Tafsir Edisi 7 : Yang Luput; Pendidikan Perempuan Ditulis oleh Ala'I Najib Rabu, 10 Juni 2009 15:05 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:12
Ibu adalah sekolah bangsa jika engkau persiapkan seorang Ibu dengan baik, maka engkau sedang menyiapkan bangsa yang tangguh. Inilah kata hikmah yang tidak pernah saya lupa setiap berbicara tentang perempuan dalam banyak aspeknya. Sebab pendidikan dimana proses belajar di ruang formal maupun non formal terjadi, adalah syarat bagi keberhasilan melakukan "transaksi" kehidupan. Di negeri ini, tak kurang R.A.Kartini sampai Rasuna Said berjuang untuk pendidikan kaum perempuan. Nasib perempuan, bagaimanapun hebatnya dibicarakan dan diseminarkan, masih menjadi ironi. Jika ada kemiskinan di sebuah negeri, maka perempuanlah kelompok yang paling miskin, jika ada kelompok buta huruf, maka perempuanlah yang banyak buta huruf (Ann Hartfiel, In Support of Women: Ten Years of Funding by The Inter-American Foundation September 1982, p.2). Di Indonesia, statistik perempuan menunjukkan ketimpangan yang menyolok. Ini bisa dilihat misalnya Statistik Indonesia untuk pendidikan dan kebudayaan yang dikeluarkan Bappenas 1997 menunjukkan bahwa antara tahun 1980-1990, angka masuk sekolah laki-laki dan perempuan selalu lebih rendah dibanding laki-laki dan semakin tinggi tingkat pendidikan semakin kecil siswa perempuannya. Jika dirunut ketimpangan pendidikan perempuan dikarenakan masyarakat masih berpandangan male oriented, pandangan yang mengedepankan pendidikan laki-laki daripada perempuan. Dengan konsep bahwa anak laki-laki kelak menjadi kepala keluarga, maka sebuah keluarga dimana terdapat anak laki-laki dan perempuan dengan ekonomi pas-pasan pasti akan mendahulukan pendidikan tinggi anak laki-lakinya daripada anak perempuan. Anggaran pemerintah terhadap pendidikan di banyak negara -terutama negara berkembang- memang lebih kecil dibanding anggaran yang lain, hal ini menyebabkan pendidikan bukan saja konsumsi mewah yang tak banyak dijangkau masyarakat umum, namun juga menciptakan masyarakat berkelas;
1/8
Tafsir Edisi 7 : Yang Luput; Pendidikan Perempuan Ditulis oleh Ala'I Najib Rabu, 10 Juni 2009 15:05 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:12
orang awam dan orang berpendidikan. Boleh dikata, hanya yang punya uang yang mampu sekolah, sebab ternyata beasiswa tidak untuk semua orang. Kemiskinan tentu bukan satu-satunya sebab yang memarginalkan pendidikan perempuan, male oriented juga paralel dengan budaya yang kuat mengakar bahwa perempuan tidak sepantasnya berpendidikan tinggi karena nanti hanya akan ke dapur. Persepsi ini tidak diluruskan bahwa peran di dapurpun menuntut pengetahuan. Tanpa tahu nutrisi yang baik, mustahil perempuan bisa menyiapkan menu yang sesuai dengan kebutuhan gizi keluarga. Koran Tempo edisi November menurunkan laporan bahwa mempunyai istri yang cerdas lebih menguntungkan terutama dalam hubungannya dengan gizi keluarga, tapi tidak sebaliknya, kalau seseorang mempunyai suami cerdas.Budaya bahwa perempuan adalah konco wingking, sehingga tak perlu dididik juga turut mensubordinatkan perempuan. Fakta-fakta di atas menunjukkan betapa pendidikan -dalam arti yang sebenar-benarnya- bagi perempuan bukan ketertinggalan yang harus dikejar, tapi dilanggengkan. Memang banyak perempuan sekarang yang sudah memegang peranan penting, tapi itu hanya representasi kecil yang belum mencapai keterwakilan penduduk di muka bumi dan harus dicatat tidak semuanya punya sense of gender. Sulitnya, lingkungan pendidikan keagamaan juga turut berperan membentuk persepsi ini, lihatlah misalnya; seorang perempuan yang masuk fakultas kehutanan, mestilah ia bercita-cita menjadi insinyur kehutanan, tapi apakah ada di pesantren perempuan, santrinya berani bercita-cita menjadi ibu Nyai? yang mengajar di pesantren? Sebaliknya laki-laki, nyarisnya semuanya diproyeksikan jadi: "Kyai". Kalau ini terjadi secara simultan, bagaimana kita mengharapkan, nanti yang mengajar fikih, tafsir atau disiplin ilmu keagamaan lain perempuan? Padahal posisi ini sangat penting, sebab pengajaran keagaamaan yang berperspektif gender bisa digerakkan sebab guru atau bu Nyai yang merupakan tokoh kunci. Selain faktor-faktor di atas, adanya trend bahwa perempuan yang sekolah tinggi kemudian tidak mengembangkan karirnya dan memilih kembali ke ruang domestik menimbulkan persepsi bahwa memang tugas perempuan adalah
2/8
Tafsir Edisi 7 : Yang Luput; Pendidikan Perempuan Ditulis oleh Ala'I Najib Rabu, 10 Juni 2009 15:05 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:12
mengurus rumah tangga dan ini tidak dianggap sebagai pilihan sadar individu.
Faktor-faktor diatas juga sebenarnya kita sadari telah dikembangkan secara budaya, dikukuhkan oleh negara, mungkin dinikmati laki-laki dan juga diamini perempuan, tetapi benarkah ketertinggalan ini dilegitimasi penafsiran agama?
Bagaimana sebenarnya teks-teks agama menjelaskan duduk soal pendidikan perempuan? Wahyu pertama (QS. 96:1) misalnya dipahami sebagai perintah iqra', membaca, daras yang wajib untuk seluruh kaum muslimin. Perintah belajar bersifat umum, tidak ada pembedaan laki-laki dan perempuan. Surat 2;30, yang berbunyi
"sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi dan surat Hud: 61, Dan Dia yang menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menugaskan kamu untuk memakmurkan." Dengan ayat ini, manusia dituntut akan tanggung jawabnya sebagai hamba dan khalifah yang berkualitas di muka bumi. Dan untuk menuju kesana dibutuhkan orang yang mau belajar agar tugas-tugasnya untuk mewujudkan kehidupan dunia yang adil dan makmur tercapai, baik laki-laki maupun perempuan.
3/8
Tafsir Edisi 7 : Yang Luput; Pendidikan Perempuan Ditulis oleh Ala'I Najib Rabu, 10 Juni 2009 15:05 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:12
Tafsir-tafsir umumnya tidak membuat ruang segregasi antara laki-laki dan perempuan pun juga tidak menyebut perempuan secara eksplisit sebagaimana hadis-hadis. Hadis dengan sangat detail bisa bertutur bagaimana gigihnya para istri Nabi belajar, setting ruang dan materi yang dipelajari. Satu kitab tafsir yang ditulis dimana budaya patriakhal masih dominan, Ibn Katsir (lihat Ibnu Katsir; volume 4:562) tidak menyebutkan limitasi antara laki-laki dan perempuan dalam pendidikan. Ghalibnya, para mufassir lebih menonjolkan aspek sababun nuzul pada pembahasannya dan memenuhi jawaban zamannya. Harus ditegaskan bahwa pendidikan perempuan yang merujuk kepada banyak ayat-ayat Quran sudah jelas tanpa diskriminasi, perempuan bisa belajar bidang apa saja. Kalau ada ayat yang berbunyi
" dan tetap tinggallah kamu dirumah" (QS.33;33) jangan dimaknai bahwa perempuan harus di rumah, sebab ayat ini sebenarnya adalah khususiyah kepada istri Nabi, bukan kepada seluruh kaum muslimat, atau ketentuan adanya hijab antara istri-istri Nabi dan kaum mukminin,
"....apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada istri-istri Nabi, maka mintalah dari belakang tabir, sebab yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka..." (QS.33;53).
4/8
Tafsir Edisi 7 : Yang Luput; Pendidikan Perempuan Ditulis oleh Ala'I Najib Rabu, 10 Juni 2009 15:05 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:12
Ayat ini merupakan perintah adanya hijab bagi mereka diantara laki-laki (para sahabat Nabi) yang memasuki rumah Nabi dan kewajiban istri-istri Nabi untuk menutup wajah mereka kalau keluar rumah, ini sejalan dengan ayat (QS. 33; 59) (Abu Syuqqah: volume 4-6: 287 dan volume 1-3; 18). Relasi laki-laki dan perempuan dalam Islam yang ideal juga mensyaratkan pendidikan, misalnya;
"barang siapa yang beramal shaleh laki-laki dan perempuan, dan mereka adalah orang yang beriman, baginya kehidupan yang baik (QS.3:27)
Rasyid dalam Tafsir al-Manar berpendapat bahwa ayat : " Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebagian mereka adalah menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar...(QS. 9;71).
Merupakan kewajiban laki-laki dan perempuan untuk saling amar ma'ruf nahi munkar, mengajar, beramal dan saling menguatkan. Selain itu perempuan sebagaimana laki-laki juga berhak mewujudkan kehidupan yang mawaddah penuh mahaabbah dan rahmah.(Ibn Katsir, volume 3; 448). Ini misalnya dalam ayat "
5/8
Tafsir Edisi 7 : Yang Luput; Pendidikan Perempuan Ditulis oleh Ala'I Najib Rabu, 10 Juni 2009 15:05 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:12
Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptkan untukmu istri-istri dari jenismu sendirin supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan diantaramu rasa kasih sayang...." (Q.S. 30:21)
Para mufasir lama memang tidak banyak memberi tekanan pada ayat-ayat yang mengandung pendidikan. Namun ulama kontemporer seperti Muhammad Abduh atau Qasim Amin telah memberi modifikasi yang baik dan semangat pendidikan bagi perempuan dengan teks-teks agama. Qasim Amin yang disebut bapak "feminism" Arab meletakkan pendidikan sebagai isu utama gerakannya, sebab pendidikan merupakan salah satu pintu untuk melakukan perubahan. Meski pendidikan perempuan seperti sejarah yang kurang terliput, banyak wanita terkemuka karena pengetahuannya dan menjadi rujukan sekian banyak tokoh laki-laki seperti 'Aisyah ra. yang menjadi rujukan dalam soal-soal keagamaan. Selain itu kita mengenal Sakinah binti Husain bin Ali bin Abu Thalib bahkan yang tak banyak diungkap, Imam Syafi'i, imam madzhab yang pandangan-pandangannya menjadi panutan banyak orang di Indonesia, mempunyai seorang guru perempuan Syuhrah yang digelari Fakhr al-Nisa' (kebanggaan kaum perempuan), al-Khansa, Rabiah al-Adawiyah dll (Shihab: 278;1994) Banyak figur di masa lalu dan teks-teks Quran tentang pendidikan sudah sharih, sejarah pendidikan perempuan tetap gelap bahkan seakan lenyap terutama dalam khasanah pengetahuan keagamaan. Teks-teks itu memang jarang dimunculkan untuk spirit betapa ketertinggalan pendidikan perempuan juga menjadi tanggung jawab agamawan. Saya setuju dengan pendapat bahwa teks-teks Quran harus dibaca pada konteksnya (qiraah al-siyaqiyah) untuk mengembangkan penafsiran modern yang menganalisa teks dalam konteks sosial sejarahnya (Nasr Hamid Abu Zaid; Dawair al-Khauf Qiraah fi Khitab al-Mar'ah; 202). Untuk merealisasikan itu, teks dan 6/8
Tafsir Edisi 7 : Yang Luput; Pendidikan Perempuan Ditulis oleh Ala'I Najib Rabu, 10 Juni 2009 15:05 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:12
konteks harus berdialog dan berdialektika serta tidak dibiarkan secara pasif (Nasr Hamid Abu Zaid; Ishkaliyat al-Qiraat wa Aliyah al-Ta'wil;42) Pendidikan perempuan bersifat mutlak, selain tugas sebagai khalifah, sebagaimana disebut di atas, persoalan-persoalan keseharian perempuan misalnya soal keagamaan; haid dan nifas atau soal kemasyarakatan lainnya sebenarnya mensyaratkan perempuan harus punya bekal pendidikan yang cukup. Hak-hak reproduksi perempuan sudah seharusnya pembelajarannya lewat perempuan, sebab hanya perempuan yang tahu dan mengalami bagaimana membedakan darah haid sebagai tanda boleh dan tidaknya perempuan mulai sholat, merasakan nifas dsb. Ubudiyah dalam Islam terutama menyangkut hak-hak reproduksi perempuan sangatlah rigid, karenanya perempuan harus melewati proses belajar untuk tahu itu. Banyak kitab, semacam fiqh al-nisa' yang ditulis oleh ulama (baca; laki-laki) dan kemudian mereka pula yang mengajarkan, lihat misalnya, sebagai contoh, Fatawa al-Nisa' yang ditulis Ibn Taimiyah, kitab ini sebegitu komplek. Saya tidak membayangkan bagaimana kalau yang mengajarkan adalah laki-laki, mungkin akan lebih bersifat dogmatik daripada menjawab persoalan. Dialog yang mestinya cair, barangkali menjadi kikuk, karena bapak kyai yang menguraikan darah haid!. Kasus pelarangan sekolah bagi perempuan di rezim Taliban janganlah di lihat semata-mata karena motivasi agama, sehingga mencitrakan Islam sebagai agama terbelakang. Sebab banyak faktor politisnya di tengah ketidakberdayaan kebudayaan global dan kepentingan kapitalism.Isu-isu seperti ini banyak dipakai politisi dunia untuk menjatuhkan Islam. Ketertinggalan perempuan dalam pendidikan perlu dikejar dalam waktu yang lama sebab pendidikan merupakan investasi jangka panjang. Sekarang ini meski agenda perempuan sudah dilihat keberhasilannya, namun perempuan belum banyak memasuki sektor-sektor penting terutama yang menyangkut kebijakan. Bahkan mungkin banyak
7/8
Tafsir Edisi 7 : Yang Luput; Pendidikan Perempuan Ditulis oleh Ala'I Najib Rabu, 10 Juni 2009 15:05 - Terakhir Diperbaharui Kamis, 11 Juni 2009 05:12
perempuan mengkhususkan menekuni gender daripada isu-isu lain, mungkin ini wajar sebagai ketidakadilan gender telah menjadi kerja besar bagi kita semua terutama kaum perempuan untuk menghapuskannya. Jika kita hanya berkutat terus pada wacananya dan lihai untuk menekuni bidang yang lain, kita akan kehilangan startnya kembali. Penuntutan kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam segala bidang adalah omong kosong tanpa diikuti pendidikan formal maupun non formal. Sebagai contoh jangan sampai tuntutan pemenuhan quota perempuan di DPR, memaksakan jumlah perempuan yang seimbang namun tidak diikuti bekal yang proporsional. Jumlah perempuan memang terpenuhi tapi apakah kuantitasnya memadai?, apakah mereka juga punya sense of gender? Apakah merupakan yang diperjuangkan karena mereka keperempuananya juga dibuatkan kontrak bahwa mereka nanti bisa mempengaruhi kebijakan? jangan sampai perempuan Indonesia menjadi bunga parlemen seperti di India. Ada tapi tak ada, ada tapi tak melakukan perubahan Sekarang ini agenda yang mendesak ditengah konflik multi dimensional bangsa adalah memperbaiki dan membantu pendidikan perempuan di segala sektor, agar kita semakin banyak punya politisi, ahli agama, ekonomi dan pejabat yang punya sense of gender. Tanpa pendidikan formal atau non formal semuanya non sense!. [] *Penulis adalah Dosen Tamu Program Kajian Wanita Pascasarjana Universitas Indonesia dan staf Lakpesdam Jakarta
8/8