Tafsir Edisi 17 : Hijrah dalam Al Quran: Ditulis oleh K.H. Husein Muhammad Rabu, 10 Juni 2009 15:26 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:32
Tanggal 1 Muharram dalam kalender kaum muslimin sedunia telah tercatat sebagai hari bersejarah dalam kehidupan mereka. Pada 1426 tahun lalu Umar bin Khattab, khalifah kedua telah mencanangkan 1 Muharram sebagai awal kalender kaum muslimin. Khalifah paling kreatif ini merenung dan memandang dengan seluruh ketajaman nurani dan pikirannya, hari-hari yang pernah dilalui bersama Rasulullah SAW. Dia juga melihat peristiwa kehadiran Nabi yang agung itu sejak beliau lahir ke muka Bumi. Pikiran dan permenungan sang pemimpin visioner itu diperlukan untuk menentukan kapan kalender kaum muslimin harus dimulai. Pilihan itu pada akhirnya jatuh pada moment sejarah kehidupan Nabi yang paling menentukan bagi masa depan Islam dan kaum muslimin yaitu Hijrah. Umar agaknya mengingat dengan tingkat kesadaran yang utuh bagaimana Nabi yang mulia dan para pengikutnya yang setia berada dalam kondisi yang sangat kritis. Nabi telah kehilangan orang-orang yang mencintai dan dicintainya, orang yang melindungi dan membela perjuangannya. Istri tercintanya, Khadijah dan pamannya, Abu Thalib, telah meninggalkannya untuk selamanya. Sejarah kaum muslimin menyebutnya sebagai ‘am al huzn, tahun duka nestapa. Sementara sikap kaum yang membencinya telah kehilangan cara untuk menghentikan dakwah profetik dan monoteistik. Beberapa cara dan strategi busuk telah dilakukan termasuk politik pengucilan dan pembiaran agar mati kelaparan. Satu-satunya cara yang tersisa adalah menghabisi nyawanya. “Muhammad harus mati”, teriak mereka. Pada malam yang kelam mereka telah siap untuk mengakhiri hidup Muhammad. Dengan begitu, pikir mereka, akan berakhir pula riwayat kepercayaan baru yang merusak tradisi dan kepercayaan politeistik (syirik) mereka. Tetapi apa yang terjadi? Rencana mereka gagal total. Muhammad yang mereka cari telah pergi tanpa diketahui jejaknya. Tuhan telah mengaturnya dengan amat cermat dan menggagalkannya. “Ingatlah (hai Muhammad), ketika orang-orang kafir Quraisy itu berkomplot membuat rencana terhadapmu, untuk menangkap atau membunuh atau mengusirmu. Mereka membuat rencana dan Allah adalah Perencana terbaik”. (Q.S. 8:30). Nabi didampingi seorang sahabat setianya, Abu Bakar al Shiddiq, hijrah ke Madinah menyusul para pengikut yang berangkat lebih dahulu. Ada sejumlah pendapat mengenai tanggal Nabi hijrah. Al Najm Umar bin Fahd Muhammad bin
1/6
Tafsir Edisi 17 : Hijrah dalam Al Quran: Ditulis oleh K.H. Husein Muhammad Rabu, 10 Juni 2009 15:26 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:32
Muhammad berpendapat bahwa itu terjadi pada tanggal 4 Rabi’al Awal. Sementara Abd al Fattah al Matsnawi mengatakan hijrah terjadi pada tanggal 1 Rabi’ al awal/13 September 622 M dan tiba di Yatsrib (Madinah) pada Senin 12 Rabi’ al Awal/24 September 622M.
Hakekat Hijrah Secara literal hijrah berasal dari kata hajara. Al Mu’jam al Wasith menyebutkan : hajara berarti taraka min makan ila makan, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam arti fisikal atau berarti i’tazala, memisahkan diri atau tabaa’ada, menjauhkan diri. Ia juga bisa berarti taraka wathanahu, dia meninggalkan tanah airnya. Mengenai makna ini, Al Qur-an menyatakan: “Dan orang-orang (Anshar) yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum (kedatangan) mereka (muhajirin) mereka mencintai orang yang berhijrah ke tempat mereka”. (Q.S. al Hasyar, 59:9). Ayat lain yang menunjuk arti perpindahan tempat juga disebutkan dalam Q.S. Al Ankabut, 29: 26 : “Maka Luth membenarkan kenabian Ibrahim. Dan dia (Ibrahim) berkata: “Sesungguhnya aku harus berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhan kepadaku”. Sementara al Raghib al Isfahani dalam Mufradat Alfazh al Qur-an menyatakan bahwa kata hajara berarti “mufaraqah al insan ghairahu imma bi al badan aw bi al lisan aw bi al qalb (meninggalkan orang lain baik secara fisik, ucapan, atau hati). Ini menunjukkan bahwa hijrah memiliki makna yang lebih luas dari sekadar perpindahan fisik. Hijrah berarti juga mendiamkan atau membiarkan. Al Isfahani selanjutnya mengemukakan makna terminologis hijrah sebagaimana dipahami banyak orang dewasa ini. Hijrah adalah keluar dari rumah atau wilayah kafir (dar al kufr) menuju rumah atau wilayah iman (dar al iman) seperti hijrah dari Makkah ke Madinah. Di sini tampak bahwa hijrah mengandung makna teologis, sebuah sikap meninggalkan keyakinan yang mengingkari Tuhan berikut misi-misi yang disampaikan-Nya menuju kepada sikap mempercayai Tuhan berikut seluruh misi-Nya. Pemaknaan ini diambil dari sejumlah ayat al Qur-an. Misalnya : “Dan orang-orang yang berhijrah karena Allah setelah mereka dizhalimi, pasti Kami menyediakan untuk mereka tempat yang baik di dunia”.(Q.S. al Nahl,16: 41) atau “O-rang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah...”(Q.S.al Anfal, 8:74) dan masih banyak ayat yang lain. 2/6
Tafsir Edisi 17 : Hijrah dalam Al Quran: Ditulis oleh K.H. Husein Muhammad Rabu, 10 Juni 2009 15:26 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:32
Dalam banyak pandangan ayat-ayat tentang hijrah di atas dapat menunjuk pada makna-makna yang terkait dengan dimensi moralitas dan religius. Mereka mengatakan bahwa hijrah berarti “hujran al syahawat wa al akhlaq al dzamimah wa al khathaya (meninggalkan keinginan-keinginan yang rendah, moralitas yang buruk, dan kekeliruan-kekeliruan) menuju kepada kehidupan yang lebih religius dan bermoral mulia. Demikianlah, jelas bahwa hijrah tidak dapat dimaknai secara sederhana sebagai perpindahan tempat, melainkan sebuah langkah yang mengandung dimensi-dimensi kehidupan yang lebih luas dan strategis. Sebagai seorang Rasul (utusan Tuhan), misi utama Nabi Muhammad SAW adalah menyebarkan prinsip monoteisme, keadilan, dan kerahmatan untuk seluruh umat manusia. Dengan begitu langkah hijrah Nabi SAW adalah dalam kerangka melanjutkan misi teologis, spiritual, dan moral kemanusiaan di tempat dan audiens yang lebih menghargai nilai-nilai kemanusian yang luhur. Hal yang menarik adalah bahwa hampir semua teks suci al Qur-an yang menyebutkan kata hijrah diikuti dengan kata “jihad”. Dalam terminologi Islam, jihad diartikan sebagai perjuangan dengan mengerahkan seluruh potensi dan kemampuan yang dimiliki manusia; moral, intelektual, dan spiritual untuk sebuah tujuan yang mulia. Pada umumnya tujuan jihad adalah membebaskan tirani (kezaliman), pikiran-pikiran dan perilaku-perilaku yang sesat (batil) dan mengubahnya menjadi kebenaran, kebaikan, keadilan, kemuliaan dan kedamaian. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa hijrah dan jihad adalah dua hal yang berjalan secara simultan. Hijrah merupakan langkah melepaskan diri dari kondisi dan situasi kehidupan yang anti-Tuhan dan sarat kezaliman menuju perwujudan masyarakat baru yang humanistik. Seluruh langkah ini harus dilakukan dengan seluruh kesungguhan intelektual, moral, dan spiritual yang dimiliki manusia beriman.
Makna Hijrah bagi Perempuan Makna-makna hijrah di atas tampaknya menemukan relevansinya yang sangat kuat dengan problem-problem kehidupan masyarakat muslim dewasa ini. Satu dari sekian banyak problem tersebut adalah nasib perempuan yang masih belum cukup mendapatkan statusnya sebagai 3/6
Tafsir Edisi 17 : Hijrah dalam Al Quran: Ditulis oleh K.H. Husein Muhammad Rabu, 10 Juni 2009 15:26 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:32
manusia yang setara dengan kaum laki-laki. Tuntutan kaum perempuan untuk diperlakukan secara adil lebih banyak masih dalam tataran retorika. Praktik-praktik kehidupan masih memarjinalkan kaum perempuan dalam skala yang cukup masif. Kekerasan yang dialami kaum perempuan masih menyergap di mana-mana. Kekerasan terhadap perempuan (di dalam maupun di luar rumah tangga) menunjukkan angka yang terus membesar. Bahkan kecenderungan baru memperlihatkan praktik-praktik masyarakat Arabia pra Islam terhadap perempuan, yaitu perempuan semakin banyak diperlakukan bagai budak belian. Ini muncul dalam kasus trafficking in women (perdagangan perempuan) yang semakin hari semakin meningkat secara eskalatif. Trafficking perempuan mengambil bentuk penipuan,kebohongan, dan eksploitasi baik dalam proses migrasi maupun untuk pekerja rumahtangga dalam negeri. Secara singkat kita dapat mengatakan bahwa hak-hak asasi perempuan belum mendapatkan respon yang lebih progresif dalam sistem sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan kita. Memahami makna substantif dari hijrah sebagaimana dikemukakan seharusnya menuntut orang-orang yang beriman untuk menghijrahkan mereka dari ruang keterpurukan dan ketertindasannya. Pandangan-pandangan dan sikap-sikap yang merendahkan, memarjinalkan, mendiskriminasi, dan mengekspoitasi tubuh dan eksistensi kaum perempuan sebagaimana yang pernah dilakukan orang-orang kafir Quraisy Makkah sebelum hijrah harus ditinggalkan. Mereka tidak boleh dikembalikan lagi pada sistem kebudayaan lama (jahiliyah). Al Qur-an menyatakan : “Wahai orang-orang yang beriman (kepada Allah Yang Maha Esa), apabila perempuan-perempuan yang beriman datang berhijrah kepadamu, hendaklah kamu uji keimanan mereka. Allah lebih mengetahui keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir”. (Q.S. al Mumtahanah, 60 ; 10).
4/6
Tafsir Edisi 17 : Hijrah dalam Al Quran: Ditulis oleh K.H. Husein Muhammad Rabu, 10 Juni 2009 15:26 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:32
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum perempuan yang ikut hijrah bersama Nabi dan memiliki tekad yang kuat untuk setia kepada perjuangan Nabi harus diperlakukan secara baik. Mereka tidak boleh dibiarkan kembali ke tangan orang-orang kafir Quraisy yang biasa memperlakukan mereka dengan pandangan mata yang merendahkan dan mengajak kepada kekufuran. Pada ayat selanjutnya dinyatakan: “Wahai Nabi, apabila perempuan-perempuan beriman datang kepadamu untuk mengadakan baiat (janji setia) bahwa mereka tidak akan menyekutukan sesuatu apapun dengan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berdusta dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji-setia mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada Allah. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”.(Q.S. al Mumtahanah, 60 ; 12). Demikianlah, sesampainya Nabi di Madinah, upaya-upaya ke arah perwujudan cita-cita yang pernah dicanangkan di Makkah mulai dilakukan. Al Qur-an dan Sunnah Nabi dalam banyak tempat secara jelas menghargai peran dan status perempuan dibandingkan dengan kondisinya pada masa pra Islam atau ketika masih di Makkah dengan menekankan kesetaraan spiritual dan moral laki-laki dan perempuan. Meskipun sejumlah aturan-aturan sosial dan ekonomi tertentu dalam al Qur-an masih memperlihatkan kepemihakan kepada laki-laki dan menunjukkan ketidaksetaraan laki-laki dan perempuan, namun hal itu harus dipahami sebagai langkah transformasi kultural dalam tahapannya yang awal. Dengan sangat menarik, Khalid Abou el Fadl mengatakan: “Aturan-aturan hukum yang bersifat khusus (partikular, -pen.) bisa saja dianggap sebagai moral. Akan tetapi hal itu karena aturan-aturan tersebut lebih diterima sebagai solusi yang bersifat ilahiyah atas problem partikular yang ada dalam sebuah kondisi tertentu. Dengan berubahnya kondisi, aturan-aturan hukum yang bersifat khusus itu bisa saja gagal memenuhi tujuan-tujuan moralnya dan oleh karena itu perlu dipikirkan ulang”. (Melawan Tentara Tuhan, hal. 158).
5/6
Tafsir Edisi 17 : Hijrah dalam Al Quran: Ditulis oleh K.H. Husein Muhammad Rabu, 10 Juni 2009 15:26 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:32
Hal lain yang seharusnya menjadi fokus perhatian kita adalah bahwa Nabi SAW pada suatu hari yang bersejarah melakukan langkah transformasi kebudayaan dan politik secara spektatuler melalui apa yang disebutnya sebagai “Watsiqah Madinah” (Traktat Madinah) yang berisi diktum-diktum tentang persamaan, persaudaraan, dan penegakan keadilan. Para sarjana muslim maupun nonmuslim mengakui Piagam Madinah tersebut sebagai deklarasi hak-hak asasi manusia. Ini adalah cita-cita besar Nabi SAW. yang patut kita wujudkan dalam kehidupan kita hari ini. Cita-cita ini masih diulangi lagi pada kesempatan yang terakhir sebelum Nabi wafat. Di sebuah bukit di Arafah, Nabi berpidato kepada seluruh dunia : “Wahai manusia, perhatikan dengan sungguh-sungguh. Aku berpesan kepadamu agar kamu memper lakukan kaum perempuan dengan baik, karena mereka (dalam realitas kebudayaan kamu) masih dianggap seperti tawanan. Kamu tidak mempunyai hak apa-apa atas mereka, kecuali memperlakukan mereka dengan baik”. Dan dalam kalimatnya yang lain Nabi juga mengatakan: “Sungguh, darahmu, hartamu, dan kehormatanmu adalah suci, sesuci hari ini dan bulan ini sampai datang masanya kamu menghadap Tuhan. Dan pasti kamu akan menghadap Tuhan, pada waktu itu kamu dimintai pertanggungjawaban atas segala perbuatanmu”. ]
6/6