FIKSASI KAYU AGATHIS DAN GMELINA TERPADATKAN PADA ARAH RADIAL SERTA OBSERVASI STRUKTUR ANATOMINYA
ATMAWI DARWIS
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan pada Arah Radial serta Observasi Struktur Anatominya belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, September 2008 Atmawi Darwis NIM E051060071
ABSTRACT ATMAWI DARWIS. Fixation of Agathis and Gmelina Densified Woods at Radial Direction and Observation of their Anatomical Structure. Under direction of IMAM WAHYUDI and WAHYU DWIANTO. Compression of wood is a method to improve wood quality. However, its product namely densified wood, tends to return to the initial shape and size (springback) if the fixation had no completed. This compression process will also result in the changes on wood anatomy structure. The aim of this research was to observe the effect of various compression degrees at radial direction on specific gravity (SG), recovery of set (RS), and anatomical structure of wood of Agathis and Gmelina. The result showed that SG of densified wood increased as the compression degree was increased: the more degree of compression, the higher the SG of densified wood. Heating up to 180oC did not affect the SG, but resulted in the decreasing of RS and the increasing of wood stabilization. Cell woods namely fiber and ray parenchyma on the surface became more collapse and buckle compared to theirs at the center. Collapse and buckle produced a S-shape in wood structure. The fixation after heating up to 180oC for 20 hours either on Agathis or Gmelina densified woods was not completed. Keywords : Agathis, Gmelina, densified wood, specific gravity, recovery of set, wood anatomical structure
RINGKASAN ATMAWI DARWIS. Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan pada Arah Radial serta Observasi Struktur Anatominya. Dibimbing oleh IMAM WAHYUDI dan WAHYU DWIANTO Terbatasnya kayu berkualitas dipasaran mengakibatkan peluang penggunaan kayu hutan rakyat ataupun kayu kelompok jenis cepat tumbuh, akhirakhir ini meningkat. Kayu-kayu tersebut pada umumnya berkerapatan rendah, kekuatan dan keawetannya rendah sehingga pemanfaatannya terbatas. Agar pemanfaatan kayu-kayu tersebut optimal sehingga mampu menggantikan peranan jenis kayu yang selama ini digunakan, perlu dilakukan modifikasi sifat-sifat dari kayu tersebut. Modifikasi kayu baik secara fisik, mekanis maupun kimia ataupun kombinasi dari cara-cara tersebut merupakan metode yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sifat-sifat kayu. Salah satunya adalah memadatkan kayu. Pemadatan dapat dilakukan secara impregnasi, kompresi, dan kompregnasi (Kollman et al., 1975). Beberapa produk pemadatan kayu yang telah ada antara lain lignostone, staypack, compreg, impreg, lignofol, kunstharzschichtholz, dan Australian improved wood (Blomberg, 2006). Selama ini, kayu terpadatkan cenderung pulih kembali mendekati ketebalan semula akibat pengaruh suhu dan kadar air/kelembaban udara (springback). Hal ini menandakan bahwa proses fiksasi belum permanen. Salah satu usaha untuk meningkatkan stabilasi dimensi kayu terpadatkan adalah dengan perlakuan pemanasan. Menurut Inoue dan Norimoto (1991) dalam Dwianto (1999) yang menggunakan kayu Sugi sebagai bahan penelitian, waktu yang diperlukan untuk mencapai fiksasi sempurna adalah 20 jam pada suhu 180oC, 5 jam pada suhu 200oC dan 3 jam pada suhu 220oC. Pemadatan akan berpengaruh terhadap sel-sel penyusun kayu. Sel-sel kayu yang dipadatkan akan menjadi pipih dan gepeng (collapse), baik berupa elastic buckling, plastic yielding, atau brittle crushing (Wolcott, 1989 dalam Kultikova, 1999). Perubahan struktur anatomi kayu terpadatkan pada jenis softwood dan hardwood diduga akan berbeda karena perbedaan struktur anatomi penyusun kayu: softwood cenderung homogen (sebagian besar didominasi oleh sel trakeid); sedangkan hardwood lebih heterogen dan terdapat sel pembuluh Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan tingkat atau persentase pemadatan kayu arah radial terhadap BJ, recovery of set (RS), dan perubahan struktur anatomi pada kayu Agathis dan Gmelina. Bahan utama adalah kayu Agathis dari Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi dan Gmelina dari Kampus Fakultas Kehutanan UNWIM Jatinangor, Sumedang, dengan berukuran 2 cm (longitudinal) x 2 cm (tangensial) x 4 cm (radial). Sebelum dipadatkan, sampel direndam dalam air sampai jenuh mengunakan desikator vakum. Kayu yang telah jenuh lalu dipadatkan dengan kempa panas pada suhu 100oC dengan target pemadatan (drying set): 12,5%, 25%, dan 37,5%. Setelah mencapai target, kemudian dioven pada suhu (103 ± 2)oC selama 24 jam.
Berat Jenis merupakan perbandingan antara berat dan volumenya dalam kondisi kering tanur (BKT/VKT). Selanjutnya dihitung juga BJ setelah kayu padatan dioven kembali pada suhu 180oC selama 5, 10, 15, dan 20 jam dengan rumus yang sama. Stabilisasi dimensi ditentukan melalui nilai RS-nya. Penentuan RS mengacu pada rumus [(Ti-Ts)/(To-Ts)]x100% (Inoue, 1993), dimana Ti adalah tebal sampel kayu terpadatkan setelah dioven pada suhu 180oC dan direndam selama 24 jam, Ts tebal setelah pemadatan dan pengovenan pada suhu 180oC, dan To adalah tebal kering tanur awal sebelum pemadatan. Sampel kontrol, sampel terpadatkan, dan sampel terpadatkan yang telah dipanaskan 180oC selama 5 jam dan direndam air selama 24 jam kemudian diamati struktur anatominya dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope) JEOL JSM-6360LA. Sampel pengamatan diambil pada bagian permukaan dan bagian tengah dengan cara disayat dengan mikrotom geser. Selanjutnya sampel divakum sampai kering, kemudian dilapisi dengan emas dengan ketebalan 800Å dan siap untuk diamati. Gambar pemotretan kemudian dianalisis dengan Scion Image. Analisis gambar dipergunakan untuk menentukan kebundaran (roundness) rongga sel. Kebundaran ditentukan dengan mengacu pada rumus P2/(4πA) dimana P adalah perimetri/keliling) dan A adalah luas (Russ, 1995 dalam Blomberg et al., 2006). Data kemudian dianalisis secara faktorial dalam rancangan acak lengkap untuk mengetahui pengaruh faktor variasi jenis kayu (A1: Agathis, A2: Gmelina), variasi tingkat pemadatan (B1: 12,5 %, B2: 25 %, B3: 37,5 %), dan variasi lamanya pemanasan (C1: 0 jam, C2: 5 jam, C3: 10 jam, C4: 15 jam, dan C5: 20 jam). Ulangan yang dipakai dalam penelitian ini sebanyak 3 ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemadatan dapat meningkatkan BJ kayu terpadatkan baik pada Agathis maupun Gmelina: semakin tinggi tingkat pemadatan, semakin besar nilai BJ-nya. Pemadatan menyebabkan sel-sel kayu menjadi pipih sehingga porositas kayu menjadi lebih kecil dan kayu menjadi lebih berat pada volume yang sama. Peningkatan berat kayu menyebabkan nilai BJ kayu semakin tinggi. Pemanasan pada suhu 180oC pada berbagai tingkat pemadatan baik pada Agathis maupun Gmelina tidak mempengaruhi nilai BJ, tetapi menurunkan RS dan sekaligus meningkatkan stabilisasi dimensi kayu terpadatkan: semakin lama pemanasan, semakin rendah RS dan semakin stabil dimensinya. RS kayu Gmelina lebih tinggi dibandingkan RS kayu Agathis. RS kayu menurun seiring dengan lamanya pemanasan pada suhu 180oC. Kayu terpadatkan yang direndam kembali dalam air dan dipanaskan pada suhu 180oC hingga 20 jam, baik Agathis maupun Gmelina, ternyata belum mengalami fiksasi yang sempurna. Akibat pemadatan terjadi perubahan struktur anatomi kayu dimana sel-sel penyusun kayu yang berada di bagian permukaan terutama sel trakeid pada Agathis serta sel serabut dan sel pembuluh pada Gmelina akan lebih pipih (collapse): semakin tinggi tingkat pemadatan, maka sel-sel tersebut akan semakin pipih. Jari-jari kayu Agathis melengkung, sedangkan jari-jari kayu Gmelina tertekuk. Bagian corner cell dari sel serabut ataupun sel trakeid yang bersebelahan akan saling bertautan dan membentuk struktur yang menyerupai huruf S.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
FIKSASI KAYU AGATHIS DAN GMELINA TERPADATKAN PADA ARAH RADIAL SERTA OBSERVASI STRUKTUR ANATOMINYA
ATMAWI DARWIS
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. I Ketut Nuridja Pandit, MS
Judul Tesis Nama NRP Program Studi
: Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan pada Arah Radial serta Observasi Struktur Anatominya : Atmawi Darwis : E051060071 : Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Disetujui Komisi Pembimbing,
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. Ketua
Dr. Ir. Wahyu Dwianto, M.Agr. Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S.
Tanggal Ujian : 28 Agustus 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April sampai Juni 2008 ini adalah peningkatan kualitas kayu, dengan judul Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan pada Arah Radial serta Observasi Struktur Anatominya Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada: 1. Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, M.S. sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Wahyu Dwianto, M.Agr. sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberikan masukan serta saran dalam berbagai kesempatan diskusi yang terkait dengan penelitian ini, Dr. Ir. I Ketut Nuridja Pandit, M.S. selaku penguji luar komisi dan Dr. Ir. Dede Hermawan, M.Sc selaku pimpinan sidang ujian yang telah banyak memberi masukan dan saran. 2. Rektor Universitas Winaya Mukti, Dekan Fakultas Kehutanan, dan ketua Jurusan Teknologi Hasil Hutan atas kesempatan untuk melanjutkan Program Studi Pasca Sarjana. 3. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS). 4. Staf di Laboratorium Sifat Dasar Bagian Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB, Laboratorium Peningkatan Sifat Kayu UPT Biomaterial Balitbang LIPI Cibinong dan Laboratorium Geologi Quarter Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Bandung.yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian : Pak Kadiman, Ibu Esti, Pak Wikanda, Pak Wawan serta Pak Yusup Amin. 5. Teman-teman angkatan 2006 di pasca sarjana dan teman-teman seprofesi di Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti yang telah memberi semangat, masukan dan dorongan selama proses belajar. 6. Ayahanda Daspan Muntawiatma (alm) dan Ibunda Sunarti serta keluarga di Bekasi dan Kebumen atas segala doa dan kasih sayangnya. 7. Istriku (Ari Supriyati, Amd) dan kedua putraku (M. Ihsan R. dan A. Nabil M.) tercinta atas kasih, pengorbanan dan dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari kebersamaan kita. Tanpa pengertian dan dukungan keluarga tercinta mustahil studi ini dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu tesis ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, untuk itu penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2008 Atmawi Darwis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 2 Oktober 1975 sebagai anak ke-2 dari pasangan Daspan Muntawiatma dan Sunarti. Penulis menikah dengan Ari Supriyati pada tanggal 9 Februari 2004 dan dari pernikahan ini, penulis telah dikaruniai dua putra yaitu Muhammad Ihsan Ramdhan dan Ahmad Nabil Muharram. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti (UNWIM), lulus pada tahun 1999. Pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) dengan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) yang diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan penulis menyusun tesis dengan judul “Fiksasi Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan pada Arah Radial serta Observasi Struktur Anatominya” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS. sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Dr.Ir.Wahyu Dwianto, M.Agr. sebagai anggota Komisi Pembimbing. Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Kehutanan UNWIM sejak tahun 2002. Mata kuliah yang diajarkan adalah pengantar ilmu kayu, struktur dan sifat kayu serta anatomi kayu. Pada tahun yang sama, penulis menjadi anggota Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI) sampai sekarang.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiiv PENDAHULUAN .......................................................................................... Latar Belakang .................................................................................... Tujuan ................................................................................................. Manfaat ............................................................................................... Hipotesis .............................................................................................. Kerangka Pemikiran ............................................................................
1 1 3 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................. Deskripsi Kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salisb) ...................... Deskripsi Kayu Gmelina (Gmelina arborea ) ..................................... Pemadatan Kayu .................................................................................. Kayu Terpadatkan ................................................................................ Stabilisasi Dimensi .............................................................................. Struktur Mikroskopis Kayu Terpadatkan ............................................
5 5 6 6 8 8 10
METODOLOGI .............................................................................................. Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................. Bahan dan Alat .................................................................................... Metode Penelitian ............................................................................... Diagram Alir Penelitian ......................................................................
12 12 12 12 15
HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................... Korelasi antara Stress dan Strain ........................................................ Berat Jenis ........................................................................................... Tingkat Pemulihan Ketebalan / Recovery of Set (RS) ......................... Anatomi Kayu Agathis Terpadatkan ................................................... Anatomi Kayu Gmelina Terpadatkan .................................................
17 17 17 19 22 26
KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................... Kesimpulan ......................................................................................... Saran ....................................................................................................
30 30 30
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
31
LAMPIRAN ....................................................................................................
33
DAFTAR TABEL Halaman 1. 2.
Analisis Ragam BJ Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan ................ Analisis Ragam Recovery of Set Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan ............................................................................................
xii
19 22
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Diagram Kerangka Pemikiran ................................................................. Bentuk Contoh Uji .................................................................................. Lokasi Contoh Uji Pengamatan SEM ..................................................... Diagram Alir Penelitian .......................................................................... Hubungan Stress-Strain Kayu Agathis dan Gmelina Jenuh Air ............. Hubungan antara Tingkat Pemadatan dan Lamanya Pemanasan pada Suhu 180oC terhadap BJ Kayu Agathis dan Gmelina .................... 7. Hubungan antara Tingkat Pemadatan dan Lamanya Pemanasan pada Suhu 180oC terhadap RS Kayu Agathis dan Gmelina ................... 8. Pengaruh Tingkat Pemadatan terhadap Kebundaran Rongga Sel Trakeid Kayu Agathis Sebelum dan Sesudah Dipadatkan (d), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada Bagian Permukaan (P) dan Tengah (T) ............................................................ 9. Mikrograf SEM Kayu Agathis Sebelum dan Sesudah Dipadatkan serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (ukuran gambar 960 x 970 µm2) .......................................................................................................... 10. Mikrograf SEM: A. Bentuk Dinding Sel Trakeid Kayu Agathis yang Mengalami Penekukan Elastis ( elastic buckling ) akibat Pemadatan 25% dan B. Kontrol (ukuran gambar 190 x 255 µm2) Arah Panah Menunjukkan Arah Pemadatan .................................................... 11. Pengaruh Tingkat Pemadatan terhadap Kebundaran Rongga Sel Serabut Kayu Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan (d), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada Bagian Permukaan (P) dan Tengah (T) ........................................................... 12 Mikrograf SEM Kayu Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (ukuran gambar 960 x 970 µm2) ........................................................................................................ 13 Mikrograf SEM Kayu Awal dan Akhir Gmelina Terpadatkan 12,5% (ukuran gambar 960 x 1280 µm2). Arah Panah Menunjukkan Arah Pemadatan .............................................................................................. 14 Mikrograf SEM Bentuk Dinding Sel Serabut Kayu Gmelina setelah Pemadatan 25% (ukuran gambar 60 x 84 µm2). Arah Panah Menunjukkan Arah Pemadatan ...............................................................
xiii
4 13 14 16 17 18 20
23 24
25
26 27 29 29
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. 2. 3. 4.
Rataan Nilai Berat Jenis Kayu Agathis dan Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan serta Setelah Dipadatkan dan Dipanaskan pada Suhu 180oC ............................................................................................. Rataan Nilai Recovery of Set Kayu Agathis dan Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan serta Setelah Dipadatkan dan Dipanaskan pada Suhu 180oC ..................................................................................... Rataan Nilai Kebundaran Rongga Sel Trakeid Kayu Agathis Sebelum dan Sesudah Dipadatkan ( d ), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada Bagian Permukaan (P) dan Tengah (T) ................ Rataan Nilai Kebundaran Rongga Sel Serabut Kayu Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan ( d ), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada Bagian Permukaan (P) dan Tengah (T) ................
xiv
34 35 36 37
PENDAHULUAN Latar Belakang Kayu merupakan bahan alam (renewable recources) yang sangat penting peranannya bagi kehidupan manusia. Hal ini terlihat dari permintaan akan kayu baik untuk bahan bangunan maupun furniture yang terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Saat ini pemanfaatan kayu pada umumnya masih terbatas pada kayu-kayu yang berkualitas tinggi, terutama dari segi kekuatan dan/atau keawetannya. Kayu-kayu tersebut umumnya dihasilkan dari tegakan hutan yang berdaur panjang (slow growing species). Pengelolaan hutan yang tidak berkesinambungan akhir-akhir ini telah mengakibatkan kayukayu yang berkualitas semakin langka dan mahal. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memenuhi permintaan akan kayu adalah membangun hutan tanaman dari jenis-jenis cepat tumbuh (fast growing species) antara lain Gmelina. Melalui hutan tanaman akan diperoleh massa kayu dalam jumlah besar dan dalam jangka waktu yang relatif singkat karena daur yang lebih pendek. Sayangnya, kayu-kayu tersebut pada umumnya berkerapatan rendah. Karena kerapatan kayu diketahui memiliki korelasi yang positif dengan sifat fisik dan beberapa sifat mekanik kayu, maka semakin rendah nilai kerapatan dan/atau BJ kayu akan semakin rendah pula sifat fisik dan mekanik kayunya (Barnett dan Jeronimidis, 2003). Hal inilah yang mengakibatkan pemanfaatan kayu-kayu hutan tanaman menjadi terbatas dan tidak seratus persen dapat menggantikan peranan jenis kayu berkualitas tinggi yang selama ini digunakan (Haygreen dan Bowyer, 1982). Modifikasi kayu merupakan langkah yang ditempuh dalam rangka meningkatkan kualitas kayu dalam hal ini sifat fisis dan mekanisnya sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku industri perkayuan. Modifikasi dapat dilakukan baik secara fisik, mekanis maupun kimia ataupun kombinasi dari caracara tersebut. Salah satu usaha yang dilakukan untuk meningkatkan sifat fisis dan mekanis kayu adalah dengan cara memadatkan kayunya (densifying by compression). Metode ini dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu impregnasi, kompresi, dan kompregnasi (Kollman et al. 1975). Berbagai produk kayu
terpadatkan sudah lama dikenal di berbagai negara dengan nama yang berbedabeda seperti lignostone (Jerman), staypack (USA), compreg (USA), impreg (USA), lignofol (Jerman), kunstharzschichtholz (Jerman), dan Australian improved wood (Australia) (Blomberg 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan, berat jenis (BJ) dan sifat mekanis kayu yang dipadatkan meningkat secara signifikan. BJ meningkat sampai 1,25-1,40 kali, sementara keteguhan tekan sejajar serat dan keteguhan tariknya meningkat secara proposional seiring dengan meningkatnya BJ. Keteguhan tekan tegak lurus serat juga menjadi lebih besar (FPL, 1999). Menurut Rilatupa (2001) dan Sulistyono (2001), BJ kayu Agathis terpadatkan dengan tingkat pemadatan 50% meningkat sebesar 90% dari BJ semula, MOE dan keteguhan tekan sejajar seratnya meningkat lebih dari 100%, sedangkan MORnya meningkat lebih dari 200%. Menurut Wardhani et al (2002), kerapatan dan kekuatan batang kelapa yang dipadatkan juga meningkat hingga mencapai 80%. Perubahan sifat akibat pemadatan bersifat sementara, dimana kayu yang telah dipadatkan cenderung pulih kembali mendekati ke ketebalan semula (springback) akibat pengaruh suhu dan kadar air/kelembaban udara. Oleh karena itu dilakukan penyempurnaan-penyempurnaan agar diperoleh kayu terpadatkan dengan fiksasi yang sempurna. Salah satunya adalah dengan perlakuan pemanasan seperti yang dilakukan oleh Inoue dan Norimoto (1991) dalam Dwianto (1999). Menurut mereka, waktu yang diperlukan untuk mencapai fiksasi pada kayu terpadatkan adalah 20 jam pada suhu 180oC, 5 jam pada suhu 200oC, dan 3 jam pada suhu 220oC. Salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas proses pemadatan adalah persentase atau banyaknya bagian kayu yang terpadatkan karena pemadatan akan mempengaruhi sel-sel penyusun kayu. Besar kecilnya tingkat deformasi yang terjadi berbanding lurus dengan tingkat pemadatannya. Akibat pemadatan, maka sel-sel kayu akan menjadi pipih (collapse). Perubahan pada sel penyusun kayu akan mempengaruhi sifat fisis dan mekanis kayu. Perubahan bentuk sel penyusun pada kayu terpadatkan pada jenis softwood dan hardwood diduga akan berbeda akibat perbedaan struktur anatomi dari masing-masing golongan. Pada softwood, sel penyusunnya cenderung homogen
2
karena didominasi oleh sel trakeid, sedangkan pada hardwood lebih heterogen dan terdapat komponen pembuluh yang tidak ditemui pada softwood.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan tingkat pemadatan (compression set) arah radial dan lamanya pemanasan terhadap BJ, recovery of set (RS), dan perubahan struktur anatomi sel-sel penyusun pada kayu Agathis dan Gmelina.
Manfaat Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat dalam upaya mengatasi kesulitan bahan baku industri melalui peningkatan penggunaan kayu terpadatkan (wood densification) sebagai salah satu alternatif pemanfaatan jenis kayu cepat tumbuh. Melalui penelitian ini juga diharapkan ditemukan adanya suatu proses pemadatan terbaik untuk masing-masing jenis kayu yang diteliti.
Hipotesis Hipotesis penelitian ini meliputi : 1. Tingkat pemadatan akan meningkatkan nilai BJ kayu terpadatkan 2. Tingkat pemadatan dan lamanya pemanasan akan mempengaruhi recovery of set (RS) kayu terpadatkan 3. Perlakuan pemadatan akan berpengaruh pada sifat anatomi kayu terpadatkan.
3
Kerangka Pemikiran Sumber Bahan Baku Kayu
Hutan Alam
Hutan Tanaman
Hutan Rakyat
Potensi Menurun
Potensi Meningkat
Potensi ?
Didominasi Tanaman Cepat Tumbuh : Kualitas Kurang Baik
Modifikasi Kayu Kerapatan : Meningkat Sifat Mekanis : Meningkat
WOOD DENSIFIED (Kayu Terpadatkan)
Springback (recovery)
Pengembangan Teknik-Teknik Pemadatan Kayu : 1. Perlakuan pemanasan setelah pemadatan 2. Tingkat pemadatan kayu (presentase pemadatan)
Struktur Anatomi Berat Jenis Recovery Set
Gambar 1. Diagram Kerangka Pemikiran
4
TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kayu Agathis (Agathis loranthifolia Salisb) Pohon Damar termasuk dalam famili Araucariaceae dan dikenal dengan nama daerah Damar atau Agathis. Daerah penyebaran alami tumbuhan ini mulai dari Sumatera Barat, Kalimantan, Sulawesi, Maluku sampai ke Irian Jaya (Papua), baik di dataran rendah maupun tinggi. Jenis yang tumbuh di Jawa adalah Agathis loranthifolia dan tumbuh sebagai hutan tanaman. Pohon Agathis mempunyai ketinggian hingga 55 m, dengan diameter batang mencapai 150 cm. Batangnya berbentuk silindris dan lurus (Martawijaya et al. 1981). Bagian teras berwarna putih kekuningan sampai kuning jerami, kadangkadang agak merah jambu dan dapat berubah coklat emas secara lambat, sedangkan bagian gubalnya putih dan tidak tegas batasnya dari bagian teras. Corak kayu umumnya polos. Kayu bertekstur halus merata dengan arah serat lurus. Permukaan kayu mengkilap dan licin bila diraba. Kayu memiliki tingkat kekerasan agak lunak sampai agak keras (Mandang dan Pandit 1997). Struktur anatomisnya kayu Agathis memiliki ciri-ciri sebagai berikut: tidak mempunyai pembuluh, sel parenkimnya tidak ada atau jarang, jari-jarinya sangat sempit, jarang sampai agak jarang dan berukuran pendek, sementara sel trakeidnya sebagian berisi damar sehingga tampak bintik-bintik berwarna coklat pada penampang radialnya (Mandang dan Pandit 1997). Kayu Agathis memiliki BJ rata-rata 0,47 (0,36-0,64). Pada kondisi kering udara, memiliki keteguhan statis pada batas proporsi 282 kg/cm2, tegangan pada batas patah (MOR) 503 kg/cm2 dan nilai MOE sebesar 11.200 kg/cm2. Keteguhan tekan sejajar serat 334 kg/cm2, kekerasan ujung sebesar 225 kg/cm2 dan kekerasan sisinya 148 kg/cm2. Dengan sifat fisis dan mekanis yang dimilikinya, kayu Agathis termasuk ke dalam kayu dengan Kelas Kuat III (Martawijaya et al. 1981). Kayu Agathis umumnya digunakan sebagai bahan bangunan di bawah atap, perabot rumah tangga, bangunan kapal (tiang layar), panel, barang bubutan, kayu bentukan, pembungkus, cetakan mesin khususnya untuk papan dan mistar gambar, kotak dan batang korek api, pensil, separator baterai, komponen piano,
5
kaki palsu, peti teh, kotak mentega, vinir untuk kayu lapis dekoratif, kertas bungkus, kertas tulis, kertas cetak dan pulp rayon (Mandang dan Pandit 1997).
Deskripsi Kayu Gmelina (Gmelina arborea ) Pohon Gmelina termasuk dalam famili Verbenaceae dan dikenal dengan nama daerah Melina. Daerah penyebaran alaminya meliputi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, baik di dataran rendah maupun tinggi. Pohon Gmelina yang ada di pulau Jawa tumbuh sebagai hutan tanaman. Pohon Gmelina mempunyai ketinggian antara 20-40 m, dengan diameter batang mencapai 100 cm. Batang pohon berbentuk silindris dan lurus (Martawijaya et al. 1981). Bagian terasnya berwarna putih atau putih-kekuningan, sedangkan bagian gubal berwarna putih tetapi tidak tegas batasnya dari kayu teras. Pada bidang radial dan tangensial tidak bercorak (polos). Kayu bertekstur agak kasar sampai kasar, arah seratnya lurus sampai sedikit terpadu (Mandang dan Pandit 1997). Kayu Gmelina memiliki ciri: pori baur, sebagian besar berganda radial yang terdiri atas 2-4 pori kadang-kadang sampai 5, diameter agak kecil sampai agak besar, frekuensinya agak jarang sampai jarang, tilosis banyak dijumpai, bidang perforasi sederhana. Kayu Gmelina memiliki BJ rata-rata terendah 0,42 dan tertinggi 0,61 dari 5 jenis. Berdasarkan sifat fisis dan mekanis yang dimilikinya, kayu Gmelina termasuk ke dalam kayu dengan Kelas Kuat III (Martawijaya et al. 1981). Pada umumnya, kayu Gmelina digunakan sebagai bahan kontruksi ringan, kayu pertukangan, pembungkus, barang kerajinan, perabot rumah tangga, vinir hias, lantai, alat musik, korek api, badan kereta dan kapal, dan cocok juga untuk dibuat pulp (Mandang dan Pandit 1997).
Pemadatan Kayu Pemadatan kayu merupakan upaya memipihkan atau memampatkan kayu dengan cara dikempa menggunakan mesin kempa pada suhu, tekanan dan waktu tertentu. Pemadatan kayu solid ditujukan untuk meningkatkan sifat-sifat kayu baik sifat fisis maupun mekanisnya. Pada produk-produk komposit, kegiatan
6
pengempaan lebih ditujukan untuk membantu meningkatkan ikatan rekat antara kayu dengan perekatnya (Kollman et al. 1975). Menurut Kollman et al. (1975), kayu dapat dipadatkan melalui impregnasi (densifying by impregnation), pengempaan (densifying by compression), dan kombinasi antara impregnasi dan pengempaan (compregnation). Melalui impregnasi, rongga kayu diisi dengan berbagai zat yang menyebabkan kayu menjadi lebih padat. Zat-zat tersebut dapat berupa polimer resin phenol formaldehyde, larutan vinil, resin alam cair, lilin, sulfur dan logam ringan. Melalui pengempaan, sifat-sifat kayu dapat dimodifikasi tanpa merusak struktur sel kayu (dibawah kondisi plastis), sementara melalui kompregnasi, dimana terlebih dahulu diimpregnasi kemudian baru dikempa, kayu akan menerima kombinasi hasil dua perlakuan di atas. Proses pemadatan kayu terbagi dalam tiga tahap, yaitu: (1) pelunakan (softening/plastization), (2) deformasi (deformation), dan (3) fiksasi (fixation). Pelunakan dapat dilakukan secara fisik maupun kimia. Secara fisik, pelunakan terjadi bila tiga komponennya yaitu air dalam kayu, temperatur yang tinggi dan tekanan ada secara bersama-sama. Pelunakan secara fisik dapat dilakukan melalui pengovenan, perendaman panas dan dingin, perebusan dan pengukusan dengan autoklaf, sedangkan secara kimia dengan menggunakan bahan kimia. Menurut Bodig dan Jayne (1982), plastisasi adalah perubahan karakteristik kayu menjadi lebih lunak sehingga memungkinkan untuk dilengkungkan atau dibentuk dengan energi yang lebih rendah dan kerusakan yang lebih kecil, atau dipadatkan. Dengan kata lain, proses plastisasi dapat menjadikan kayu menjadi lebih lunak sehingga mudah untuk dibentuk dan dipadatkan. Pada tahap deformasi, kayu yang dikempa mengalami drying set, yaitu kondisi dimana kayu telah mengalami perubahan dimensi dan apabila tekanan dilepaskan, kayu tidak kembali ke bentuk semula. Tahap fiksasi merupakan tahap akhir dari proses pemadatan. Pada tahap ini, kayu terpadatkan tidak mengalami perubahan ke bentuk semula atau bersifat permanen. Namun demikian, bila fiksasi yang terjadi tidak sempurna, maka kayu akan dapat kembali kebentuk dan ukuran semula bila mendapat pengaruh kelembaban dan perendaman ulang (recovery) (Amin dan Dwianto 2006).
7
Kayu Terpadatkan Produk kayu yang dipadatkan dikenal sebagai kayu terpadatkan (densified wood). Berbagai produk kayu terpadatkan sudah lama dikenal di berbagai negara dengan nama-nama yang berbeda-beda diantaranya adalah lignostone (Jerman), lignofol (Jerman), kunstharzschichtholz (Jerman), staypak (USA), compreg (USA), impreg (USA), dan Australian improved wood (Australia) (Blomberg 2006). Staypak merupakan jenis produk kayu solid/utuh terpadatkan yang dibentuk dengan memadatkan kayu sehingga menyebabkan lignin melunak dan mengalir dengan cukup untuk merekat bahan-bahan di antara serat selulosa dan membebaskan tegangan dalam, sedangkan compreg merupakan produk kayu terpadatkan dengan terlebih dahulu diberikan perlakuan pemberian resin (impregnasi) seperti phenol formaldehide, kemudian baru dilakukan pemadatan (FPL, 1999). Kayu terpadatkan umumnya mempunyai sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan kayu yang tidak dipadatkan (Rilatupa, 2001; Sulistyono, 2001; Wardhani et al., 2002). Selain itu, kayu terpadatkan memiliki acid resistance yang lebih baik dibandingkan kayu utuhnya akibat penurunan permeabilitas. Kemampuan merekat pada kayu terpadatkan sama seperti kayu normalnya (yang diampelas), akan tetapi kayu terpadatkan tidak dapat dibentuk (FPL, 1999). Kayu terpadatkan dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Stamm (1964) menyatakan bahwa kegunaan kayu terpadatkan antara lain adalah untuk pemintal tenun, kumparan kayu, kayu pemukul, dan pegangan alat. Kegunaan lainnya adalah untuk baling-baling, mata dadu, dan plat sambungan yang memerlukan kekuatan gesek tinggi (FPL, 1999). Menurut Dwianto (1999), produk kayu terpadatkan dapat digunakan untuk lantai, furniture, bahan interior, dan surface densified wood.
Stabilisasi Dimensi Salah satu masalah utama yang berkaitan dengan produk kayu terpadatkan (kecuali pada produk dengan pemberian kadar resin yang tinggi) adalah stabilisasi dimensinya yang kurang baik. Apabila direndam dalam air atau ditempatkan pada lingkungan dengan kelembaban tinggi, kayu terpadatkan cenderung akan kembali
8
ke bentuk semula. Hal ini menjadi masalah yang serius apabila produk tersebut digunakan pada lingkungan dengan kelembaban tinggi. Oleh karena itu perlu ditentukan kondisi pemadatan dimana dapat meminimalisasi pemulihan kembali setelah dipadatkan. Pemadatan kayu yang bersifat permanen dapat dilakukan dengan menggunakan metode (1) perekatan atau modifikasi kimia, (2) perlakuan suhu tinggi pada kayu kering, dan (3) perlakuan uap air suhu tinggi pada kondisi kayu basah (steam). Prinsip pemadatan kayu metode (1) adalah dengan memasukkan perekat atau bahan kimia ke dalam kayu dan proses curing atau polimerisasinya terjadi pada saat pengempaan dalam kondisi kayu terdeformasi. Perekat yang digunakan dapat berupa perekat fenol, melamin, urea, tanin atau perekat yang berasal dari lateks. Sedangkan modifikasi kimia dapat menggunakan metode formalisasi, esterifikasi atau asetilasi. Pemadatan kayu metode (2) dapat diterapkan dengan menggunakan alat kempa panas atau oven pengering. Metode ini membutuhkan waktu yang lama untuk mencapai fiksasi kayu yang permanen (Inoue dan Norimoto, 1991 dalam Dwianto, 1999). Menurut mereka, waktu yang diperlukan untuk mencapai fiksasi pada kayu terpadatkan adalah 20 jam pada suhu 180oC, 5 jam pada suhu 200oC, dan 3 jam pada suhu 220oC. Metode (3) adalah memanaskan kayu dengan uap air suhu tinggi (steam treatment). Metode ini dilakukan dengan memasukkan uap air panas dari boiler ke dalam autoclave yang dilengkapi alat kempa tahan panas (Inoue et al. 1993). Kelebihan dari metode ini adalah tercapainya fiksasi permanen yang lebih cepat jika dibandingkan dengan metode (2) dan tidak banyak mempengaruhi atau menurunkan sifat mekanik kayu. Fiksasi permanen pada suhu 180oC dapat dicapai dalam waktu sekitar 10 menit. Beberapa peneliti telah melakukan penelitian yang berkaitan dengan stabilisasi kayu dengan berbagai variasi perlakuan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memberikan perlakuan awal pada kayu sebelum dipadatkan. Dwianto et al. (1996) menemukan bahwa perlakuan pra pemanasan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap fiksasi yang terjadi. Fiksasi permanen kayu terpadatkan dengan perlakuan panas maupun uap panas diperoleh
9
dari pelepasan tegangan yang tersimpan dalam mikrofibril dan zat-zat matrik di dinding sel yang terdegradasi.
Struktur Mikroskopis Kayu Terpadatkan Kayu merupakan material yang tersusun atas sel-sel. Selama proses pemadatan berlangsung, struktur sel kayu akan mengalami perubahan yang bersifat permanen. Salah satu faktor utama yang mempengaruhi sifat fisis dan mekanis kayu terpadatkan adalah jumlah dan tipe sel kayu yang terpipihkan (collapse). Sel-sel yang terpipihkan bisa berbentuk elastic buckling, plastic yielding, atau brittle crushing, tergantung pada kondisi contoh uji dan bahan-bahan alami yang terkandung dalam dinding sel (Wolcott 1989 dalam Kultikova 1999). Elastic buckling dapat didefinisikan sebagai penekukan tanpa mengakibatkan retaknya dinding sel. Hal tersebut terjadi pada saat polimer-polimer dalam dinding sel bersifat elastis, dan akan pulih kembali pada saat tekanan ditiadakan. Plastic yielding terjadi pada saat polimer pada kondisi transisi antara tahap glassy dan elastis. Pada tahap ini deformasi permanen akan terjadi walaupun tekanan ditiadakan. Kerusakan dinding sel terjadi saat polimer dalam tahap glassy (Cowie 1991 dalam Kultikova 1999). Kunesh (1968) menunjukkan bahwa kerusakan akibat pemadatan arah radial pada kayu solid diawali dengan terjadinya buckling of rays pada bagian kayu awal. Kerusakan ini akan semakin
progresif dengan terjadinya
pembengkokan atau penekukan jari-jari kayu pada seluruh bagian sampel. Tingkat kerusakan juga berbeda antara bagian kayu juvenil dan kayu dewasa. Menurut hasil penelitian Kultikova (1999) menggunakan kayu yellow poplar, tingkat kerusakan pada kayu juvenil umumnya lebih besar dibandingkan pada kayu dewasa. Hal ini dapat disebabkan karena tipisnya dinding sel dan kemungkinan juga disebabkan tingginya sudut mikrofibril pada kayu juvenil. Fenomena yang sama juga ditunjukkan oleh Blomberg et al. (2006), dimana disebutkan bahwa kerusakan awal saat kayu dikempa terjadi pada bagian kayu awal karena dinding selnya yang lebih tipis dibanding kayu akhir. Tipisnya dinding sel memudahkan terjadinya retak ketika kayu dipadatkan. Keretakan
10
biasanya baru berhenti saat mencapai bagian lamela tengah. Secara keseluruhan, kerusakan tersbut akan berpengaruh terhadap penurunan sifat kekuatan kayu.
11
METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, dari bulan April sampai bulan Juni 2008 di Laboratorium Sifat Dasar Bagian Peningkatan Mutu Kayu Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Laboratorium Peningkatan Sifat Kayu UPT Biomaterial Balitbang LIPI Cibinong. Pengambilan gambar dengan Scanning Electron Microscope (SEM) dilakukan di Laboratorium Geologi Quarter Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan Bandung. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah sejumlah papan tangensial kayu Agathis yang diperoleh dari Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi dan kayu Gmelina yang diperoleh dari Kampus Fakultas Kehutanan UNWIM Jatinangor, Sumedang. Alat utama yang digunakan adalah mesin kempa (dingin dan panas) rakitan Pusat Penelitian dan Pengembangan Fisika Terapan LIPI dengan ukuran plat 30 cm x 30 cm, kemampuan hidrolis maksimum 70 kg/cm2 dan suhu maksimum 250oC. Peralatan lain yang digunakan antara lain gergaji, oven, jangka sorong, desikator vakum, timbangan elektrik, Universal Testing Machine (UTM), slide microtome, dan SEM JEOL JSM-6360LA, Jepang. Metode Penelitian 1. Pembuatan Contoh Uji Log kayu Agathis dan Gmelina di gergaji menjadi sortimen-sortimen berbentuk papan tangensial yang bebas cacat. Ukuran akhir contoh uji yang digunakan adalah 2 cm (L) x 2 cm (T) x 4 cm (R) sebanyak 45 buah per jenis seperti Gambar 2. 2. Pemilahan Contoh Uji Contoh uji yang diambil dari bagian kayu teras selanjutnya dipilah berdasarnya keseragaman berat jenis (BJ)-nya. Penentuan BJ kayu dilakukan dengan menggunakan metode gravimetri dan dihitung berdasarkan berat kering tanur 12
dan volume basah. Contoh uji terlebih dahulu dikeringkan dalam oven pada suhu 60oC selama 3 hari, kemudian diukur beratnya. Nilai berat yang diperoleh merupakan berat kering tanur. T L R
Gambar 2. Bentuk Contoh Uji 3. Pelunakan Contoh uji sebelum dipadatkan terlebih dahulu diberi perlakuan awal yakni direndam dalam air pada suhu kamar, dan selanjutnya di vakum sampai jenuh air. 4. Pengukuran Stress-Strain Hubungan antara stress-strain untuk menentukan tingkat pemadatannya dilakukan pada contoh uji dalam kondisi jenuh air. Pengujian ini dilakukan dengan cara menekan contoh uji arah radial dengan menggunakan UTM. 5. Pemadatan atau Pengempaan Contoh uji yang telah mengalami perlakuan awal kemudian dipadatkan dengan menggunakan kempa panas pada arah radial dengan suhu kempa 100oC hingga mencapai ketebalan sasaran (compression set). Tebal sasaran ditentukan berdasarkan hasil uji stress dan strain yang telah lebih dahulu dilakukan. Berdasarkan hasil pengujian, tingkat pemadatan yang dilakukan terdiri 3 taraf yaitu 12,5%, 25% dan 37,5%. Lamanya pengempaan tergantung drying set contoh ujinya. 6. Pengukuran BJ Kayu Nilai BJ yang diukur adalah BJ kayu sebelum dipadatkan, BJ kayu terpadatkan dan BJ kayu terpadatkan yang telah dioven kembali pada suhu 180oC. BJ ditentukan pada kondisi kering tanur dengan persamaan sebagai berikut :
13
Berat Jenis =
Berat Kering Tanur : Kerapatan Air (1g/cm3) Volume Kering Tanur
7. Pengujian Tingkat Pemulihan Tebal ( Recovery of Set ) Besarnya recovery of set (RS) contoh uji yang telah dipadatkan dapat diketahui dengan terlebih dahulu mengukur dimensi tebalnya. Tebal yang diukur adalah tebal kondisi kering tanur sebelum dipadatkan (To), tebal setelah dipadatkan dan dioven pada suhu 180oC selama 0, 5, 10, 15, dan 20 jam (Ts), dan tebal Ts setelah dilanjutkan dengan perendaman 24 jam dan pengovenan kembali pada suhu 60oC selama 3 hari sampai kering tanur (Ti). Nilai RS dihitung dengan persamaan (Inoue, 1993):
Recovery of Set =
Ti - Ts x 100 % To - Ts
8. Pengamatan Struktur Kayu dengan SEM
Sampel kontrol (1), sampel yang telah dipadatkan dan dioven suhu 180oC selama 5 jam (2), dan sampel (2) yang telah direndam kemudian diamati struktur anatominya dengan menggunakan SEM. Sampel pengamatan diambil pada bagian permukaan dan bagian tengah (Gambar 3) dengan cara disayat mikrotom geser. Selanjutnya sampel divakum sampai kering, kemudian dilapisi emas dengan ketebalan 800Å dan siap untuk diamati. Gambar pemotretan kemudian dianalisis dengan Scion Image. Analisis gambar dipergunakan untuk menentukan kebundaran (roundness) rongga sel. Kebundaran ditentukan dengan mengacu pada rumus P2/(4πA) dimana P adalah perimetri/keliling) dan A adalah luas (Russ, 1995 dalam Blomberg et al., 2006). permukaan tengah
Gambar 3. Lokasi Contoh Uji Pengamatan SEM
14
9. Analisis Data dan Rancangan Percobaan
Data kemudian dianalisis secara faktorial dalam rancangan acak lengkap untuk mengetahui pengaruh faktor variasi jenis kayu (A1: Agathis, A2: Gmelina), variasi perlakuan tingkat pemadatan (B1: 12,5 %, B2: 25 %, B3: 37,5 %), dan variasi perlakuan lamanya pemanasan (C1: 0 jam, C2: 5 jam, C3: 10 jam, C4: 15 jam, dan C5: 20 jam). Ulangan yang dipakai dalam penelitian ini sebanyak 3 ulangan. Model umum statistika linier dari penelitian ini adalah : Yijkl = µ + Ai + Bj + Ck +(AB)ij + (AC)ik + (BC)jk + (ABC)ijk + εijkl Dimana: Yijkl
=
nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j faktor C taraf ke-k pada ulangan ke-l
µ
=
rataan umum
Ai
=
pengaruh utama faktor A taraf ke-i
Bj
=
pengaruh utama faktor B taraf ke-j
Ck
=
pengaruh utama faktor B taraf ke-k
(AB)ij
=
pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j
(AC)ik
=
pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i dan faktor C taraf ke-k
(BC)jk
=
pengaruh interaksi faktor A taraf ke-j dan faktor B taraf ke-k
(ABC)ijk =
pengaruh interaksi faktor A taraf ke-i , faktor B taraf ke-j dan faktor C taraf ke-k
=
kesalahan (galat) percobaan pada faktor A taraf ke-i faktor B taraf ke-j faktor C taraf ke-k ulangan ke-l
εijkl
Diagram Alir Penelitian
Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 4.
15
Contoh Uji ( 2 jenis kayu ) ukuran 2 cm (L) x 2 cm (T) x 4 cm (R)
a. b. c.
Pengovenan Contoh Uji Berat Awal (Bo) Berat Jenis Tebal Kering Tanur Awal (To)
Perendaman dalam Air pada Suhu Kamar selama ± 1 minggu
Uji Stress dan Strain
Pengempaan Panas Suhu: 100 0C Sampai drying set (Mencapai Target Ketebalan: 12,5%, 25%, dan 37,5%) Berat (B1)danTebal Setelah Pemadatan (Ts)
Peng-oven-an pada Suhu 180 0C selama 0, 5, 10, 15, dan 20 jam Berat Akhir (B2)
Perendaman dalam Air selama 24 Jam
Pengovenan Contoh Uji Tebal Kering Tanur Akhir (Ti)
Berat Jenis Recovery of Set
Struktur Anatomi
Gambar 4. Diagram Alir Penelitian
16
HASIL DAN PEMBAHASAN Korelasi antara Stress dan Strain
Hasil pengujian stress dan strain baik untuk kayu Agathis maupun kayu Gmelina dalam kondisi jenuh air disajikan pada Gambar 5. Daerah Plastis Agathis
1.8
Daerah Plastis Gmelina
1.6 1.4
Stress (kg/cm 2)
1.2 1
Agathis Gmelina
0.8 0.6 0.4 0.2 0 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
Strain
Gambar 5. Hubungan Stress-Strain Kayu Agathis dan Gmelina Jenuh Air Dari penelitian diketahui bahwa pada kondisi jenuh air kayu Agathis lebih lunak dibandingkan kayu Gmelina: pada strain yang sama, dibutuhkan stress yang lebih rendah. Daerah plastis kayu Agathis lebih lebar (0,05-0,57), sedangkan pada kayu Gmelina antara 0,03 hingga 0,38. Perbedaan ini ada hubungannya dengan perbedaan macam sel penyusun dan perbedaan komposisi komponen kimiawi dinding sel antara kayu Agathis dan Gmelina. Berat Jenis
Nilai BJ kayu terpadatkan baik untuk Agathis maupun Gmelina disajikan pada Gambar 6. Hasil penelitian menunjukkan bahwa BJ kayu Agathis dan Gmelina yang terpadatkan lebih tinggi dibandingkan dengan BJ kayu kontrolnya. Peningkatan nilai BJ terkait dengan meningkatnya tingkat pemadatan, sedangkan lamanya pemanasan tidak mempengaruhi nilai BJ pada masing-masing tingkat tingkat pemadatan.
17
BJ Kontrol Agathis
BJ Kontrol Gmelina
0.7 0.6
Berat Jenis
0.5
0 jam 5 jam
0.4
10 jam
0.3
15 jam
0.2
20 jam
0.1 0 Agathis 12.5 Agathis 25 Agathis 37.5
Gmelina 12.5
Gmelina 25
Gmelina 37.5
Tingkat Pemadatan (%)
Gambar 6.
Hubungan antara Tingkat Pemadatan dan Lamanya Pemanasan pada Suhu 180oC terhadap BJ Kayu Agathis dan Gmelina
Peningkatan BJ kayu akibat tingkat pemadatan 12,5%, 25% dan 37,5% pada kayu Agathis berturut turut mencapai 7,14% (0,45), 30,95% (0,55), dan 52,38% (0,64) dibandingkan BJ kontrolnya (0,42), sedangkan pada kayu Gmelina adalah 6,82% (0,47), 27,27% (0,56) dan 50% (0,66). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pemadatan merupakan fungsi dari BJ kayu. Peningkatan nilai BJ kayu terpadatkan ada kaitannya dengan perubahan bentuk sel-sel penyusunnya. Sel-sel kayu terpadatkan cenderung memipih sehingga mengurangi volume rongga, yang sekaligus mengurangi volume kayunya, sementara beratnya tetap. Hal ini berdampak pada meningkatnya nilai BJ. Semakin tinggi tingkat pemadatan, maka volume sel yang terpadatkan akan semakin besar sehingga volume kayu semakin berkurang. Pada kayu Agathis terjadi peningkatan BJ yang relatif lebih tinggi dibandingkan pada kayu Gmelina pada berbagai tingkat pemadatan. Fenomena ini terkait dengan perbedaan BJ kayu kontrolnya akibat perbedaan macam sel penyusun dan ketebalannya. Kayu Agathis lebih homogen karena hanya tersusun oleh sel-sel trakeida dan jari-jari, sedangkan Gmelina lebih heterogen. Jari-jari kayu Agathis tergolong uniseriet sementara jari-jari Gmelina multiseriet. Akibatnya, pada tingkat pemadatan yang sama, maka kayu Agathis lebih mudah 18
untuk dipadatkan. Pengaruh tingkat pemadatan, lamanya pemanasan, dan jenis kayu terhadap BJ kayu terpadatkan disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Analisis Ragam BJ Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan Sumber Keragaman Faktor A Faktor B Interaksi AB Faktor C Interaksi AC Interaksi BC Interaksi ABC Galat Total
db
JK
1 2 2 4 4 8 8 60 89
0,007 0,546 0,000 0,000 0,000 0,000 0,000 0,001 0,554
RJK
Fhit
0,000 263,699 0,273 14717,568 0,000 12,432 0,000 0,437 0,000 0,051 0,000 0,167 0,000 0,180
F05
F01
4,000 3,150 3,150 2,530tn 2,530tn 2,100tn 2,100tn
7,080** 4,980** 4.980** 3,650 3,650 2,820 2,820
Pada Tabel 1 terlihat bahwa faktor A (jenis kayu) dan faktor B (tingkat pemadatan) berpengaruh terhadap BJ kayu, sedangkan faktor C (lamanya pemanasan pada suhu 180oC) tidak. Interaksi antara faktor A dan B menunjukkan adanya pengaruh yang sangat nyata. Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa kayu Agathis memberikan respon yang berbeda dibandingkan kayu Gmelina. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BJ kayu kontrol menjadi salah satu parameter yang harus diperhatikan. Kayu ber-BJ rendah relatif lebih mudah untuk dipadatkan karena berdinding tipis sehingga kurang mampu menahan beban (Blomberg et al, 2006). Tingkat Pemulihan Ketebalan/Recovery of Set (RS)
Recovery of set (RS) pada kayu Agathis dan Gmelina terpadatkan menunjukkan peningkatan seiring dengan tingginya tingkat pemadatan. Sebaliknya dengan semakin lamanya pemanasan pada suhu 180oC, nilai RS-nya semakin berkurang. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pada tingkat pemadatan yang sama, maka nilai RS pada kayu Agathis cenderung lebih rendah dibandingkan pada kayu Gmelina. Perlakuan lamanya pemanasan juga menunjukkan bahwa nilai RS pada kedua jenis ini berbeda dimana pada kayu Agathis lebih rendah dibandingkan kayu Gmelina pada lama pemanasan yang sama (Gambar 7). 19
90 80 70
RS (%)
60
0 jam 5 jam
50
10 jam 40
15 jam 20 jam
30 20 10 0 Agathis 12.5
Agathis 25
Agathis 37.5
Gm elina 12.5
Gm elina 25
Gmelina 37.5
Tingkat Pemadatan (%)
Gambar 7.
Hubungan antara Tingkat Pemadatan dan Lamanya Pemanasan pada Suhu 180oC terhadap RS Kayu Agathis dan Gmelina
Proses pemadatan kayu Agathis memerlukan gaya tekan kempa yang relatif rendah dibandingkan dengan kayu Gmelina. Hal ini dapat dijelaskan dengan melihat hubungan stress dan strain kedua jenis sebagaimana Gambar 5. Dalam kondisi jenuh air, kayu Agathis cenderung lebih lunak dibandingkan kayu Gmelina sehingga gaya tekan yang diperlukan lebih rendah. Kayu yang dipadatkan dengan gaya tekan yang lebih besar akan memberikan gaya reaksi yang besar pula sehingga ketika terbebaskan dari gaya tekan tersebut kayu akan cenderung untuk kembali kebentuk semula yang besar pula. Hal ini yang menyebabkan nilai RS kayu Gmelina lebih besar dari Kayu Agathis. Mekanisme terjadinya fiksasi pada kayu yang terpadatkan dapat dilihat dari fenomena relaksasi tekanan (stress relaxation)-nya. Semakin tinggi nilai relaksasi tersebut, semakin mudah kayu untuk kembali ke bentuk semula. Dengan kata lain kayu belum terfiksasi. Pada contoh uji yang dipadatkan dalam kondisi jenuh air, relaksasi tekanan akan berkurang secara drastis pada awal-awal sesaat setelah kayu dipadatkan. Relaksasi tersebut kemudian berangsur-angsur akan berkurang dan akhirnya akan hilang. Relaksasi tekanan dipengaruhi oleh suhu pemanasan. Menurut Dwianto (1990), pemadatan kayu Sengon pada arah radial sebesar 50% menunjukkan 20
bahwa pada pemanasan dengan suhu 100-140oC selama 3 jam relaksasi tekanan hanya berkurang sekitar 40% dibanding awalnya. Nilai ini cenderung tetap dan tidak menunjukkan adanya pengurangan meskipun lama pemanasan diteruskan. Sebaliknya, pada suhu di atas 160oC, penurunan tekanan akan terjadi secara terusmenerus. Peningkatan nilai RS sejalan dengan peningkatan tingkat pemadatan kayu terutama pada perlakuan tanpa pemanasan. Tingkat pemadatan yang tinggi mengakibatkan volume sel-sel yang terpadatkan juga semakin banyak, sehingga energi untuk kembali ke bentuk semula juga semakin tinggi. Pemanasan akan mempengaruhi komponen kimia penyusun kayu. Menurut Stamm (1956) dalam Sundqvist (2004), akan terjadi perubahan besar pada komponen-komponen kimia penyusun kayu apabila kayu dipanaskan pada suhu 150-250oC. Pada suhu 150oC terlihat bahwa degradasi hemiselulosa mencapai empat kali lebih besar dibandingkan selulosa, sedangkan kecepatan degradasi lignin setengah dari selulosa. Degradasi hemiselulosa akan dominan pada pemanasan suhu dibawah 200oC. Menurut Dwianto et al. (1998), pengempaan pada suhu di atas 180ºC menyebabkan terdegradasinya komponen hemiselulosa dan lignin, dan sebagai akibatnya maka tegangan yang tersimpan dalam mikrofibril akan terbebaskan (relaksasi).
Selama proses pengempaan,
lignin yang merupakan polimer berikatan silang (cross-link) akan melunak dan mengalir karena pengaruh tekanan uap panas, sehingga mampu mengisi ruang matriks yang ada di dalam kayu. Rusaknya molekul air akibat perlakuan suhu tinggi menyebabkan terjadinya kerusakan pada ikatan H antar molekul-molekul di dalam matriks hemiselulosa-lignin (Amin dan Dwianto, 2006). Menurut Mitsui et al (2007), perlakuan pemanasan suhu 140oC hingga 100 jam pada kayu Sitka spruce (Picea sitchensis) akan mendegradasi kelompokkelompok hidroksil selulosa yang diawali dari daerah amorphous, berlanjut ke semikristalin dan diakhiri di daerah kristalin. Perubahan dari amorphous menjadi kristalin akan mengakibatkan penurunan daya serap air sehingga kayu akan lebih stabil. Hal ini akan meningkatkan kestabilan dimensi kayu. Perubahan ini juga ada hubungannya dengan penurunan berat pada kayu yang dipanaskan. Lamanya pemanasan yang diberikan akan mempengaruhi besarnya pengurangan berat
21
sampel. Semakin lama kayu dipanaskan, semakin tinggi pula penurunan beratnya (Dwiyanto et al., 1998). Pengaruh tingkat pemadatan, lamanya pemanasan, dan jenis kayu terhadap RS kayu yang terpadatkan disajikan pada Tabel 2. Pada Tabel 2 terlihat bahwa faktor A (jenis kayu), faktor B (tingkat pemadatan), dan faktor C (lamanya pemanasan pada suhu 180oC) berpengaruh terhadap nilai recovery of set kayu terpadatkan. Interaksi antara faktor A dan C serta interaksi faktor B dan C menunjukkan pengaruh yang sangat nyata terhadap RS yang terjadi. Tabel 2. Analisis Ragam Recovey of Set Kayu Agathis dan Gmelina Terpadatkan Sumber Keragaman Faktor A Faktor B Interaksi AB Faktor C Interaksi AC Interaksi BC Interaksi ABC Galat Total
db
JK
RJK
Fhit
F05
1
1.140,047
4,362
719,438
4,000
2
262,070
131,035
82,691
3,150
F01 7,080** 4,980**
tn
2
0,168
0,084
0,053
3,150
4
49.253,309
12.313,327
7.770,448
2,530
3,650**
4
326,516
81,629
51,513
2,530
3,650**
8
293,711
36,714
23,169
2,100
8
5,504
0,688
60
95,078
1,585
89
51.376,402
0,434
2,100
4.980
2,820** tn
2,820
Anatomi Kayu Agathis Terpadatkan Struktur mikroskopis kayu Agathis pada penampang lintang baik kontrol (tanpa pemadatan), terpadatkan, maupun terpadatkan dan dioven pada suhu 180ºC selama 5 jam serta direndam kembali dalam air selama 24 jam menunjukkan adanya perubahan bentuk terutama pada sel trakeid dan jari-jari kayu. Pada kayu terpadatkan, sel trakeid cenderung memipih sementara jari-jarinya melengkung (tidak lurus). Pada kayu terpadatkan yang sudah direndam kembali, sel trakeid masih tampak memipih dan kelurusan jari-jari belum sempurna. Perubahan bentuk sel trakeid diukur dari nilai kebundaran rongganya: semakin besar nilai kebundaran atau roundness-nya (>1), maka akan semakin pipih sel trakeidnya (Gambar 8 dan 9).
22
Kebundaran Rongga Sel (%)
4 3.5 3 Pd 2.5
Pr
2
Td
1.5
Tr Kontrol
1 0.5 0 0
12.5
25
37.5
Tingkat Pemadatan (%)
Gambar 8.
Pengaruh Tingkat Pemadatan terhadap Kebundaran Rongga Sel Trakeid Kayu Agathis Sebelum dan Sesudah Dipadatkan (d), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada Bagian Permukaan (P) dan Tengah (T).
Gambar 8 memperlihatkan dengan jelas bahwa tingkat pemadatan mempengaruhi bentuk rongga sel trakeid. Semakin tinggi tingkat pemadatan, semakin pipih bentuk sel trakeidnya (roundness semakin besar). Hal ini mengakibakan bergesernya arah jari-jari: dimana jari-jari semakin tidak lurus. Pemipihan diawali pada bagian permukaan. Sel-sel di bagian permukaan cenderung lebih pipih dan gepeng (collapse), sementara yang di bagian dalam tidak mengalami perubahan yang berarti. Pada kayu terpadatkan yang kemudian direndam kembali, sel-sel yang telah pipih tadi bertendensi untuk kembali ke bentuk semula. Kemampuan sel-sel tersebut untuk kembali ke bentuk semula dipengaruhi oleh tingkat pemadatannya. Semakin tinggi tingkat pemadatan, semakin tinggi kemampuan kayu untuk ke bentuk semula. Kemampuan untuk kembali ke bentuk semula (recovery) ditunjukkan dengan semakin berkurangnya nilai roundness-nya dibanding nilai roundness sel yang sama pada kayu terpadatkan (Gambar 8).
23
Kontrol
Kayu Terpadatkan
Recovery
12,5% Permukaan
12,5% Permukaan
12,5% Tengah
12,5% Tengah
25% Permukaan
25% Permukaan
25% Tengah
25% Tengah
37,5% Permukaan
37,5% Permukaan
37,5% Tengah
37,5% Tengah
Arah Pemadatan
Gambar 9. Mikrograf SEM Kayu Agathis Sebelum dan Sesudah Dipadatkan, serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (ukuran gambar 960 x 970 µm2) 24
Pemadatan kayu juga mempengaruhi penampilan jari-jari kayu pada penampang lintang. Tampak bahwa jari-jari kayu terutama yang terdapat di bagian permukaan akan mengalami pelengkungan tetapi tidak sampai tertekuk (Gambar 9). Keadaan ini akibat pemipihan sel-sel trakeid yang relatif seragam (Gambar 10A). Dilain pihak, jari-jari pada bagian tengah sampel cenderung tidak berubah karena tekanan pada bagian dalam tersebut relatif lebih rendah sehingga tidak mampu memipihkan sel trakeid yang ada. Akibatnya jari-jari juga tidak berubah. Hasil penelitian juga memperlihatkan bahwa bagian corner cell dari sel trakeid yang collapse akan saling bertautan dan membentuk struktur yang menyerupai huruf S dengan sel trakeid disebelahnya (Gambar 10A). Sebagai pembanding disajikan mikrograf SEM kayu kontrolnya (Gambar 10B).
A
Gambar 10.
B
Mikrograf SEM Bentuk Dinding Sel Trakeid Kayu Agathis yang mengalami Penekukan Elastis (elastic buckling) akibat Pemadatan (25%) (ukuran gambar 190 x 255 µm2). Arah panah menunjukkan arah pemadatan.
Dari gambar di atas terlihat bahwa penekukan yang terjadi pada dinding sel trakeid tidak menyebabkan terjadinya keretakan pada dinding sel. Jenis perubahan ini dikategorikan dalam elastic buckling. Hal ini dimungkinkan karena contoh uji kayu yang dipadatkan dalam kondisi jenuh air (bersifat elastis) sehingga ketika dipadatkan tidak menyebabkan kerusakan.
25
Anatomi Kayu Gmelina Terpadatkan
Struktur mikroskopis kayu Gmelina pada penampang lintang baik kontrol (tanpa pemadatan), terpadatkan, maupun pada kayu terpadatkan yang dioven pada suhu 180ºC selama 5 jam dan direndam kembali selama 24 jam menunjukkan adanya perubahan pada bentuk sel serabut dan jari-jari kayu. Perubahan bentuk sel serabut kayu Gmelina sebagaimana juga pada sel trakeid kayu Agathis juga dilihat dari nilai kebundarannya: semakin tinggi nilainya (>1), maka serabut akan semakin pipih (Gambar 11). Hal ini juga dapat dilihat pada Gambar 12.
Kebundaran Rongga Sel (%)
4 3.5 3 Pd 2.5
Pr
2
Td
1.5
Tr Kontrol
1 0.5 0 0
12.5
25
37.5
Tingkat Pemadatan (%)
Gambar 11.
Hubungan antara Tingkat Pemadatan terhadap Kebundaran Rongga Sel Serabut Kayu Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan (d), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada bagian permukaan (P) dan tengah (T).
Gambar 11 dan 12 memperlihatkan adanya perubahan tingkat kebundaran sel pada sampel sebelum dan sesudah dipadatkan serta setelah kayu terpadatkan direndam kembali dalam air selama 24 jam. Semakin tinggi tingkat pemadatan, maka serabut akan semakin pipih.
26
Kontrol
Kayu Terpadatkan
Recovery
12,5% Permukaan A
12,5% Permukaan R
12,5% Tengah A
12,5% Tengah R
25% Permukaan A
25% Permukaan R
25% Tengah A
25% Tengah R
37,5% Permukaan A
37,5% Permukaan R
37,5% Tengah A
37,5% Tengah R
Arah Pemadatan
Gambar 12.
Mikrograf SEM Kayu Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan, dan Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (ukuran gambar 960 x 970 µm2) 27
Seperti halnya pada trakeid kayu Agathis, serabut kayu Gmelina juga mengalami pemipihan terberat pada bagian permukaan dibandingkan pada bagian tengah. Hal serupa juga dialami oleh sel-sel pembuluhnya. Sel pembuluh cenderung lebih mudah pipih dibandingkan dengan sel serabut di sekitarnya. Hal ini disebabkan sel-sel pembuluh memiliki rongga sel yang lebih besar dan dinding sel yang lebih tipis dibandingkan sel serabut. Memipihnya sel pembuluh dan sel serabut tersebut mengakibatkan jari-jari kayu mengalami penekukan mengikuti arah deformasi yang terjadi (Gambar 12). Sel serabut dan pembuluh yang ter-deformasi ternyata belum mengalami fiksasi yang sempurna meskipun dipanaskan pada suhu 180oC selama 5 jam. Hal ini dapat dilihat dari adanya perubahan bentuk kebundaran rongga-rongga sel setelah kayu terpadatkan tersebut kembali direndam selama 24 jam dalam air. Nilai kebundaran setelah direndam ternyata lebih kecil dibandingkan dengan nilai kebundaran pada kayu terpadatkan (Gambar 11). Hasil pengamatan SEM menunjukkan kebundaran bentuk rongga sel pada kayu terpadatkan yang kemudian direndam kembali cenderung ke bentuk semula. Kemampuan kayu untuk kembali kebentuk semula dipengaruhi oleh tingkat pemadatannya. Semakin tinggi tingkat pemadatan kayu akan meningkatkan kemampuan kayu untuk kebentuk semula. Kayu terpadatkan ternyata juga memberikan dampak yang berbeda pada bagian kayu awal dan kayu akhir (Gambar 13). Bagian kayu awal (sisi atas) ketika dipadatkan, cenderung akan mengalami deformasi yang lebih besar dibandingkan kayu akhir. Hal ini ada hubungannya dengan ukuran rongga dan ketebalan dinding sel. Sel-sel penyusun kayu akhir umumnya lebih sempit dan lebih tebal dibandingkan kayu awal sehingga lebih tahan menahan gaya tekan. Dinding sel baik serabut maupun pembuluh juga mengalami pemipihan (collapse) akibat proses pemadatan. Hal ini dapat terlihat dengan jelas terutama pada bagian permukaan kayu dimana deformasi yang terjadi lebih besar. Pemipihan yang terjadi tidak menyebabkan terbentuknya retak pada dinding sel.
28
Gambar 13.
Mikrograf SEM Kayu Awal dan Akhir Gmelina Terpadatkan (12,5%) (ukuran gambar 960 x 1280 µm2). Arah panah menunjukkan arah pemadatan.
Sama halnya dengan kayu Agathis, bagian corner cell dari sel-sel serabut yang bersebelahan juga saling bertautan dan membentuk struktur yang menyerupai huruf S (Gambar 14A). Gambaran permukaan kayu Gmelina kondisi control disajikan pada Gambar 14B.
A
Gambar 14.
B
Mikrograf SEM Bentuk Dinding Serabut: A. Kayu Gmelina setelah Pemadatan (25%) dan B. Kontrol. (ukuran gambar 60 x 84 µm2). Arah panah menunjukkan arah pemadatan.
29
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan halhal sebagai berikut: 1. Pemadatan dapat meningkatkan BJ kayu terpadatkan baik pada Agathis maupun Gmelina: semakin tinggi tingkat pemadatan, semakin besar nilai BJnya. 2. Pemanasan pada suhu 180oC pada berbagai tingkat pemadatan baik pada Agathis maupun Gmelina tidak mempengaruhi nilai BJ, tetapi menurunkan recovery of set dan sekaligus meningkatkan stabilisasi dimensi kayu terpadatkan: semakin lama pemanasan, semakin rendah recovery of set-nya. 3. Recovery of set kayu Gmelina lebih tinggi dibandingkan recovery of set kayu Agathis. 4. Kayu terpadatkan baik Agathis maupun Gmelina yang direndam kembali dalam air setelah dipanaskan pada suhu 180ºC hingga 20 jam ternyata belum mengalami fiksasi yang sempurna. 5. Akibat pemadatan terjadi perubahan struktur anatomi kayu dimana sel-sel penyusun kayu yang berada di bagian permukaan terutama sel trakeid pada Agathis serta sel serabut dan sel pembuluh pada Gmelina akan lebih pipih (collapse): semakin tinggi tingkat pemadatan, maka sel-sel tersebut akan semakin pipih. Jari-jari kayu Agathis melengkung, sedangkan jari-jari kayu Gmelina tertekuk. Bagian corner cell dari sel serabut ataupun sel trakeid yang bersebelahan akan saling bertautan dan membentuk struktur yang menyerupai huruf S.
Saran
Karena pemanasan dalam oven pada suhu 180oC selama 20 jam ternyata belum mampu menghasilkan fiksasi yang sempurna, maka disarankan: 1. Waktu pemanasan diperpanjang (>20 jam) 2. Suhu ditingkatkan sampai batas aman 3. Perlakukan panas dilakukan pada saat pengepresan dengan hot press. 30
DAFTAR PUSTAKA Amin, Y. dan W. Dwianto. 2006. Pengaruh Suhu dan Tekanan Uap Air terhadap Fiksasi Kayu Kompresi dengan menggunakan Close System Compression. J. Ilmu dan Kayu Tropis 4 (2). 55-60. Bogor. Barnett, J.R. and G. Jeronimidis. 2003. Wood Quality and Its Biological Basis. Blackwell Publishing Ltd. Blomberg, J. 2006. Mechanical and Physical Properties of Semi-Isostatically Densified Wood. Thesis unpublished. Blomberg, J., B. Persson, and U. 2006. Bexell. Effect of Semi-isostatic Densification on Anatomi and Cell-shape Recovery on Soaking. Holzforschung 60. 322-331. Bodig, J. and B. A. Jayne. 1982. Mechanics of Wood and Wood Composites. Van Nostrand Reinhold Company. New York. Dwianto, W., F. Tanaka, M. Inoue, and M. Norimoto. 1996. The Permanent Fixation of Compressive Deformation in Wood by Heat Treatment. In Preceedings from The Third Pacific Rim Bio-Based Composites Symposium, Kyoto, Japan. pp.231-239. Dwianto, W., T. Morooka, and M. Norimoto. 1998. The Compressive Stress Relaxation of Wood during Heat Treatment. Mokuzai Gakkaishi 44 (6), 403-409. Dwianto, W. 1999. Mechanism of Permanent Fixation of Radial Compressive Deformation of Wood by Heat or Steam Treatment. Thesis Tidak Diterbitkan. [FPL] Forest Product Laboratory. 1999. Wood Handbook: Wood as An Engineering Material. Forest Product Society. Haygreen, J.G. and J. L. Bowyer. 1982. Forest Products and Wood Science: An Introduction. The Iowa State University Press. Ames, Iowa. Inoue, M., M. Norimoto, M. Tanahashi, and R. M. Rowell. 1993. Wood and Fiber Science 25(3): 224-235. Kollman, F. F. P., E. W. Kuezi, and A. J. Stamm. 1975. Principles of Wood Science and Technology Vol II. Springer Verlag. Berlin. Kultikova, E. V. 1999. Structure and Properties Relationships of Densified Wood. Thesis Unpublished.
31
Kunesh, R.H. 1968. Strength and Elastic Properties of Wood in Transverse Compression. Forest Products Journal 18(1): 65-72. Mandang, Y. I. dan I. K. N. Pandit. 1997. Pedoman Identifikasi Jenis Kayu di Lapangan. Yayasan Prosea Bogor dan Pusat Diklat Pegawai dan SDM Kehutanan. Bogor. Martawijaya, A., I. Kartasujana, K. Kadir, dan S. A. Prawira. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid I. Balai Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Mitsui, K., T Inagaki, and S. Tsuchikawa. 2008. Monitoring of Hydroxyl Groups in Wood during Heat Treatment Using NIR Spectroscopy. Biomacromolecules , 9, 286–288 Rilatupa, J. 2001. Keandalan Papan Lapis dari Kayu Damar (Agathis loranthifolia Salisb) Terpadatkan sebagai Pelat Buhul Atap Bangunan Bentang Lebar. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Thesis Tidak Diterbitkan Stamm, A. J. 1964. Wood and Cellulose Science. The Ronald Press Company. New york. Sulistyono. 2001. Studi Kelayakan Teknis, Sifat Fisis, Sifat Mekanis dan Keandalan Kontruksi Kayu Agatis (Agathis loranthifolia Salisb) Terpadatkan. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Bogor. Thesis Tidak Diterbitkan. Sundqvist, B. 2004. Colour Change and Acid Formation in Wood During Heating. LuleÅ University of Technology. Thesis unpublished. Wardhani, I. Y., S. Suryokusumo, dan Y.S. Hadi. 2002. Pemadatan Kayu Kelapa (Cocos nucifera L). Proseding Seminar Nasional V Mapeki, Bogor. Hal. 373-379.
32
LAMPIRAN
33
Lampiran 1.
Jenis Kayu Agathis (0,42) Gmelina (0,44)
Rataan Nilai Berat Jenis Kayu Agathis dan Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan serta Setelah Dipadatkan dan Dipanaskan pada Suhu 180oC Tingkat Pemadatan (%) 12,5 25 37,5
0 0,45 0,55 0,64
5 0.45 0,55 0,64
10 0,45 0,55 0,64
15 0,45 0,55 0,64
20 0,45 0,55 0,64
12,5 25 37,5
0,47 0,56 0,66
0,47 0,56 0,66
0,47 0,56 0,66
0,47 0,56 0,66
0,47 0,56 0,66
Lama Pemanasan (jam)
34
Lampiran 2.
Jenis Kayu Agathis
Gmelina
Rataan Nilai Recovery of Set (%) Kayu Agathis dan Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan serta Setelah Dipadatkan dan Dipanaskan pada Suhu 180oC Tingkat Pemadatan (%) 12,5 25 37,5
0 55,86 64,06 67,34
5 11,28 13,56 15,52
10 4,5 5,81 6,35
15 2,99 4,03 4,85
20 2,03 2,77 3,53
12,5 25 37,5
63,37 72,12 77,04
25,08 26,86 28,37
12,14 12,92 13,72
7,73 8,34 8,81
4,54 5,08 5,24
Lama Pemanasan (jam)
35
Lampiran 3.
Rataan Nilai Kebundaran Rongga Sel Trakeid Kayu Agathis Sebelum dan Sesudah Dipadatkan (d), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada Bagian Permukaan (P) dan Tengah (T)
Perlakuan Kontrol 12,5% P 12,5% T
Densified(d)
Recovery(r)
2,74 ± 0,81 1,24 ± 0,10
1,62 ± 0,55 1,24 ± 0.05
25,0% P 25,0% T
2,96 ± 0,54 1,34 ± 0,16
1,63 ± 0,51 1,28 ± 0,09
37,5% P 37,5% T
3,78 ± 1,37 1,37 ± 0,22
2,14 ± 0,28 1,35 ± 0,23
1,20 ± 0,09
36
Lampiran 4. Rataan Nilai Kebundaran Rongga Sel Serabut Kayu Gmelina Sebelum dan Sesudah Dipadatkan (d), serta Setelah Kayu Terpadatkan Direndam (r) pada Bagian Permukaan (P) dan Tengah (T) Perlakuan Kontrol 12,5% P 12,5% T
Densified (d)
Recovery (r)
2,24 ± 0,81 1,31 ± 0,06
1,35 ± 0,17 1,25 ± 0,09
25,0% P 25,0% T
3,77 ± 1,38 1,36 ± 0,17
1,76 ± 0,26 1,29 ± 0,10
37,5% P 37,5% T
4,90 ± 2,17 1,41 ± 0,18
2,40 ± 0,17 1,32 ± 0,15
1,24 ± 0,06
37