Studi Pengaruh Jumlah Kalium Hidroksida yang Digunakan Dalam Proses Recovery Timah dari Terak Timah Dengan Metode Roasting Menggunakan Pelindian Air Hangat Ferdinand Mangasi, Sutopo Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, Depok, 16436, Indonesia Email :
[email protected]
Abstrak Timah merupakan logam yang memiliki aplikasi pengunaan yang sangat luas dan bervariasi. Hal ini mengakibatkan permintaan akan timah cenderung untuk meningkat tiap tahunnya. Oleh karena itu, perlu ditemukan cara untuk mengolah timah semaksimal mungkin. Penilitian dilakukan untuk mengekstraksi timah dari terak timah dengan menggunakan metode roasting yang dilakukan pencampuran dengan KOH terlebih dahulu serta divariasikan jumlahnya dan dilanjutkan dengan pelindian air hangat. Untuk karakterisasi sampel menggunakan X-RD yang dilengkapi dengan software X-RD Match!, STA dan AAS. Nilai recovery maksimum sebesar 10,233% didapatkan dengan roasting 810oC , perbandingan padat : cair = 1:2 dan sampel : KOH = 1:16.
Study of effect of Potassium Hydroxide Used in Tin Recovery Process from Tin Slags with Roasting Method Using Warm Water Leaching Abstract Tin is a metal which has a various and wide uses. This’ll make the demand of tin is tend to increase every year. So, the new way is needed to process tin as maximum as possible. This study was conducted to extract tin from tin slags with roasting method that mixed with various quantity of KOH continued with warm water leaching. For characterization of sample using X-RD equipped with X-RD Match! Software, STA and AAS. The tin maximum recovery value of 10,233% is obtained from roasting 810oC, solid : liquid ratio = 1:2 and sample : KOH = 1:16. Keywords: Tin, tin slags, roasting, water leaching.
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya dan memiliki banyak kandungan mineral yang berharga di dalamnya. Dengan segala kekayaan akan mineral logam yang kita miliki ini mendorong kegiatan pertambangan di Indonesia untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam tersebut secara maksimal dan efisien. Salah satu mineral yang berharga tersebut adalah timah. Pertambangan timah di Indonesia sudah dilakukan sejak lama. Dalam sejarah pertambangan di Indonesia, penambangan timah termasuk sumber daya tambang kedua yang digali di wilayah sejarah Nusantara sesudah emas. Timah merupakan unsur kimia golongan logam yang memiliki simbol Sn (stannum) dan nomor atom 50. Di bumi, timah merupakan unsur ke-49 yang paling melimpah. Timah umumnya ditemukan dalam campuran kasiterit (SnO2) dan stanin (Cu2FeSnS4) yang berada pada lapisan kerak bumi. Kasiterit adalah mineral utama dari biji timah yang memiliki penampakan warna hitam, coklat, abu – abu maupun transparan, memiliki densitas 6,9 gr/cm3, berbentuk prismatik dan memiliki kekerasan 6 – 7 dalam skala mohs[1]. Sumber daya logam mineral seperti timah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan penambangan logam timah ini di dunia sudah dilakukan sejak lama. Permintaan akan logam timah juga meningkat tiap tahunnya pada berbagai proses produksi dengan aplikasi yang sangat beragam. Bila tidak diketahui cara untuk mengekstraksi logam timah dengan lebih efektif maka dikhawatirkan kita tidak dapat memenuhi kebutuhan akan timah untuk jangka waktu yang sangat panjang di kedepannya. Penelitian dalam rangka mengekstraksi logam timah dari berbagai mineral sudah banyak dilakukan baik secara hidrometalurgi, pirometalurgi, maupun elektrometalurgi. Namun walaupun demikian, sampai saat ini belum ditemukan proses ekstraksi yang relatif mudah dan efisien dalam mengekstraksi timah dari terak timah. Pada studi kali ini, peneliti mencoba untuk melakukan suatu eksperimen pada skala lab yang mengambil acuan dari U.S. Patent 4,737,351 yang disusun oleh Krajewski et al. Dalam penelitian yang dipublikasikan pada tahun 1988 tersebut, recovery terak dilakukan dengan menggunakan mixing KOH untuk mendekomposisikan terak, kemudian dilakukan roasting terhadap senyawa yang dihasilkan dan diteruskan dengan proses leaching dengan menggunakan air aquades. Tahapan proses tersebut bisa dikatakan cukup efisien karena menggunakan prinsip recycle yaitu penggunaan kembali air penyaringan dalam proses leaching[2].
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
Untuk mengetahui keefektifan proses ini, maka diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui seberapa besar yield recovery process maksimum yang bisa dihasilkan dengan memainkan variabel perbandingan jumlah KOH yang digunakan pada proses mixing. Pemilihan perbandingan jumlah KOH yang digunakan pada proses mixing sebagai variabel penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui jumlah KOH secara tepat yang bisa digunakan supaya proses recovery terak timah berjalan dengan efektif dan efisien.
2. Dasar Teori 2.1. Proses Roasting atau Pemanggangan Mineral Roasting atau yang sering disebut sebagai pemanggangan adalah proses pemanasan bijih atau campuran antara suatu mineral dengan suatu senyawa lain dibawah titik leburnya. Roasting juga bisa dikatakan sebagai proses oksidasi dari logam sulfida untuk menghasilkan logam oksida dan sulfur dioksida. Contoh reaksi yang terjadi : 2ZnS + 3O2 = 2ZnO + 2SO2 2FeS2 + 5.5O2 = Fe2O3 + 4SO2 Dalam proses roasting terjadi suatu proses penguapan yang dapat menghilangkan unsur lain. Roasting merupakan suatau proses “perlakuan antara” yang dilakukan sebelum proses selanjutnya seperti proses smelting. Roasting erat kaitannya dengan proses pirometalurgi, hal ini dikarenakan dalam proses roasting logam sulfida dirubah menjadi logam oksida yang menjadi dasar dalam pirometalurgi. Tahapan – tahapan dasar dalam roasting : Partikel – partikel dipanaskan Gas reaktif (udara, oksigen, klorin) melakukan kontak degan partikel – partikel Partikel – partikel bereaksi dengan gas Produk reaksi gas dihasilkan keluar Mengingat bahwa partikel – partikel tidak dalam keadaan meleleh, reaksi berawal dari permukaan partikel dan secara bertahap bekerja kedalam inti dari partikel. Hal ini digambarkan dalam model reaksi Shrinking-Core.
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
Gambar 1. Model Reaksi Shrinking-Core
Kecepatan dari proses roasting biasanya dikendalikan oleh difusi oksigen yang masuk dan sulfur dioksida yang keluar melewati lapisan oksida. Proses roasting terbagi atas beberapa macam jenis, yaitu : 1. Calcining Rosting Calcining roasting adalah suatu proses roasting yang bertujuan untuk mengubah komposisi kimia dari bijih dengan menggunakan CaCO3 pada temperatur operasi 1000-1200oC. 2. Oxidizing Roasting Oxidizing roasting adalah bentuk reduksi langsung yang dilakukan pada temperatur tinggi yang bertujuan untuk menghilangkan sulfur dan arsenik dengan mengubah logam sulfida menjadi bentuk oksidanya atau senyawa sulfat. 3. Reducing Roasting Reducing roasting adalah proses dimana suatu oksida mengalami proses reduksi oleh suatu reduktor gas dengan tujuan untuk menurunkan derajat oksidasi suatu logam. Peristiwa reduksi ini tidak dapat tercapai untuk suatu oksida yang sangat stabil. 4. Chloridizing Roasting Chloridizing roasting adalah suatu proses roasting yang bertujuan untuk mengubah logamlogam oksida dan sulfida menjadi senyawa kloridanya dalam bentuk gas. Selanjutnya gas yang terbentuk akan dikondensasi dalam sebuah condenser. 5. Fluoridizing Roasting Fluoridizing roasting adalah suatu proses roasting yang bertujuan untuk mengkonversikan oksida logam menjadi senyawa florida.
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
2.2. Proses leaching atau pelindian mineral Leaching merupakan proses ekstraksi (mendapatkan logam yang diinginkan) senyawa utama dari padatan yang dapat larut dari suatu larutan. Dalam metalurgi ekstraksi ini merupakan suatu proses pelarutan mineral tertentu dari bijih atau konsentrat, atau pelarutan unsur utama tertentu dari produk metalurgi. Berdasarkan hal tersebut maka dua tujuan yang dapat dicapai adalah : 1. Pembebasan bijih, konsentrat, atau produk metalurgi untuk memperoleh kembali (recover) logam berharga 2. Pelindian unsur utama yang mudah untuk dilarutkan (biasanya mineral gangue) dalam bijih atau konsentrat dengan tujuan untuk mendapatkan wujud atau bentuk yang lebih terkonsentrasi. Banyak proses yang mempengaruhi laju proses ini, antara lain [3] : 1.
Laju leaching akan meningkat dengan berkurangnya ukuran dari bijih, karena semakin kecil partikel maka luas permukaan per unit berat semakin besar
2. Laju leaching meningkat dengan meningkatnya temperatur 3. Laju leaching meningkat dengan meningkatnya konsentrasi dari zat leaching 4. Laju leaching meningkat dengan berkurangnya masa jenis pulp (campuran bijih dengan air) 5. Jika terbentuk suatu produk yang tidak dapat larut selama leaching, maka lajunya akan dipengaruhi oleh sifat dari produk itu sendiri. Jika terbentuk lapisan yang nonporous maka laju leaching akan menurun drastis. Tetapi jika produk padatan yang terbentuk adalah porous maka produk tersebut tidak mempengaruhi laju leaching. Pemilihan agen untuk leaching atau pelindian bergantung pada banyak faktor : 1. Karakter kimia dan fisik dari material yang akan dilakukan pelindian 2. Biaya atau harga dari reagen 3. Aksi merusak dari reagen dan konstruksi material 4. Selektivitas unsur utama yang kita inginkan untuk dilakukan pelindian 5. Kemampuan untuk regenerasi. Contohnya : pada pelindian ZnO dengan H2SO4, asam yang digunakan dapat diregenerasikan selama elektrolisis Jenis – jenis pelarut yang biasa digunakan dalam proses pelindian adalah : Air, digunakan untuk pelindian beberapa jenis logam sulfat, misalnya CuSO4 dan ZnSO4
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
Larutan garam, misalnya larutan sianida untuk melarutkan emas dan perak Pelarut asam, paling umum digunakan dalam proses pelindian. Air klorin, pernah digunakan dalam pelindian emas sebelum ditemukannya proses sianidasi Pelarut basa, misalnya NaOH untuk melarutkan alumina Kemampuan menyeleksi dari zat leaching terhadap suatu mineral tertentu yang ada di dalam bijih dipengaruhi oleh [4] : 1. Konsentrasi dari zat leaching Pada beberapa kasus tertentu, dengan semakin meningkatnya konsentrasi zat leaching maka jumlah dari mineral berharga yang larut akan semakin bertambah. Namun, bisa juga menjadi kebalikannya yaitu kelarutan dari mineral – mineral lain yang meningkat. 2. Temperatur Kadang – kadang peningkatan temperatur memberikan sedikit pengaruh terhadap efisiensi leaching mineral berharga, tetapi berpengaruh terhadap peningkatan level pengotor dalam larutan. Oleh karena itu, menjadi penting untuk mengetahui penggunaan zat leaching pada temperatur yang optimum. 3. Waktu kontak Memperpanjang waktu kontak antara pelarut dengan bijih bisa berujung pada peningkatan presentase pengotor yang ada dalam larutan Kinetika pelindian meliputi urusan proses sebagai berikut [5] : -
Perpindahan massa pelarut dari larutan ke permukaan mineral
-
Perpindahan massa produk yang dihasilkan keluar dari dalam mineral
-
Perpindahan massa produk dari permukaan mineral ke larutan
Secara umum, salah satu tahap di atas merupakan reaksi yang lambat dan dapat menjadi penentu secara keseluruhan untuk mengontrol kinetika proses leaching. SnO2 buatan (artificial) berbeda dengan kasiterit alami dalam beberapa aspek. Dimana SnO2 artifisial merupakan logam amorphous dan dapat larut dalam asam, sementara kasiterit susah untuk larut. Kasiterit dapat direduksi dengan mudah menjadi SnO, dimana produk ini dapat larut dalam asam maupun alkali (basa)
[4]
. Pressure leaching telah diaplikasikan pada
konsentrat kasiterit. Jangg dan Bach (1958) menggunakan Na2S + larutan NaOH pada 400oC : SnO2 + 3 Na2S + 2 H2O Na2[SnS3] + 4 NaOH SnO2 + 4 Na2S + 2 H2O Na4[SnS4] + 4 NaOH
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
NaOH ditambahkan pada Na2S untuk mencegah terjadinya reaksi hidrolitik : S2- + H2O HS- + OHHS- + H2O H2S + OH-
3. Metodologi Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan terak II timah yang memiliki kandungan Sn sekitar 0,116212 %. Sampel terak dalam bentuk batuan, terlebih dahulu dihancurkan (crushing) menggunakan alat penumbuk kemudian dilanjutkan menggunakan mortar hingga halus. Setelah halus, sampel diayak hingga didapatkan ukuran partikel sebesar #70, #140, #170 dan #270. Prosedur ini dilakukan terus hingga jumlah sampel dianggap cukup. Untuk penelitian ini, sampel dibagi menjadi tiga sesuai dengan banyaknya variasi perbandingan jumlah KOH yang digunakan. Perbandingan ukuran mesh dan massa tiap sampel sama, yaitu (#70) = 6 gram; (#140) = 3 gram ;(#170) = 3 gram; (#270) = 3 gram, sehingga total massa tiap sampel yang digunakan adalah 15 gram. Untuk hasil ayakan (#270) disisihkan ke dalam klip plastik dengan ukuran massa kurang lebih 2 gram untuk diuji X-RD yang bertujuan untuk mengetahui senyawa apa saja yang terkandung dalam terak II. Terak II timah yang telah dihaluskan dengan berbagai ukuran mesh juga dilakukan pengujian STA yang bertujuan untuk mengetahui titik perubahan sifat kimia dan fisiknya yang ditandai dengan adanya peak temperature.
Gambar 2. Prosedur Penghalusan
Pencampuran dilakukan dengan menambahkan KOH(s) ke dalam tiap sampel. Variasi perbandingan berat tiap sampel dan KOH(s) yang digunakan adalah 1 : 10, 1 : 13 dan 1 : 16. Setelah itu, masing – masing dari campuran tersebut diaduk hingga merata.
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
Gambar 3. Prosedur pencampuran dengan padatan KOH
Masing-masing campuran tadi dimasukkan ke dalam crucible kemudian diroasting di dalam muffle furnace dengan suhu 8100C. Lama waktu pemanggangan berkisar antara 45-60 menit. Setelah di-roasting, sampel dikeluarkan dari furnace dan crucible, lalu dibiarkan membeku. Sampel yang telah membeku dihancurkan menggunakan palu untuk memudahkan proses selanjutnya.
Gambar 4. Prosedur roasting menggunakan muffle furnace
Sampel yang telah hancur, ditaruh di dalam beaker glass pyrex kemudian dilarutkan dalam air aquades (30 - 600C) sambil diaduk menggunakan spatula.
Adapun variabel
komposisi perbandingan air aquades dengan sampel(S) yang digunakan adalah 1 : 2. Proses pelindian ini dilakukan hingga padatan hampir larut sempurna. Sebelum disaring, larutan diperiksa pH nya menggunakan pH indikator. Diketahui bahwa pH larutan adalah 14 yang artinya larutan bersifat basa dan kemungkinan kandungan ion stanat dalam larutan tinggi. Hasil pelindian kemudian disaring dengan menggunakan kertas saring (#125) untuk memisahkan filtrat dan residu yang terbentuk. Filtrat yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam botol PET, sedangkan residu dimasukkan ke dalam klip plastik. Selanjutnya, keduanya akan dianalisis menggunakan AAS.
Gambar 5. Prosedur penyaringan
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
4. Hasil Penelitian 4.1. Hasil Karakterisasi X-RD pada Sampel awal Pembacaan hasil pengujian menggunakan software X-RD match untuk terak II timah menghasilkan difraktogram sebagai berikut :
Gambar 6. Difraktogram sampel awal
Sementara untuk senyawa – senyawa yang terdapat pada sampel awal ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Tabel 1. Hasil X-RD senyawa – senyawa sampel awal
4.2. Hasil Pengamatan Karakterisasi STA pada Sampel awal Berikut ini adalah grafik DSC dan TGA yang dihasilkan dari uji STA sampel awal terak II timah :
Gambar 7. Kurva DSC – TGA Hasil Pengujian STA terak II timah + KOH (s)
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
4.3. Hasil Pengamatan Filtrat dan Residu Hasil Leaching Sampel dengan Variasi jumlah KOH dengan Analisa Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Berikut ini adalah tabel hasil pengamatan jumlah kandungan Sn dalam filtrat dan residu hasil leaching sampel dengan variasi jumlah KOH dengan analisa AAS : Tabel 2. Hasil Pengujian AAS
No
1
Variabel Perbandingan Sampel : KOH Tidak di roasting
Sampel
Kandungan Sn (%)
Kandungan Sn (ppm)
Sampel Awal
0,116212
1162,12
Hasil Pelindian Sampel : Air Hangat (30O-60OC) = 1 : 2
2
1: 10
3
1 : 13
4
1 : 16
Filtrat sampel A(s) Residu sampel A(s) Filtrat sampel B(s) Residu sampel B(s) Filtrat sampel C(s) Residu sampel C(s)
0,023772 0,095705 0,021676 0,008161 0,029681 0,072859
237,72 957,05 216,76 81,61 296,81 728,59
Sementara untuk grafik AAS hasil penelitian ditunjukkan oleh gambar di bawah ini :
Hasil AAS Sampel Penelitian 1200 Kadar Sn (ppm)
1000 800 600 400
Filtrat
200
Residu
0
1:10
1:13
1:16
Filtrat
237,72
216,76
296,81
Residu
957,05
81,61
728,59
Sampel : KOH Gambar 8. Grafik Hasil Pengujian AAS dari Sampel Hasil Pelindian
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
5. Pembahasan 5.1. Karakterisasi X-RD pada Sampel awal Tiap puncak yang muncul pada pola XRD mewakili satu bidang kristal yang memiliki orientasi tertentu dalam sumbu tiga dimensi. Puncak-puncak yang didapatkan dari data pengukuran ini kemudian disesuaikan dengan standar difraksi sinar-X untuk hampir semua jenis material yang ada pada database X-RD Match. Pada gambar 6, bisa dilihat bahwa terdapat kecocokkan antara senyawa - senyawa dalam sampel (pola biru) dengan database X-RD match (pola merah) yang ditandai dengan pertemuan kedua pola tersebut pada beberapa titik. Peneliti telah memprediksi sebelumnya mengenai senyawa apa yang kira – kira terdapat dalam terak timah yaitu Fe dan Sn. Hal ini didukung oleh hasil pengujian X-RD yang menunjukkan terdapatnya senyawa – senyawa berupa Fe3O4, Fe2O3, dan SnO2 dalam sampel terak timah. Jumlah kecocokan masing-masing senyawa dalam database, secara berturut-turut adalah 74, 26, dan 21 buah. Hal ini menunjukkan bahwa sampel terak timah didominasi oleh oksida Fe yaitu Fe3O4, Fe2O3 dengan jumlah total 85,2%. Sedangkan mineral kasiterit yang terkandung dalam sampel hanya berjumlah 14.8%. Sehingga dari hasil X-RD terak timah ini, penilitian difokuskan pada pengendapan oksida Fe untuk menghasilkan yield recovery yang maksimal. Setiap zat kristalin maupun amorf memilki pola difraksi X-ray yang unik atau berbeda – beda. Angka dari puncak (peak) yang diobservasi berhubungan dengan kesimetrisan dari unit sel (semakin simetris secara umum berarti memiliki peak yang lebih sedikit), d-spacing dari peak tersebut berhubungan dengan jarak yang berulang antara bidang dari atom – atom dalam struktur. Sehingga, lebih jelasnya maksud dari X-RD peak intensity amount yang ditunjukkan dengan persentase pada tabel 1 bukanlah merupakan data kuantitatif yang menunjukkan komposisi dari senyawa melainkan menunjukkan jenis atom apa yang berada dalam bidang yang berulang dan secara langsung berhubungan dengan nomor dari elektron – elektron dalam atom [6]. 5.2. Karakterisasi STA pada Sampel awal Simultaneous Thermal Analysis (STA) merupakan sebuah pengujian untuk memprediksi pengaruh temperatur terhadap sifat termal material. Maksud sifat termal dalam penelitian ini adalah suatu kondisi dimana material mengalami suatu reaksi yang diakibatkan oleh temperatur tertentu yang digunakan pada material tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa penelitian ini menggunakan campuran antara terak II timah dan KOH
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
yang tentu saja mempunyai perbedaan temperatur yang digunakan pada peleburan terak. Sehingga melaui pengujian STA ini kita bisa mengetahui efek KOH terhadap temperatur yang digunakan pada penelitian ini dengan mengukur aliran panas sebuah material sebagai fungsi temperatur dalam lingkungan atmosfer yang terkontrol. Data yang didapatkan berasal dari grafik Differential Scanning Calorimetry (DSC) dan Thermal Gravimetric Analysis (TGA). Dari grafik tersebut bisa diketahui titik – titik kritikal dari terak yang telah dicampurkan dengan KOH sehingga bisa didapatkan informasi mengenai suhu dan energi yang dibutuhkan untuk mineral tersebut mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimiawi. Analisa TGA merupakan suatu teknik dimana massa dari suatu zat atau bahan dimonitor sebagai fungsi temperatur atau waktu ketika sampel spesimen diperlakukan terhadap program temperatur yang terkontrol dalam atmosfer yang terkontrol pula. Secara sederhana, bisa dikatakan suatu teknik yang mana pada saat suatu material dipanaskan, massanya berkurang atau bertambah [7]. Kurva TGA pada gambar 7 diatas diperlihatkan dari kiri ke kanan, dimana bila diperhatikan bentuk kurva yang dihasilkan terjadi penurunan dari suhu sekitar 800 – 994oC. Penurunan kurva TGA menunjukkan terjadinya penurunan massa (weight loss). Weight loss bisa tejadi akibat adanya reaksi eksotermik yang berlangsung dalam material pada rentang temperatur tersebut. Seiring dengan terjadinya weight loss yang ditunjukkan pada kurva TGA, muncul peak (puncak) pada kuva DSC yang ditunjukkan pada gambar 9 berikut ini :
Gambar 9. Grafik Hasil Pengujian STA terak II timah + KOH(s)
Dari gambar 9 tersebut diketahui bahwa peak terjadi pada temperatur 808,05oC, dengan area 1111169,6663 mJ dan ∆H = 17193,1696 J/g. Hasil yang didapatkan pada uji STA inilah yang menjadi dasar digunakannya temperatur 810oc pada penelitian ini. Pada umumnya, temperatur yang dibutuhkan dalam peleburan terak timah adalah sekitar 1400 oC
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
untuk reaksi dapat terjadi. Namun karena KOH bersifat eksotermis, menyebabkan terjadinya penurunan temperatur yang dibutuhkan untuk reaksi dapat optimum terjadi. Diharapkan dengan roasting pada temperatur 810oC reaksi dapat berjalan secara efektif.
5.3. Pembahasan Hasil Pengamatan Filtrat dan Residu Hasil Leaching Sampel dengan Variasi jumlah KOH dengan Analisa Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) Dalam penelitian ini, sampel yang diuji menggunakan metode AAS adalah sampel awal terak serta filtrat dan residu hasil pelindian yang sebelumnya telah dicampur dengan KOH(s) dengan variasi perbandingan 1:10, 1:13 dan 1:16 yang kemudian di-roasting pada temperatur 810oC. Ketiga sampel yang divariasikan tersebut masing-masing dinamakan sampel A, B, dan C secara berurutan. Hasil dari pengujian, dapat dilihat dalam tabel 2. Data yang disediakan tabel di atas menunjukkan bahwa kandungan Sn dalam filtrat hasil percobaan ini mengalami penurunan dari sampel awalnya. Hasil ini terjadi pada A, B, maupun C. Dari tabel 2 di atas kita bisa mendapatkan perbandingan material balance antara sampel awal dan sampel hasil penelitian. Jumlah kandungan Sn pada filtrat dan residunya yang terdapat dalam masing – masing sampel A, B, dan C adalah 1194,77 ppm; 298,37 ppm dan 1025,4 ppm. Dari data tersebut didapatkan bahwa sampel A memiliki kadar Sn yang lebih tinggi dibandingkan sampel awal, yaitu sebesar 1194,77 ppm yang mana kadarnya lebih tinggi sekitar 32,65 ppm. Sedangkan dua sampel lainnya, yaitu sampel B dan C masingmasing memiliki selisih 863,75 ppm dan 136,72 ppm lebih kecil dibandingkan sampel awal. Hasil yang kontras antara sampel A dan kedua sampel lainnya kemungkinan dikarenakan perbedaan kelarutan ketiganya saat proses pelindian. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi pelarut yang digunakan, dalam hal ini aquades. Secara singkat, Robert A. Silbey, 1996, menjelaskan bahwa pada reaksi eksotermik, konstanta kesetimbangan akan turun/bergeser ke kiri dengan naiknya temperatur, namun di sisi lain laju reaksinya (reduksi) makin tinggi. Sedangkan pada reaksi endotermik, yang terjadi adalah sebaliknya. Reaksi yang terjadi saat pelindian merupakan reaksi eksotermik. Pada saat dilakukannya proses pelindian dengan menggunakan aquades, temperatur aquades yang digunakan tidak stabil pada suhu tertentu, namun berkisar antara 30o-80oC yang bisa menyebabkan perbedaan kelarutan ketiga sampel tersebut. Selain temperatur, faktor lain yang mempengaruhi material balance pada proses pelindian dalam penelitian ini adalah kecepatan dan lama pengadukan. Semakin cepat dan lama pengadukan, semakin banyak zat (sampel) yang terlarut. Namun parameter tersebut
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
tidak berlaku apabila larutan sudah jenuh. Hal inilah yang kemungkinan menjadi penyebab material balance sampel B dan C tidak maksimum. Gambar 8 di atas menunjukkan bahwa hasil pengujian terbaik ada pada sampel C dengan kandungan Sn (filtrat) mencapai 296,81 ppm. Namun, tingginya kandungan Sn dalam filtrat ternyata diikuti juga oleh tingginya kandungan residu. Pola tersebut sama dengan sampel A namun berbanding terbalik dengan sampel B dimana sampel B memiliki kandungan Sn dalam filtrat yang lebih tinggi dibandingkan dalam residu. Untuk mengetahui efektif atau tidaknya percobaan ini, maka perlu dilakukan perhitungan % recovery pada tiap sampel dengan menggunakan rumus berikut : % recovery Sn :
% Recovery sampel A:
= 7,828 %
% Recovery sampel B :
= 7,312 %
% Recovery sampel C:
= 10,233 %
Dari hasil perhitungan di atas, diketahui bahwa % recovery ketiga sampel filtrat masih sangat rendah. Hal tersebut kemungkinan besar dipengaruhi oleh jumlah KOH(s) yang ditambahkan, temperatur roasting yang digunakan, dan parameter pelindian. dijelaskan
oleh
Krajewski
et
al,
1988,
penambahan
KOH(s)
Seperti yang
berlebih
dapat
mendekomposisikan oksida timah menjadi ion stanat atau ion hexahydroxostannate (IV) dengan reaksi sebagai berikut : Sn4+ + 6OH-↔ [Sn(OH6)]2Senyawa – senyawa timah (IV) atau stani adalah lebih stabil. Dalam larutan airnya, senyawa – senyawa ini bisa terdapat sebagai ion timah (IV), Sn4+ atau sebagai ion stanat. Dalam larutan asam, kesetimbangan bergeser ke arah kiri, sedang dalam suasana basa kesetimbangan bergeser ke kanan. Pernyataan tersebut juga dideskripsikan oleh diagram pourbaix Sn, dimana dalam keadaan basa (pH 10 -14), akan terbentuk ion hexahydroxostannate (IV). Menurut penelitian Kawamura et al, 2000, penambahan basa (alkali hidroksida) pada oksida timah akan membentuk ion stanat atau hexahydroxostannate (IV) apabila dilarutkan menggunakan pelarut air. Selain membentuk ion stanat, larutan alkali hidroksida tersebut akan membentuk endapan ferrous hydroxide Fe(OH)2 atau ferric hydroxide Fe(OH)3 dengan prinsip pelarutan selektif. Pernyataan tersebut mendukung data yang didapatkan pada penilitian ini yaitu kandungan Sn yang terbanyak terdapat pada filtrat sampel yang mempunyai
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
perbandingan sampel : KOH sebesar 1 : 16 yang mempunyai nilai 296,81 ppm walaupun % recovery Sn-nya tergolong kecil. Hal ini mungkin disebabkan oleh, semakin banyaknya jumlah
KOH
yang
ditambahkan
pada
sampel
maka
kemungkinan
KOH
untuk
mendekomposisikan terak semakin besar pula. 6. Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian dan analisa yang telah dilakukan maka dapat ditarik beberapa kesimpulan dari penelitian ini, yaitu : 1. Mineral yang digunakan sebagai sampel pada penilitian ini adalah terak timah yang yang secara teoritis mengandung timah sebanyak 2,5 %. Pengujian Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) pada sampel ini menunjukan kandungan timah sebanyak 1162,12 ppm. 2. Ekstraksi
terak
timah
dengan
metode
perpaduan
antara
roasting
dengan
mencampurkan KOH dan pelindian dengan menggunakan air hangat terbukti mampu memisahkan timah yang terkandung didalamnya menjadi senyawa yang larut di dalam air. 3. Penambahan KOH terhadap terak timah pada analisa Differential Scanning Calorimetry (DSC) menghasilkan peak yang terjadi pada temperatur 808,05oC, dengan area 1111169,6663 mJ dan ∆H = 17193,1696 J/g 4. Jumlah KOH yang paling optimum untuk menghasilkan recovery timah tertinggi adalah dengan perbandingan sampel : KOH = 1: 16 serta perbandingan solid : liquid = 1: 2 . Hasil recovery tertinggi dari perpaduan nilai optimum ini mendapatkan filtrat dengan nilai recovery sebesar 10,233 %. 7. Saran Saran yang dapat diberikan terkait penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Perlu ditemukannya suatu cara yang lebih efektif untuk memindahkan material hasil roasting dari krusibel sehingga kesalahan perhitungan material balance hasil penelitian dapat diminimalisir. 2. Perlu ditambahkannya suatu metode untuk mengontrol parameter – parameter pelindian seperti temperatur proses dan waktu pelindian sehingga hasil atau data yang didapatkan bisa lebih akurat.
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014
8. Referensi 1. Mangasi, Ferdinand. Laporan Kerja Praktek “Analisa Perbandingan Kadar Timbal (Pb) Proses Eutectic – Refining Pada Zona Kristaliser di Unit Metalurgi Muntok PT. Timah (Persero) Tbk.”. Departemen Teknik Metalurgi dan Material, Fakultas Teknik, Universitas Indonesia.2013. 2. Krajewski et al. Process for The Recovery of Tin. U.S. Patent 4,737,351; Apr 12, 1988. 3. Kumar, Chiranjib Gubta. Chemical Metallurgy: Principles and Practices. Weinhem : WILEY-VCH. 2003. 4. Habashi, Fathi. Principles of Extractive Metallurgy Volume 2. Wiley-VCH. 1998. 4 5. Nikol, M. Leaching. AMF Course-Gold Processing Technology, May 1998. 6. J, Margret. Introduction to X-ray Powder Diffraction. Reed College. VIPEr. 22 Februari 2008. 7. PerkinElmer. Thermogravimetric Analysis (TGA). PerkinElmer, Inc. 2010
Studi pengaruh..., Ferdinand Mangasi, FT, 2014