Fenonema Penghapusan Tindak Kekerasaan dalam Rumah Tangga (Harapan dan Kenyataan) (Anita Afriana)
FENONEMA PENGHAPUSAN TINDAK KEKERASAAN DALAM RUMAH TANGGA ( HARAPAN DAN KENYATAAN ) Anita Afriana Staf Pengajar Fakultas Hukum Unpad Jl. Dipati Ukur No. 35 Bandung ABSTRAK. Kekerasaan terhadap perempuan merupakan pelanggaran HAM, karenanya korban harus mendapat perlindungan dan perhatian yang serius dari negara dan atau masyarakat. Selama ini, perlindungan terhadap korban KDRT masih sangat kurang, meski setiap hari kita dapat menemui kasus – kasus KDRT. Korban KDRT umumnya berhadapan dengan berbagai persoalan, mulai dari kesulitan pembuktian, struktur hukum yang belum berperspektif gender, pandangan – pandangan agama, hingga budaya hukum yang menganggap bahwa mengungkap KDRT adalah aib. Korban juga umumnya merasa enggan melaporkan kasusnya ke polisi karena khawatir kasusnya tidak akan membawa penyelesaian, hanya membuang waktu saja, memikirkan masalah ekonomi keluarga, atau bahkan ada rasa takut jika pelaku akan dimasukkan ke penjara. Masyarakat sendiri juga selama ini terkesan tidak memberikan perlindungan kepada korban karena menganggap masalah rumah tangga orang lain dan tidak berhak untuk turut campur lebih jauh padahal secara hukum internasional tindak kekerasaan dalam rumah tangga terhadap wanita adalah masalah publik. Sejumlah harapan kini tertuju pada UU No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan KDRT yang disahkan sejak tanggal 14 September lalu. Sebagai payung hukum diharapkan undang – undang ini dapat memberikan perlindungan dan penegakan hak – hak wanita. Tetapi dibalik optimisisme itu, banyak faktor – faktor kendala lainnya yang tampaknya sulit untuk dapat merealisasikan undang – undang ini secara sempurna. Kata Kunci : Undang – Undang, korban, kekerasaan
ABSTRACT. The harassment of women is a human right violation, therefore the sacrifices must get serious protection and attention from government and public. For a long time, the protection of many women experienced harassment in household is not accommodated. The sacrifices of women in household face many problems such as structure of law does not have gender perspective, difficult authentication, religion norm, and the sacrifices are unwilling to report the problem to police because the feeling of their problem does not reach the solution, spend times, influence family income and fear if the actor will get punishment. On other hand the government assumed that household is very absurd since the government consider it as domestic problems of human rights, but international regulation assume that women violence is a public problem and government has responsibility to solve the problem. Nowadays, we hope to direct 61
Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 7, No. 1, Maret 2005 : 61 - 70
to Constitution No. 23 year 2004. This regulations have been used since September 14, 2004. As a right equal status of women, the regulator hopefully will give protection and able to eliminate of non discrimination but so many factors to realize this perfect regulation. Keywords : regulation, sacrifice of women, harassment
PENDAHULUAN Seratus hari kinerja pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, berbagai kalangan masyarakat maupun lembaga – lembaga kemasyarakatan menyuarakan “Penegakan Hukum” sebagai prioritas yang penting dan utama karena masalah penegakan hukum ini merupakan penyebab terjadinya keterpurukan diberbagai bidang yang dialami bangsa Indonesia. Begitu kompleksnya permasalahan hukum yang ideal untuk ditegakkan, salah satunya adalah yang menyangkut wanita dan rumah tangga. Kekerasaan dalam rumah tangga bukanlah sebuah isu baru karena sejak lama isu ini disuarakan, namun kurang mendapat respon yang memadai dikalangan masyarakat luas. Masalah ini perlu mendapat perhatian yang lebih intensif dan serius, karena korban - korbannya seringkali tidak mendapat perlindungan yang cukup dari sisi hukum. Selain wanita, yang kerap kali rentan menjadi korban adalah anak dan pihak yang tersubordinasi yaitu anggota keluarga atau pihak lain dalam lingkup rumah tangga yang berada dalam posisi atau kedudukan tidak setara atau relatif berada dibawah kekuasaan pihak lain baik karena perbedaan jender, kelas atau usia, misalnya pembantu rumah tangga. Perlakuan – perlakuan kekerasaan sangat mempengaruhi akses dan kontrol terhadap berbagai sumber daya karena perempuan adalah bagian terbesar dalam struktur kependudukan Indonesia. Data di Pusat Krisis Terpadu (PKT) RSCM yang memberi layanan terpadu (medis, psikososial, dan medikolegal) untuk perempuan korban kekerasaan menunjukkan klien KDRT pada tahun 2001 sebanyak 105 orang, 106 orang (2002) dan 112 0rang (2003) serta pada Januari sampai dengan Mei 2004 sebanyak 55 klien 1. Data – data diatas menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun, dan hanyalah sebagian kecil dari kasus kasus kekerasaan yang ditangani dalam artian tidak termasuk kasus – kasus kekerasaan lainnya yang tidak sempat terekspos. Berdasarkan latar belakang diatas, setelah menunggu hampir 10 tahun lahirlah Undang – Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga (Selanjutnya akan disebut UU P-KDRT), yang diharapkan dapat mencegah segala bentuk kekerasaan dalam rumah tangga dan melindungi korban terutama kaum wanita. Landasan hukum UU P-KDRT antara lain UUD 1945 Pasal 28G, bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan dari pribadi, 1
Harian Umum Kompas, 12 Juli 2004, dalam artikel ”Peliknya Penanganan KDRT”
62
Fenonema Penghapusan Tindak Kekerasaan dalam Rumah Tangga (Harapan dan Kenyataan) (Anita Afriana)
keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat dan tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Tetapi walaupun UU P-KDRT sudah begitu kompleks mengatur berbagai hal terutama hak – hak wanita tetapi dalam pelaksanaannya sangat sulit menyelesaikan kasus – kasus yang ada karena pemahaman masyarakat yang mengartikan ‘Penegakan Hukum’ sebagai implementasi dari undang – undang atau ‘Law Enforcement’ adalah kurang tepat karena penegakan hukum bukan hanya sekedar pelaksanaan dari suatu undang – undang tapi merupakan suatu proses penyelarasan nilai, kaidah, dan pola perilaku masyarakat apalagi bila menyangkut pelanggaran – pelanggaran dalam rumah tangga yang notabene dianggap masyarakat sebagai urusan intern suami isteri dan betapa kentalnya budaya hukum kita yang bersifat patriakhis. PERUMUSAN MASALAH Masalah yang hendak dicari jawabannya adalah : Pertama, faktor – faktor apakah yang mengakibatkan tindak kekerasaan dalam rumah tangga sulit untuk diselesaikan? Kedua, sejauhmana Undang – Undang No 23 Tahun 2004 memberikan perlindungan kepada korban? TUJUAN PENULISAN Pertama, mencari tahu tentang faktor – faktor yang mengakibatkan tindak kekerasaan dalam rumah tangga sulit untuk diselesaikan. Kedua, menjelaskan tentang keberadaan Undang – Undang No 23 Tahun 2004 dalam memberikan perlindungan terhadap korban HASIL DAN PEMBAHASAN Dilema Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga Bila melihat latar belakang lahirnya UU P-KDRT, keberadaan undang– undang ini yang begitu rigid tampaknya dapat memberi secercah harapan akan terwujudnya penegakan hukum atas kekerasaan dalam rumah tangga. Tetapi dalam pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan karena banyak faktor– faktor terkait yang patut dibenahi, antara lain : 1. Aparat Penegak Hukum Hukum memiliki andil dalam konstruksi proses viktimisasi, dengan orientasi hukum pidana yang sangat terbatas dan tradisional. Persoalan korban menjadi persoalan sepele dan tidak terperhatikan. Orientasi hukum selama ini selalu ditujukan kepada penanganan kejahatan untuk merubah para pelanggar hukum,
63
Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 7, No. 1, Maret 2005 : 61 - 70
namun tidak pernah disadari sebenarnya terdapat persoalan dalam sistem hukumnya sendiri2 Penanganan kasus tindak kekerasaan dalam rumah tangga berbeda dengan kasus-kasus tindak pidana yang dikenal dalam KUHP, sekalipun UU 23/2004 mengacu pada hukum acara pidana yang berlaku. Proses penanganan kasus tindak kekerasaan dalam rumah tangga pada prinsipnya mengikuti sistem peradilan pidana sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP mulai dari proses penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pemasyarakatan. Namun banyak kendala yang dihadapi dilapangan ketika proses itu berlangsung, antara lain : a. Banyaknya kasus KDRT tidak bisa sampai ke pemeriksaan pengadilan dikarenakan para petugas hukum tahap penyidikan sama sekali tidak memahami bahwa delik ini memiliki dasar yang khas yaitu ”Gender” b. Banyak perempuan–perempuan yang masih memilih mempertahankan sosial budaya daripada memilih keadilan karena belum memahami hak – hak perempuan sebagai hak asasi c. Pola pikir para ahli hukum yang masih terstruktur dengan paham legalistik kendati dalam penerapan hukum yang emansipatif diperlukan keberanian seorang hakim melakukan konstruksi hukum didalam menemukan suatu keadilan Bentuk tindakan – tindakan KDRT sangat bervariasi mulai menggunakan tangan kosong sampai benda tajam yang dampaknya bukan saja berakibat pada penderitaan fisik tetapi juga psikis bahkan sampai merenggut korban jiwa. Para lelaki melakukan kekerasaan terhadap isteri / anak karena adanya keyakinan bahwa mereka akan bebas dari hukuman, oleh karena itu ada kecenderungan yang kuat untuk menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak menguntungkan dibandingkan posisi laki laki didepan hukum dan keadilan Aparat penegak hukum sekali lagi tetap merasa bahwa kekerasaan dalam rumah tangga adalah bukan masalah publik. Polisi dalam menjalankan tugas lebih terkonsentrasi pada penanganan kejahatan diluar rumah tangga baik jaksa, polisi, maupun hakim seharusnya lebih bijaksana dalam menangani kasus yang ada. Selama ini tindak kekerasaan dalam rumah tangga tergolong sebagai delik aduan yaitu suatu perkara yang dapat diproses apabila ada pihak yang mengadukan3 misalnya isteri. Setelah diadukan, polisi akan bertindak dan memprosesnya sesuai hukum dan kemudian diajukan ke pengadilan negeri. Namun sebelum diajukan pada pengadilan, pihak pelapor memiliki kesempatan untuk mencabut pengaduannya. Pencabutan pengaduan mungkin saja dilakukan setelah kedua belah pihak melakukan perundingan dan saling memaafkan. Praktik memaafkan seperti itu sudah biasa dilakukan ketika perkaranya ditangani polisi. Penerapan asas “Lex spesialis derogat lex generalis” dalam hal ini UU P- KDRT 2 3
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 1996, hlm 17 Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm 78
64
Fenonema Penghapusan Tindak Kekerasaan dalam Rumah Tangga (Harapan dan Kenyataan) (Anita Afriana)
sebagai UU spesialis dari KUHP telah mengatur kewajiban – kewajiban dan peran dari penegak hukum dalam menangani kasus kekerasaan dalam rumah tangga. Di era reformasi, keberadaan suatu peraturan sudah cukup memadai secara yuridis untuk menangani masalah masalah yang ada sehingga untuk mengimbanginya sudah saatnya komponen – komponen penegak hukum mulai dapat membenahi diri karena mereka yang berkecimpung dibidang penegakan hukum tidak hanya mencakup “Law enforcement” akan tetapi juga sebagai “Peace maintenance”. 2. Pandangan Masyarakat dan Budaya Faktor budaya tidak terlepas dari masyarakat yang bersatu padu sebagai satu sistem kemasyarakatan. Sistem nilai yang menjadi inti dari suatu budaya akan membentuk tatanan dari suatu lembaga hukum formal. Budaya hukum adalah kekuatan kekuatan sosial yang hidup dalam masyarakat yang memiliki daya pengaruh yang kuat dalam menentukan apakah substansi hukum dapat bekerja atau tidak. Bila dikaitkan dengan budaya hukum, kita menyaksikan bahwa budaya hukum kita bersifat sangat patriakhis, berdampak pada banyaknya kasus diskriminasi dan kekerasaan terhadap perempuan termasuk kekerasaan dalam rumah tangga, karena pria merasa lebih berkuasa dalam segala hal. Walaupun kini begitu banyak keberadaan LSM yang bergerak dibidang perlindungan wanita pada khususnya dan hak asasi manusia pada umumnya tetapi keberadaan lembaga – lembaga kemasyarakatan tersebut tidak banyak berperan dalam menekan tingkat laju kekerasaan dalam rumah tangga. Hal ini dikarenakan LSM hanya berperan ketika korban meminta perlindungan ataupun sekedar berkonsultasi saja. Budaya timur dan ajaran Islam yang mayoritas dihanut masyarakat Indonesia tampaknya juga kurang ‘sehati’ terhadap keberadaan UU P-KDRT. Menurut sebuah tulisan di sebuah media masa, secara tidak sengaja terungkap bahwa pandangan – pandangan orang terhadap persoalan rumah tangga antara lain : bahwa alasan orang berkeluarga adalah untuk membentuk keluarga sakinah sehingga kalaupun ada perselisihan sebaiknya diselesaikan diantara suami isteri, keluarga, atau kerabat saja tanpa campur tangan pihak lain. Fakta – fakta tersebut diatas menunjukkan bahwa tidak semua orang merasa perlu untuk membicarakan masalah rumah tangganya kepada pihak luar bagaimanapun peliknya masalah itu. Inilah yang salah satunya menyebabkan banyak sekali kasus – kasus kekerasaan dalam rumah tangga tidak terekspos karena ada semacam keengganan dari pihak isteri untuk menceritakan masalah rumah tangganya, belum lagi rasa kekhawatiran bila sang suami akan masuk bui bila ternyata memang dinyatakan bersalah atau menganggap kekerasaan yang telah terjadi hanyalah sebuah kekhilafan semata, yang diharapkan akan berujung pada perdamaian4. Sebagai contoh, kasus dibawah ini menunjukkan adanya tindak kekerasaan dalam rumah tangga karena adanya faktor budaya : 4
Anna Sakreti, Kompas 12 Juli 2004, dalam artikel berjudul ” Peliknya Penanganan KDRT”
65
Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 7, No. 1, Maret 2005 : 61 - 70
Seorang mahasiswa asli Papua yang sedang KKN di pedalaman Jayapura bercerita bahwa ia merasa kaget ketika melihat seorang isteri dipukuli suaminya dengan batu dibagian kepala. Ia hendak menolong perempuan itu tapi ditarik oleh anggota masyarakat setempat dan berkata “ itu urusan keluarga, orang lain dilarang ikut campur” . Dikesempatan yang lain mahasiswa itu juga menyaksikan bahwa suku Dani masih menjalankan kebiasaan potong jari perempuan jika anggota keluarga perempuan itu ada yang meninggal sebagai pertanda duka cita, dan pemotongan jari dilakukan oleh laki – laki dalam keluarga itu. Apakah hal ini juga termasuk kekerasaan dalam rumah tangga? Bila melihat definisi kekerasaan secara fisik, jelas bahwa ini adalah tindak kekerasaan, tetapi perlu dikaji sekali lagi bahwa ini adalah sebuah BUDAYA termasuk budaya untuk tidak mencampuri urusan dalam rumah tangga pihak lain.. Banyak pula kasus kekerasaan fisik yang akhirnya dilakukan suami kepada isteri adalah karena kesalahan isteri walaupun juga tidak jarang karena sifat tempramental yang dimiliki sang suami. Menanggapi kasus seperti ini pun harus adil karena bisa saja korban yang melapor terlalu melebih – lebihkan tindak kekerasaan yang dilakukan suaminya. Berikut petikan sebuah kasus tindak kekerasaan dalam rumah tangga yang diambil dari sebuah tabloid, edisi awal Desember 2004 :5 Suami, seorang aktor sering menempeleng isterinya karena sang isteri konon menurut beberapa saksi / bahkan sempat kepergok juga sering pergi keluar kota bersama seorang lelaki yang notabene adalah selingkuhannya. Suami merasa perlu untuk memberikan pelajaran dan peringatan pada isteri untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Pada akhirnya isteri yang juga seorang penyanyi mengajukan gugat cerai ke pengadilan agama dengan alasan sudah tidak kuat lagi bila sering diperlakukan dengan kasar. Bila dicermati kasus diatas, suami dapat dikenakan hukuman pidana karena telah melakukan kekerasaan fisik menurut UU P-KDRT, tetapi sebaiknya berbagai kasus yang ada harus disesuaikan pula dengan sebab – sebab atau motivasi terjadinya kekerasaan, budaya bahwa isteri harus patuh kepada suami sebagai kepala rumah tangga, pandangan agama dll, dengan tidak langsung menjustifikasi bahwa seorang pria / suami yang melakukan kekerasaan pada isteri adalah mutlak dinyatakan bersalah. Merubah suatu budaya yang begitu ditaati masyarakat bahkan telah mendarah daging adalah sangat rumit. Salah satu cara yang cukup efisien adalah dengan cara mengadakan penyuluhan – penyuluhan hukum kepada masyarakat.6
5 6
Tabloid Nova, 12 Desember 2004, dalam artikel berjudul ”Babak baru Adjie – Reza” Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan Sebuah Pendekatan Sosiokultural, Kriminologi, Hukum, dan HAM, Unpad Press, Bandung, 2004, hlm 313
66
Fenonema Penghapusan Tindak Kekerasaan dalam Rumah Tangga (Harapan dan Kenyataan) (Anita Afriana)
Hendaknya LSM terkait tidak hanya sebagai wadah konsultasi setelah terjadinya tindak kekerasaan saja tetapi berusaha untuk mensosialisasikan UU PKDRT kepada masyarakat yang tidak terbatas pada komunitas wanita saja tapi juga kaum pria. Hukum Indonesia Yang Kurang Melindungi Korban Hukum positif di Indonesia saat ini memang telah mengatur berbagai bentuk pencegahan, penanggulangan bahkan penghukuman terhadap kekerasaan / seksual dalam rumah tangga yang banyak melibatkan wanita dan anak – anak. Sebelum adanya Undang – Undang No. 23 tahun 2004, pemerintah RI telah lebih dahulu meratifikasi Konvensi PBB ’Convention On The Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women’ 18 Desember 1947 dengan Undang – Undang No 7 tahun 1984 yaitu UU tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Namun bila dilihat dari sudut hukum acara pidana ( yang selama ini diberlakukan), kedudukan korban sangat pasif karena kepentingannya cukup diwakilkan oleh Jaksa Penuntut Umum7 bahkan seringkali masih ada aparat hukum yang menolak untuk menegakkan hukum apabila kejahatan itu terjadi dalam lingkup domestik dan personal sehingga publik dan negara tidak merasa perlu campur tangan. Disamping itu tidak sedikit pula terdapat cara pandang hakim, jaksa, dan polisi yang sangat konvensional terhadap korban kejahatan wanita dan anak. Banyak kasus KDRT tidak dapat berlanjut dalam proses hukum akibat sempit dan biasnya definisi KDRT dalam KUHP karena pendekatan yang positivistik dan moralistik 8. Menurut hemat penulis, masalah kekerasaan dalam rumah tangga tetap merupakan masalah publik walaupun kekerasaan tersebut terjadi dalam lingkup yang kecil yaitu berasal dari ’rumah’, bagaimanapun juga telah menyangkut pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusian serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan walaupun sistem di Indonesia belum menjamin perlindungan memadai terhadap kekerasan tersebut. Lahirnya UU P-KDRT ini lebih kepada hak – hak korban dan kewajiban serta tanggung jawab pemerintah dan masyarakat dalam mengurangi tindakan KDRT. Walaupun selama ini telah ada KUHP yang mengatur KDRT dan memberikan perlindungan kepada korban tetapi setidaknya keberadaan UU P-KDRT ini memberikan sedikit pencerahan dengan tidak menjadikan korban sebagai korban lagi (reviktimisasi korban ) serta adanya perlindungan saksi korban selama proses hukum. Selain itu asas Unus Testis Nullus Testis atau satu saksi bukan saksi yang berlaku dalam hukum acara dapat dikesampingkan sehingga kasus 7
8
Rukmini, Wanita dan Anak Korban Kekerasaan Seksual ( Penanggulangan dan Perlindungannya), Jurnal Penegakan Hukum, Vol 2 No1, Bag Hukum Acara, Fak Hukum Unpad Harian Media Indonesia, 17 Juli 2004, dalam artikel berjudul “ Mengapa Rancangan UU Anti –KDRT Diperlukan?” Mien
67
Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 7, No. 1, Maret 2005 : 61 - 70
KDRT dapat langsung diproses secara hukum hanya dengan satu saksi yaitu korban sendiri asalkan ditemukan bukti kekerasaan misalnya ada kekerasaan fisik pada tubuh korban. Menurut Pasal 1 UU P-KDRT, : Tindak Kekerasaan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga Beberapa hal yang perlu ditelaah lebih lanjut dalam UU P-KDRT antara lain : 1. Objek yang dapat menjadi korban dalam KDRT : a. Suami, isteri, dan anak b. Orang – orang yang mempunyai hubungan keluarga karena adanya hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Apabila dijabarkan lebih lanjut maka tindak kekerasan dalam rumah tangga terbagi menjadi beberapa kategori yaitu : a. Tindak kekerasan fisik; Perbuataan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat b. Kekerasaan Psikologis; Perbuataan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau penderitaan psikis berat pada seseorang. c. Kekerasaan Seksual; Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu. d. Penelantaran Rumah Tangga (kekerasaan bersifat ekonomi ) yaitu tidak melaksanakan kewajiban memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; Membuat orang menjadi bergantung secara ekonomi agar orang tersebut dibawah kendali. Hak dan Perlindungan Korban KDRT Selain mengatur ketentuan bagi pelaku KDRT, sebagai terobosan hukum, UU ini mengenal pidana tambahan atau percobaan, yaitu berupa pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak – hak tertentu dari pelaku, serta penetapan pelaku mengikuti program konseling dibawah pengawasan lembaga
68
Fenonema Penghapusan Tindak Kekerasaan dalam Rumah Tangga (Harapan dan Kenyataan) (Anita Afriana)
tertentu, pidana minimal (Pasal 47 dan 48), dan tentang tindak pidana yang merupakan delik aduan (Pasal 51 – Pasal 53 ) Mengenai hak – hak korban, disebutkan antara lain perlindungan dari pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Disini terlihat bahwa hak korban melingkupi aspek psikososial, medis, hukum, dan kerohanian. Keterangan korban sebagai saksi kini juga dinyatakan cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah, apabila disertai suatu alat bukti sah lainnya. Peran penting kepolisian adalah dalam memberikan perlindungan sementara terhadap korban. Peran ketua pengadilan adalah dapat mengeluarkan Surat Perlindungan bagi korban dan anggota keluarga lainnya. Undang – Undang ini juga mengatur bahwa masyarakat yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya KDRT berkewajiban untuk mencegah berlangsungnya tindak pidana, memberikan perlindungan kepada korban, memberikan pertolongan darurat, dan membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan. PENUTUP DAN REKOMENDASI Banyak kalangan yang tidak mengetahui keberadaan UU P-KDRT. Undang – Undang No 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasaan Dalam Rumah Tangga mengatur antara lain masalah hak dan perlindungan korban KDRT yang meliputi perlindungan dari pihak kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, atau pihak lainnya. Korban yang mendapat perlindungan tidak hanya wanita (isteri) tetapi juga anak – anak, orang yang mempunyai hubungan keluarga yang menetap dalam rumah tangga maupun orang yang membantu dan menetap dalam rumah tangga Selama ini penghapusan tindakan kekerasaan dalam rumah tangga sulit untuk diselesaikan. Kehadiran UU ini juga dianggap banyak membawa kontroversi. Disatu sisi kekerasaan dalam rumah tangga yang meliputi kekerasaan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaraan ekonomi dianggap sebagai pelanggaran HAM yang sangat dikutuk oleh dunia tetapi disisi lain sangat sulit mencegah dan menyelesaikan kekerasaan dalam rumah tangga karena banyaknya faktor – faktor yang saling berbenturan antara lain budaya dan pandangan agama. Oleh karena itu upaya yang efektif dilakukan adalah dengan cara penyuluhan hukum untuk menekan laju tingkat kekerasaan dan penganiayaan dalam rumah tangga karena pencegahan relatif lebih mudah dilaksanakan daripada penyelesaiannya, karena tampaknya polisi pun sudah menutup mata dengan mengganggap bahwa kasus KDRT termasuk sebagai persoalan domestik tetapi mudah – mudahan UU P-KDRT ini dapat menjadi tonggak penerobosan batas domestik – publik dalam penegakan HAM di Indonesia..
69
Jurnal Sosiohumaniora, Vol. 7, No. 1, Maret 2005 : 61 - 70
DAFTAR PUSTAKA Buku Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung, 1996 Moeljatno, Asas – Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1993 Soerjono Soekanto, Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1986 Yesmil Anwar, Saat Menuai Kejahatan Sebuah Pendekatan Sosiokultural, Kriminologi, Hukum dan HAM, Unpad Press, Bandung, 2004 Artikel Diana Pangemanan, Penghapusan Tindak Kekerasaan Dalam Rumah Tangga, Pusat Penelitian Wanita Universitas Indonesia, 2004 Mien Rukmini, Wanita dan anak Korban Kekerasaan Seksual ( Penanggulangan dan Perlindungannya, Jurnal Penegakan Hukum, Bagian Hukum Acara Fakultas Hukum Unpad, Bandung, Vol 2 No 1
Harian Umum Kompas, Peliknya Penanganan KDRT Harian Umum Kompas, “Masa Jeruk Minum Jeruk?” Media Indonesia, Mengapa Rancangan UU Anti KDRT Diperlukan? Harian Pikiran Rakyat, Polisi menutup Mata Terhadap Kasus KDRT Peraturan Perundangan Undang – Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
70