintetik, dan memicu transformasi dunia uniseluler ke dunia multiseluler (Karwur, 2013 7 ). Dari sianobakteri yang adalah prokarion mulailah perjalanan panjang evolusi organisme fotosintetik eukariota; dan dalam hal ini, algae menempati tempat yang khas dan
menentukan
bagi
kemunculan
beragam
strategi
pemanenan
cahaya,
pengembangan mekanisme proteksi keracunan oksigen, dan mengawali kemunculan organisme fotosintetik terestrial. Fosil mirip protista (Valeria lophostriata), berbentuk bola dan berdiameter 240 μM, bersalutkan membran organik, telah terdeteksi pada era Paleoproterozoic (2.5 s/d 1.6 milyar tahun lalu) di China (Yan & Liu, 1993 8 ; Javaux et al., 2004 9 ). Pada era Mesoproterozoic (1.6 s/d 1 milyar tahun lalu), organisme eukariotik awal mulai berdiversifikasi dan mengambil alih relung hidup yang lebih luas, mungkin sekali ini sebagai akibat dari naiknya kadar oksigen di atmosfer. Mereka antara lain: Shuiyousphaeridium macroreticulatum (dengan umur lebih dari 1,250 milyar tahun lalu), Tappania plana, Valeria lophostriata, Satka favosa, Grypania spiralis, dan Horodyskia moniliformis (Knoll et al., 2006 10 ). Fosil-fosil yang ditemukan pada era ini memberikan petunjuk kuat organisme eukariotik dengan kompleksitas genetik dan sitologis telah ada pada sekitar 1,5 s/d 1,3 milyar tahun lalu. Pada tahapan ini, keanekaragaman eukariota dan heterogenitas ekologis semakin tinggi. Di penghujung era Mesoproterozoic dan pada awal Neoproterozoic, organisme multiseluler muncul. Sayangnya bahwa hampir semua protista Proterozoic tidak dapat dicermati secara meyakinkan pada cabang tertentu dari
pohon eukariotik, kecuali beberapa dari mereka dapat dikaitkan dengan cabang-cabang taksonomik yang lebih jauh, seperti algae merah Bangiophyte, algae Vaucheriales, dan fungi. Kepastian bahwa algae merah adalah titik singgung evolutif antara prokariotik, eukariotik uniseluler, dan dengan eukarion multiseluler disokong oleh fosil algae merah purba Bangiomorpha pubescence. Bangiomorpha pubescence adalah fosil berumur 1,2 milyar, ditemukan pada formasi Hunting Mesoproterozoic di arctic Canada (Butterfield, 2000). Ia menyerupai sianobakteri filamentous uniseriat dimana sel-selnya tersusun berderet dalam satu baris bagaikan barisan kacang di dalam sebuah polong) namun berbeda dalam sejumlah karakter kunci. Rangkaian berantai sel-sel yang membentuk filament-filamen dari Bangiomorpha mempunyai organ jangkar (holdfasts) bagaikan akar untuk menempelkan dirinya pada substrat. Jangkar tersebut tersusun atas sel-sel yang telah berdiferensiasi. Bangiomorpha juga memiliki zona-zona sel-sel discoidal (disc-shaped) yang memelar dan membelah secara radial pada sejumlah arah dan menghasilkan sel-sel berbentuk baji yang khas (distinctive wedge-shaped cells). Ciriciri tersebut tidak dikenal pada sianobakteri tetapi justru terdapat pula bersama-sama dengan karakter lain-- pada algae merah bangiofita lain (Butterfield et al., 1990 11 ; Butterfield 2000 12 ). Lebih lanjut, ciri-ciri fosilisasi (taphonomic) Bangiomorpha lebih menyerupai yang ditemukan pada eukariota awal lainnya yang berbedah dengan yang ada pada sianobakteri filamentous yang telah diketahui pada fosil Proterozoic. Bangiomorpha menunjukkan keterawetan dinding-dinding sel bagian luar dan bagian dalam, kecuali sitoplasmanya. Sebaliknya, pada filamen-filamen sianobakteri yang memiliki lembaran-
lembaran menunjukkan keterawetan lembaran-lembaran itu namun secara parsial atau seluruhnya mengalami kehancuran bagian isi sel (Bartley 1996). Gejalah ontogenik Bangiomorpha mencakup kehadiran tahapan sel-sel 1, 2, 3, 4 dan 8. Pendugaan umur (radiometrik) dan stratigrafi menunjukkan umur fosil Bangiomorpha pubescens sekitar 1.2 milyar tahun (Butterfield, 2000 13 ). Yang menjadi pertanyaan ialah, “kapan algae lain seperti algae hijau, hadir dalam panggung sejarah evolusi?” Studi-studi menggunakan penanda hayati (biomarker) menunjukkan bahwa algae merah dan algae hijau ada dalam keadaan berlimpah dalam ekosistem Neoproterozoic (Summons and Walter, 1990 14 ). Hal ini diperkuat dengan temuan fosil algae hijau multiseluler (‘rumput laut”) pada era Neoproterozoic (1000 s/d 540 juta tahun lampau), yang ciri-ciri mirip dengan algae hijau Cladophora dan Coelastrum (Butterfield et al., 1988 15 ). Diduga, algae hijau telah ada sebelumnya karena kedua spesies ini muncul dalam percabangan lanjut dalam pohon filogeni algae hijau. Demikian pula bahwa fosil mirip algae Chrysophyta berumur 610 s/d 750 juta tahun, terdeteksi di daerah Yukon dekat Alaska. Algae hijau air tawar hadir kemudian dalam era lebih mudah, pada era Proterozoic akhir. Bukti-bukti fosil di atas menjelaskan fakta adanya sesuatu, tetapi kurang dapat membantu menjelaskan mekanisme terjadinya keanekaragaman hayati, yang dalam konteks algae adalah soal diferensiasi sel dan plastida, konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya kemudian, serta revolusi quantum hayati lain pada dunia algae, seperti perubahan membran dan dinding sel. Dan yang fundamental ialah bahwa tentunya bahwa fosil akan terbatas dalam menjelaskan mekanisme endosimbiosis –primer, sekunder, tersier, dan serial-- yang merupakan teori penting dalam menjelaskan asal
usul eukariota, eukariota plastidial, serta pemencaran spesiesnya (Palmer
et al.,
2004 16 ; Keeling, 2004 17 ;Falkowski et al., 2004 18 ). Studi morfologi, biokimia, seluler, dan molekuler menjadi sentral dalam menyumbangkan kekurangan ini. Dalam latar-belakang seperti yang telah disampaikan di atas maka pada bagian berikut kita akan memahami dan mengkritisi studi molekuler genomik dari organismeorganisme yang telah dirunut urutan basa DNA genomiknya dari sejumlah algae yang mewakili algae hijau, algae merah, dan algae coklat.
Tabel 1: Kompilasi Projek Perunutan DNA Genomik Algae yang Dilaporkan Melalui Bank Genom (NCBI) Takson
Ukuran Genom
Jumlah Gen
94.7
21,708
Referensi Curtis et al., (2012)
121 46 48.83 ‐ 137.68 21.9 20.9 13.2 12.6
15,143 9,791 9,915 6,519 14,437 10,575 10,056 7,651 7,892
Merchant et al., (2007) Blanc et al., (2010) Blanc et al., (2012) Zhang et al., (2012) Prochnik et al., (2010) Worden et al., (2009) Worden et al., (2009) Palenik et al., (2007) Derelle et al., (2006)
87.2
24,840
Curtis et al., (2012)
70.2
27,921
Prince et al., (2012)
167.68
38,549
Read et al., (2013)
‐ ‐ 56.66 214 33.99 92.04 32.44 27.45
‐ ‐ 11,522 16,256 3,558 34,684 13,025 10,398
104.98 16.55 13.71 43 19.7
9,843 6,170 6,723 10,327 8,355
Raymond & Kim (2012) Raymond & Kim (2012) Gobler et al., (2012) Cock et al., (2010) Qingdao Inst. Biop. Tech Lommer et al., (2012) Armbrush et al., (2004) Browler et al., (2008) Collen et al., (2013) Matsuzaki et al., (2004) Schonknecht et al., (2013) Kasuza DNA Res. Inst Bhattacharya et al., (2013)
Chlorarachniophyta Bigelowiella natans Chlorophyta Chlamydomonas reinhardtii Chlorella variabilis NC64A Coccomyxa subellipsoides Ulva linza Volvox carteri Micromonas pussila CCMP1545 Micromonas sp. RCC299 Ostreococcus lucimarinus Ostreococcus tauri Cryptophyta Guillardia theta CCMP1516 Glaucophyta Cyanophora paradoxa Haptophyta Emiliania huxleyi CCMP1516 Heterokonta Amphora sp. Attheya sp. Aureoccocus anophagefferens Ectocarpus siliculosus Nannochlorosis gaditana Thalassiosira oceanica Thalassiosira pseudonana Phaeodactylum tricornutum Rhodophyta Chondrus crispus Cyanidioschyzon merolae Galdieria sulphuraria Porphyra yezoensis Porphyridium purpureum Sumber: modifikasi dari Kim et al., (2014) 19
Studi Genom Algae Merah, Coklat, dan Hijau Perunututan (sequencing) DNA genomik pada sejumlah spesies algae telah dilakukan (Tabel 1). Bagian ini ingin memberikan deskripsi perbandingan dan catatan
kritis terhadap 3 spesies algae yang DNA genomiknya telah dirunut yang mewakili tiga kelas besar, yakni algae hijau uniselular Chlamydomonas reinhardtii (121 MB) (Merchant et al., 2007 20 ), algae coklat Ectocarpus siliculosus (214 MB) (Cock et al., 2010 21 ), dan Chondrus crispus
(104,98 MB) (Collen et al., 2013 22 ). Dua spesies
terakhir tergolong rumput laut. Perbandingan karakteristik genom Chlamydomonas reinhardtii, Ectocarpus siliculosus, dan Chondrus crispus ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Perbandingan karakteristik genom antara Chlamydomonas reinhardtii, Ectocarpus siliculosus dan Chondrus crispus Ciri Genom Ukuran genom (Mb) Jumlah gen Gen per genom (%) G/C (%) Intron per gen Ukuran Intron (bp)
C. reinhardtii 121 15,143 16
E. siliculosus 214 16,256 12
C.crispus 104.98 9,606 11,3
64 7,4 174
53,6 6,98 704
?, 28,7 (Plastida) 0,32 123
a. Chlamydomonas reinhardtii (Merchant et. al., 2007 23 ) C. reinhardtii adalah algae hijau uniseluler berukuran ~ 10 μm. Ia memiliki kromosom ganda dengan 2 flagella anterior untuk motilitas dan untuk kawin serta sebuah kloroplast tempat berdiam piranti fotosintetik dan lintasan-lintasan metabolik penting. C. reinhardtii adalah organisme model yang penting dengan sejumlah alasan, antara lain: (a) Penting dalam menguak pertanyaan di sekitar fotosintesis eukariotik karena algae ini dapat hidup dengan sumber karbon yang disuplai sambil tetap menjaga piranti fotosintetiknya fungsional, termasuk biogenesis kloroplast (Lohr et al., 2005 24 ; (b) Penting untuk menyingkap rahasia kehadiran flagella eukariotik dan fungsi dasar tubuh, serta efek-efek patologisnya, (c) Telah memberi kontribusi penting pada upaya-upaya
memahami lebih baik aspek-aspek hayati fundamental lain (circadian rhythms, pengendalian siklus sel, respirasi tumbuhan, transporter metal, (Ball, 2005 25 ) serta menjawab pertanyaan-pertanyaan praktikal manusia, bioremediasi dan produksi bahan bakar hayati (Merchant et al., 2007, dan pustaka lain yang disitasinya). Sejumlah piranti riset genomik (prosedu pengujian genomik fungsional, microarray, prosedur rutin peminakan berbasis peta fisik –map-based cloning) telah pula dibangun pada organisme model ini. DNA genomik algae hijau uniselular ini telah dirunut tahun 2007 oleh kelompok peneliti Arthur Grossman. Ukuran genom C. reinhardtii sebesar 121 Mb menyusun 17 kromosom. Genomnya memiliki gen-gen dengan kerapatan homogen, DNA berulang sederhana, dan transposable elements (TE). rRNA-nya tersusun dalam tandem pada tautan 1, VII, dan XV. Teridentifikasi pula 259 tRNA, 16 kelas DNA berulang sederhana, 100 keluarga TE, dan SINE (short interspersed elements) yang terhubung tRNA. Terdapat pula dompolan-dompolan tRNA dan dan adanya duplikasi tRNA yang belum lama terjadi, serta dompolan gen-gen dengan fungsi hayati spesifik. Potongan genom kloroplast dan mitokondria sedikit saja terdeteksi di DNA genom. Gen pengkode protein memiliki ratarata 8,3
exon per gen serta kaya akan intron. 30% panjang intron karena DNA
berulang. Pada Chlamydomonas tercatat 1226 keluarga gen yang mengkode 2 atau lebih protein. 317 dari 798 keluarga gen yang mengkode 2 gen terancang dalam tandem. Walaupun terdapat proporsi besar keluarga kinase dan sitokrom P-450 (seperti pada Arabidopsis), tetapi yang terbesar justru keluarga klas III guanylyl dan adenylyl cyclase. Keluarga gen ini penting dalam mating, fungsi flagelar, aklimatisasi hara. Beragam
keluarga protein yang penting dalam akuisisi hara juga ditemukan. Beragam transporter pada tumbuhan dan hewan juga kebanyakan ada pada Chlamydomonas. Namun teradapat juga gen yang ada pada Chlamydomonas dan tumbuhan, tetapi tidak ada pada hewan; dan sebaliknya. Tercatat pula transporter-transporter substrat spesifik, yang penting dalam aklimatisasi. Yang perlu dicatat pula adalah kehadiran gen-gen plastidial, regulator-regulator redoks fotosintetik (thioredoxin), gen-gen terkait respons fototaktik, serta gen-gen terkait fungsi flagellar dan gen-gen basal body tempat berjangkarnya flagella. b. Ectocarpus siliculosus (Cock, et al., 2010 26 ) Algae coklat adalah organisme dengan lintasan sejarah evolusi tersendiri, yang sangat berbedah dengan kelas algae lain, sehingga menunjukkan sejumlah ciri asali (novel): metabolisme (termasuk
metabolism
karbohidrat,
lipid,
dan
halogen), fisiologi,
karakteristik seluler, dan karakteristik ekologis. Dinding selnya mengandung banyak polisakarida “aneh” serta memiliki kedayatahanan yang tinggi terhadap cekaman osmotik. Algae coklat filamentous Ectocarpus siliculosus adalah rumput laut yang memiliki perangkat fotosintetik kompleks. Algae ini terutama tumbuh di ekosistem pantai berbatu dan menunjukkan daya adaptasi yang luarbiasa pada lingkungannya itu, dan bahkan pada lingkungan yang sukar. Piranti riset genomik, analisis gen fungsional, telah terbangun pula pada organisme ini. Genomnya telah dirunut tahun 2010 (Charrier et al., 2008 27 ). Genom algae coklat Ectocarpus siliculosus berukuran 214 Mb dan mengkode 16,256 protein. Genomnya kaya akan intron, memiliki ujung 3’ tidak tertranslasi (rata-
rata 845 pb) dan sering terletak sangat dekat satu dengan yang lain dalam kromosom. Urutan DNA berulang mencakup transposon, retrotransposon, dan helitron (total 22,7%) RNA cilik cenderung berada dekat dengan transposon. Ditemukan pula potongan besar virus DNA yang mirip dengan Ectocarpus phaeovirus (319,4 kb). Gen-gen yang terkait dengan adaptasi pada lingkungan hidup yang sangat dinamis dan berat. Terdapat keluarga besar LHC (Light Harvesting Complex) sebanyak 523 loci. Diantaranya adalah 1 dompolan dengan 11 gen yang terkait dengan adaptasi cekaman cahaya terkait LHC. Terdapat pula gen pensintesis klorofil dalam kehadiran cahaya yang lemah (DPOR). Jadi, Ectocarpus memiliki sistem fotosintesis kompleks yang memampukannya beradaptasi dengan variasi cahaya yang berubah-ubah. Demikian pula bahwa kadar fenol yang tinggi pada algae coklat mungkin penting untuk pertahanan radiasi UV (terdapat gen-gen pensintesis flavanoid, yang tidak ada pada diatom dan algae hijau), gen-gen metabolisme ROS, dan gen-gen yang terlibat dalam proteksi terhadap halida. Hadir pula pada algae coklat ini gen-gen khas pensintensis polisakarida khusus (seperti alginate, fucan) disamping selulosa, dan gen-gen pemodifikasi polisakarida. Enzim-enzim yang dikodenya penting dalam mengubah sifat fisika kimia dinding sel, yang mempengaruhi rigiditas, pertukaran ion, dan resistensi cekaman abiotik. Algae coklat ini juga memiliki gen-gen pengkode protein kinase (dan protein lain, seperti integrin dan ion channel yang penting dalam pensinyalan kalsium) yang penting dalam perkembangan, diferensiasi, dan evolusi multiseluler, bahkan ada yang berbeda sekali dengan yang ada pada hewan dan tumbuhan. Keluasan ragam faktor transkripsinya lebih tinggi dibanding dengan yang ada pada diatom.
Kehadiran
sejumlah
microRNA
(sebagaimana
pula
teridentifikasi
pada
eukariotik
lain)
menunjukkan bahwa molekul pengatur ini telah ada pada fase awal evolusi eukariotik. c. Chondrus crispus (Collen et al., 2013 28 ) Ada sejumlah alasan mengapa perunutan genom pada algae merah layak dilakukan. Pertama, algae merah menempati posisi penting dalam sejarah evolusi eukariota fotosintetik dan eukariota lain. Kedua, kekayaan spesies algae merah yang sangat tinggi memainkan penting dalam ekosistem perairan. Ketiga, antena pemanen cahaya fotosintetiknya tersusun atas fikobiliprotein, dengan tilakoidnya yang tidak tersusun dalam tumpukan, dan sama sekali tidak memiliki flagella dan sentriola. Keempat, algae merah menyimpan karbon tersimpan sebagai butiran pati di dalam sitoplasma (pati floridean). Kelima, dinding selnya merupakan susunan kompleks antara selulosa, berbagai ragam hemiselulosa, dan galaktan-galaktan yang tersulfatasi (sulfated galactans) yakni agar dan carrageenas (Popper et al., 2011 29 ). Algae merah yang DNA genomiknya telah dirunut adalah Chondrus crispus (atau Irish moss) yang adalah anggota dari florideofita (Gigartinales). Chondrus crispus adalah rumput laut merah intertidal, yang berukuran mencapai 20 cm, dan ditemukan di daerah pantai berbatu di lautan atlantik utara Spesies ini memiliki nilai penting baik secara ekonomis maupun ekologis. Ia mendiami ekosistem pantai dan merupakan sumber pangan dan polimer. Dibandingkan dengan algae merah lain, informasi ilmiah dari spesies ini jauh lebih banyak (lihat Collen et al., 2013 dan pustaka di dalamnya). Genom Chondrus crispus berukuran 104,98 Mb, dengan jumlah gen 9,606. Gengennya sangat kompak, hanya memiliki 1,32 exon, dan sebagian besar gennya
monoexonik. Intron-intronnya berukuran kecil (182 nt; median, 123). Gen-gen pada algae ini bergerombol di daerah kaya gen yang tersebar dengan runutan yang mengandung banyak elemen-elemen DNA berulang, sehingga jarak antar gen cukup rapat (0,8 kb) (bandingkan dengan eukariotik umumknya, yang 6,9 kb). Jadi walaupun kerapan gennya rendah tetapi dengan pendompolan gen yang sangat tinggi. Ada bukti kuat terjadinya penyederhanaan genom –kandungan gen berkurang- dan hilangnya intron. Genom Chondrus crispus kaya dengan urutan DNA berulang (73%) (terutama LTR retrotransposon, dan sedikit non-LTR retrotransposon; inverted repeated elements, dan sedikit helitron). Jadi LTR retroelement merupakan penyetir utama struktur dan ekspansi ukuran genom Chondrus. Menarik dari pemetaan genom Chondrus, diketahui bahwa ada sekitar 52% gen yang teridentifikasi tidak memiliki counterpartnya di bank gen. Jadi banyak gen yang belum diketahui/baru. Teridentifikasi pula gen-gen yang khas terlibat dalam metabolism karbohidrat, termasuk gen-gen pensintesis carrageenan, yang memiliki kemiripan dengan yang ada pada hewan dan algae coklat, tetapi telah hilang pada tumbuhan. Terdapat pula gen pengkode 12 galactose-6-sulfurylase yang bertanggung-jawab pada tahapan akhir sintesisn karagenan, adalah khas untuk algae merah. Algae ini juga memiliki enzim yang khas terkait metabolism primer dan sekunder, termasuk gen-gen untuk metabolism halogen.
Kesimpulan dan Kontekstualisasi Riset Genomik di Indonesia Ke Depan
a. Dari ketiga runutan genom ketiga algae yang mewakili lintasan sejarah evolusi yang berbeda dan khas sebagaimana dideskripsikan di atas, maka bangunan dan struktur genomik dari masing-masing spesies yang mewakili kelasnya menunjukkan peran dari determinasi lingkungan evolusioner dan adaptasi aktif dari masing-masing algae tersebut. Interaksi lingkungan evolusioner dan adaptasi aktif itu menyeleksi (a) bangunan dan struktur genomik, serta gen-gen dari masing-masing spesies, serta (b) menyeleksi gen-gen yang telah ada sebelumnya sebagai wujud adaptasi pada lingkungan khasnya, termasuk di dalamnya penciptaan inovasi baru melalui penciptaan gen baru/khas atau penemuan fungsi baru gen lama pada setiap organisme. b. Indonesia, negara pantai, kaya sekali dengan sumberdaya algae. Genome tools yang telah tersedia tersebut di atas perlu dimanfaatkan oleh peneliti muda Indonesia sambil membangun mainstream sendiri berdasarkan keunikan spesies, lingkungan, kekayaan hayati, dan kepentingan nasional. Pemanfaatan genome tools ini dan pengembangan mainstream baru itu harus bersifat kolaboratif-konsorsium dengan prinsip “strategic pooling and sharing of resources”.
Referensi
1.
Popper ZA, Gurvan M, Herve C, Domozych DS, Willats WGT, Tuohy MG, Kloareg B, and Stengel DB, 2011. Evolution and Diversity of Plant Cell Walls: From Algae to Flowering Plants. Annu. Rev. Plant Biol. 62:567-590
2.
Richard J. Radmer RJ, 1996. Algal Diversity and Commercial Algal Products (Marine Biotechnology). BioScience 46(4), 263-270.
3.
U.S. DOE 2010. National Algal Biofuels Technology Roadmap. U.S. Department of Energy, Office of Energy Efficiency and Renewable Energy, Biomass Program.
4.
Guillermo Diaz-Pulido & Laurence J. McCook, 2008. Macroalgae (Seaweeds) in Chin. A, (ed) The State of the Great Barrier Reef On Line, Great Barrier Reef Marine Park Authority, Townsville.
5.
Wilson, E.O., 1986. The current state of biological diversity. In E.O. Wison, ed. Biodiversity. Proceedings of a Biodiversity Forum held in Washington DC. September 1986, pp3-18. National Academy of Science, Washington, DC.
6.
Knoll AH, 1992. The Early Evolution of Eukaryotes: A Geological Perspective. Science 256, 622-627.
7.
Karwur F, 2012. Paradoks Oksigen. BioS 6(1),5-17.
8.
Yan Y, Liu Z, 1993. Significance of eukaryotic organisms in the microfossil flora of Changcheng System. Acta Micropalaeontologica Sinica 10, 167-180.
9.
Javaux EJ, Knoll AH, Walter MR, 2004. TEM Evidence for Eukaryotic diversity in mid-Proterozoic oceans. Geobiology 2, 121-132.
10. Knoll, AH, Javaux EJ, Hewitt D, and P Cohen, Eukaryotic organisms in Proterozoic oceans. Phil. Trans. R. Soc. B (2006) 361, 1023–1038. 11. Butterfield, N.J., Knoll, A.H. & Swett, K. 1990 A bangiophyte red alga from the Proterozoic of Arctic Canada. Science 250, 104-107. 12. Butterfield, N.J. (2000) Bangiomorpha pubescens n. gen., n. sp.: implications for the evolution of sex, multicellularity, and the Mesoproterozoic/Neoproterozoic radiation of eukaryotes. Paleobiology 26: 386–404. 13. –idem 12-
14. Summons, R.E., and Walter, M.R., 1990, Molecular fossils and microfossils of prokaryotes and protists from Proterozoic sediments: Am. J. Sci., v. 290-A, p. 212244. 15. Butterfield NJ, Knoll AH, and Swett K, 1988. Exceptional preservation of fossils in an Upper Proterozoic shale. Nature 334, 424 – 427. 16. Palmer JD, Soltis DE, Chase MW, 2004. The Plant Tree of Life: An Overview and Some Points of View. American Journal of Botany 91: 1437-1445. 17. Keeling PJ, 2004. Diversity and Evolutionary History of Plastids and Their Hosts. American Journal of Botany 91: 18. Falkowski PG, Katz ME, Knoll AH, Quigg A, Raven JA, Schofield O, & Taylor FJR, 2004.The Evolution of Modern Eukaryotic Phytoplankton. Science 305:354-360. 19. Kim KM, Park J-H, Bhattacharya & Yoon HS, 2014. Application of Next-Generation Sequencing to Unraveling the Evolutionary History of Algae. International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology 64, 333-345. 20. Merchant SS (and other 16 researchers), 2007. The Chlamydomonas Genome Reveals the Evolution of Key Animal and Plant Functions. Science 318: 245-251. 21. Cock JM, (and other 77 researchers), 2010. The Ectocarpus genome and the independent evolution of multicellularity in brown algae. Nature 465:617-621. 22. Collen J., (other 57 researchers), 2013. Genome structure and metabolic features in the red seaweed Chondrus crispus shed light on evolution of the Archaeplastida. PNAS 110, 5347-5252. 23. –idem 20--. 24. Martin Lohr M, Im C-S, & Grossman AR, 2005. Genome-Based Examination of Chlorophyll and Carotenoid Biosynthesis in Chlamydomonas reinhardtii. Plant Physiol. 138: 490–515 25. Ball SG, 2005. Eukaryotic Microalgae Genomic. The Essence of Being a Plant. Plant Physiol., 137: 397-398. 26. –idem 20--. 27. Charrier B, Coelho SM, Le Bail A, Tonon T, Michel G, Potin P, Kloareg B, Boyen C, Peters AF, & Cock JM, 2008. Development and physiology of the brown alga
Ectocarpus siliculosus: two centuries of research. New Phytologist (2008) 177: 319–332. 28. –idem 21--. 29. –-idem 1--