Strategi Media
Proses Film Dokumenter
Pre-Produksi Life History Development Lab. Ide Cerita
Film Statment
Production Lab Treatment Visual Shot Schedule
Story Line Interview List
Schedule
Shot List Target Statment
Budgeting
Produksi Transcript
Logging
Post-Produksi
Editing Script
Post Script Mixing
Subtitling
Film Dokumenter “ Tribute to East Java Heritage “ seri kebudayaan Samin
Life History, adalah hasil dari riset lapangan menghasilkan subjek film dan dari sini subjek diceritakan kembali sebagai proses penggalian ide dan perkenalan subjek film dokumenter
Bambang Sutrisno (Mas Tris) Bambang Sutrisno, atau biasa dipanggil Mas Tris, anak terakhir Mbah Hardjo Kardi, dari 7 (tujuh) bersaudara. Bekerja sebagai PNS di Kantor Kecamatan Margomulyo dan mengambil kuliah sore di Universitas Soeryo Ngawi di sore hari setelah sepulang bekerja. Mempunyai seorang istri, Noveri Ekowati, dan seorang putri bernama Ayunda Eka Trisnawati.
Walaupun telah mengenyam pendidikan tinggi dan bekerja di pemerintahan, tak lantas membuat Mas Tris tercabut dari akar budaya Samin lehuhurnya, atau jauh dari kebersamaan dengan warga dan pemuda Jepang. Beliau masih seperti ayahnya, bertani, srawung/berkumpul bersama sedulur-sedulur lainya, yaitu, keluarga dan maryarakat, membantu memperbaiki mesin-mesin pertanian, hingga merawat motor keponakannya, bila mengalami kerusakan. Seperti itulah Mas Tris, seorang yang mempunyai banyak keahlian, seperti Mbah Hardjo, ayahnya.
Meskipun Mas Tris belum berani menceritakan kisah sejarah pendahulunya, namun semangat beliau untuk mempertahankan eksistensi ajaran Samin dengan pandangan dan pemikiran yang maju, patut menjadi panutan. Meskipun telah memiliki kesibukan dalam pekerjaan, dan menjadi PNS pula, tak membuat dia lupa untuk selalu jujur, lugas dan tegas dalam bekerja, berfungsi sosial bagi masyarakat, sabar dan hal-hal lain sesuai dengan ajaran Samin. Aja srei, drengki, dahwen, kemeren, pek pinek barange liyan. Aja ngino sapada-pada urip. Aja adigang-adigung, sapa siro sapa ingsun. Wenehono pitulungan sapa kang butuh pitulunganmu. Aja pamrih imbalan, iku sadulure dewe. Yang artinya, “Jangan sirik, dengki, sok, dan iri, apalagi mengambil barang milik orang lain. Jangan menghina sesama makhluk hidup. Jangan semena-mena, dengan siapa kamu siapa aku. Berilah pertolongan kepada siapa saja yang membutuhkan pertolonganmu. Jangan pamrih imbalan, karena semua bersaudara.”
Saeran Saeran, biasa dipanggil Sa, Sae, atau Menyun. Salah seorang pemuda Dusun Jepang yang ramah, mudah bergaul dengan siapa saja, serta mempunyai fungsi sosial yang tinggi di dusun ini. Dengan pekerjaannya sebagai petani dan tukang cukur yang bertarif Rp 2000,- perkepala, tiap pagi dengan rela meninggalkan pekerjaannya, hanya untuk mengantar Bude Rumini ke pasar membeli kepeluan toko, mengantar Mbah Hardjo ke klinik, dan sebagainya.
Apabila diurut dari kakek neneknya, Saeran sebenarnya masih merupakan “keturunan” Samin. Namun beliau bercerita bahwa kini tak mengerti lagi akan “aliran” tersebut. Meskipun tak mengerti lagi tentang ajaran Samin, tetapi masih ada hal-hal yang dapat diambil contoh dari karakter Saeran, yaitu sabar, jujur dan ikhlas. Saeran juga sebenarnya telah berkeluarga dan mempunyai seorang putra. Namun sejak beberapa tahun belakang ini, istri dan anaknya yang bukan asli Jepang, memilih untuk tinggal di rumah orang tunya di Trenggalek. Kini Saeran menghidupi diri dengan memtong rambut, dan bertani bersama keluarga adiknya yang bertempat tinggal di ledok atau sebuah lembah yang masih di dusun yang sama. Tak jarang, beliau tinggal di pendopo desa, tempatnya menjual jasa dan berkumpul dengan teman-teman. Atau di rumah Lek Lam tempat para pemuda Jepang bermain bilyar untuk mengisi waktu luang.
Yeyen Yulianto (Juli)
Pemuda 22 tahun yang biasa dipanggil Juli ini adalah seorang lulusan SMK, hobi bermain musik, dan nongkrong bersama pemuda dusun Jepang lainnya termasuk Saeran. Sementara ini masih menganggur dan suatu saat ingin melanjutkan kerja di Jakarta bila ada kabar lowongan kerja dari temannya.
Aktivitasnya kini lebih banyak di rumah bila pagi, menunggui adik kecilnya, nongkrong mengisi siang dan sorenya, sedangkan malamnya mengajar di AKF (Paket A Keaksaraan Fungsional) dan lanjut nongkrong lagi setelahnya hingga tengah malam biasanya dia akan pulang ke rumah. Dia adalah seorang kakak dari adiknya yang masih balita, dan hanya dua bersaudara. Ayahnya, Jiman, adalah seorang Ketua RT, yang mungkin telah menjabat lebih dari 10 tahun. Ayah dan ibunya, selain petani juga pembuat arang, yang nantinya akan dijual lagi. Pagi-pagi kedua orang tuanya pergi ke hutan untuk membuat arang, dan Juli lah yang menemani adiknya bermain dengan tetangga sebelah, yang masih saudaranya pula, hingga ayah ibunya pulang ke rumah sekitar pukul 10 pagi. Tak jarang dikala siang, dia bertelepon atau sekedar berkirim-kirim pesan pendek dengan pacarnya, seorang siswi salah satu sekolah di Kecamatan Ngraho. Begitu pula sore dan malam harinya.
Pada masanya, Juli sebenarnya termasuk segelintir pemuda Jepang yang melanjutkan hingga taraf menengah atas. Peningkatan semangat masyarakat untuk meningkatkan taraf pendidikan dan ekonomi dengan cara yang sama seperti sudahsudah tidaklah cukup. Pemuda di Jepang ini membutuhkan keterampilan lain selain bertani, menggembala sapi, dan mencari rencek/ranting kayu untuk kayu bakar. Dia sangat berharap pada pemerintah, supaya pemerintah juga peduli terhadap pendidikan masyarakat Jepang, entah itu pendidikan formal maupun nonformal, beserta penunjangnya. Sehingga dengan ini nantinya akan meningkatkan perekonomian masyarakat sendiri.
Hartinah (Bu Har) Wanita pendatang dari Gunung Kidul, Yogyakarta ini biasa dipanggil Bu Guru atau Mbak Har, oleh warga Jepang karena semangatnya dalam mengajar di RA (setingkat TK), ngaji, dan juga AKF seperti Juli dan Jiman. Mempunyai seorang putera bernama Wahyu, dari suaminya sekarang, Purwanto, seorang pria Jepang. Sedangkan dari suami sebelumnya beliau mempunyai 2 (dua) orang putra, bernama Nanang dan Aan, keduanya bersekolah di Gunung Kidul.
Menjadi guru mungkin adalah cita-citanya sejak dahulu. Ketika masih remaja bermain bersama-teman beliau dan berpura-pura menjadi guru. Kehidupan beliau selanjutnya memang tak jauh dari profesi guru. Pada usia SMA beliau memasuki PGA (Pendidikan Guru Agama Islam) dan memang sangat berharap menjadi seorang pendidik nantinya. Dan bersama senior dan kawan lainnya dibayarkanlah sejumlah uang kepada sang Kepala Sekolah, yang menjanjikan profesi guru pada suatu sekolah atau lembaga pendidikan lainnya. Habis uang di tangan, guru hanya menjadi angan. Beliau ditipu sang kepala sekolah. Meskipun tak menjadi guru, kehidupan terus berjalan, mulai dari mengajar les priat dan bertemu suami pertamanya, hingga bekerja di Malaysia dan bertemu labuhan hatinya kini. Meskipun tak seperti di kota, profsinya menjadi guru di tengah hutan seperti di Jepang ini memang sangat berarti bagi masyarakat. Walaupun itu hanya mengajarkan membaca, menulis, berhitung, mengaji, dan budi pekerti pada generasi penerus Jepang usia taman kanak-kanak. Dan mengajarkan membaca, menulis, dan berhitung untuk orang-orang tua Jepang usia 30 tahun ke atas.
Development Lab, adalah proses pembentukan ide cerita dan film statment sebagai pedoman awal proses perancangan kebutuhan produksi film dokumenter.
Ide Cerita (What to say) Masyarakat Samin Dusun Jepang tidak lagi identik dengan tampilan yang hitam-hitam, bukan masyarakat yang kolot dan terbelakang, namun telah berakulturasi degan modernitas, dan kini nyaris sudah seperti masyarakat desa pada umumnya. Kebudayaan Samin dan produknya, berupa ajaran Samin, dan pengaruhnya dalam masyarakat merupakan kebudayaan dan ajaran bersifat filosofis dan menyatu dengan masyarakat, ajaran tersebut akan lebih tampak apabila adanya kedekatan dengan mereka dan mengetahui bagaimana mereka menghadapi permasalahan yang ada. Tidak seperti kebudayaan lainnya di Jawa Timur yang langsung tampak oleh produk kesenian maupun pakaiannya.
Seiring dengan semangat mencari pendidikan dan perekonomian yang layak, masyarakat dusun Jepang mempunyai keterbatasan yang menjadi hambatan besar, lokasi dusun yang berada di tengah hutan, begitu jauh dari pusat pendidikan dan administratif kecamatan, dan fasilitas yang ada belum bisa memenuhi kebutuhan pendidikan dan ekonomi masyarakat. Hal ini begitu kontras dengan seringnya pejabat, tokoh masyarakat dan peneliti yang berkunjung ke dusun Jepang. Artinya, hal ini sebagai push factor dalam menyulut reaksi penentu kebijakan dan masyarakat untuk peduli akan keadaan masyarakat dusun Jepang ini.
Film Statment Masyarakat Samin Dusun Jepang mulai terbuka terhadap perubahan dan modernitas, dan mulai menganggap pentingnya arti pendidikan. Di tengah semangat yang besar untuk saling memberi dan mendapatkan pendidikan dan penghidupan yang layak, masyarakat Jepang terbatasi oleh kurangnya sarana penunjang pendidikan, kurangnya pelatihan kerja dan keterampilan selain pertanian, serta infrastruktur dan keadaan dusun yang menuntut perhatian pemerintah.
Production Lab, adalah proses perancangan bekal dan strategi dalam pencapaian tujuan film dokumenter pada saat proses produksi.
Film ini bercerita tentang kegigihan sebagian masyarakat Dusun Jepang dalam memberikan pendidikan dan menjaga solidaritas sosial dan kebudayaan masyarakat Samin di Dusun Jepang. Melalui tokoh Bambang Sutrisno (Mas Tris) cerita ini dibangun. Mas Tris bertutur mengenai apa itu Samin, pesan dan ajaran Samin, serta mengapa harus menyebut “Wong Samin” sedangkan masing-masing orang mempunyai nama dan panggilan sendiri-sendiri. Melalui Mas Tris pula dapat dicerna bagaimana kegigihan masyarakat Samin dan masyarakat Jepang (dusun dimana komunitas Samin berada dan memberikan pengaruh) dalam menghadapi persoalan hidupnya, memberikan pendidikan untuk masyarakat lainnya, dan menjaga kegotong-royongan yang menjadi ciri utama masyarakat Samin.
Bersama Kegigihan masyarakat Jepang dalam memberikan pendidikan dan menuntut adanya perbaikan kualitas pendidikan dan keterampilan masyarakat seperti yang dituturkan oleh Mas Tris, ditunjukkan oleh semangat Juli dan Bu Har. Juli, pemuda lulusan STM ini memberikan sumbangsihnya pada dusun melalui ilmu, menjadi tutor Paket A untuk para sesepuh dusun. Begitu pula Bu Har, ibu dari tiga orang anak tiga tokoh lain cerita ini diperkuat dan dikembangkan, yaitu Saeran, Yeyen Yulianto (Juli), dan Hartinah (Bu Har). Saeran, seorang petani dan tukang cukur dengan prinsip bisnis yang sulit diterima oleh nalar bisnis modern. Dengan kejujuran dan kerendahan hatinya dalam menjalankan usahanya itu, dia menunjukkan bagaimana caranya menghadapi persoalan hidupnya. ini, selain menjadi tutor Paket A juga mengajar pada Pendidikan Anak Usia Dini. Mengajarkan para penerus Dusun Jepang mengenal huruf, bernyanyi, dan mengaji. Tidak lupa tata krama dan Bahasa Jawa yang kini mulain dilupakan.
Skenario Opening Film •Apa itu Samin •Bagaimana orang Samin itu •Pergaulan masyarakat Samin dengan masyarakat lainnya •Masalah pendidikan masyarakat Jepang •Masalah infrastruktur dan keadaan dusun •Pengaruh ajaran samin pada masyarakat dan pemuda •Pemuda juga membutuhkan perhatian dan keterampilan selain bertani •Masalah ekonomi masyarakat •Pesan Ki Samin Surosentiko •Tembang (mengenai kebersamaan, kegotong-royongan, perkawinan dan penerus) •Inti ajaran Samin •Menganut ajaran Samin •Aktifitas malam hari •Closing
Treatment visual: ilustrasi awal untuk membentuk sebuah cerita dan sudah memikirkan target visual. Judul
: Samin di Persimpangan Jaman
Tema
: Fenomena Sosial dan Budaya
Tujuan/Pesan : Masyarakat Samin yang mulai terbuka terhadap perubahan dan mulai menganggap penting arti pendidikan. Cerita : Kegigihan sebagian masyarakat Dusun Jepang dalam memberikan pendidikan dan menjaga solidaritas sosial masyarakat Samin di Dusun Jepang
Bentuk masyarakat)
: Multikarakter (wawancara anggota
Potensi Konflik : ketika upaya memberikan pendidikan terbentur dengan persolan ekonomi dan keinginan menjaga solidaritas sosial harus berhadapan dengan kesibukan dan masalah ekonomi Elemen : Footage video aktifitas warga masyarakat Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro Foto dokumentasi, foto sesepuh wong Samin Durasi : 54 menit (dengan opening dan kredit title) DV Pal 720x576 pixel
Alur
: Samin di Persimpangan Jaman "Kalo semuanya sudah dinilai dengan uang tidak jadi seperti ini, jadi orang kota semuanya, bisa dibeli dengan uang. Kalo orang sini nggak bisa dibeli dengan uang…" (Bambang Sutrisno)
Fajar masih belum muncul benar dan Dusun Jepang masih diliputi keheningan. Lamat-lamat kamera bergerak menangkap setiap detail kehidupan dusun kecil di Bojonegoro ini. Saat matahari fajar menyingsing itu artinya dimulailah denyut kehidupan di Dusun Jepang; beberapa pria beranjak ke sawah, anak-anak kecil yang berangkat ke sekolah, ibu-ibu yang menyapu pekarangan rumah.
Di tengah kesibukan warga dusun di permulaan hari, Saeran masih diliputi rasa kantuk yang luar biasa. Pemuda tanggung ini semalaman begadang bersama pemuda desa lainnya bermain bilyard di balai desa. Sehari-hari Saeran memang biasa menghabiskan waktu di pendopo; bermain gitar, bilyard, kartu, atau sekedar ngopi. Sebagai seorang pria dewasa, Saeran memiliki mata pencaharian sebagai petani dan tukang cukur sebagai sampingannya. Setiap warga desa datang untuk meminta Saeran memangkas rambut mereka. Para tetua desa hingga barisan anak sekolah setia menjadi pelanggan tetap Saeran. Saat matahari sudah agak tinggi, Saeran biasa menyiapkan peralatan mencukur rambut yang sederhana. Kamera mengambil gambar detail pada peralatan potong rambut Saeran. Ia membongkar dan meminyaki alatnya.