1
FENOMENOLOGI SEBAGAI EPISTEMOLOGI BARU DALAM PERENCANAAN KOTA DAN PERMUKIMAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Oleh: Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D
2
FENOMENOLOGI SEBAGAI EPISTEMOLOGI BARU DALAM PERENCANAAN KOTA DAN PERMUKIMAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 14 Maret 2012 di Yogyakarta
Oleh: Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D
3
(halaman ini sengaja dikosongkan)
1 Bismillaahir-rohmaanir-rohiim Yang saya hormati, Ketua, Sekretaris dan Anggota Majelis Wali Amanat, Ketua, Sekretaris dan Anggota Majelis Guru Besar, Ketua, Sekretaris dan Anggota Senat Akademik, Rektor, Wakil Rektor Senior, dan Wakil Rektor, Para Dekan dan Wakil Dekan, Ketua Lembaga, Ketua dan Sekretaris Senat Fakultas, Para Dosen, Tenaga Kependidikan dan Mahasiswa Para Pengurus dan Anggota Keluarga Alumni Gadjah Mada, Para Tamu Undangan dan Hadirin yang saya muliakan, Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh Selamat pagi dan salam sejahtera Aum Swasti Astu
Sungguh, rasa syukur memenuhi hati kami atas Ridhlo Allah SWT yang diberikanNya sehingga pada pagi hari ini yang penuh doa dari para hadirin, saya berkesempatan menyampaikan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam bidang ilmu Perencanaan Kota pada Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, dengan judul: FENOMENOLOGI SEBAGAI EPISTEMOLOGI BARU DALAM PERENCANAAN KOTA DAN PERMUKIMAN Hadirin yang saya muliakan,
Tradisi perencanaan kota, sebenarnya sudah dimulai oleh manusia seiring dengan usia peradaban kota yang telah dibangun manusia sejak jaman Mesir Kuno yang ditandai oleh munculnya kota Memphis yang dibangun oleh Raja Menes pada tahun 2.686 SM, disusul oleh kota Thebes oleh Raja Hyksos pada tahun 1.786 SM,
2 kemudian diikuti oleh kota Luxor tempat dibangunnya kuil-kuil Karnak pada tahun 1546 SM oleh Raja Amenhotep I (Barocas 1972). Pada masa-masa itu, pembangunan kota telah dipandu oleh suatu rencana kota yang telah mengikuti prinsip-prinsip penataan ruang yang mengatur penempatan kawasan pemerintahan, kawasan hunian, kawasan sakral dan keagamaan, kawasan militer, kawasan industri, kawasan perdagangan dan kawasan pergudangan. Prinsip-prinsip tersebut sesungguhnya mirip dengan prinsip-prinsip perencanaan kota yang kita kenal sekarang sebagai modern planning yang mencakup town planning, zoning, site planning, dan civic design (Mokhtar, 1974). Namun, dalam teks-teks perencanaan kota yang dikenal sampai saat ini, yang disebut sebagai perencanaan moderen (modern planning) adalah perencanaan yang muncul setelah revolusi industri (Ratclif, 1974; Hall, 2004; LeGates and Stout, 2009). Revolusi industri dengan kredonya rasionalisasi, optimalisasi, minimalisasi, dan maksimalisasi telah merubah cara-cara manusia melakukan produksi benda-benda dari penggunaan tenaga manusia dan hewan menjadi tenaga mesin (Gurrel, 1992). Perubahan cara berproduksi ini telah melahirkan pertumbuhan dan surplus perkotaan yang tidak diduga sebelumnya. Kota-kota yang dibangun pada masa klasik, abad pertengahan dan masa renaisans pada akhirnya tidak siap dan tidak mampu menerima pertumbuhan dan surplus yang luar biasa. Kota-kota yang dirancang terutama untuk fungsi hunian tiba-tiba harus menjalankan fungsi sebagai ruang produksi, pergudangan sekaligus pemasaran. Konsekuensi yang harus dibayar adalah semua limbah produksi yang terdiri dari limbah cair, padat dan gas berhamburan melimbahi udara dan tanah-tanah hunian perkotaan. Kesehatan manusia perkotaan kemudian dikorbankan atas nama surplus dan pertumbuhan kota. Kota-kota menjadi kumuh, penuh polusi dan tidak nyaman lagi dihuni.
Dalam situasi krisis perkotaan seperti itu, modern planning dengan kapasitas preskriptifnya telah menjadi penyelamat kehancuran involutif yang mematikan kota-kota di Eropa di akhir abad 19 dan awal abad 20. Munculnya teori zoning, yang kemudian diikuti oleh teori Garden City oleh Ebenezer Howard pada tahun 1898, teori City Development oleh Patrick Geddes tahun 1904, dan disusul oleh Lewis Mumford pada tahun 1916 dengan teorinya Planning the Modern City
3 telah menjadi landasan kokoh bagi muncul dan berkembangnya modern planning pada masa-masa berikutnya (Hall, 2004; LeGates and Stout, 2009). Modern planning, kemudian diekspor keluar Eropa melalui matarantai kolonialisme sebagai suatu paradigma baru perkotaan atau urbanisme. Munculnya permukiman-permukiman baru yang menggunakan konsep garden city seperti Kawasan Darmo di Surabaya (1916), Bandung Utara (1917), Candi Baru di Semarang (1917), Bogor (1917), Medan Baru (1917), Menteng dan Gondangdia (1918), dan Kota Baru Yogyakarta (1920), telah memberikan wajah baru perkotaan di Indonesia pada pada masanya (Van Roosmalen, 2005).
Tokoh generasi kedua dari modern planning yang sangat berpengaruh pada perkembangan kota-kota di dunia adalah Le Corbusier (1929) dengan teorinya yang sangat termasyhur The City of Tomorrow and Its Planning. Le Corbusier menggunakan pendekatan paradoks dalam perencanaan kota yang terungkap dalam kata-katanya yang sangat terkenal: “kita harus mengatasi kemacetan di pusat kota dengan meningkatkan kepadatan, kita harus meningkatkan sirkulasi lalulintas di pusat kota dengan meningkatkan jumlah ruang terbuka, melalui cara membangun kota dengan bangunan-bangunan tinggi/vertikal di atas lahan yang kecil” (Le Corbusier, 1929: 159-178, Hall, 2004:207). Walaupun banyak sekali rancangan-rancangan kota yang dibuatnya tidak pernah menjadi kenyataan (Algiers, Antwerp, Stockholm, Barcelona, Newmours), namun pemikiran Le Corbusier telah menjadi inspirasi bagi para perencana kota dunia untuk membangun kota secara vertikal. Peremajaan kota (urban renewal) mendapatkan pembenarannya dalam teori Le Corbusier. Kota-kota di dunia yang semula dibangun dengan konsep permukiman lokal (di Indonesia dikenal dengan konsep kampung kota) dihancurkan, digusur, dan digantikan dengan bangunan-bangunan tinggi perkantoran, apartemen, dan komersial. Belakangan, teori Le Corbusier telah mengalami penggantian terminologi dan kemasan menjadi superblock dan compact city.
Perencanaan kota moderen (modern planning) yang menjadi anak kandung paradigma positivisme dan menganut filosofi physical determinism, telah menikmati kejayaannya selama kurang lebih 100 tahun. Modern planning dengan kredo-kredo engineering telah berhasil memandu, merubah, dan memberi solusi terhadap masalah-
4 masalah urbanisasi di kota-kota besar di dunia. Citra pasti, dapat dipercaya, dan konsistensi yang tinggi antara rencana dan implementasinya telah menjadikan modern planning sebagai suatu model pembangunan dan pengarah peradaban baru kota. Modern planning telah menjadi panglima bagi perubahan-perubahan fisikal, spasial, dan sosial yang ditaati. Puncak pemikiran modern planning terdapat dalam bentuknya “comprehensive rational planning” dengan ditandai masuknya science ke dalam konsep dan kerja perencanaan (Beauregard, 1984). Comprehensive rational planning yang bersenyawa dengan Procedural Planning Theory dari Faludi (1973) telah diterjemahkan ke dalam konteks perencanaan di Indonesia dalam ujud Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (RUTRW) atau Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK). Hadirin yang saya hormati,
Sanggahan, Kritik, dan Koreksi terhadap Modern Planning Pada perkembangannya, paradigma modern planning telah bergeser dari kesetiaanya semula, yakni tidak lagi setia kepada kepentingan publik melainkan setia kepada kepentingan kapitalisme. Fokus perencanaan modern planning yang semula pada infrastruktur perkotaan untuk kepentingan-kepentingan publik bergeser menjadi infrastruktur untuk jaringan pemasaran komoditas hasil produksi para pemilik modal besar (Cooke, 1988). Dengan pergeseran fokus perencanaan seperti itu, maka obyektifitas dan komprehensifitas modern planning mendapatkan sanggahan, kritik dan pada akhirnya terkoreksi oleh pandangan-pandangan yang muncul belakangan. Modern planning disanggah karena telah mengabaikan kepentingan dan eksistensi rakyat kebanyakan di perkotaan. Modern planning telah berpihak kepada market dan kapitalis besar. Modern planning hanya berfokus membangun masyarakat kelas menengah perkotaan dan mengabaikan keberagaman masyarakat bawah perkotaan. Di ujung senja perkembangan modern planning, ilmu perencanaan telah terpelanting jatuh ke bawah dari tangga tertinggi sebagai ilmu peradaban menjadi hanya sekedar ilmu kewirausahaan; sedangkan pada dataran praksis, peran perencana meluncur terjun ke
5 bawah dari ketinggian sebagai duta peradaban menjadi hanya sekedar teknisi saja, atau meminjam terminologi sinis dari Fainstain (1988) hanya sekedar menjadi “deal maker” saja. Sanggahan, kritik, dan koreksi terhadap modern planning khususnya pada procedural planning theory akhirnya melahirkan ragam pendekatan, model dan teori perencanaan yang disebut oleh Healy, et al. (1982) sebagai theoretical pluralism in urban and regional planning, mencakup ragam pendekatan: (1) incrementalism, (2) implementation and policy, (3) social planning and advocacy planning, (4) the political economy, (5) the new humanism, dan (6) pragmatism.
Modern planning telah menyederhanakan asumsi bahwa terdapat hubungan yang sangat positip dan dapat dibenarkan secara ilmiah antara pikiran yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat, kepentingan kapitalis, dan intervensi yang dilakukan pemerintah kota sehingga perencanaan kota diyakini akan mampu membuat kota menjadi terpadu sesuai keinginan dan kebutuhan masyarakat. Namun kenyataan yang terjadi sungguh sangat berbeda. Kesenjangan dan konflik antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan para pemodal besar (kapitalis), serta antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan pemerintah seringkali dijumpai. Kasus-kasus di bawah ini hanya sedikit contoh yang menunjukkan adanya kesenjangan-kesenjangan tersebut: (1) konflik Taman BMW antara Pemprov DKI dengan warga Kelurahan Papanggo dan Sunter Tanjung Priok (Kompas.com,5-11-2008), (2) konflik antara warga Kelurahan Pluit Penjaringan Jakarta Utara dengan Pengembang yang akan membangun apartemen di dekatnya (Kompas.com,22-3-2009), (3) konflik antara warga Cina Benteng Kampung Lebak Wangi yang menolak penggusuran dengan Pemkot Tangerang (Kompas.com 13 April 2010), (4) penolakan HMI dan LSM Kendari terhadap rencana pembangunan mesjid di tengah-tengah Teluk Kendari (Kompas.com 24 Agustus 2010), (5) konflik antara warga yang menolak penggusuran makam Mbah Priok dengan PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II (Kompas.com 14-4-2010), (6) penolakan warga Kecamatan Sumarorong, Mamasa, Sulawesi Barat terhadap rencana pembangunan bandara (Kompas.com 15 September 2010), dan (7) konflik dan kesenjangan pendapat antara Pemerintah Kota Solo dengan Perusahaan Daerah Citra Mandiri Jateng perihal pembangunan mal di atas lahan Pabrik Es Saripetojo I (Kompas.com 11-7-2011).
6 Kasus-kasus yang diajukan di atas menunjukkan adanya gap atau kesenjangan antara pikiran dan kenyataan. Kesenjangan antara pikiran pemerintah dengan pikiran masyarakat, kesenjangan antara pikiran pengembang dan pemilik modal dengan pikiran masyarakat, dan kesenjangan antara pikiran perencana dengan kenyataan yang hidup dalam alam pikiran masyarakat. Dengan perkataan lain, terdapat kesenjangan antara perencanaan dan pelaksanaan, antara pikiran dan realitas empiris, dan antara teks dan konteks. Kesenjangankesenjangan tersebut secara akademik dapat disebut sebagai kesenjangan epistemologis, yakni kesenjangan dalam perihal pendekatan dan metode dalam membangun substansi pengetahuan perencanaan. Kesenjangan epistemologis menunjukkan bahwa pendekatanpendekatan perencanaan kota yang digunakan selama ini telah kadaluwarsa; terdapat jurang lebar antara pengetahuan perencanaan yang “diperoleh” dan pengetahuan perencanaan yang “dihasilkan” dan “digunakan”. Epistemologi yang telah kadaluwarso, pada akhirnya harus ditebus dengan harga yang sangat mahal yakni hilangnya obyek ontologis perencanaan kota yang berupa “kota” itu sendiri. Dengan perkataan lain, perencanaan kota tidak lagi mengambil obyek kota karena kota telah diabaikan dan ditinggalkan oleh perencanaan kota. Beauregard (1989) menyatakan bahwa modern planning (khususnya pada model procedural planning dan rational comprehensive planning) telah sibuk dengan obyek barunya yang berupa planning process, policy making, dan decision making, yang secara prosedural menurutnya benar tetapi secara substantif ternyata kosong dan senjang. Premis-premis preskriptif perencanaan kota menjadi asing dengan kenyataan empiris yang ditujunya. Perencanaan hanya sekedar teks tanpa konteks. Kekosongan preskriptif ini yang telah membawa kotakota bergerak tanpa pemandu pada akhirnya telah diisi oleh “satu kekuatan tunggal raksasa” yang oleh Lefebvre (1974) disebutnya sebagai single force, single centre, dan monocentric strategy, yang kesemuanya itu adalah alias dari market strategy, atau lebih tepatnya adalah alias dari world market strategy. “Sebagai suatu single strategy ...... market berusaha membangun single market dan single konsumsi yang membawa dampak destruktif berupa keserakahan ruang melalui apa yang disebut Lefebvre (1993) sebagai
7 “consumption of space”. Melalui produksi ruang semacam itu, manusia-manusia kota hidup dan berkehidupan dalam kendali modal. Manusia-manusia kota “digerakkan” dan bukannya “bergerak” dalam ruang-ruang perkotaan. Dampak meluas dari “single strategy” ini adalah pada munculnya kondisi yang dia sebut sebagai “spatial chaos”, yakni situasi ketika market hanya perduli terhadap ruangruang serta lahan-lahan yang dikontrolnya saja, sehingga ruang-ruang perkotaan lainnya menjadi “ruang-ruang sisa” atau menjadi “anak tiri kota” yang dipinggirkan dan tidak diperhatikan atau dalam konsepsi Trancik (1986) disebutnya sebagai lost space. Situasi seperti ini oleh Habermas (1989) disebut sebagai “exclusion”, ruang yang dibuang yang pada akhirnya justru berbalik arah memberikan “karma”nya berupa banjir, kemacetan lalu lintas, konflik ruang, dan kecemburuan sosial dan spasial yang memicu munculnya fenomena kriminal perkotaan. Spatial chaos yang terjadi pada terutama kota-kota besar merupakan produk dari apa yang disebut Lefebvre (1993) sebagai “kontradiksi ruang” atau “contradictory space” Menurutnya, kota telah membangun kontradiksi-kontradiksi dalam dirinya sendiri, dan fenomena ini telah membawa manusia-manusia kota tanpa disadari telah digerakkan oleh kontradiksi-kontradiksi ini. Manusia-manusia kota menjadi bingung dan terasing di kotanya sendiri. Kota-kota telah dibangun menjadi kota-kota yang “tidak appropriate”. Kota-kota semacam ini menurutnya tidak akan mampu memberikan kontribusi pada perubahan manusia-manusia penghuni kota menjadi manusiamanusia yang beradab mulia, seperti disampaikannya:”Change life, change society…. mean nothing without the production of an appropriate space” (Sudaryono 2008:4-5).
Kesenjangan epistemologis yang berujung pada terjadinya kekosongan preskriptif perencanaan kota pada akhirnya memerlukan suatu pendekatan baru dalam membangun pengetahuan di dalam perencanaan kota, sehingga pengetahuan yang “diperoleh”, “dihasilkan”, dan “digunakan” dalam perencanaan kota merupakan suatu pengetahuan yang teranyam, menerus, dan cocok dengan problema empiris yang dihadapi. Bukan pengetahuan yang deduktif, linier, deterministik, dan hegemonik yang asing dan melahirkan kesenjangan antara premispremis preskriptif dengan realitas empirik yang ditatapnya. Pendekatan epistemologi baru yang diusulkan dalam kesempatan ini adalah pendekatan fenomenologi.
8 Hadirin yang saya muliakan,
Fenomenologi: Tinjauan Filsafat Fenomenologi, sebagai suatu aliran filsafat dikenalkan oleh Husserl melalui bukunya yang sangat terkenal: The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology: An Introduction to Phenomenological Philosophy (1954). Menurut David Carr, penterjemah buku ini dari edisi berbahasa Jerman ke edisi berbahasa Inggris, buku ini ditulis pada tahun 1934 sampai tahun 1937 menjelang kepergiannya menghadap Sang Khalik pada tanggal 27 April 1938. Husserl (1970) mengawali bukunya dengan sangat lugas dan terus terang dengan menyerang positivisme yang dikatakannya telah gagal dalam mengangkat harkat dan martabat manusia: The positivistic reduction of the idea of science to mere factual science; the crisis of science as the loss of its meaning for life (Husserl, 1970:5). Kegagalan positivisme menurutnya terlalu menjunjung tinggi obyektifitas-positivistik dan generalisasi sehingga ilmu-ilmu menjadi steril dan telah mengabaikan sejarah, spiritualitas, nilai-nilai ideal, dan norma-norma kehidupan manusia. Obyektifitas versi positivisme sesungguhnya adalah hasil dari suatu dominasi atau hegemoni suatu epistemologi keilmuan. Cara bekerja ilmu-ilmu positivistik yang mengagungkan metode deduksi pada akhirnya membawa ilmu-ilmu pada kondisi stagnan. Ilmu-ilmu hanya berputar-putar dan secara ulang-alik hanya menguji teori-teori yang sudah tersedia (grand theories) dan membuktikan hipotesis saja, sehingga tidak melahirkan ilmu-ilmu baru. Ilmu-ilmu bergerak tidak kemana-mana alias tetap di tempat. Jalan keluar dari krisis ilmu-ilmu positivistik yang ditawarkan oleh Husserl adalah “fenomenologi transendental” yang mengajarkan bahwa sumber kebenaran ilmu bukanlah pada logika deduktif, melainkan pada pengamatan langsung pada dunia nyata yang disebutnya sebagai “life-world” atau “the world of common experience” (Husserl, 1970), atau “lived experience” (Husserl, 1964) atau Schutz (1970) menyebutnya sebagai world of daily life. Fenomenologi lebih mengedepankan pengamatan dan pengalaman daripada rasio. Fenomenologi menurut Bettis (1969) merupakan suatu metode filsafat dan bukannya suatu filsafat doktriner; dengan demikian
9 fenomenologi dapat digunakan secara luas dalam bidang-bidang penelitian sains, agama, antropologi, ilmu alam, fisika, teknik, kedokteran, seni, psikologi, etika, bahasa, budaya, komunitas, arsitektur, perkotaan, dan permukiman. Menurut Ponty (1962) yang juga penerus dari Husserl, fenomenologi adalah suatu filsafat yang mempelajari “esensi” dibalik “eksistensi”, atau menurut Prichard (1960) fenomenologi mempelajari “realitas” dibalik “kenampakan”, dan menurut Husserl (1964) fenomenologi mempelajari “noema” (makna kesadaran intensional) dibalik phenomena (nampak atau appearance).
Intisari dari ajaran para tokoh fenomenologi mulai dari Husserl (1964), Ponti (1962), Schutz (1970), sampai Heidegger (2008) terdapat pada beberapa kata kunci atau terminologi dan konsep sebagai berikut: (1) transcendental phenomenology, (2) life-world, life experience, the common experience, (3) the science of them, (4) self-knowledge, (5) a priori of life-world, (6) life of depth, (7) epoche, bracketing, reduction. (8) intentionality of consciousness, (9) essence, (10) clusters of meanings, (11) textual description and structural description, (12) intersubjectivity, Fenomenologi sebagai metode filsafat mengajak para ilmuwan untuk menjelajah mencapai puncak kesadaran transendental keilmuan yang dibangunnya untuk menggapai apa yang disebut Husserl (1970) sebagai the ultimate source of all the formation of knowledge atau original formation of meaning. Ilmu seperti itu adalah ilmu yang mendarat bukan ilmu yang melayang-layang di udara obyektifitas. Untuk menggapai kesadaran transendental, ilmuwan harus mengalami dan menyelami obyek keilmuannya secara langsung (face to face), memasuki dan menerobos life-world (the common experience) melalui tahap-tahap yang disebutnya sebagai reduksi fenomenologis. Bagi Husserl, setiap kehadiran benda-benda, tindakan manusia, ruang kota, permukiman, atau susunan perabot di dalam rumah adalah hadir dengan kesadaran intensional atau hadir dengan kesengajaan yang bertujuan. Baginya, tidak ada kehadiran tanpa kesadaran (consciousness). Kesadaran yang tidak sadar dalam setiap kehadiran sesungguhnya adalah suatu kesadaran. All consciousness is consciousness of something (Ponti, 1962:xvii). There is no such thing as thinking without thinking about something. There is no such thing as pure
10 willing without willing to do something. There is no such thing as pure feeling without feeling about something (Bettis, 1969:11).
Tugas ilmuwan adalah menyingkap kesadaran yang tidak sadar menjadi kesadaran yang sadar. Dalam konsepsi kesadaran Husserl, ilmuwan hanyalah sekedar penyampai the science of them, bukan sebagai pemilik. Fenomenologi mengajak para ilmuwan bersikap rendah hati terhadap obyek keilmuan yang ditelitinya, yakni hanya “menggali”, “mengetahui” dan “memahami” tetapi “tidak memiliki”. Setiap obyek keilmuan (life-world) memiliki keunikannya sendiri (self-knowledge). Tugas ilmuwan adalah sekedar membidani kelahirannya, memberinya nama dan mengenalkannya kepada masyarakat akademis dan publik. Peran ilmuwan telah bergeser dari pemandu kebenaran (yang bersifat deduktif-positivistik) menjadi penggali kebenaran (melalui kerja induktifeksploratif). Untuk mencapai makna dan kebenaran transendental (the essence atau the ultimate knowledge atau epoche) maka ilmuwan harus melakukan kerja reduksi eidetik (Husserl, 1970) untuk menyingkap kebenaran yang secara bertahap bergerak ke atas mulai dari: (1) reduksi fenomenologis (menyibak yang nampak, atau yang dialami dan tersaji secara textual description), kemudian bergerak ke atas untuk menyibak structural description untuk menuju pada (2) kesadaran intensional (intentionality of consciousness) yang menjadi landasan (noema) bagi yang nampak (phenomena), untuk kemudian menuju pada (3) makna tertinggi, hakekat, esensi, yang ideal, the ultimate, yang transendental, atau epoche dari keilmuan yang dibangunnya. Walaupun kritik terhadap Fenomenologi pernah dilancarkan oleh Derrida (1968) yang mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Husserl sebagai ideal meaning atau the ultimate meaning sebenarnya hanyalah transendental signified (penanda transendental), namun fenomenologi telah dipakai secara luas dalam bidang-bidang ilmu seperti: natural sciences (Hardy and Embree, 1992), communication (Allison and Garver, 1973), religion (Bettis, 1969), dan psikologi (Brouwer, 1988).
Di Universitas Gadjah Mada, fenomenologi mulai berkembang dalam kegiatan perkuliahan dan penelitian sejak pertengahan 90-an pada program pascasarjana. Khusus pada penelitian-penelitian dalam rangka program doktor di Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan
11 FT-UGM, fenomenologi telah melahirkan teori-teori baru di bidang perkotaan, permukiman, dan arsitektur. Joesron Alie Syahbana (Februari, 2003) dalam penelitian yang sangat mendalam di perkampungan kumuh Kota Semarang telah berhasil membangun “Teori Struktur Atas (fenomena) dan Struktur Bawah (noemena)” dalam konteks pengelolaan sanitasi lingkungan oleh masyarakat. Rimadewi Supriharjo (November, 2004) dalam suatu penelitian yang sangat intensif di Kawasan Ampel Surabaya, telah berhasil menemukan “Teori Pelapisan Ruang” berkaitan dengan nilai religi, historis, sosiologis, dan ekonomi. Dermawati D.Santoso (April, 2007) dalam penelitiannya yang sangat mendalam serta melibatkan hubungan personal emosional dengan para warga di Kampung Pajeksan dan Jogonegaran Yogyakarta telah berhasil membangun “Teori Toleransi Keruangan” dalam keterbatasan ruang di permukiman padat kota. Edi Purwanto (Agustus, 2007) dalam penelitiannya yang sangat bersemangat di Kawasan Malioboro Yogyakarta telah berhasil membangun “Teori Rukun Kota”, Ruang Perkotaan Berbasis Budaya Guyub. Suastiwi Triatmodjo (April, 2010) dalam penelitiannya yang sangat mendalam dan penuh kontemplasi di Kawasan Kauman Yogyakarta berhasil menemukan “Teori Desakralisasi dan Pemufakatan Ruang”. Yohanes Djarot Purbadi (April, 2010) dalam penelitiannya yang telah membawanya mendapatkan gelar raja di Desa Kaenbaun Pulau Timor telah berhasil membangun “Teori Tata Suku” yang menjadi basis Tata Spasial Permukiman Suku Dawan. Judi Obet Waani (Agustus, 2010) melalui penelitiannya yang mendalam dan tekun di Kawasan Titiwungen Manado telah berhasil membangun “Teori Basudara” sebagai basis Permukiman pasca reklamasi pantai. Djoko Wijono (Februari, 2011) dalam penelitiannya yang sangat intensif disertai kecermatan yang sangat tinggi di kota-kota kecil di Wilayah Yogyakarta telah berhasil membangun “Teori Saged sebagai Spirit Arsitektur Kota Kecil”.
12 Hadirin yang saya hormati,
Fenomenologi sebagai Epistemologi Baru dalam Perencanaan Kota dan Permukiman Secara eksplisit penggunaan pendekatan fenomenologi dalam perencanaan kota dan permukiman memang tidak pernah ditemukan di dalam teks-teks teori maupun praktek perencanaan. Namun beberapa model perencanaan yang berkembang sejak dekade 90-an secara substansial telah menunjukkan adanya ayunan berpikir secara fenomenologis yang menekankan pada pendekatan intersubjective dan berfokus pada planning from within. Teori dan konsep perencanaan berikut adalah contoh yang dapat dikedepankan: (1) “Gender in planning” (Friedmann 1992), (2) “Communicative turn in planning theory” (Healey, 1992), (3) “Progressive planning” (Sanyal, 1996), (4) “Empowerment” (Friedmann, 1992-a), dan (5) “Collaborative Planning” (Harris, 2002). Teori dan konsep tersebut menunjukkan adanya dimensi keterhubungan antara “obyek perencanaan” (lifeworld) dengan “kesadaran konsensus arah perencanaan” (intentionality of consiousness) seperti yang ditunjukkan oleh cara berpikir fenomenologi. Dalam bidang perencanaan kota dan permukiman, fenomenologi mengajarkan seorang perencana kota dan permukiman menjadi peneliti sekaligus perencana profesional atau perencana profesional yang memiliki kemampuan meneliti. Perencana kota diajak untuk melakukan perjumpaan dengan obyek empiris yang diteliti dan direncanakan (life-world) secara langsung dan menyelam. Dalam paradigma fenomenologi, obyek perencanaan difahami sebagai realitas plural (jamak), merupakan suatu anyaman dari agregat-agregat yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu terhadap lainnya, sehingga perencana diajak untuk bekerja secara holistik, iteratif, kontekstual, sinkronik sekaligus diakronik. Model perencanaan seperti ini pernah diusulkan pada tahun 2001 dengan sebutan inductive planning (Sudaryono, 2001). Fenomenologi sebagai epistemologi baru dalam perencanaan kota dan permukiman mengajak para perencana untuk membangun pemahaman dan sikap terhadap konsep-konsep berikut ini:
13 1) Kota sebagai hakekat ”ada”, ”mengada” dan ”berada” Fenomenologi mengajarkan bahwa setiap kota yang berjatidiri memiliki tiga lapis struktur hakekat yakni: (i) ”hakekat ada”, (ii) ”hakekat mengada”, dan (iii) ”hakekat berada”.”Hakekat ada”, merupakan kesadaran tertinggi atau kesadaran transendental atau kesadaran ideal awal mula suatu kota ”ada”. Kota Yogyakarta misalnya, bermula dari ”ada” di dalam kesadaran transendental yang berupa filosofi makro-kosmos yakni poros gunung-laut (Brotodiningrat, 1978). Gunung laki-laki dari ketinggian yang terukur melelehkan limpahannya deras menerjang ke bawah menuju laut perempuan yang bergolak untuk melahirkan sebuah kota yang berjuluk Ngayogyokarto Hadiningrat. Perjumpaan eksotik tersebut tersaksi dalam suatu simbol indah terukir pada tubuh tetenger kutho yang berupa Tugu Yogya menggantikan tugu golong gilik yang roboh pada Juni 1867 oleh gempa dahsyat yang melanda Yogyakarta (Ricklefs, 2002). Walaupun beberapa kalangan menyatakan bahwa Tugu yang dibangun kembali pada 1889 (22 tahun pasaca gempa) memiliki makna berbeda dari semula (golong gilig), namun makna makro-kosmosnya masih tetap sama dan bahkan dipertegas atau dikukuhkan dalam ornamen yang melekat di tubuh Tugu Yogya versi 1889 yang sampai saat ini masih bisa kita saksikan. Filosofi makro-kosmos ini secara konsisten telah menjadi ibu pemandu ”kesadaran mengada” atau ”hakekat mengada” dari kota Yogyakarta. Sejak Pangeran Mangkubumi sampai saat ini, ”kesadaran mengada” telah menjadi komitmen dari ”para pengada” Kota Yogyakarta. ”Kesadaran mengada” sebagai proses pembangunan dan pengembangan kota telah menjadi ”kesadaran proses” bagi pemangku keberadaan Kota Yogyakarta. Kesadaran ini secara teguh telah mengantar ”keberadaan” Kota Yogyakarta menyusuri lorong waktu. ”Hakekat keberadaan” Kota Yogyakarta secara spasial terlahir dan terpandu oleh pola simbolik gunung laki-laki (Tugu) dan laut perempuan (Panggung Krapyak-ibu). Pola simbolik kota ini telah menjadi ”panduan” sekaligus ”pemandu” perkembangan Kota Yogyakarta sampai saat ini, sehingga ”keberadaan” kota dari 1756 sampai 2012 menunjukkan suatu anyaman kemenerusan sekaligus keterikatan antara ”kesadaran ada transendental”, ”kesadaran mengada
14 intensional” dan ”kesadaran berada eksistensial”. Hakekat keberadaan Yogya terpelihara karena inti keberadaan kota terpelihara secara sadar. Inti keberadaan Yogya adalah bentang ruang memanjang dari utara ke selatan dan diapit oleh dua sungai yakni Code dan Winongo. Ketika keberadaan bentang kawasan ini dilukai dengan bangunan-bangunan tinggi menjulang, maka terlukalah Kota Yogya. Poros pandang sinewaka dari Siti Hinggil ke Tugu memang mengajarkan kesadaran transendental bahwa Kota Yogya adalah kota horisontal bukan kota vertikal. 2) Kota berkembang ”dari dalam” Fenomenologi mengajarkan bahwa kota yang berjatidiri adalah kota yang berkembang ”dari dalam” (from within), bukan berkembang karena transplantasi yang dipaksakan. Kota yang berkembang ”dari dalam” adalah kota yang berkarakter dan berakar kokoh, karena perkembangannya ”dibutuhkan dan diinginkan oleh warganya” dan di dalam prosesnya ”mengalirkan kesadaran sejarah kotanya”. Perencanaan kota semacam ini mirip dengan gagasan perencanaan yang diajukan oleh Friedmann (1992-b) dan apa yang telah dilakukan oleh Wali Kota Solo yakni perencanaan yang berawal dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat, responsif dan mendukung terbentuknya konsensuskonsensus baru atas dasar hubungan antar individu dan kelompok. Kota yang berkembang “dari dalam” adalah kota yang setiap tahap perkembangannya membuat warganya menjadi semakin bangga kepada kotanya, seperti apa yang terjadi pada Kota Curitiba di Brazil. Apa yang akan hadir, mengapa perlu hadir, dan bagaimana kehadiran suatu komponen baru perkembangan kota merupakan suatu kemenyatuan kesadaran intensional dari warga kota. Setiap komponen kota yang “hadir atau berada” di Kota Curitiba adalah komponen kota yang “mengada” dalam kesadaran masyarakat, artinya, proses “mengada”nya dipahami dalam pikiran masyarakat karena hadirnya ide tentang “ada” dari komponen baru merupakan hasil konsensus antara masyarakat, pemerintah, dan pelaku pengembangan kota. Kota yang berkembang “dari dalam” adalah kota yang tidak membuat warganya menjadi “asing” dan “terasing” di kotanya sendiri. Fenomenologi
15 mengajarkan kepada perencana kota bahwa kota yang berkembang “dari dalam” adalah kota yang bergerak dari “ada”, “mengada” menuju “berada” dan bukannya terbalik. 3) Kota ”yang menerus” bukan ”kota yang tertunda” Fenomenologi mengajarkan, bahwa perencanaan kota adalah suatu gerakan kesadaran intensional yang membawa kota bergerak ke depan dengan kesadaran yang sadar atas dimensi ruang dan waktu ”kemarin”, ”sekarang”, dan ”besuk”. Fenomenologi memberikan payung bersikap bahwa perencanaan kota tidak pernah mempersilahkan impuls-impuls spekulatif dari pragmatisme-kapitalisme yang sempit dan berjangka pendek memandu perkembangan kota seperti yang terjadi pada kasuskasus ruko yang mangkrak, perumahan-perumahan baru yang kosong dan meliar, gedung-gedung perkantoran yang sunyi dari kegiatan, taman-taman kota yang berpagar tak terpelihara, dan kawasan-kawasan kota lama yang terbiarkan mati. Fenomenologi mengajak para perencana kota menciptakan ”kota yang menerus”, karena ”kota yang menerus” adalah kota yang sehat secara jasmani dan rohani. Kota yang menerus adalah kota yang selalu relevan dan memiliki konteks keabadian bagi segala generasi. Kawasan inti Kota Yogya yang terapit secara membujur oleh Kali Code dan Kali Winongo merupakan kawasan kota yang menerus yang selalu memiliki vitalitas tinggi untuk selalu lahir kembali berjumpa dengan berbagai rumpun generasi. Para pamong Kota Yogya, telah mempraktekkan pendekatan fenomenologi dalam penataan kawasan ini sejak 1756 sampai saat ini, walaupun kawasan ini sejak tahun 1980-an selalu terancam oleh gerakan-gerakan transplantasi kota berupa proyek-proyek bangunan tinggi yang berarsitektur sebrang alias arsitektur yang tidak kontekstual. Kebalikan dari ”kota yang menerus” adalah ”kota yang tertunda”, yakni kota yang sakit karena secara jasmani salah gizi dan tidak pernah mendapatkan siraman rohani. ”Kota yang tertunda” adalah kota hasil transplantasi, bukan kota yang memiliki kekuatan ”ruhaniah” yang mampu melakukan reproduksi, regenerasi, dan selalu mengupayakan kelahirannya kembali. Fenomena kota yang tertunda bahkan cenderung
16 menuju kota yang mati, pernah ditulis oleh Jane Jacobs (1961) dalam karyanya yang sangat terkenal ”The Death and Life of Great American Cities” yang telah memberikan inspirasi bagi lahirnya teori ”Social Capital” oleh Robert Putnam (1998). Dalam artikelnya, Jacobs menggambarkan dua kasus kota yang berlawanan kondisi awal dan perkembangan terakhirnya. Kota yang pertama adalah the North End di Boston, yang di awal pengamatannya dua puluh tahun yang lalu merupakan kawasan kumuh atau slum area; tetapi karena kawasan kota ini memiliki ”ruh” (kesadaran transendental warganya) yang mewujud dalam institusi sosial yang kokoh, maka perlahan-lahan kawasan ini bergerak tumbuh menjadi kota yang bagus, teratur dan rapi. Sebaliknya, kawasan kota yang kedua, yakni the Morningside Heights Area di Kota New York, yang semula merupakan kawasan kota yang direncanakan dengan sangat baik memiliki taman-taman kota yang indah, dikelilingi oleh kampus Columbia University, Union Theological Seminary, the Julliard School of Music, dan fasilitas-fasilitas sosial yang lengkap perlahan-lahan, selama duapuluh tahun pengamatannya, menjadi memburuk dan kemudian mati; kawasan kota ini mati karena memang dari awalnya tidak ditiupkan ”ruh” di dalamnya. Fenomenologi membawa kota menuju ”kota yang menerus” bukan ”kota yang tertunda”. 4) Perencanaan sebagai suatu kerja “intersubyektif” Dalam paradigma fenomenologi, antara “perencana” dan “obyek perencanaan” dituntut terlibat di dalam suatu kemenyatuan yang intensif (berlawan dengan paradigma spatial determinism yang justru mengambil jarak terhadap obyek perencanaan). Perencana tidak hanya sekedar dituntut mampu menggambarkan obyek perencanaannya, tetapi juga dituntut mampu menjelaskan hakekat transendentalnya dan mampu memperkuatnya melalui arahan-arahan preskriptif yang diusulkan. Fenomenologi mengajarkan kepada para perencana kota untuk menemukan ”ruh” kota dalam ujud kesadaran transendental kota dan kemudian meniupkannya dan menguatkannya dalam proses ”mengada” suatu kota. Dalam model kerja semacam itu, maka perencana kota dan permukiman mengalir dalam lorong ruang dan waktu obyek yang
17 direncanakannya untuk “mengalami” dan “memahami” makna perilaku meruang dari warga dan penghuni ruang kota dalam alur siklus perilaku yang terulang. Dalam model kerja “intersubyektif”, perencana kota membangun pengetahuannya mengenai obyek yang direncanakannya dengan cara “mengalami” obyek tersebut dan bukannya bekerja dengan mengandalkan persepsi yang dibangun secara sepihak dengan menggunakan teori-teori dan standard-standard perencanaan yang tersedia. Dengan demikian, rumusan-rumusan preskriptif yang diusulkan oleh perencana akan memiliki hunjaman akar nilai pada kedalaman empiris yang kokoh. Perencanaan yang dihasilkan dengan model kerja seperti ini akan menjadi perencanaan “yang hadir” dan “menghadirkan”, bukan perencanaan yang “asing” dan “mengasingkan” warga pelaku dan pemilik kota. 5)Perencanaan sebagai suatu kerja “preskriptif-reduktif-transendental” Sesuai dengan kodrat atau fitrahnya, ilmu perencanaan kota dan permukiman dilahirkan dengan memiliki sifat preskriptif (rekayasa ke depan) sebagai sifat kodratinya. Cara kerja preskriptif yang dilakukan oleh para perencana sangat tergantung kepada epistemologi (sudut pandang dan cara membangun pengetahuan) yang dianutnya. Walaupun secara substansial dan fokus perencanaan sudah banyak mengalami pergeseran konsep sejak revolusi industri sampai saat ini, namun secara epistemologis baru terdapat tiga perubahan besar yang terjadi, baik yang terdapat di dalam dunia teori maupun praktek perencanaan. Epistemologi yang pertama adalah epistemologi deduktifpositivistik yang berjaya sejak revolusi industri sampai pada sekitar 60an dan atau 70-an yang telah melahirkan model-model perencanaan blue print planning. Epistemologi ini dianggap kadaluwarsa untuk kemudian digantikan oleh epistemologi kedua yakni epistemologi deduktifrasionalistik yaitu masuknya science ke dalam ilmu perencanaan yang melahirkan model-model perencanaan scientific-rational comprehensive planning yang kemudian pada dekade 90-an dianggap tidak mampu lagi memberikan landasan pengetahuan sesungguhnya tentang realitas empiris permasalahan perkotaan, sehingga terjadilah kesenjangan antara rencana dan kenyataan. Epistemologi yang ketiga adalah epistemologi
18 communicative rationality yang dikenalkan oleh Habermas (1984) dan telah mempengaruhi model-model perencanaan yang menekankan pada pengambilan keputusan dan tindakan secara kolektif (collective deciding and acting), democratic planning, dan pluralism participation. Di Indonesia epistemologi ini digunakan dalam model perencanaan Musbang (Musyawarah Pembangunan), perencanaan partisipatif, FGD (Focus Group Discussion). Kritik, kesangsian, keberatan dan sanggahan yang dialamatkan kepada epistemologi ini terfokus pada adanya dominasi pengambilan keputusan oleh faktor gender, kekuasaan, kelas sosial, dan budaya. Dalam epistemologi ini perencana kota “terhalang” oleh kehadiran yang termanipulasi untuk memasuki jantung informasi sesungguhnya. Hadirin yang saya muliakan,
Penutup Untuk keluar dari ketiga belenggu epistemologi di atas, dalam kesempatan yang sangat terhormat ini diajukan epistemologi ke-empat yakni epistemologi fenomenologi yang menekankan pada cara kerja reduksi transendental (transcendental reduction). Melalui cara kerja seperti ini, para perencana kota diajak melakukan penyelaman untuk “mengalami ruang perkotaan“, menyingkap helai demi helai tirai ruang perkotaan untuk menemukan “hakekat terdalam” atau “kesadaran transendental” yang menjadi “ruh” dari kota dan kelak digunakannya sebagai landasan nilai bagi langkahlangkah preskriptif perencanaan yang diusulkannya. Melalui cara kerja seperti ini, para perencana kota diantar menjadi perencana yang berkarakter serta percaya diri dalam memperkuat dan bahkan membangun karakter atau jatidiri kota yang direncanakannya. Dengan ungkapan yang lebih eksplisit dapat ditekankan, bahwa fenomenologi membuka jalan sekaligus mengantar perencana kota menjadi perencana berkarakter dan perencana yang berkarakter akan membangun kota yang berkarakter, InsyaAllah.
Hadirin yang saya muliakan, Di akhir pidato pengukuhan ini, ijinkanlah saya menyampaikan rasa syukur saya kehadapan Allah SWT atas ridhloNya yang telah memandu pikiran, jiwa, ruh, dan badan saya untuk dapat berdiri di mimbar yang sangat terhormat dan bersejarah ini. Terimakasih disertai
19 rasa hormat yang sangat dalam disampaikan kepada Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang telah menetapkan saya sebagai Guru Besar pada tanggal 31 Agustus 2010. Terimakasih dan rasa hormat juga disampaikan kepada Bapak Rektor, Wakil Rektor Senior, Wakil Rektor, Pimpinan dan Anggota Majelis Guru Besar, Pimpinan dan Anggota Senat Akademik, Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Teknik, Pimpinan dan Anggota Senat Fakultas Teknik, Ketua dan Sekretaris Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, Ketua dan Anggota Laboratorium Perencanaan Kota, yang telah memproses dan memberikan persetujuan kepada saya untuk dapat memangku jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Perencanaan Kota di Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada. Terimakasih diiringi tunduk kekaguman yang tulus dan rasa hutang budi yang amat besar disampaikan kepada semua Guru Akademik saya yang telah mengawali, membentuk dan mengantarkan kehidupan akademik saya sampai saya mendapatkan kepercayaan pada pagi hari ini untuk menyampaikan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar. Tunduk kekaguman dan tulus terimakasih juga disampaikan kepada semua Guru Kehidupan yang telah memberi tahu, mengingatkan, menunjukkan jalan, memberikan teladan, memandu dan melimpahkan nilai-nilai kehidupan kepada saya sehingga saya terdorong terus untuk menghargai dan menghormati kehidupan. Kepada sahabat-sahabat dan kolega saya di semua Jurusan dan Lembaga di Fakultas Teknik, di Senat Fakultas Teknik, di Program Pascasarjana, di Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan, di Program Studi Perencanaan Kota dan Wilayah, di Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah, dan di Pusat Studi Perencanaan Pembangunan Regional disampaikan rasa terimakasih yang sangat dalam atas dukungan dan pelajaran yang diberikan kepada saya tentang arti dan makna kekuatan jaringan kebersamaan dan rasa saling menghormati sebagai modal dalam membangun keilmuan dan kehidupan akademik. Perjumpaan saya selama kurang lebih dua tahun dan telah lewat dengan kolega saya di Senat Fakultas Teknik dan kolega saya di Senat Akademik UGM, serta satu tahun berjalan dengan kolega saya di Majelis Guru Besar, telah memberikan pelajaran kepada saya tentang
20 arti penting saling menguatkan pikiran bagi penguatan dan pengembangan kehidupan akademik dan keilmuan di Universitas Gadjah Mada. Terimakasih atas kepercayaannya kepada saya. Kepada seluruh keluarga besar Suhartono Sastrosasmito dan keluarga besar Wiro Atmodjo disampaikan rasa haru dan terimakasih yang sangat dalam atas kerukunan, dukungan, penguatan serta ketulusan doa yang diberikan kepada saya. Sungguh, kekuatan kerukunan kalian membuat semangat saya selalu tumbuh untuk mencintai kehidupan. Kepada almarhum dan almarhumah orang tua saya Bapak Suhartono Sastrosasmito dan Ibu Subarti Suhartono ”sungkem donga dumateng Ibu lan Bapak, maturnuwun awit sedoyo tulodo, pitedah lan donga kekiyatan ingkang sampun Ibu lan Bapak paringaken dumateng kawulo.......!”. Kepada almarhum dan almarhumah mertua saya Bapak Wiro Atmodjo dan Ibu Suharminah:” maturnuwun sanget Ibu lan Bapak sampun nggulowentah bayi ingkang dalem tilar sinau wonten monconegoro lan sedoyo donga ingkang tansah lumintu dumateng kawulo”. Kepada isteriku Dr. Ir. Sri Sulandari, SU dan anak-anakku Ninggar Seganten dan Lintang Sagoro kamu bertiga adalah laso baja yang selalu menarikku dalam menapaki takik-takik terjal tebing kehidupan. Kamu bertiga adalah pilar yang selalu membuat diriku tegak dalam menyusuri lorong ruang dan waktu. Kepada para hadirin yang sangat saya muliakan, terimakasih atas limpahan doa yang tulus, kehadiran, serta kesabarannya dalam mengikuti pidato pengukuhan saya pagi ini. Semoga kita semua selalu mendapatkan perlindungan dan cahaya petunjuk dan penunjuk dari Allah SWT, amin...amin...amin ya robbal 'alamin. Akhir kata, Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
21 DAFTAR RUJUKAN Allison, D.B. and Garver, N.(1973). Speech and Phenomena and Other Essays on Husserl’s Theory of Signs, Northwestern University Press, Evanston. Barocas, C. (1972). Monuments of Civilization: Egypt, Grosset & Dunlap, New York. Beauregard, R.A (1984). “Between Modernity and Postmodernity: the Ambiguous Position of U.S.Planning”, quoted by Beauregard, R.A (1989) in Fainstain, S.S. & Campbell, S.(1996). Readings in Planning Theory, Blackwell, Cambridge, et.seq. Bettis, J.D (1969). Phenomenology of Religion, Harper & Row Publisher Incorporated, New York. Brotodiningrat, KPH (1978). Arti Kraton Yogyakarta, Museum Kraton Yogyakarta. Brower,M.A.W.(1988). Manusia dalam Fenomenologi, PT.Gramedia, Jakarta. Cooke,P.(1988).“Modernity, Posmodernity and the City”, quoted by Beauregard (1989) in Fainstain, S.S.&Campbell(1996), et.seq. Davidoff, P (1965). “Advocacy and Pluralism in Planning”, in Fainstein, S.S. & Campbell, S.(1996), et.seq. Derrida, J.(1968). “Differance”, English tranlation in Allison, D.B. and Garver, N.(1973). Speech and Phenomena and Other Essays on Husserl’s Theory of Signs, Northwestern University Press, Evanston. Fainstein, Susan S.(1988).”Urban Transformation and Economic Development Policy”, quoted by Beauregard, R.A (1989) in Fainstein, S.S. & Campbell, S.(1996) , et.seq. Faludi, A (1973). Planning Theory, Pergamon Press, Oxford. Friedmann, J (1992-a). “Feminist and Planning Theories: The Epistemological Connection”, in Fainstein, S.S. & Campbell, S (1996), et.seq. Friedmann, J (1992-b). Empowerment : The Politics of Alternative Development, Blackwell Publishers, Cambridge. Gurel, S (1992). "Planning : Why and What?", Lecture delivered at the Division of Human Settlements Development, AIT., Bangkok, Thailand, February 29.
22 Habermas, J (1989). “Further Reflection on the Public Sphere”, in Calhound Craig (1993): Habermas and the Public Sphere, The MIT Press, Cambridge. Habermas, J (1984). “The Theory of Communicative Action Vol I: Reason and the Rationalisation of Society” quoted by Healy, Patsy (1992) in Fainstain, S.S. & Campbell, S.(1996), et.seq.. Hall, P.S (2004). Cities of Tomorrow: An Intelectual History of Urban Planning and Design in the Twentieth Century, Blackwell, Oxford. Hardy, L and Embree, L (1992). Phenomenology of Natural Science, Kluwer Academic Publisher, Dordrecht. Harris, N (2002). “Collaborative Planning: From Theoretical Foundations to Practice Forms”, in Jones, Mark Tewdwer and Allmendinger, Philip (2002). Planning Futures: New Directions for Planning Theory, Routledge, London. Healy, P., MD. G., and Thomas, J.M.(1982). Planning Theory : Prospect For the 1980es, Pergamon Press, Oxford. Heidegger, M (2008). Towards the Definition of philosophy: The Idea of Philosophy and the Problem of World View, Phenomenology and Transcendental Philosophy of Value, translated from Germany (1919) by Sadler, T (2008), Continuum, London. Husserl, Edmund (1964). The Phenomenology of Internal Time Consciousness, translated from Germany Edition (1905) by Churchill, James S (1964), Indiana University Press. Husserl, Edmund (1965). Phenomenology and the Crisis of Philosophy, translated from Germany Edition (1905) by Laurer, Quentin (1965), Harper Torchbooks, New York. Husserl, Edmund (1970). The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology: An Introduction to Phenomenological Philosophy, translated from Germany Ed. (1954) by Carr,D.(1970), Northwestern Univ Press, Evanston. Jacobs, Jane (1961). “The Death and Life of Great American Cities”, in Fainstain,S.S. & Campbell, S.(1996), et.seq. Le Corbusier (1929). The City of Tomorrow and Its Planning, translated from the 8th French Edition of Urbanisme by Frederick Etchells, third edition (1971), The Architectural Press, London.
23 Lefebvre, H.(1974). The Production of Space, translated by NicholsonSmith Donald (1993), Blackwell Publishers, Oxford. LeGates, R.T. and Stout, F.(2009). “Modernism and Early Urban Planning”, in Birch, Eugenie L (2009). The Urban and Regional Planning Reader, Routledge, Oxon. Mokhtar, Ahmed Amin , in Whittick, Arnold (1974). Encyclopedia of Urban Planning, Mc.Graw-Hill Book Company, New York. Ponty, M.M.(1962). Phenomenology of Perception, translated by Smith, Colin (1962), Routledge & Kegan Paul Ltd, London. Prichard, H.A. (1960). “Appearances and Reality”, in Chisholm, Roderick M. (1960). Realism and the Background of Phenomenology, the Free Press a Corporation, Illinois. Putnam, Robert D. (1998). "Social Capital: Its Importance to Housing Development", Housing Policy Debate, Volume 9, Issue 1. Ratcliffe, John (1974). An Introduction to Town and Country Planning, Hutchinson & Co (publishers) Ltd, London. Ricklefs, M.C.(2002). Yogyakarta dibawah Sultan Mangkubumi 17491792 (terjemahan), Matabangsa, Yogyakarta. Sanyal, Bishwapriya (1996). “Meaning, Not Interest: Motivation for Progressive Planning”, in Mandelbaum, S.J., Mazza,L., and Burchell, R.W. (1996). Explorations in Planning Theory, the Center for Urban Policy Research, New Jersey. Schutz, Alfred (1970). On Phenomenology and Social Relations, edited by Wagner Helmut R. the University of Chicago Press, Chicago. Sudaryono (2001). “Inductive Planning: Paradigma Baru Pendidikan Perencanaan”, paper seminar, Asosiasi Sekolah Perencanaan Indonesia (ASPI), Kampus UNDIP, Semarang, 31 Maret 2001. Sudaryono (2008). Perencanaan Kota Berbasis Kontradiksi: Relevansi Pemikiran H.Lefebvre dalam Produksi Ruang Perkotaan Saat Ini, Jurnal Perencanaan Wilayah Kota, Vol.19, No.1, April 2008. Trancik, Roger (1986). Finding Lost Space: Theories of Urban Design, van Nostrand Reinhold Company, New York. Van Roosmalen, Pauline, K.M.(2005). ”Expanding Grounds: The Roots of Spatial Planning in Indonesia”, dalam Colombijn, F; Barwegen, M; Basundoro, P; dan Khusyairi, J.A. (2005): Kota Lama Kota Baru, Ombak, Yogyakarta.
24
BIODATA 1. Nama: Prof. Ir. Sudaryono, M.Eng., Ph.D. 2. Tempat/Tanggal Lahir: Yogyakarta, 31-1-1956 3. Jabatan: Guru Besar, 1 September 2010 3. Alamat kantor: 1) Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan (JUTAP), Fakultas Teknik UGM. 2) Program Pascasarjana, FT-UGM 4.Email:
[email protected] 5. Keluarga: Dr. Ir. Sri Sulandari, S.U. (isteri) Ninggar Seganten Lintang Sagoro 6. Alamat rumah: Jalan Enau 31, Perumahan Jambusari Indah, Wedomartani, Sleman, Yogyakarta 55283. 7. Pendidikan: 1961 Taman Kanak-kanak Kuncung, Baciro, Yogyakarta 1968 SDN Demangan I, Yogyakarta 1971 SMPN 4 Yogyakarta 1974 SM Pembangunan Negeri I IKIP, Yogyakarta 1982 Jurusan Teknik Arsitektur FT-UGM 1985 Institute For Housing Stusies/BIE, Rotterdam (diploma) 1988 Asian Institute of Technology, Thailand (S2) 1993 Asian Institute of Technologi, Thailand (S3) 8. Pekerjaan: 1990-Sekarang: Dosen Jurusan T. Arsitektur dan Perencanaan UGM 2011-Sekarang: Ketua Program Pascasarjana FT-UGM 2010-2011 : Wakil Ketua Program Pascasarjana FT-UGM 2007-2010 : Anggota Senat Akademik UGM 2010-2010 : Sekretaris Komite Riset Senat Akademik UGM 2007-2010 : Sekretaris Senat Fakultas Teknik UGM 2004-2007 : Ketua Komisi I Senat Fakultas Teknik UGM 2003-2011 : Ketua Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota JUTAP-FT-UGM 1998-2004 : Ketua Laboratorium Perencanaan Kota FT-UGM
25 9. Publikasi: 2009- Compact Kampungs: Formal and Informal Integration in The Context of Urban Settlements of Yogyakarta, Indonesia, Journal of Habitat Engineering, Volume 1, Number 1. 2009- Perencanaan Kota Berbasis Kontradiksi: Relevansi Pemikiran Henri Lefebvre dalam Produksi Ruang Perkotaan Saat Ini, Jurnal Perencanaan Wilayah Kota, Vol.19, No.1, April 2008, pp. 1-12. 2008- Production of Space on the Basis of A Spiritual Space: A Case Study of Parangtritis Settlements of Yogyakarta, Indonesia, Media Teknik,No.4.Th.XXX, Edisi Nopember 2008. 2007- Pilar-pilar Tata Ruang Lokal: Studi Kasus Parangtritis, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.18/No.2, April 2007. 2006-Paradigma Lokalisme Dalam Perencanaan Spasial, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.17/No.1, April 2006. 2004- Pola dan Struktur Ruang Kawasan Agropolitan dalam Perspektip Politikal-Ekonomi, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.15, No.2/Juli 2004. 2002- The Practice of Self-Help Housing Concepts in Indonesia, XXX IAHS (International Association for Housing Science) World Congress on Housing, University of Coimbra, Portugal, 9-13 September 2002. 1998- Planning Education and Profession in the Era of Globalization : Retrospect and Prospect, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.9, No.2/Mei 1998. 1998-Pemberdayaan Desa-Kota Bagi Penanggulangan Kemiskinan di Perdesaan, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol.9, No.1, Januari 1997- Konsep Kemitraan di dalam Pembangunan Perumahan, Manusia dan Lingkungan, Jurnal PPLG-UGM, No.13, Th.V. 1997- Prospek Rumah Sangat Sederhana dalam Era Globalisasi, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota-ITB, Vol.8, No.2, April 1997. 1993/6-The Future of Self-Help Housing, Ekistics, Volume 59, Number 354/355, July/August. 1990- Housing for Informal Sector Workers : The Case of Yogyakarta, Indonesia, Habitat International Journal, Vol. 14, Num.4, 1990:75-88.