Fokus Edisi 9: Melahirkan bukan Menjemput Kematian Ditulis oleh Daan Deka Kamis, 18 Juni 2009 09:39 -
Jamilah (24 th) akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir setelah melahirkan anaknya yang kedua. Rashid, suami Jamilah, dan Ali anak pertama mereka cuma dapat tercenung memandangi mayit Jamilah yang membiru. Berdasarkan kabar dari Rashid, pada waktu itu Jamilah tidak terlalu merasa tegang menghadapi persalinan karena persalinan tersebut adalah persalinan yang kedua kalinya. Ia percaya Jamilah dapat melewati masa-masa kritis seperti ketika pada masa persalinannya yang pertama. Tetapi apa hendak di kata, Tuhan berkehendak lain. “Dia lebih menyayangi Jamilah sehingga cepat memanggilnya ke sisi-Nya” ujar Rashid, suami Jamilah disela-sela pemakaman. Kini Rashid harus mengasuh 2 anaknya sendirian, menjadi ibu sekaligus menjadi bapak bagi mereka. (seperti diceritakan Rashid kepada redaksi) Rashid memang bukan satu-satunya suami yang harus menerima kematian istrinya karena melahirkan. Mungkin ada ratusan Rashid-Rashid yang lain yang memiliki nasib yang sama. Kepasrahan Rashid memang tidak salah, toch apa yang dapat kita perbuat lagi jika takdir yang dikemukakan dalam masalah ini. Namun, menyimak kasus ini, nampaknya Rashid sebagai suami lupa bahwa dalam Islam, takdir bukanlah sebuah kepasrahan mutlak. Karena dalam Islam kita mengenal usaha, do’a, dan tawakkal. “Faizaa ‘azamta fatawakkal ‘alallah” (QS Ali Imron; 159). Maksud ayat ini adalah setelah kita berusaha, berikhtiar maka barulah kita berserah diri kepada keputusan dan takdir yang Allah tetapkan. Jika memang demikian maka usaha mengatasi dan memberikan pelayanan yang lebih baik untuk mencegah kematian karena proses seorang ibu melahirkan sesungguhnya adalah bagian dari ikhtiar. Kasus di atas bukan satu-satunya kasus, akan tetapi dari kasus itu tidak bisa dipungkiri bahwa perhatian terhadap hak-hak perempuan ternyata tetap menjadi faktor yang penting bagi ibu melahirkan. Perhatian tersebut akan mampu menepis anggapan bahwa hamil dan melahirkan memang sudah merupakan kodrat perempuan yang di satu sisi dapat menepis segala penghargaan yang seharusnya diperoleh oleh perempuan ketika ia hamil. Pun anggapan bahwa kematian dalam persalinan akan masuk surga adalah anggapan yang dapat mengakibatkan bahwa kematian ibu tidak perlu disesali tetapi justru disyukuri. Namun, seperti dijelaskan di atas, anggapan tersebut sudah selayaknya diluruskan, bahwa manusia perlu berikhtiar untuk mendapatkan yang terbaik. ‘Meskipun dalam agama
1/6
Fokus Edisi 9: Melahirkan bukan Menjemput Kematian Ditulis oleh Daan Deka Kamis, 18 Juni 2009 09:39 -
disebutkan bahwa seorang ibu yang meninggal dunia pada saat melahirkan akan mati Syahid, namun Allah juga mengajarkan kepada kita untuk berikhtiar. Kita sakit ikhtiarnya adalah berobat atau berusaha sembuh. Jadi kalau perempuan melahirkan kita juga harus ikhtiar untuk mengusahakan supaya selamat’.
Jangan sampai terlambat Dalam urusan proses reproduksi dan keberlanjutan keturunan, peran ibu (perempuan) tidak dapat dibantah lagi. Di rahimnyalah calon-calon generasi baru bersemayam selama sembilan bulan, untuk kemudian dilahirkan, menghisap saripati kehidupan, menikmati dekapan dan belaian kasih sayangnya, lalu belajar menjalani kehidupan di muka bumi sebagai manusia. Tidak mengherankan pula berkat peran pentingnya itu, kemudian memunculkan satu pandangan dan nilai-nilai dalam masyarakat untuk meletakkan segala sesuatu yang berkaitan dengan reproduksi ke pundak istri, ibu, atau perempuan. Padahal urusan reproduksi, sekali lagi, bukanlah hanya urusan perempuan atau ibu, bahkan sudah sejak lama al-Qur’an memperingatkan untuk tidak hanya menyodorkan kewajiban kepada para ibu tetapi justru memberikan perhatian yang besar terhadap hak-hak mereka. Hal itu tertulis dalam QS al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi, ”Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf…” Namun sayangnya, kuatnya pengaruh adat dan budaya menjadikan hampir semua suami-istri masih memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi tanpa melalui proses komunikasi antarpribadi yang mengutamakan kesetaraan. Sehingga banyak peristiwa reproduksi yang dilewatkan tanpa pembahasan antara suami-istri, berjalan demikian saja mengikuti kelaziman masyarakat sekitar. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, di masyarakat masih berlaku kebiasaan di mana sebagian besar suami-istri hanya berbincang tentang ukuran keluarga ketika ingin menambah jumlah anak, tetapi tidak detail hingga menyentuh masalah kesiapan si istri untuk menerima kehamilan baru. Jika saja proses komunikasi yang setara antara suami-istri dapat terjadi, mungkin beban para perempuan dan ibu dapat lebih ringan. Hal yang mungkin jadi persoalan, adalah sejauh mana pengetahuan dan pemahamam soal kesehatan reproduksi yang ada pada diri suami. Dalam Islam, tindakan menghindari keburukan itu jauh lebih baik daripada mendiamkan sesuatu 2/6
Fokus Edisi 9: Melahirkan bukan Menjemput Kematian Ditulis oleh Daan Deka Kamis, 18 Juni 2009 09:39 -
secara sadar sehingga terjadilah keburukan. Seperti kata pepatah, sedia payung sebelum hujan, jauh lebih baik. Oleh karena itu, ada hadits tentang bagaimana tuntutan kepada umat Islam untuk ingat antara lain sehat sebelum sakit, lapang sebelum sempit. Untuk itulah, jika setelah melakukan pemeriksaan kesehatan diketahui keadaan alat reproduksi istri sudah mengandung risiko tertentu atau membahayakan bila hamil misalnya, suami hendaknya mengerti dan menjaga istri tidak hamil dan melahirkan. Bahkan, jika memang akan sangat berbahaya, mereka tidak melakukan hubungan intim. Dalam hal ini pasangan suami istri perlu bermusyawarah tentang rencana hidup rumah tangganya di masa kini dan mendatang, termasuk soal kapan hamil, melahirkan, dan berkonsentrasi mendidik anak atau memenuhi kebutuhan material rumah tangga. Berdasarkan data dari World Resources Institute tahun 1999, kasus kematian ibu di Indonesia sampai detik ini mencapai angka 650 per 100.000 kelahiran. Dalam hal ini seperti dikutip dari pernyataan Dr. Abdullah Cholil, MPH, Direktur Maternal and Neonatal Health (MNH), tingginya angka kematian ibu di Indonesia selain karena faktor 3 keterlambatan (terlambat mengenali bahaya, terlambat membawa ke tempat rujukan dan terlambat memberikan pelayanan di tempat rujukan), juga karena 4 terlalu (terlalu muda hamil, terlalu rapat jarak kehamilan, terlalu sering hamil, dan hamil di usia yang terlalu tua) (Sumber; majalah Ummi edisi 1/XIV/2002). Bahkan 4 terlalu di atas tidak hanya dapat memicu kematian ibu akan tetapi juga kematian bayi saat ini mencapai angka 50 per 1000 kelahiran bayi (Kompas, 18/10/2003). Terlalu sering atau terlalu dekat jarak kehamilan misalnya akan sangat berpengaruh pada kesiapan organ reproduksi ibu disamping juga proses penyempurnaan hak anak memperoleh susu ibu. Dan bagi Dr.Abdullah Cholil, jika 4 terlalu tersebut dapat diperhatian lagi maka 85% kematian ibu dapat dihindarkan. Tentu saja untuk itu diperlukan partisipasi dari seluruh pihak, baik dari kalangan medis maupun ulama untuk ikut mewujudkan itu. Apalagi pada tahun ini pemerintah memiliki target untuk menurunkan 50% angka kematian ibu.
Upaya
Mengubah Nasib Ibu Masih dari data World Resources Institute tahun 1999, tercatat bahwa dari sekian negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Afganistan adalah negara dengan tingkat angka kematian ibu tertinggi yaitu mencapai 3/6
Fokus Edisi 9: Melahirkan bukan Menjemput Kematian Ditulis oleh Daan Deka Kamis, 18 Juni 2009 09:39 -
1.700 per 100.000 kelahiran, disusul Indonesia dengan 650 per 100.000 kelahiran, Pakistan dengan 340 per 100.000, Iran 120 per 100.000 kelahiran dan terakhir Malaysia dengan 80 per 100.000 kelahiran. Jika dibandingkan dengan negara Asia lain yang penduduknya mayoritas non muslim data yang didapat jauh berbeda. Jepang misalnya hanya mencatat angka 18 per 100.000 kelahiran, Singapore 10 per 100.000 kelahiran, sedangkan China mencatat angka 95 per 100.000. Jika demikian sudah sepatutnya pemerintah menjadikan masalah ibu dan anak sebagai masalah prioritas untuk diatasi. Apalagi jika pemerintah memang betul serius hendak menurunkan angka kematian ibu hingga sampai dengan target angka 120 per 100.000 kelahiran. Kematian ibu sebagai fenomena duka nasional tidak terjadi sendiri, akan tetapi dia dpengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu faktor sosial, faktor budaya, hingga faktor ekonomi. Secara sosial, hal yang mempengaruhi tingginya angka kematian ibu dan kesehatan reproduksi perempuan, antara lain faktor kemiskinan, ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan, kawin di usia muda, tingkat pelayanan kesehatan reproduksi yang buruk, dan kurangnya pendidikan kesehatan. Sedangkan faktor budaya adalah masih kuatnya mitos-mitos budaya berkaitan dengan kesehatan dan pemahaman ajaran agama. Dan untuk faktor ekonomi, jelas masalah kemiskinan menjadi faktor dominan dalam semua hal ini. Seperti dikatakan Ninuk Widyantoro, miskinnya masyarakat juga akan membawa mereka menjadj miskin pengetahuan dan infromasi. Padahal dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi dan kesehatan para ibu, pengetahuan dan informasilah yang harusnya dapat dipermudah diperoleh. Sehingga dengannya segala tindakan pencegahan dapat dilakukan. Namun, jika dilihat dari faktor kemiskinan, standar kemiskinan di Indonesia saat ini saja jika diukur dengan kalori yang dikonsumsikan setiap anggota keluarga hanya berjumlah 2100 kalori/orang atau dengan penghasilan Rp 500.000,per kepala keluarga sesuai dengan UMR. Kondisi miskin ini tidak bisa tidak menempatkan perempuan pada kondisi yang lebih miskin sehingga aksesnya terhadap pendidikan, ekonomi dan kesehatan menjadi lebih terbatas. Pada kondisi miskin, perempuan terjerat hidup dengan gizi rendah dan akhirnya menderita anemia dan cenderung melahirkan anak dengan berat lahir rendah (BBLR) sehingga dalam proses tumbuh kembang selanjutnya mengalami hambatan. Kemiskinan sangat berpengaruh menentukan tingkat akses dan pelayanan kesehatan bagi perempuan maupun KIE (komunikasi, informasi dan edukasi). Apalagi
4/6
Fokus Edisi 9: Melahirkan bukan Menjemput Kematian Ditulis oleh Daan Deka Kamis, 18 Juni 2009 09:39 -
pada kelompok masyarakat kelompok perempuan yang terpinggirkan itu sering dijadikan sasarn dan target kebijakan politik terutama dalam system keluarga berencana tanpa informasi dan pilihan (Anita Rahman, 2003) Kebiasaan budaya adalah faktor lain yang memperburuk kondisi perempuan. Kebiasaan budaya yang merupakan mitos yang berkaitan dengan kesehatan yaitu dipantangkannya bagi perempuan untuk memakan makanan tertentu yang masih banyak melekat pada sebagian masyarakat di Indonesia. Misalnya banyak makan makanan yang dipantang kepada perempuan yang bila perempuan memakannya akan berdampak negatif pada vagina (becek) dan saluran reproduksinya (keputihan) sehingga tidak disukai suaminya, padahal makanan tersebut bermanfaat bagi kesehatan tubuh perempuan. Dengan memantangkan berbagai makanan karena terikat dengan mitos itu perempuan kehilangan akses terhadap gizi dan nutri makanan tertentu. Akibat kekurangan gizi itulah salah satunya menjadi pemicu perempuan sangat rentan ketika hamil dan melahirkan. Jika mitos ini terus dipercayai dan disosialisasikan bukan tidak mungkin kematian ibu karena kurang gizi tidak dapat dicegah. Sedangkan untuk faktor ekonomi, jika perempuan di negeri ini miskin secara materi jelas akan berakibat kepada miskinnya perempuan untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang lebih baik karena pelayanan kesehatan yang baik sangat mahal. Mahalnya pelayanan ini disebabkan karena dana yang disediakan pemerintah untuk masalah kesehatan ibu dan anak sangat minim. Hal ini sesungguhnya keprihatinan di tengah usaha Indonesia sendiri dalam rangka mendongkrak peringkat ke-110 untuk hal pembangunan manusia. Namun, kenyataan nampaknya memang harus diterima para kaum ibu karena nampaknya pemerintah masih belum mampu merubah peringkat itu ke peringkat yang lebih baik dengan hanya mengalokasikan sekitar 1,4% dana untuk kesehatan dari seluruh total angggaran pendapatan negara (APBN). Sedangkan indikator utama dari membaiknya pembangunan manusia suatu negara akan dilihat dari berapa besar angka kematian ibu dan kematian bayi. Terutama dalam upaya menurunkan angka kematian ibu dan bayi, sebagai indikator sensitif dari derajat kesehatan sebuah negara. Akhirnya, perbaikan untuk mengubah nasib ibu tidak bisa diusahakan hanya dari sisi sosial saja akan tetapi perlu juga memperhatikan berbagai faktor lainnya dan kerjasama antar berbagai pihak.](dd)
5/6
Fokus Edisi 9: Melahirkan bukan Menjemput Kematian Ditulis oleh Daan Deka Kamis, 18 Juni 2009 09:39 -
6/6