Studi Fenomenologi Perempuan Miskin Kota sebagai Tulang Punggung Keluarga
STUDI FENOMENOLOGI PEREMPUAN MISKIN KOTA SEBAGAI TULANG PUNGGUNG KELUARGA Mu’minuun Dzikri Al Falah Program Studi Psikologi, FIP, Unesa,
[email protected] Muhammad Syafiq Program Studi Psikologi, FIP, Unesa,
[email protected] Abstrak Penelitian fenomenologi ini bertujuan untuk mengeksplor dan menggambarkan informasi lebih dalam mengenai kehidupan perempuan miskin kota sebagai tulang punggung keluarga. Penelitian ini menggunakan enam subjek perempuan tulang punggung keluarga yang bertempat tinggal di Kecamatan Semampir sebagai wilayah termiskin di Kota Surabaya. Partisipan direkrut berdasarkan purpossive sampling, dan dipilih berdasarkan kriteria kemiskinan BPS Kota Surabaya (2012). Penelitian dilakukan dengan wawancara mendalam semi terstruktur, dan dianalisis menggunakan IPA (Interpretatif Phenomenological Analysis). Hasil penelitian mengungkap lima tema utama, yaitu latar belakang kemiskinan, situasi kemiskinan, dampak kemiskinan, strategi bertahan hidup, dan sumber motivasi & harapan. Penelitian ini mengungkap bahwa partisipan memiliki tingkat pendidikan rendah, dan bekerja sejak usia dini. Akibat rendahnya pendidikan, partisipan bekerja pada sektor informal. Hal ini menjadi hambatan bagi partisipan dalam meningkatkan taraf hidupnya. Mayoritas partisipan mempunyai satu sumber penghasilan dan penghasilan yang didapatkan juga rendah, sehingga mereka kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dampak kemiskinan dan bekerja sendiri yang mereka alami yaitu dampak fisik akibat memforsir diri dan tekanan psikologis. Dampak psikologis mereka merasa kurang bahagia, merasa terbebani, tertekan, dan takut kekurangan. Situasi kemiskinan membuat mereka harus mempunyai strategi bertahan hidup, baik dalam cara psikologis, maupun dalam mengatasi kesulitan keuangan. Namun dukungan sosial didapatkan dari saudara, masyarakat, dan pemerintah yang diperoleh dalam bentuk bantuan materi dan dukungan moril. Disamping beban kehidupan yang mereka tanggung, mereka mempunyai sumber motivasi dan harapan yang berasal dari anak, penghasilan, do’a maupun dari prinsip dalam diri mereka sendiri. Kata kunci : Perempuan tulang punggung keluarga, kemiskinan perkotaan, strategi bertahan hidup, sumber motivasi
Abstract This phenomenological study aimed to explore and describe the lived experience of poor women in cities as the backbone of the family. This study used six female subjects backbone of the family who live in Semampir District as the poorest region in Surabaya city. Participants were recruited by purposive sampling and selected based on the criteria of BPS poverty Surabaya (2012). Who data were collected using semi-structured in-depth interviews, and analyzed using IPA (Interpretative Phenomenological Analysis). This study revealed five main themes, namely poverty backgrounds, perceptions of the poverty situation, the impact of poverty, survival strategies, and a sources of motivation and hope. This study revealed that the participants had a low educational level, and work from an early age. As a result of lack of education, participants worked in the informal sector, which becomes an obstacle to the participants in improving their standard of living. The majority of participants had one source of income and earned income is also low, so they have difficulty in meeting their daily needs. The impact of poverty and self-employed is that they experience physical effects due to force themselves and psychological distress. In general, from the psychological impact they feel less happy, feeling overwhelmed, depressed, and fear of shortages. The problems of poverty situations they face makes them must have survival strategies, both in the way of psychological (emotion focused coping), and in a way to overcome financial difficulties. Although the pressure of living in poverty and demanding needs, they owe embarrassed and ashamed to ask for help. Even so, they gain social support from relatives, community, and government. The support they received in the form of material aid and moral support. Besides they bear the burden of life, they have a sources of motivation and expectations from children, income, and the prayer of the principles themselves. Keywords : Women backbone of the family, urban poverty, the strategy survival, a source of motivation
1
Character, Volume 02 No. 3 Tahun 2014
PENDAHULUAN Kemiskinan di perkotaan adalah salah satu masalah sosial dan ekonomi yang sulit terpecahkan. Direktur Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan Kementerian Sosial Wawan Mulyawan mengatakan bahwa masalah kemiskinan di perkotaan jauh lebih kompleks meskipun jumlah penduduk miskinnya lebih sedikit dibandingkan di pedesaan. Orang miskin di kota relatif lebih sulit kehidupannya bila dibanding dengan orang miskin di pedesaan sebab sumber daya utama untuk memenuhi kebutuhan hidup di perkotaan adalah uang. Di pedesaan, tanpa uang orang masih bisa makan dengan hasil kebun walaupun relatif sedikit, tetapi di kota tanpa uang orang miskin tidak mungkin mendapatkan apa-apa kalau tidak mendapatkan bantuan dari orang lain. Selain itu, pada umumnya tingkat kepedulian masyarakat kota juga berbeda dengan masyarakat desa. Kesibukan dan tuntutan kebutuhan yang lebih banyak berdampak pada sifat individualitas masyarakat kota yang lebih tinggi dari masyarakat desa. Desa lebih memiliki daya dukung berupa sumber daya alam yang melimpah dengan tanah yang relatif luas, pemenuhan kebutuhan akan ruang mungkin tidak menjadi persoalan serius di pedesaan, sangat berbeda kondisinya dengan di perkotaan. Oleh karena itu tekanan kemiskinan pada masyarakat perkotaan cenderung lebih tinggi daripada tekanan kemiskinan pada masyarakat pedesaan. Pada konteks masyarakat miskin kota saat ini sebagian besar diantaranya adalah perempuan. Berdasarkan laporan situasi sosial dunia oleh badan PBB (dalam Kumurur, 2009) memaparkan bahwa 70% dari 1,3 milyar warga dunia yang masuk kateogri miskin adalah perempuan. International Labour Organization (dalam Kantor Perburuhan Internasional, 2004) menjelaskan bahwa konteks perempuan miskin kota saat ini dihadapkan pada permasalahan konsep feminisasi kemiskinan yang menggambarkan ketidakadilan dalam keterwakilan wanita di antara orang miskin dibandingkan dengan laki-laki. Seringkali perempuan harus menanggung beban tugas rumah yang dilekatkan sebagai tugas perempuan yang disebut dengan tugas ganda karena juga mencari nafkah. Penelitian ini berfokus pada perempuan miskin kota yang bertugas sebagai tulang punggung di keluarganya. Menurut data email Bapemas (dalam Hardiyanto, pada 10 Februari 2014) memaparkan bahwa terdapat 163 kepala keluarga perempuan miskin ada di Kota Surabaya. Berdasarkan penjelasan diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengungkap apa yang melatar belakangi kondisi kemiskinan yang melingkupi perempuan tulang punggung keluarga, bagaimana para perempuan tersebut mengungkap situasi kemiskinan dan dampak kemiskinan yang tengah mereka hadapi, bagaimana cara mereka bertahan hidup, serta apa yang membuat mereka dapat bertahan di tengah tekanan kemiskinan yang dihadapi.
terkandung dalam fenomena. Fenomena dalam penelitian ini yakni perempuan tulang punggung keluarga yang hidup dibawah garis kemiskinan di Kota Surabaya. Didukung oleh pendapat Siahaan (2011), berdasarkan perspektif fenomenologi, kemiskinan adalah sebuah realitas sosial yang dialami sendiri oleh suatu rumah tangga miskin, oleh karena itu rumah tangga mereka sendirilah yang lebih tepat untuk mendeskripsikannya. Partisipan dipilih berdasarkan purpossive sampling dengan kriteria: 1) perempuan, dimana posisinya di dalam satu keluarga adalah sebagai pencari nafkah atau tulang punggung keluarga yang memiliki beban atau tanggungan untuk menafkahi keluarganya; 2) merupakan warga Kota Surabaya; 3) peneliti menentukan kriteria miskin berdasarkan kriteria kemiskinan BPS (2012): hidup di bawah standar garis kemiskinan wilayah Kota Surabaya yaitu di bawah Rp. 310,074 per bulan per orang. Partisipan dipilih berdasarkan anjuran data penerima raskin dari kantor Kecamatan Semampir Surabaya. Enam perempuan yang tinggal di wilayah termiskin di Kota Surabaya yaitu Kecamatan Semampir berhasil direkrut, diantaranya adalah TE, STH, RST, MR, SB, dan SJ. TE menanggung tiga anak, STH dua anak, RST tiga anak, MR menanggung kehidupan adiknya yang menderita kelainan mental, SB menanggung satu anak dan dua keponakan, sedangkan SJ menanggung satu anak dan kedua orang tuanya. Mayoritas partisipan bekerja pada sektor informal dan hanya mempunyai satu sumber penghasilan. TE dan SJ bekerja sebagai penjahit “borongan”, STH berdagang kue keliling, RST cleaning service sekolahan, MR pembantu kantin, dan SB berdagang sate cecek. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara semi-terstruktur menggunakan pedoman wawancara umum. Pedoman wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan yang mengungkap tiga hal pokok, yaitu data demografis, strategi bertahan hidup, dan pertanyaan umum. Sebelum wawancara, proses pendekatan untuk membangun rapport dilakukan kepada masing-masing partisipan selama satu minggu. Proses wawancara dilakukan berkisar antara 44 menit hingga 60 menit. Wawancara direkam menggunakan aplikasi rekam dari handphone. Proses analisis data dilakukan dengan mentranskrip hasil wawancara. Kemudian hasil transkrip wawancara diberi penomeran pada tiap barisnya. Transkrip diberi koding berupa catatan peneliti di margin kiri. Catatan pada margin kiri dilakukan sampai selesai, kemudian catatancatatan tersebut dimaknai kembali hingga mendapatkan tema-tema psikologis di margin kanan. Selanjutnya peneliti mengelompokkan bermacam-macam tema dari margin kanan. Tema-tema yang berhasil diidentifikasi dikelompokan berdasarkan kemiripan satu dengan yang
METODE Penelitian kualitatif ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Giorgi dan Giorgi (dalam Smith, 2009) menjelaskan bahwa fenomenologi merupakan metode yang berusaha menemukan makna-makna psikologis yang 2
Studi Fenomenologi Perempuan Miskin Kota sebagai Tulang Punggung Keluarga
“Yo kadang pernah ini kepilangan (vertigo), nggak boleh mungkin terlalu tegang pikiran saya itu kepilangan, capek kayak kaku gitu lo mbak. Kadang-kadang nek kita kepilangan nggeliyeng mandek berhenti di rumah orang gitu (pernah sakit pusing atau vertigo saat berjualan sampai berhenti untuk istirahat di rumah orang). (STHB532)
lain dan diberi label tema yang lebih besar yang disebut sub tema dan diberi satu nama kategori yang lebih luas yang disebut dengan tema. Beberapa tema yang berhasil ditemukan beserta seluruh subtema, koding dan semua ekstrak terbaik dari transkrip wawancara kemudian disusun menjadi sebuah tabel tema. Berdasarkan tabel tema yang disusun, selanjutnya peneliti menulis laporan hasil penelitian. Untuk memperjelas makna dalam kutipan ekstrak wawancara peneliti memberikan tanda “{…}” untuk tambahan pertanyaan, dan tanda “[...]” untuk menunjukkan bahwa terdapat bagian ekstrak tidak relevan yang telah dihapus dari transkrip asli. Peneliti juga memberikan tanda kurung “(...)” sebagai klarifikasi peneliti untuk memperjelas makna dari transkrip asli. Pada bagian akhir setiap ekstrak terbaik yang telah dikutip diberikan inisial nama partisipan, kode huruf “B” dan nomor yang merujuk pada baris halaman dari transkrip asli partisipan. Selama proses penelitian diperlukan kecermatan dan keterlibatan ahli untuk memperkuat proses interpretasi data. Oleh karena itu proses penelitian ini melibatkan dosen pembimbing terutama pada proses analisis data penelitian.
STH mengeluhkan pusing yang tidak terkendali (vertigo). Ia merasakan sakit kepala ini karena ia sadari akibat dari kecapekan dan pikiran yang terlalu tegang (stres) yang ia alami. Dampak Psikologis Kemiskinan Sebagai perempuan yang memiliki beban untuk menafkahi keluarga, pada kondisi tertentu akan merasakan tekanan psikologis atau kondisi ketidakbahagiaan. “Ya kadang-kadang yo iku mbake wes sumpek (ya itu mbak stress rasanya). Gaji tetep pas-pasan terus wes.” (SJ-B116) Terkadang SJ juga merasa stres karena pendapatan yang ia terima selalu pas-pasan. Partisipan juga mengungkap perasaan terbebani. “P: Nek wes di rumah yo mikir lagi (kalau sudah di rumah ya mikir lagi). {I: Mikir apa ibu?} P: Ya mikir tiap harinya itu. Besok mau sarapan apa, gitu. Tiap airnya habis, mau buat beli obat lamuk (nyamuk), banyak lamuknya (nyamuknya). Kan mikire gitu.” (RST-B360)
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian ini berhasil mengungkap lima tema yaitu latar belakang kemiskinan, situasi kemiskinan, dampak kemiskinan, strategi bertahan hidup, serta sumber motivasi & harapan. Namun dalam pembahasan ini peneliti hanya memaparkan beberapa tema inti.
RST merasa terbebani dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia terbebani akan tuntutan kebutuhan seharihari. Partisian juga merasa kondisi tertekan. SJ mengungkapkan perasaan tertekan yang dialaminya.
Tema : Dampak Kemiskinan Penelitian ini mengungkap beberapa dampak dari segi psikologis maupun dari segi fisik berdasarkan persepsi dari masing-masing partisipan.
“[…] tertekan kalo pas (saat) nggak ada jahitan gitu. Pas (saat) nggak ada penghasilan itu ya tertekan […] mbak. Kalo ada jahitan meskipun sedikit kan masih jalan, kalo pas nggak ada garapan wes susah mbak (merasa susah jika tidak ada pekerjaan).” (SJ-B389)
Dampak Fisik Pekerjaan dalam situasi kemiskinan seringkali adalah pekerjaan dengan penghasilan yang tidak menentu atau pas-pasan. Hal ini membuat partisipan harus bekerja ekstra demi penghasilan tambahan. Tidak jarang hal ini berdampak pada kemampuan fisik karena memforsir tenaga dan pikiran mereka.
SJ merasa tertekan saat tidak ada jahitan yang bisa ia kerjakan. Ia pun merasa susah saat tidak ada penghasilan. “Yang gajian saya enam ratus (ribu) itu. Ya dibilang nggak memenuhi yo opo maneh (ya dibilang tidak memenuhi ya bagaimana lagi). [...] masi dibilang gak memenuhi terus oleh nang endi gak ada lagi (meskipun dibilang tidak memenuhi terus dapat darimana tidak ada lagi) […] .” (RSTB608)
“[…] wes sakit tangan sini sampek sini (tangan sudah sakit sini sampek sini). Kalo buat ngangkatngangkat (angkat-angkat barang) sudah nggak bisa. Megang sapu aja gini, lima menit wes keok (lima menit sudah tidak kuat). Lima menit berhenti, ginikno (dibeginikan) lagi (sambil melakukan gerakan tangan), lima menit berhenti ginikno (dibeginikan) lagi.” (RST-B783)
Kondisi kemiskinan membuat RST merasa serba terbatas. Namun, kondisi psikologis tertentu seperti malu karena berhutang dan malu meminta bantuan juga dirasakan partisipan.
RST mengeluhkan sakit pada bagian tangannya akibat memforsir tubuhnya saat bekerja.
3
Character, Volume 02 No. 3 Tahun 2014
“Ya itu mbake sakjane ya malu (berhutang) tapi yo opo lagi wong uange kurang (sebenarnya malu berhutang tapi bagaimana lagi karena kekurangan uang).” (SJ-B432)
“Wes anu taroh sini ae, kalo dikasih sehat wes pasti sehat […] meskipun di bawah jembatan” (anak diasuh orang tua).” (SJ-B144)
SJ merasa malu berhutang, namun ia pasrah pada kondisi ini, karena ia memang harus berhutang untuk menutupi kekurangan. Perasaan malu meminta bantuan dialami RST.
“[…] kata makku (ibuku), “Masi dideleh nang Meduro, lek wayahe diingu ambek sing kuoso iku lek urip, urip. Masi kon gowo […] lek wayahe dijikik yo gak onok” (meskipun dirawat orang tua kalau anak bisa hidup akan hidup, kalau diambil Tuhan akan meninggal).” (SJ-B147)
“[...] minta nasi ndek (di) adek yang tadi itu. Kadang minta di sini (paman). Kadang gitu. Kalo terlalu sering kan ya nggak enak toh mbak, jadi jarang-jarang lah. Kadang kalo kepepet (terdesak), kadang gitu. Di situ (adek) kan ada suaminya jadi kan ya sungkan mbak. Kadang sungkan.” (RST-B574)
Orang tua SJ menganggap bahwa kehidupan anak SJ merupakan kehendak Tuhan walaupun dirawat dengan kondisi ekonomi lemah. Sedangkan STH mengungkapkan ia telah membiasakan diri dengan pekerjaannya. “Nek [...] anake orang punya itu kan nggak tau umbah-umbah, nggak tau kora-kora, kan kaget mbak istilahne (kalau seperti anak-anak orang kaya itu tidak pernah mencuci baju, tidak pernah mencuci piring itu akan tidak biasa dengan situasi kemiskinan). Tapi kan saya koyok masalah pekerjaan kan wes biasa (masalah pekerjaan sudah biasa).” (STH-B200)
RST merasa malu saat terdesak untuk menutupi kekurangan kebutuhan makan sehari-hari, RST meminta nasi kepada adik atau kepada pamannya. “Saya masi (meskipun) nggak punya itu nggak minta saudara. He’em cari (sendiri), he’em. Tapi saudara saya kan ngerti (pengertian) anu di kasih “Ini buat anu buat jajan, buat buat beli beras” gitu. Tapi saya nggak bisa, saya malu, masi (meskipun) sama saudara, kan cari sendiri masi apa, (tetap) jualan saya (meskipun dalam keadaan yang bagaimana tetap cari sendiri, tetap jualan).” (SBB346)
STH mengatakan bahwa ia berasal dari keluarga tidak kaya, sehingga ia merasa terbiasa dengan pekerjaan yang telah ia jalani. Pada dasarnya keterbiasaan yang dirasakan STH ini merupakan bentukan dari pola pikir yang berasal dari orang tuanya.
Meskipun kondisi perekonomian lemah, SB tidak ingin meminta bantuan kepada saudaranya.
“[…] diwarai bapakku “Nek telek duwek ojok adoh-adoh nak, nek memang durung wayahe sogeh” (bapaknya berpesan, kalau mencari uang jangan jauh-jauh, kalau memang belum ya belum waktunya kaya).” (STH-B150)
Tema : Strategi Bertahan Hidup Strategi bertahan hidup dalam penelitian ini merupakan cara perempuan miskin tulang punggung keluarga dalam menghadapi situasi kemiskinannya.
Upaya untuk merubah nasib yang dijalani STH dengan bekerja ke luar negeri mendapat respon dari nasehat orang tuanya yang mengartikan bahwa rejeki itu ada saatnya datang kepada mereka tanpa harus berupaya keras. Cara lain untuk mengatasi tekanan psikologis, dihadapi dengan mendekatkan diri pada Tuhan dilakukan oleh SJ.
Cara Mengatasi Dampak Psikologis Kemiskinan Situasi kemiskinan yang dihadapi oleh perempuan tulang punggung keluarga menimbulkan dampak kemiskinan khususnya secara psikologis. “Ya dibuat enjoi ya enjoi, dibuat susah ya susah mbak […].” (SJ-B315)
“[...] sembarang wes ngelu ndas (semua harus melakukan sendiri, membetulkan genteng bocor sendiri, semua sudah membuat stres). Dadi yo isine yowes (me) ngeluh nang sing kuoso ae lah mbak, wes pasrah (jadi setiap hari mengeluh pada yang kuasa, dan pasrah).” (SJ-B154)
SJ memilih menciptakan suasana yang nyaman dalam pikirannya agar ia tidak merasa terbebani dalam menjalani kehidupannya sehari-hari SJ memilih untuk menyerahkan diri pada nasib. Ya dijalani ya wes santai ae mbak, ya wes dijalani ya gini ae wes kehidupan (ya sudah santai saja, dijalani saja, ya sudah seperti ini kehidupan). Wes pasrah (sudah pasrah).” (SJ366)
MR juga memilih cara religius untuk mengatasi tekanan kehidupan yang ia alami. “Terus saya kalo dhuha, terus Ya Allah saya dikasih kerjaan ya Allah. Sholat dhuha itu banyak manjurnya.” (MR-B516)
SJ menerima kondisi kehidupannya saat ini dengan berusaha menikmati kehidupannya. Namun pada dasarnya kondisi memasrahkan diri pada nasib yang dilakukannya merupakan hasil internalisasi dari pola sikap yang diterapkan orang tuanya.
Ketika dihadapkan pada kesulitan, MR memilih untuk berdo’a melalui sholat.
4
Studi Fenomenologi Perempuan Miskin Kota sebagai Tulang Punggung Keluarga
SJ berharap kehidupan anaknya dapat sukses kelak tidak seperti kehidupannya saat ini.
Cara Mengatasi Kesulitan Keuangan Cara mengatasi kesulitan keuangan sebagai upaya untuk mengatasi kondisi kemiskinan yang sedang dihadapi salah satunya dilakukan dengan cara berhutang yang dilakukan oleh beberapa partisipan untuk menutupi kekurangan, salah satunya RST.
Faktor Internal Sumber motivasi dari dalam diri juga diungkapkan oleh partisipan, diantaranya STH. “Ya pokok selama kita masih […] hidup ya kita susah sendiri mbak (hidup ini menuntut kita untuk menjadi pribadi mandiri). Kalo kita nggak mau usaha darimana mbak kita, untuk makan untuk tiap hari. Kita berprinsip gitu aja.” (STH-B629)
“Caranya ya utang sini, bayar sana. Utang sana, bayar situ, gitu, akhire kebulet (akhirnya rumit). Wes utang apa gitu terus tak bayarno gitu (sudah hutang apa gitu, terus saya bayarkan gitu). Pernah utang sini, bayar situ, sana ditagih, pinjem sini, bayarkan situ.” (RST-B683)
STH berprinsip terus berusaha bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Beberapa partisipan tidak memiliki tumpuan masa depan, sehingga harapan yang terungkap untuk diri sendiri merupakan upaya untuk meringankan beban hidupnya. MR salah satunya.
RST berhutang untuk menutupi kekurangan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hutang yang dilakukannya tidak hanya pada satu tempat saja. Namun kepada rentenir dan juga kepada teman kerjanya.
“Ya Allah mudah-mudahan saya dikasih kesehatan ya Allah, biar nggak sakit-sakit, kalo setiap hari gitu saya.” (MR-B752)
“Ya pinjem. Iya pinjem. Ya sama temanku itu, nanti kalo gajian dikembalikno (dikembalikan). Nanti kalo kurang lagi ya pinjem lagi.” (SJ-B224)
MR mengungkapkan harapannya dalam do’a. Kehidupannya saat ini yang harus menafkahi adiknya di tengah kondisi perekonomian lemah membuatnya mengungkapkan harapan pada Tuhan.
SJ juga memilih berhutang kepada teman kerjanya untuk menutupi kekurangan. Ia akan membayar hutang ketika ia menerima gaji. Namun RST juga memilih bekerja keras untuk menutupi kekurangan.
Pembahasan Kertati (2013) kemiskinan terjadi akibat latar belakang dari kemiskinan itu sendiri. Penelitian ini berhasil mengungkap latar belakang kemiskinan yang dialami partisipan berasal dari rendahnya tingkat pendidikan. Mayoritas partisipan penelitian ini berpendidikan rendah. Hal ini dapat diidentifikasi dari mayoritas partisipan mengalami putus sekolah, namun sebagian lainnya tidak sekolah. Suyanto & Karnaji (2005) memaparkan bahwa di kalangan keluarga miskin, anak seringkali harus ikut bekerja di usia dini untuk membantu perekonomian keluarga. STH, MR dan SJ menceritakan bahwa mereka sudah bekerja saat mereka masih usia dini. Pengalaman bekerja sebagai tenaga kerja wanita (TKW) pernah dilakukan oleh RST dan STH. Markum (2009) akibat kondisi pendidikan yang rendah, perempuan miskin menduduki posisi yang rendah dalam pekerjaan. Mereka pun mengalami hambatan dalam meningkatkan taraf kehidupannya yang dialami dalam bentuk kesulitan pekerjaan karena mayoritas partisipan bekerja pada sektor informal dengan penghasilan yang tidak menentu yang membuat mereka kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. TE dan SJ yang bekerja sebagai penjahit borongan mempunyai penghasilan yang tidak menentu. Demikian pula dengan SB dan STH yang berdagang. Sedangkan RST dan MR dengan penghasilan tetap namun pas-pasan. Masing-masing partisipan memiliki pandangan mengenai pekerjaan yang dianggapnya lebih baik. Mayoritas partisipan menginginkan untuk memiliki usaha sendiri, dan tidak sedikit dari mereka bertujuan untuk mengembangkan usaha yang telah digeluti. Namun keinginan mereka harus mengalami hambatan yang bersumber dari ketiadaan modal. Sebagaimana yang
“{I: Kalo ibu sakit gitu gimana?} P: Nggak dirasakno (tidak dirasakan) mbak. Wes kerjo terus (sudah kerja terus). Kerjo ae (kerja saja).” (RSTB689) RST harus bekerja keras dengan memilih tetap bekerja saat ia sakit. Ia berusaha mengabaikan rasa sakit yang dialaminya demi tetap bekerja. Tema : Sumber Motivasi dan Harapan Beberapa faktor yang membuat perempuan tulang punggung keluarga di tengah kemiskinan dapat bertahan dan harapan yang dimilikinya diungkap dalam faktor eksternal dan faktor internal. Faktor Eksternal Penelitian ini mengidentifikasi sumber motivasi partisipan dalam faktor dari luar dirinya. SJ mengungkapkan anak sebagai sumber motivasinya. “{I: Apa yang membuat mbak bisa kuat?} P: Anak. Soale aku punya prinsip aku aku harus sehat harus bisa kerja buat anakku. Biar anakku sukses gitu. Jadi ya anak, itu anak. Kalo nggak ada anak ya nggak tahu.” (SJ-B632) SJ mempunyai prinsip harus tetap sehat agar dapat terus bekerja demi anaknya. Ia menginginkan anaknya sukses. Oleh karena itu SJ mengungkapkan harapannya terhadap anak. “Yang dipikir itu pokoke masa depan anak sampek (sampai) bisa nyekolakno (menyekolahkan) anak sampek (sampai) sukses biar nggak kayak (seperti) aku mbak.” (SJ-B117)
5
Character, Volume 02 No. 3 Tahun 2014
dikatakan Suyanto & Karnaji (2005), pendapatan yang diperoleh orang miskin tidak cukup untuk memperoleh lahan atau pun modal usaha. Bagi mayoritas partisipan, pekerjaan yang mereka miliki sebagai satu-satunya sumber penghasilan. Sehingga tidak jarang mereka juga mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan penghasilan tidak menentu, SJ merasa mudah kehabisan uang dan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan seharihari orang tua dan anaknya. Penghasilan tetap yang diperoleh RST membuatnya merasakan kondisi kekurangan. Seringkali ia dan anak-anaknya tidak makan karena kehabisan uang. Bantuan dari pemerintah (BLT) yang diterimanya dua bulan sekali juga tidak banyak membantu, karena uang tersebut juga telah habis digunakan untuk membayar hutang dan kebutuhan makan sehari-hari. Adanya dukungan sosial dapat membantu perempuan miskin sebagai tulang punggung keluarga untuk keluar dari keterpurukan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dukungan sosial dari orang lain merupakan keuntungan bagi orang yang sedang tertekan (Watson, dalam Muthoharoh, 2012). Penelitian ini mengungkap bagaimana persepsi partisipan terhadap dukungan yang mereka peroleh. Dukungan tersebut berupa dukungan materi dan dukungan moril yang diberikan oleh saudara, masyarakat, dan pemerintah. Masing-masing partisipan menyatakan mendapat bantuan dari pemerintah. SJ, MR, TE, STH, dan SB mengatakan mendapatkan bantuan raskin dari pemerintah. Sedangkan RST mendapat bantuan langsung tunai (BLT). Bantuan dari masyarakat sekitar diterima SJ untuk biaya pengobatan anaknya. Ia juga pernah mendapatkan bantuan biaya pengobatan dari atasannya. TE dan STH juga mendapatkan bantuan dari masyarakat sekitar tempat tinggalnya. TE mendapat bantuan dari tetangga-tetangga yang memberinya beras atau pun sekedar memberi anaknya uang jajan. Selain itu, TE juga mendapatkan bantuan santunan untuk anak-anaknya dari sebuah yayasan sosial yang diterimanya tiap tahun. Sedangkan STH mendapat bantuan uang atau pakaian bekas dari tetangganya. SB mendapat bantuan dari anak atau dari saudaranya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Walaupun begitu, bantuan ini tidak selalu didapatkannya. Dalam banyak hal, individu memerlukan keberadaan orang lain untuk saling memberi perhatian, membantu, mendukung dan bekerja sama dalam menghadapi tantangan kehidupan (Isundariyana, dalam Muthoharoh, 2012). Dukungan moril juga diperlukan oleh partisipan. TE, MR dan STH merasakan adanya dukungan moril dari orang-orang di sekitar mereka. Namun MR juga mengaku tidak mendapat dukungan dari anaknya sebagai orang terdekatnya. Penelitian Farley (dalam Markum, 2009) mengemukakan akibat kemiskinan terhadap kondisi mental. Merujuk pada hasil penelitiannya, menyimpulkan bahwa orang-orang berpenghasilan rendah merasa kurang bahagia (less happiness). Penelitian ini mengungkap psikologis partisipan menunjukkan perasaan tidak bahagia yang diungkapkan dalam perasaan terbebani, tertekan,
merasa serba terbatas, serta bentuk-bentuk perasaan lain seperti rasa takut terhadap hutang, takut kekurangan, rasa khawatir akan masa depan anggota keluarga yang dinafkahi, serta malu meminta bantuan dan malu berhutang. Dampak kemiskinan akibat bekerja ekstra dan kondisi psikologis yang rentan juga berdampak pada kemampuan tubuh (fisik) mereka. Dalam psikologi klinis, partisipan dapat disebut mengalami gejala psikosomatis, yaitu gangguan fisik yang bersumber dari psikologis (Chaplin, dalam Suherlambang, 2013). Partisipan mengungkapkan bahwa mereka mengalami keluhan sakit pada bagian tubuh tertentu. Menjalani kehidupan di tengah kemiskinan dan sebagai tulang punggung keluarga tentu memberikan dampak bagi psikologis partisipan. Bagi perempuan tulang punggung keluarga yang ditinggal meninggal suaminya atau pun karena perceraian mengalami kondisi ketidaksiapan ketika harus bekerja sendiri. Hal ini dikarenakan status suami sebelum meninggal atau sebelum bercerai adalah sebagai pencari nafkah. Sehingga bekerja sendiri seperti suatu kejutan dalam hidup mereka. Namun beberapa partisipan lain telah terbiasa bekerja walaupun ada suami. Mayoritas partisipan mengalami kondisi psikologis tidak bahagia, merasa susah, merasa terbebani bekerja sendiri, ketidaksiapan diri, serta tidak sanggup menanggung beban hidup sendiri. Strategi bertahan hidup merupakan cara partisipan dalam menghadapi situasi kemiskinan yang dialaminya. Penelitian ini memunculkan dua cara dalam menghadapi situasi kemiskinan, yaitu cara mengatasi kemiskinan berdasarkan psikologis dan cara mengatasi permasalahan kesulitan keuangan. Secara khusus disebut juga dengan emotion focused coping yaitu upaya penyelesaian masalah yang berfokus pada emosi (Suherlambang, 2013). Diantaranya adalah merasa terbiasa dengan situasi kemiskinan, memasrahkan diri pada nasib, menekan masalah, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Partisipan terbiasa bekerja keras, dan terbiasa dalam kondisi kekurangan. Perasaan terbiasa ini juga mereka tunjukkan dengan memasrahkan diri pada nasib. Pada dasarnya caracara psikologis yang dipilih partisipan merupakan bentuk antisipasi mereka terhadap kondisi stres atau kondisi psikologis yang lebih parah (Markum, 2009). Cara-cara psikologis ini juga diadaptasi dari warisan orang tua dalam budaya kemiskinan (Lewis, dalam Suparlan, 1984). Pendapatan tidak menentu atau pas-pasan berdampak pada kesulitan keuangan. Kondisi ini memunculkan cara-cara untuk mengatasi kondisi saat kesulitan keuangan. Melakukan penghematan besarbesaran, hingga terbelit hutang merupakan strategi yang mau tidak mau dikembangkan oleh partisipan. Partisipan berusaha menerima kenyataan yang penuh tekanan dan berupaya untuk menghadapi situasi kemiskinannya (Suherlambang, 2013). Partisipan harus bekerja keras untuk mengatasi kesulitan keuangan mereka. Sumber motivasi dan harapan dalam penelitian ini yang membuat perempuan tulang punggung keluarga di tengah kemiskinan dapat bertahan diungkap dalam faktor eksternal dan faktor internal. Mereka mempunyai sumber 6
Studi Fenomenologi Perempuan Miskin Kota sebagai Tulang Punggung Keluarga
motivasi dan harapan eksternal yang berasal dari anak, pekerjaan, dan penghasilan. Sedangkan sumber motivasi dan harapan internal berasal dari do’a maupun dari prinsip dalam diri mereka sendiri.
masalah, dan mendekatkan diri pada Tuhan. Pada dasarnya cara-cara psikologis yang dipilih partisipan merupakan bentuk antisipasi mereka terhadap kondisi stres atau kondisi psikologis yang lebih parah. Sedangkan cara mengatasi kesulitan keuangan dilakukan partisipan dengan cara berhutang, bekerja keras, bekerja ekstra, melakukan penghematan, hingga “mengencangkan ikat pinggang” (tidak makan, makan seadanya). Sumber motivasi dan harapan yang dimiliki partisipan terbagi dalam faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal yang membuat partisipan dapat bertahan dalam menghadapi tekanan kehidupannya adalah anak, dan penghasilan, partisipan juga mengungkap harapan terhadap anak. Sedangkan sumber motivasi dan harapan yang berasal dari faktor internal adalah prinsip, dan do’a. Saran 1. Bagi Peneliti Selanjutnya Peneliti selanjutnya dapat menggunakan kriteria perempuan miskin tulang punggung keluarga yang kesulitan mengakses bantuan, dengan usia di atas paruh baya. Pada usia tersebut akan berpengaruh dengan kemampuan tubuh yang dimiliki, sehingga bagi perempuan tulang punggung keluarga yang juga hidup diantara permasalahan-permasalahan terkait kondisi kemiskinan perkotaan tentu dampak dari kemiskinan yang dihadapi akan semakin berat. Dengan begitu kisah hidup yang akan digali dapat lebih bermakna. Hal tersebut dapat diteliti menggunakan metode penelitian lain seperti life history atau studi kasus yang menonjolkan sisi unik dari pengalaman kehidupan partisipan. Peneliti selanjutnya juga dapat meneliti anak-anak dari keluarga miskin di perkotaan dalam kaitannya dengan budaya kemiskinan. 2. Bagi Masyarakat dan Keluarga Dukungan sosial bagi perempuan miskin tulang punggung keluarga sangatlah penting untuk perkembangan psikologis mereka dari tekanan dan beban kehidupan yang mereka rasakan. Terutama dari keluarga atau anak sebagai orang terdekat dari seorang ibu.
PENUTUP Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang diungkap dalam penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan. Latar belakang kemiskinan yang dialami oleh partisipan pada penelitian ini mengungkap bahwa partisipan berpendidikan rendah karena putus sekolah, bahkan tidak sekolah. Diungkap juga pengalaman kerja partisipan dimulai sejak usia dini, namun ada pula yang memulai pengalaman bekerjanya sejak suami meninggal. Partisipan dalam penelitian ini juga memiliki riwayat kerja sebagai TKW. Situasi kemiskinan dialami partisipan dalam hambatan meningkatkan taraf hidup, diantaranya kesulitan dalam pekerjaan, penghasilan tidak mencukupi (rendah), kesulitan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan persepsi partisipan atas dukungan sosial yang mereka terima. Hambatan dalam meningkatkan taraf hidup dapat diidentifikasi dari hambatan modal dan kesulitan pekerjaan. Penghasilan tidak mencukupi diidentifikasi dari penghasilan tidak pasti. Oleh karena itu partisipan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan seharihari, yang diidentifikasi dari merasa mudah kehabisan uang, kondisi kekurangan, dan kehabisan dana bantuan. Sehingga partisipan membutuhkan dukungan sosial. Dukungan sosial diterima partisipan berupa bantuan materi dan dukungan moril yang diterima dari saudara, masyarakat, dan pemerintah. Namun ada pula partisipan mengungkapkan mendapat perlakuan tidak mendukung karena tidak mendapat bantuan dari anak. Dampak kemiskinan diungkap partisipan dalam dampak psikologis kemiskinan, beban psikologis bekerja sendiri dan dampak fisik. Penelitian ini mengungkap psikologis partisipan menunjukkan perasaan tidak bahagia, merasa terbebani, tertekan, merasa serba terbatas, serta bentuk-bentuk perasaan lain seperti rasa takut terhadap hutang, takut kekurangan, rasa khawatir akan masa depan anggota keluarga yang dinafkahi, serta malu meminta bantuan dan malu berhutang. Dampak psikologis bekerja sendiri memunculkan kondisi tidak bahagia, terbebani bekerja sendiri, ketidaksiapan diri, dan tidak sanggup menanggung beban sendiri. Sedangkan dampak fisik menunjukkan partisipan mengalami gangguan psikosomatis, karena gangguan fisik yang dialami bersumber dari kondisi psikologis dan akibat memforsir tubuhnya. Strategi bertahan hidup sebagai cara partisipan menghadapi kemiskinan berhasil diidentifikasi dalam dua cara, yaitu cara mengatasi kemiskinan berdasarkan psikologis dan cara mengatasi kesulitan keuangan. Strategi bertahan hidup dalam penelitian ini membuktikan adanya budaya kemiskinan dalam pola pikir atau sikap-sikap yang dimunculkan partisipan yang merupakan hasil warisan dari orang tuanya, diantaranya merasa terbiasa (pada situasi kemiskinan), memasrahkan diri pada nasib, menekan
DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. (2012). Data dan Informasi kemiskinan Kabupaten/Kota 2011. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Hardianto, Wahyudi. “Re: Jawaban Penelitian Psychology Unesa”. Bapemas, (Online),
[email protected], 10 Februari 2014, pukul 09.15. Kantor Perburuhan Internasional. (2004). International Labour Organization: Seri Rekomendasi Kebijakan: Kerja Layak dan Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia. (Online), 7
Character, Volume 02 No. 3 Tahun 2014
www.ilo.org/wcmsp5/.../wcms_125243.pdf, diakses 14 Oktober 2013, pukul 17.00. Kertati, Indra. (2013). Analisis Kemiskinan Kota Semarang berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial. Jurnal Riptek (Online), 7(1), 27-38, www.jurnalkemiskinan.com, diakses 8 Maret 2014, pukul 18.00. Kumurur, V. A. (2009). Pembangunan dan Kemiskinan Perempuan di Kota. Jurnal Ekoton (Online), 9(1), 73-86, www.jurnal/perempuankota.pdf, diakses 18 Maret 2014, pukul 10.00. Markum, M. E. (2009). Pengentasan Kemiskinan dan Pendekatan Psikologi Sosial. Jurnal Psikobuana (Online), 1(1), 1-12, http://library.gunadarma.ac.id/ journal/view/8912/pengentasan-kemiskinan-danpendekatan-psikologi-sosial.html/, diakses 10 Desember 2013, pukul 10.00. Muthoharoh, Siti. (2012). Dukungan Sosial pada Orang Tua Tunggal Perempuan Miskin. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Siahaan, Hotman. (2011). Profil Kemiskinan di Surabaya: Sebuah Analisis Fenomenologis. Jurnal Kemiskinan (Online), 24(3), 219-227, http://journal.unair.ac.id/article_4076_media15_ca tegory8.html, diakses 4 April 2014, pukul 19.00. Smith, J.A. (2009). Psikologi Kualitatif: Panduan Praktis Metode Riset (Terjemahan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Suparlan, Parsudi. (1984). Kemiskinan di Perkotaan. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan. Suyanto, Bagong & Karnaji. (2005). Kemiskinan dan Kesenjangan Sosial: Ketika Pembangunan Tak Berpihak Kepada Rakyat Miskin. Surabaya: Airlangga University Press.
8