FILM DOKUMENTER TRIBUTE TO EAST JAVA HERITAGE SERI KEBUDAYAAN SAMIN Aghastyo Ghalis / 3405100018 Jurusan Desain Produk Industri, FTSP ITS
Abstrak Masyarakat Samin, Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, mulai terbuka terhadap perubahan dan moderenitas, dan mulai menganggap penting arti pendidikan. Di tengah semangat yang besar untuk mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak, masyarakat Jepang terbatasi oleh kurangnya sarana penunjang pendidikan, kurangnya pelatihan kerja dan keterampilan selain pertanian, serta infrastruktur dan keadaan dusun yang menuntut perhatian pemerintah. Untuk itu, dirancang sebuah film dokumenter yang mampu menjadi faktor pendorong pada target audiens untuk memberikan perhatian pada masyarakat Samin tersebut, melalui dokumentasi budaya (yaitu personifikasi dari ajaran Samin yang mereka jadikan panutan) sebagai pembangun cerita. Metode penelitiannya adalah observasi, interview, pencarian data dan fakta, serta studi eksisting serta studi kompetitor dan komparator. Dari hasil tersebut dihasilkan sebuah konsep yakni “Keep the Faith” (Menjaga Keyakinan). Hasil dari proses desain ini adalah film dokumenter berdurasi 54 menit dengan topik inti yaitu asal mula sebutan Samin, ajaran, pergaulan masyarakat Samin, permasalahan pendidikan dan perekonomian, serta pengaruh ajaran samin pada masyarakat. Dari keseluruhan hasil yang dicapai diharapkan film dokumenter ini mampu menjadi media yang efektif sebagai faktor pendorong pada penentu kebijakan, sehingga apa yang diharapkan dapat segera terwujud.
Abstract The Samin community in Jepang Village, Margomulyo, Bojonegoro, currently opens themselves into change and modernity, and begin to consider the importance of education. In the middle of a great spirit to obtain education and decent living, they are limited by the lack of supporting infrastructure of education, lack of job skills training in addition to agriculture, also the infrastructure and condition of the village that needs government attention. Therefore, a documentary was designed to be a motivating factor to the target audience to pay attention to the Samin community through cultural documentation (which is a personification of Samin teachings which they recognize) as the story builder. The research methods were observation, interview, data and fact exploration, as well as existing study also competitor and comparator study. From these result a concept called Keep the Faith was produced. The result of the design process is a 54 minutes long documentary which the main topic is the origin of Samin, teachings, Samin community association, education and economic issues, also the effect of the teachings to the society. The general result of this documentary is expected to become an effective media as a motivating factor in policy making, thus what is expected can be realized soon.
KEYWORD film dokumenter, ajaran, budaya, Samin, Jawa Timur.
PENDAHULUAN Latar Belakang Secara keseluruhan, program budaya “Tribute to East Java Heritage” adalah program kebudayaan yang mampu mengingatkan kembali pada identitas kebudayaan Jawa Timur, memperkenalkan kekayaan dan keragaman budaya Jawa Timur, serta turut menjaga dan mempertahankan kesenian tradisional. Disesuaikan dengan kebutuhannya maka program ini sekiranya mampu merepresentasikan berbagai permasalahan kebudayaan yang ada di Jawa Timur. Adapun pembahasan dalam penyajiannya adalah berpedoman pada pemetaan 10 wilayah kebudayaan Jawa Timur yang diutarakan oleh Ayu Sutarto, seorang antropolog Universitas Negeri Jember. Pembagian wilayah kebudayaan itu sendiri terdiri dari budaya Mataraman, Panaragan, Samin, Arek, Tengger, Pandalungan, Osing, Madura Pulau, Madura Bawean dan Madura Kangean. Akhirnya, pemetaan budaya ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai modal awal untuk mewujudkan kedamaian masyarakat Indonesia yang multikultural terkhusus Jawa Timur. Karena masing-masing wilayah kebudayaan tersebut memiliki kelebihan, baik yang terkait dengan pusaka maupun kinerja kulturalnya. Sehingga pemetaan budaya dan program “Tribute to East Java Heritage“ ini mampu menjadi alat untuk mengeliminasi prasangka buruk yang bernuansa etnik, dan apat digunakan sebagai alat untuk memertajam pemahaman lintas budaya, serta tidak hanya itu, melalui upaya seperti ini kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh masing-masing wilayah dapat dipahami, dan kemudian dimanfaatkan oleh para penentu kebijakan maupun masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah budaya. Berbeda dari dua propinsi tetangga dekatnya, yaitu Jawa Tengah dan Bali yang monokultur, Jawa Timur adalah propinsi yang multikultur. Berdasarkan ciri pusaka budaya (cultural heritage) yang dimilikinya, baik yang tangibles (bendawi) maupun 1 intangibles (non-bendawi) . Menurut Ayu Sutarto, seperti yang telah disebut diatas, propinsi Jawa Timur dapat dipetakan menjadi 10 wilayah kebudayaan, ditambah 2 budaya (budaya Cina dan Arab) yang berkembang di antara mereka 2 .
Gambar 1 Peta pembagian kebudayaan Jawa Timur 1
Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur, Biro mental dan spiritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur, tahun 2008 2 Penelitian/ thesis Ayu Sutarto mengenai 10 pembagian wilayah kebudayaan Jawa Timur, 2006
Kebudayaan tradisional di Jawa Timur sangat beragam. Dan secara kultural bisa dibagi dalam 10 wilayah kebudayaan yaitu kebudayaan Jawa Mataraman, Panaragan, Samin (Sedulur Sikep), Arek, Tengger, Osing (Using), Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean, dan Madura Kengean (Ayu Sutarto dan Setyo Yuwono Sudikan, 2004). Tabel 1 Pembagian Wilayah Kebudayaan Jawa Timur 1. Jawa Mataraman 2. Panaragan 3. Samin (Sedulur Sikep) 4. Arek 5. Pandalungan
6. Tengger 7. Osing 8. Madura Pulau 9. Madura Bawean 10. Madura Kangean
Secara historis sebagian warga Jawa Timur memiliki ikatan budaya yang erat dengan kerajaan mataraman. Secara administratif pemerintahan atau geokultural, persebaran budaya Mataraman meliputi wilayah Pacitan, Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi, Nganjuk, Tenggalek, Tulunggagung, Kediri (sebagian) dan Blitar. Sebenarnya persebaran kebudayaan Mataraman tersebar hampir di seluruh wilayah Jawa Timur. Namun karena adanya interaksi dengan kebudayaan sekitar, maka terjadi akulturasi dan meghasilkan kebudayaan-kebudayaan baru yang menjadikan keragaman warna budaya di Jawa Timur. Dalam hal ini, pembahasan ditujukan pada kebudayaan Samin (Sedulur Sikep). Pertama, penulis merasa perlu mengangkat problematika yang ada pada Kebudayaan Samin, Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro, ini sebagai sebuah kewajiban sosial penulis terhadap masyarakat Bojonegoro dan masyarakat umumnya. Sejalan dengan yang diungkapkan oleh salah seorang bapak film dokumenter, John F Grierson, bahwa pembuat film dokumenter haruslah menempatkan dirinya sebagai seorang propagandis, yang mengangkat tema-tema dramatis dari kehidupan yang dekat di sekelilingnya sebagai sebuah kewajiban sosial 3 atau kontribusi terhadap lingkungan dan budaya . Kedua, masyarakat Dusun Jepang mulai terbuka terhadap perubahan dan menganggap penting arti pendidikan. Namun, semangat untuk mendapatkan pendidikan dan keterampilan bagi masyarakat sering terbentur persoalan ekonomi. Dan, upaya masyarakat Dusun Jepang untuk mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak ini perlu mendapatkan perhatian utamanya oleh pemerintah. Ketiga, mengacu pada hal tersebut, permasalahan kebudayaan tradisional Jawa Timur menjadi penting sebagai gerbang penyaringan masuknya kebudayaan asing (modern). Dan perancangan ini adalah salah satu upaya untuk melakukan penyaringan tersebut disamping terdapat upaya pelestarian, pengingatan kembali pada sebuah identitas, kekayaan dan keragaman budaya lokal Jawa Timur. Fokus kajian adalah pada budaya Samin dan pengaruhnya pada masyarakat Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro. Secara sepintas mungkin tidak bisa membedakan seperti apa masyarakat Samin, karena memang mereka telah mengalami keterbukaan dalam kebudayaan dan menganut kelaziman di desa pada umumnya. Namun hal tersebut bukanlah persoalan utama pada penelitian ini. Dan berikut ini fenomena-fenomena yang terjadi pada kebudayaan Samin di Jawa Timur.
3
Film Dokumenter, Sebuah Alat, Chandra Tanzil, 21 Agustus 2009
1. Sering dijumpai tulisan maupun penilaian yang miring terhadap “Samin”, “wong Samin” maupun “masyarakat Samin”. Mulai opini yang menganggapnya sebagai suku, simbol perlawanan terhadap pemerintahan sekarang sehingga mereka tidak mau membayar pajak, sampai anggapan bahwa masyarakat Samin adalah kumpulan orang-orang yang tak beragama, aneh dan terbelakang 4 . Dengan 65% responden menyatakan mengetahui Kebudayaan Samin 5 , dan tingkat ketertarikan terhadapnya yang mencapai 76% responden 6 , pengertian yang kurang tepat akan masyarakat Samin/kebudayaan Samin terus terbangun apabila hanya mendengar informasinya bukan dari sumber yang sebenarnya atau dari mulut ke mulut melalui teman saja (40% mengetahui-nya dari teman, 18% dari keluarga, 15% dari televisi, 3% radio, 24% lainnya) 5 . 2. Dengan banyaknya pejabat/tokoh masyarakat dan peneliti yang melakukan penelitian atau sekedar bertamu pada Mbah Harjo (generasi keempat dari Ki Samin Surosentiko) dan sesepuh dusun setempat, masyarakat Samin belum merasakan adanya perubahan yang berarti pada pembangunan fisik dusun dan pendidikan masyarakat Dusun Jepang 7 . 3. Adanya semangat yang tinggi pada sebagian masyarakat untuk mencari atau menempuh pendidikan, namun tidak begitu saja melupakan ajaran sosial dan moral yang terbentuk dalam masyarakat Samin 8 . 4. Di tengah semangat yang begitu besar untuk mendapatkan pendidikan, utamanya untuk generasi penerus mereka, mereka yang notabene hampir kesemua penduduknya adalah petani, dengan rela mendirikan Sekolah Dasar secara swadaya walaupun dengan keadaan yang sangat sederhana dan membayar guru sukwan (guru dibayar oleh wali murid) 9 . 5. Begitu pula dengan RA dan Pendidikan Anank Usia Dini (PAUD) yang juga diupayakan oleh warga walaupun masih belum mempunyai tempat/ruang kelas sendiri. Dan ada sedikit bantuan dari pemerintah untuk mengadakan Paket A Keaksaraan Fungsional (AKF) untuk kelompok usia lanjut 10 . 6. Sekarang, tata cara dalam ajaran Samin memang hanya diugemi oleh Mbah Harjo Kardi dan keturunan, serta sebagian masyarakat, namun ajaran samin tidak lantas hilang begitu saja. Masyarakat Dusun Jepang masih nguri-uri ajaran sosial dan moral dalam berkehidupan sosial sehari-hari, yang merupakan pengaruh dari ajaran Samin tersebut, untuk selalu gotong royong dengan tanpa pamrih, tidak drengki srei, dahwen, kemeren, dan semena-mena pada orang lain, dan sebagainya 11 . 7. Meskipun masyarakat Samin bergesekan dengan arus ekonomi, informasi dan teknologi, dengan adanya proses jual beli/pertukaran barang dan jasa, dan 4
Hasil Pencarian penulis melalui internet, observasi di lapangan, depth interview dengan Mbah Harjo Kardi 5 Hasil Survey 1 6 Hasil Survey 2 5 Hasil Survey 1 7 Hasil interview dengan Pak Sukijan Kepala Dusun Jepang dan Pak Jiman seorang Ketua RT di Dusun Jepang 8 Pengalaman penulis ketika melakukan observasi di lapangan 9 Tulisan Mbah Harjo dalam Buku Riwayat Perjuangan Ki Samin Surosentiko, interview dengan Mbah Harjo, dan interview dengan Pak Sukijan Kepala Dusun Jepang 10 Hasil nterview dengan Pak Miran, salah satu warga Dusun Jepang, juga seseorang yang mendirikan PAUD 11 Hasil interview dengan Pak Sukijan Kepala Dusun Jepang
masuknya televisi, telepon selular, dan peralatan pertanian, namun mereka tidak pernah kehilangan sikap kegotongroyongan dan tolong menolong yang tanpa pamrih. Sama seperti yang pernah diucapkan oleh WS Rendra, bahwa di Jawa kebiasaan gotong royong hanya di masyarakat Samin 12 . Entah itu dalam hal pertanian, keseharian, maupun sambatan (ketika ada tetangga/sedulur lain sedang membenahi rumah, membangun rumah, maupun hajat/keperluan yang lainnya) 8 . Dalam upaya untuk merepresentasikan permasalahan ini dan mendapatkan perhatian para penentu kebijakan dan masyarakat luas, maka diperlukan publikasi dan kerjasama dengan banyak pihak. Dalam dunia saat ini, peran publikasi semakin penting karena dapat menjangkau opini publik yang dapat men-support permasalahan yang disampaikan. Dalam kasus ini publikasi juga berkaitan dengan usaha untuk menumbuhkan dan menciptakan citra, baik itu citra Kebudayaan Samin sendiri maupun permasalahan yang menyertainya. Dan publikasi sangat dibutuhkan untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat terhadap realitas yang ada. Publikasi merupakan pengembangan dari konsep berita yaitu 5W + 1H (Who, What, When, Where, Why, dan How) hanya dalam pengemasannya saja yang berbeda. Jika dalam penulisan berita 5W dijabarkan secara singkat, maka dalam upaya ini cenderung disajikan lebih kompleks, detail dan memerlukan media yang sesuai. 13 Adapun sifat fisik dari berbagai jenis media adalah sebagai berikut ini 14 : Tabel 2 Sifat fisik berbagai jenis media Jenis Media
Cetak
Audio
Audiovisual
Sifat Dapat dibaca, dimana dan kapan saja Dapat dibaca berulang-ulang Daya rangsang rendah Biaya relative rendah Daya jangkau terbatas Dapat didengar bila siaran Daya rangsang rendah Biaya relatif murah Daya jangkau luas Dapat didengar dan dilihat bila ada siaran Daya rangsang sangat tinggi Biaya mahal Daya jangkau luas
Sesuai dengan upaya untuk merepresentasikan permasalahan yang ada pada Kebudayaan Samin ini, maka dipilihlah media audiovisual/video sebagai media yang paling tepat dan efektif. Dengan media ini keuntungan yang diperoleh adalah kombinasi antara gambar, suara dan gerakan serta bersifat dinamis, sehingga sangat menarik perhatian, lebih prestisius dibanding media lain, muatan isi lebih banyak, lengkap, berisi berbagai macam tipe informasi (teks, gambar/foto, suara/musik, video), dan selain itu memberikan kemudahan dalam pengembangan publikasinya karena bisa juga di upload via internet.
12
Kupas Tuntas episode "SAMIN" telah ditayangkan di Trans7 pada 8 Mei 2008. Pengalaman penulis ketika melakukan observasi di lapangan 13 2005. Marketing Communication:Taktik Dan Strategi hal.21-22. Jakarta: Gramedia. 14 Morrisan, MA. 2008. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Jakarta: Gramedia. 8
Dalam Kebudayaan Samin, solidaritas sosial, keluhuran moral, dan kearifan masyarakat Samin, serta permasalahan yang ada ini hanya akan dapat mudah dipahami bila kita dapat melihat sendiri atau bergaul dengan masyarakat tersebut. Oleh karena itu untuk merepresentasikan hal ini, diperlukan adanya media audiovisual/video yang dapat diterima oleh masyarakat modern. Nilai-nilai budaya ini menjadi penting saat fungsi sosial kebudayaan itu dilaksanakan namun terbentur pada permasalahan kemasan yang dianggap kuno dan ketinggalan zaman. Sesuai dengan sifat media audiovisual/video dan mampu disetarakan dengan sebuah rekonstruksi adalah film dokumenter. Film dokumenter adalah media audiovisual/video yang mampu merepresentasikan kejadian sesuai dengan realita yang ada. Sesuai dengan tulisan Chandra Tanzil, praktisi dokumenter yang juga direktur In-Docs, bahwa tujuan utama dari film dokumenter adalah merepresentasikan kembali suatu kejadian, kisah hidup, atau realita 16 . Dan dalam buku Bill Nichols yang berjudul Representing Reality, yang dikutip oleh Chandra Tanzil, Nichols membuat sebuah rumusan sederhana dalam memberikan pemahaman yang hakiki mengenai definisi film dokumenter. Bahwa film dokumenter adalah sebuah upaya untuk menceritakan kembali sebuah kejadian/realita, menggunakan fakta dan data 17 . Pengungkapan sebuah fakta sekiranya dapat mengingatkan kembali, merangsang para generasi penerus untuk dapat mengenal identitasnya yang dapat dibanggakan atau mungkin dampak yang lebih ekstrim yaitu dapat memberikan aksi maupun reaksi terhadap permasalahan yang ada. Ini adalah hal yang menarik ketika permasalahan budaya diangkat kedalam media film dokumenter, terlebih ketika akhir-akhir ini permasalahan budaya sedang mendapat sorotan oleh karena pengakuan dari negara lain. Sedangkan menurut data survey sendiri, 44 dari 84 responden yang tertarik pada masalah sosial 6 , juga menganggap bahwa masalah budaya adalah masalah yang menarik. Tak hanya itu, film dokumenter juga menjadi sebuah tren tersendiri dalam perfilman dunia. Ini bisa dilihat dari banyaknya film dokumenter yang bisa kita saksikan melalui saluran televisi seperti program National Geographic dan Animal Planet. Bahkan saluran televisi Discovery Channel pun mantap memproklamirkan diri sebagai saluran televisi yang hanya menayangkan program dokumenter tentang keragaman alam dan budaya. Selain untuk konsumsi televisi, film dokumenter juga lazim diikutsertakan dalam berbagai festival film di dalam dan luar negeri. Di Indonesia sendiri, sampai akhir penyelenggaraannya tahun 1992, Festival Film Indonesia (FFI) memiliki kategori untuk penjurian jenis film dokumenter. Pada permasalahn budaya khususnya, menurut data survey, 86% responden menyetujui media film dokumenter sebagai 6 media pelestarian kebudayaan tradisional .
16
Re-enactment, Reconstruction & Docudrama, Chandra Tanzil, 16 Oktober 2009. Film Dokumenter, Sebuah Alat, Chandra Tanzil, 21 Agustus 2009 6 Hasil Survey 2 6 Hasil Survey 2 17
13%
87% Setuju
Tidak Setuju
Gambar 2 Hasil kuisoner film dokumenter sebagai media pelestarian kebudayaan tradisional 24%
76%
Setuju
Tidak Setuju
Gambar 3 Hasil kuisoner bahwa masyarakat Samin, Bojonegoro, direpresentasikan melalui media film dokumenter
Serupa dengan hal tersebut, 76% responden menyetujui bahwa masyarakat Samin, Margomulyo, Bojonegoro, ini perlu direpresentasikan melalui media film dokumenter 6 . Mengingat kekuatan film dokumenter yang memiliki treatment tersendiri untuk mengkomuni-kasikannya pada audiens melalui medium audio visual, terlebih lagi film dokumenter memiliki bergaining of power terhadap sebuah realitas. Seperti yang diungkapkan oleh pakar dokumenter, John F Griersen, salah seorang bapak film dokumenter, menyebutkan bahwa kekuatan film dokumenter hampir sebanding dengan sebuah rekonstruksi. Maksudnya adalah untuk menangkap sebuah problematika pada kebudayaan Samin perlu adanya sebuah dimensi untuk menggambarkan realitas secara komprehensif. Dan secara umum, film dokumenter yang mampu mendorong penentu kebijakan untuk memberikan reaksi adalah sebagai berikut, a. Kontroversial Kontroversial di sini adalah baik itu secara tema cerita film bersifat kontroversi, yang memang kontroversial dan mengundang perhatian, maupun adanya kontroversi antar subjek dalam film itu sendiri. b. Tragis Secara cerita begitu tragis, mengenaskan atau begitu kontras bila dibandingkan dengan keadaan yang seharusnya. c. Menyentuh hati, mengiba
6
Hasil Survey 2
Memiliki alur dan latar/setting cerita yang dapat menyentuh hati pemirsanya, sehingga menuntut perhatian lebih. d. Kadang mengejutkan Maksudnya, cerita yang disuguhkan membuat pemirsanya hingga tercengang, apabila menonton beberapa adegan dalam film. Faktor pendorong yang ada pada film dokumenter Tribute to East Java Heritage Seri Kebudayaan Samin ini adalah, • Masyarakat Samin yang dulunya terkenal dengan penampilan yang serba hitam, kolot, dan terkesan bodoh, ternyata pandai dan kini terbuka akan pendidikan. • Adanya gap antara perwakilan generasi muda diwakili oleh Yeyen Yulianto/Juli dengan wakil generasi tua yang diwakili oleh Bambang Sutrisno/Mas Tris. Bahwa generasi muda menginginkan secepatnya terjadi perubahan besar pada dusunnya, sedangkan generasi tua mengajak dengan sabar dan menerima apa adanya keadaan yang ada. • Kondisi lingkungan dusun di mana masyarakat Samin tinggal masih adanya kesulitan air, dan banyak dari perumahan masyarakat yang belum mempunyai kamar mandi dan kakus. • Belum meratanya listrik yang masuk ke Margomulyo, utamanya Dusun Jepang. • Keadaan bangunan sekolah dasar yang kurang baik untuk digunakan • Kebanyakan siswa yang tidak bersepatu kala bersekolah • Kurangnya fasilitas dan buku sekolah • Belum adanya bangunan untuk Pendidikan Anak Usia Dini dan Taman Kanak Kanak • Nyaris tak ada penghasilan untuk pengajar AKF dan PAUD • Masih saja banyak siswa yang putus sekolah karena biaya Tujuan a. Film dokumenter ini dapat menjadi faktor pendorong pada target audiens, yaitu penentu kebijakan dan masyarakat luas untuk mulai memberi perhatian pada masyarakat Samin, Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro. b. Pengungkapan bahwa masyarakat Samin bukanlah masyarakat yang bodoh dan terbelakang, dan di tengah pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan, informasi dan teknologi, serta derasnya arus ekonomi, yang rentan terjadi pergesekan dan perubahan budaya seperti pada masa sekarang ini, orang Samin memiliki kepribadian yang dapat dijadikan rujukan. Seperti apa yang dipaparkan oleh Setya Yuwana Sudikan, bahawa orang Samin dikenal sangat jujur dan bersikukuh 1 memelihara ajarannya . Dan ditengah kegersangan modernitas, lokalitas seperti orang Samin ini justru menawarkan kearifan 12 . Utopis, hidup dalam keharmonisan, gotong royong dan tolong menolong yang tanpa pamrih. Masalah Bagaimana merancang sebuah film dokumenter yang mampu menjadi faktor pendorong pada target audiens untuk memberikan perhatian pada masyarakat Samin, Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, sebagai program budaya Tribute to East Java Heritage Seri Kebudayaan Samin? 1
Pemetaan Kebudayaan di Provinsi Jawa Timur, Biro mental dan spiritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur tentang kebudayaan Samin, tahun 2008 12 Kupas Tuntas episode "SAMIN" telah ditayangkan di Trans7 pada 8 Mei 2008.
Metode Pendekatan Target audiens film ini adalah Instansi Pemerintah disini adalah lembaga pemerintahan Jawa Timur, yaitu Pemerintah Provinsi Jatim (Pemprov Jatim), dan lembaga pemerintahan Bojonegoro, yaitu Pemerintah Kabupaten Bojonegoro (Pemkab Bojonegoro). Selain itu tidak menutup kemungkinan bahwa audiens film ini adalah pria dan wanita dengan jarak umur antara 20 - 40 tahun yang mengapresiasi tinggi permasalahan sosial dan budaya. Secara praksis, film dokumenter ini akan didistribusikan ke beberapa lembaga pemerintahan, dan lembaga yang terkait dengan kesenian dan kebudayaan, antara lain: pusat kebudayaan, pertelevisian, maupun pada komunitas dan pemerhati kesenian dan kebudayaan. Jenis Data Data primer : • Hasil kuesioner dari 100 audiens pada saat sampling. • Hasil wawancara dengan Ibu Saptatik, Kasub Kebudayaan, Disparta Bojonegoro. • Hasil wawancara dengan Mbah Hardjo Kardi, keturunan ke-4 dari Ki Samin Surosentiko. • Hasil wawancara peneliti Kebudayaan Samin. • Hasil wawancara dengan pelaku seni dan budaya Bojonegoro. Data Sekunder : • Teori-teori pendukung pembahasan. • Eksisting • Pengamatan langsung pada Dusun Jepang, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro • Hasil rekaman acara televisi Kupas Tuntas • Hasil rekaman siaran radio BBC Siaran Indonesia Sumber Data Data primer : 1. Wawancara dengan Ibu Saptatik, Kasub Kebudayaan, Disparta Bojonegoro. 2. Wawancara dengan Kang Siswo Nurwahyudi, dkk, pelaku seni dan budaya Bojonegoro 3. Wawancara dengan Mbah Hardjo Kardi, keturunan ke-4 dari Ki Samin Surosentiko 4. Wawancara dengan Ibu Eli, guru SMAN 4 Bojonegoro, peneliti Samin Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro 5. Diperoleh dari hasil kuesioner dari responden pemuda Bojonegoro dan pemudapemuda komunitas kesenian di Surabaya. Data melalui kuesioner dilakukan untuk mengetahui pendapat target konsumen Dewasa Awal mengenai trend, minat dan gaya hidup, kebutuhan target akan media yang bersangkutan maupun media yang tepat untuk mereka. Data sekunder : Data-data yang didapat melalui : 1. Literatur, yaitu data yang diperoleh dari artikel buku tertentu, dapat berupa teoriteori yang mengarah pada pembahasan perancangan ini. 2. Internet, yaitu pencarian data yang berhubungan dengan perancangan ini melalui akses internet. 3. Pengamatan langsung pada Dusun Jepang, Kecamatan Margomulyo, Bojonegoro
4. Kupas Tuntas episode "SAMIN" telah ditayangkan di Trans7 pada 8 Mei 2008. Narasumbernya tokoh muda Samin, Gunritno; peneliti komunitas Samin, Laksanto; dan budayawan asal Pati, Mas Anis. 5. Laporan Yusuf Arifin BBC Siaran Indonesia, Dunia Pagi Ini, 05.00 WIB Selasa 29 Mei - Jumat 1 Juni 6. Cuplikan Film Kulo Ndiko Sami, produksi In-docs dan Perkumpulan Kadang Sikep 7. Film Lari Dari Blora, Dipersembahkan oleh Ibar Pictures, Produksi Egy Massadiah, Oleh Akhlis Suryapati Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah, a. Obeservasi lapangan Dengan melakukan penelitian dan riset secara langsung di lokasi dimana subjek film berada. b. Kuesioner Melakukan survey dengan kuesioner pada sampel target audiens yang dituju. c. Wawancara Mengumpulkan data dan fakta melalui interview dengan subjek dan pihak-pihak yang terkait dengan perancangan. Metode Pemilihan Subjek Film Berikut adalah kriteria pemilihan subjek film dokumenter Tribute to East Java Heritage Seri Kebudayaan Samin, berdasarkan personifikasi warna dalam pedoman ajaran Samin yang di berikan oleh Mbah Hardjo Kardi. Putih Putih adalah adalah dasar dari segala perilaku. Kriteria yang diinginkan adalah, • Keturunan langsung Mbah Hardjo Kardi • Ditokohkan oleh masyarakat • Berfungsi sosial tinggi pada masyarakat • Rendah hati • Muda dan bijak • Selalu berpikir positif • Suka menolong • Mendukung setiap perbuatan baik Hitam Hitam, mewakili kesenangan pada dunia. Kriteria yang diinginkan adalah, • Ramah • Mudah bergaul • Ice breaker • Selengean • Menyukai hiburan • Suka minum Sisi Positif: • Suka menolong • Rendah hati Merah Merah, melambangkan kecintaan pada sandang dan pangan. Kriteria yang diinginkan adalah, • Muda • Suka berdandan keren
• Suka nongkrong • Suka bergaul • Mempunyai telepon selular • Intensitas hubungan via telepon selular tinggi Sisi positif: • Aktif dalam pendidikan masyarakat • Rendah hati Kuning Kuning, sebagai pedoman tingkah laku. Kriteria yang diinginkan adalah, • Mengajarkan pendidikan moral, budi pekerti, tata krama dan agama, serta pendidikan umum pada masyarakat • Berperan sosial tinggi, misalnya, dalam kelompok pengajian di lingkungan masyarakat • Aktif dalam pendidikan masyarakat • Gemar bercerita dan memberi nasihat Metode Penelitian Perencanaan Proses penelitian ini menggunakan beberapa metode penelitian, antara lain : 1. Tahap Pengumpulan Data a. Studi Lapangan, yaitu survey dengan kuesioner pada sampel target audiens yang dituju. b. Studi Komparatif, yaitu dengan melakukan komparasi dengan produkproduk sejenis c. Studi Literatur, yaitu dengan mengumpulkan data-data yang berhubungan dengan perancangan yang berasal dari berbagai sumber. 2. Tahap Identifikasi Masalah Identifikasi permasalahan pada perancangan ini muncul dari wawancara dari pihak-pihak terkait dan didukung oleh survey kuesioner yang ditujukan langsung pada target audiens. Hasil wawancara dan kuesioner dianalisa lebih lanjut hingga muncul identifikasi masalah yang menguatkan alasan perlunya perancangan ini dilakukan. 3. Tahap analisa permasalahan Permasalahan-permasalahan yang timbul dianalisa lebih mendalam untuk dapat menetukan solusi bagaimana yang dapat dilakukan dari permasalahan tersebut. 4. Tahap pengambilan keputusan Pengambilan keputusan merupakan langkah penting yang akan menentukan perancangan ini akan berjalan, hingga pada penentuan hasil akhir dari perancangan ini. Segala proses desain yang diambil untuk kepentingan perancangan akan diputuskan di tahap ini.
PENMBAHASAN Konsep yang terkait dengan gaya hidup adalah psikografik. Psikografik adalah suatu instrumen untuk mengukur gaya hidup, yang memberikan pengukuran kuantitatif dan bisa dipakai untuk menganalisis data yang sangat besar. Analisis psikografik sering juga diartikan sebagai suatu riset konsumen dalam hal kehidupan mereka, pekerjaan dan aktivitas lainnya. Psikografik bisa diukur melalui pengukuran AIO (Activity, Interest and Opinion). Berdasarkan hasil riset terhadap Instansi Pemerintah, didapatkan kesimpulan: a. Activity (aktivitas). Aktivitas yang mereka lakukan adalah: • Berproduksi optimal sesuai bidang usaha yang mereka masing-masing. • Berupaya untuk selalu meningkatkan kinerja instansi.
•
Menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dalam rangka merealisasikan tujuan instansi.
b. Interest (minat). Minat mereka terhadap kebudayaan adalah: • Memfasilitasi dan mendorong terjadinya proses kreatifitas dalam rangka pengembangan kesenian dan apresiasi masyarakat • Memfasilitasi kegiatan kesenian daerah pada event-event regional, nasional, internasional sebagai upaya pembinaan kesenian daerah • Mengembangkan dan meindungi kesenian daerah • Kebudayaan tersebut memiliki prospek yang bagus bagi instansi • Menyelenggarakan dan mengembangkan pengusahaan obyek dan daya tarik wisata budaya • Melaksanakan pelestarian benda cagar budaya dan pengembangan kawasan cagar budaya • Mengembangkan benda cagar budaya dan kawasan cagar budaya sebagai pusat penelitian serta aktifitas sosial budaya masyarakat c.
Opinion (opini). Opini atau pendapat mereka mengenai kebudayaan adalah bahwa dengan kebudayaan, diharapkan adanya pengusahaan obyek dan daya tarik wisata budaya, aktifitas sosial budaya masyarakat, dan peran aktif terhadap perkembangan dan perlindungan kekayaan bangsa. Dan mereka menganggap bahwa dalam hal ini menjalin relasi adalah sangat penting. Motivasi mereka dalam mengembangkan kebudayaan adalah menghasilkan keuntungan yang berdampak positif bagi laju perkembangan instansi mereka.
Studi Eksisting Dari studi eksisting menghasilkan beberapa kesimpulan terhadap analisa komparasi film dokumenter yang telah ada, sehingga proses adaptasi diperlukan dalam perancangan film dokumenter “Tribute to East Java Heritage Seri Kebudayaan Samin“ ini. Adaptasi yang akan diterapkan pada perancangan sesuai hasil dari analisa eksisting (Tribute to East Java Heritage Seri Kebudayaan Arek) adalah sebagai berikut: a. Penggunaan genre Direct Cinema, karena direct cinema bersifat personal untuk menghilangkan jarak subjek dengan pembuatnya. b. Tema adalah kebudayaan Indonesia, terkhusus Jawa Timur karena pembahasan program “Tribute to East Java Heritage“ adalah kebudayaan Jawa Timur. c. Hampir seluruh film dokumenter menggunakan alur maju, karena tidak ada rekayasa dan bersifat pemaparan (eksposisi) d. Sudut pandang pada program “Tribute to East Java Heritage” disesuaikan dengan Target Audiens pada masing-masing kebudayaan di Jawa Timur. e. Menghindari adanya kesan bahwa perancangan ini menceritakan biografi subjek film. Dikarenakan eksisting yang ada, yaitu Seri Kebudayaan Arek, mengesankan bahwa lebih menceritakan biografi subjek film.
Gambar 4 Beberapa adegan dalam Tribute to East Java Heritage Seri Kebudayaan Arek
Studi Komparasi Dari studi komparasi menghasilkan beberapa kesimpulan terhadap analisa komparasi film dokumenter yang telah ada, sehingga adaptasi yang diperlukan untuk perancangan film dokumenter ini adalah: a.
Penggunaan genre campuran, antara Direct Cinema dan Cinema Verite, karena selain bersifat personal untuk menghilangkan jarak subjek dengan pembuatnya, sehingga lebih bersifat emosional, dengan adanya narasi membantu penonton memahami cerita yang disampaikan oleh subjek film.
b.
Banyak menggunakan normal angle, mengesankan persamaan, dan berada pada lokasi yang sama, dan menitikberatkan dramatisasi dengan tone warna yang lebih lembut, dibantu dengan pencahayaan atmosfer.
Gambar 5 Beberapa adegan dalam film “Kulo Ndiko Sami”, salah satu film dalam DokuBox InDocs
USP USP yang dimiliki oleh kebudayaan Samin di Jawa Timur ini adalah, a.
Kebudayaan Samin di wilayah Jawa Timur ini sedikit spesial karena di Dusun Jepang, Kec Margomulyo, Kab Bojonegoro ini, merupakan tempat sesepuh Samin, yaitu generasi ke-3 dan ke-4 Samin, yaitu Mbah Surokarto Kamidin (alm) dan puteranya, Mbah Hardjo Kardi. Oleh karena itu sering sekali para pejabat, tokoh masyarakat, dan peneliti baik itu dari Jawa Timur sendiri maupun dari luar Jawa Timur, menjadikan dusun ini sebagai daerah kunjungan dan rujukan penelitian.
b.
Ternyata meskipun dusun ini merupakan tempat tinggal sesepuh Saminisme dan dimana beliau memberikan pengaruh, namun dusun ini adalah dusun yg telah terbuka dengan modernitas.
Konsep Komunikasi Sesuai dengan data-data yang telah diperoleh, yaitu metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa konten dengan pendekatan antropologi dan sosiologi. Hal ini menyangkut unsur-unsur dalam masyarakat dan kebudayaan yang inheren di dalamnya. Sedangkan teknik pencarian dan pengolahan data adalah teknik partisipasi langsung dan wawancara dengan subjek-subjek terkait. Sehingga, konsep komunikasi yang digunakan adalah melalui dokumentasi budaya (yaitu personifikasi dari ajaran Samin yang mereka jadikan panutan) sebagai pembangun cerita untuk mengutarakan permasalahan sosial masyarakat utamanya tentang kualitas pendidikan dan ekonomi masyarakat. Juga mengenai kurangnya fasilitas pendukung, utamanya sekolah, jalan, waduk penampung sumber air, dan ketersediaan pasokan listrik. Hal inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam film. Karena bagaimana dan seberapa dalam kebudayaan Samin dan produknya (berupa ajaran Samin) yang bersifat filosofis itu menyatu dengan masyarakat, akan lebih tampak apabila adanya kedekatan dengan mereka dan bagaimana mereka menghadapi permasalahan yang ada. Tidak seperti kebanyakan kebudayaan lainnya di Jawa Timur yang langsung tampak oleh produk keseniannya.
Tabel 3 Konsep Film dokumenter Tribute to East Java Heritage Seri Kebudayaan Samin
Definisi Keyword Denotasi : Menurut kamus bahasa Inggris An English-Indonesian Dictionary, oleh John M. Echols dan Hassan Shadily, definisi a. faith berarti : kb. 1 kepercayaan; 2 agama, keyakinan b. keep berarti : kb. 1 pencaharian, nafkah kkt. 1 menjaga; 2 memelihara; 3 membuat catatan; 4 menyimpan; 5 menerima; 6 menunjukkan; 7 turut; 8 menahan; 9 terus kki. tetap c. change berarti : kb. 1 perubahan; 2 pergantian, ganti; 3 uang kembali. kkt. 1 merubah; 2 menukarkan; 3 bertukar, menukar; 4 (ber)ganti; 5 mengalih kki. 1 menukar pakaian; 2 ganti; 3 berubah Konotasi (How to Say): Kata keep the faith (menjaga keyakinan) mempunyai maksud, mengutarakan permasalahan yang ada pada masyarakat Samin, Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, melalui dokumentasi budaya (yaitu personifikasi dari ajaran Samin yang mereka jadikan panutan) sebagai pembangun cerita. Bahwa permasalahan yang ada adalah masyarakat Samin mulai terbuka terhadap perubahan dan modernitas, dan mulai menganggap pentingnya arti pendidikan. Di tengah semangat yang besar untuk saling memberi dan mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak, masyarakat Jepang terbatasi oleh kurangnya sarana penunjang pendidikan, kurangnya pelatihan kerja dan keterampilan selain pertanian, serta infrastruktur dan keadaan dusun yang menuntut perhatian pemerintah. Dan pembangunan cerita film ini melalui andil dari tiap subjek film dalam menyikapi permasalahan yang ada. Subjek film dipersonifikasikan melalui empat unsur warna, putih, hitam, merah, kuning, yang merupakan pedoman dari ajaran Samin yang telah dibuat oleh Mbah Hardjo Kardi. Kriteria Desain Dari konsep tersebut di atas diturunkan ke dalam kriteria desain, sehingga desain yang dihasilkan sesuai dengan konsep perancangan. Dimana hal itu berpengaruh terhadap berhasil tidaknya tujuan yang ingin dicapai dalam perancangan. Konsep desain dalam perancangan ini adalah keep the faith yang artinya, menjaga keyakinan. Dalam konsep perancangan ini penekanan informasinya adalah masyarakat Samin Dusun Jepang kini nyaris sudah seperti masyarakat desa pada umumnya dan mempunyai semangat mencari pendidikan dan perekonomian yang layak, namun hal itu begitu susah di dapatkan, karena berbagai macam kendala, misalnya, lokasi dusun yang begitu jauh dari pusat pendidikan dan administratif kecamatan, dan fasilitas yang ada belum bisa memenuhi kebutuhan pendidikan dan ekonomi masyarakat. Hal ini begitu kontras dengan seringnya pejabat, tokoh masyarakat dan peneliti yang berkunjung ke dusun Jepang. Artinya, hal ini sebagai faktor pendorong dalam menyulut reaksi penentu kebijakan dan masyarakat untuk peduli akan keadaan masyarakat dusun Jepang ini. Dan hal tersebut dikemas dalam dokumentasi budaya masyarakat (yaitu personifikasi dari ajaran Samin yang mereka jadikan panutan) sebagai pembangun cerita dan disesuaikan dengan target audiens, sehingga apa yang ingin disampaikan (What to Say) bisa tercapai dan terjawab secara komprehensif.
Strategi Komunikasi (How to tell the story) Strategi komunikasi disini mencakup hal-hal yang berkaitan dengan cara menyampaikan pesan kepada target audiens agar pesan yang ingin disampaikan dapat dengan mudah dipahami. Dalam perancangan media audio visual, istilah strategi komunikasi cenderung diartikan bagaimana gaya penceritaan yang digunakan atau how to tell the story. Adapun gaya penceritaan yang digunakan pada perancangan film dokumenter ini adalah sesuai dengan genre yang digunakan dalam film ini, yaitu campuran antara observatoris/direct cinema dan ekspositoris/cinema verita. Artinya, pesan dalam media ini disampaikan kepada target audiens dengan cara subjek film menceritakan sendiri, secara spontan menyampaikan persoalan yang mereka hadapi, tak jarang kegiatan/tindakan dan percakapan dilakukan dengan subjek lain secara aktual. Sehingga, penonton merasa dihadapkan pada realita yang sesungguhnya. Sedangkan, dari genre ekspositori/cinema verite diadopsi penyampaian pesan dengan narasi. Hal ini dipilih karena produk Kebudayaan Samin yang banyak bersifat filosofis dan tidak tampak secara kasat mata seperti produk kebudayaan lainnya di Jawa Timur. Dalam membangun cerita dan keutuhan film ini, pembuat film menganalogikan bahwa film dokumenter tentang Kebudayaan Samin ini adalah sebuah kehidupan manusia. Dan dalam diri manusia yang utuh, mempunyai 4(empat) unsur, sesuai dengan pedoman yang diberkan oleh Mbah Hardjo Kardi, generasi keempat Saminisme. Sebuah pedoman yang diberikannya pada keluarga dan masyarakat, yang telah disarikan dari kitab-kitab Ki Samin Surosentiko yang telah beliau pelajari. Keempat unsur tersebut diwakili dengan warna, putih, ireng, abang, kuning. Putih sebagai dasar dari segala perilaku, ireng/hitam, mewakili kesenangan pada dunia, abang/merah melambangkan kecintaan pada sandang dan pangan, sedangkan kuning, kuning, sebagai pedoman tingkah laku. Oleh karena keutuhan film ini terilhami oleh semua unsur kehidupan manusia tersebut, maka diperolehlah 4(empat) subjek film yang mempunyai karakter dominan mewakili masing-masing unsur. Sebutlah Bambang Sutrisno, putra dari Mbah Hardjo Kardi, mewakili putih, personifikasi dari seorang yang sabar, arif bijaksana, dan selalu berpikir positif dalam menghadapi segala persoalan. Ireng/hitam, diwakili oleh Saeran, seorang tukang potong dusun yang humoris, ice breaker, lebih suka nongkrong dan bersenang-senang. Abang/merah diwakli oleh Yeyen Yulianto, seorang pemuda yang belum berkeluarga, belum memikirkan kebutuhan hidup berkeluarga, dan masih hanya memikirkan urusan pulsa, makan dan penampilan pribadi. Hartinah, seorang ibu yang rendah hati, dan mengajarkan budi pekerti pada anak-anak generasi penerus Dusun Jepang, mewakili unsur kuning. Bahwa, keempat tokoh inilah yang membangun keutuhan cerita dalam film ini. Bagaimana andil mereka dalam membangun cerita pada film dan memelihara solidaritas sosial, semangat memajukan pendidikan dan perekonomian, serta memelihara kearifan lokal masyarakat Dusun Jepang, akan dikemas dalam film dikumenter ini. Cerita ini diawali dengan penjelasan mengenai apa itu Samin, mengapa orang menyebut “Samin” sedangkan masing-masing orang mempunyai nama sendiri-sendiri. Di sini Bambang Sutrisno (Mas Tris) sebagai keturunan langsung dari Mbah Hardjo Kardi yang menjelaskan. Disusul ketiga tokoh menjelaskan bagaimana karakter pribadi orang-orang Samin dan pergaulan bersama masyarakat. Berikutnya melalui tokoh Yeyen Yulianto (Juli) dan Hartinah (Bu Har), masalah pendidikan dan ekonomi, masalah infrastruktur dan keadaan dusun diutarakan. Mas
Tris dengan sabar dan bijak menengahi dan memberikan pengertian bahwa keadaan seperti sekarang ini harus tetap disukuri dan apapun keadaannya. Cerita dilanjutkan oleh Saeran, yang merupakan salah satu contoh pengaruh ajaran Samin pada masyarakat dan pemuda Jepang. Walaupun kehidupannya penuh keriaan nongkrong, dan bersenang-senang berkumpul bersama teman-temannya, namun satu sisi karakternya patut menjadi contoh. Permasalahan seputar pendidikan dan pemuda, bahwasanya pemuda juga membutuhkanperhatian dan keterampilan selain bertani dicontohkan dan dikisahkan oleh Juli, sedangkan permasalahan ekonomi dikisahkan oleh Bu Har. Mereka juga memberikan pemahaman pada audiens bagaimana cara mereka dan kebanyakan masyarakat Jepang lain menghadapi permasalahannya. Nada dukungan pun diutarakan oleh Mas Tris, yang kemudian juga menjelaskan bagaimana karakter orang Jepang yang sebenarnya. Sepatuh cerita terakhir menjelaskan tentang ajaran Samin, setelah mendapatkan contoh konkrit dari pola perilaku masyarakat, walaupun didera segudang permasalahan yang kompleks, namun solidaritas sosial yang diajarkan dalam ajaran Samin masih terjaga. Meskipun realitanya mereka harus berhadapan dengan dua jalan. Pertama, berkompromi dengan jaman untuk bertahan hidup, atau mempertahankan cara hidup seperti kakek buyut mereka, namun beresiko menjadi yang tertinggal. Inilah tantangan kebudayaan yang sesungguhnya. Dari How to tell the story diatas terdapat beberapa langkah dalam pelaksanaan proses pra produksi setelah mendapatkan subjek film, yaitu Bambang Sutrisno, Saeran, Yeyen Yulianto, dan Hartinah. Adapun proses kerjanya sebagai berikut: Life History, adalah hasil dari riset lapangan menghasilkan subjek film dan dari sini subjek diceritakan kembali sebagai proses penggalian ide dan perkenalan subjek film dokumenter. Bambang Sutrisno Bambang Sutrisno, atau biasa dipanggil Mas Tris, anak terakhir Mbah Hardjo Kardi, dari 7 (tujuh) bersaudara. Bekerja sebagai PNS di Kantor Kecamatan Margomulyo dan mengambil kuliah sore di Universitas Soeryo Ngawi di sore hari setelah sepulang bekerja. Mempunyai seorang istri, Noveri Ekowati, dan seorang putri bernama Ayunda Eka Trisnawati. Walaupun telah mengenyam pendidikan tinggi dan bekerja di pemerintahan, tak lantas membuat Mas Tris tercabut dari akar budaya Samin lehuhurnya, atau jauh dari kebersamaan dengan warga dan pemuda Jepang. Beliau masih seperti ayahnya, bertani, srawung/berkumpul bersama sedulur-sedulur lainya, yaitu, keluarga dan maryarakat, membantu memperbaiki mesin-mesin pertanian, hingga merawat motor keponakannya, bila mengalami kerusakan. Seperti itulah Mas Tris, seorang yang mempunyai banyak keahlian, seperti Mbah Hardjo, ayahnya. Meskipun Mas Tris belum berani menceritakan kisah sejarah pendahulunya, namun semangat beliau untuk mempertahankan eksistensi ajaran Samin dengan pandangan dan pemikiran yang maju, patut menjadi panutan. Meskipun telah memiliki kesibukan
dalam pekerjaan, dan menjadi PNS pula, tak membuat dia lupa untuk selalu jujur, lugas dan tegas dalam bekerja, berfungsi sosial bagi masyarakat, sabar dan hal-hal lain sesuai dengan ajaran Samin. Aja srei, drengki, dahwen, kemeren, pek pinek barange liyan. Aja ngino sapada-pada urip. Aja adigang-adigung, sapa siro sapa ingsun. Wenehono pitulungan sapa kang butuh pitulunganmu. Aja pamrih imbalan, iku sadulure dewe. Yang artinya, “Jangan sirik, dengki, sok, dan iri, apalagi mengambil barang milik orang lain. Jangan menghina sesama makhluk hidup. Jangan semenamena, dengan siapa kamu siapa aku. Berilah pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkan pertolonganmu. Jangan pamrih imbalan, karena semua bersaudara.” Saeran Saeran, biasa dipanggil Sa, Sae, atau Menyun. Salah seorang pemuda Dusun Jepang yang ramah, mudah bergaul dengan siapa saja, serta mempunyai fungsi sosial yang tinggi di dusun ini. Dengan pekerjaannya sebagai petani dan tukang cukur yang bertarif Rp 2000,- per-kepala, tiap pagi dengan rela meninggalkan pekerjaannya, hanya untuk mengantar Bude Rumini ke pasar membeli kepeluan toko, mengantar Mbah Hardjo ke klinik, dan sebagainya. Apabila diurut dari kakek neneknya, Saeran sebenarnya masih merupakan “keturunan” Samin. Namun beliau bercerita bahwa kini tak mengerti lagi akan “aliran” tersebut. Meskipun tak mengerti lagi tentang ajaran Samin, tetapi masih ada hal-hal yang dapat diambil contoh dari karakter Saeran, yaitu sabar, jujur dan ikhlas. Saeran juga sebenarnya telah berkeluarga dan mempunyai seorang putra. Namun sejak beberapa tahun belakang ini, istri dan anaknya yang bukan asli Jepang, memilih untuk tinggal di rumah orang tunya di Trenggalek. Kini Saeran menghidupi diri dengan memtong rambut, dan bertani bersama keluarga adiknya yang bertempat tinggal di ledok atau sebuah lembah yang masih di dusun yang sama. Tak jarang, beliau tinggal di pendopo desa, tempatnya menjual jasa dan berkumpul dengan teman-teman. Atau di rumah Lek Lam tempat para pemuda Jepang bermain bilyar untuk mengisi waktu luang. Yeyen Yulianto Pemuda 22 tahun yang biasa dipanggil Juli ini adalah seorang lulusan SMK, hobi bermain musik, dan nongkrong bersama pemuda dusun Jepang lainnya termasuk Saeran. Sementara ini masih menganggur dan suatu saat ingin melanjutkan kerja di Jakarta bila ada kabar lowongan kerja dari temannya. Aktivitasnya kini lebih banyak di rumah bila pagi, menunggui adik kecilnya, nongkrong mengisi siang dan sorenya, sedangkan malamnya mengajar di AKF (Paket A Keaksaraan Fungsional) dan lanjut nongkrong lagi setelahnya hingga tengah malam biasanya dia akan pulang ke rumah. Dia adalah seorang kakak dari adiknya yang masih balita, dan hanya dua bersaudara.
Ayahnya, Jiman, adalah seorang Ketua RT, yang mungkin telah menjabat lebih dari 10 tahun. Ayah dan ibunya, selain petani juga pembuat arang, yang nantinya akan dijual lagi. Pagi-pagi kedua orang tuanya pergi ke hutan untuk membuat arang, dan Juli lah yang menemani adiknya bermain dengan tetangga sebelah, yang masih saudaranya pula, hingga ayah ibunya pulang ke rumah sekitar pukul 10 pagi. Tak jarang dikala siang, dia bertelepon atau sekedar berkirim-kirim pesan pendek dengan pacarnya, seorang siswi salah satu sekolah di Kecamatan Ngraho. Begitu pula sore dan malam harinya. Pada masanya, Juli sebenarnya termasuk segelintir pemuda Jepang yang melanjutkan hingga taraf menengah atas. Peningkatan semangat masyarakat untuk meningkatkan taraf pendidikan dan ekonomi dengan cara yang sama seperti sudahsudah tidaklah cukup. Pemuda di Jepang ini membutuhkan keterampilan lain selain bertani, menggembala sapi, dan mencari rencek/ranting kayu untuk kayu bakar. Dia sangat berharap pada pemerintah, supaya pemerintah juga peduli terhadap pendidikan masyarakat Jepang, entah itu pendidikan formal maupun non-formal, beserta penunjangnya. Sehingga dengan ini nantinya akan meningkatkan perekonomian masyarakat sendiri. Hartinah Wanita pendatang dari Gunung Kidul, Yogyakarta ini biasa dipanggil Bu Guru atau Mbak Har, oleh warga Jepang karena semangatnya dalam mengajar di RA (setingkat TK), ngaji, dan juga AKF seperti Juli dan Jiman. Mempunyai seorang putera bernama Wahyu, dari suaminya sekarang, Purwanto, seorang pria Jepang. Sedangkan dari suami sebelumnya beliau mempunyai 2 (dua) orang putra, bernama Nanang dan Aan, keduanya bersekolah di Gunung Kidul. Menjadi guru mungkin adalah cita-citanya sejak dahulu. Ketika masih remaja bermain bersamateman beliau dan berpura-pura menjadi guru. Kehidupan beliau selanjutnya memang tak jauh dari profesi guru. Pada usia SMA beliau memasuki PGA (Pendidikan Guru Agama Islam) dan memang sangat berharap menjadi seorang pendidik nantinya. Dan bersama senior dan kawan lainnya dibayarkanlah sejumlah uang kepada sang Kepala Sekolah, yang menjanjikan profesi guru pada suatu sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Habis uang di tangan, guru hanya menjadi angan. Beliau ditipu sang kepala sekolah. Meskipun tak menjadi guru, kehidupan terus berjalan, mulai dari mengajar les priat dan bertemu suami pertamanya, hingga bekerja di Malaysia dan bertemu labuhan hatinya kini. Meskipun tak seperti di kota, profsinya menjadi guru di tengah hutan seperti di Jepang ini memang sangat berarti bagi masyarakat. Walaupun itu hanya mengajarkan membaca, menulis, berhitung, mengaji, dan budi pekerti pada generasi penerus Jepang usia taman kanak-kanak. Dan mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung untuk orang-orang tua Jepang usia 30 tahun ke atas. Ide Cerita (What to say) Masyarakat Samin Dusun Jepang tidak lagi identik dengan tampilan yang hitamhitam, bukan masyarakat yang kolot dan terbelakang, namun telah berakulturasi degan modernitas, dan kini nyaris sudah seperti masyarakat desa pada umumnya.
Kebudayaan Samin dan produknya, berupa ajaran Samin, dan pengaruhnya dalam masyarakat merupakan kebudayaan dan ajaran bersifat filosofis dan menyatu dengan masyarakat, ajaran tersebut akan lebih tampak apabila adanya kedekatan dengan mereka dan mengetahui bagaimana mereka menghadapi permasalahan yang ada. Tidak seperti kebudayaan lainnya di Jawa Timur yang langsung tampak oleh produk kesenian maupun pakaiannya. Seiring dengan semangat mencari pendidikan dan perekonomian yang layak, masyarakat dusun Jepang mempunyai keterbatasan yang menjadi hambatan besar, lokasi dusun yang berada di tengah hutan, begitu jauh dari pusat pendidikan dan administratif kecamatan, dan fasilitas yang ada belum bisa memenuhi kebutuhan pendidikan dan ekonomi masyarakat. Hal ini begitu kontras dengan seringnya pejabat, tokoh masyarakat dan peneliti yang berkunjung ke dusun Jepang. Artinya, hal ini sebagai faktor pendorong dalam menyulut reaksi penentu kebijakan dan masyarakat untuk peduli akan keadaan masyarakat dusun Jepang ini. Film Statment Masyarakat Samin Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, mulai terbuka terhadap prubahan dan moderenitas, dan mulai menganggap penting arti pendidikan. Di tengah semangat yang besar untuk mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak, masyarakat Jepang terbatasi oleh kurangnya sarana penunjang pendidikan, kurangnya pelatihan kerja dan keterampilan selain pertanian, serta infrastruktur dan keadaan dusun yang menuntut perhatian pemerintah. Treatment Visual Treatment visual adalah ilustrasi awal untuk membentuk sebuah cerita dan sudah memikirkan target visual. Judul : Wong Samin di Persimpangan Jaman Tema : Fenomena Sosial dan Budaya Tujuan/Pesan : Masyarakat Samin yang mulai terbuka terhadap perubahan dan mulai menganggap penting arti pendidikan. Cerita : Kegigihan sebagian masyarakat Dusun Jepang dalam memberikan pendidikan dan menjaga solidaritas sosial masyarakat Samin di Dusun Jepang Bentuk : Multikarakter (wawancara anggota masyarakat) Potensi Konflik : ketika upaya memberikan pendidikan terbentur dengan persolan ekonomi dan keinginan menjaga solidaritas sosial harus berhadapan dengan kesibukan dan masalah ekonomi Elemen : Footage video aktifitas warga masyarakat Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro Foto dokumentasi, foto sesepuh wong Samin Durasi : 54 menit (dengan opening dan kredit title) DV Pal 720x576 pixel Alur : Wong Samin di Persimpangan Jaman "Kalo semuanya sudah dinilai dengan uang tidak jadi seperti ini, jadi orang kota semuanya, bisa dibeli dengan uang. Kalo orang sini nggak bisa dibeli dengan uang…" (Bambang Sutrisno)
Fajar masih belum muncul benar dan Dusun Jepang masih diliputi keheningan. Lamat-lamat kamera bergerak menangkap setiap detail kehidupan dusun kecil di Bojonegoro ini. Saat matahari fajar menyingsing itu artinya dimulailah denyut kehidupan di Dusun Jepang; beberapa pria beranjak ke sawah, anak-anak kecil yang berangkat ke sekolah, ibu-ibu yang menyapu pekarangan rumah. Di tengah kesibukan warga dusun di permulaan hari, Saeran masih diliputi rasa kantuk yang luar biasa. Pemuda tanggung ini semalaman begadang bersama pemuda desa lainnya bermain bilyard di balai desa. Sehari-hari Saeran memang biasa menghabiskan waktu di pendopo; bermain gitar, bilyard, kartu, atau sekedar ngopi. Sebagai seorang pria dewasa, Saeran memiliki mata pencaharian sebagai petani dan tukang cukur sebagai sampingannya. Setiap warga desa datang untuk meminta Saeran memangkas rambut mereka. Para tetua desa hingga barisan anak sekolah setia menjadi pelanggan tetap Saeran. Saat matahari sudah agak tinggi, Saeran biasa menyiapkan peralatan mencukur rambut yang sederhana. Kamera mengambil gambar detail pada peralatan potong rambut Saeran. Ia membongkar dan meminyaki alatnya. ”Ongkosnya dua ribu rupiah saja, itu juga kalau anak kecil tambah saya belikan es. Mereka senang, akhirnya mereka kembali lagi sama kawannya. Pelanggan saya bertambah tho,” kata Saeran tersenyum. Prinsip bisnis yang dijalankan Saeran memang sulit diterima nalar bisnis modern. Tapi memang begitulah cara hidup kebanyakan warga Dusun Jepang. Saling tolong menolong dan hidup guyub satu sama lain. ”Kita ini relawan lah. Suka menolong. Kalau ada warga desa yang minta bantuan yang kita tolong. Seneng rasanya bisa membantu orang lain,” kata Saeran. Hal itu juga yang disampaikan oleh Bambang Sutrisno, anak terakhir dari Mbah Hardjo Kardi, sesepuh Samin dan generasi ke-4 dari Ki Samin Surosentiko. Ia mengatakan bahwa kehidupan masyarakat Dusun Jepang masih menganut peri kehidupan tradisonal masyarakat Samin yang perlahan sudah mulai hilang. Sebagai seorang penerus generasi masyarakat Samin, pria yang akrab dipanggil Mas Tris ini menceritakan masih banyaknya pemahaman salah yang beredar di masyarakat. Sebagian Besar masyarakat menilai Samin adalah contoh masyarakat terbelakang yang menolak peradaban dan kemajuan zaman. Seperti setereotip yang dikembangakan oleh Belanda ketika menjajah Indonesia. ”Sayangnya mereka memiliki pandangan yang salah. Banyak mahasiswa menulis skripsi tentang Samin, tapi cuma baca dari internet, ndak pernah datang kemari,” kata Mas Tris. Menurut Mas Tris, pemahaman bahwa ajaran Samin menolak kemajuan tentu saja salah besar. ”Ajaran yang ada dulu sudah tidak relevan kalau diterapkan sekarang. Sudah banyak masyarakat Samin yang mengenyam pendidikan. Setidaknya sampai SMP. Bahkan yang sampai mahasiswa juga ada,” lanjut Mas Tris. Pentingnya pendidikan bagi masyarakat Samin ini menggerakkan Hartinah, seorang pendatang di Dusun Jepang untuk menggelar sekolah dini bagi anak-anak di sekitar dusun. Hartinah menetap di Dusun Jepang lantaran mengikuti suaminya. Karena memiliki pengalaman mengajar, akhirnya Hartinah terpikir untuk membentuk PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) yang mengajarkan baca tulis dan mengaji. ”Saya tanya dulu kepada ibu-ibu desa, apakah mereka berkenan jika saya membuka lembaga pendidikan sederhana, ini kan untuk anak mereka juga. Alhamdulillah mereka setuju,” kata Hartinah mengenang masa lalu. Wanita berjilbab ini juga mengajarkan moral dan tata krama kepada muridmuridnya yang belum genap lima tahun itu. ”Pendidikan moral itu penting mas. Saya lihat anak muda sekarang nggak begitu ngerti unggah ungguh dan sopan santun, makanya saya berikan itu di usia dini.” kata Hartinah. Menurut dia banyak warga dan sesepuh dusun yang mendukung usahanya. ”Mereka bilang; lha memang sekarang
nilai moral dan tata krama sudah tidak lagi diperhatikan sama generasi muda, jadi yo bagus kalau kamu mengajar nilai kesopanan buat anakku,” kenang Hartinah. Selain para balita, Hartinah juga mengajar Kejar Paket A untuk para orang tua yang ingin bisa membaca. Dengan telaten Hartinah mengajari para sesepuh ini setiap malam. ”Tapi ya ini murni ibadah mas. Saya mengajar siang malam ini banyak ikhlasnya. Saya ndak mikir kesejahteraan dan gaji, pokoknya saya punya kemampuan dan ilmu, itu yang saya berikan. Kalo di Al Quran ada ayat yang berbicara; ajarkanlah walau satu ayat, ya ini yang saya lakukan. Kesejahteraan itu urusan nanti, lha ndak jarang satu bulan sampai tiga bulan saya ndak dapat uang sepeser pun. Tapi hati saya senang.” kata Hartinah. ”Kalo saya ndak dapat apa-apa hari ini ya ndak masalah. Mungkin Gusti Allah mengganti rezekinya di anak cucu saya…” Selain Hartinah, ada satu lagi tutor yang mengajar di Kejar Paket A, Yeyen Yulianto namanya. Pemuda desa alumni STM ini juga memberikan sumbangsih kepada desanya berupa ilmu. ”Saya senang ngajar. Meski saya cuman punya ilmu sedikit tapi saya bisa menolong orang lain” kata Juli, panggilan akrabnya. Seperti halnya para pemuda desa lainnya, Juli seringkali menghabiskan waktu di pendopo, bermain gitar dan bersenang-senang. Tapi di luar kebiasaan tersebut Juli membuktikan bahwa dirinya juga bisa memberikan sesuatu bagi dusunnya. ”Jadinya lucu saja mengajar orang-orang tua ini membaca. Masak saya tulis ’Sampo’ tapi dibaca ’Kebo’ hahaha. Kalo orang sudah seneng rasanya nggak ada capeknya,” ujar Juli. Hari semakin larut, Hartinah dan Juli masih saja telaten mengajari para sesepuh untu belajar menulis dan berhitung. Bulan menunjukkan cahayanya yang lembut dan bentuk yang bulat sempurna. Di tempat lain Saeran asyik berjoget mengiringi biduanita yang membawakan dangdut pantura. Dusun Jepang pun melanjutkan denyut kehidupan dalam balutan falsafah masyarakat Jawa; guyub rukun agawe sentosa. Sebuah kredo lawas yang semakin hilang ditelan zaman. Kesimpulan Dalam perancangan film dokumenter “Tribute to East Java Heritage Seri Kebudayaan Samin” ini bahasan utamanya adalah bahwa masyarakat Samin Dusun Jepang, Margomulyo, Bojonegoro, mulai terbuka terhadap prubahan dan moderenitas, dan mulai menganggap penting arti pendidikan. Di tengah semangat yang besar untuk mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak, masyarakat Jepang terbatasi oleh kurangnya sarana penunjang pendidikan, kurangnya pelatihan kerja dan keterampilan selain pertanian, serta infrastruktur dan keadaan dusun yang menuntut perhatian pemerintah. Sehingga diperlukan sebuah kajian untuk membuat film dokumenter ini menjadi alat yang efektif sebagai faktor pendorong pada target audiens, yaitu pemerintah dan masyarakat luas, untuk memberikan perhatian pada masyarakat Dusun Jepang. Di sisi lain, manfaatnya adalah agar terjadi sebuah rangsangan terhadap para generasi muda untuk tetap melestarikan kebudayaan tradisional yang mulai tergeser oleh kebudayaan barat, paling tidak, ada bentuk apresiasi lebih tinggi terhadap kebudayaan bangsa sendiri. Dengan terbetuknya perancangan film dokumenter “Tribute to East Java Heritage Seri Kebudayaan Samin” ini, dapat berguna untuk keperluan akademis sebagai literatur pembelajaran film dokumenter secara teoritis dan keperluan pengenalan kebudayaan tradisional secara aplikatif. Saran Dalam melakukan perancangan, hendaknya banyak melakukan kajian dan observasi tentang bidang desain yang akan dikerjakan. Dengan melakukan kajian-kajian dan observasi secara mendalam dan mendetil, akan didapatkan hal-hal unik dan khas dari
bidang desain yang dirancang. Hal-hal unik dan khas tersebut akan banyak membantu dalam proses perancangan film dokumenter.
DAFTAR RUJUKAN Aribowo. 2006. Peta Kesenian Jawa Timur 1. Surabaya: Dinas P & K Propinsi Jawa Timur. Dwiyanto, Pieter. 2006. Perancangan Fotografi Dokumenter Kehidupan Masyarakat Samin. Surabaya: UK Petra. Fauzan, Uzair. 2005. Politik Presentasi dan Wacana Multikulturalisme, Hak Minoritas. Harbeno, Yudo dan Fajar. Feature & Documentary Production. Hayward, Susan. 1996. Key Concept in Cinema Studies. Hurlock, Elizabeth B.. 1980. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Koentjaraningrat. 1985. Adat,Kebudayaan dan Mentalitet Budaya. Jakarta: Aksara Baru. Kupas Tuntas episode Samin. Trans7. 8 Mei 2008. Morissan, M.A. 2008. Jurnalistik Televisi Mutakhir. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Mulder, Niels. 2007. Di Jawa, Petualangan Seorang Antropolog. Yogyakarta: KANISIUS (Anggota KAPI). Mumfaningsih, Siti. 2005. Kearifan lokal di lingkungan Masyarakat Samin kabupaten Blora Jawa Tengah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Jakarta: Gramedia. Rakhmat, Jalaludin. 2002. Psikologi Komunikasi Edisi Revisi. PT. Remaja Rosdakarya. 1996. Riwayat Perjuangan Ki Samin Surosentiko. Kecamatan Margomulyo Pemkab Dati II Bojonegoro. Romadhona, Mahima. 2009. Perancangan Video Profil Institut Teknologi Sepuluh Nopemmmber Surabaya. Surabaya: ITS Surabaya. Soemanegara, Dermawan dan John E Kennedy. 2005. Marketing Communication: Taktik Dan Strategi. Jakarta: Gramedia. Subkhi, Muhammad Imam. Meluruskan Pandangan tentang Wong Samin Sudikan, Setya Yuwana. 2008. “Kearifan Lokal Masyarakat Samin,” Pemetaan Kebudayaan Jawa Timur - Sebuah Upaya Pencarian Nilai-Nilai Positif Jember: Biro Mental Spiritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Dewan Kesenian Jawa Timur. Sumarwan, Ujang. 2002. Perilaku Konsumen: Teori dan Penerapannya dalam Pemasaran. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sutarto, Ayu. 2006. Bende Media Informasi Seni dan Budaya. Surabaya: Pemerintah Provinsi Jawa Timur Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Taman Budaya. Sutarto, Ayu. 2004. Studi Pemeetaan kebudayaan Jawa Timur. Jember: Program Studi Antropologi, FISIP, Universitas Jember.
Sutarto, Ayu. dan Setya Yuwana Sudikin. 2008. Pemetaan Kebudayaan Jawa Timur Sebuah Upaya Pencarian Nilai-Nilai Positif Jember: Biro Mental Spiritual Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Syam, Nur. Perspektif Perubahan Budaya; Saminisme di Tengah Perubahan Tanzil, Chandra. 21 Agustus 2009. Film Dokumenter, Sebuah Alat. Tanzil, Chandra. 16 Oktober 2009. Re-enactment, Reconstruction & Docudrama. Widyawati, Sri Rahayu. 2001. Prototipe Kepemimpinan Masyarakat Jawa dalam Karya Sastra Jawa Pesisiran. Yogyakarta: Makalah Kongres Bahasa Jawa III.