Fenomena ‘Keberagamaan Sosial’ Indonesia Thursday, 16 April 2009 06:30
Kebangsaan Indonesia akan selalu berdilema sebelum definitifnya konstruksi relasi agama dan negara. Inilah intisari misteri masa depan kebangsaan Indonesia yang masih tersimpan rapat dalam kotak pandora Nusantara yang terkunci rapat menunggu generasi pilihan yang mempunyai kapabilitas dan otoritas dalam mengkonstruksikanya. Selama belum dapat terwujudkan konstruksi nyata kerangka kebangsaan yang mensenyawaan anasir-anasir ‘agama’ dan anasir-anasir negara kontemporer, tak akan ada kejelasan arah visi Indonesia ke depan. Basis modalitas sosiokultural agama dan budaya bangsa melalui proses transformasi sosio-kultural disenyawakan dengan anasir-anasir supra-infrastruktur negara kontemporer dalam suatu konstruksi bangunan kebangsaan Indonesia yang kokoh dan padu.
Problematika penting kebangsaang kita adalah mulai tergusurnya bahan-bahan kebudayaan-kebudayaan sumbangan dari bangsa-bangsa besar di nusantara akibat gempuran peradaban material global dengan segala anasir-anasir ideologi ‘fasis’, skema-skema politik, budaya kemasan dan mesin ekonominya yang menghancurkan. Gerakan penyelamatan peradaban Nusantara Indonesia tidak bisa tidak mesti dilahirkan. Lagi-lagi diperlukan kelompok generasi pembebas jilid 2 yang otentik, yang Tuhan cinta mereka dan mereka cinta menegakkan (jalan) ‘kemanusiaan’ dari Tuhan, pengambil resiko, pelopor pembangunan kebangsaan sosial, perintis jalan yang tidak terbelah kepribadiannya oleh pandangan dunia ‘meta dunia’ yang dikhotomis dan paradoksal.
1 / 12
Fenomena ‘Keberagamaan Sosial’ Indonesia Thursday, 16 April 2009 06:30
Dari sudut pandang ke-nurani-an bisa dikatakan bahwa kondisi masyarakat yang sakit terjadi akibat elemen-elemen individu masyarakat, khususnya kaum elitnya yang sakit pula. Meminjam istilah yang diberikan oleh Amien Rais, para elit yang bermental feodal namun bermindset budak (inlander) yang cenderung tak bernurani ( without conscience ) tidak memikirkan harkat dan martabat sebagian rakyat dan publiknya. Mereka mengembangkan pola kepemimpinan yang egosentris dominatif, menebar ketidakadilan dan ‘fitnah’. Masa kini dapatlah kita katakan sebagai era zaman fitnah yang dipenuhi oleh aura gerak para medioker yang tak bersukma kerakyatan, tak jelas pemihakannya pada jalan kebangsaan dan kenegaraan. Mereka bahkan berperan negatif sebagai pembajak demokrasi ataupun hantu-hantu demokrasi yang hanya berfikir partikular pribadi maupun kelompok tanpa mencurahkan energi kepada jalan penegakan daulat rakyat, kebangsaan dan kenegaraan. Bung Karno mengistilahkan para elit feodal tersebut sebagai kaum penjajah dari bangsa sendiri yang daya jajahnya lebih berat dari masa pergerakan nasional di awal abad 20.
Selain itu dalam kerangka global maupun lokal telah terjadi penggerusan maupun pendangkalan dimensi religiousitas oleh ‘Cip-cip racun Kuasa Gelap’ yang membius pandangan dunia iluminatif transenden kepada lokus material partikular dan positivitis empiris yang menjadi formula pembelah yang memisahkan dimensi profan dan sakral, dimensi esoterik dan eksoterik bangsa sehingga dalam proses usaha penegakan konsolidasi kepada pencapaian keunggulan kapabilitas sistemik negara bangsa selalu mengalami kegagalan. .
Keberhasilan konsolidasi sitemik rekan-rekan pejuang sosialisme, pengusung ideologi keadilan bagi kaum tertindas (mustad afin) di Amerika Latin, Iran, Afrika 2 / 12
Fenomena ‘Keberagamaan Sosial’ Indonesia Thursday, 16 April 2009 06:30
Selatan dan bahkan Vietnam semestinya membuka mata kita untuk segera berbenah diri mengkonstruksikan ideologi Pancasila ataupun Orde Langit agama ke dalam sistem pengetahuan yang akan menjadi kode etik, jalan strategi dan pedoman perjuangan dalam menegakkan warisan bangunan kemanusiaan transenden, Milah Ibrahim yang lurus ( hanif ) serta merespon tantangan zaman dari realitas ke-Nusantaraan-Indonesia kita.
Pandangan ‘Meta Dunia’
Sejak awal mula negeri nusantara ada, bangsa ini telah mengenal sistem kepercayaan atau religi yang terkait dengan pola-pola kepemimpinan dan relasi kuasa elit-publik pada tataran masyarakat primitif. Kedatangan bangsa Cina pada 10.000 tahun sebelum masehi membawa peradaban batu tua dengan peradaban tombak, berburu dan sistem perladangan yang sederhana. Pada migrasi orang Cina gelombang ke dua, 2.000 tahun sebelum masehi, membawa peradaban batu muda, dengan tingkat peradaban yang lebih tinggi yang melahirkan peradaban megalitikum di nusantara. Pada era peradaban ini mulai dikenal pembagian kerja secara lebih spesifik dalam masyarakat yang dikenal sebagai pemimpin suku atau raja, pemimpin agama dan petani-peladang. Di antara yang menonjol dari peradaban megalitikum nusantara ini adalah budaya feodalisme, materialisme dan pamer (narsis) yang ditunjukkan para kaum bangsawan dan raja pada upacara kematian dan penikahan keluarga yang ditandai dengan mas kawin dan perlengkapan pesta besar-besaran sebagai tanda ketinggian pangkat dan derajat kebangsawanannya. Barangkali dari sinilah mulai terjadinya benih-benih dikotomi dimensi profan dan sakral dalam masyarakat. Sisa-sisa tradisi peradaban megalitikum nusantara di atas nampak masih eksis saat pelaksanaan upacara kematian pada orang-orang Bali, Toraja, Dayak, Papua atau pada orang 3 / 12
Fenomena ‘Keberagamaan Sosial’ Indonesia Thursday, 16 April 2009 06:30
Kubu di kepulauan Riau. Mentalitas budaya feodal, materialis dan narsis yang lebih memuja ego diri sendiri dikalangan elit sambil menyandingkan dengan mesra pekerjaan ibadah agama yang terjadi saat ini nampaknya sudah endap begitu lama, sepertinya berkuantum dari mentalitas masyarakat zaman megalitikum di nusantara dahulu kala. Kedatangan peradaban India yang membawa serta agama Hindu dan Budha di kemudian hari mempengaruhi dan mengukuhkan format peradaban nusantara yang dikotomis antara dimensi profan dan sakral, dimensi elit dan publik, dimensi material dan spiritual, serta dimensi eksoteris dan esoteris peradaban nusantara. Kemunculan kerajaan-kerajaan besar Hindu-Budha di nusantara disamping mengukuhkan mentalitas budaya feodalisme, materialisme dan narsisme kaum elitnya, juga mempertajam jurang dikotomis diantara nilai-nilai dan pandangan hidup di antara komponen-komponen masyarakatnya. Soedjatmoko melihat dikotomi paradoksal pada mentalitas orang Indonesia tersebut diakibatkan dari pandangan dunia mereka yang dikenal sebagai ‘meta dunia’. Sementara Josselin de Jong (1935) berdasarkan hasil penelitiannya terhadap struktur sosial masyarakat Indonesia yang asli menyimpulkan tentang prinsip-prinsip kebudayaan kuno yang tersebar di kepulauan Nusantara. Pada hakikatnya, menurut Josselin de Jong, kebudayaan yang tersebar di Indonesia itu mempunyai landasan antara lain: (1) Bahwa pada masa lampau masyarakat Indonesia itu terdiri dari beberapa persekutuan yang berlandaskan ikatan kekerabatan yang menganut keturunan secara unilineal, baik melalui keibuan maupun kebapakan. (2) Di antara persekutuan kekerabatan itu terjalin hubungan kawin secara tetap, sehingga terjelma tata hubungan yang mendudukkan kelompok kerabat pemberi pengantin wanita lebih tinggi daripada kedudukan kelompok kerabat yang menerima pengantin wanita. (3) Seluruh kelompok kekerabatan yang biasanya terbagi dalam dua paruh masyarakat yang dikenal masyarakat yang dikenal dengan istilah antropologis “moiety” yang satu sama lain ada dalam hubungan saling bermusuhan maupun berkawan, sehingga tampak sebagai persaingan yang diatur oleh adat. (4) Keanggotaan setiap individu, karenanya bersifat ganda dalam arti bahwa setiap orang bukan hanya menjadi anggota kelompok kerabat yang unilineal, melainkan juga anggota kesatuan paroh masyarakat atau moiety. (5) Pembagian masyarakat dalam dua paroh masyarakat itu mempengaruhi pengertian masyarakat terhadap isi semesta ke dalam dua kelompok yang seolah-olah saling mengisi dalam arti serba dua yang dipertentangkan dan sebaliknya juga saling diperlukan adanya. (6) Akibatnya juga tercermin dalam system penilaian dalam masyarakat yang bersangkutan. Ada pihak yang baik dan sebaliknya ada pihak yang jahat atau busuk. (7) Seluruh susunan kemasyarakatan itu erat dihubungkan dengan sistem kepercayaan masyarakat yang bersangkutan, terutama yang berkaitan dengan
4 / 12
Fenomena ‘Keberagamaan Sosial’ Indonesia Thursday, 16 April 2009 06:30
kompleks totemisme yang didominasi dengan upacara-upacara keagamaan dalam bentuk rangkaian upacara inisiasi dan diperkuat dengan dongeng-dongeng suci baik yang berupa kesusastraan ataupun tradisi lisan. (8) Sifat serba dua juga tercermin dalam tata susunan dewa-dewa yang menjadi pujaan masyarakat yang bersangkutan. Walaupun dikenal lebih dari dua dewa, mereka menggolongkan ke dalam dua golongan dewa yang baik dan dewa yang buruk. Dewa yang tergolong buruk atau busuk biasanya mempunyai sifat ganda, di satu pihak ia digambarkab sebagai makhluk jahat atau penyebar maut, sebaliknya ia juga digambarkan sebagai anggota masyarakat dewa yang mewakili golongan atas dan dipuja. (9) Tata susunan masyarakat dewa itu ternyata mempengaruhi tata susunan kepemimpinan masyarakat dalam kehidupan politik yang seringkali merupakan pencerminan tentang kepercayaan yang berpangkal pada kehidupan dewa.
Hingga kini prinsip-prinsip kebudayaan nusantara tersebut secara langsung maupun tak langsung masih memengaruhi mindset dan struktur batin sebagian terbesar orang Indonesia termasuk kaum elitnya yang kebanyakan berwatak feodal. Di era kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, para Raja meyakini dirinya sebagai titisan dewa (Wisnu) dan diyakini pula oleh rakyatnya selama beratus-ratus tahun. Episode sejarah nusantara kemudian berubah dengan datangnya peradaban Islam yang membawa spirit pembebasan, etika peradaban, egalitarisme, universalisme, kosmopolitanisme, kemanusiaan transenden, perdamaian, keadilan, kesejahteraan dan persamaan derajat. Dengan gerak transformatif, perdagangan internasional, strategi kebudayaan yang damai, sejuk, intelek, etik, filosofis dan ramah terhadap budaya lokal, Islam lalu menjadi primadona baru dan dipeluk sebagian terbesar bangsa-bangsa nusantara. Usaha memotong karma feodalisme yang bergandeng mesra dengan materialisme cukup berhasil dilakukan oleh penguasa kerajaan Demak yang dikontrol oleh dewan Walisongo-nya. Dalam pandangan budayawan ‘Burung Merak’, Rendra, episode Demak ini dilihat sebagai satu keberhasilan tata negara ideal yang bisa kita jadikan modal sejarah dan cermin otentik bagi konstruksi tata negara Indonesia ke depan. Konstruksi pemerintahan kerajaan Demak mampu mensenyawakan secara padu, serasi dan seimbang antara daulat rakyat, daulat hukum, daulat raja (tata pemerintahan) dan daulat alam.
5 / 12
Fenomena ‘Keberagamaan Sosial’ Indonesia Thursday, 16 April 2009 06:30
Namun dialektika sejarah nusantara Indonesia seakan memiliki struktur pohon sendiri yang fenomenal dengan bangkitnya kerajaan Mataram (baru) Islam yang memadukan kembali anasir-anasir feodal-materialisme dengan peradaban Islam.
Kedatangan kaum penjajah Eropah (Belanda, Portugis, Inggris) di kemudian hari mengubah arah perjalanan sejarah Indonesia dalam memasuki zaman modern. Penjajahan Eropah disamping berfungsi negatif menjajah, mengeksploitasi kekayaaan alam dan menindas bangsa pribumi nusantara namun juga membawa berkah masuknya dimensi-dimensi maju peradaban Eropah. Di antara dimensi-dimensi positif kedatangan penjajahan Eropah meliputi ilmu pengetahuan modern, tata negara, organisasi, filsafat, seni, politik etis, teknologi, arsitektur, tata kota, transportasi ataupun irigasi. Semua itu turut memengaruhi kelahiran generasi pembebas Nusantara Indonesia yang berfikiran maju, Cokroaminoto-Soekarno dan kawan-kawan, di awal abad 20.
Soekarno, Syahrir, Hatta, Tan Malaka dan kawan-kawan pejuang pergerakan nasional Indonesia awal menggeliat, menggugat, melawan, mendobrak belenggu tembok-tembok feodalisme, kolonialisme dan imperialisme dari kaum penjajah Belanda. Putra-putra terbaik bangsa di atas sekali lagi mencoba memutus mata rantai anasir-anasir penjajahan, feodalisme, materialisme dan narsisme elitis dari mentalitas dan budaya bangsa nusantara Indonesia yang tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Di puncak perjuangan, pada 17 Agustus 1945 merdekalah bangsa Indonesia dari penjajahan, namun kemerdekaan tersebut barulah sebatas legal formal dalam bingkai negara kesatuan Indonesia.
6 / 12
Fenomena ‘Keberagamaan Sosial’ Indonesia Thursday, 16 April 2009 06:30
Pondasi filsafat kebangsaan’Ideologi Pancasila’ dan blue print batang tubuh konstitusi UUD 1945 dengan cemerlang berhasil dikonstruksikan para founding fathers . Nilai-nilai –prinsip-prinsip universal yang kita kenal sebagai kalimatun sawa-bonum commune-commone platform -agama publik-modal sosial ataupun kesalehan sosial untuk tujuan kebahagiaan dan kesejahteraan bersama sebagai bangsa, tersenyawakan dengan paripurna dalam pondasi dasar Negara Pancasila dan batang tubuh konstitusi UUD 45. Di dalamnya dipadukan antara anasir-anasir spirit tata agama mengakomodir watak religius bangsa nusantara Indonesia, anasir-anasir nasionalisme kebangsaan Indonesia dan anasir-anasir tata negara yang modern.
Dari episode krusial inilah tahap penegakan konstruksi negara bangsa dimulai dengan dinamika ketidakberhasilan konsolidasi sistemik di antara elit-elit Bapak Pendiri Bangsa dalam menentukan ‘gramar politik’ ideal yang sesuai dengan landasan idealitas Pancasila dan UUD 1945. Gonjang-ganjing perebutan tahta dan kuasa di era zaman Revolusi kemerdekaan, keterpurukan harga diri dan jati diri bangsa di era Orde Baru dan gerak eforia publik yang tak produktif dan fokus dalam menghidupkan sukma kerakyatan kepada tegaknya ‘daulat tata kepemimpinan (Raja), hukum dan rakyat’ di era Reformasi menyentak kesadaran kebangsaan kita. Melihat tekstur zaman dengan kualitas struktur sosial yang masih di dominasi oleh kultur feodal dan material dengan kualitas sumberdaya manusia publik Indonesia yang bercorak primordial, berkesadaran ‘fatalis-magis’ sepertinya kita masih hidup dalam era zaman Wild-wild West-nya Amerika.
Putra-putra terbaik bangsa mestilah menggulirkan formasi otentik gerakan rekonstruksi negara bangsa guna menyelamatkan peradaban Indonesia yang belum maju dan terpuruk ini. Suatu gerakan kebangsaan yang tepat azas dan tepat guna yang sesuai dengan modalitas sosio historis bangsa nusantara Indonesia dan diharapkan secara perlahan tapi pasti mengantar setahap demi setahap bangsa nusantara ini ke puncak Menjadi Indonesia Raya.
7 / 12
Fenomena ‘Keberagamaan Sosial’ Indonesia Thursday, 16 April 2009 06:30
Keberagamaan Sosial
Meminjam istilah ‘Agama Publik’ dari Thomas Jefferson, Bapak Pembebasan Amerika, diharapkan kita bisa meng-create konstruksi sebuah mesin republik yang setahap demi setahap mampu mengantar bangsa kaya raya ‘surga’ khatulistiwa ini ke pulau ‘Kan’an’ zaman impian “Jujur, Adil, Makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Di tengah masih kentalnya watak primordial dan peternalistiknya masyarakat kita di satu sisi, di sisi lain perguliran gerak Reformasi telah mengantarkan bangsa Indonesia pada mekanisme ladang persemaian demokrasi yang fenomenal. Walaupun hakikinya kita baru mencapai tahap demokrasi prosedural akibat kualitas SDM demokrasi publik kita yang ‘belum cerdas’ dan ‘berbudaya’, kita masih bisa menangkap nilai-nilai kearifan universal nun jauh di bawah sadar publik atau rakyat Indonesia suatu kesadaran kolektif untuk merajut kebersamaan di tengah keberagaman.
Kita memerlukan suatu bentuk ‘Keberagamaan Sosial’ berupa nilai-nilai universal yang akan mampu memadukan, merekatkan, mensenyawakan, mengkonstruksikan secara sistemik antara dimensi agama di satu sisi dan dimensi negara sebagai lembaga representatif dari struktur kemasyarakatan yang beradab. Nilai-nilai ‘Keberagamaan Sosial’ tersebut akan mampu memadukan secara sistemik kesadaran, keyakinan, sikap dan kemampuan bertindak yang didasarkan dari fungsi-fungsi ‘profetik’ nilai-nilai universal agama yang ditabur dalam gerak ‘rahmat’ kebajikan kemanusiaan transenden dengan kesadaran, keyakinan akan fungsi ‘roh absolut’ peradaban negara yang mampu memproduksi output kebajikan.
8 / 12
Fenomena ‘Keberagamaan Sosial’ Indonesia Thursday, 16 April 2009 06:30
Mesin negara yang baik dengan segala batang tubuh konstruksinya akan menghasilkan output nilai-nilai kebaikan publik (agama publik) berupa spiritualitas rahmat (cahaya kasih sayang), kebangsaan, kemaslahatan kepentingan publik, kesejahteraan, kemakmuran, kemanusiaan, komunikasi emansipatoris yang intersubyektif melalui demokrasi perwakilan yang berdimensi hikmah kebijaksanaan dan keadilan sosial.
Keberagamaan Sosial yang paripurna berupa Indonesia Raya yang ‘Menjadi’ tentunya masih harus mati-matian kita perjuangkan dengan cucuran keringat, darah dan air mata karena realitas tingkat keberagamaan sosial masyarakat kita secara umum belum matang masih bervariasi. Dari tingkat keberagamaan sosial ‘komunital’ yang bercorak mob’s hingga tingkat keberagamaan sosial yang telah berdimensi ‘holistik’ kebangsaan.
Dari realitas keberagamaan sosial masyarakat Indonesia secara hipotetik kita bisa mengkategorikan tingkat-tingkat keberagamaan sosial orang Indonesia ke dalam tingkat ritual, komunital, sosietal, sosio etis dan holistik.
Pada keberagamaan sosial di tingkat ‘ritual’ orang cenderung menempatkan agama terpisah dengan kegiatan atau pekerjaan duniawi. Ekspresi ritual keagamaan kelompok ini bercorak simbolik bahkan cenderung sinkretik, mencampurkannya dengan pola ritual dari tradisi keyakinan yang lain.
9 / 12
Fenomena ‘Keberagamaan Sosial’ Indonesia Thursday, 16 April 2009 06:30
Keberagamaan pribadi-pribadi di tingkat ini cenderung sekuler, individualistis dan memahami keberagamaan sebagai ibadah ritual tanpa memahami nilai-nilai-dimensi ‘sosial’ (muamalah) agama. Orang-orang Jawa yang dalam kategori pemikiran Cliffort Geerz disebut sebagai kelompok ‘Abangan’ bisa dimasukkan ke dalam keberagamaan sosial ritual.
Di tingkat keberagamaan sosial ‘komunital’, kualitas keberagamaan pribadi-pribadinya telah lebih ‘intens’ karena telah ditanamkan dan menguasai tata cara keagamaan normatif. Pada kelompok ini anggotanya secara relatif telah mendalami sistem ajaran dan ‘keyakinan’ agama yang berdimensi normatif. Memiliki spirit corp yang bercorak primordial sempit dalam kategori Weber memiliki tingkat solidaritas mekanik. Pemimpin kelompok mengembangkan pola kepemimpinan karismatik yang paternalistik sehingga dinamika kelompok cenderung bercorak ‘Mobokrasi’. Pada berbagai kasus karena gesekan kepentingan elitnya di antara keelompok-kelompok ini sangat mudah tersulut konflik yang bisa mengarah ke tingkat sangat brutal.
Di tingkat keberagamaan sosial ‘sosietal’ aktualisasi keagamaan kelompok ini telah melibatkan fungsi-fungsi kooperasi dari beberapa bidang kehidupan sosial kemasyarakatan. Kelompok ini telah memiliki sistem keyakinan dan ajaran yang berdimensi sosial. Kelompok ini memiliki tingkat solidaritas mekanik namun pada sebagian bidang sosial telah mengembangkan peran-peran sosial bermartabat seperti ekonomi syariah, partai, pendidikan,koperasi, rumah sakit, media, agribisnis, chemical ataupun garmen.Masuk dalam kelompok ini pondok-pondok pesantren yang progresif, Muhammadiyah, Kelompok Tarbiyah Harakiyah, ‘Daaruttauhid’ dan Jaringan ICMI.
10 / 12
Fenomena ‘Keberagamaan Sosial’ Indonesia Thursday, 16 April 2009 06:30
Pada keberagamaan sosial ‘sosioetis’, kelompok ini telah menyinergikan fungsi-fungsi bidang kehidupan yang terbingkai dalam kerangka ‘etika’ (akhlak) yang di dalamnya secara padu disenyawakan dengan sistem keyakinan dan kerangka paradigmatik sistem pengetahuan. Agama telah menjadi etos kerja yang produktif, menjadi basis kehidupan moral dengan pondasi praksis pendidikan nurani atau nilai. Contoh paling otentik dari kelompok ini adalah komunitas Darul Arqom di Malaysia terlepas dari sebagian dimensi dogmanya yang eksklusif yang membawa masalah struktural dengan pemerintah Malaysia. Disinilah kita memerlukan pentingnya anasir kebangsaan pada aktualisasi keberagamaan sosial di tingkat holistik (kaffah).
Pada keberagamaan sosial ‘holistik’ anggota kelompok telah memiliki sistem keyakinan dan kerangka paradigmatik sistem pengetahuan. Pribadi-pribadi komunitas telah berkesadaran kerangka ideologis yang komprehenship dan orientasi bonum commune
(kalimatunsawa) untuk kebebahagiaan dan kesejahteraan bersama sebagai suatu bangsa.
Pada mindset anggotanya telah tertanam konstruksi sistem pengetahuan integratif tentang relasi paripurna dan definitif di antara agama - masyarakat – negara. Telah terjadi pembagian kerja rasional dengan spirit berlomba-lomba mengejar keunggulan kompetitif yang menekankan pada nilai tambah sesuai dengan amanat berlomba-lombalah mengejar keunggulan keunggulan kompetitif ( fastabikul choriot ). Di komunitas ini di aktualisasikan relevansi sosial agama dengan kualitas relasi sosial yang berdimensi emansipatoris. Memiliki basis kerangka etik berupa nilai-nilai agama publik atau modal sosial atau kesalehan sosial dari ajaran agama atau budaya lokal. Kita bisa lihat secara empiris tingkat keberagamaan sosial secara relatif dengan segala kelebihan dan kekurangannya pada masyarakat Iran, Korea, Singapura, Taiwan, Vatikan, Amerika Serikat, Jepang, Perancis, Italia 11 / 12
Fenomena ‘Keberagamaan Sosial’ Indonesia Thursday, 16 April 2009 06:30
dan Jerman.
Kita mengharapkan proses konsolidasi demokrasi Indonesia dan dialektika proses konsolidasi sistemik pencapaian masyarakat negara bangsa Indonesia Raya dapat berlangsung lancar seiring dengan suksesnya usaha perjuangan kita dalam mencapai tingkat kematangan ‘keberagamaan sosial’ mayoritas publik Indonesia yang holistik.
source: hasyimarsal.wordpress.com
12 / 12