PERAN PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL DALAM MEMPERTAHANKAN KEMAMPUAN AKSARA WARGA BELAJAR DI PKBM SARAGA LEKAS INSAN MANDIRI KECAMATAN CIAWI, KABUPATEN BOGOR
Oleh: FERA INDIRA KARINA I34070057
Dosen Pembimbing: Dr. Ir. EKAWATI S. WAHYUNI, MS
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
ii
ABSTRACT FERA INDIRA KARINA. The role of “Keaksaraan Fungsional” program in maintaining people basic literacy in People Learning Center Saraga Lekas Insan Mandiri at Ciawi, Bogor. Supervised by EKAWATI S. WAHYUNI.
This study aims to 1) analyze the role of “Keaksaraan Fungsional (KF)” in maintaining village people basic literacy, and to 2) evaluate its impact on the economy. The research was conducted by using survey method on 45 learning people in KF program. All respondents were women at 15 years and over. The study shows that people who joined the complete KF program have higher ability to maintain their basic literacy than those who were not. The KF program does not have direct impact in improving people economy. Some learning people benefitted from the KF program as they became literate their self confidence has also increased and became more self reliance.
Keywords: Keaksaraan Fungsional program, Literacy, Empowerment, Women Empowerment
iii
RINGKASAN FERA
INDIRA
KARINA.
Peran
Program
Keaksaraan
Fungsional
dalam
Mempertahankan Kemampuan Aksara Warga Belajar di PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan EKAWATI S. WAHYUNI. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam meningkatkan pembangunan di suatu negara. Saat ini semua pihak sadar bahwa penduduk Indonesia harus dikembangkan menjadi manusia unggul, oleh karena itu tingginya buta aksara di Indonesia menjadi permasalahan penting yang harus segera dituntaskan. Berdasarkan Badan Pusat Statistik dan Departemen Pendidikan Nasional, tahun 2009 tercatat dari sekitar 8,7 juta penyandang buta aksara, 64 persen adalah perempuan berusia di atas 15 tahun. Kelompok penduduk usia sekolah ini adalah kelompok penduduk usia produktif, sebagai sumber daya pembangunan yang seharusnya memiliki pendidikan yang memadai dan keterampilan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Pemerintah bersama organisasi masyarakat melaksanakan program Pemberantasan Buta Aksara Keaksaraan Fungsional (PBA-KF) demi meningkatkan angka melek aksara (literacy rate), sebagai upaya mengatasi banyaknya perempuan yang buta aksara. PBA KF dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung serta keterampilan dalam rangka meningkatkan mutu dan taraf hidup warga belajar yang lebih difokuskan kepada upaya pemberdayaan perempuan. Tujuan dari penelitian ini dimaksudkan untuk 1) menganalisis pengaruh program KF dalam mengevaluasi
memelihara atau mempertahankan kemampuan aksara warga belajar 2) pengaruh
kemampuan
membaca,
menulis,
dan
berhitung
dalam
meningkatkan ekonomi warga belajar. Penelitian ini dilakukan di PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri Desa Citapen, Kecamtan Ciawi, Kabupaten Bogor. Populasi dalam penelitian ini adalah warga belajar KF PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor yang telah memiliki Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA) dan telah lulus dari program KF setahun yang lalu yaitu berjumlah 50 orang. Pengambilan sampel yang digunakan adalah pengambilan Sampel Random Distratifikasi (Stratified Random Sampling), sehingga diperoleh sebanyak
iv
45 orang menjadi responden penelitian. Informan dalam penelitian ini dipilih secara purposive (sengaja) dengan teknik bola salju (snowball sampling) yaitu sebanyak tiga orang. Penelitian ini adalah penelitian explanatory dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan menggunakan metode survei yang memanfaatkan kuesioner. Data kualitatif juga digunakan sebagai pendukung pendekatan kuantitatif melalui teknik wawancara mendalam kepada informan untuk melengkapi kebutuhan data primer penelitian. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Hasil olahan data menggunakan distribusi frekuensi dan tabulasi silang diperoleh, bahwa tahapan KF yang dilalui oleh warga belajar memiliki pengaruh dengan kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki. Sebesar 82,4 persen (14 orang) yang melewati tahapan ketiga, mampu mempertahankan kemampuan aksara mereka, serta mampu menerapkan kemampuan aksara tersebut dalam kehidupan sehari-hari, seperti membaca jam, kalender, pengumumam, iklan, menulis biodata, tanda tangan, menghitung pemasukan, pengeluaran dan lain-lain. Kemampuan aksara yang dimiliki warga belajar tidak berpengaruh pada peningkatan ekonomi warga belajar, hal ini dibuktikan hanya terdapat seorang warga belajar yang menyatakan bahwa keadaan ekonominya lebih baik dari sebelum mengikuti program KF, selebihnya mengakui bahwa keadaan ekonomi mereka tidak ada perbedaan baik sebelum dan sesudah mengikuti KF. Beberapa warga belajar menerima manfaat lain dari adanya progam KF yaitu
kemudahan untuk mendapatkan informasi, kemudahan
memasuki kelompok pertemanan, dan peningkatan tingkat kemandirian. Keberhasilan KF dapat terwujud oleh beberapa faktor, antara lain: 1) melalui ketiga tahapan yang dianjurkan. 2) tersedianya tutor yang berdedikasi tinggi, mampu memotivasi warga belajar, dan memiliki kemampuan mengajar yang baik, karena tutor memiliki peranan yang penting. 3) pembelajaran keterampilan yang diberikan diharapkan terkait langsung dengan mata pencaharian, lapangan pekerjaan, dan pendapatan. Campur tangan Dinas Pendidikan diperlukan dimana Dinas Pendidikan suatu daerah mau bekerjasama dengan instansi lain, hal ini akan memudahkan warga belajar dalam penyediaan modal dan penyaluran hasil keterampilan.
v
PERAN PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL DALAM MEMPERTAHANKAN KEMAMPUAN AKSARA WARGA BELAJAR DI PKBM SARAGA LEKAS INSAN MANDIRI KECAMATAN CIAWI, KABUPATEN BOGOR
Oleh: FERA INDIRA KARINA I34070057
SKRIPSI Sebagai Bagian Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
vi
LEMBAR PENGESAHAN
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa
: Fera Indira Karina
Nomor Pokok
: I34070057
Judul
: Peran Program Keaksaraan Fungsional dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Warga Belajar di PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor).
dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS NIP. 19600827 198603 2 002
Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003
Tanggal pengesahan :
vii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul “Peran Program Keaksaraan Fungsional dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Warga Belajar di PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor)” benar-benar hasil karya saya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai Skripsi pada perguruan tinggi atau lembaga manapun dan tidak mengandung bahan-bahan yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain, kecuali sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia bertanggungjawab atas pernyataan ini.
Bogor, Juli 2011
Fera Indira Karina I34070057
viii
RIWAYAT HIDUP Fera Indira Karina lahir di Bogor, tanggal 18 Februari 1990. Penulis merupakan anak pertama dari Ibu Tatty Suhartati dan Bapak Aries Suroso dan memiliki satu adik bernama Devan Putra Fendita. Sejak kecil penulis bertempat tinggal di Jl. Veteran III No. 12 Citapen, Ciawi-Bogor. Penulis memulai pendidikannya di TK Amaliah pada tahun 1993-1995, kemudian melanjutkan sekolah di SD Amaliah pada tahun 1995-2001, SMP Negeri 1 Bogor pada tahun 2001-2004, dan SMA Negeri Bogor pada tahun 2004-2007. Saat duduk dibangku SMP sampai SMA, penulis memiliki bayak prestasi dalam bidang menari. Penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) dengan jurusan Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM), di Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Selama duduk dibangku kuliah, penulis aktif dalam berbagai kegiatan dengan mengikuti berbagai macam organisasi, antara lain UKM Music Agriculture X-pression (MAX!!) sebagai anggota General Affair pada tahun 2008-2009, dan Manager General Affair pada tahun 2009-2010. Selain itu penulis tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Mayarakat (HIMASIERA) sebagai anggota Fotografi dan Cinematografi pada tahun 2008-2009, dan anggota Broad Cast pada tahun 2008-2009. Penulis juga tergabung dalam tari saman KPM dan klub teater KPM yaitu Teater UP2Date, serta telah memenangkan berbagai perlombaan teater. Pengalaman kerja penulis adalah asisten praktikum Mata Kuliah Dasar-Dasar Komunikasi semester ganjil dan semester genap pada tahun ajaran 2009 – 2010.
ix
KATA PENGANTAR Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan anugerah-Nya serta kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi berjudul “Peran Program Keaksaraan Fungsional dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Warga Belajar Sebagai Upaya Pemberdayaan Perempuan (Kasus: PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor)”. Penulis sangat bersyukur karena penyusunan Skripsi ini dapat selesai tepat pada waktunya dan sesuai dengan yang direncanakan. Penulisan Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih setulus-tulusnya kepada: 1.
Dosen Pembimbing Skripsi, Dr. Ir. Ekawati S. Wahyuni, MS yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing, memberi saran dan kritik yang membangun, serta motivasi kepada penulis sehingga Skripsi ini dapat terselesaikan.
2.
PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri dan warga belajar Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor yang senantiasa membantu dan mendukung penelitian penulis.
3.
Mamah tersayang, Papah Anton, Alm. Papah Aries, Papih (kakek), Alm. Mimih (nenek), yang telah memberikan kasih sayang, doa, dan selalu menjadi pemicu semangat penulis untuk memberikan yang terbaik dan menjadi anak kebanggaan.
4.
Teman hidup, Harya Buntala Koostanto yang selalu setia menemani penulis dalam suka dan duka, memberikan dukungan dan perhatian di setiap waktu.
5.
Sepupuku tersayang Nadya Hendrian Putri yang selalu menghibur serta setia dan sabar menemani penulis dalam mengerjakan Skripsi disetiap waktu.
6.
Sahabat-sahabat istimewa, Echi, Dimitra, Navalinesia, Laila, Achi, Puput Barbie, Lany dan Cicit atas motivasi, masukan, kegilaan, suka duka yang telah dilewati bersama, dan memberikan warna dalam kehidupan penulis.
7.
Teman seperjuangan, Monica, Diadji, dan Wawa sebagai teman satu bimbingan yang selalu memberikan motivasi untuk menghasilkan Skripsi yang baik.
x
8.
Keluarga Rangers (Tiqa, Faiz, Iing, Putri, Fikhy) yang telah memberikan kegilaan dan kesenangan disela-sela stress yang melanda saat mengerjakan Skripsi.
9.
Teater Up2Date (Rajib, Manda, Bagus, Bocad, Haidar, Lukman, Wira, Pulung, Sela, dll) yang telah memberikan tempat untuk mengekspresikan bakat penulis dan pengalaman atas kemenangan-kemenangan yang telah diraih!
10. Keluarga besar KPM 44 yang dipenuhi oleh kreativitas-kreativitas yang membanggakan, kekompakan dan cerita yang tidak mungkin dilupakan. 11. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan semangat, bantuan, dan doa dalam menyelesaikan Skripsi.
Bogor, Juli 2011
xi
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI …………………………………………………………………..
xi
DAFTAR TABEL ……………………………………………………………..
xiv
DAFTAR GAMBAR …………………………………………………………
xvi
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………………
xvii
1
2
PENDAHULUAN ………………………………………………………..
1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………………..
1
1.2 Perumusan Masalah ……………………………………………….
3
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………………..
4
1.4 Kegunaan Penelitian ……………………………………………….
4
PENDEKATAN TEORITIS………………………………………………
5
2.1 Tinjauan Pustaka ……………………………………………………
5
2.1.1 Pemberdayaan Masyarakat
………………………………..
5
2.1.2 Perempuan dan Pendidikan
……………………………….
6
2.1.3 Program Keaksaraan Fungsional (KF)
……………………
8
2.1.3.1 Tantangan dan Hambatan Pelaksanaan Program
3
Keaksaraan Fungsional (KF) ………………………
11
2.2 Kerangka Pemikiran ……………………………………………….
13
2.3 Hipotesis…………………………………………………………..…
15
2.4 Definisi Konseptual …………………………………………………
15
2.5 Definisi Operasional ………………………………………………..
15
PENDEKATAN LAPANGAN …………………………………………
18
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian …..........................………..…………..
18
3.2 Teknik Penentuan Responden dan Informan ……….………………
18
3.3 Teknik Pengumpulan Data
………………………………………..
19
3.4 Teknik Pengolahan dan Analisis Data …….………………………..
20
xii 4
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN …………………………………
21
4.1 Profil Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor.…………
21
4.1.1 Kondisi Geografis …………………………………………..
21
4.1.2 Jumlah dan Karakteristik Penduduk …...................................
21
4.1.3 Kondisi Ekonomi dan Matapencaharian Penduduk ................
24
4.2 Program Keaksaraan Fungsional (KF) ...............................................
25
4.2.1 Program Keaksaraan Fungsional di Desa Citapen …………...
25
4.2.2 Profil Program Keaksaraan Fungsional PKBM Saraga Lekas
5
Insan Mandiri………………………………………………….
26
4.2.3 Ringkasan..................................................................................
31
PENGARUH PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL DALAM MEMPERTAHANKAN KEMAMPUAN AKSARA
6
WARGA BELAJAR ………………………….………………………….
32
5.1 Ringkasan
36
..................................................................................
PENGARUH KARAKTERISTIK DAN DUKUNGAN LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL DALAM MEMPERTAHANKAN KEMAMPUAN
7
AKSARA WARGA BELAJAR ……..............................................………
37
6.1 Karakteristik Warga Belajar ……………………………………….
37
6.1.1 Umur…………………………………………………………..
37
6.1.2 Status Pernikahan …………………………………………….
38
6.1.3 Jumlah Anak ………………………………………………….
40
6.1.4 Pendidikan Formal .................................................................
41
6.1.5 Pekerjaan………………………………………………………
42
6.1.6 Motivasi Warga Belajar……………………………………….
44
6.2 Dukungan Lingkungan Tempat Tinggal …………………………..
46
6.3 Ringkasan
47
..................................................................................
HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN AKSARA WARGA BELAJAR DENGAN PENINGKATAN EKONOMI WARGA BELAJAR………….
48
7.1 Ringkasan
52
..................................................................................
xiii 8
SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
53
9.1 Simpulan …………………………………………………………..
53
9.2 Saran …………………………………………………………………
54
DAFTAR PUSTAKA
xiv
DAFTAR TABEL Nomor Tabel 1
Halaman Sebaran Penduduk Desa Citapen Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor menurut Umur Tahun 2011…………………………………
Tabel 2
Sebaran Penduduk Desa Citapen menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2010 ………………………………………………………..
Tabel 3
23
Sebaran Penduduk Desa Citapen menurut Mata Pencaharian Tahun 2010…………………………………………………………
Tabel 4
22
24
Peran Program KF terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011…………………………………………………..……..
Tabel 5
33
Pengaruh Umur terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 ………………………………………………..………
Tabel 6
37
Pengaruh Status Pernikahan terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011…………………………………………………..…….
Tabel 7
39
Pengaruh Jumlah Anak terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 ………………………………………………………..
Tabel 8
41
Pengaruh Pendidikan Formal terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 ……………………………………………….……...
Tabel 9
42
Pengaruh Pekerjaan terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 ……………………………………………….……...
43
Table 10 Pengaruh Motivasi Warga Belajar terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 ……………………………………………….
45
Tabel 11 Pengaruh Dukungan Lingkungan Tempat Tinggal terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 ……...………………………….
46
xv Tabel 12 Sebaran Jumlah Warga Belajar dalam Perubahan Sesudah Mengikuti KF Tahun 2011 ..……………………………………….
50
xvi
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
Gambar 1
Kerangka Pemikiran ……………………………………………
Gambar 2
Struktur Organisasi Penyelenggara PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri……………………………………………………………
14
28
xvii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Lampiran 1
Halaman Daftar Nama Warga Belajar Di Desa Citapen (Kerangka Sampling) ………………………………………………………
59
Lampiran 2
Dokumentasi ………………….………………………………
61
Lampiran 3
Peta Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor ……..
63
Lampiran 4
Jurnal Kegiatan Di Lapangan……………………………………
64
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang United Nations (1997) menyatakan bahwa pendidikan dasar sangat penting untuk mencapai tujuan pemberantasan kemiskinan, mengurangi angka kematian anak, menahan pertumbuhan penduduk, mencapai kesetaraan gender, serta memastikan pembangunan perdamaian, berkelanjutan dan demokrasi. Kemampuan baca tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, di mana hal ini berkaitan langsung bagaimana
seseorang
mendapatkan
pengetahuan,
menggali
potensinya,
dan
berpartisipasi penuh dalam masyarakat yang lebih luas. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki permasalahan pada pendidikan. Badan Pusat Statistik (BPS) dan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2009 menyatakan, tercatat dari sekitar 8,7 juta penyandang buta aksara, 64 persen adalah perempuan berusia di atas 15 tahun. Meskipun dari berbagai hasil penelitian menunjukkan setiap tahunnya terjadi penurunan buta aksara, namun hingga saat ini penyandang buta aksara pada perempuan tetap lebih tinggi dari pada laki-laki. Angka buta aksara merupakan salah satu komponen dalam penghitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) untuk pencapaian pembangunan, demikian juga dalam Millennium Development Goals, angka buta aksara pada orang dewasa (15-24 tahun) merupakan salah satu indikator dalam penilaian pencapaian akses universal pada pendidikan dasar (Goal 2, target 3).1 Oleh karena itu, di anggap penting untuk melihat perkembangan kemajuan indikator ini. Dalam konteks indonesia, terdapat jaminan konstitusi bahwa setiap individu berhak memperoleh pendidikan, sehingga memungkinkan mereka terbebas dari buta aksara (UUD 1945 pasal 31). Tingginya buta aksara pada perempuan di Indonesia menjadi permasalahan penting
yang
harus
segera
dituntaskan
oleh
pemerintah.
Beberapa
dasar
dilaksanakannya pemberantasan buta aksara antara lain: 1) melek aksara merupakan hak dasar bagi setiap orang, sekaligus sebagai kunci pembuka bagi memperoleh hak-hak lainnya, 2) masalah buta aksara sangat terkait dengan kemiskinan, kebodohan,
1
Bachtiar, Adang. 2010. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Menurun. [internet] http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/indeks-pembangunan-manusia-indonesia-menurun/ (tanggal 14 Oktober 2010)
2
keterbelakangan, dan ketidakberdayaan masyarakat, 3) buta aksara berdampak terhadap pembangunan bangsa (Wahyuni T. et al. 2010). Salah satu upaya pemerintah untuk mengentaskan buta aksara pada perempuan adalah Program Keaksaraan Fungsional (KF), program ini dicetuskan pada tanggal 8 – 18 September 1965 dalam suatu konferensi mentri pendidikan sedunia tentang pemberantasan buta aksara (eradication of illiteracy) di Teheran, Iran (Marzuki 2010). Sasaran pada program ini adalah kelompok perempuan usia dewasa (15-45 tahun) dan menekankan pada fungsi program secara fungsional dengan strategi membaca, menulis, berhitung, dan aksi serta diskusi yang proses belajarnya disesuaikan oleh konteks warga belajar (Depdiknas 2006). Program ini ditujukan untuk masyarakat yang memiliki latar belakang ekonomi yaitu berasal dari penduduk miskin dan termarjinalkan, sedangkan jika dilihat dari sisi geografi mereka berasal dari daerah terpencil atau masyarakat pinggiran yang tidak berkesempatan memperoleh akses atau pelayanan pendidikan yang memadai (Aziz 2008). Tujuan dari program KF adalah penguasaan membaca, menulis dan berhitung menjadi syarat mutlak untuk menguasai keterampilan dalam rangka peningkatan kualitas hidup. Di sisi lain, keaksaraan dapat mempunyai fungsi atau peran membangkitkan pembangunan sosial ekonomi suatu masyarakat. Saat ini banyak daerah yang bangga karena berhasil menghapus buta aksara. Hal ini terlihat dari data BPS mengenai angka buta aksara yang setiap tahunnya menurun, namun data tersebut tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Berdasarkan beberapa kasus penelitian, dapat disimpulkan bahwa program KF belum dapat dikatakan berhasil. Program KF baru berhasil dalam pengentasan buta aksara, dan belum berhasil dalam pemberian keterampilan untuk mengentaskan kemiskinan karena keterampilan baca, tulis, dan berhitung dari program KF belum sepenuhnya fungsional, jika kemampuan baca tulis warga belajar tidak bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas hidup dan status sosial mereka secara menyeluruh (Lutfi 2007). Pengentasan buta aksara baru terlihat pada tahap jangka pendek yaitu di akhir program KF dan banyak yang mengalami buta aksara kembali setelah program selesai, selain itu belum banyaknya data yang menyatakan keberhasilan KF dalam jangka panjang. Suyono (2006) mengungkapkan, pendidikan hanya layak diklaim berhasil sejauh ia mampu menciptakan manusia-manusia mandiri dan bermartabat, yang keberadaannya dapat memberikan manfaat terhadap keluarganya, orang lain dan lingkungannya. Maka dari itu penelitian pasca program perlu dilakukan untuk mengetahui keefektifan dan keberhasilan program KF yang sebenarnya dalam
3
memberdayakan perempuan, dengan melihat kemampuan warga belajar dalam memelihara kemampuan membaca, menulis, dan berhitung dan memfungsikannya untuk peningkatan ekonomi warga belajar.
1.2 Perumusan Masalah Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam meningkatkan pembangunan di suatu negara. Pendidikan yang baik akan menghasilkan pembangunan dan sumber daya manusia yang baik juga. Banyaknya buta aksara pada perempuan di Indonesia, mendorong pemerintah untuk membuat Program Keaksaraan Fungsional (KF) guna memberantas buta huruf sekaligus mengentaskan kemiskinan sehingga tercapainya
pemberdayaan.
Pemerintah
menilai
program
KF
telah
berhasil
mengentaskan buta aksara dan kemiskinan, namun faktanya program KF belum sepenuhnya berhasil. Hal tersebut dikarenakan, warga belajar baru mampu membaca, menulis, dan berhitung, namun keterampilan yang diberikan untuk meningkatkan ekonomi tidak dijalankan karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, selain itu banyak terjadi buta aksara kembali pada warga belajar. Untuk itu, diperlukan suatu penggalian informasi maupun penelitian untuk menjawab, ketika keterampilan tidak terpakai, apakah membaca, menulis, dan berhitung masih dapat dipertahankan dan difungsionalkan untuk meningkatkan ekonomi warga belajar, selain itu apakah program KF membantu warga belajar dalam mempertahankan kemampuan menulis, membaca dan berhitung, bila tidak, tindakan apa yang dilakukan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Hal tersebut dikarenakan fungsional dalam keaksaraan, berkaitan erat dengan fungsi dan tujuan dilakukannya pembelajaran di dalam keaksaraan, serta adanya jaminan bahwa hasil belajarnya benar-benar bermakna atau bermanfaat (fungsional) bagi peningkatan mutu kehidupan warga belajar (Ismadi H. et al. 2005). Sehubungan dengan hal tersebut, permasalahan yang ingin dijawab dari penelitian ini adalah: 1. Apa upaya program KF dalam mempertahankan kemampuan aksara warga belajar? 2. Apakah dengan adanya kemampuan membaca, menulis, dan berhitung mampu meningkatkan ekonomi warga belajar?
4
1.3 Tujuan penelitian 1. Menganalisis pengaruh program KF dalam memelihara atau mempertahankan kemampuan aksara warga belajar. 2. Mengevaluasi pengaruh kemampuan membaca, menulis, dan berhitung dalam meningkatkan ekonomi warga belajar.
1.4 Kegunaan Penelitian Mengacu kepada tujuan penelitian, maka kegunaan dilaksanakannya penelitian ini terbagi menjadi kegunaan penelitian bagi pemerintah, masyarakat awam dan akademisi. Kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kegunaan penelitian bagi pemerintah Penelitian ini dapat digunakan sebagai media evaluasi pemerintah dan dapat memberikan sumbangsih dalam menyusun program KF, sehingga materi yang diberikan dapat tepat guna dan mampu mengentaskan buta aksara secara jangka panjang. b. Kegunaan penelitian bagi masyarakat awam Bagi masyarakat awam, penelitian ini dapat menambah wawasan masyarakat mengenai peran program KF dalam mempertahankan kemelekan aksara. c. Kegunaan penelitian bagi akademisi Bagi akademisi, khususnya yang mendalami bidang ini, diharapkan dapat memberikan sumbangsih pemikiran, serta dapat dijadikan landasan bagi penelitian maupun kegiatan akademis lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
5
2 PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pemberdayaan Masyarakat Kata “empower” mengandung dua arti. Pertama adalah memberi kekuasaan dan kedua memberikan kemampuan. Dalam pengertian pertama, diartikan sebagai memberi kekuasaan, mengalihkan kekuatan, atau mendelegasikan otoritas ke pihak lain. Pengertian kedua diartikan upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan (Oxford English Dictionary dikutip Priyono dan Pranarko 1996). Pemberdayaan masyarakat diartikan sebagai upaya mempersiapkan masyarakat seiring dengan upaya memperkuat kelembagaan masyarakat agar rakyat mampu mewujudkan kemajuan, kemandirian, dan kesejahteraan dalam suasana keadilan sosial yang berkelanjutan (Sumodiningrat 1999). Ife (1995) mengungkapkan pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung. Payne dalam Nasdian (2007) menjelaskan bahwa pemberdayaan ditujukan untuk membantu klien memperoleh daya (kuasa) untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Memberdayakan warga komunitas merupakan masalah tersendiri yang berkaitan dengan hakikat dari power, serta hubungan antar individu atau lapisan sosial yang lain. Pada dasarnya setiap individu dan kelompok memiliki daya, akan tetapi kadar daya itu akan berbeda antara satu dengan lainnya. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait, antara lain: pengetahuan, kemampuan, status, dan gender. Pengukuran keberhasilan dari suatu pemberdayaan dapat dilakukan dengan melihat dari adanya indikator keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat. Terdapat lima indikator keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat, antara lain: 1) berkurangnya jumlah penduduk miskin. 2) berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. 3) meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya. 4) meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha produktif anggota dan
6
kelompok lain di dalam masyarakat. 5) serta meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai oleh peningkatan pendapatan keluarga miskin yang
mampu
memenuhi
kebutuhan
pokok
dan
kebutuhan
sosial
dasarnya
(Sumodiningrat 1999).
2.1.2 Perempuan dan Pendidikan Menurut UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan merupakan sarana untuk menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas tinggi, baik dalam menghadapi kehidupan sehari-hari maupun dalam menghadapi tantangan multidimensional, dengan adanya sumber daya manusia yang bermutu maka dengan sendirinya akan mampu bersaing dengan sumber daya manusia negara lain, mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi handal yang sangat diperlukan untuk membangun masa depannya, serta mampu berpartisipasi bersama masyarakat membangun bangsa dan negara melalui berbagai ilmu, budaya seni, dan teknologi untuk mengatasi segala kendala dan masalah yang ada (Inayah 2007). Merujuk pada penjelasan di atas, sangat jelas terlihat bahwa pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam meningkatkan pembangunan di suatu negara. Pendidikan yang baik akan menghasilkan pembangunan dan sumber daya manusia yang baik juga. Banyak kasus ditemukan pada beberapa negara, anak perempuan menerima pendidikan yang jauh lebih sedikit dari pada anak laki-laki. Hal tersebut ditunjukkan oleh UNESCO yang menyatakan hampir dua pertiga dari seluruh jumlah penduduk, perempuan di dunia masih buta huruf. Keluarga yang mempunyai anak perempuan kebanyakan hanya akan menyekolahkan anak laki-lakinya terlebih dahulu, bahkan ditemui perempuan tidak diperkenankan mengenyam pendidikan karena adat istiadat atau tradisi mereka tidak menginginkan anak perempuan bersekolah (Empowering Women 2005). Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai masalah tersebut. Pendidikan di Indonesia masih menjadi sesuatu yang mahal bagi perempuan. Kesenjangan pendidikan antar gender diperkuat dengan data Badan Pusat Statistik dan Departemen Pendidikan Nasional tahun 2009 tercatat dari sekitar 8,7 juta penyandang buta aksara, 64 persen adalah perempuan berusia diatas 15 tahun. Meskipun dari
7
berbagai hasil penelitian menunjukkan setiap tahunnya terjadi penurunan buta aksara, namun hingga saat ini penyandang buta aksara pada perempuan tetap lebih tinggi dari pada laki-laki. Pernyataan ini dipertegas Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) yang menyatakan, dilihat dari perspektif gender, disparitas buta aksara antara laki-laki dan perempuan masih relatif besar dan kelompok perempuan miskin yang buta aksara lebih besar daripada penduduk laki-laki. Banyaknya perempuan yang buta huruf membuat mereka memiliki akses yang minim untuk berinteraksi sosial dan mendapatkan pekerjaan, mereka hanya mampu bekerja dalam sektor pertanian, pembantu rumah tangga, maupun pedagang yang tidak memerlukan tingkat pendidikan tertentu. Hal tersebut berakibat pada penghasilan yang sedikit, sehingga menyebabkan mereka masuk dalam kemiskinan. Dari laporan UNESCO tentang pendidikan dunia, bahwa di kawasan-kawasan termiskin dunia, kaum wanita terkunci dalam suatu lingkaran dengan ibu-ibu yang buta huruf, mengasuh dan membesarkan anak-anak perempuan yang buta huruf yang dikawinkan terlalu muda, lalu memasuki deretan lain yaitu kemiskinan, kebutahurufan, kesuburan yang tinggi dan kematian dini (Inayah 2007). UNESCO menunjukkan bahwa kemiskinan di dunia ini bercirikan perempuan, hal tersebut terbukti dari 1,3 milyar orang yang hidup miskin di dunia ini, 70 persennya adalah perempuan. Disini terlihat bahwa kemiskinan dan pendidikan saling mempengaruhi dan mayoritas penyandang buta aksara adalah perempuan. Hal ini menjadi permasalahan besar, karena indikator untuk mencapai keberhasilan pembangunan yaitu harus adanya pemerataan dari berbagai sektor tanpa membeda-bedakan antara perempuan dan laki-laki. Keaksaraan adalah hak dan kunci menuju hak yang lain, serta memberikan bukti tentang multipersonal, manfaat sosial dan ekonomi (UNESCO 2007). Melek huruf (literacy) dapat diinterpretasikan juga sebagai sumber pemberdayaan perempuan. Melek huruf memberikan akses terhadap pengetahuan tertulis yang dapat dianggap sebagai suatu kekuatan (Priyono dan Pranarko 1996). Lebih lanjut Atmaja (2007) mengungkapkan, memelekhurufkan dan melek budaya, ditujukan agar perempuan memiliki kemampuan dalam membantu dirinya sendiri keluar dari buta aksara, serta memiliki kemampuan mengembangkan kemandirian dalam melakukan tugas-tugas pendidikan dalam keluarga, masyarakat dan negara. Memberdayakan perempuan melalui pendidikan merupakan salah satu cara yang efektif dan merupakan investasi asset bangsa. World Resources (1994) sebagaimana
8
dikutip oleh Todaro (2006), mengungkapkan berbagai penelitian di negara berkembang secara konsisten memperlihatkan bahwa ekspansi dalam pendidikan perempuan memberikan tingkat pengembalian yang paling tinggi di antara semua jenis investasi. World Bank (1998) sebagaimana dikutip oleh Todaro (2006), mempersempit kesenjangan gender dalam pendidikan dengan memperluas kesempatan pendidikan bagi kaum perempuan sangat menguntungkan secara ekonomis karena empat alasan, antara lain: 1) tingkat pengembalian (rate of return) dari pendidikan kaum perempuan lebih tinggi daripada tingkat pengembalian pendidikan pria di kebanyakan negara berkembang. 2) peningkatan pendidikan kaum wanita tidak hanya menaikkan produktivitas di lahan pertanian dan di pabrik, tetapi juga meningkatkan pertisipasi tenaga kerja, pernikahan yang lebih lambat, fertilitas yang lebih rendah, dan perbaikan kesehatan serta gizi anak-anak. 3) kesehatan dan gizi anak-anak lebih baik serta ibu yang lebih terdidik akan memberikan dampak pengganda (multiplier effect) terhadap kualitas anak bangsa selama beberapa generasi yang akan datang. 4) karena kaum wanita memikul beban terbesar dari kemiskinan dan kelangkaan lahan garapan yang melingkupi masyarakat di negara berkembang, maka perbaikan yang signifikan dalam peran dan status perempuan melalui pendidikan dapat mempunyai dampak penting dalam memutuskan lingkaran setan kemiskinan serta pendidikan yang tidak memadai.
2.1.3 Program Keaksaraan Fungsional (KF) Direktorat Pendidikan Masyarakat (Dikmas) dan Direktorat Jendral Pendidikan Luar Sekolah (Ditjen PLS) mencetuskan Program Keaksaraan Fungsional (KF). KF merupakan bagian dari lingkup kegiatan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) yang dilaksanakan oleh Perkumpulan Kelompok Belajar Mengajar (PKBM) yang dipusatkan pada suatu wilayah sehingga mudah diakses oleh masyarakat setempat (Sihombing 1999). Program KF adalah sebuah pendekatan untuk mengembangkan kemampuan seseorang dalam menguasai dan mengembangkan kemampuan membaca, menulis, berhitung, mengamati dan menganalisis persoalan yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang ada pada diri dan lingkungannya (Lutfi 2007). Pelaksanaan program KF tidak serta merta hanya belajar membaca, menulis, dan menghitung, namun dilengkapi pula dengan tahapan lanjutan lainnya yang bertujuan memandirikan kemampuan melek aksara warga belajar. Sasaran dari program KF adalah warga belajar perempuan yang berusia 15-45 tahun dan berasal dari latar belakang ekonomi yaitu berasal dari penduduk miskin dan termajinalkan, sedangkan
9
jika dilihat dari sisi geografi mereka berasal dari daerah terpencil atau masyarakat pinggiran yang tidak berkesempatan memperoleh akses atau pelayanan pendidikan yang memadai (Aziz 2008). Menurut Depdiknas (2006) dalam Sulton (2008), untuk menyelenggarakan program KF dibutuhkan delapan prinsip utama pemahaman penyelenggaraan program ini, yaitu: 1. Konteks lokal, program dikembangkan berdasarkan konteks lokal yang mengacu pada konteks sosial lokal dan kebutuhan khusus pada setiap warga belajar dan masyarakat sekitar. 2. Desain lokal, merupakan rancangan kegiatan belajar yang dirancang oleh tutor dan warga belajar berdasarkan minat, kebutuhan, masalah, kenyataan, dan potensi atau sumber-sumber setempat. 3. Proses
partisipatif
adalah
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
evaluasi
penyelenggaraan program KFl harus dilakukan berdasarkan strategi partisipatif. 4. Fungsionalisasi hasil belajar, hasil belajar diharapkan warga belajar dapat memfungsikan keaksaraannya untuk menganalisasi dan memecahkan masalah keaksaraan yang dihadapi warga belajar. 5. Kesadaran, proses pembelajaran keaksaraan hendaknya dapat meningkatkan kesadaran dan kepedulian warga belajar terhadap keadaan dan permasalahan lingkungan untuk melakukan aktivitas kehidupannya. 6. Fleksibilitas, program KF harus fleksibel, agar memungkinkan untuk dimodifikasi sehingga responsif terhadap minat dan kebutuhan belajar serta kondisi lingkungan warga belajar yang berubah dari waktu ke waktu. 7. Keanekaragaman, hendaknya bervariasi dilihat dari segi materi, metode, maupun strategi pembelajaran sehingga mampu memenuhi minat dan kebutuhan belajar warga belajar di setiap daerah yang berbeda-beda. 8. Kesesuaian hubungan belajar, dimulai dari hal-hal yang telah diketahui dan dapat dilakukan oleh warga belajar, sehingga pengalaman, kemampuan, minat dan kebutuhan belajar menjadi dasar dalam menjalin hubungan yang harmonis dan dinamis antara turor dan warga belajar.
10
Kebutuhan belajar yang multilevel (beragam kemampuan) mengakibatkan program KF dikelompokkan dalam tiga tahap keaksaraan (Aziz 2008), yaitu: 1. Pemberantasan (basic literacy), terdapat beberapa metode dalam tahap ini, antara lain: 1. metode dasar. Metode pembelajaran bagi warga belajar buta aksara permulaan untuk meningkatkan kecakapan membaca dan menulis permulaan terutama pada keterampilan pemenggalan kata, suku kata, dan huruf-demi huruf untuk disusun kembali menjadi kalimat bermakna. 2. Metode driil. Belajar dengan cara melakukan latihan berulang-ulang baik membaca, menulis, dan berhitung. 3. Metode kata kunci. Pembelajaran ini merupakan penerapan pendekatan tematik dimana kata-kata kunci yang dipelajari harus sesuai dengan tema yang dikembangkan. Metode ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan warga belajar membuat kata baru dari suku kata yang telah dikenal. 4. Metode bahasa ibu. Ditujukan untuk meningkatkan keterampilan berbahasa indonesia melalui bahasa ibu. 2. Pembinaan (middle literacy). Tahap ini memiliki tiga bentuk model pembinaan, antara lain: 1. model belajar sambil bekerja 2. model belajar sambil beraksi 3. model kelompok belajar usaha 3. Pelestarian (self learning) atau mandiri, atau telah berada pada tingkat mandiri. Terdapat bentuk model pembinaan pada tahapan ini, antara lain: 1. model taman bacaan masyarakat 2. model arisan bersama 3. model paguyuban Ketiga tahapan di atas dilaksanakan secara berkelanjutan guna mencapai tujuan program KF yang optimal. Keberhasilan program KF menjadi cara terwujudnya pemberdayaan khususnya bagi penduduk buta aksara. Hasil belajar program KF dilakukan melalui mekanisme yang disesuaikan dengan SKK (Standar Kompetensi Keaksaraan). Warga belajar yang diperbolehkan mengikuti penilaian hasil belajar adalah mereka yang aktif mengikuti proses pembelajaran secara sistematis dan kontinu.
11
Warga belajar juga berhak mendapatkan Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA), sebagai bukti bahwa mereka telah melek aksara. Laporan akhir penyusunan data buta aksara oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan (Kemeneg PP) tahun 2005 menyatakan, terdapat beberapa kendala yang mempengaruhi penerimaan warga belajar terhadap ketiga pelaksanaan tersebut. Kendala penerimaan warga belajar atas program lanjutan KF antara lain rendahnya motivasi masyarakat, kesibukan pada pekerjaan domestik atau publik, dan masih melekatnya pengaruh budaya patriarki dengan anggapan-anggapan dikriminasi perempuan dalam pendidikan (Meneg PP 2005).
2.1.3.1 Tantangan dan Hambatan Pelaksanaan Program KF Selama ini, pemerintah melakukan evaluasi terhadap program KF dan menyebutkan bahwa program KF dinilai berhasil dalam mengurangi jumlah buta huruf perempuan sesuai dengan tujuan program. Hal ini terlihat dari data BPS mengenai angka buta aksara yang tiap tahunnya menurun, namun data tersebut tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Strategi dan metode pembelajaran yang dipakai dalam program KF tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat sehingga hasilnya bersifat sementara dan kurang memberdayakan warga belajar. Program KF yang tidak berhasil mengentaskan buta aksara dan bersifat sementara, seperti halnya penelitian yang telah dilakukan di Kelurahan Sukadamai dan kampung Cibago. Penelitian di Kelurahan Sukadamai menyatakan keberhasilan program KF berdasarkan hasil tes kemampuan keaksaraan pada warga belajar KF gagal dalam mempertahankan kelanggengan kemampuan warga belajar, karena hanya terdapat 17,1 persen warga yang kemampuan keaksaraan tinggi atau hanya enam orang yang mampu membaca dan menulis. Kebanyakan responden telah kembali buta aksara atau sudah lupa pada pelajarannya, selain itu mereka memang belum sepenuhnya melek aksara (Sulton 2008). Begitu pula yang terjadi di Kampung Cibago, orang yang pernah mengikuti program keaksaraan dasar, setelah beberapa waktu, kembali menjadi orang yang buta aksara (Kusmiadi 2007).
Dirjen Pendidikan Non Formal dan Informal
(PNFI) Kemdiknas (2010) mengakui angka buta aksara kembali warga belajar yang sudah dibelajarkan melalui program pendidikan keaksaraan dasar masih cukup besar. Kegagalan yang dialami, dikarenakan waktu belajar yang hanya sebentar dan tidak adanya evaluasi ataupun monitoring setelah kegiatan KF selesai, sehingga warga belajar
12
tidak memanfaatkan pengetahuan keaksaraannya dalam jangka panjang dan terjadi buta aksara kembali. Program KF lainnya yang dinilai tidak berhasil yaitu dalam pemberian keterampilan dengan memanfaatkan keahlian keaksaraan yang telah didapatkan warga belajar guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan menghindari terjadinya buta aksara kembali. Dalam beberapa kasus yang ditunjukkan pada hasil penelitian di Desa Bades dan Desa Kedungjati warga belajar telah berhasil melek aksara dan memiliki keterampilan yang memadai, namun keterampilan yang diberikan selama program berlangsung, pada akhirnya sama sekali tidak terpakai. Hal ini dikarenakan adanya kendala modal untuk memulai keterampilan tersebut (Wahyuni T. et al. 2010 ; Aziz 2008). Dihawatirkan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung tidak dimanfaatkan dalam jangka panjang bisa menimbulkan buta aksara kembali. Program KF tersebut dianggap gagal karena dengan tidak terpakainya keterampilan yang telah diberikan, yang berarti tujuan untuk meningkatkan ekonomi dan kemandirian warga belajar pun tidak akan tercapai. Kegagalan terjadi pula dalam penelitian di Desa Gadingkulon. Hambatan di dalam pelaksanaan program pendidikan Keaksaraan Fungsional adalah dalam proses pembelajaran membaca dan menulis, di mana masyarakat sebagai warga belajar kebanyakan kesulitan mengatakan dan menulis dengan bahasa Indonesia, karena bahasa komunikasi sehari-hari dengan bahasa Jawa (Irwan 2007). Sebaiknya program KF dilakukan dengan menggunakan bahasa ibu (bahasa Jawa) terlebih dahulu agar lebih dipahami oleh warga belajar. Hambatan-hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan KF yang menjadi penghambat keberhasilan KF, antara lain: penelitian di Depok, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan NTT menunjukkan beberapa hambatan tersebut yaitu minimnya anggaran yang tersedia dalam setiap melaksanakan program-program yang telah direncanakan yang menyebabkan kinerja tenaga di lapangan kurang aktif, keterbatasan tenaga lapangan, sehingga tidak bisa intens dalam pendampingan selanjutnya, serta kurangnya dukungan dari pemerintah dan berbagai pihak lainnya (Rizky 2008 ; Wahyuni ES. et al. 2005).
13
2.2 Kerangka Pemikiran Pentingnya pendidikan untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas dan meningkatkan pembangunan, maka dicetuskanlah Program Keaksaraan Fungsional (KF) yang sasarannya adalah perempuan buta aksara umur 15-45 tahun. Tujuan dari program KF adalah penguasaan membaca, menulis dan berhitung menjadi syarat mutlak untuk menguasai keterampilan dalam rangka peningkatan kualitas hidup. Pelaksanaan program KF tidak serta merta hanya belajar membaca, menulis, dan menghitung, namun dilengkapi pula dengan tahapan lanjutan lainnya yang bertujuan memandirikan kemampuan melek aksara warga belajar. Tahapan program KF mencakup 1) pemberantasan yaitu pengentasan buta aksara, 2) pembinaan yaitu pemberian keterampilan untuk pemberdayaan ekonomi dan kemandirian, 3) pelestarian yaitu pembinaan pasca program. Banyaknya program KF yang tidak melakukan tahapan ketiga, yaitu tahapan pelestarian. Hal itu dikarenakan banyaknya hambatan-hambatan, seperti kurangnya dana untuk pelaksanaan tahap pelestarian, dan tidak tersedianya tutor untuk mengajar. Kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara dipengaruhi oleh tahapan-tahapan di atas. Semakin lengkap tahapan yang dilakukan program KF, maka semakin tinggi kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara. Pencapaian dan tidak tercapainya pemberdayaan perempuan dalam program KF dipengaruhi oleh tahapan program KF, karakteristik warga belajar, dan dukungan dari lingkungan tempat tinggal. Karakteristik warga belajar yaitu usia warga belajar, umur warga belajar, jumlah anak warga belajar, status perkawinan warga belajar, jenis pekerjaan warga belajar, dan motivasi warga belajar. Tahapan program KF dilihat dari adanya tahapan pemberantasan, pembinaan dan pelestarian dari program KF. Program KF baru bisa dikatakan berhasil dalam memberdayakan perempuan di mana saat warga belajar mampu mempertahankan kemampuan aksara mereka, dan mampu menerapkan kemampuan keaksaraan mereka untuk meningkatkan penghasilan warga belajar. Hal ini dipertegas oleh Suyono (2006) mengungkapkan pendidikan hanya layak diklaim berhasil sejauh ia mampu menciptakan manusia-manusia mandiri dan bermartabat, yang keberadaannya dapat memberikan manfaat terhadap keluarganya, orang lain dan lingkungannya.
14
Program Keaksaraan Fungsional (KF)
Output Kemampuan Keaksaraan ‐ Membaca ‐ Menulis ‐ Berhitung
Pemberdayaan Perempuan Tahapan Program KF 1. Tahap pemberantasan 2. Tahap Pembinaan 3. Tahap Pelestarian
1. Mampu mempertahankan kemampuan aksaraan 2. Meningkatnya ekonomi warga belajar
Karakteristik Individu 1. Umur 2. Status pernikahan 3. Jumlah anak 4. Pendidikan 5. Pekerjaan 6. Motivasi warga Dukungan dari lingkungan tempat tinggal
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Peran Program Keaksaraal Fungsional dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Keterangan
: Mempengaruhi. : Batasan penelitian penulis
15
2.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, dapat diajukan beberapa hipotesis sebagai berikut: 1. Diduga semakin lengkap tahapan program KF yang dijalankan, semakin tinggi kemampuan warga untuk mempertahankan kemampuan aksara. 2. Diduga terdapat hubungan antara karakteristik individu dengan pencapaian pemberdayaan perempuan. 3. Diduga terdapat hubungan antara dukungan dari lingkungan tempat tinggal dengan pencapaian pemberdayaan perempuan.
2.4 Definisi Konseptual 1. Keaksaraan Fungsional (KF) adalah program pemberantasan buta aksara dengan sasaran program warga masyarakat dengan usia 15-45 tahun yang dilaksanakan dalam bentuk kelompok belajar yang terdiri dari warga belajar dengan belajar membaca, menulis, dan berhitung. 2. Kemampuan aksara adalah kemampuan yang dimiliki warga belajar setelah mengikuti program KF yang meliputi kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. 3. Warga belajar adalah warga masyarakat buta aksara yang berjenis kelamin perempuan, berusia 15-45 tahun, bertempat tinggal di sekitar lingkungan diadakannya program KF, tercatat sebagai anggota belajar program KF, dan memiliki Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA).
2.5 Definisi Operasional Definisi operasional yang digunakan dari masing-masing variabel dalam menguji hipotesis penelitian ini, antara lain: 1. Umur adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan masyarakat dari lahir hingga sekarang (dinyatakan dalam tahun). a. (16 tahun ≥ x ≥ 45 tahun) b. x > 45 tahun
16
2. Status pernikahan adalah keterikatan dan tanggung jawab warga belajar terhadap perannya dalam keluarga. a. Belum Menikah b. Menikah c. Janda 3. Jumlah anak adalah keseluruhan yang dimiliki dan menjadi tanggungan bagi warga belajar. a. 0-2 anak dan tidak memiliki balita b. 3-5 anak dan tidak memiliki balita c. 6-8 anak dan tidak memiliki balita d. Memiliki Balita 4. Pekerjaaan merupakan mata pencaharian atau usaha yang dilakukan untuk mendapatkan penghasilan. a. Bekerja b. Tidak bekerja 5. Motivasi warga adalah bentuk usaha yang ada dalam diri warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki oleh warga belajar. Diukur berdasarkan skor. Skor 2 diberikan pada tiap bentuk usaha yang dilakukan oleh warga belajar, dan skor 1 bila satu bentuk usaha tidak dilakukan sama sekali. a. Rendah
: 1-2
b. Tinggi
: 3-4
6. Tahap Pemberantasan (basic literacy) adalah tahapan di mana warga belajar diajari membaca, menulis, dan berhitung, sehingga warga memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. a. Dilaksanakan b. Tidak dilaksanakan 7. Tahap pembinaan (middle literacy), adalah tahapan di mana warga diberikan keterampilan guna memfungsikan kemampuan aksara warga warga belajar untuk meningkatkan ekonomi warga belajar. a. Dilaksanakan b. Tidak dilaksanakan
17
8. Tahap pelestarian (self learning) adalah tahapan pembinaan setelah program berakhir
yang
fungsinya
untuk
memelihara,
mempertahankan,
atau
mengembangkan kemampuan aksara warga belajar, dalam menerapkan program KF yaitu dengan membangun perpustakaan, arisan bersama, membentuk paguyuban, dan tersedianya tutor. a. Dilaksanakan b. Tidak dilaksanakan 9. Dukungan dari lingkungan tempat tinggal
adalah bentuk perhatian yang
diberikan dari orang-orang yang berada di sekitar warga belajar, yaitu lingkungan keluarga. Diukur berdasarkan skor. Skor 2 diberikan pada tiap bentuk perhatian yang diberikan keluarga, dan skor 1 bila satu bentuk perhatian tidak diberikan. a. Rendah
: skor 1-3
b. Tinggi
: skor 4-6
10. Mampu mempertahankan kemampuan aksara yaitu kemampuan membaca, menulis, dan berhitung dengan benar dengan jenjang waktu minimal setahun dari warga belajar lulus program KF. Skor 2 diberikan pada setiap warga belajar yang masih mampu mempertahankan kemampuan aksaranya. Skor 1 diberikan pada warga yang buta aksara kembali. Skor diberikan pada tiap-tiap kemampuan aksara yaitu membaca, menulis, dan berhitung. a. Rendah
: skor 1-3
b. Tinggi
: skor 4-6
11. Peningkatan ekonomi merupakan perubahan penghasilan ekonomi warga belajar sesudah mengikuti program KF. Perubahan pendapatan diukur pernyataan warga yang menyatakan keadaan ekonomi dan sesudah mengikuti program KF . 1=jauh lebih buruk 2=lebih buruk 3=tidak ada perbedaan 4=lebih baik 5=jauh lebih baik
18
3 PENDEKATAN LAPANGAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di Desa Citapen Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor (Lampiran 4), dengan mengambil responden warga belajar yang telah lulus atau sudah mendapat serifikat SUKMA dari program KF yang berada di bawah naungan Perkumpulan Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM) Saraga Lekas Insan Mandiri (SLIM). Lokasi ini dipilih secara purposive (sengaja) dengan mempertimbangkan Kecamatan Ciawi memiliki 3.000 orang buta aksara dan merupakan lokasi terpilih untuk program pemberdayaan perempuan yaitu program KF. Pengumpulan data sekunder dan data primer dilakukan pada akhir bulan Maret sampai pertengahan April 2011 selama empat minggu. Pengolahan data dan analisis data dilakukan selama empat minggu sampai pertengahan Mei 2011, hasil penulisan laporan dilakukan pada akhir bulan Mei sampai akhir bulan Juni 2011. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal skripsi, kolokium, pengambilan data lapangan, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian yang dilakukan dari bulan Februari sampai Juli 2011.
3.2 Teknik Penentuan Responden dan Informan Subjek dalam penelitian ini dibedakan menjadi responden dan informan. Populasi dalam penelitian ini adalah warga belajar KF PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri (SLIM) di Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor yang telah memiliki Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA) dan telah lulus dari program KF setahun yang lalu yaitu berjumlah 50 orang. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu. Pengambilan sampel yang digunakan adalah pengambilan Sampel Random Distratifikasi (Stratified Random Sampling), karena responden yang diteliti tidak homogen yaitu terdiri dari warga belajar yang hanya melewati program KF Tahap I, warga belajar yang telah melewati program KF sampai Tahap II, dan warga belajar yang telah melewati program KF sampai Tahap III. Pertama-tama warga belajar dibagi ke dalam sub-sub tahapan program KF yang pernah dilalui oleh warga belajar, sehingga satuan-satuan elementer dalam masing-masing
19
sub-populasi menjadi homogen yaitu kelompok belajar Dahlia 2 (Tahap I) terdiri dari 16 orang, Dahlia 15 (Tahap II) terdiri dari 17orang, dan Dahlia 8 (Tahap III) terdiri dari 17 orang. Kemudian dilakukan pengambilan sampel secara random sederhana pada setiap subpopulasi, sampel random (acak) sederhana adalah sebuah sampel yang diambil sedemikian rupa sehingga tiap unit penelitian atau satuan elementer dari populasi mempunyai kesempatan atau peluang yang sama untuk terpilih sebagai sampel. Ukuran sampel yang diambil tidak proposional yaitu 15 orang untuk setiap sub-populasi, sehingga diperoleh 45 orang menjadi responden penelitian. Metode pengambilan sampel acak sederhana dalam penelitian ini dilakukan dengan cara undian. Informan dalam penelitian ini dipilih secara purposive (sengaja) dengan teknik bola salju (snowball sampling). Informan dalam penelitian ini adalah para pengurus atau pihak yang terkait dengan program KF PKBM SLIM. Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak tiga orang, yaitu Aziz Muslim selaku ketua program KF, Hendriawan selaku sekertaris, dan Noni selaku penanggung jawab kegiatan belajar mengajar, serta menjadi tutor Dahlia 8.
3.3 Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini adalah penelitian explanatory dengan menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung oleh data kualitatif. Pendekatan kuantitatif dipilih untuk mencari informasi faktual yang sedang menggejala secara mendetail dan mengidentifikasi masalahmasalah atau untuk mendapatkan justifikasi kegiatan-kegiatan yang sedang berjalan. Pendekatan kuantitatif dilakukan menggunakan metode survei. Penggunaan metode survei pada penelitian ini memanfaatkan kuesioner sebagai alat untuk mengumpulkan data penelitian dari sejumlah sampel dalam sebuah populasi (Singarimbun 2006). Pendekatan ini juga dilakukan untuk mengetahui keberhasilan program KF dalam mempertahankan kemelekan aksara. Pengisian kuesioner dilakukan dengan teknik wawancara kepada responden, hal ini dilakukan agar peneliti juga dapat melakukan wawancara mendalam sekaligus terkait hal-hal yang diperlukan yang berada didalam kuesioner (Lampiran 3). Data kualitatif juga digunakan sebagai pendukung pendekatan kuantitatif melalui teknik wawancara mendalam kepada informan untuk melengkapi kebutuhan data primer penelitian. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan panduan pertanyaan
20
(Lampiran 3), di mana pertanyaan yang diajukan kepada semua informan yaitu pertanyaan yang sama yang menyangkut penjelasan umum. Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi warga belajar dan keberhasilan program KF dalam mempertahankan kemampuan aksara. Data sekunder adalah data umum lokasi penelitian, hasil penelitian terkait dan data-data yang relevan dengan penelitian. Data sekunder diperoleh instansi terkait yaitu PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri, dan Badan Pusat Statistik (BPS).
3.3 Teknik Pengolahan dan Analisis Data Teknik pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan perlakuan yang berbeda sesuai jenis data yang diperoleh. Langkah awal yang dilakukan adalah pembersihan data pada data primer yang diperoleh melalui metode kuantitatif yaitu hasil dari penyebaran kuesioner di lapangan. Pembersihan data yaitu mengecek ulang kelengkapan jawaban pada kuesioner dan mengevaluasi kuesioner yang telah diisi. Kuesioner yang sudah melewati tahap pembersihan data, selanjutnya dilakukan proses editing dan pengkodean terlebih dahulu, kemudian dilakukan pemindahan dari daftar pertanyaan dan pernyataan ke buku kode dalam bentuk tabel Microsoft Excel 2007 yang telah disiapkan. Data-data tersebut kemudian diolah menggunakan Distribusi Frekuensi dan Tabulasi Silang untuk menguji dan mendeskripsikan masalah penelitian yang ada, sedangkan untuk data sekunder dianalisis dengan melakukan rangkuman (reduksi data), penyajian data dalam bentuk kutipan maupun uraian singkat, serta menarik kesimpulan.
21
4 GAMBARAN LOKASI PENELITIAN 4.1 Profil Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor 4.1.1
Kondisi Geografis Desa Citapen, Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor berbatasan dengan desa-desa
Banjarsari di sebelah Utara, Cileungsi di sebelah Selatan, Cideurum di sebelah Barat dan Cibedug di sebelah Timur (Lampiran 4). Desa ini berjarak sekitar 2 km dari ibukota kecamatan, 30 km dari ibukota kabupaten, dan 120 km dari ibukota provinsi yaitu Bandung. Akses masuk ke desa Citapen mudah dicapai dengan berbagai jenis kendaraan, termasuk angkutan umum seperti angkot atau ojek. Luas wilayah Desa Citapen adalah 268.660 ha, yang diperuntukkan untuk pemukiman sebesar 110.366 ha, luas tanah sawah 140 ha, kebun 2.804 ha, sarana olah raga 1,2 ha, sarana pendidikan 0,250 ha, dan perkantoran sebesar 0,040 ha.
4.1.2 Jumlah dan Karakteristik Penduduk Desa Citapen terdiri dari 26 RT (Rukun Tetangga), 7 RW (Rukun Warga), dan 2 dusun yaitu Dusun Citapen dan Dusun Kampung Pondok Menteng. Jumlah penduduk di Desa Citapen sebanyak 8.464 jiwa dan mereka tinggal bersama dalam 2.145 kepala keluarga (KK). Sebaran penduduk di setiap Rukun Warga (RW) adalah RW satu sebanyak 264 KK, RW dua sebanyak 352 KK, RW tiga sebanyak 319 KK, RW empat sebanyak 340 KK, RW lima sebanyak 255 KK, RW enam sebanyak 339 KK, dan RW tujuh sebanyak 276 KK. Mayoritas penduduk desa ini berada pada usia produktif (15 – 64 tahun), sedangkan penduduk yang berada pada usia tidak produktif (0 – 15 tahun dan 65 tahun ke atas) sebesar 47,8 persen. Sebaran penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 12.
2 Sebaran Penduduk Desa Citapen Kecamatan Cawi, Kabupaten Bogor menurut Kelompok Umur Tahun 2011 (dalam Jumlah dan Persen). Desa Citapen Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor merupakan tempat penelitian yang dipilih. Pada tabel selanjutnya, Desa Citapen Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor akan disebut dengan Desa Citapen.
22
Tabel 1 Sebaran Penduduk Desa Citapen Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor menurut Umur Tahun 2010 (dalam Jumlah dan Persen) Laki-Laki
Perempuan
Total
No.
Umur (Tahun)
1
0–4
471
10,6
447
11,1
918
11
2
5–9
475
10,7
451
11,2
926
11,3
3
10 – 14
418
9,4
444
11
862
10,2
4
15 – 19
561
12,7
444
11
1 005
12
5
20 – 24
408
9,2
418
10,3
626
7,4
6
25 – 29
360
8,2
335
8,3
695
8,2
7
30 – 34
218
4,9
287
7,2
505
6,3
8
35 – 39
333
7,5
286
7,1
619
7,3
9
40 – 44
272
6,2
248
6,1
520
6,5
10
45 – 49
227
5,2
155
3,8
382
4,5
11
50 – 54
212
4,8
196
4,9
408
5,5
12
55 – 59
174
3,9
113
2,8
287
3,4
13
60 – 64
84
1,9
63
1,6
147
1,7
14
65 – 69
72
1,6
43
1,1
115
1,5
15
70
140
3,2
99
2,5
239
3,2
4 425
100
4 039
100
8 464
100
Jumlah
Jumlah (Orang)
%
Jumlah (Orang)
%
Jumlah (Orang)
%
Sumber: Data Monografi Desa Citapen Kecamatan Ciawi Tahun 2010
Banyaknya penduduk pada usia produktif merupakan potensi sumber daya manusia Desa Citapen. Hal ini dapat di jadikan kekuatan untuk meningkatkan perekonomian desa tersebut. Meskipun demikian, banyaknya jumlah penduduk dengan usia produktif dapat pula menjadi penghambat bagi peningkatan ekonomi di desa tersebut apabila tingkat pendidikan penduduk tersebut rendah, selain itu hal ini juga di tentukan oleh banyaknya lapangan kerja yang dapat menyerap jumlah penduduk dengan usia produktif tersebut. Tingkat pendidikan dan mata pencaharian penduduk di Desa Citapen, akan dijelaskan lebih lanjut. Tingkat pendidikan penduduk Desa Citapen masih rendah karena lebih dari 50 pensen hanya berpendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah, dan hanya 3,3 persen
23
berpendidikan tinggi (Tabel 2). Rendahnya pendidikan di Desa Citapen di sebabkan antara lain oleh minimnya sarana pendidikan formal dan informal yang ada. Sarana pendidikan di desa ini hanya sebuah TK (Taman Kanak-kanak) dan 2 buah SD (Sekolah Dasar). Anakanak Desa Citapen yang ingin melanjutkan ke SMP (Sekolah Menengah Pertama) dan SMA (Sekolah Menengah Atas) harus ke Desa Banjarsari, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Jarak ke Desa Banjarsari sekitar 1 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor, baik kendaraan umum atau pribadi, selama sekitar 20 menit.
Tabel 2 Sebaran Penduduk Desa Citapen menurut Tingkat Pendidikan Tahun 2010 (dalam Jumlah dan Persen) No.
Tingkat Pendidikan
Total Jumlah (Orang)
%
1.
Tidak Pernah Sekolah
967
24,3
2.
Tidak Tamat Sekolah Dasar (SD)
125
3,1
3.
Tamat SD / Sederajat
1 066
26,8
4.
SLTP / Sederajat
951
23,8
5.
SLTA / Sederajat
744
18,7
6.
D1-S3
130
3,3
3 949
100
Jumlah Sumber: Data Monografi Desa Citapen Kecamatan Ciawi Tahun 2010
Banyaknya penduduk Desa Citapen yang tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD menimbulkan masalah tersendiri bagi desa ini yaitu masih banyaknya penduduk Desa Citapen yang masih buta aksara, terutama pada perempuan yang berusia 15 tahun ke atas. Faktor inilah yang menyebabkan banyak di laksanakan program Keaksaraan Fungsional (KF) di setiap RT / RW Desa Citapen, yang bertujuan membebaskan penduduk dari buta aksara. Hal ini di lakukan agar dapat memaksimalkan potensi sumber daya manusia yang ada di Desa Citapen untuk memajukan desa tersebut.
24
4.1.3 Kondisi Ekonomi dan Matapencaharian Penduduk Potensi umum Desa Citapen yaitu terdapat luasnya lahan sawah dan perkebunan, selain itu terdapatnya industri kecil yaitu insudtri kerajinan yang menyerap tenaga kerja penduduk yang berumur 15 – 22 tahun. Desa Citapen memiliki penduduk yang masuk dalam kategori penduduk miskin, jumlah penduduk miskin yaitu sebanyak 517 KK atau 1.707 orang. Banyaknya penduduk miskin di Desa Citapen menyebabkan pemerintah desa melaksanakan program-program kemiskinan yaitu program Bantuan Tunai Langsung (BLT), Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS), dan pembagian Beras Miskin (Raskin) bagi penduduk desa yang kurang mampu.
Tabel 3 Sebaran Penduduk Desa Citapen menurut Mata Pencaharian Tahun 2010 (dalam Jumlah dan Persen) No
Jenis Mata Pencaharian
Total Jumlah (Orang)
%
1 950
49,9
1.
Buruh tani
2.
Petani
710
18,2
3.
Pegawai Negeri/Swasta/TNI/POLRI
403
10,3
4.
Buruh Industri Kerajinan
320
8,1
5.
Berbagai jenis buruh
250
6,4
6.
Supir
120
3,1
7.
Pedagang Kecil
76
1,9
8.
Tukang Bangunan
75
1,9
9.
Peternak
8
0,2
3 912
100
Jumlah Sumber: Data Monografi Desa Citapen Kecamatan Ciawi Tahun 2010
Mata pencaharian utama penduduk desa ini adalah sebagai buruh tani, yaitu sebesar 49,9 persen, petani 18,2 persen, pegawai negeri/swasta/TNI/POLRI 10,3 persen, berbagai jenis pekerjaan buruh dan buruh industri kerajinan 14,6 persen, supir 3,1 persen, pedagang kecil 1,9 persen, tukang bangunan 1,9 persen, dan peternak ayam dan kambing 0,2 persen
25
(Tabel 3). Jenis mata pencaharian penduduk tersebut menggambarkan tingkat pendapatan yang rendah. Penduduk desa ini selain bekerja di dalam desa, sebagian juga bekerja di luar desa. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh di Jakarta.
4.2 Program Keaksaraan Fungsional (KF) 4.2.1
Program Keaksaraan Fungsional (KF) di Desa Citapen Seperti telah di jelaskan sebelumnya, banyak penduduk yang masih buta aksara di
desa ini. Tingginya jumlah penduduk usia produktif yang buta aksara tentunya kurang mendukung kepada pembangunan desa, sehingga berbagai upaya di lakukan untuk menguranginya. Salah satu upaya penanggulangan buta aksara adalah dengan program KF. Program KF yang ada di Desa Citapen datang dari instansi yang berbeda-beda, yaitu adanya program KF dari PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri (SLIM), mahasiswamahasiswa Universitas Pakuan yang sedang praktek kerja lapang, LPPM dari Universitas Djuanda, dan dari pemerintah desa. Program KF yang di adakan oleh mahasiswa Universitas Pakuan dan Universitas Djuanda tidak bersifat kontinu, kegiatan belajar mengajar yang di lakukan hanya selama empat bulan, atau hanya sampai pada Tahap I. Kegiatan ini terakhir dilaksanakan yaitu setahun yang lalu yaitu pada tahun 2010. Hal ini karena program KF yang di lakukan hanya selama jadwal praktek kerja lapang yang rentang waktunya tidak lama, selain itu tidak ada evaluasi kembali dan tidak ada keberlanjutan untuk melaksanakan tahapan program KF berikutnya. Program KF yang di adakan oleh PKBM SLIM merupakan salah satu program KF yang memiliki pencapaian baik di Desa Citapen dalam mengentaskan buta aksara. Hal ini di buktikan dengan adanya satu kelompok belajar yang telah melewati ketiga tahapan yang ada dan mayoritas dari warga belajar tersebut telah melek aksara hingga saat ini. Prestasi yang telah diraih oleh PKBM SLIM tidak dapat dilanjutkan untuk memberantas buta aksara pada penduduk Desa Citapen, hal ini karena pemerintah mencabut perizinan kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh PKBM SLIM setahun yang lalu. Kejadian ini sangat disayangkan oleh warga belajar, karena antusias yang di berikan warga belajar PKBM SLIM sangat besar.
26
Pencabutan perizinan kegiatan belajar mengajar yang di lakukan oleh pemerintah setempat kepada PKBM SLIM yaitu karena persaingan dari program KF yang di adakan di Desa Citapen. Dalam hal ini, pemerintah desa juga memiliki proyek program KF, melihat keberhasilan yang dilakukan oleh PKBM SLIM membuat pemerintah desa mencabut perizinan kegiatan belajar mengajar pada PKBM tersebut, dengan alasan pemerintah tersebut ingin mengembangkan penduduk desanya dengan program yang di adakan oleh pemerintah desa itu sendiri. Beberapa warga belajar yang mengikuti program KF PKBM SLIM, pada akhirnya diambil alih untuk mengikuti program KF yang di lakukan oleh pemerintah desa. Kegiatan program KF yang di lakukan oleh pemerintah desa tidak membuahkan hasil, terbukti kegiatan belajar yang di lakukan hanya sampai pada Tahap I dan tidak ada keberlanjutannya lagi hingga saat ini.
4.2.2
Program Keaksaraan Fungsional PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri (SLIM) Program Keaksaraan Fungsional (KF) PKBM SLIM merupakan kelompok belajar
program KF yang berada di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor. Terbentuknya PKBM ini dilatarbelakangi oleh banyaknya penduduk Kecamatan Ciawi yang mengalami buta huruf, yaitu sebanyak 3.000 warga. Pengukuhan PKBM SLIM pertama kali dilaksanakan pada tanggal 21 Maret 2009, dengan surat keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor Bidang Pendidikan Non Formal (PNF) Kasi Pendidikan Kemasyarakatan Nomor 421 / 4318 – Diklus, meskipun PKBM ini masih terbilang baru namun PKBM ini telah memiliki akreditasi A. Sumber dana yang dipakai oleh PKBM SLIM yaitu dana dekonsentrasi. Susunan PKBM SLIM terdiri dari pembina, pelindung, pembina teknis, serta pengurus PKBM SLIM (Gambar 2) yang memiliki tugas pokok masing-masing yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan guna menuju pada satu tujuan yaitu memberantas buta huruf pada perempuan usia 15 tahun keatas di Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Antusias penduduk sangat besar terhadap hadirnya PKBM SLIM, terbukti dengan terbentuknya 56 kelompok belajar yang dimiliki oleh PKBM SLIM, di beberapa di desa Kecamatan Ciawi. Dalam satu kelompok belajar memiliki satu orang tutor yang bertugas untuk menunjang aktivitas kegiatan warga belajar dalam kegiatan belajar mengajar. Kriteria
27
tutor dalam PKBM SLIM yaitu pendidikan tutor minimal SMA. Tutor yang terpilih akan melalui tahap pembekalan mengenai pengajaran KF terlebih dahulu selama dua minggu, setelah itu para tutor diperbolehkan untuk langsung turun ke tempat warga belajar. Para tutor dibekali beberapa modul yang harus dipelajari dan dijadikan acuan untuk mengajar, sebagian besar tutor yang terpilih yaitu tutor yang pernah atau masih mengajar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Tema-tema yang diajarkan dalam kegiatan belajar mengajar yaitu tema pendidikan keluarga dan anak, kesehatan, ekonomi dan pendapatan, serta kesadaran berwarga negara. Program KF seharusnya melalui tiga tahapan, yaitu Tahap I (tahap pemberantasan), Tahap II (tahap pembinaan), dan Tahap III (tahap pelestarian). Setiap tahapan yang dilewati oleh warga belajar akan dilakukan ujian, setelah melewati ujian warga belajar berhak mendapatkan Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA I, II, II) di setiap tahapan yang dilalui oleh warga belajar sebagai bukti bahwa mereka telah melek aksara. Banyaknya permasalahan dan hambatan di lapangan, menyebabkan hanya terdapat tiga kelompok belajar yang melewati ketiga tahapan diatas, selebihnya kelompok belajar hanya sampai pada Tahap I atau sampai pada Tahap II. Kelompok belajar yang berada di Desa Citapen terdapat tiga kelompok belajar, yaitu kelompok belajar Dahlia 2 (hanya sampai Tahap I), Dahlia 8 (Tahap I-III), dan Dahlia 15 (Tahap I dan Tahap II). Tempat kegiatan belajar mengajar PKBM SLIM di Desa Citapen yaitu dilaksanakan di mushola terdekat atau mushola yang memadai dan rumah warga belajar yang luasnya mampu menampung banyaknya warga belajar yang ada dalam satu kelompok. Hal ini menegaskan tidak adanya perhatian dari pemerintah untuk menyediakan tempat kegiatan belajar mengajar untuk program KF.
28
Gambar 2 Struktur Organisasi Penyelanggara PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri PEMBINA PELINDUNG PEMBINA TEKNIS Kasi PLS Dinas Pendidikan Camat Kec. Ciawi Penilik PLS Kec. Ciawi Kab. Bogor Drs. Tata Karwita, M.Pd HS. Zaenal Drs. Entub Kurtubi PENGURUS PKBM SARAGA LEKAS INSAN MANDIRI Ketua : Aziz Muslim Sekertaris : Hendriawan Bendahara : H. Asep Hambali KEAKSARAAN FUNGSIONAL Noni LIFE SKILL Lilis Sumber: Data PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri 2009
Kelompok belajar yang pertama adalah kelompok belajar Dahlia 2, kelompok belajar ini hanya melalui Tahap I atau tahapan pemberantasan. Tutor pada kelompok belajar ini bernama Teti. Jumlah warga belajar pada kelompok ini sebanyak 16 orang, selain itu kegiatan belajar mengajar dilakukan di mushola terdekat yaitu mushola Al-Iklas karena tidak ada rumah warga yang mencukupi kapasitas warga belajar, mushola ini berada dipinggri jalan raya. Kegiatan belajar mengajar pada kelompok ini berjalan selama tiga bulan. Terhentinya kelompok belajar hanya pada Tahap I dikarenakan rendahnya motivasi
29
warga belajar untuk melanjutkan kegiatan belajar ke tahap yang selanjutkan, sehingga kegiatan belajar mengajar terhenti hanya pada Tahap I. Kelompok belajar yang kedua yaitu kelompok belajar Dahlia 15, kelompok belajar ini hanya melalui dua tahapan yaitu tahapan pemberantasan dan tahapan pembinaan. Kelompok belajar ini memiliki tutor bernama Zumairah Rizky. Jumlah warga belajar pada kelompok ini sebanyak 17 orang. Kegiatan belajar mengajar dilakukan di rumah salah satu warga belajar yang luas rumahnya mencukupi untuk kegiatan belajar mengajar. Pada Tahap II, warga belajar dibekali berbagai keterampilan oleh program KF pada yaitu keterampilan menjahit dan memasang payet pada kerudung. Kegiatan belajar mengajar pada kelompok ini berjalan selama 4 sampai 5 bulan. Tidak lengkapnya tahapan yang dilalui oleh kelompok belajar ini dikarenakan adanya masalah dengan aparat desa setempat yang tidak mengizinkan adanya keberlanjutan dari kegiatan PKBM SLIM. Hal ini sangat disayangkan oleh warga belajar Dahlia 15, karena antusias warga belajar saat itu masih tinggi untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar. Kelompok belajar yang terakhir yaitu kelompok belajar Dahlia 8. Kelompok belajar ini melalui semua tahapan yang harus dilalui oleh kegiatan KF yaitu tahap pemberantasan, tahap pembinaan, dan tahap pelestarian. Tutor dalam kelompok belajar ini bernama Noni. Jumlah warga belajar pada kelompok ini sebanyak 17 orang selain itu kegiatan belajar mengajar dilakukan di rumah salah satu warga belajar. Pada Tahap II, warga belajar dibekali berbagai keterampilan oleh program KF pada kelompok ini yaitu membuat coklat, membuat tas manik, dan memasang payet pada kerudung. Kegiatan yang dilakukan pada tahap terakhir yaitu tahap pelestarian, tahap tersebut bertujuan mempertahankan kelanggengan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang telah dimiliki warga belajar. PKBM SLIM menyediakan taman bacaan pada tahap ketiga yang diperuntukan warga belajar untuk mencari informasi-informasi yang diinginkan sambil melatih dan melanggengkan kemampuan membaca, selain itu diadakan pula kegiatan arisan, kegiatan ini diharapkan dapat menumbuhkan percaya diri warga belajar dalam bersosialisasi dan memperlancar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Tutor masih disediakan pada tahap ketiga untuk mengevaluasi kemampuan warga belajar dan siap sedia apabila dibutuhkan warga belajar untuk menanyakan sesuatu hal yang berkaitan dengan kemampuan membaca, menulis dan berhitung. Ketiga tahapan tersebut dapat dilalui karena
30
adanya motivasi yang tinggi dari tutor itu sendiri untuk membangkitkan semangat warga belajar dalam memelekhurufkan warga belajar. Kegiatan belajar mengajar pada kelompok ini berjalan selama 5 sampai 6 bulan. Kelompok belajar yang telah melewati tahapan kedua yaitu kelompok belajar Dahlia 15 dan Dahlia 8 telah diberikan berbagai keterampilan. Setelah warga diberikan keterampilan-keterampilan tersebut, pihak PKBM bekerjasama dengan pabrik-pabrik industri kerajinan yang ada di Desa Citapen untuk menyalurkan kemampuan tersebut. Di sini warga ditugaskan memasang payet pada kerudung yang dikerjakan di masing-masing rumah warga belajar. Pekerjaan tersebut akan diserahkan pada pabrik di setiap minggunya. Warga belajar akan mendapatkan upah sesuai dengan banyaknya kerajinan yang dapat diselesaikan dalam per minggunya, satu kerajinan yang dihasilkan akan diupah sebesar Rp 3.000,00 namun kegiatan ini berlangsung selama tiga minggu sesuai jadwal pengajaran yang ada. Hal ini dilakukan agar warga belajar dapat lebih mahir dalam keterampilan tersebut dan memberikan pengalaman bekerja terhadap warga belajar itu sendiri. Program KF PKBM SLIM telah memiliki pencapaian yang baik dalam mengentaskan buta aksara warga Desa Citapen. Hal ini karena PKBM SLIM memiliki satu kelompok belajar yang telah melewati ketiga tahapan yang ada pada program KF dan mayoritas warga belajar tersebut masih melek aksara hingga saat ini. Hambatan program KF PKBM SLIM yaitu terletak dari perizinan yang telah dicabut dari pemerintah desa setempat untuk melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Sejatinya apabila pemerintah setempat tidak mencabut perizinan kegiatan belajar, program KF memiliki keyakinan dapat memberantas buta aksara di Desa Citapen secara bertahap dan kontinu.
31
4.2.3
Ringkasan Banyaknya penduduk pada usia produktif merupakan potensi sumber daya manusia
yang terdapat di Desa Citapen. Permasalahannya adalah pendidikan di Desa Citapen masih rendah, dimana mayoritas warga tidak pernah sekolah formal dan tidak tamat SD sehingga banyak penduduk yang menyandang buta aksara. Banyaknya penduduk Desa Citapen yang menyandang buta aksara, menyebabkan banyak dilaksanakan program
Keaksaraan
Fungsional (KF) di setiap RT / RW Desa Citapen, yang bertujuan untuk membebaskan penduduk dari buta aksara. Salah satu program KF yang dilakukan di Desa Citapen yaitu program KF dari PKBM SLIM. Pada bab berikutnya akan dibahas mengenai pengaruh program PKBM SLIM dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki warga belajar.
32
5 PENGARUH PROGRAM KEAKSARAAN FUNGSIONAL DALAM MEMPERTAHANKAN KEMAMPUAN AKSARA WARGA BELAJAR Lutfi (2007) menyatakan, program KF adalah sebuah pendekatan untuk mengembangkan
kemampuan
seseorang
dalam
menguasai
dan
mengembangkan
kemampuan membaca, menulis, berhitung, mengamati dan menganalisis persoalan yang berorientasi pada kehidupan sehari-hari serta memanfaatkan potensi yang ada pada diri dan lingkungannya. Tujuan dari program KF adalah penguasaan membaca, menulis dan berhitung menjadi syarat mutlak untuk menguasai keterampilan dalam rangka peningkatan kualitas hidup. Salah satu indikator keberhasilan dari program KF yaitu memberdayakan perempuan yang awalnya buta aksara menjadi melek aksara dan bersifat kontinu bukan bersifat sementara. Terdapat tiga tahapan keaksaraan dalam program KF (Aziz 2008), antara lain: 1) Tahap I yaitu tahap pemberantasan (basic literacy). 2) Tahap II yaitu tahap pembinaan (middle literacy). 3) Tahap III yaitu pelestarian (self learning). Warga belajar dalam penelitian ini terdapat tiga kelompok, yaitu warga belajar yang hanya melalui Tahap I sebanyak 15 orang, warga belajar yang melalui sampai Tahap II sebanyak 15 orang, dan warga belajar yang sudah melalui semua tahapan yaitu sampai Tahap III sebanyak 15 orang. Ketika warga belajar telah melalui setiap tahapan, warga belajar diwajibkan mengikuti ujian untuk menguji kemampuan aksara mereka. Bagi warga belajar yang telah melek aksara atau memiliki kemampuan aksara, warga belajar berhak mendapatkan SUKMA, sebagai bukti bahwa mereka telah melek aksara. Semua warga belajar dalam penelitian ini pada dasarnya telah melek aksara atau memiliki kemampuan aksara yaitu membaca, menulis, dan berhitung ketika mereka melewati Tahap I, serta telah memiliki SUKMA. Peran program KF berperan penting dalam memelihara kemampuan aksara warga belajar. Hubungan tahap KF dan kemampuan mempertahankan aksara dapat dilihat pada Tabel 4.
33
Tabel 4 Peran Program Keaksaraan Fungsional terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 Kemampuan Mempertahankan Aksara
Tahapan KF Tahapan 1 Tahapan 2 Tahapan 3 Jumlah
Rendah 14
(50,0 %) 13 (46,4 %) 1 (3,6 %)
28 (100,0 %)
Tinggi 1 (5,9 %) 2 (11,8 %) 14 (82,4 %) 17(100,0 %)
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011
Tabel 4 menunjukan, bahwa tahapan KF yang dilalui oleh warga memiliki pengaruh dengan kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki. Semakin lengkap tahapan yang dilewati oleh warga belajar yaitu tahap ketiga, semakin tinggi kemampuan warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksaranya. Begitu juga yang terjadi pada tahap pertama, membuktikan semakin sedikit tahapan yang dilewati, semakin rendah kemampuan warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksaranya atau semakin sedikit warga belajar yang mampu mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki. Mayoritas warga belajar yang hanya melewati Tahap I, memiliki kemampuan mempertahankan kemampuan aksara yang rendah atau telah buta aksara kembali yaitu sebesar 50,0 persen. Warga belajar yang hanya melalui Tahap I namun memiliki kemampuan mempertahankan kemampuan aksara yang tinggi yaitu masih mampu membaca, menulis, dan berhitung dan mampu menerapkan kemampuan aksara tersebut dalam kehidupan sehari-hari yaitu sebesar 5,9 persen. Adanya warga belajar yang hanya melewati Tahap I namun memiliki kemampuan mempertahankan aksara tinggi disebabkan warga belajar tersebut memiliki motivasi yang tinggi pada dirinya sendiri untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki. Motivasi yang dilakukan adalah warga belajar tersebut selalu membaca koran setiap pagi untuk melancarkan kemampuan membaca yang dimiliki, menambah wawasan pengetahuan dan mengetahui informasi terbaru, seperti yang dikemukakan warga belajar tersebut berikut:
34
“ saya mah setiap pagi selalu disempetin buat baca koran, walaupun bacanya gak bisa cepet tapi saya seneng baca koran, selain ngelancarin baca tapi juga saya bisa jadi pintar dari informasi yang ada di koran” (Erh, 54thn) Banyaknya warga belajar yang telah buta aksara kembali pada Tahap I, menegaskan bahwa tujuan KF dalam mengentaskan buta aksara masih belum efektif. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa, program KF yang hanya melewati Tahap I hasilnya akan sia-sia, kalau kemampuan membaca yang telah diperoleh tidak digunakan, dengan kata lain program tersebut tidak akan berguna bagi masyarakat untuk memberantas buta aksara apabila hanya melewati Tahap I. Hilangnya kemampuan aksara setelah masa belajar selesai ternyata juga terjadi setelah melewati Tahap II. Hasil penelitian menunjukkan sebesar 46,4 persen warga belajar yang telah melewati Tahap II, telah menjadi buta huruf kembali. Terjadinya buta aksara kembali pada warga belajar disebabkan terhentinya kegiatan belajar pada Tahap II dan tidak tersedianya tutor yang siap siaga dan mengevaluasi kemampuan aksara warga belajar. Warga
belajar
yang
telah
melewati
Tahap
II,
namun
memiliki
kemampuan
mempertahankan kemampuan aksara yang tinggi yaitu sebesar 11,8 persen, dengan kata lain warga belajar masih mampu membaca, menulis, dan berhitung dengan baik, serta mampu menerapkannya pada kehidupan sehari-hari. Banyaknya warga belajar yang telah buta aksara kembali pada Tahap II, menegaskan bahwa tujuan KF dalam mengentaskan buta aksara masih belum efektif. Warga belajar yang melalui Tahap III, hanya sebesar 3,6 persen yang memiliki kemampuan mempertahankan kemampuan aksaranya rendah, dengan kata lain warga belajar tersebut telah mengalami buta aksara kembali. Hal ini karena tidak adanya motivasi atau motivasi yang rendah dari warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki, warga belajar tersebut mengakui bahwa ia malas untuk belajar aksara kembali dirumah, selain itu ia tidak mengikuti arisan dan tidak pernah mengunjungi taman bacaan, yang seharusnya diikuti oleh warga belajar yang melewati Tahap III. Sebesar 82,4 persen yang melewati Tahap III, mampu mempertahankan kemampuan aksara mereka, serta mampu menerapkan kemampuan aksara tersebut dalam kehidupan sehari-hari, seperti membaca jam, kalender, pengumumam, iklan, menulis biodata tandatangan, menghitung pemasukan, pengeluaran dan lain-lain. Sebagian besar warga belajar yang telah melewati Tahap III mampu mempertahankan kemampuan aksara mereka yaitu masih mampu
35
membaca, menulis, dan berhitung. Hal tersebut dikarenakan mereka telah mengikuti kegiatan yang ada pada Tahap III atau tahap pelestarian yaitu masih tersedianya tutor yang memantau warga belajar, adanya kegiatan arisan, dan tersedianya taman bacaan. Sebanyak 15 warga belajar yang melewati Tahap III atau sebesar 100 persen mengakui, bahwa yang paling berperan penting atau membantu dalam mempertahankan kemampuan aksara mereka adalah karena tersedianya seorang tutor yang selalu memotivasi warga belajar yaitu teh Noni. Ketika Tahap I, tutor selalu memberi Pekerjaan Rumah (PR) kepada warga belajar, sehingga mau tidak mau warga belajar akan mengulang pelajaran kembali dirumah. Hal lainnya yaitu setiap warga belajar yang tidak masuk kegiatan belajar mengajar, maka tutor akan menghampiri rumah warga belajar tersebut dan memberikan pengajaran agar warga belajar tersebut tidak tertinggal dalam kegiatan belajar mengajar. Setelah sampai pada tahap pelestarianpun, tutor tersebut masih selalu mengontrol kemampuan warga belajar dan selalu siap siaga apabila warga belajar ingin bertanya mengenai keaksaraan atau masalah yang lainnya. Kegiatan lainnya dalam tahap pelestarian yaitu adanya arisan warga belajar dan taman bacaan. Warga belajar yang mengikuti arisan yaitu sebesar 80 persen dan yang tidak mengikuti yaitu sebesar 20 persen. Alasan warga belajar mengikuti arisan yaitu untuk meningkatkan kemampuan aksara dan berinteraksi sosial dengan warga belajar lainnya. Semua warga belajar yang mengikuti arisan sepakat bahwa kegiatan arisan membantu mereka dalam mempertahan kemampuan aksara, dan tutor lah yang memiliki peranan penting disini. Hal ini dikarenakan ketika mereka berkumpul untuk arisan, tutor selalu mengevaluasi kemampuan aksara warga belajar, selain itu setiap minggunya tutor menyuruh warga belajar bergilir bertugas untuk menagih, mengumpulkan, mendata, dan mengocok arisan. Hal tersebut membuat warga belajar mau tidak mau harus dapat menulis, membaca,
dan
berhitung,
sehingga
kegiatan
arisan
membantu
warga
dalam
mempertahankan kemampuan aksara dan menimbulkan percaya diri dan kemandirian warga belajar. Walaupun tersedia taman bacaan untuk warga belajar, namun sebagian warga belajar enggan untuk mendatangi taman bacaan tersebut. Hal ini dibuktikan, hanya sebesar 26,7 persen yang pernah mengunjungi taman bacaan. Warga belajar mengakui tidak datangnya mereka ke taman bacaan dikarenakan banyaknya pekerjaan domestik, dan tidak
36
tahu harus membaca buku apa. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang warga belajar berikut: “ saya mah bingung ke taman bacaan teh mau baca apa? Lagian dirumah juga masih banyak yang harus diurusin.” (Nng, 46thn) Sebagian besar warga belajar yaitu sebesar 86,8 persen menyatakan, tersedianya taman bacaan nyatanya tidak mampu membantu warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara warga belajar. Sisanya sebesar 13,3 persen merasa kehadiran taman bacaan telah membantu dalam mempertahankan kemampuan aksara mereka karena warga belajar tersebut sering mengunjungi taman bacaan. warga belajar mengakui, mereka mengunjungi taman bacaan apabila pekerjaan domestik sudah selesai yaitu di siang dan sore hari bersama dengan warga belajar lainnya, tutor, atau hanya seorang diri. Buku bacaan yang sering dibaca oleh ibu-ibu yaitu mengenai buku resep masakan, buku cara merawat anak dengan baik, dan buku mengenai KB.
5.1 Ringkasan Mayoritas warga belajar yang masih mampu mempertahankan kemampuan aksara yaitu yaitu warga belajar yang telah melewati Tahap III atau tahapan pelestarian, serta adanya tutor yang memiliki motivasi yang tinggi untuk memicu motivasi warga belajar agar mampu mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki warga belajar. Disisi lain, ada pula warga belajar yang masih mampu mempertahankan kemampuan aksaranya, namun warga belajar tersebut tidak melewati Tahap III atau tahapan pelestarian. Dalam hal ini, diduga ada faktor lain yang mempengaruhi warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksaranya. Diduga karakteristik warga belajar dan dukungan lingkungan mempengaruhi kemampuan warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksara, hal ini akan dibahas pada bab selanjutnya.
37
6 PENGARUH KARAKTERISTIK DAN DUKUNGAN DARI LINGKUNGAN TEMPAT TINGGAL DALAM MEMPERTAHANKAN KEMAMPUAN AKSARA WARGA BELAJAR 6.1 Karakteristik Warga Belajar 6.1.1 Umur Umur responden dibagi dalam dua kategori yaitu produktif dan non produktif. Umur produktif ialah responden yang berumur 15-45 tahun, sedangkan yang tidak produktif ialah 45 tahun keatas. Umur warga belajar dibagi dalam dua kategori yaitu produktif dan non produktif. Umur produktif ialah warga belajar yang berumur 15-45 tahun, sedangkan yang tidak produktif ialah 45 tahun ke atas. Jumlah warga belajar yang menjadi responden penelitian ini 55,7 persen (25 orang) tergolong usia produktif, dan 44,3 persen (20 orang) termasuk umur tidak produktif. Seseorang dalam umur produktif masih memungkinkan untuk bisa diasah dan dimaksimalkan kemampuannya, sehingga mereka menjadi sasaran utama program KF. Namun demikian, penduduk Desa Citapen yang telah berumur di atas 45 tahun tetap diperbolehkan untuk mengikuti program KF di SKBM SLIM karena tingginya keinginan mereka untuk melek aksara. Diduga warga belajar dalam umur produktif lebih lebih berhasil mempertahankan kemampuan aksaranya daripada umur tidak produktif.
Tabel 5 Pengaruh Umur terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 Umur
Kemampuan Mempertahankan Aksara Rendah
Tinggi
Tidak Produktif Produktif
18 (64,3 %) 10 (35,7 %)
7 (41,2 %) 10 (58,8 %)
Jumlah
28 (100,0 %)
17 (100,0 %)
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011
38
Tabel 5 menunjukkan bahwa umur warga belajar memiliki pengaruh dengan kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki. Sebesar 64,3 persen (18 orang) termasuk dalam katagori umur tidak produktif dan memiliki kemampuan mempertahan aksara rendah artinya warga belajar tersebut telah mengalami buta aksara kembali. Hal ini karena mayoritas dari mereka tidak memiliki motivasi diri yang rendah, minimnya pengingatan di usia mereka, dan faktor kesehatan sehingga sulit untuk mempertahankan kemampuan aksara. Di sisi lain ada pula warga belajar yang masuk dalam kategori umur tidak produktif, namun memiliki kemampuan mempertahan aksara tinggi, yang artinya warga belajar tersebut masih mampu membaca menulis dan berhitung yaitu sebesar 41,2 persen (7 orang), karena warga belajar memiliki motivasi yang tinggi dalam dirinya untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki. Warga belajar yang masuk dalam kategori umur produktif lebih mampu mempertahankan kemampuan aksara. Terbukti Warga belajar yang masuk dalam kategori umur produktif dan memiliki kemampuan mempertahan aksara tinggi atau masih mampu membaca, menulis, dan berhitung yaitu sebesar 58,8 persen (10 orang). Selebihnya warga belajar yang masuk dalam kategori umur produktif, namun memiliki kemampuan mempertahan aksara rendah yaitu sebesar 35,7 persen (10 orang). Hal ini karena rendahnya motivasi dari warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki.
6.1.2 Status Pernikahan Status pernikahan adalah keterkaitan dan tanggung jawab warga belajar terhadap perannya dalam keluarga. Warga belajar dibatasi dengan status belum menikah, menikah, dan janda. Warga belajar yang belum menikah berarti memiliki tanggung jawab terhadap perannya dalam keluarga yaitu rendah, warga belajar yang telah menikah dan janda berarti memiliki tanggung jawab terhadap perannya dalam keluarga tinggi, karena mereka harus mengurusi keluarga mereka. Mayoritas warga belajar memiliki status menikah yaitu menikah sebesar 93,4 persen (42 orang). Sisanya belum menikah 2,2 persen (1 orang), dan janda sebesar 4,4 persen (2 orang). Tabel 6 menunjukan, bahwa status pernikahan berpengaruh dengan kemampuan warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksara. Sebesar 61,9 persen (26 orang) tergolong dalam kategori berstatuskan telah menikah dan memiliki kemampuan
39
mempertahankan kemampuan aksara rendah atau telah mengalami buta aksara kembali. Hal ini karena sibuknya pekerjaan domestik, sehingga sulit meluangkan waktu untuk belajar kembali di rumah, serta beberapa dari warga belajar tidak mendapatkan dukungan dari lingkungan tempat tinggal, yaitu tidak adanya izin dari para suami mereka untuk mengikuti program KF sehingga warga belajar mengikuti kegiatan belajar mengajar secara diamdiam. Warga belajar yang berstatuskan menikah dan mengalami buta aksara kembali dua kali lipat lebih banyak daripada warga belajar yang telah menikah dan mampu mempertahankan kemampuan aksara. Hal ini menegaskan bahwa status menikah mempengaruhi kemampuan mempertahankan kemampuan aksara warga belajar.
Tabel 6 Pengaruh Status Pernikahan terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 Status Pernikahan Belum Menikah Menikah Janda
Jumlah
Kemampuan Mempertahankan Aksara Rendah
Tinggi
0% 26 (61,9 %) 2 (100,0 %)
1 (100,0 %) 16 (38,1 %) 0%
28 (100,0 %)
17 (100,0 %)
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011
Seperti halnya warga belajar yang berstatuskan menikah, mayoritas warga belajar yang masuk dalam kategori janda juga memiliki kemampuan mempertahankan aksara rendah atau telah buta aksara kembali yaitu sebesar 100 persen (2 orang). Hal ini dikarenakan warga belajar yang berstatuskan janda memiliki pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, pekerjaan mereka berlangsung dari pagi hari hingga sore hari. Setelah selesai dari bekerja pun mereka masih harus melakukan pekerjaan domestik di rumahnya, sehingga mereka sulit meluangkan waktu untuk belajar atau mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki, seperti yang dikemukakan oleh salah satu warga belajar sebagai berikut: “saya kan kerja dirumah bu H. Embed dari pagi sampai sore, sampai rumah juga masih ada aja kerjaan yang harus diselesain, jadikan udah kecapean duluan, jadi gak ada waktu buat belajar lagi” (Yyt, 60thn)
40
Warga belajar yang temasuk dalam kategori belum menikah dan memiliki kemampuan mempertahankan aksara tinggi atau masih mampu membaca, menulis, dan berhitung yaitu sebesar 100 persen (1 orang), karena tingginya motivasi warga belajar dan banyaknya waktu luang yang dapat digunakan untuk mempertahankan kemampuan aksara yang di miliki. Hal ini membuktikan semakin rendah tanggung jawab yang dimiliki oleh warga belajar, maka kemampuan mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki oleh warga belajar semakin tinggi.
6.1.3 Jumlah Anak Keterbatasan warga belajar yang mayoritas ibu rumahtangga adalah jumlah anak mereka, terutama jika memiliki anak balita.
Sebaran responden warga belajar sesuai
jumlah anak adalah sebagai berikut: 64,4 persen (29 orang) memiliki jumlah anak tiga sampai lima anak dan tidak memiliki balita, 20 persen (9 orang) memiliki jumlah anak maksimal dua dan tidak memiliki balita, 2,2 persen (1 orang) memiliki jumlah anak enam sampai delapan orang dan tidak memiliki balita, dan ada 13,3 persen (6 orang) memiliki balita. Warga belajar yang memiliki balita, berarti memiliki tanggung jawab yang lebih besar dalam mengasuh anaknya. Hubungan antara jumlah dan umur anak dengan tingkat mempertahankan kemampuan aksara disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 menunjukkan, bahwa tidak terdapat pengaruh antara jumlah dengan kemampuan warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksara. Mayoritas warga belajar sebesar 72,5 persen (21 orang) memiliki jumlah tiga sampai lima anak dan tidak memiliki balita, memiliki kemampuan mempertahankan aksara rendah. Warga belajar yang memiliki jumlah enam sampai delapan anak dan tidak memiliki balita, namun memiliki kemampuan mempertahankan aksara tinggi yaitu sebesar 100 persen (1 orang). Hal ini dikarenakan, walaupun jumlah anak yang dimiliki banyak namun usia anak tersebut sudah memasuki usia dewasa bahkan sudah ada yang menikah, sehingga banyaknya anak yang dimiliki tidak mempengaruhi warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki.
41
Tabel 7 Pengaruh Jumlah Anak terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 Jumlah Anak
Kemampuan Mempertahankan Aksara Rendah
Tinggi
Memiliki Balita 0 sampai 2 (tidak memiliki balita)
2 (33,3 %) 5 (55,6 %)
4 4
(66,7 %) (44,6 %)
3 sampai 5 (tidak memiliki balita)
21 (72,5 %)
8
(27,6 %)
6 sampai 8 (tidak memiliki balita) Jumlah
0% 28 (100,0 %)
1 (100,0 %) 17 (100,0 %)
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011
Warga belajar yang memiliki balita dan memiliki kemampuan mempertahankan aksara rendah yaitu sebesar 33,3 persen (2 orang). Pada kenyataannya terdapat warga belajar yang memiliki balita namun memiliki kemampuan mempertahankan aksara tinggi yaitu sebesar 66,7 persen (4 orang), bahkan warga belajar yang memiliki anak balita lebih banyak yang mampu mempertahankan keaksaraannya dibandingkan dengan warga belajar yang tidak memiliki balita. Hal ini karena warga belajar tersebut mengasuh anaknya sekaligus belajar mempertahankan aksaranya yaitu ketika mereka belajar sekaligus mengajari anaknya yang balita untuk membaca dan berhitung, sehingga mereka mampu mempertahankan kemampuan aksaranya, serta adanya dukungan dari suami mereka untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki.
6.1.4 Pendidikan Formal Sejumlah 31,1 persen (14 orang) responden warga belajar pernah mencicipi bangku sekolah formal, meskipun hanya sampai SD kelas 6 sedangkan sisanya sebanyak 68,9 persen (31 orang) tidak pernah sekolah.
Namun setelah bertahun-tahun tidak pernah
dipergunakan, mereka yang pernah sekolah telah kehilangan kemampuan aksaranya kembali. Warga belajar yang pernah mengikuti sekolah formal sampai diatas kelas 3 SD mengakui, walaupun mereka pernah sekolah SD, namun sebelum mereka mengikuti progam KF mereka sama sekali tidak dapat membaca, menulis, dan berhitung. Diduga ada
42
pengaruh pendidikan formal yang pernah dilalui dengan kemampuan mempertahankan keaksaraan dari warga belajar.
Tabel 8 Pengaruh Pendidikan Formal terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 Pendidikan
Kemampuan Mempertahankan Aksara Rendah
Tinggi
Tidak Pernah SD
21 (67,7 %)
10
(32,3 %)
1 SD ≥ x ≥ 3 SD
7 (58,3 %)
5
(41,7 %)
>3 SD Jumlah
0% 28 (100,0 %)
2 (100,0 %) 17 (100,0 %)
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011
Tabel 8 menunjukkan, pendidikan formal mempengaruhi kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara. Warga belajar yang pernah sekolah lebih dari kelas 3 SD sebesar 100 persen (2 orang) memiliki kemampuan aksara tinggi. Begitu pula yang terjadi dengan warga belajar yang tidak pernah mengikuti sekolah formal, sebesar 67,7 persen (21 orang) memiliki kemampuan aksara rendah atau telah buta aksara kembali. Warga belajar yang tidak pernah sekolah formal dan mengalami buta aksara kembali dua kali lipat lebih banyak daripada warga belajar yang tidak pernah sekolah formal dan mampu mempertahankan kemampuan aksara. Hal ini membuktikan semakin rendah pendidikan formal yang pernah di ikuti warga belajar, maka kemampuan mempertahankan kemampuan aksara yang di miliki oleh warga belajar semakin rendah.
6.1.5 Pekerjaan Pekerjaan merupakan mata pencaharian warga belajar yang menghasilkan uang. Rendahnya pendidikan warga belajar mempengaruhi pekerjaan yang dimiliki oleh warga belajar KF. Tabel 12 menunjukan, bahwa sebagian besar pekerjaan warga belajar yaitu ibu rumah tangga 84,5 persen (38 orang), disusul dengan pembantu rumah tangga 11,1 persen (5 orang), pedagang 2,2 persen (1 orang), dan pengangguran 2,2 persen (1 orang). Banyaknya warga belajar yang hanya menjadi ibu rumah tangga dikarenakan rendahnya
43
pendidikan warga belajar dan mereka masih berpegangan pada budaya bahwa perempuan pekerjaannya yaitu di dapur untuk memasak, mencuci, dan menjaga anak, sehingga mereka hanya menggantungkan kehidupan mereka pada penghasilan suami. Padahal pekerjaan suami mereka hanya bekerja sebagai buruh tani, buruh, dan supir yang hanya menghasilkan uang rata-rata Rp 800.000,00 per bulannya. Pekerjaan warga belajar merupakan salah satu aspek yang diduga dapat mempengaruhi kemampuan warga belajar untuk mempertahankan keakasaraannya, karena semakin besar tanggung jawab warga belajar pada pekerjaan, maka semakin rendah kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki. Tabel 9 menunjukan, pekerjaan yang dimiliki oleh warga belajar berpengaruh terhadap kemampuan mempertahankan aksara yang dimiliki warga belajar. Mayoritas warga belajar yang memiliki pekerjaan ibu rumah tangga, memiliki kemampuan mempertahankan aksara yang rendah atau telah buta aksara kembali yaitu sebesar 60,5 persen (23 orang). Telah terjadi buta aksara kembali karena warga belajar yang telah menikah memiliki kesibukan dalam pekerjaan domestik yaitu tanggung jawab warga belajar dalam hal memasak, mencuci, dan membereskan rumah sehingga warga belajar tidak memiliki waktu yang banyak untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki, serta tidak adanya dukungan dari lingkungan tempat tinggal untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki.
Tabel 9 Pengaruh Pekerjaan Warga Belajar terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 Kategori Ibu Rumah Tangga Pedagang Pembantu Rumah Tangga Pengangguran Jumlah Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011
Kemampuan Mempertahankan Aksara Rendah
Tinggi
23 (60,5 %) 0% 5 (100,0 %) 0%
15 (39,5 %) 1 (100,0 %) 0% 1 (100,0 %)
28 (100,0 %)
17 (100,0 %)
44
Di sisi lain, ada pula warga belajar yang memiliki pekerjaan ibu rumah tangga, namun memiliki kemampuan mempertahankan aksara tinggi, yaitu sebesar 39,5 persen (15 orang). Hal ini dapat terjadi karena warga belajar tersebut memiliki motivasi yang tinggi untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki dimana warga belajar belajar membaca, menulis, dan berhitung kembali di rumah, belajar bersama anak di rumah, membaca koran setiap pagi, serta tidak malu untuk bertanya kepada tutor. Warga belajar memiliki pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga 100 persen (5 orang) memiliki kemampuan mempertahankan aksara rendah, karena pekerjaan mereka berlangsung dari pagi hari hingga sore hari. Setelah selesai dari bekerja pun mereka masih harus melakukan pekerjaan domestik di rumahnya, sehingga mereka sulit meluangkan waktu untuk belajar atau mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki Warga belajar yang memiliki pekerjaan sebagai pedagang, memiliki kemampuan mempertahankan aksara yang tinggi atau masih mampu membaca, menulis dan berhitung yaitu sebesar 100 persen (1 orang). Hal ini dikarenakan ia menerapkan kemampuan aksara yang dimiliki saat berdagang, seperti mengukur takaran minyak, menimbang makanan, membaca tulisan dikemasan, menghitung uang, dan menulis nota belanjaan setiap harinya, sehingga warga belajar tersebut berdagang sekaligus belajar untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki. Warga belajar yang tidak memiliki pekerjaan atau pengangguran, dan memiliki kemampuan mempertahankan aksara tinggi yaitu masih mampu membaca, menulis, dan berhitung yaitu sebesar 100 persen (1 orang). Tidak adanya pekerjaan yang dimiliki dikarenakan warga belajar tersebut mengalami lumpuh dan berstatuskan belum menikah. Warga belajar tersebut mengakui dirinya memiliki motivasi yang kuat dan banyak waktu luang untuk belajar kembali membaca, menulis, dan berhitung dirumahnya agar menutupi kekurangan fisik yang ia miliki.
6.1.6 Motivasi Warga Motivasi warga belajar adalah kemauan dari dalam diri warga belajar untuk mau belajar dan mempertahankan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung. Motivasi belajar dikategorikan menjadi motivasi rendah dan motivasi tinggi. Motivasi diukur dengan tidak ada dan banyaknya usaha yang dilakukan oleh warga belajar dalam mempertahankan
45
kemampuan aksaranya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 62,2 persen (28 orang) responden bermotivasi rendah, dan hanya 37,8 persen (17 orang) bermotivasi tinggi. Diduga semakin tinggi motivasi warga belajar maka semakin tinggi pula kemampuan untuk mempertahankan kemampuan aksaranya. Tabel 10 menyatakan, bahwa motivasi warga belajar berpengaruh pada kemampuan mempertahankan kemampuan aksara. Hal ini dibuktikan semakin tinggi motivasi warga belajar, maka semakin tinggi pula kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki, begitu juga sebaliknya. Sebesar 100 persen (28 orang) warga belajar yang masuk dalam kategori motivasi rendah, memiliki kemampuan mempertahankan kemampuan aksara rendah. Hal ini menunjukkan warga belajar yang memiliki motivasi rendah telah mengalami buta aksara kembali.
Tabel 10 Pengaruh Motivasi Warga Belajar terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 Kemampuan Mempertahankan Aksara
Motivasi Warga
Rendah Rendah
Tinggi
28 (100,0 %)
0%
Tinggi
0%
17 (100,0 %)
Jumlah
28 (100,0 %)
17 (100,0 %)
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011
Warga belajar yang termasuk dalam kategori motivasi tinggi, memiliki kemampuan mempertahankan kemampuan aksara tinggi, yaitu masih dapat mempertahankan kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yaitu sebesar 100 persen (17 orang). Warga belajar yang memiliki motivasi tinggi berarti mempunyai kemauan yang tinggi atau usaha yang maksimal dalam mempertahankan kemampuan aksara, seperti yang dikemukakan salah satu warga belajar berikut: “walaupun saya cacat, gak bisa jalan, tapi saya punya tekat yang kuat buat bisa membaca,menulis, dan berhitung. Setiap hari saya selalu belajar sendirian, baca modul yang dikasi tutor, dan sekarang saya masih lancar membaca, menulis, dan berhitung.” (Ynh, 25thn)
46
Bentuk motivasi yang dilakukan oleh warga belajar yaitu belajar membaca, menulis, dan berhitung kembali di rumah, belajar bersama anak di rumah, membaca koran setiap pagi, serta tidak malu untuk bertanya kepada tutor.
6.2 Dukungan Lingkungan Tempat Tinggal Dukungan dari lingkungan tempat tinggal adalah bentuk perhatian yang diberikan dari orang-orang yang berada di sekitar warga belajar, yaitu lingkungan keluarga. Selain program KF dan karakteristik warga belajar, dukungan dari lingkungan tempat tinggal juga diduga memiliki pengaruh dengan kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksaranya. Semakin tinggi dukungan atau motivasi yang diberikan oleh keluarga semakin tinggi pula kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki.
Tabel 11 Pengaruh Dukungan Lingkungan Tempat Tinggal terhadap Kemampuan Warga Belajar Desa Citapen dalam Mempertahankan Kemampuan Aksara Tahun 2011 Dukugan Lingkungan Tempat Tinggal
Kemampuan Mempertahankan Aksara Rendah
Tinggi
Rendah Tinggi
28
(70 %) 0%
12 (30 %) 5 (100,0 %)
Jumlah
28 (100,0 %)
17 (100,0 %)
Sumber: Data Primer Hasil Penelitian 2011
Tabel 11 menyatakan, dukungan dari lingkungan tempat tinggal berpengaruh dengan kemampuan mempertahankan aksara. Sebesar 70 persen (28 orang) yang termasuk dalam kategori dukungan dari lingkungan tempat tinggal rendah, memiliki kemampuan mempertahankan kemampuan aksara rendah. Warga belajar termasuk dalam kategori dukungan dari lingkungan tempat tinggal rendah, namun memiliki kemampuan mempertahankan kemampuan aksara tinggi yaitu sebesar 30 persen (12 orang). Hal ini karena warga belajar tersebut mendapatkan motivasi dari dirinya sendiri untuk belajar kembali di rumah dan mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki, serta adanya
47
motivasi dari tutor yang selalu mengevaluasi kemampuan warga belajar dan memotivasi warga belajar, sehingga warga belajar tersebut masih mampu mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki walaupun tidak mendapat dukungan dari lingkungan tempat tinggal. Warga belajar yang termasuk dalam kategori dukungan dari lingkungan tempat tinggal tinggi dan memiliki kemampuan mempertahankan kemampuan aksara tinggi yaitu sebesar 100 persen (5 orang). Hal ini berarti warga belajar mendapatkan dukungan yang besar dari lingkungan tempat tinggal yaitu keluarga. Salah satu faktor yang menyebabkan warga belajar yang mendapatkan dukungan dari lingkungan tempat tinggal tinggi dan memiliki kemampuan mempertahankan kemampuan aksara tinggi karena kegiatan belajar mengajar di lakukan di rumah warga belajar yang rumahnya berdekatan dengan warga belajar yang lainnya sehingga keluarga mereka memberikan motivasi yang tinggi kepada warga belajar, seperti yang dikemukakan salah satu warga belajar berikut: “Si Bapa ama anak-anak suka ngetes saya kalo dirumah, suka disuruh baca tulisan-tulisan apa aja yang ada dirumah buat ngetes saya udah bisa baca atau belum.” (Evi, 33thn) Bentuk dukungan yang diberikan dari lingkungan tempat tinggal yaitu berupa mengingatkan untuk selalu belajar, membaca, menulis, dan berhitung, membantu belajar di rumah, serta mengevaluasi atau menguji kemampuan membaca, menulis, dan berhitung yang warga belajar miliki.
6.3 Ringkasan Beberapan karakteristik warga belajar ternyata mempengaruhi kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki. Karaktekteristik yang mempengaruhi kemampuan mempertahan kemampuan aksara yaitu umur, status pernikahan, pekerjaan, pendidikan, dan motivasi warga belajar, selain itu dukungan tempat tinggal juga mempengaruhi kemampuan mempertahankan aksara yang dimiliki oleh warga belajar. Adanya kemampuan aksara yang dimiliki warga belajar sejatinya mampu meningkatkan ekonomi warga belajar. Pada bab selanjutnya akan dibahas mengenai pengaruh kemampuan aksara dengan peningkatan ekonomi warga belajar.
48
7 PENGARUH KEMAMPUAN AKSARA DENGAN PENINGKATAN EKONOMI WARGA BELAJAR Terdapat lima indikator keberhasilan dari program pemberdayaan masyarakat, antara lain: 1) berkurangnya jumlah penduduk miskin, 2) berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh penduduk miskin dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia, 3) meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap upaya peningkatan kesejahteraan keluarga miskin di lingkungannya, 4) meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai dengan makin berkembangnya usaha
produktif
anggota dan kelompok lain di dalam masyarakat, 5) serta meningkatnya kapasitas masyarakat dan pemerataan pendapatan yang ditandai oleh peningkatan pendapatan keluarga miskin yang mampu memenuhi kebutuhan pokok dan kebutuhan sosial dasarnya (Sumodiningrat 1999). Merujuk pada pernyataan di atas, program KF baru bisa dikatakan berhasil dalam memberdayakan perempuan di mana saat warga belajar mampu menerapkan kemampuan keaksaraan mereka untuk meningkatkan penghasilan atau ekonomi warga belajar tersebut. Hal ini dipertegas oleh Suyono (2006) yang mengungkapkan bahwa pendidikan hanya layak diklaim berhasil sejauh ia mampu menciptakan manusia-manusia mandiri dan bermartabat, yang keberadaannya dapat memberikan manfaat terhadap keluarganya, orang lain dan lingkungannya. Keberhasilan program KF dalam meningkatkan ekonomi warga belajar, tampaknya belum dapat direalisasikan pada warga belajar Desa Citapen, hal ini dikarenakan program KF belum mampu meningkatkan ekonomi warga belajar. Mayoritas warga belajar sebesar 97,8 persen mengungkapkan bahwa keadaan ekonomi mereka tidak ada perbedaan, sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan KF dan hanya seorang responden yang mangaku ada peningkatan ekonomi. Tidak adanya peningkatan ekonomi yang dialami oleh warga belajar, dikarenakan telah terjadinya buta huruf kembali pada warga belajar tersebut, selain itu tidak adanya warga belajar yang memanfaatkan keterampilan yang telah diberikan program KF untuk meningkatkan ekonomi mereka. Tidak terpakainya keterampilan yang sudah diberikan karena beberapa faktor, di antaranya adalah tidak adanya modal untuk memulai usaha, tidak mengerti produknya harus dijual kepada siapa, dan sibuknya pekerjaan domestik yang menyebabkan mereka
49
tidak ada banyak waktu untuk memulai usaha, seperti yang dikemukakan salah satu warga belajar sebagai berikut: “bayaran sekolah aja udah mahal neng, boro-boro ada uang lebih buat modal usaha” (Ant, 29thn) Meskipun pihak PKBM SLIM pernah bekerjasama dengan salah satu pabrik kerudung yang ada di Desa Citapen untuk penyaluran hasil keterampilan pada kegitan belajar di tahap ketiga, namun PKBM SLIM tidak melakukan kerjasama kembali pada pabrik tersebut untuk memberikan pekerjaan tetap pada warga belajar. Hal ini karena pihak PKBM hanya bekerjasama dalam batasan kegiatan belajar mengajar pada tahap kedua, yang bertujuan agar warga belajar dapat lebih mahir dalam keterampilan tersebut dan hanya sebatas memberikan pengalaman bekerja terhadap warga belajar itu sendiri, sehingga nantinya diharapkan warga belajar bisa mandiri dan membuka usaha sendiri. Di sisi lain pabrik tersebut masih berskala kecil, sehingga tidak membutuhkan banyak pegawai, selain itu batas umur pegawai yang dapat diterima di pabrik tersebut maksimal berumur 22 tahun. Seorang warga belajar yang menyatakan bahwa keadaan ekonominya lebih baik dari sebelum mengikuti program KF, sebenarnya tidak langsung warga belajar tersebut ialah warga belajar yang telah melalui ketiga tahapan. Warga belajar ini tidak memanfaatkan keterampilan yang diberikan KF, namun warga belajar tersebut membuka warung sederhana di depan rumahnya. Warga belajar tersebut mengakui, keberaniannya membuka warung karena ia telah memiliki kemampuan aksara yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Kemampuan aksara yang ia miliki membantu ia untuk mengorganisir warung dengan baik, seperti menentukan harga jual dan menghitung keuntungan yang telah diraih. Di sisi lain, warga tersebut juga mengatakan bahwa kemampuan aksara yang ia miliki membantu hasil pertanian suaminya. Hal tersebut dikarenakan dengan kemampuan membaca, ia dapat membantu suaminya memilih pupuk dan bibit yang bagus atau berkualitas untuk pertaniannya, sehingga hasil panennya pun memuaskan, dengan hasil panen yang bagus otomatis pendapatan juga bertambah, seperti yang ia kemukakan berikut: “ Alhamdulillah, karena sekarang mah bisa baca,ngitung,nulis jadi berani buat buka warung. Sekarang jadi tau kalau barang yang harganya segini harus dijual berapa buat ngehasilin untung biar gak rugi. Terus kalo ada yang beli, bisa baca barangnya, jadi gak salah ngasihin. Ya, walaupun kecil-kecilan tapi ngebantu pemasukan keluarga.” (Iis, 58thn)
50
“ saya suka bantu suami beli pupuk dan bibit buat bacain pupuk yang bagus yang mana, kan kalo pupuknya bagus ntar hasil panennya juga bagus dan banyak, jadi dijualnya juga untung.” (Iis, 58thn) Meskipun responden warga belajar hampir semuanya mengaku tidak mendapat keuntungan ekonomi dari bmengikuti program KF, namun beberapa warga belajar mengakui mendapatkan manfaat yang lain yaitu kemudahan untuk mendapatkan informasi, kemudahan memasuk kelompok pertemanan, dan peningkatan tingkat kemandirian. Manfaat non ekonomi yang diperoleh setelah mengikuti program KF dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran Jumlah Warga Belajar dalam Perubahan Sikap Sesudah Mengikuti KF Tahun 2011 (dalam jumlah dan persen) Kategori
Tidak Ada Perbedaan
Lebih Baik
Jauh Lebih Baik
Total
Kemudahan Mendapatkan Informasi
30 (66,7 %)
14 (31,1 %)
1 (2,2 %)
45 (100%)
Tingkat Kemandirian
36
(20 %)
0
45 (100%)
Kemudahan Memasuki Kelompok Pertemanan
38 (84,4 %)
7 (15,6 %)
0
45 (100%)
(80 %)
9
Sumber: Data primer hasil penelitian 2011
Kemampuan yang dimiliki warga belajar dalam membaca, menulis, dan berhitung diharapkan mampu membantu warga belajar untuk mengakses segala bentuk informasi yang ingin diketahui maupun yang tidak. Terbantunya warga belajar dalam mengakses informasi senantiasa mampu meningkatkan pengetahuan dan kehidupan sosial warga belajar. Perubahan dalam kemudahan mendapatkan informasi dirasakan oleh warga belajar yaitu sebesar 2,2 persen (1 orang) merasakan jauh lebih baik, sebesar 31,1 persen (14 orang) merasakan lebih baik, dan sebesar 66,7 persen (30 orang) merasakan tidak ada perubahan. Warga belajar yang merasakan kemudahan mendapatkan informasi lebih baik
51
dari sebelum mengikuti KF mengakui bahwa mereka banyak terbantu dalam menambah wawasan, cara mendidik anak, membaca rapot anak, mengetahui mengenai keluarga berencana, membaca iklan di televisi dan membaca pengumuman-pengumuman di desa. Beberapa warga belajar mendapatkan manfaat dari adanya kegiatan KF selain kemudahan mendapatkan informasi, yaitu kemudahan memasuki kelompok pertemanan. Perubahan yang dirasakan warga belajar dalam kemudahan memasuki kelompok pertemanan adalah sebesar 15,6 persen (7 orang) lebih baik dan sebesar 84,4 persen (38 orang) tidak ada perubahan. Sedikitnya warga belajar yang mengalami perubahan yang lebih baik dalam kemudahan memasuki kelompok pertemanan yaitu hanya warga belajar yang masih memiliki anak bersekolah di Taman Kanak-Kanak (TK) dan Sekolah Dasar (SD). Warga belajar tersebut mengakui, dengan adanya kemampuan membaca, menulis, dan berhitung membuat mereka lebih percaya diri untuk bergabung dan berkumpul dan mengemukakan pendapat dengan ibu-ibu murid saat mengantarkan atau menunggu anaknya sekolah. Seperti yang dikemukakan oleh salah seorang warga belajar sebagai berikut: “ sekarang mah jadi semangat nganterin anak sekolah, soalnya udah bisa baca. Jadinya teh gak malu-maluin. Dulu mah saya mana mau bergabung dengan ibu-ibu yang lain, takut dibilang kuper dan bodoh soalnya.” (Nur, 28thn) Manfaat terakhir yang dirasakan oleh beberapa warga belajar yaitu perubahan tingkat kemandirian. Tingkat kemandirian yaitu kemampuan warga belajar untuk melakukan segala sesuatu atau sebuah kegiatan dengan diri sendiri tanpa bantuan orang lain. Dalam hal ini, sebesar 20 persen (9 orang) merasakan perubahan tingkat kemandirian menjadi lebih baik dan sebesar 80 persen (36 orang) merasakan tidak ada perubahan. Warga belajar yang merasakan perubahan tingkat kemandirian lebih baik menyatakan bahwa mereka jadi lebih leluasa untuk melakukan sesuatu karena kemampuan yang warga belajar miliki setelah mengikuti KF. Peningkatan kemandirian yang dirasakan yaitu warga belajar sudah berani berpergian sendiri karena sudah mampu membaca jurusan angkutan umum, berani mengambil rapot anak, dan berani mengurusi Jaminan Kesehatan Masyarakat (JAMKESMAS) ke kantor kelurahan dan Rumah Sakit Ciawi (RS Ciawi), seperti yang dituturkan oleh salah satu warga belajar berikut ini: “sekarang kalo mau ke bogor sendirian udah gak takut, udah bisa baca jurusan angkot jadi gak akan nyasar.” (Sti, 28thn)
52
“ biasanya yang ngambilin rapot tetangga atau saudara, tapi sekarang mah saya sendiri yang ngambilin rapot, soalnya udah bisa baca rapot. Terus kalo ada pengumuman disekolah teh gak culingak-culingeuk kan udah bisa baca sekarang mah” (Nur, 33thn) Banyaknya warga belajar yang merasakan tidak adanya perubahan pada tingkat kemandirian dikarenakan sebagian besar dari mereka tidak pernah keluar desa dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan domestik sehingga mereka tidak merasakan perubahan peningkatan kemandirian yang berarti.
7.1 Ringkasan Program KF belum mampu meningkatkan ekonomi warga belajar. Mayoritas warga belajar sebesar 97,8 persen mengungkapkan bahwa keadaan ekonomi mereka tidak ada perbedaan, sebelum dan sesudah mengikuti kegiatan KF dan hanya seorang responden yang mangaku ada peningkatan ekonomi, namun beberapa warga belajar mengakui mendapatkan manfaat yang lain yaitu kemudahan untuk mendapatkan informasi, kemudahan memasuk kelompok pertemanan, dan peningkatan tingkat kemandirian.
53
8 SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari berbagai analisis di atas antara lain, sebagai berikut: 1. Semakin lengkap tahapan yang dilalui oleh warga belajar, maka semakin tinggi pula kemampuan warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksaranya. 2. Umur produktif, status pernikahan, rendahnya tanggung jawab pada pekerjaan, pendidikan formal yang pernah dilalui, tingginya motivasi warga belajar, dan tingginya dukungan tempat tinggal yang diberikan pada warga belajar, mempengaruhi kemampuan warga belajar untuk mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki. 3. Program KF belum berhasil dalam meningkatkan ekonomi warga belajar. Hanya terdapat seorang warga belajar yang menyatakan bahwa keadaan ekonominya lebih baik dari sebelum mengikuti program KF. Hal ini terjadi karena sebagian besar warga belajar telah mengalami buta aksara kembali, tidaknya adanya modal untuk memulai usaha, tidak mengerti produknya harus dijual kepada siapa, dan sibuknya pekerjaan domestik yang menyebabkan mereka tidak ada banyak waktu untuk memulai usaha. 4. Tutor memiliki peranan penting dalam membantu warga belajar dalam mempertahankan kemampuan aksara yang dimiliki oleh warga belajar. Warga belajar mengakui bahwa mereka masih mampu mempertahankan kemampuan aksara karena adanya tutor yang selalu siap siaga dan selalu memotivasi warga belajar. 5. Beberapa warga belajar menerima manfaat lain dari adanya progam KF yaitu kemudahan untuk mendapatkan informasi, kemudahan memasuk kelompok pertemanan, dan peningkatan tingkat kemandirian.
54
8.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan masukan atau saran diantaranya adalah: 1. Program KF sebaiknya menyediakan tutor yang berdedikasi tinggi, mampu memotivasi warga belajar, dan memiliki kemampuan mengajar yang baik. Dalam hal ini, sebaiknya pihak yang terkait menyeleksi tutor dengan baik dan tidak menyediakan sembarang tutor, karena tutor memiliki peranan yang penting dalam mencapai keberhasilan program KF. 2. Pembelajaran keterampilan yang diberikan diharapkan terkait langsung dengan mata pencaharian, lapangan pekerjaan, dan pendapatan. Campur tangan Dinas Pendidikan diperlukan dimana Dinas Pendidikan suatu daerah mau bekerjasama dengan instansi lain, seperti Dinas Perdagangan atau menggandeng pengusaha tingkat lokal untuk diajak kerjasama dalam penyaluran hasil keterampilan warga belajar. Hal ini akan memudahkan warga belajar dari segi modal dan kejelasan penyaluran hasil keterampilan.
55
DAFTAR PUSTAKA Atmaja K, Gunarti D, Indrawati T, Suhanadji. 2007. Pemberdayaan Perempuan Melalui Program Keaksaraan Fungsional dan Pendampingan dalam Rangka Percepatan Pemberantasan Buta Aksara di Kelurahan Babatab, Kecamatan Wiyung, Kota Surabaya. [Hasil Penelitian]. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya. Aziz AA. 2008. Model Penyelenggaraan dan Pengembangan Model Kecakapan Hidup (life skill) pada Program Keaksaraan Fungsional (KF): Studi Kasus Kelompok Belajar KF di Desa Kedungjati Kecamatan Kedungjati Kabupaten Grobogan. [Skripsi].[internet].[diunduh tanggal14 Oktober 2010]. Dapat diunduh dari: http://imadiklus.com/model-kecakapanhidup-life-skill-pada-keaksaraan-fungsional-KF-studi-kasus-kelompok-belajar-KF-di-desakedungjati-kecamatan-kedungjati-kabupaten-grobogan/. Badan Pusat Statistik , 2009, ‘Jumlah dan Persentase Buta huruf, BPS-RI, Susenas 2009’. [internet].[diunduh tanggal 20 Oktober 2010]. Dapat diunduh dari: www.bps.go.id. Bachtiar A. 2010. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Menurun.[internet].[diunduh tanggal 14 Oktober 2010]. Dapat diunduh dari: http://www.depkominfo.go.id/berita/ bipnewsroom/indeks-pembangunan-manusia-indonesia-menurun/. Direktur Jenderal Pendidikan Nonformal dan Informal Kementrian Pendidikan Nasional, 2010, ‘Buta Aksara Masih Tinggi’.[internet].[diunduh tanggal 20 Oktober 2010]. Dapat diunduh dari: http://www.pnfi.kemdiknas.go.id/news/20100930130459/BUTA-AKSARAMASIH-TINGGI.html. Empowering Women. 2005. [internet].[diunduh tanggal 1 Desember 2010]. Dapat diunduh dari: http://result.org/website/article.asp?Id.2458. Ife J. (1995). Community Development: Creating Community Alternatives, Vision, Analysis and practice. Australia: Longman. Inayah. 2007. Pemberdayaan Perempuan di Gayo Melalui Pendidikan. Jurnal Edukasi. Vol.3: 43-57.
56
Irwan M. 2007. Penyelenggaraan Program Pendidikan Keaksaraan Fungsional di Dusun Krajan Desa Gadingkulon Kecamatan Dau Kabupaten Malang.[Skripsi]. Universitas malang. [internet].[diunduh tanggal 14 Oktober 2010]. Dapat diunduh dari: http://karyailmiah.um.ac.id/index.php/PLS/article/view/2768. Ismadi H. 2005. Studi Efektivitas Penyelenggaraan Program Keaksaraan Fungsional. Jurnal Kebijakan Pendidikan. 01(01): 87-108. Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI. 2010. Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender. [internet].[ diunduh tanggal 18 Januari 2011]. Dapat diunduh dari: Http://Www.Kementrianpemberdayaanperempuandanperlindungananakri.Go.Id/Pemberday aanperempuan.Html. Kusmiadi A. 2007. Model Pengelolaan Pembelajaran Pasca Keaksaraan melalui Penguatan Pendidikan Kecakapan Hidup bagi Upaya Keberdayaan Perempuan Pedesaan: Studi Pemberdayaan Perempuan Pedesaan di Kampung Cibago, Kecamatan Cisalak, Kabupaten Subang.[Hasil Penelitian]. P2PNFI Regional II. Semarang. Lutfi M. 2007. Evaluasi Implementasi Program Keaksaraan Fungsional Tahap Pemberantasan di Desa Jetis Kecamatan Baki Kabupaten Sukoharjo.[Skripsi]. Solo: Universitas Sebelas Maret. Marzuki M. 2010. Keaksaraan Fungsional: Latar Belakang dan Pengertian. Universitas Negeri Malang. Nasdian FT. 2007. Modul pengembangan Masyarakat. Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor: Bogor. Priyono OS, Pranarko A. (1996), Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: CSIS. Rizki M. 2008. Peran PKBM Suka Caturtunggal dalam Peningkatan Sumber Daya Manusia di Kelurahan Caturtungga, Depok, Sleman, Yogyakarta.[Skripsi]. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Sihombing U, Gutama. 1999. Profil PKBM di Indonesia pada Masyarakat Perintisan. PD. Mahkota: Jakarta.
57
Sulton L. 2008. Keberhasilan Program Keaksaraan Fungsional: Studi Kasus Pusat Kegiatan Belajar Mengajar Damai Mekar, Kelurahan Sukamadai, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor. [Skripsi].Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sumodiningrat G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat & JPS. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Suyono H. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Mengantar Manusia Mandiri, Demokratis, dan Berbudaya. Khanata: Jakarta. Todaro MP, Smith SC. 2006.Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Modul Ekonomi Pembangunan. UNESCO. 2007. Laporan Global PUS (Pendidikan untuk Semua) 2007: Keaksaraan bagi Kehidupan.[internet].[diunduh tanggal 1 Desember 2010]. Dapat diunduh dari: Http//unesdc.unesco.org/images/0014/0014427IND.pdf. United Nations.1996. General Assembly Resolution.[internet].[diunduh tanggal 22 Januari 2010]. Dapat diunduh dari: http://www.unesco.org/education/efa/ed_for_all/background/un_resolution_1997.shtml. Wahyuni ES, Winati W, Murdianto, Dwi Sadono. 2005. Pemberdayaan Perempuan Pedesaan.[Hasil Penelitian]. PSP3: Bogor. Wahyuni T, Rusdianto, Syofia C, Septi N. 2010. Analisis Program Keaksaraan Fungsional Terhadap Peningkatan Angka Melek Aksara (Literacy Rate) di Desa Bades Kecamatan Pasirian Kabupaten Lumajang. Penulisan Ilmiah Program Kreatifitas Mahasiswa. Universitas Negeri Malang.[internet].[diunduh tanggal 14 Oktober 2010]. Dapat diunduh dari: http://kemahasiswaan.um.ac.id/wpcontent/uploads/2010/04/PKM-AI10-UM-Tutik-Analisis-Program-Keaksaraan.pdf.
58
LAMPIRAN
59
Lampiran 1 Daftar Nama Warga Belajar di Desa Citapen (Kerangka Sampling)
No.
Nama
Umur
Tahapan Yang Dilewati
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34
Murtiah Anah Zenab Acih Ucih Aam Endah Anah Wiwi Iis Eroh Susan sarah Yeyet Lilis Nonih Yuningsih neneng Nur Kilah Karnasih Lilis Fatimah Eva Pipih nur Laili Risna Howiyah Marliyah Watiyawati Hanum Fitriah Lina Siti Hasanah Siti Afifah
60 58 69 59 59 50 52 48 47 61 54 52 49 60 48 58 60 45 53 51 35 45 33 35 40 28 53 42 48 38 30 35 55 28
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3
Alamat RT
RW
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 3 3
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 4 4
Dusun Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Kp. Pondok Menteng Citapen Citapen
60
35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
Anita Nur Hayati Nur Yati Iis Holisoh Euis Yuningsih Eha Lina Elih Evi Nur Lela Rasmini Nining Fatmawati Rukoyah Munaroh
29 33 42 58 40 25 31 29 30 33 28 48 46 28 48 30
Keterangan : Bukan Responden Terpilih Responden Terpilih
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Citapen Citapen Citapen Citapen Citapen Citapen Citapen Citapen Citapen Citapen Citapen Citapen Citapen Citapen Citapen Citapen
61
Lampiran 2 Dokumentasi
1. Tempat Belajar Kelompok Dahlia 2
2. Tempat Belajar Kelompok 8
3. Tempat Belajar Kelompok Dahlia 15
4. Hasil Keterampilan Warga Belajar Memasang Payet Kerudung
62
5. Warga Belajar PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri
6. Surat Keterangan Melek Aksara (SUKMA)
7. Taman Bacaan Kelompok Dahlia 8
63
Lampiran 3 Peta Desa Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor.
Sumber: Data Kelurahan Citapen, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor
64
Lampiran 4 Jurnal Kegiatan di Lapang No.
1
2
3
4 5 6 7
Hari dan Tanggal Kegiatan
Jumat 25 Maret 2011
Rabu, 30 Maret 2011
Kamis, 31 Maret 2011 Senin, 4 April 2011 Rabu, 6 April 2011 Sabtu, 9 April 2011 Minggu, 10 April 2011
Waktu
Kegiatan
10.00 – 15.00
− Menyerahkan surat izin penelitian ke Balai Desa Citapen. − Bertemu dengan Bapak Hendriawan sekertaris PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri. − Menentukan kelompok belajar yang telah melewati tahap 1,2, dan 3 untuk dijadikan kerangka sampling.
10.00 – 12.00
− Meminta profil desa atau gambaran umum desa ke Balai Desa. − Melakukan pengocokan nama-nama responden yang akan menjadi sampel penelitian.
13.00 – 15.30
12.30 – 17.35 10.00 – 12.00 10.00 – 14.00 10.00 – 14.00
8
Selasa, 12 April 2011
12.40 – 17.45
9
Rabu, 13 April 2011
10.00 – 15.00
10
Kamis, 14 April 2011
11.00
− Bertemu dengan Teh Noni (Informan) untuk wawancara mendalam dan membicarakan mengenai nama-nama responden yang akan menjadi sampel penelitian. − Wawancara pada 10 warga belajar (responden) kelompok Dahlia 2 − Wawancara pada 5 warga belajar (responden) kelompok Dahlia 2 − Wawancara pada 7 warga belajar (responden) kelompok Dahlia 8. − Wawancara pada 8 warga belajar (responden) kelompok Dahlia 8. − Wawancara pada 5 warga belajar (responden) kelompok Dahlia 15. − Wawancara dengan Bapak Aziz (informan). − Wawancara pada 10 warga belajar (responden) kelompok Dahlia 15. − Pamit dengan warga dan pengurus PKBM Saraga Lekas Insan Mandiri.