Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
Dalam
pentas sejarah Islam klasik, banyak kisah sukses yang diukir para perempuan. Sebutlah, misalnya, Siti Aisyah , isteri baginda Nabi Muhammad Saw, yang dengan sukses dapat memimpin puluhan ribu pasukan perang di bawah kendali perintahnya. Tetapi, 'Agama' diyakini banyak orang, menegaskan bahwa kepemimpinan perempuan paralel dengan ketidak-suksesan dan kesengsaraan. Sehingga, tidak ditemukan satupun literatur Islam klasik yang membenarkan kepemimpinan selain untuk laki-laki.
Di
dalam kitab Minhaj al-Thalibin, misalnya, salah satu rujukan utama tradisi pesantren yang ditulis oleh Imam al-Nawawi al-Dimasyqi (676 H), disebutkan bahwa syarat-syarat pemimpin tertinggi (imamat al-uzma) adalah muslim, bukan budak, dari suku Quraisy, orang dewasa, berjenis kelamin laki-laki dan cerdas. Ketika mengomentari pernyataan ini Khathib al-Syarbini menegaskan bahwa kelelakian adalah merupakan syarat mutlak untuk kepemimpinan tertinggi. Alasannya, hanya laki-laki yang bisa bergumul dengan politik yang nota bene dianggap sebagai dunia laki-laki. Alasan lain adalah teks hadis yang melarang kepemimpinan perempuan (Mughni al-Muhtaj, IV:129).
Kitab-kitab lain dalam literatur Islam klasik juga menyatakan hal yang sama. Dalam penelusuran DR. Wahbah al-Zuhaili, tak ditemukan satupun ulama yang membenarkan kepemimpinan perempuan. Dikatakan bahwa ulama Islam telah konsensus (ijma') dengan pernyataan bahwa kelelakian merupakan salah satu syarat utama bagi kepemimpinan tertinggi (al-Fiqh al- Islami, VII: 6179). Para penulis fiqh politik Islam pada masa lalu, seperti Mawardi dan al- Abu Ya'la, juga bersikeras mensyaratkan laki-laki dalam kepemimpinan politik. Sementara pemikir Islam kontemporer juga tidak sedikit yang menyuarakan hal yang sama. Sebutlah misalnya Syah Waliyullah al-Dahlawi, al-Mawdudi dan yang lain. Dengan demikian, apakah berarti bahwa perempuan dalam pandangan Islam tidak dibenarkan untuk menduduki kepemimpinan politik tertinggi ?.
1 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
Pada masa kehidupan baginda Nabi Muhammad Saw, perilaku kepemimpinan telah dipraktekkan oleh segenap perempuan-perempuan mulia. Siti Khadijah bint Khuwailid ra, isteri pertama Nabi, perempuan mulia, pengusaha, yang 'melamar dan meminang Nabi Saw. Ia menenangkan, mendukung dan memprakarsai aktivitas-aktivitas da'wah yang pada awalnya Nabi Saw merasa ragu untuk melakukannya. Nusaibah bint Ka'ab ra memimpin pasukan perlindungan Nabi Saw pada saat-saat kritis para sahabat terdesak dalam perang Uhud. Umm Salamah ra, isteri Nabi yang memimpin perempuan-perempuan Madinah menyuarakan aspirasi mereka kepada Nabi Saw, sehingga turun ayat-ayat kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal, Siti Aisyah ra, juga melakukan hal yang sama, bahkan lebih nyata lagi pada masa akhir pemerintahan Khulafa Rasyidin.
Aktifitas seperti diatas, terutama kepemimpinan Siti Aisyah pada perang Unta, setidaknya bisa menjadi pendulum untuk mengkritisi wacana kepemimpinan politik laki-laki dalam Islam. Argumentasi-argumentasi yang diajukan untuk mendukung penolakan kepemimpinan perempuan saat ini bisa didiskusikan kembali, sama seperti permasalahan-permasalahan lain yang pada awalnya diterima secara bulat, tetapi pada perkembangannya berikutnya didiskusikan kembali kebenarannya setelah muncul perubahan-perubahan sosial yang cukup berarti. Misalnya, hampir seribu tahun lebih, mayoritas ulama berpendapat bahwa kepemimpinan politik hanya dimiliki oleh suku Quraisy. Hal ini dinyatakan oleh ulama seperti Imam al-Nawawi di atas dan dinyatakan juga oleh Imam al-Baqillani dan Imam al-Ghazali-, dengan alasan teks hadis Nabi Saw yang disampaikan oleh Khalifah Abu Bakr ra. Suku diluar Quraisy, apalagi yang bukan Arab, tidak diperkenankan 'Islam' untuk memegang tampuk kepemimpinan tertinggi.
Tetapi ketika realitas sosial menunjukkan bahwa kelayakan kepemimpinan politik tidak hanya dimiliki oleh keturunan Quraisy, bahkan pentas politik secara nyata hanya bisa dikendalikan dan telah diambil oleh orang-orang dari keturunan lain, permasalahan kepemimpinan suku Quraisy didiskusikan kembali. Ibn Khaldun, penulis kitab al-Muqaddimah, pertama kali menawarkan pemahaman substansial terhadap teks-teks
2 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
kepemimpinan suku Quraisy. Menurutnya, kepemimpinan suku Quraisy berarti kepemimpinan 'sifat-sifat' suku Quraisy, seperti berani, tegas, cerdas dan tangkas, bukan berarti kepemimpinan 'orang-orang' Quraisy. Saat ini, kepemimpinan politik suku selain Quraisy sudah tidak lagi menjadi permasalahan yang krusial dalam diskusi kepemimpinan politik Islam. Mayoritas ulama telah menerima hal ini dengan surat bulat, sebagai suatu keniscayaan realitas yang tidak berlawanan dengan ajaran agama. Sama halnya kepemimpinan perempuan, yang saat ini telah menjadi suatu keniscayaan, bahkan kemaslahatan masyarakat banyak. Banyak perempuan yang nyata-nyata memiliki kelayakan untuk mengelola pekerjaan-pekerjaan politik, sama seperti laki-laki. Karena itu, penolakan 'agama' terhadap kepemimpinan perempuan perlu didiskusikan kembali.
Dalam teologi kelompok Khawarij dan Mu'tazilah, mendirikan pemerintahan dan kepemimpinan tertinggi (Imamt al-Uzma) tidak termasuk urusan yang harus didasarkan kepada teks-teks agama. Permasalahan seperti ini merupakan urusan sosial kemanusiaan yang didasarkan kepada keperluan, kebaikan dan kemaslahatan sesuai ukuran rasionalitas sosial setempat. Pembicaraan mengenai perlu tidaknya mendirikan pemerintahan; siapa yang berhak menjabat kepemimpinan tertinggi; dan bagaimana cara memimpin suatu pemerintahan adalah termasuk wilayah rasio kemaslahatan manusia. Semua itu bukan wilayah teks-teks literal agama. Jika masyarakat sudah aman, saling tolong menolong dan sejahtera tanpa pemerintahan, maka mendirikan pemerintahan bisa menjadi tidak perlu.
Syarat bahwa pemimpin harus berasal dari suku Quraisy juga tidak diterima kelompok ini. Dalam pandangan mereka, semua orang memiliki hak yang sama untuk menjadi pemimpin, asal sesuai dengan kualifikasi kepemimpinan yang diperlukan masyarakat. Dengan logika yang sama, sekalipun secara eksplisit tidak mereka nyatakan, perempuan dibenarkan untuk menjadi pemimpin, sama seperti laki-laki. Karena dasar kelayakan kepemimpinan adalah kemaslahatan dan kebaikan. Ketika seorang perempuan dianggap baik, layak, cerdas, bijak, adil dan diterima untuk menjadi pemimpin suatu bangsa, maka tidak ada alasan teks agama
3 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
yang dibenarkan untuk membatalkan kepemimpinannya. Artinya, di antara sekian banyak ulama klasik yang menolak kepemimpinan perempuan dengan dasar agama, ada sejumlah pandangan dari ulama klasik juga yang tidak sependapat dan tidak sejalan.
Mengkritisi Argumentasi Penolakan Kepemimpinan Perempuan dalam Islam Sejumlah argumentasi telah diusung, baik dalam literatur klasik maupun kontemporer, untuk mendukung penolakan kepemimpinan politik tertinggi bagi perempuan. Argumentasi itu meliputi ayat al-Qur'an (al-Nisa, 4:34), hadis-hadis Nabi Saw, konsensus (ijma') ulama, kemaslahatan umat dan prefensi keburukan yang mungkin akan muncul (Sadd al-Dzara'i). Argumentasi ini pada waktu yang cukup lama tidak tersentuh nalar kritis dari para ulama. Akan tetapi kemudian muncul sejumlah ulama yang mencoba mengkritisi argumentasi tersebut dari berbagai pendekatan.
Dalam surat al-Nisa, 4:34 dinyatakan bahwa laki-laki adalah qawwam (pemimpin) bagi perempuan.Teks ini secara eksplisit menegaskan kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan, sehingga dipahami sebagai penolakan terhadap segala bentuk kepemimpinan perempuan. Penolakan kepemimpinan perempuan dengan rujukan ayat ini tidak pernah dikritisi oleh ulama-ulama terdahulu.Tetapi saat ini tidak sedikit ulama yang berkompeten mengkritisi referensi tersebut. Mereka berpendapat bahwa ayat ini tidak tepat untuk dijadikan rujukan bagi penolakan kepemimpinan perempuan.
Pengkritisan referensi ini oleh beberapa ulama dan pemikir kontemporer dilakukan melalui dua pendekatan, literal dan kontekstual. Pendekatan literal dengan melakukan penggalian makna kembali terhadap literasi teks ayat 34, dari sura al-Nisa. Ia mencoba menelusuri dan mengurai akar-akar kata yang digunakan dalam ayat tersebut, untuk kemudian menawarkan pemaknaan baru yang berbeda dengan pemaknaan yang telah berkembang sebelumnya. Misalnya, qawwam tidak berarti pemimpin, tetapi pengayom atau pengelola, seperti yang ditawarkan oleh
4 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
Muhammad Abduh dan Abdullah sama sekali tidak bisa dijadikan laki-laki terhadap perempuan.
Yusuf Ali. Menurut mereka ayat tersebut rujukan untuk keharusan kepemimpinan
Menurut Nasaruddin Umar, kata rijal dalam bahasa Arab, tidak hanya berarti jenis kelamin laki-laki, tetapi juga berarti sifat-sifat maskulinitas. Nisa juga tidak hanya diartikan dengan perempuan, tetapi juga sifat-sifat feminitas. Yang dimaksud ayat tersebut, kepemimpinan harus mendahulukan sifat-sifat maskulinitas (rujuliyyah) -yang bisa dimiliki oleh laki-laki atau perempuan-, daripada sifat-sifat feminitas (nasawiyyah) -yang juga bisa dimiliki oleh laki-laki atau perempuan. Ayat ini, tidak bisa dipahami untuk penolakan kepemimpinan seseorang karena jenis kelamin perempuan, tetapi seseorang yang didominasi oleh sifat-sifat feminitas, seperti lembut, emosional dan lembat membuat keputusan. Sifat-sifat ini bisa dimiliki oleh perempuan, dan bisa juga oleh laki-laki.
Ada juga yang menyatakan bahwa wilayah ayat tersebut hanya sebatas urusan-urusan domestik, bukan urusan publik. Kepemimpinan untuk urusan domestik, karena pertimbangan sesuatu dan lain hal, diserahkan kepada laki-laki-laki. Sedang, kepemimpinan publik diserahkan mengikut kelayakan dan kemampuan seseorang, yang bisa saja dilakukan oleh laki-laki perempuan. Demikian dinyatakan oleh Hibah Rauf Izzat.
Selain itu, ada pendekatan kontekstual, yang dikembangkan KH Husein Muhammad. Pendekatan ini membiarkan pemaknaan ayat seperti apa adanya, tanpa penguraian makna kata perkata dari lafal ayat. Tetapi, pemaknaan ulang dilakukan dengan penyertaan konteks di mana ayat tersebut turun. Ayat (QS, 4:34) diturunkan pada saat budaya patriarkal Arab masih sangat kental, sehingga wajar laki-laki menjadipemimpin bagi perempuan. Ia diturunkan untuk mengakomodasi penolakan budaya setempat saat itu terhadap pesan-pesan transformatif Islam ke arah keadilan dan kesetaraan. Tetapi ketika pesan-pesan transformatif telah menguat di masyarakat, maka ayat tersebut tidak bisa lagi disertakan dalam pembicara kepemimpinan perempuan. Ia hanya merupakan contoh saja dari sebuah proses transformatif, yang hanya sesuai untuk konteks
5 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
dan zaman tertentu. Untuk konteks lain yang lebih luas, harus merujuk kepada prinsip-prinsip Islam yang universal dan mendasar, yaitu kesetaraan dan keadilan. Menurut KH Husein Muhammad, QS 4:34 merupakan ayat parsial yang hanya berlaku bagi kondisinya. Ketika kondisi sudah tidak memungkinkan maka yang berlaku adalah ayat-ayat universal, yang memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempunan, seperti QS al-Ahzab 33:35, al-Taubah 9:71 dan al-Nahl 16:97.
Argumentasi berikutnya adalah hadis, atau ujaran Nabi Muhammad Saw. Dinyatakan , saat Nabi mendengar kabar suksesi kekaisaran Persia kepada putrinya, beliau bersabda: "Tidak akan sejahtera suatu kaum yang menyerahkannya kepemimpinan mereka kepada perempuan". Hadis ini diriwayatkan oleh orang yang dianggap memiliki otoritas tertinggi dalam penulisan hadis, yaitu Imam Bukhari. Sangat sedikit, terutama di kalangan Sunni, yang mengkritisi hadis ini. Bagi kalangan Syi'ah, ada kritikan terhadap perawi hadis, yang secara tidak langsung bisa menurunkan keabsahannya. Mereka menilai, bahwa orang seperti Abi Bakarah -perawi hadis initidak layak untuk menerima dan menyebarkan hadis. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, Abi Bakrah telah menuduh berzina seorang sahabat lain, tanpa bisa mendatangkan saksi yang cukup ke depan pengadilan.
Fatimah Mernisi melansir Abi Bakarah meriwayatkan hadis setelah merasakan kebingunan yang cukup dalam. Pada saat itu, ia tinggal di Kufah dan dituntut oleh kondisi politik untuk mendukung pasukan Aisyah menentang Ali bin Abi Thalib. Tetapi ia tidak mendukugn Aisyah dan tidak juga mendukung Ali bin Abi Thalib. Awalnya ia memilih diam, tetapi setelah kekalahan Aisyah, ia menyebarkan hadis tentang kepemimpinan perempuan yang menyengsarakan rakyat. Kondisi politiklah yang memaksa Abi Bakarah meriwayatkan hadis, padahal tak satupun sahabat yang mendengar, apalagi meriwayatkan hadis tersebut.
Dalam dijadikan
pandangan Muhammad al-Syawaribi, hadis tersebut tidak bisa rujukan, karena diriwayatkan secara individual (ahad). Padahal
6 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
untuk
hal-hal yang sangat prinsip, seperti kepemimpinan tertinggi, dalam kaidah Ushul Fiqh disebutkan harus berlandaskan kepada teks yang diriwayatkan secara kolektif (mutawatir). Sementara Hibat Rauf Izzat, menyatakan bahwa hadis ini bisa diterima, tetapi tidak bisa dipahami untuk menolak kepemimpinan perempuan. Hadis ini, seperti dinyatakan oleh Imam Ibn Hajar, diungkapkan berkaitan dengan hadis-hadis lain tentang kisah kesewenang-wenangan Kaisar Persia. Ia kemudian di kudeta dan dibunuh, daan kemudian terjadi pelimpahan kekuasaan ketangan puteri kaisar yang juga cukup otoriter dan represif. KH Husein mendukung pernyataan ini dan menegaskan bahwa hadis ini hanya merupakan teks informatif (ikhbariyah), bukan teks normatif (ilzamiyah), sehingga tidak memiliki konsekwensi hukum apapun.
Mengomentari kesepakatan (ijma) ulama berkaitan penolakan kepemimpinan perempuan, Quraish Shihab menyatakan bahwa kesepakatan umat Islam ditekankan pada kemaslahatan dan kebaikan. "Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam adalah baik bagi Allah", kata Nabi saw. Artinya kesepakatan itu ada ketika ada kebaikan. Jika kebaikan sudah tidak ada dalam suatu kesepakatan, maka ia bisa berubah kepada kesepakatan baru yang bisa menjamin kebaikan dan kemaslahatan umat.
Bagi Hibat, dalih konsensus (ijma') untuk penolakan kepemimpinan perempuan tidak sepenuhnya benar. Dalam beberapa literatur fiqh disebutkan bahwa Imam Ibn Jarir al-Thabari memilih pandangan yang membenarkan kepemimpinan perempuan. Dengan demikian, dalih adanya konsensus itu tidak bisa diterima. Kalaupun harus diterima, maka dasar konsensus untuk hal-hal yang berkaitan dengan urusan sosial adalah kemaslahatan publik. Legitimasi suatu konsensus masih bisa dibenarkan selama memberikan jaminan kemaslahatan dan keadilan. Jika tidak ada jaminan, maka konsensus tidak lagi memiliki legitimasi penuh, apalagi sakralitas untuk tidak dikritik dan diperbaharui.
Sebagian orang mendasarkan penolakan kepemimpinan perempuan kepada kenyataan bahwa Nabi Saw tidak menyerahkan
7 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
kepemimpinannya kepada Siti Fathimah, sang puteri yang cerdas, bijak dan mulia. Keengganan ini diasumsikan karena Siti Fathimah seorang perempuan. Tetapi apakah setiap yang tidak dilakukan Nabi merupakan pelarangan agama. Kaedah Ushul Fiqh menegasikan pernyataan ini. Karena terlalu banyak perbuatan yang tidak dilakukan, yang kalau dilarang agama justru akan mempersulit kehidupan manusia. Padahal agama datang tidak untuk mempersulit (haraj) manusia, sebaliknya untuk kemudahan (yusrun), kemaslahatan dan kasih sayang (rahmatan lil alamin). Dalam pandangan politik Sunni, Nabi Saw tidak menyerahkan kepemimpinan kepada keluarga beliau, tetapi tidak berarti kepemimpinan keluarga Nabi tidak diperkenankan oleh agama.
Rekonstruksi Fiqh Kepemimpinan Dengan mengkritisi argumentasi-argumentasi ini, kepemimpinan perempuan bisa dibenarkan oleh agama, sama seperti kepemimpinan laki-laki. Beberapa penulis telah membuat landasan teologis yang afirmatif dan lebih jelas. Menurut DR. Quraish Shihab, ayat 71 dari surat al-Taubah bisa dijadikan dasar atas pembenaran kepemimpinan perempuan:
"Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliya bagi sebagian yang lain. Menyuruh untuk mengerjakan yang ma'ruf, mencegah yang mungkar, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana".
Dari
ayat ini, menurut mantan menteri agama ini, perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama untuk terlibat dalam urusan politik. Kata auliya memiliki berbagai pengertian mencakup kerja sama, bantuan dan penguasaan. Kalimat "menyuruh mengerjakan yang ma'ruf" juga mencakup segala segi kebaikan/perbaikan kehidupan, termasuk memberi nasihat, perintah kekuasaan, kritik kepada penguasa dan lain-lain.
8 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
Bila pandangan ini dikembangkan lagi akan lebih jelas bagaimana ayat QS 9:71 mengafirmasi kepemimpinan perempuan, sama seperti kepemimpinan laki-laki. Dalam ayat ini, laki-laki dan perempuan disebut sebagai auliya, atau memiliki hak yang sama untuk menjadi auliya. Kata auliya merupakan bentuk plural dari wali, yang bisa berarti pemimpin, pengayom, penguasa, pembantu dan penanggung jawab. Nabi menyebut dirinya sebagai wali terhadap orang-orang beriman. Pemimpin tertinggi dalam bahasa fiqh juga disebut waliy al-amri (pemegang kekuasaan). Gubernur daerah dalam fikih politik dipanggil wali, seperti wali Madinah, wali Kufah, wali Basrah dan lain-lain. Dengan demikian, ayat QS 9:71 menjadi sangat tepat untuk mendasari kesetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam wilayah politik, baik terlibat secara langsung atau tidak langsung, baik untuk menjadi pemimpin atau rakyat biasa.
Menurut KH Husein Muhammad, persoalan-persoalan yang menyangkut kemasyarakatan dan politik, harus didasarkan pada faktor kemaslahatan dan kebaikan. Karena itu, dalam fikih dikenal kaidah "tasharrfu al-imam manuthun bi al-mashlahah", atau tindakan seorang penguasa atas rakyatnya (aktifitas politik) harus didasarkan atas kemaslahatan mereka. Kemaslahatan dalam kekuasaan umum/publik antara lain dapat ditegakkan melalui cara-cara kepemimpinan yang demokratis dan berdasarkan konstitusi, serta perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Dan bukan pada kekuasaan tiranik, otoriter dan sentralistik. Jadi, kepemimpinan publik tidak ada kaitannya sama sekali dengan urusan jenis kelamin, melainkan pada kualifikasi pribadi, integritas intelektual dan moral serta nilai-nilai sosial dan sistim politik yang mendukungnya.
Pernyataan tulisan
ini:
Ibn al-Qayyim al-Jawzi sangat tepat untuk dijadikan penutup
"Dalam urusan-urusan politik, yang diperlukan adalah cara-cara yang dapat mengantarkan masyarakat pada kehidupan yang menjamin kemaslahatan dan menjauhkan mereka dari kerusakan dan kebinasan, meskipun cara-cara itu tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw dan
9 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
tidak ada aturan
wahyu dari Allah".
Artinya, berbicara kepemimpinan politik adalah berbicara mengenai kemaslahatan publik. Sehingga yang dituntut adalah kualifikasi yang bisa menjamin ke arah kebaikan dan kemaslahatan. Tidak ada kaitannya dengan suku atau ras bangsa tertentu dan juga tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin tertentu. Laki-laki dan perempuan adalah setara dalam wilayah ini, dan kesetaraan ini dijamin oleh syari'at Islam yang tercermin dalam surat al-Taubah (QS 9:71) dan pandangan-pandangan keagamaan yang universal, berdasar keadilan dan kemaslahatan. ??Faqi huddin a. Qodir
PEMIMPIN PEREMPUAN DALAM WACANA AGAMA DAN POLITIK
Dalam masyarakat muslim, ada beberapa konfigurasi pemikiran keagamaan tentang keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Pandangan pertama, menyatakan bahwa perempuan diharamkan untuk terjun di dunia politik, karena politik merupakan wilayah publik dan wilayah kekuasaan laki-laki. Apalagi sampai menjadi pemimpin politik atau kepala negara, hal ini sangat tidak dibenarkan. Argumen yang seringkali digunakan adalah teks Surat An Nisa' ayat 34: Ar Rijaalu Qawwaamuuna 'alaa An Nisaa' yang diartikan secara zakelijk "laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan". Selain itu juga ada hadits Nabi saw : Lan yufliha qaumun wallau amrahum imra'atan (Tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan) .
Pandangan kedua, menyatakan perempuan bisa terlibat dalam dunia politik dan bahkan memimpin negara dengan alasan bahwa perempuan dan laki-laki sama-sama diciptakan Allah sebagai Khalifah di muka bumi. Kata Ar Rijaalu dalam QS. An Nisa' 34 dianggap tidak merujuk pada laki-laki secara fisik, tapi keksatriaan sebagai sifat maskulin positif yang bisa dimiliki lelaki maupun perempuan.
10 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
Pandangan ketiga, politik seperti halnya tertinggi atau
menyatakan perempuan dapat terjun ke dunia laki-laki, tetapi tidak dapat menjadi pemimpin kepala negara.
Seperti isu-isu perempuan lainnya dalam Islam, isu kepimpinan perempuan mengikuti garis paralelitas dengan isu politik yang sedang aktual. Isu kepemimpinan perempuan dalam Islam, seringkali mengalami pasang surut mengikuti realitas politik yang ada (Syafiq Hasyim, dalam sambutan tertulis Peluncuran Buku : 2001).
Perempuan dalam Pentas Politik Indonesia Dalam sejarah Indonesia, kemunculan perempuan dalam dunia politik bukan hal baru. Di kerajaan Kalingga, ada Ratu Shima yang dikenal sebagai pemimpin negara yang adil dan bijaksana. Juga ada Ratu Suhita dari Majapahit dan Ratu Kalinyamat dari Mataram yang menjadi tokoh spiritual yang disegani. Di Aceh, Cut Njak Dhien dan Nyi Ageng Serang dari Banten, yang tampil sebagai panglima perang yang menentang penjajah Belanda.
Pasca Maria
kemerdekaan Indonesia, kita mengenal nama-nama seperti; Oelfah Soebadio, SK. Trimurti, Lasiyah Soetanto, Khofifah Indar Parawansa sampai MS. Soewandi, yang menunjukan kemampuan mereka sebagai menteri. Sayangnya, tugas yang diembankan pada mereka tak bisa lepas dari streotype tugas-tugas domestik seperti pengasuhan atau pemeliharaan, pelayanan, dan amal (nurturing, caring and charity).
Perbincangan mencapai titik Partai Demokrasi di Surabaya, segala cara Megawati
tentang keterlibatan perempuan dalam dunia politik kulminasi saat kemunculan Megawati sebagai pemimpin Indonesia. Keberhasilan Megawati dalam Munas PDI cukup membuat ciut nyali Soeharto yang menggunakan untuk mempertahankan kekuasaannya.Tapi saat itu nama belum cukup diperhitungkan dalam kancah perpolitikan
11 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
dalam nasional. melambung karena Soeharto yang otoriter.
Namun, ketika kasus 27 Juli meletus, nama Megawati dianggap sebagai simbol perlawanan bagi rezim
Keharuman nama Mega ternyata tak hanya membuat gundah Soeharto. Setelah opini massa mulai memunculkan nama Megawati sebagai pemimpin baru, berbagai upaya terkesan sengaja dibuat untuk menghadang kekuatannya. Kita pernah mendengar statemen tokoh PPP, AM. Syaefuddin, yang menyatakan bahwa Megawati tidak layak memimpin negara karena ia seorang perempuan dan agamanya tidak jelas: Hindu atau Islam. Kejelasan identitas agama Megawati menjadi penting untuk menggoyahkan pendukungnya dari kelompok Islam dan mengetahui keperpihakannya terhadap Islam. Tak lama setelah itu, Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) tahun 1998 merekomendasikan bahwa presiden Indonesia haruslah seorang pria muslim. Dan untuk melemahkan posisi Megawati sebagai pemimpin partai, KPU pada masa pemerintahan Presiden Habibie mempersyaratkan agar PDI Megawati dapat melakukan pendaftran ulang partainya dengan nama lain yaitu PDI Perjuangan.
Tapi tak semua orang menggunakan isu agama untuk menghadang Megawati. Sosok Megawati yang miskin inisiatif dan lebih banyak diambahkan pada saat ia harus bicara - cukup memunculkan keraguan sebagian kalangan. Berbagai undangan yang mengajaknya untuk berdialog disambut Mega dengan dingin. Mega hanya mengirim orang-orang seperti Tarto Soediro, Alex Litaay, maupun Kwik Kian Gie. Hal ini sempat memunculkan dugaan bahwa Mega tak bisa apa-apa tanpa bantuan orang-orang itu.
Anggapan seperti ini bukan hanya tak menguntungkan bagi Megawati. Kemunculan Mega kepanggung elit politik di Indonesia, bagaimanapun bisa dianggap sebagai 'uji kemampuan' bagi perempuan Indonesia untuk tampil dalam dunia yang selama ini hanya dianggap sebagai milik laki-laki. Tapi kelambanan Mega mau tak mau semakin mengukuhkan kekuatan wacana patriarkhis bahwa dunia itu memang
12 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
bukan tempat perempuan. Kalaupun ada perempuan yang sampai ke posisi yang bergengsi itu, mereka menganggap bukan karena akibat logis dari sebuah pertarungan yang mengikuti kaedah-kaedah perpolitikan sejati. Karenanya, kemudian banyak yang menganggap kenaikan Megawati lebih karena pengaruh kharisma nama besar sang ayah dalam panggung politik di Indonesia.Sebuah anggapan patriarkis yang sangat menyedihkan !
Komparasi Beberapa Tokoh Politik Dunia Jauh sebelum kemunculan Megawati di Indonesia, beberapa tokoh perempuan dunia telah membuktikan kepiawaiannya dalam politik. Sebutlah beberapa nama seperti Indira Gandhi di India, Golda Meir di Israel atau Margareth Tatcher di Inggris yang dianggap sebagai salah seorang pemimpin yang berhasil di Inggris setelah Churchill.
Selain itu ada tokoh-tokoh perempuan yang dianggap sukses menjadi simbol penentangan terhadap status quo penguasa seperti Aung San Suu Kyi dari Myanmar dan Corazon Aquino penentang rezim Ferdinand Marcos dari Philipina, yang oleh publik sering dijuluki sebagai "ibu rumah tangga biasa". Namun kenyataannya, justru dari kebersahajaan itulah mereka dapat menjadi tokoh politik yang cukup disegani.
Di
kalangan dunia Islam Benazir Bhutto, puteri mendiang Presiden Zulfikar Ali Bhutto, sempat menjadi Perdana Menteri Pakistan selama dua periode yang berbeda, meski mendapatkan resistensi yang cukup kuat dari kalangan kelompok fundamentalis di negeri itu. Begum Khaleda Zia dan Haseena Wajeed, dua orang Srikandi politik Bangladesh juga "bertarung" memperebutkan posisi Perdana Menteri. Bahkan di negara yang sempat dijuluki "sangat fundamentalis" seperti Iran, kran demokratis yang tak lagi membedakan jenis kelamin, telah memunculkan kandidat presiden perempuan yang cukup diperhitungkan.
13 / 14
Fokus Edisi 3: Dialektika Kepemimpinan dalam Islam Ditulis oleh Kamis, 18 Juni 2009 07:13 -
Berbagai ilustrasi di atas menunjukkan bahwa perempuan telah membuktikan kemampuannya untuk memimpin berbagai ruang publik, baik di tingkat legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Tapi itu memang bukan hal yang mudah. Kans perempuan di dunia politik memang lebih berat dibandingkan dari laki-laki. Perempuan seringkali dihadapkan pada dua kendala besar ketika tampil sebagai pemimpin publik. Pertama, terlebih dahulu ia harus menyadarkan masyarakat dan mengubah pandangan masyarakat untuk dapat menerima kehadiran seorang perempuan secara sosio-kultural. Kedua, ia harus membuktikan kemampuannya sebagai seorang pemimpin. Sayangnya, standar-standar "leadership" itu harus mengikuti kriteria publik yang mayoritas disuarakan oleh kaum lelaki. Di sini dominasi wacana patriarki kembali mencengkeram!!?? AD Kusumaningtyas
14 / 14