Focus Group Discussion Yayasan LBH Universalia “Fatwa MUI Implikasi Politik dan Hukum” Kamis, 14 April 2016 (13.44 WIB) Hertasning Ichlas dan Irman Abdurahman (Moderator FGD): 1. Hertasing Ichlas: Tujuan FGD mengantisipasi terbitnya fatwa MUI tentang kriteria aliran sesat dan ada kemungkinan besar kriteria yang katanya telah didraft oleh MUI mengarah kepada muslim Syiah. Hal ini dapat memberikan implikasi politik dan hukum. Sebagai contoh YLBH-Universalia sudah mendapati bahwa fatwa sesat tentang muslim Syiah di MUI Jawa timur digunakan Gubernur Jawa Timur untuk mengeluarkan Pergub tentang aliran sesat termasuk muslim Syiah atas dasar rujukan dari fatwa lembaga ormas MUI. Pergub itu semakin memperluas dan memperuncing kebencian dan hasutan kekerasan terhadap muslim Syiah melalui spanduk, ceramahceramah dan selebaran. Kasus yang sudah terjadi sejauh ini adalah kelompok diskusi filsafat di Yogjakarta (Rausan Fikr) sempat mengalami pemberhentian/pembubaran secara paksa dari ormas dan tokoh masyarakat sekitar dan juga keluarnya Surat Edaran Walikota Bogor Bima Arya terkait larangan perayaan Asyura di kota bogor.
Dalam hal ini sebagai warga negara yang baik kita harus tetap dalam koridor hukum dengan menghormati posisi MUI di dalam negara hukum. Adanya isu terkait fatwa kriteria aliran sesat yang akan dikeluarkan oleh MUI menjurus kepada muslim syiah dan untuk mengantisipasi kemungkinan buruk itu terjadi dengan melihat implikasinya kami melihat ada 2 hal yaitu : 1. Mengantisipasi fatwa MUI menjadi rujukan 2. Menjadi materi advokasi seperti koreksi terhadap pergub jatim.
2. Peserta Ahmad Hidayat perwakilan dari ormas Ahlulbait Indonesia (ABI) Ahlulbait indonesia (ABI) sebagai ormas Syiah di Indonesia sudah berdiri sejak 6 tahun lalu. Dengan semangat membangun harmonisasi hubungan dengan negara, dengan masyarakat yang ada negeri ini, masyarakat Syiah agar bisa berkontribusi di negeri ini. Faktanya ada sekelompok yang menolak dan merasa resah dengan kehadiran masyarakat Syiah di negeri ini. Pada tahun 1984 MUI pernah mengeluarkan surat terkait untuk berhati-hati dengan kelompok Syiah dan 10 tahun terakhir ini ada diskusi yang membatasi muslim Syiah. Puncaknya peristiwa Sampang yang mengakibatkan rumah dibakar dan terbunuhnya satu orang. Dan akhirnya teman-teman di sampang di relokasi yang hingga kini masih belum bisa kembali ke kampung halamannya. Tahun 2013 PCNU Sampang yang mengeluarkan fatwa aliran Tajul Muluk adalah aliran Sesat. Yang berlanjut dengan fatwa sesat Syiah yang dikeluarkan oleh MUI Jawa Timur. KH. Ma’ruf Amin baru ini mengeluarkan pernyataan tentang akan menerbitkan fatwa terkait aliran sesat. Program dan draftnya telah tersusun secara sistematis terkait aliran sesat. Bahwa fatwa itu tidak menyebutkan Syiah namun sebenarnya mengidentifikasi ajaran yang sangat erat dituduhkan kepada Syiah.
Adanya desakan dan kekhawatiran, karna hal isu ini sudah menyebar ke perbagai daerah seperti misalnya di Makassar ada RESOFA (relawan sosialisasi fatwa) yang menginformasikan tentang akan terbitnya fatwa ajaran-ajaran sesat dari MUI dan sudah siap di berbagai provinsi setempat. 3. Peserta Perwakilan Dari Kementrian Agama RI Bidang Kajian Keagamaan :
Wahidin S
Terakhir kajian syiah yang dilakukan oleh Kemenag di Karimun karena terkait telah terjadinya kekerasan sebelumnya di Bangil, Bondowoso, Jember, dan terakhir Karimun dan yang ditemukan oleh Kemenag tidak ada terkait dengan isu yang diangkat yang artinya konflik suni-syiah bukan merupakan masalah yang sesungguhnya melainkan hanya daur ulang isu. Misal pada kasus Tajul Muluk yang jadi masalah adalah konflik keluarga, lalu kemudian diseret ke isu suni-syiah, persoalannya lain bukan langsung tentang akidah. Syiah dan Sunni sudah sejak dulu bahkan saat Grand Syeikh al Azhar ke Indonesia bahkan menyampaikan di MUI bahwa Syiah dan Sunni itu bersaudara. Di tubuh MUI itu ada beberapa di dalamnya yang moderat dan mengangkat isu-isu terkait Syiah. Konsep dan realitasnya itu berbeda. Maka yang perlu disamakan personnya. Sehingga yang seharusnya dilaporkan ialah personnya. Karena tidak bisa digebyah uyah. Kita semua harus fair melihat bahwa tidak semua sama. Konsep itu normatif, yang kita khawatirkan bahwa tataran realitas dibuat sebagai konsep itu fatal. Pandangan Kemenag yang ada di pusat tidak gebyah uyah. Ajaran yang diributkan apakah ada di lapangan. Dan apakah potensi konflik di lapangan itu benar adanya ataukah hanya buatan. Wawasan kebangsaan itu harus ditekankan dalam melihat perbedaan. Terkait rukun Islam dan rukun iman itu hanya berbeda dalam merumuskan, toh keduanya tetap dilaksanakan. Beda merumuskan namun sama-sama dilaksanakan. Mudah-mudahan tidak sampai keluar fatwa. Ngeri juga itu akan menjadi legalisasi untuk melakukan kekerasan dengan bersandar pada fatwa MUI.
4. Perwakilan MUI Nasih (Anggota Dept. Infokom MUI) Otoritas pembahasan fatwa sesat di MUI itu ada dalam wilayah komisi fatwa MUI. Saya sepakat dengan Sunni dan Syiah itu saudara dan bagian dari Islam yang tidak dapat dipisahkan. Saya juga di Republika yang mengawal pemberitaan terkait rekonsiliasi Sunni-Syiah, sebisa mungkin saya pantau agar tidak terbit pemberitaannya. Saya pernah didatangi Langsung dari ANNAS (Athian Ali dan Ahmad Zen Alkaff) ke Republika dan mempertanyakan tentang terbitnya artikel yang pro syiah dan itu meruntuhkan isu yang diangkat ANNAS. Harus kita khawatirkan dan menjadi perhatian khusus itu adalah gerakan takfiri di dalam masing-masing mazhab baik Sunni dan Syiah. Pada masa, KH. Sahal itu berupaya untuk tidak menerbitkan fatwa terkait Syiah karena memahami akibatnya. Kita perlu strategi untuk mendekati pimpinan MUI. Menurut Kiai Ma’ruf; MUI pusat sebetulnya sangat menahan untuk terbitnya fatwa itu. Bahtiar Natsir itu cukup diantisipasi dalam pendapatnya.Terlepas adanya anasir itu masih ada besar peluang untuk memberikan pemahaman secara utuh. 5. Peserta Dr. H Sa’dullah Affandy M.ag Ms.i Perwakilan dari Pengurus Besar Nahdatul ulama bidang Khatib Syuriah Posisi fatwa MUI, khusus untuk NU sejak dulu MUI belum pernah dipimpin NU selain saat oleh KH. Sahal dan KH. Ma’ruf. Memang di NU itu sebagian kecil ada yang memiliki pemikiran sedikit keras. Di masa KH Sahal itu beliau mampu mengimbangi berbagai masukan dan pendapat yang kadang tidak bulat dan tidak argumentatif. Kami sepakat bahwa Fatwa MUI itu tidak masuk dalam hukum tata negara. Di NU sendiri fatwa itu dikumpulkan dalam setahun untuk dirumuskan dan difatwakan hanya dikalangan NU, sifatnya boleh diikuti boleh tidak, itu dikembalikan lagi kepada ummat. Fatwa itu sebagai panduan secara umum. Bukan bagian dari hukum secara universal.
Syiah itu perjalanan sejarah yang sangat panjang. Dan ini kasus politik yang ditarik dalam persoalan agama. Isu Syiah itu di bawa ke Indonesia oleh kalangan Wahabi. NU dan syiah tradisinya hampir sama, almarhum Gusdur jelas dalam ucapannya, namun saya juga heran belakangan ini menjadi gaduh. Dianggapnya NU itu ada agenda mensyiahkan, hanya karena banyaknya santri NU belajar ke negeri yang dikenal Syiah (Iran). NU dan Syiah tidak bisa dipisahkan. Jika ada pertanyaan NU dan Syiah itu titik temunya dimana. Ya di nikah Mut’ah, tahlil, Barazanji, ziarah kubur, dll. Kamanya NU adalah Syiah minus imamah. Soal mut’ah itu tidak dibuka secara umum namun hanya di kalangan kiai yang paham dan mempraktikkan. tapi, di Wahabi juga ada disebut Nikah Misyar. Soal kiai Ma’ruf yang kebetulan ketua Umum MUI. Secara umum dan resmi PBNU tidak menerbitkan fatwa sesat Syiah. Karena masih ada syahadat maka tidak sesat. Ternyata penelitian itu illegal dan tidak didukung pimpinan MUI. PBNU secara resmi tidak mengeluarkan fatwa sesat terhadap Syiah selama Syahadat. Di teman-teman kita ini ada kemungkinan menghajar NU melalui Syiah. Untung kita tidak terpancing. Itu local dan tidak terpancing. Memang ada pihak2 lain yang mengadu domba. 6. Peserta Ihsan Ali-Fauzi direktur Demokrasi, PUSAD Paramadina
Pusat
Studi
Agama
dan
Pertanyaan saya; wakil NU di MUI mengapa bisa ikut dalam perumusan fatwa sesat ? Padahal ini terkait nyawa orang. Apakah Tragedi Sampang itu ada keterkaitan NU? Fatwa sesat itu harus hati-hati bahkan kalau bisa tidak harus dikeluarkan. Karena ini terkait manusia yang tercerabut dari tanah kelahirannya. Setiap orang boleh berpendapat karena ini negara demokrasi. Dan fatwa bisa terbit dalam jumlah yang banyak pun tak masalah. Namun, fatwa itu bisa digunakan untuk menghajar orang lain dengan alasan untuk menyalahkan kelompok lain bahkan bisa dijadikan alat untuk kepentingan kelompok tertentu.
Fatwa MUI telah dijadikan rujukan polisi seolah membenarkan tindakan kekerasan, misal pada kasus Gafatar bahwa fatwa MUI dijadikan sebagai pertimbangan untuk melakukan tindakan. Saya bingung, ini tekait dengan orang yang berhubungan dengan hajat hidupnya. Polisi selaku aparatur negara malah menunggu dengan menanti sikap dari MUI, NU, Muhammadiyah dan ormas lainnya. Ini bukan masalah sepele tapi bisa jadi masalah amplop. 7. Peserta Sugeng Teguh Santoso sebagai pengacara yang mengadvokasi SE walikota Bogor tentang pelarangan perayaan Asyura dan selaku Sekjen Peradi juga Ketua Yayasan LBH Satu Keadilan SE yang melarang perayaan Asyura di Bogor yang akhirnya dicabut. Aparat dalam konteks kasus SE pelarangan perayaan Asyura di Kota Bogor telah sesat konstitusi, karna tidak mengambil tindakan tegas terhadap masalah yang kaitannya dengan keagamaan. Kalau pemerintah merujuk kepada fatwa MUI dan mendiskriminasikan orang lain maka itu sesat konstitusi. MUI itu adalah ormas, yang tidak memiliki daya paksa yang mengikat dalam pendapatnya. Negara ini dalam praktik tindakan pimpinan yang levelnya eksekutif itu sudah sesat konstitusi. Bahwa tidak boleh ada diskriminasi. Bahwa ide, atau keyakinan beragama apapun itu merupakan sikap hati tidak bisa diadili sebelum ada tindakan yang melanggar konstitusi dan itu wilayah istimewa yang tidak bisa diadili. Termasuk pada kasus Tajul Muluk itu yang bisa dinilai salah itu orangnya bukan Syiahnya. Karna Negara tidak menganut satu pandangan agama tertentu. Apabila negara mengambil sikap dari fatwa MUI yang deskriminasi maka akan menjadi sikap negara dan itu tidak boleh, itulah sesat dalam konteks konstitusi. 8. Peserta Wahyudi Djaffar perwakilan dari ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ):
Bagaimana hari ini lembaga resmi negara, memberikan legitimasi pada fatwa2 MUI? ketika MUI dianggap sejajar dengan MA. Bagaimana pengadilan yang bisa mengambil fatwa MUI itu dijadikan sebagai pertimbangan? Soal para hakim dalam membaca putusan di kasus Tajul Muluk. Itu mengapa merujuk dengan fatwa-fatwa Mui?? Mengapa Negara harus mengadopsi fatwa MUI dalam urusan keyakinan. Misal: Saya muslim lalu ada tekanan dari masyarakat kepada saya maka yang menjadi ukuran adalah kelompok mayoritas. Ini adalah pola yang selalu terjadi dalam diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Hukum agama berkembang menjadi hukum negara. Bagaimana pasca reformasi, dimana agama mengintegralkan diri dalam konstitusi. Nilai agama apa yang bisa menjadi pembatasan. MUI merupakan prodak dari masa orde baru. Harus ada satu proses klarifikasi. Yang menuliskan sejarah MUI yang sesuai dan bukan bagian dari negara. Trend kasus kebebasan beragama dan berkeyakinan dari tahun 2010-2012 berubah-ubah mulai dari Ahmadiyah, dan kemudian konflik agama Kristen dan kini mengarah kepada kelompok Islam Syiah. Basis yang mendorong intoleransi ke dalam isu-isu tersebut. Diskusi di NU itu ada diskusi yang kuat terkait isu-isu kesyiahan yang contohnya ialah dituduhnya Kiai Said Aqil sebagai syiah karna beliau toleran dan mengakui Islam Syiah itu bagian dari Islam. Harus ada yang yang memberikan penjelasan/pemaparan secara utuh dan jelas tentang peran Syiah di Indonesia. Misal dalam pembentukan negeri ini. 9. Peserta Wahyudi M.Hum perwakilan Perkembangan Masyarakat (LIPI)
dari
Peneliti
Bidang
Riset selama 4 tahun menghasilkan bahwasanya ada daya rentan dan daya tahan; melihat fungsi ahmadiyah dan syiah di sampang dan mataram. Misal satu contoh Ahmadiyah yang mengungsi di mataram yang dimana NU sebagai ormas islam membantu para pengungsi islam Ahmadyiah. Di Sampang justru berbeda karna yang menjadi musuhnya adalah NU di Mataram yang membantu advokasi justru adalah dari NU. Contoh misalnya dalam kasus Ahmadiyah Mataram dimana partai politik berperan aktif dalam menerbitkan KTP kaum Ahmadiyah dengan alasan calon legislatif ingin dipilih oleh kaum ahmadiyah namun karna tidak memiliki KTP dan otomatis tidak memiliki hak suara dalam pemilu dan kemudian hal ini dimamfaatkan. Pengusiran yang terjadi membuat penguatan ideologi bagi penganut Ahmadiyah karena merasa ada yang melindungi. Di Sampang itu ada upaya rekonsiliasi. Yang berbahaya dari fatwa MUI itu adalah ketika dimainkan dalam isu Pilkada. Bagaimana menyalahi dan menyesatkan Syiah untuk mendapatkan pehatian publik. Jika fatwa MUI jadi dilaksanakan efeknya akan jadi semakin berbahaya dan belum ada penyelesaian teman-teman yang ada di rusunawa. Walupun Gubernur Jawa timur berjanji akan menyelesaikan maslah ini dan Kemenag pun mengatakan demikian tapi nyatanya belum juga terwujud. Fatwa MUI ini berdampak persaudaraan itu menjadi hilang, padahal dalam Budaya Toron di Madura itu maknanya untuk menjaga silaturahim. Penekanan tentang hancurnya solidaritas kebersamaan itu yang perlu dikuatkan. Pimpinan pusat Muhammadiyah punya ideology yang kuat. Dan dalam Jurnal Ma’arif terlihat untuk mendukung Syiah. Dan struktur koordinasi sangat kuat dan jelas.
10. Peserta Prof. Dr. Hamdi Muluk, M.Si guru besar Psikologi Politik UI:
Persoalan fatwa sesat ini memang kata yang dalam sejarah peradaban telah ada dan kekerasan lahir dari dasar keyakinan sesatnya seseorang. Misal: dukun2 yang dianggap sesat itu diburu untuk dibunuh. Tentang ketakutan terkait yang dianggap sesat. Orang-orang yang dibesarkan dengan melihat dunia dengan ancaman ketidakmurnian; adalah sasaran empuk diarahkan untuk melakukan kekerasan ke objek2-objek yang dilabeli sesat. Hal itu Terjadi di sepanjang sejarah. Kita harus Hati-hati dalam menyematkan label sesat. Faktanya beragama selalu persoalannya mana yang salah, mana benar, mana sesat, mana yang lebih sesat. Kalo dalam sudut pandang ilmuan hal itu sesuatu yang relativ saja, semua orang boleh mengemukakan argumen dan menguji datanya. Dan ketika benar itu pun tidak mutlak. Namun hal ini dapat berbeda karna urusan akidah, banyak orang mengatakan akidah itu tidak bisa ditawar menawar, kalau begitu paradigmanya sudah susah. Di dalam agama ada fatwa, namun di sains itu tidak ada fatwa, adanya berupa bentuk tesis atau disertasi yang dimana walaupun ada penguji yang tidak sepakat dengan karya itu bukanlah menjadi sebuah masalah, dalam topik sains segalanya tidak menjadi mutlak, bisa di uji kembali sesuai kemampuan dan itu menjadi hikmah sebuah pengetahuan. Fatwa fenomenanya adalah mutlak dan sifatnya tidak bisa diuji karna itu persoalan akidah itu tadi. Namun fatwa sesat ini mendorong kekerasan. Dan orang-orang yang merasa terancam dalam keagamaannya itu bisa menjadi super power dan ditakuti. Agama bila masih diliputi dengan keterancaman/ketakutan, itu akan melakukan counterback/menyerang. Yang mengancam itu cepat-cepat harus disingkirkan. Fatwa itu dianggap mutlak dan mendorong. Yang namanya MUI itu ilmuan klenik, yang wilayah dikaji itu religious, sebenarnya fatwa MUI itu cuma opini sekelompok orang yang mengetaui agama. Bahwa pendapatnya setara dengan buku pada umumnya yang sifatnya pengetahuan.
MUI dianggap lembaga negara. Persepsi public itu merasa MUI sudah sebagai lembaga negara. Hal ini sangat berbahaya apalagi ada daerah yang menjadikan perda atau pergub dengan mengacu pada fatwa MUI. Walaupun di posisi di negara kita bukan negara agama dan negara sekuler, tapi Kita negara bertuhan. Dalam sains apakah akan berbentuk dengan tepat/pas, itu tidak perlu negara repot-repot, melainkan diserahkan saja kepada masyarakat. Untuk masing-masing melihat dan menelaah sendiri. Faktanya ada yang berkiblat untuk mendirikan negara Islam. Dan itu sebetulnya kecil jumlahnya. Padahal mayoritas sepakat dengan negara Pancasila. Maka perlu di perhatikan bentuk ekspresi dalam beragama yang ada di indonesia. Dan dari efek yang ada MUI di wakili dan dianggap sebagai lembaga Negara, Tidak perlu label sesat itu berkembang di indonesia, dan teori tetap bahwa fatwa sesat akan melahirkan kekerasan. 11.
Peserta Refly Harun SH sebagai pakar Tata Hukum Negara:
Ada 3 hal terkait MUI dan produk hukum Pertama masyarakat lebih takut terhadap fatwa dari pada konstitusi. Dalam Pasal 29 mengatakan bahwa orang ada tidak hanya beragama namun ada pula yang aliran kepercayaan. Pasal perlindungan (28) mengatakan bahwa tidak boleh diskriminasi. Tidak ada yang mutlak dalam HAM, Karena MK dalam hal hukuman mati masih berlaku hukum berlaku surut telah diterabas. Pembatasan hanya sah dalam hal undang-undang, karena Undang-undang itu dibuat oleh kesepakatan melalui wakil rakyat. Misal ada pergub yang membatasi itu adalah kekeliuran. Karena agama itu isu yang menrupakan domain pusat. Pasal 10 ayat 1 UU 23 Tahun 2014
Terkait MUI dalam hal kepemimpinan. Ada lembaga yang formal yang tidak diikuti. Dan ada pula yang lembaga tidak formal namun diikuti. Sah saja bagi yang mau mempertimbangkan, namun harus juga dipertimbangkan aspek legal dan non-legalnya. Kalau saja terbit fatwa MUI terkait kriteria sesat dalam beragama, maka pembatasannya harus melalui undang-undang. Tapi dari sisi non-legal, bisa memicu kekerasan. Kebijakan dalam bernegara itu ada 3 yaitu: Pertama ialah harus berlandaskan secara filosofis dan adanya tujuan mulia. Kedua yaitu secara sosiologis, maksudnya segala sesuatu itu berakar dari masyarakat dan sesuai kebutuhan nyata dan aktual, Ketiga secara yuridis agar bisa dibuat dalam kerangka peraturan tsb. Dari terkait perspektif konstitusional bahwa fatwa sesat itu tidak boleh. Alasan non-legal dan non-konstitusional itulah yang sebenarnya bermasalah. Bahwa sebagai sebuah ormas siapa pun boleh membuat statement tapi kita harus sadar dan mampu mengukur dampaknya. Bahwa ketika fatwa itu ternyata bisa menjadi trigger kekerasan, tentunya hal tersebut harus secara bijak disikapi secara hukum. 12.
Peserta Achmad Sabri SH-Perwakilan dari Humas Polri.
SE Kapolri itu untuk internal dan jangan menjadi ambigu. Ini euforia kebencian itu sudah merebak dan meluas. Polisi di daerah mengalami kebingungan terlalu banyak perdebatan2 dgn latar belakang agama yang berakibat perpecahan. Polri mempelajari setiap ajaran termasuk wahabi itu juga dipelajari. Fatwa ini tidak bisa menjadi pegangan dari sebuah institusi negara apalagi terkait fatwa ini tidak ada hukumannya. Terkadang peran media dalam membuat berita dan membuat statement harus hati-hati. Karna media sering kali memuat berita yang tidak aktual dan bahkan tanpa ada klarifikasi, padahal itu di atur dalam undang-undang. Polri terus membuka diri dan sedang terus mengikuti pendapat masyarakat untuk menjadi acuan dalam memberikan masukan kepada pimpinan.
Saya mengikuti nonton Dr. Zakir Naik. Beliau ulama yang sangat cerdas, kitab apapun dia ketahui diluar Islam. Fatwa MUI memang menjadi satu pegangan namun bukan yang menjadi pertimbangan penuh. SE Kapolri itu untuk menguatkan ketegasan dalam menindak provokasi antar kelompok. 13. Peserta Dr. Muhsin Labib; perwakilan dari Dewan Syura ABI; Tetap ada harapan untuk bisa memberikan penjelasan yang sesuai. Fatwa itu dikeluarkan oleh MA dan MK bukan melalui MUI. Ada yang masih bisa diharapkan di MUI, namun lebih dominan yang intoleran di MUI. Intoleransi itu biangnya kekerasan dan perpecahan. Ketika telah dijatuhi nisbat sesat maka menyengsarakannya adalah kebaikan. Ada 3 kriteria sesat yang akan di terbitkan oleh MUI salah satunya ialah bagi yang tidak mengakui khilafah adalah sesat. Padahal hal tersebut bukan bagian dari rukun iman dan rukun Islam. ABI sudah melakukan upaya salah satunya dalam upaya mengklarifikasi buku dari yang dinisbatkan ke MUI.
Focus Group Discussion Yayasan LBH Universalia “Fatwa MUI Implikasi Politik dan Hukum” Kamis, 14 April 2016 (13.00 WIB) _____--(15.54 wib)--_______ SESI REKOMENDASI Masukan terkait sikap yang sebaiknya dilakukan mengantisipasi terbitnya Fatwa MUI Irman: (moderator) Ada proses legislasi yang sedang berlangsung. Terkait bagaimana menetapkan sesat menyesatkan atau RUU PUB (perlindungan umat beragama) Irman: YLBH Universalia meminta masukan;
Untuk memberikan rekomendasi mempertimbangkan kembali.
ke
MUI
dari
hasil
FGD
agar
MUI
Untuk menguji materi terkait pergub/perda yang menjadikan fatwa MUI sebagai acuan Bagaimana jika meminta fatwa MA terkait fatwa MUI dengan kehidupan umat beragama. (meski bisa terjadi blunder ketika MA mengafirmasi fatwa MUI) Masukan dr Pak Nasih Perwakilan dari MUI: 1. Pada upaya pendekatan secara personal: sowan ke sejumlah tokoh MUI, pak Din Syamsudin dan Kiai Ma’ruf, setidaknya kita berikan masukan terkait dampak social dan keamanan. 2. Pendekatan institusional; bagaimana mengajak mengupayakan dialog antara teman-teman syiah dan unsur MUI, dan sifatnya institusional. (Fatwa itu adalah tindak lanjut kongres dan muktamar). Saya sudah berbicara dengan ke Pak Din, bahwa peristiwa ketegangan itu merupakan ulah oknum yang bermain. Karena selama ini tidak pernah terjadi audiensi antara MUI dengan organisasi Syiah. Dan di MUI itu ada anasir-anasir yang anti Syiah. Contoh kasus ada dari staf (Irfan Helmi) MUI yang mengeluarkan fatwa padahal hal itu bukan dari hasil komisi fatwa MUI. --Ini persoalan perut, anasir ini (Irfan helmi) sudah diberhentikan dari MUI. Salah satu program Infokom MUI, bagaimana mendorong sistem informasi untuk mengklarifikasi. Masukan dari perwakilan ABI (Ahmad Hidayat): Ancaman terbesar ialah Salafi Wahabi karena upayanya yang terkait penyesatan dan kebencian. Fatwa MUI itu tidak hanya terkait Syiah namun menyangkut kehidupan untuk seluruh orang Indonesia. Sehingga kekhawatirannya ialah pada sasaran antara.
1. Salafi Wahabi ini anak bangsa, namun ingin memaksakan kehendak untuk mengubah konstitusi negara ini. Dan ini tidak boleh dibiarkan. Karena sama halnya menghapus NKRI. 2. Bagaimana mencegah fatwa MUI agar tidak keluar, namun pula bagaimana jika fatwanya MUI keluar maka apa yang sebaiknya dilakukan? Ancaman kemanusiaan sehingga mendesak untuk segera disikapi. Masukan dari Kyai Sa’dullah Afandi perwakilan dari PBNU ; Ini risiko NU dekat dengan semua pihak. Kita akan menjelaskan, layaknya kasus Sampang yang sebenarnya terkait dengan perebutan pengaruh. PBNU menolak kekerasan. Tantangan sekarang ialah menghadapi Salafi Wahabi. Sebagaimana adanya perubahan yang dilakukan Salafi Wahabi, dalam mengelola peninggalan sejarah. Misal kasus parade HTI di Tangsel yang ternyata ada dikawal polisi padahal anti Pancasila dan menyuarakan berdirinya khilafah. NU sendiri pelangi dan tidak semua moderat. Kyai Ma’ruf itu kader Gus Dur. Yang berasas Pancasila. Munculnya gagasan tentang fatwa sesat ini, adalah titipan pesan sponsor dari kelompok salafi wahabi. Saya tidak yakin fatwa MUI tersebut itu akan lolos. Menag aja kaget kenapa MUI akan menerbitkan fatwa. Kalau ada yang mengeluarkan fatwa sesat itu potensialnya dari MUI kabupaten. Usulan dari Pak Wahyudi perwakilan dari Elsam Kalau sampai pengajuan ke MA itu kalah/ditolak maka akan mengakibatkan dampak yang makin besar. Tetapi dengan situasi mahkamah agung akan mampu membaca peta di mahkamah agung. Menurut saya kita bisa bawa hal ini ke kementrian dalam negeri terkait peraturan-peraturan yang tidak sesuai antara kebijakan pusat dan daerah. Karena Urusan agama bukan lagi urusan administrative, ini soal keyakinan yang seharusnya tidak bisa dibatasi sebab soal keyakinan. Perda berbasis Islam secara situasi ekonomi daerah itu kurang baik, dan menjadi
mengabaikan kondisi sesungguhnya pada aspek ekonomi yang diarahkan pada isu2 agama. Untuk level pengadilan sebagai penegak hukum harus ada upaya intervensi untuk mempelajari KBB dalam pendidikan hakim. Usulan dari Pak Wahyudi perwakilan dari LIPI Dalam advokasi itu perlu berdasar dari kekuatan local. Memasukkan angka korban yang sesuai dan sudah berapa lama menjadi pengungsi itu menjadi hal penting sebagai data. Karna Pengusiran atas nama agama itu menjadi tren baru di Indonesia. Usul Refly Harun SH pakar Tata Hukum Negara Kelompok muslim syiah harus membujuk MUI dengan Argumentasi yang logis, namun juga legal. Kita sepakat Bahwa MUI boleh membuat fatwa, namun kita juga perlu memperhatikan orang lain (konsekuensinya). MUI akan mentrigger 2 hal; 1. Pelanggaran UU mentrigger kewenangannya. 2. Mentrigger kekerasan2.
pembuatan
pergub:
yang
bukan
Patut dibuatkan fakta-fakta apa yang sedang terjadi terkait Fatwa yang dikeluarkan oleh MUI termasuk fatwa sesat yang sudah di terbitkan di beberapa daerah selama ini. Bila fatwa itu ada sebagai aparatur negara dalam hal ini Polisi menjaga harus menjaga keamanan dan ketertiban, Jika fatwanya melahirkan kerusuhan maka polisi itu mentertibkan. Misalnya Apakah HTI itu boleh? Selama hanya gagasan itu boleh, namun batasannya ialah selama tidak melakukan kekerasan, karena Sense of religion itu berbeda masing2 orang. Bukan soal hukum melainkan kearifan lokal.
Pelanggaran hukum itu sederhana adanya delik pidana dan itu juga terkait perbuatan yang dilarang UU.Peaceful assembly itu boleh, proses setelah terjadinya pelanggaran hukum. Usulan Prof Hamdi Muluk perwakilan dari Guru brsar pisikologi UI. Dalam sejarahnya pada Tahun 1975 MUI itu baru berdiri, yang artinya lembaga ini sebelumnya tidak pernah ada. Sekarang ini ada proses sakralisasi terhadap MUI, padahal itu sama saja dengan perhimpunan ilmu agama atau perhimpunan sains lainnya. Fatwa ini dipersepsi secara psikologis; Misal label halal MUI sebagai lembaga kajian dan keagamaan kita harus pertanyakan dananya kemana untuk kepentingan apa. Mungkin Ke depannya MUI baiknya bubarkan, karena dulunya tidak ada. Selama ini MUI dianggap sebagai penjaga akidah, padahal akidah itu tanggung jawab keluarga dan komunitas keagamaan. Sepertinya perlu untuk mulai kampanye mendesakralisasikan bahwa MUI itu bukan lembaga Negara dan jika fatwa MUI itu benar terbit, maka kita lakukan opini-opini dengan data yang falid bahwa fatwa sesat itu telah menyulut kekerasan. Usul dari Ahmad Sabri SH perwakilan dari Humas Polri: Polri berusaha memberikan masukan missal yg akhirnya berbuah SE Kapolri tentang hatespeech sebagai dasar tindakan untuk para anggota kepolisian. Efeknya SE kapolri tentang hatespeech bisa membuat orang minimal agar berhati-hati untuk berbicara. Anggapan publik bahwa adanya perbedaan tentang sikap kepolisian sebetulnya tidak ada perbedaan antara atas hingga ke bawah karna itu sudah sesuai dengan garis komando. Kalau hasil penelitian di Propam berdasar laporan warga dan itu dampaknya mereka akan kena sanksi. Jika memang fatwa MUI terkait fatwa sesat ini terbit dan akan ada dampak yang sangat luas, maka kami harapkan cendekiawan2 itu bisa terus menyuarakan kepada aparat2 penegak hukum yang ada. Bila fatwa ini berdampak sangat luas yang dapat menimbulkan kekerasan yang meluas maka akan diupayakan untuk mencegahnya. Dan disposisi ini akan dilanjutkan ke Kapolri. Dan akan dilanjutkan ke pimpinan negara, sehingga mendorong pertimbangan2 bahwa fatwa ini dikeluarkan atau tidak.
Mungkin berikan masukan pula ke Menkopolhukam.