J URNALI LMI AH
PSI KOL OGI I NDUSTRI &ORGANI SASI Gambar andanFakt or Fakt oryang Mempengar uhi Mot i vas i Ber pr es t as i Fi el dCol l ec t or( FC)padaPT. Y Pr ol Ef ekt i vi t asKepemi mpi nan Super vi s orPenj ual andi Per us ahaanPembi ayaanOt i f omot Pr ol Kepuas anKer j a TenagaMar us ket i ngPer ahaan ayaanOt omot f Pembi i anDi mens orPenyebab Gambar i danFakt i l akuKont r apr odukt i fPada Per Cr edi tMar ket i ngOffic er( CMO)PT. OM Gambar anKont r akPs i kol ogi s PadaI ns t r ukt urdi Yayas anB St andar i s as i Kompet ens i Pewar t aFot oI ndones i a
J PI O
Vol . 3 No.1
Hal aman 180
J akar t a J uni 2016
I SSN 23028440
UMB API OHI MPSI
Sidang Penyunting JURNAL ILMIAH PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI Pelindung: Rektor Universitas Mercu Buana Ketua Umum Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi (APIO-HIMPSI) Pengarah: Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Ketua Penyunting: Juneman Abraham, S.Psi., C.W.P., M.Si. Penyunting Eksekutif: Anisa Rezkinda, S.Psi. Mitra Bebestari: Prof. Dr. Fendy Suhariadi (Universitas Airlangga, Indonesia) Prof. Dr. Murnizam Hj. Halik (Universiti Malaysia Sabah, Malaysia) Prof. Dr. Hora Tjitra (Zhejiang University, Republik Rakyat Tiongkok) Prof. Dr. Moch. Enoch Markum (Universitas Mercu Buana Jakarta, Indonesia) Dr. Phil. Hana Rochani G. Panggabean (Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Indonesia) Dr. H. A. A. Anwar Prabu Mangkunegara, M.Si. (Universitas Mercu Buana Jakarta, Indonesia)
Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi (JPIO) merupakan sebuah jurnal yang menggelorakan riset, pertukaran akademis dan praktek profesional yang berkenaan dengan persoalan-persoalan psikologis industri dan organisasi. Jurnal ini mengapresiasi integrasi interdisiplin antara psikologi industri dan organisasi dengan ilmuilmu sosial lainnya sebagai salah satu pendekatannya. JPIO didirikan di Jakarta dengan Surat Keputusan Dekan Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Jakarta No. 21/059/F-SKep/XI/2012. Selanjutnya, pada 17 November 2012, telah ditandatangani Nota Kesepahaman tentang Kerjasama antara Asosiasi Psikologi Industri dan Organisasi-Himpunan Psikologi Indonesia (APIO-PP HIMPSI) dengan FPsi UMB dalam rangka penerbitan JPIO. JPIO terbit setiap Juni dan Desember dalam setahun. Sidang Penyunting JPIO hanya menerima artikel hasil penelitian empiris. Setiap artikel yang masuk dikenai proses blind peer review oleh mitra bebestari. Panduan bagi penulis dapat diunduh pada http://www.jpio.org/jpio_template.doc
Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi (JPIO) ISSN 2302-8440 UNIVERSITAS MERCU BUANA, FAKULTAS PSIKOLOGI KAMPUS A MERUYA Jl. Raya Meruya Selatan No. 01, Kembangan, Jakarta Barat 11650 Tel. +6221-5840816 (hunting), +6282112655387 Fax. +6221-5840815 http://www.jpio.org ; http://fpsi.mercubuana.ac.id ; http://apioindonesia.wordpress.com E-mail:
[email protected];
[email protected]
JPIO 2016, Vol. 3, No. 1
ISSN 2302-8440
Daftar Isi Sidang Penyunting
i
Daftar Isi
ii
Gambaran dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi Field Collector (FC) pada PT. Y Evania Kristiani & Benedicta Prihatin Dwi Riyanti
1-10
Profil Efektivitas Kepemimpinan Supervisor Penjualan di Perusahaan Pembiayaan Otomotif Gloria Stefanie Wiguna & Hana Panggabean
11-23
Profil Kepuasan Kerja Tenaga Marketing Perusahaan Pembiayaan Otomotif Nilam Meyti Sari & Hana Panggabean
24-38
Gambaran Dimensi dan Faktor Penyebab Perilaku Kontraproduktif Pada Credit Marketing Officer (CMO) PT. OM Christina Anjar Astya & Elmira N. Sumintardja
39-53
Gambaran Kontrak Psikologis Pada Instruktur di Yayasan B Vincentia A. Stephanie Gozali & Hana Panggabean
54-68
Standarisasi Kompetensi Pewarta Foto Indonesia Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo
69-80
Panduan Bagi Penulis
JPIO 2016, Vol. 3, No. 1, 1-10
MOTIVASI BERPRESTASI
ISSN 2302-8440
1
Gambaran dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi Field Collector (FC) pada PT. Y Evania Kristiani & Benedicta Prihatin Dwi Riyanti Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
One caused of employee excellent work performance is a high motivation to reach their needs to achieve their own target. This research aim is to describe the achievement motivation of Field Collector (FC) at PT.Y and which factors that have an influence within it. Based on the performance appraisal of FCs, 36% has lower marks. The behavior of FCs shows that they have a low achievement motivation. Achievement motivation is an individual needs to do something better than before (McClelland, 1987). This research conducted with mix method explanatory design with simple random sampling technique. The respondent of its research was 183 from 243 FCs as a population. The instrument used in this research was an achievement motivation questionnaire and an interview guide based on Achievement Motivation theory from McClelland (1987). This research found that most of FC still at medium category in Achievement Motivation, with range frequency from low to high implying that the FCs of PT.Y are not have a high achievement motivation yet. It was found that the achievement motivation's dimension which have a low value are task risk options and feedback. Keywords: achievement motivation, work performance, feedback form
Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan aset yang paling penting sebagai penggerak proses unit bisnis perusahaan. PT.Y sebagai perusahaan dalam bidang pembiayaan kendaraan bermotor (leasing) berusaha untuk menghadapi persaingan bisnis dengan kompetitor lainnya. Salah satunya yaitu dengan selalu berusaha menjaga performa setiap SDM atau karyawan yang bekerja didalam perusahaannya guna mendukung pelaksanaan proses bisnis perusahaan. Alur bisnis perusahaan leasing dimulai dari
transaksi antara pembeli atau konsumen (account) dengan penjual atau supplier. Apabila dibutuhkan, konsumen akan mengisi formulir permohonan kepada PT.Y untuk melakukan pembiayaan fasilitas yang dibutuhkan. Guna mengganti pembiayaan yang sudah dilakukan, maka account harus melakukan pembayaran dengan jumlah dan waktu tertentu sesuai perjanjian yang sudah disetujui. Apabila terjadi keterlambatan dalam pembayaran, maka dibutuhkan penagihan guna menjaga pendapatan perusahaan melalui stabilitas Return 1
2
KRISTIANI & RIYANTI
of Investment (ROI). Field Collector (FC) berperan besar dan bertanggung jawab dalam penagihan ini. Mereka dituntut untuk dapat menyelesaikan target account yang terlambat melakukan pembayaran sesuai dengan jumlah kasus yang terjadi sehingga dapat berubah-ubah setiap bulannya. Pada kenyataannya, dari wawancara yang dilakukan kepada Performance Management Department Head selaku pihak yang melakukan supervisi, didapatkan bahwa beberapa bulan terakhir (Januari hingga Agustus 2015), 36% FC memiliki penilaian kerja dalam kategori low dan very low. Hal ini berdampak langsung pada pendapatan perusahaan dimana hingga bulan Desember 2015 tidak dapat mencapai revenue perusahaan bahkan hingga akhir tahun tidak mencapai 90%. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang tetap dapat mencapai bahkan melebihi target. Dengan kondisi tersebut, maka dilakukan analisa terhadap PT.Y. Menurut Davis (2000), performa kerja karyawan dipengaruhi oleh ability (kemampuan dan ketrampilan) serta motivasi yang tinggi untuk melakukan pekerjaan. Perusahaan sudah berusaha mengontrol kemampuan dan ketrampilan FC dengan menentukan standar tertentu dalam proses rekrutmen dan seleksi. Setelah itu, dalam proses pekerjaannya FC diberi bekal dengan pelatihan tertentu yang dapat membantu mereka dalam menyelesaikan pekerjaan. Perusahaan juga berusaha memperhatikan kesulitan yang mereka hadapi dalam pekerjaan dengan adanya proses briefing oleh Collection Head (CH) selaku pihak yang mengawasi pelaksanaan pekerjaan sehari-hari. Proses ini dilakukan untuk memberikan solusi dan masukan atas masalah yang dihadapi serta hal apa saja yang perlu diperbaiki untuk membantu
mereka dalam bekerja. Dilanjutkan dengan interaksi di dalam kelompok, melalui dukungan dan masukan dari rekan kerja seharusnya dapat membantu mereka lebih mudah dalam pelaksanaan dan penyelesaian pekerjaan. Kemudian analisa terhadap perilaku FC dalam pekerjaan, mereka dengan penilaian performa kerja low cenderung menilai umpan balik sebagai hukuman atas kesalahan yang mereka buat. Tidak berusaha mencari alternatif atas kesulitan yang mereka alami dalam proses pelaksanaan pekerjaan, serta tidak melakukan follow up ketika melakukan penagihan karena alasan jarak. Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penurunan performa yang terjadi di PT.Y disebabkan oleh perilaku dari individu tersebut. Motivasi merupakan penggerak dari seorang karyawan untuk dapat bekerja dan mencapai tujuan pekerjaannya semaksimal mungkin (Amstrong, 1990). Dari kondisi yang terjadi pada PT.Y, terdapat indikasi bahwa motivasi pada FC rendah. Mereka tidak berusaha menyelesaikan pekerjaan dengan mencari alternatif lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Adhi, Hardienata dan Sunaryo (2013), karyawan yang memiliki motivasi kerja rendah cenderung tidak menyelesaikan tugas tepat waktu dan tidak mengikuti standar kerja. Dengan tipe pekerjaan FC yang harus menyelesaikan kredit macet sesuai dengan jumlah kasus, maka motivasi kerja yang dimaksud bukan hanya berusaha memberikan pekerjaan tepat waktu dan sesuai standar. Melainkan berusaha lebih baik dari sebelumnya untuk menyelesaikan jumlah target yang terus berubah. Kembali pada perilaku yang diperlihatkan oleh FC, karakteristik ini sejalan dengan pendapat McClelland (1987) yang menyatakan
MOTIVASI BERPRESTASI
bahwa individu tersebut memiliki motivasi berprestasi yang rendah. Individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah cenderung menyalahkan faktor diluar dirinya ketika mengalami kegagalan dalam pekerjaan. Motivasi berprestasi adalah dorongan seorang individu untuk dapat bekerja lebih baik dari sebelumnya atau mencapai suatu standar keunggulan tertentu dikenal dengan motivasi berprestasi (Need to achieve). Sejalan dengan hasil penelitian Rivai (2004), bahwa semakin kuat motivasi berprestasi maka dapat mempengaruhi tingkat kinerja karyawan. Bagaimana seseorang dapat memiliki motivasi berprestasi yang tinggi juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dikelompokkan menjadi dua kategori yaitu internal maupun eksternal oleh McClelland (1987). Dengan dukungan dari berbagai faktor tersebut maka diharapkan akan berdampak signifikan pada motivasi berprestasi mereka. Dengan demikian, terjadinya penurunan performa kerja pada FC PT.Y diindikasikan karena motivasi berprestasi yang rendah. Sehingga ketika dihadapkan pada tugas dari karakteristik pekerjaan ini justru menjadi menyalahkan faktor luar dan berdampak pada penilaian kerja mereka. Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran dan faktor-faktor yang motivasi berprestasi FC pada PT.Y. Dengan mengetahui hal ini, perusahaan dengan melihat apa saja yang perlu menjadi perhatian terkait dengan motivasi berprestasi mereka. Motivasi Berprestasi Menurut McClelland (1987), motivasi berprestasi dapat diartikan sebagai keinginan
3
seseorang untuk dapat melakukan sesuatu jauh lebih baik dari sebelumnya dengan berusaha melebihi standar yang ada. Sejalan dengan pendapat Daft (2008), motivasi berprestasi merupakan keinginan untuk menyelesaikan tugas yang menantang dan dapat mencapai hasil lebih baik dari sebelumnya. Aswathappa (2005), menjelaskan bahwa karyawan dengan motivasi berprestasi yang tinggi dapat mengarahkan pada kepuasan dalam usaha pencapaian target. Selain itu, Murray (dalam Chaplin, 2004) juga mengungkapkan bahwa motivasi berprestasi merupakan motif untuk dapat mengatasi rintangan hingga dapat menyelesaikan suatu pekerjaan dengan sebaik mungkin. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Santrock (2003), bahwa motivasi berprestasi adalah keinginan untuk menyelesaikan sesuatu demi tercapainya bahkan melebihi suatu standar kesuksesan atau melakukan usaha untuk dapat mencapai kesuksesan. Kerangka Berpikir Penurunan performa kerja yang terjadi pada FC di PT.Y diindikasikan sebagai dampak dari rendahnya motivasi berprestasi. Terlihat dari perilaku dalam bekerja yang menunjukkan hal tersebut sehingga berdampak pada tidak tercapainya revenue perusahaan. Dengan demikian menjadi penting bagi sebuah perusahaan untuk melihat bagaimana gambaran motivasi berprestasi serta apa saja faktor yang mempengaruhi untuk dapat menjadi bahan pertimbangan guna memecahkan masalah dalam karyawannya. Oleh karena itu, dilakukan pengukuran mengenai motivasi berprestasi berdasarkan Three Needs Theory dari McClelland (1987) yang terdiri dari 6 dimensi atau aspek utama dalam motivasi berprestasi menurut McClelland
4
KRISTIANI & RIYANTI
(1987), antara lain (1) Tanggung Jawab, (2) Resiko Pemilihan Tugas, (3) Waktu Penyelesaian Tugas, (4) Umpan Balik, (5) Keinginan untuk Menjadi yang Terbaik dan (6) Kreatif-Inovatif. Selain aspek tersebut, terdapat juga 2 faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi, antara lain (1) Faktor Intrinsik yang terdiri dari keinginan untuk sukses, selfefficacy, value, kekhawatiran terhadap kegagalan, faktor demografis; (2) Faktor Ekstrinsik yang terdiri dari hubungan atasanbawahan, hubungan rekan kerja, sistem pelatihan, sistem kesejahteraan, kondisi fisik lingkungan kerja, status kerja, upah, kesempatan karir, kebijakan perusahaan.
Metode Penelitian ini merupakan mix method explanatory research dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Variabel yang diukur dalam penelitian adalah motivasi berprestasi. Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah 243 FC dengan status karyawan tetap. Selanjutnya, pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan simple random sampling dengan jumlah minimal sebanyak 151 orang. Pemilihan sampel dilakukan dengan dengan cara memberikan nomor urut pada daftar nama, yang kemudian setiap nomor dimasukkan kedalam fish bowl. Selanjutnya diambil secara acak dari fish bowl sebanyak jumlah sampel minimal menurut perhitungan sebelumnya. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner motivasi berprestasi yang disusun tahun 2005 oleh Mangkunegara. Terdapat 6 aspek yang dilihat dalam alat ukur ini berdasarkan teori McClelland (1987) yaitu tanggung jawab, resiko pemilihan tugas, waktu
penyelesaian tugas, umpan balik, keinginan untuk menjadi yang terbaik dan kreatif-inovatif. Enam aspek tersebut diukur melalui 36 item dengan 26 pernyataan favorable dan 10 pernyataan unfavorable. Penilaian pengisian skor pada kuesioner ini menggunakan skor 1-5. Pada pernyataan favorable skor diberikan mulai dari angka 5 (sangat sesuai), 4 (sesuai), 3 (netral), 2 (tidak sesuai), 1 (sangat tidak sesuai). Sedangkan pernyataan unfavorable, angka 5 (sangat tidak sesuai), 4 (tidak sesuai), 3 (netral), 2 (sesuai), 1 (sangat tidak sesuai). Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan SPSS versi 21.00. Dilakukan uji validitas dan reliabilitas terlebih dahulu pada instrumen yang digunakan. Uji validitas dilakukan menggunakan content validity dengan expert judgement yang dilakukan kepada dosen pembimbing penelitian dan People Development Division Head PT.Y. Selain itu dilakukan juga uji corrected itemtotal correlation, berikut hasil perhitungannya (Tabel 1). Tabel 1. Hasil Perhitungan Analisis Item No. Item 1. 2. 3. 4, 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Corrected Item Total Correlation 0.247 0.056 0.462 0.379 0.323 0.515 0.310 0.543 0.318 0.371 0.416 0.489 0.282 0.300 0.319 0.448 0.256 0,231
No. Item 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36.
Corrected Item Total Correlation 0.186 0.577 0.464 0.415 0.254 0.389 0.517 0.132 0.402 0.568 0.426 0.505 0.282 0.333 0.420 0.412 0.186 0.469
5
MOTIVASI BERPRESTASI
Terdapat 4 item perlu direvisi berdasarkan rtabel (p-value = 0.210). Setelah itu dilakukan revisi, item tersebut digunakan untuk proses pengambilan data selanjutnya. Sedangkan untuk uji reliabilitas, digunakan perhitungan dengan menggunakan Coefficient Alpha Cronbach, berikut hasil perhitungannnya (lihat Tabel 2). Tabel 2. Hasil Uji Reliabilitas Cronbach’s Alpha 0.847
N of Items 36
Berdasarkan Guilford (1978), suatu alat ukur dikatakan reliabel apabila koefisien reliabilitasnya lebih dari 0.7. Hal serupa dijelaskan oleh Davis (1985), bahwa koefisien reliabilitas suatu alat ukur yang baik berada diantara 0.6 hingga 0.8. Berdasarkan pedoman tersebut, maka dapat dikatakan kuisioner motivasi berprestasi yang digunakan dalam penelitian ini reliabel. Setelah itu, dilakukan uji perhitungan normalitas dengan menggunakan KolmogorovSmirnov dan Saphiro-Wilk (lihat Tabel 3).
dimensi terhadap data demografis dengan menggunakan Kruskal-Wallis Test. Setelah didapatkan hasil analisa data, dilakukan wawancara kepada FC dengan kategori high dan low berdasarkan analisa. Wawancara dilakukan berdasarkan panduan yang disusun dari teori McClelland (1987) untuk mengetahui faktor mana yang paling mempengaruhi motivasi berprestasi FC PT.Y.
Hasil Responden yang akhirnya digunakan dalam penelitian ini berjumlah 183 orang yang tersebar di 57 cabang PT.Y seluruh Indonesia. Berikut pembagian data demografis responden (lihat Gambar 1 sampai dengan Gambar 4).
Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Variabel
KolmogorovSmirnov
SaphiroWillk
Motivasi Berprestasi
0.191
0.077
Berdasarkan perhitungan tersebut, p-value = 0.191 dan 0.077 > 0.05. Maka, dapat disimpulkan data yang digunakan pada variabel motivasi berprestasi terdistribusi normal. Selanjutnya, gambaran umum motivasi berprestasi pada penelitian ini akan dihitung dengan melakukan transformasi dari skor total ke dalam bentuk z-score. Untuk perhitungan perbedaan dimensi didalamnya dilakukan dengan menggunakan Friedmann Test. Setelah itu, dilakukan analisa lanjutan pada setiap
Gambar 1. Pembagian berdasarkan regional
Gambar 2. Pembagian berdasarkan usia
6
KRISTIANI & RIYANTI
Gambar 3. Pembagian berdasarkan masa kerja
Gambar 4. Pembagian berdasarkan latar belakang pendidikan Berdasarkan gambaran responden sebelumnya, maka dilakukan perhitungan terhadap skor yang didapatkan untuk melihat bagaimana gambaran motivasi berprestasi FC (lihat Gambar 5).
memiliki motivasi berprestasi tinggi yang mempengaruhi performa kerja mereka. Oleh karena itu menjadi penting untuk dapat meningkatkan motivasi berprestasi FC sehingga dapat memberikan performa kerja dengan seoptimal mungkin. Berdasarkan hasil analisa sebelumnya, akan dilakukan wawancara berdasarkan temuan pada perhitungan kuantitatif. Wawancara dilakukan pada FC dengan kategori high dan low untuk mendapatkan gambaran lebih jelas mengenai faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi mereka. Motivasi berprestasi sendiri terdiri dari enak aspek utama yaitu tanggung jawab, resiko pemilihan tugas, waktu penyelesaian tugas, umpan balik, keinginan untuk menjadi yang terbaik dan kreatif-inovatif. Berikut hasil perhitungan kategorisasi pada setiap dimensi di dalam motivasi berprestasi (lihat Tabel 4). Tabel 4. Kategorisasi Dimensi Motivasi Berprestasi No. 1. 2. 3.
4. 5. 6.
Gambar 5. Distribusi motivasi berprestasi Dari gambaran skor yang didapatkan, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar FC masih berada pada kategori rendah dan sedang yaitu sejumlah 81%. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa sebagian besar FC belum
Dimensi Tanggung Jawab Resiko Pemilihan Tugas Waktu Penyelesaian Tugas Umpan Balik Keinginan untuk Menjadi Terbaik Kreatif - Inovatif
Mean 3.22 1.12
Kategorisasi Sedang Rendah
3.89
Sedang
2.46 4.90
Rendah Tinggi
5.41
Tinggi
Berdasarkan hasil analisa, responden memberikan penilaian yang rendah pada dimensi resiko pemilihan tugas dan umpan balik. Untuk itu dilakukan analisa lebih mendalam pada setiap dimensi berdasarkan data demografis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu usia, masa kerja dan latar belakang pendidikan dan regional. Berikut hasil dari perhitungannya (lihat Tabel 5).
MOTIVASI BERPRESTASI
Tabel 5. Signifikansi Uji Beda terhadap Data Demografis No 1. 2.
3.
4. 5.
6.
Dimensi Motivasi Berprestasi Tanggung Jawab Resiko Pemilihan Tugas Waktu Penyelesaian Tugas Umpan Balik Keinginan untuk Menjadi Terbaik Kreatif Inovatif
0.503
Data Demografis Latar Masa Belakang Kerja Pendidikan 0.170 0.005
0.874
0.310
0.027
0.780
0.136
0.080
0.165
0.743
0.183 0.315
0.112 0.190
0.738 0.303
0.022 0.110
0.069
0.043
0.306
0.447
Usia
Regional 0.003
Dari hasil perhitungan diatas, maka didapatkan beberapa penjelasan berdasarkan perhitungan analisa data, antara lain: 1. Tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara seluruh dimensi yang terdapat dalam motivasi berprestasi dengan kelompok demografi usia. Baik yang berada dalam kategori 1 (< 25th), kategori 2 (26 – 30th), kategori 3 (31 – 34th) dan kategori 4 (> 35th). Hal ini terlihat dari nilai signifikansi (p) keempat kategori yang tidak ada yang berada dibawah 0.05. 2. Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi “kreatif-inovatif” terhadap data demografi masa kerja dengan nilai signifikansi = 0.043 < 0.05. Sedangkan untuk 5 (lima) dimensi lainnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap data demografi masa kerja. 3. Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi “tanggung jawab” dengan nilai signifikansi = 0.005 < 0.05 dan “resiko pemilihan tugas” dengan nilai signifikansi = 0.027 < 0.05 terhadap data demografi latar belakang pendidikan. Sedangkan
7
untuk 3 (tiga) dimensi lainnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap latar belakang pendidikan. 4. Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi “tanggung jawab” dengan nilai signifikansi = 0.003 < 0.05 dan dimensi umpan balik dengan nilai signifikansi = 0.022 < 0.05 terhadap data demografi regional. Sedangkan untuk 3 (tiga) dimensi lainnya tidak memiliki perbedaan yang signifikan terhadap regional. Berdasarkan hasil yang sudah didapatkan sebelumnya, maka dilakukan wawancara kepada 4 responden yang dipilih secara acak. Dua diantara berada pada kategori low, sedangkan dua diantaranya berada pada kategori high. Proses wawancara ini dilakukan untuk melihat faktor yang paling mempengaruhi motivasi berprestasi FC di PT.Y. Dari proses wawancara, didapatkan beberapa hasil. Namun, yang paling menonjol dari antara lainnya adalah pemahaman mereka mengenai umpan balik yang selama ini dilakukan oleh perusahaan. Mereka menilai bahwa sistem yang dilakukan oleh perusahaan mengenai umpan balik pada dasarnya dapat membantu mereka melakukan pekerjaan. Jika dibandingkan dengan pelatihan yang menurut mereka dibutuhkan adanya refreshment oleh pihak perusahaan, umpan balik justru dapat membantu dalam pelaksanaan pekerjaan. Sayangnya dua diantara mereka tidak sependapat akan hal ini, menurut mereka dalam penyampaian umpan balik itu sendiri hanya mendasarkan pada hal-hal terkait tercapai atau tidaknya target sebagai hasil akhir pekerjaan. Sedangkan aspek-aspek dalam mendukung pelaksanaan pekerjaan itu sendiri tidak menjadi perhatian dalam pemberian feedback. Selain itu
8
KRISTIANI & RIYANTI
dalam prosedurnya tidak mendasar pada urutan atau suatu prosedur tertentu. Sesuai dengan temuan fenomena di awal penelitian, maka diperlukan adanya perhatian perusahaan akan hal ini untuk dapat meningkatkan motivasi berprestasi FC di PT. Y.
Diskusi Berdasarkan hasil perhitungan statistik, dimensi resiko pemilihan tugas memiliki kategorisasi paling rendah dibandingkan dengan yang lainnya. Dengan karakteristik pekerjaan FC, sudah menjadi resiko untuk menyelesaikan pekerjaan dengan mengatasi segala hambatan yang ada. McClelland (1987) menjelaskan apabila individu memiliki motivasi berprestasi tinggi maka ia akan berusaha mengatasi segala tantangan dalam pekerjaannya. Oleh karena itu, jika FC memiliki motivasi berprestasi yang tinggi maka akan berdampak pada performa kerja untuk berusaha mengatasi segala hambatan dalam penyelesaian pekerjaannya. Dari hasil analisa juga didapatkan bahwa umpan balik mendapatkan penilaian yang rendah dibandingkan dengan dimensi lainnya. Dengan jumlah penyebaran 57 cabang yang luas di seluruh Indonesia, dibutuhkan adanya prosedur untuk menjadi panduan agar pelaksanaannya terstandar. Berdasarkan keterangan dari Performance Management Department Head, pelaksanaan umpan balik selama ini tidak memiliki prosedur atau sistem tertentu dari perusahaan. Hasil dari pelaksanaannya pun tidak dicatat sehingga hanya terbatas pada bagaimana pelaksanaan di lapangan, tidak melihat aspek apa yang mungkin perlu dikembangkan untuk membantu FC dalam melaksanakan pekerjaannya. Hal ini sejalan dengan hasil wawancara
kepada FC untuk melihat faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi mereka. Menurut penjelasan, faktor eksternal dalam hal ini umpan balik yang diberikan pada dasarnya sudah cukup membantu dalam pekerjaan. Bagi mereka yang tidak sependapat, prosedur pelaksanaan dari umpan balik itu sendiri tidak fokus kepada hal-hal yang perlu diperbaiki dalam mendukung pencapaian target pekerjaan. Hanya melihat berhasil atau tidaknya pencapaian target sebagai hasil pekerjaan. Sehingga hal ini membuat mereka merasa dihukum atas ketidakberhasilan dalam usaha dari pencapaian target itu sendiri. Perhitungan analisa statistik menjelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara motivasi berprestasi dengan usia FC. Hal ini berbanding terbalik dengan teori McClelland (1987) bahwa usia merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang. Dengan usia karyawan yang lebih tua dan berpengalaman, mereka beranggapan bahwa sudah tidak banyak kesempatan kerja yang dapat mereka lakukan diluar. Selain itu, dengan penilaian kerja yang hanya didasarkan pada pencapaian target membuat tidak terlihatnya perbedaan, selama mereka dapat mencapai target maka dinilai sudah memenuhi KPI dari perusahaan. Limitasi Penelitian Hasil dari penelitian ini hanya dapat digunakan untuk dapat melihat gambaran dari motivasi berprestasi FC pada PT.Y. Tidak dapat digeneralisasikan ke lingkungan perusahaan lain. Selain itu, dalam proses pemilihan pengambilan sampel peneliti juga tidak mempertimbangkan regional yang ada sehingga memungkinkan adanya ketidakseimbangan
MOTIVASI BERPRESTASI
antar regional yang ada. Dengan demikian, untuk penelitian selanjutnya terkait dengan regional ataupun area tertentu diharapkan dapat menggunakan teknik cluster random sampling sehingga mendapatkan sampel yang lebih menggambarkan populasi FC pada PT.Y. Dalam pelaksanaannya, keterbatasan untuk mengakses data juga menjadi hambatan. Walaupun sudah mendapatkan persetujuan dari atasan atau pihak yang berwenang, namun kenyataannya di cabang terdapat beberapa data yang tidak sesuai dengan pusat. Sehingga harus dilakukan pengecekan ulang dan menghambat proses pelaksanaan pengambilan data.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Gambaran secara umum mengenai motivasi berprestasi FC pada PT.Y berada pada kategori sedang. Apabila dilihat pada prosentasenya, sebagian besar FC berada pada kategori rendah dan sedang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hal ini menunjukkan FC pada PT.Y belum memiliki motivasi berprestasi yang tinggi. Apabila melihat lebih lanjut pada dimensi didalam motivasi berprestasi, kreatif-inovatif dan keinginan untuk menjadi terbaik berada pada kategori tinggi. Sedangkan resiko pemilihan tugas dan umpan balik berada pada kategori rendah. Kembali melihat pada hasil perhitungan uji beda antar dimensi dengan data demografis responden, didapatkan bahwa kategori usia tidak memiliki perbedaan signifikan dengan seluruh dimensi dalam motivasi berprestasi. Untuk data demografi masa kerja, hanya dimensi kreatif-inovatif yang memiliki perbedaan signifikan dimana FC dengan masa kerja diatas 10 tahun lebih tinggi pada dimensi
9
kreatif-inovatif. Sedangkan yang paling rendah berada pada kategori FC dengan masa kerja dibawah 2 tahun. Apabila dilihat dari data demografi latar belakang pendidikan, dimensi yang memiliki perbedaan signifikan adalah tanggung jawab dan resiko pemilihan tugas. FC yang memiliki latar belakang pendidikan SMA berada pada kategori tinggi di dimensi resiko pemilihan tugas namun rendah pada dimensi tanggung jawab. Sedangkan FC dengan latar belakang pendidikan S1 berada pada kategori tinggi pada dimensi tanggung jawab, namun rendah pada dimensi resiko pemilihan tugas. Berdasarkan letak regional responden, wilayah Sumatera Bagian Utara berada pada kategori tinggi pada dimensi tanggung jawab. Sedangkan DKI 1 berada di kategori rendah pada dimensi ini. Di sisi lain, apabila dilihat dari dimensi umpan balik, regional NTB-Bali memiliki kategori tinggi sedangkan yang terendah adalah Sumatera Bagian Selatan. Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap 4 (empat) responden yang dipilih secara acak didapatkan hasil bahwa pada dasarnya sistem briefing yang dilakukan setiap hari dapat membantu pelaksanaan kerjanya namun beberapa diantaranya tidak sependapat akan hal tersebut. Saran Untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya, terdapat beberapa hal yang mungkin perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya: 1. Mengingat dari hasil analisa data perlu dipertimbangkan mengenai beberapa referensi lanjutan untuk menjawab bagaimana perbedaan antara responden dengan latar pendidikan berbeda dalam mempengaruhi tingkat motivasi berprestasi
10
KRISTIANI & RIYANTI
mereka. Begitu juga dengan perbedaan regional asal responden yang dapat dibantu dengan data kualitatif sehingga dapat menjelaskan hasil dari analisa akhir dengan lebih elaboratif, tidak hanya terbatas pada wawancara mengenai faktor yang mempengaruhi motivasi berprestasi. 2. Dapat mempertimbangkan regional dalam pemilihan teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik cluster random sampling sehingga didapatkan jumlah yang lebih proporsional. Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh perusahaan, antara lain: 1. Melakukan diskusi lebih lanjut dengan pihak Organizational Development dan Performance Management mengenai hal apa yang dapat dilakukan berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan untuk meningkatkan motivasi berprestasi FC. 2. Diperlukan adanya diskusi lebih lanjut kepada CH maupun FC secara bertahap mengenai rendahnya dimensi resiko pemilihan tugas dan umpan balik. Dapat dilakukan dengan FGD sehingga terlihat hal apa saja yang perlu menjadi perhatian terkait dengan dimensi yang rendah.
Referensi Adhi, S., Hardienata, S., Sunaryo, W. (2013). The effect of organizational culture, transformational leadership and work Motivation toward Teacher Performance. Indian Journal of Positive Psychology, 4(4), 537-539. Amstrong, M. (1990). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Aswathappa, K. (2005). Human resource and personnel management. New Delhi: Tata McGraw-Hill Education. Chaplin, J. P. (2004). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Daft, R. L. (2008). Organization theory and design (10th ed.). Cengage Learning. Davis, K., & Newstorm, J. N.. (2000). Perilaku dalam Organisasi (7th ed.). Jakarta: Erlangga. Guilford, J. P., & Fruchter, B. (1978). Fundamental statistics in psychology and education. Tokyo: McGraw-Hill Kogakusha, Ltd. McClelland, D. C. (1987). Human motivation. New York: Cambridge University Press. Rivai, V. (2004). Manajemen sumber daya manusia untuk perusahaan. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Santrok, J. W. (2003). Adolescence. Jakarta: Erlangga.
JPIO 2016, Vol. 3, No. 1, 11-23
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN
ISSN 2302-8440
11
Profil Efektivitas Kepemimpinan Supervisor Penjualan di Perusahaan Pembiayaan Otomotif Gloria Stefanie Wiguna & Hana Panggabean Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
At PT X, the Credit Head (CRH) serves as leader in supervisory level. They are responsible to lead and manage subordinates to achieve company targets. However, lack of leadership knowledge and skills prevents them from doing their job effectively. This condition is confirmed by the emergence of complaints from superiors, subordinates and also from human resources department. Therefore, this study aims at mapping the leadership effectiveness of CRHs at PT X. Common indicators of the leader effectiveness are the extent to which performance of the team or organizational units was increased and the achievement of objectives is facilitated. Applying Yukl (2010) theoretical framework, Leadership Effectiveness is measured based on three dimensions: task, people and change-oriented behavior. This study is an applied research aiming at profiling leadership effectiveness of CRHs at PT. X. A questionnaire prepared by adapting Gary Yukl’s theory of leadership effectiveness is used to collect data from 33 CRHs which are located in regional Jakarta and West Java. Research sampling is conducted with purposive sampling technique. A frequency distribution table is used as descriptive statistical analysis techniques to show the picture of the overall population. The result shows that the leadership effectiveness of CRHs is below average on all dimensions. To overcome the problem, the researcher proposes training to improve leadership effectiveness of CRHs.. Keywords: leadership effectiveness, leadership behaviour, leadership competencies
Kemajuan penjualan sebuah perusahaan tidak hanya berasal dari strategi yang direncanakan oleh manajemen namun juga didukung oleh peran karyawan yang mengimplementasikan strategi tersebut dalam pekerjaan sehari-hari. PT. X adalah salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pembiayaan otomotif skala nasional, yang
berhasil mengembangkan dirinya dari hanya 14 cabang di tahun 2003 hingga saat ini sudah memiliki lebih dari 170 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Peran terbesar dalam kemajuan ini berasal dari bantuan dari karyawan-karyawan yang berada di kantor cabang sebagai pelaksana khususnya dari divisi marketing yang terdiri dari Credit Marketing 11
12
WIGUNA & PANGGABEAN
Officer (staff), Credit Head dan Marketing Head (supervisor). Perkembangan yang dialami oleh PT. X menyebabkan adanya peralihan fokus bisnis yang semula pengembangan pasar (tanggung jawab Marketing Head) menjadi peningkatan penjualan (tanggung jawab Credit Head). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa saat ini Credit Head merupakan garda terdepan penentu pencapaian target di divisi marketing. Daya analisa dan kecakapan Credit Head dalam menafsirkan kualitas aplikan menjadi kunci penentu keberhasilan divisi marketing. Sebagai seorang supervisor, Credit Head juga memiliki peran dalam memimpin Credit Marketing Officer yang berada langsung di bawah naungannya. Ia memiliki tanggung jawab dalam membina Credit Marketing Officer yang baru maupun senior untuk dapat bekerja sebagai tim sehingga dapat mendukung pencapaian target marketing. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa seorang Credit Head yang efektif sebagai pemimpin, perlu terampil dalam menjalankan tugas serta mengelola bawahannya agar dapat mendukung pencapaian tujuan perusahaan dari segi pencapaian target dan juga kualitas kredit. Berdasarkan kondisi saat ini ditemui indikasi bahwa sebagian Credit Head memiliki penilaian dibawah standar untuk aspek kepemimpinan. Beberapa faktor yang diduga sebagai penyebab rendahnya kepemimpinan Credit Head antara lain belum adanya pembekalan komprehensif yang diberikan oleh perusahaan ketika promosi jabatan terjadi serta minimnya pengetahuan dan pengalaman menjadi seorang pemimpin. Dampak yang muncul dari kondisi tersebut adalah beberapa keluhan mengenai kinerja Credit Head muncul dari atasan (Branch
Manager), bawahan (Credit Marketing Officer) dan juga Area People Development Head (yang bertanggung jawab terhadap proses seleksi dan rekrutmen di kantor cabang). Beberapa Branch Manager menyatakan bahwa permasalahan kepemimpinan yang kerap muncul pada Credit Head yaitu kelemahan dalam mengelola tim khususnya dengan jumlah bawahan yang banyak. Idealnya seorang Credit Head di PT. X membawahi tujuh sampai delapan orang Credit Marketing Officer, namun tidak jarang pula ditemui Credit Head yang memiliki 14 orang atau lebih bawahan. Pandangan lain diberikan oleh Area People Development Head yang menilai bahwa Credit Head belum cukup peka terhadap kebutuhan bawahannya. Hal ini muncul ketika Credit Head dirotasi ke daerah lain dan mereka cenderung memimpin tim menggunakan cara yang kaku dan tidak adaptif. Keluhan yang muncul dari Credit Marketing Officer yaitu munculnya perasaan tidak diperhatikan oleh atasan serta kurangnya interaksi personal antara atasan dan bawahan. Hal ini diperkirakan dapat menyebabkan demotivasi kerja bawahan yang juga mempengaruhi persentase produktivitas tim yang menjadi rendah sebagai akibat kurangnya interaksi antara atasan dengan bawahan. Selain itu, kurang efektifnya Credit Head dalam mengelola tim kerja juga diperkirakan dapat memicu konflik antara Credit Head dengan Credit Marketing Officer yang berujung pada ketidakmampuan bekerja sama. Tantangan bagi seorang Credit Head dalam bekerja tidak hanya harus memastikan target tim tercapai namun juga harus selalu siap menghadapi kendala situasi di lapangan. Kendala yang kerap kali ditemui oleh Credit Head antara lain dealer yang sulit memberikan aplikasi pada bawahan, Credit Marketing
13
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN
Officer yang tidak bekerja secara efektif, keluhan dari Marketing Head mengenai bawahan yang bermasalah dengan dealer, serta tekanan dari Branch Manager terkait dengan kegagalan pembayaran angsuran debitur selama 6 bulan pertama. Credit Head sebagai seorang pemimpin, diharapkan mampu mengatasi kendala-kendala tersebut dengan seefektif mungkin. Sosok supervisor sebagai pemimpin memiliki fungsi untuk mengelola beberapa anak buah atau bawahan, seperti mengarahkan aktivitas grup untuk mencapai tujuan bersama, mempengaruhi agar kelompok bersedia bekerja melebihi hal rutin, dan memanfaatkan sumber pengaruh situasional, politis, psikologis maupun sumber lainnya untuk membangkitkan, melibatkan dan memenuhi tujuan bersama (Northouse, 2013; Katz & Kahn, 1978; Bass, 1990). Selain itu, supervisor juga berperan untuk memahami dan menyetujui apa yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugas, bagaimana melakukan tugas itu, serta proses untuk memfasilitasi upaya individu dan kolektif guna mencapai tujuan bersama serta menciptakan tim kerja yang solid (Yukl, 2010; Hartman, 1999). Efektivitas kepemimpinan seorang supervisor dapat dilihat dari kemampuannya dalam mengelola orang-orang di sekitarnya untuk membantunya dalam menjalankan fungsi kerjanya secara lebih optimal (Schreuder, Groothoff, Jongsma, & van Zweeden, 2013) Beberapa pandangan di atas menunjukkan pentingnya efektivitas kepemimpinan seorang Credit Head sebagai supervisor untuk mempengaruhi dan memfasilitasi pekerjaan grup atau organisasi yang sedang dilakukan dan memastikan bahwa semuanya dipersiapkan untuk memenuhi tantangan di masa depan.
Keberhasilan dari seorang Credit Head dipengaruhi oleh interaksi yang terjadi antara dirinya dengan bawahan, rekan kerja dan juga atasan. Seorang Credit Head dikatakan efektif sebagai pemimpin jika mampu mengarahkan, mengelola dan mempengaruhi tim untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan kondisi yang ada saat ini, peneliti menduga bahwa fungsi kepemimpinan Credit Head masih belum efektif. Akan tetapi ketidakefektifan ini masih belum terindikasi secara spesifik sehingga dibutuhkan penelitian untuk mendalami hal tersebut.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran efektivitas kepemimpinan Credit Head di PT. X yang dilihat dari tiga dimensi efektivitas kepemimpinan Yukl (2010) yaitu perilaku berorientasi tugas, orang dan juga perubahan. Hasil penelitian selanjutnya akan digunakan sebagai dasar pembuatan rekomendasi rancangan intervensi untuk pengembangan aspek kepemimpinan Credit Head. Efektivitas Kepemimpinan Gary Yukl (2010) mendefinisikan kepemimpinan sebagai proses di mana individu mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Salah satu indikator umum keefektifan pemimpin adalah hingga sejauh mana kinerja tim atau unit organisasi itu meningkat dan sejauh mana pencapaian tujuan difasilitasi, dimana efektivitas kepemimpinan ini diukur berdasarkan pada beberapa perilaku yang fokus pada tugas, orang dan juga perubahan (Yukl, 2010).
14
WIGUNA & PANGGABEAN
Yukl (2010) mendeskripsikan perilaku yang berorientasi tugas ditunjukkan melalui kepedulian terhadap pencapaian tujuan dengan efisien dan dalam cara yang dapat diandalkan. Perencanaan, klarifikasi, dan pengawasan merupakan perilaku orientasi tugas yang khusus dan secara bersama-sama mempengaruhi kinerja bawahan. Perencanaan melibatkan pembuatan keputusan tentang tujuan, prioritas, strategi, alokasi sumber daya, pemberian tanggungjawab, pembuatan jadwal aktivitas, dan alokasi waktu pemimpin itu sendiri. Klarifikasi meliputi pemberian tugas, penjelasan tentang tanggung jawab pekerjaan, penjelasan tentang peraturan dan prosedur, pemberitahuan tentang prioritas, penetapan sasaran kinerja khusus dan tenggat waktu, serta pemberian instruksi tentang bagaimana melakukan pekerjaan tertentu. Pengawasan melibatkan tindakan untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan guna mengevaluasi operasi unit kerja dan kinerja tiap-tiap bawahan. Perilaku yang berorientasi pada orang terutama peduli dengan peningkatan rasa saling percaya, kerja sama, kepuasan kerja, dan identifikasi dengan organisasi. Pemberian dukungan, pengembangan, dan pengakuan merupakan perilaku penting yang berorientasi pada hubungan. Pemberian dukungan meliputi kisaran luas perilaku yakni pemimpin memperlihatkan penerimaan, perhatian pada kebutuhan dan perasaan seseorang. Pengembangan meliputi perilaku yang bertujuan meningkatkan keterampilan yang berhubungan dengan pekerjaan dan memudahkan penyesuaian pekerjaan serta kemajuan karir seseorang. Contohnya meliputi pelatihan, pendampingan, dan konseling karir. Pengakuan mencakup pemberian pujian dan apresiasi terhadap orang lain atas kinerja yang efektif,
keberhasilan yang nyata, dan kontribusi penting bagi organisasi. Pengakuan berguna untuk menguatkan perilaku yang diinginkan, meningkatkan hubungan antar pribadi, dan meningkatkan kepuasan kerja. Perilaku yang berorientasi pada perubahan terutama peduli pada pemahaman akan lingkungan, penemuan cara inovatif untuk beradaptasi dengan hal itu, serta penerapan perubahan besar ke dalam strategi, produk, dan proses. Perubahan tidak hanya terkait pada konteks kondisi di sekitar pemimpin itu sendiri namun juga diri pemimpin sebagai bagian dari perubahan. Perubahan tidak hanya terkait pada konteks kondisi di sekitar pemimpin itu sendiri namun juga diri pemimpin sebagai bagian dari perubahan. Seorang pemimpin yang berorientasi pada perubahan tidak hanya mampu dengan cepat mengenali kondisi disekitarnya namun bisa dengan sigap menentukan strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi kondisi yang ada. Kerangka Berpikir Credit Head sebagai seorang pemimpin memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengelola orang di sekitarnya yaitu rekan kerja (Marketing Head), bawahan (Credit Marketing Officer) dan juga vendor rekanan (dealer) agar dapat mencapai tujuan organisasi. Credit Head juga memiliki tugas untuk memastikan target penjualan tercapai, menjaga kualitas pembayaran debitur serta meminimalisasi kemungkinan terjadinya kegagalan pembayaran oleh debitur. Kepemimpinan seorang Credit Head akan terlihat pula dari kemampuannya dalam mengelola perubahan dalam pekerjaan. Seorang Credit Head dapat dikatakan efektif dalam menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin jika ia tidak hanya mampu mengelola
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN
pekerjaan, namun juga mengelola orang-orang di sekitarnya dan juga perubahan pada situasi kerja yang mungkin terjadi secara bersamaan. Efektivitas kepemimpinan seorang Credit Head dilihat melalui kecakapannya dalam mengelola setiap dimensi dalam pekerjaannya. Salah satu masalah yang muncul terkait dengan kemampuan mengelola orang yaitu Credit Head yang kesulitan dalam mengelola bawahan untuk dapat bekerja mengikuti arahannya. Masalah yang muncul terkait dengan kemampuan mengelola tugas yaitu terkait pencapaian target kerja secara individu maupun tim. Masalah lain yang seringkali muncul terkait kemampuan mengelola perubahan adalah ketika Credit Head sendiri yang menjadi bagian dari perubahan pada saat rotasi area terjadi. Ketika seorang Credit Head mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut secara efektif, maka ia bisa membawa tim untuk mencapai tujuan organisasi sebagaimana harapan organisasi kepada sosok pemimpin. Tapi jika Credit Head belum mampu menjalankan efektivitas kepemimpinannya maka diperkirakan akan berdampak pada produktivitas tim, turn over karyawan serta keuntungan perusahaan.
Metode Penelitian Jenis penelitian ini tergolong penelitian terapan karena teknik, prosedur, dan metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan yang ada. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan tujuan mendapatkan data dari partisipan penelitian yang dapat digeneralisasikan ke dalam populasi penelitian (Kumar, 2005). Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling, yaitu memilih kelompok-
15
kelompok spesifik sebagai sampel dengan pertimbangan tertentu. Populasi pada penelitian ini adalah karyawan di PT. X yang menjabat sebagai Credit Head. Adapun karakteristik partisipan yaitu karyawan di PT. X yang menjabat sebagai Credit Head dan berada di Regional Jakarta serta Jawa Barat. Saat ini jumlah Credit Head PT. X adalah sebanyak 44 orang yang tersebar di seluruh Indonesia dan 40 orang diantaranya berada di Regional Jakarta dan Jawa Barat. Berdasarkan proporsi jumlah tersebut, maka penelitian akan menggunakan responden dari regional Jakarta dan Jawa Barat, karena jumlahnya dianggap representatif untuk mewakili populasi. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner efektivitas kepemimpinan. Kuesioner efektivitas kepemimpinan ini disusun berdasarkan teori milik Gary Yukl (2013) yang merumuskan tiga dimensi untuk mengukur efektivitas kepemimpinan yaitu perilaku yang berorientasi pada tugas, orang (hubungan), dan perubahan. Jumlah item pada kuesioner ini berjumlah 73. Skala yang digunakan pada alat ukur ini adalah skala Likert dengan rentang skor jawaban 1 (tidak pernah), 2 (jarang), 3 (sering), dan 4 (selalu). Cara skoring untuk mendapatkan nilai efektivitas kepemimpinan adalah dengan menjumlahkan skor total jawaban partisipan. Semakin besar skor total maka dapat diinterpretasikan bahwa semakin efektif kepemimpinan jabatan yang diukur. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan content validity, face validity, dan construct validity. Metode yang digunakan untuk melakukan content validity adalah dengan menggunakan expert judgement dan uji keterbacaan. Expert judgement dilakukan kepada Prof. Dr. phil. Hana Rochani G.
16
WIGUNA & PANGGABEAN
Panggabean, Psi. dan Esther Muliana Kembaren M.Si., Psi. (selaku ahli dalam bidang kepemimpinan) dan Mardyatmo Eko (selaku pembimbing lapangan). Face validity (uji keterbacaan) yang dilakukan dengan cara menanyakan kepada beberapa orang yang menjadi responden penelitian apakah masingmasing item alat ukur dapat dipahami bunyinya. Hasil uji validitas menunjukkan tiga item harus dieliminasi karena memiliki nilai r < 0.3 (Crocker & Algina, 1986), sehingga total item alat ukur berjumlah 73 item. Uji reliabilitas dilakukan dengan teknik item total correlation dan dihasilkan koefisien reliabilitas alat ukur sebesar 0.957. Pengolahan data menggunakan SPSS versi 16.0. Teknik analisis statistik deskriptif yang akan digunakan yaitu menggunakan tabel distribusi frekuensi sehingga dapat memperlihatkan gambaran keseluruhan populasi.
Hasil Kuesioner efektivitas kepemimpinan disebar kepada 40 orang Credit Head di area Jakarta dan Jawa Barat, tetapi kuesioner yang kembali berjumlah 33 buah. Gambaran demografis sampel dilihat berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan akhir, lama bekerja dan lama menjabat sebagai Credit Head dari 33 data yang ada (lihat Tabel 1). Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa mayoritas Credit Head di PT. X saat ini masih tergolong usia produktif yaitu berada pada rentang 36 sampai 40. Adapun dominasi jenis kelamin yaitu laki-laki dikarenakan pertimbangan perusahaan atas beban kerja dan lingkup area survey yang luas sehingga membutuhkan kekuatan fisik selama perjalanan. Latar belakang pendidikan Credit Head juga
tergolong baik karena mayoritas berasal dari jenjang S1. Jika dilihat dari masa kerja, Credit Head saat ini dapat dikategorikan cukup loyal pada perusahaan dan berdasarkan masa menjabat Credit Head diharapkan sudah cukup memahami tugas dan tanggung jawab dari pekerjaannya. Tabel 1. Data Demografi Credit Head Usia (tahun) Jumlah Persentase 26-30.9 1 3.03% 31-35.9 11 33.33% 36-40.9 17 51.52% 41-45.9 4 12.12% Total 33 100% Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Jumlah Persentase 33 100% 0 0% 33 100%
Pendidikan Terakhir SMA D3 S1 S2 Total
Jumlah Persentase
Lama Bekerja (tahun) 1-4.9 5-8.9 >=9 Total
Jumlah Persentase
Lama Menjabat (bulan) 1-12.9 13-24.9 25-36.9 Total
Jumlah Persentase
3 11 19 0 33
0 22 11 33
17 0 16 33
Analisis Efektivitas Kepemimpinan Uji Normalitas
9.1% 33.3% 57.6% 0% 100%
0% 66.67% 33.33% 100%
51.5% 0 48.5% 100%
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Variabel Shapiro-Wilk Statistic df Sig. Efektivitas Kepemimpinan 0.969 33 0.444 Dimensi Tugas 0.978 33 0.720 Dimensi Orang 0.966 33 0.378 Dimensi Perubahan 0.968 33 0.422 Dari hasil uji normalitas (lihat Tabel 2 dan Tabel 3) diperoleh hasil nilai signifikansi untuk efektivitas kepemimpinan serta ketiga dimensinya lebih besar dari α 0.05 sehingga dapat dikatakan bahwa data sudah terdistribusi normal. Tabel 3. Norma Variabel Efektivitas Kepemimpinan
Dimensi Perilaku Berorientasi Tugas
Dimensi Perilaku Berorientasi Orang
Dimensi Perilaku Berorientasi Perubahan
Rentang Skor ≤192 193 - 217 218 - 242 ≥243 ≤57 58 – 65 66 – 72 ≥73 ≤54 55 – 61 62 – 68 ≥69 ≤79 80 – 91 92 – 104 ≥105
Kategori Rendah Kurang Cukup Baik Rendah Kurang Cukup Baik Rendah Kurang Cukup Baik Rendah Kurang Cukup Baik
Gambaran tingkat efektivitas kepemimpinan secara keseluruhan Tabel 4. Tingkat Efektivitas Kepemimpinan Responden Variabel Kategori f % Efektivitas Rendah 5 15.2% Kepemimpinan Kurang 14 42.4% Cukup 9 27.2% Baik 5 15.2% Total 33 100% Jika dilihat dari data di atas (lihat Tabel 4),
17
mayoritas Credit Head mendapatkan skor efektivitas kepemimpinan di bawah mean dan termasuk dalam kategori kurang. Data tersebut dapat menjelaskan fenomena penelitian bahwa Credit Head di PT. X saat ini memiliki efektivitas kepemimpinan yang cenderung kurang. Oleh karena itu dapat dikatakan Credit Head sebagai pemimpin masih tergolong kurang efektif dalam mengelola dan memfasilitasi kinerja tim untuk mencapai tujuan organisasi. Gambaran Tingkat Efektivitas Kepemimpinan Setiap Dimensi Tabel 5. Tingkat Efektivitas Kepemimpinan Credit Head per Dimensi Dimensi Kategori f % Perilaku Berorientasi Rendah 5 15.2% Tugas Kurang 12 36.3% Cukup 11 33.3% Baik 5 15.2% Total 33 100% Perilaku Berorientasi Rendah 5 15.2% Orang Kurang 14 42.4% Cukup 9 27.2% Baik 5 15.2% Total 33 100% Perilaku Berorientasi Rendah 4 12.1% Perubahan Kurang 15 45.5% Cukup 11 33.3% Baik 3 9.1% Total 33 100% Berdasarkan data di atas (lihat Tabel 5) dapat dilihat bahwa mayoritas Credit Head saat ini memiliki skor dibawah mean yang mengindikasikan bahwa mereka masih kurang efektif dalam menjalankan perilaku yang berorientasi pada tugas, orang maupun perubahan. Nilai kurang pada dimensi perilaku berorientasi pada tugas mengindikasikan bahwa Credit Head kurang menunjukkan adanya kepedulian terhadap pencapaian tujuan dengan
18
WIGUNA & PANGGABEAN
cara yang efektif dan efisien. Nilai kurang pada perilaku berorientasi orang menunjukkan bahwa Credit Head kurang memperlihatkan kepedulian pada hubungan kerja. Nilai kurang pada perilaku berorientasi perubahan menunjukkan bahwa Credit Head tergolong kurang peduli pada pemahaman lingkungan sehingga menjadi kurang adaptif dan inovatif terhadap perubahan yang terjadi.
Diskusi Penelitian ini memberikan gambaran bahwa Credit Head tergolong kurang efektif sebagai pemimpin. Dimensi yang paling menonjol kelemahannya yaitu perilaku berorientasi pada orang dan diduga jarang muncul dalam pekerjaan sehari-hari. Hasil ini tidak saja mendukung dugaan awal bahwa Credit Head lebih fokus pada tugasnya dan kurang memperhatikan relasi dengan bawahan serta perubahan yang terjadi, namun juga terlihat bahwa dari segi tugas pun Credit Head belum efektif. Ada indikasi bahwa saat ini memang Credit Head belum memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang pemimpin yang efektif. Efektivitas kepemimpinan pada penelitian ini hanya dilihat dari satu sudut pandang saja yaitu Credit Head sendiri. Peneliti merasa akan lebih baik jika untuk penelitian lanjutan, penilaian terhadap efektivitas kepemimpinan Credit Head dapat dilakukan juga oleh atasan, bawahan dan rekan kerja. Data tambahan ini dapat digunakan sebagai data penunjang untuk mendapatkan profil kepemimpinan secara lebih komprehensif serta sebagai salah satu bentuk konfirmasi data. Meskipun penelitian yang dilakukan sudah mampu menjawab permasalahan yang ada, namun peneliti menyadari bahwa data yang
diperoleh masih terbatas dan belum cukup kaya untuk menggambarkan efektivitas kepemimpinan dalam situasi khas yang dialami oleh Credit Head. Kedalaman informasi yang perlu digali yaitu faktor-faktor penyebab tinggi rendahnya nilai dari efektivitas kepemimpinan tersebut. Hal tersebut tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan pendekatan secara kuantitatif namun harus disertai dengan pendekatan kualitatif yaitu dengan melakukan wawancara.
Kesimpulan, Implikasi dan Saran Kesimpulan Hasil penelitian mengenai gambaran efektivitas kepemimpinan Credit Head di PT. X didapatkan kesimpulan bahwa responden penelitian paling banyak berada pada kategori kurang untuk efektivitas kepemimpinan serta dimensi-dimensi di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa Credit Head di PT. X saat ini tergolong kurang efektif dalam memfasilitasi tim kerja untuk dapat mencapai tujuan organisasi berdasarkan perilaku berorientasi pada tugas, orang, dan juga perubahan. Hasil tersebut menjawab fenomena penelitian di awal bahwa memang Credit Head belum secara efektif menjalankan kepemimpinannya sebagai Credit Head. Implikasi Dalam penelitian ini, dimensi yang paling menonjol dari efektivitas kepemimpinan adalah perilaku berorientasi orang. Hal ini dikarenakan Credit Head masih belum memiliki pemahaman maupun pengalaman yang cukup dalam mengenali dan mengelola kelemahan dan kekuatan bawahan. Oleh karena itu, kondisi ini diprediksi akan berdampak terhadap kualitas pengembangan
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN
sumber daya manusia yang menjadi kurang tepat sasaran. Beberapa program atau intervensi yang dapat dilakukan organisasi untuk bisa mencapai efektivitas kepemimpinan yang optimal antara lain memberikan coaching kepada Credit Head yang sudah dalam kategori cukup untuk dapat meningkatkan kinerjanya. Untuk Credit Head yang masih dalam kategori rendah dan kurang, selain diberikan pelatihan mengenai efektivitas kepemimpinan, dapat juga diberikan pendampingan oleh Credit Head dengan kategori sudah baik melalui forum diskusi ataupun pertemuan rutin bulanan. Pengembangan lain yang dapat dilakukan adalah pada proses asesmen untuk promosi karyawan. Jika sebelumnya asesmen terhadap aspek kepemimpinan hanya untuk mengukur tinggi rendahnya kemampuan tersebut, maka bisa ditambahkan pengukuran profil pemimpin dalam kelompok. Dengan begitu, sebelum karyawan dinyatakan efektif dipromosikan, manajemen sudah dapat mempersiapkan program-program pembekalan untuk memaksimalkan efektivitas kepemimpinan karyawan berdasarkan profil yang dimiliki. Hal serupa juga dapat dilakukan pada proses seleksi kandidat agar tidak hanya terpaku pada pengukuran kemampuan intelektual dan sikap kerja saja, tapi juga memperhatikan kemampuan menjalin relasi sosial dan bekerja sama. Aspek tersebut diprediksi mampu menggambarkan kemampuan kandidat dalam membina hubungan dengan bawahan maupun rekan kerja saat mencapai posisi supervisor nanti. Saran Berdasarkan dari penelitian yang telah
19
dilakukan, peneliti menemukan beberapa saran yang dapat digunakan untuk penelitian lanjutan yaitu: a. Pemilihan metode pengambilan data menggunakan mix-method dengan kuesioner dan wawancara agar dapat menggali lebih dalam masalah mengenai efektivitas kepemimpinan level supervisor di PT. X serta variabel-variabel lain yang mungkin berkorelasi. b. Dalam proses penelitian, sebaiknya peneliti melakukan komunikasi intensif secara berkala dengan perusahaan mengenai kemajuan proses penelitian sehingga mereka dapat memahami kebutuhan data tambahan serta urgensinya bagi penelitian. c. Perusahaan perlu mempertimbangkan penyusunan program untuk mempersiapkan karyawan yang akan menjadi Credit Head setidaknya dengan pengetahuan mengenai efektivitas kepemimpinan.
Rancangan Intervensi Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan data bahwa Credit Head dinyatakan kurang di semua dimensi efektivitas kepemimpinan. Atas dasar hasil tersebut, maka peneliti memberikan rekomendasi rancangan intervensi yaitu berupa pelatihan mengenai efektivitas kepemimpinan dengan fokus sasaran pada aspek kognitif peserta. Tujuan dari intervensi ini adalah untuk membekali peserta dengan pengetahuan mengenai efektivitas kepemimpinan Credit Head berdasarkan perilaku berorientasi tugas, orang dan juga perubahan. Oleh karena belum adanya pembekalan yang yang pernah diberikan oleh perusahaan, maka rancangan intervensi ini merupakan tahap pertama yang akan diberikan kepada Credit
20
WIGUNA & PANGGABEAN
Head untuk mendukung mereka dalam menjalankan perannya dengan lebih efektif. Harapan untuk kedepannya adalah jika secara pengetahuan Credit Head sudah punya pemahaman yang cukup, maka bisa dilakukan pelatihan tahap lanjutan untuk mengasah perilaku efektivitas kepemimpinan di tempat kerjanya dengan cara penugasan ke cabang lainnya selama periode waktu tertentu. Pelatihan bertahap ini diharapkan mampu memfasilitasi Credit Head tidak hanya untuk memahami konsep mengenai efektivitas kepemimpinan namun juga mengaplikasikannya dalam pekerjaan. Efektivitas Kepemimpinan Efektivitas kepemimpinan adalah hasil yang dicapai pemimpin dalam mencapai tujuan organisasi yang dilihat melalui perilaku pemimpin dalam pekerjaan. Pemimpin dianggap efektif apabila mampu menghasilkan profit bagi organisasi dan mencapai produktivitas yang tinggi. Perilaku yang menggambarkan efektivitas menurut Gary Yukl (2010) terbagi dalam tiga jenis yaitu perilaku yang berorientasi pada tugas (pengenalan dan pemahaman terhadap pekerjaan), orang (membina relasi dan mempertahankan hubungan) dan juga perubahan (adaptasi terhadap kondisi kerja dan pencarian solusi masalah yang inovatif). Tujuan Pelatihan Tujuan dari pelatihan ini adalah untuk membekali peserta dengan pengetahuan mengenai efektivitas kepemimpinan sebagai Credit Head. Adapun tujuan khusus yang akan tertuang pada setiap sesi adalah sebagai berikut. a. Peserta mampu memahami konsep efektivitas kepemimpinan dalam bekerja.
b. Peserta mampu mengidentifikasi perilaku penunjang efektivitas kepemimpinan yang berorientasi pada tugas. c. Peserta mampu mengidentifikasi perilaku penunjang efektivitas kepemimpinan yang berorientasi pada orang. d. Peserta mampu mengidentifikasi perilaku penunjang efektivitas kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan. Rancangan Intervensi Pelatihan ini dirancang untuk dilakukan dalam satu hari kegiatan dengan durasi delapan jam. Jumlah peserta yaitu sebanyak 15 orang dalam satu kali kegiatan. Jumlah peserta dibatasi menjadi kelas kecil dengan pertimbangan untuk menjaga situasi kelas agar lebih kondusif dan supaya setiap peserta dapat berperan aktif selama kegiatan pelatihan berlangsung. Pelatihan ini menggunakan metode yang bervariasi antara lain games, sharing pengalaman, ceramah, studi kasus, diskusi dan presentasi. Hal ini bertujuan agar peserta dapat lebih memahami materi yang diberikan dengan pendekatan yang aplikatif. Pelatihan terbagi menjadi empat sesi utama. Pada sesi pertama materi yang diberikan adalah mengenai efektivitas kepemimpinan, sedangkan untuk sesi kedua sampai dengan keempat membahas perilaku-perilaku efektivitas kepemimpinan yang berorientasi tugas, orang dan perubahan secara terpisah. Pada sesi pertama, peserta diminta untuk mengisi form penilaian efektivitas kepemimpinan dan melakukan skoring bersama-sama. Hasil tersebut selanjutnya dibahas bersamaan dengan pemberian materi mengenai efektivitas kepemimpinan. Pada sesi kedua, seorang narasumber diminta untuk
21
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN
menceritakan pengalaman sukses bekerja sebagai Credit Head. Lalu kegiatan dilanjutkan dengan memberikan kesempatan pada peserta untuk bertanya pada narasumber. Berdasarkan kegiatan tersebut, selanjutnya peserta diminta untuk menuliskan fungsi dan tanggung jawabnya sebagai Credit Head. Peneliti kemudian memberikan materi mengenai perilaku yang berorientasi pada tugas dan melakukan review secara singkat terhadap fungsi dan tanggung jawab yang sebelumnya sudah dituliskan oleh peserta. Kegiatan pada sesi ketiga diawali dengan studi kasus yang diselesaikan dalam kelompok. Setelah itu setiap kelompok menunjuk perwakilannya untuk presentasi dan diakhir sesi fasilitator mengkaitkan temuan-temuan selama diskusi berlangsung dengan materi mengenai perilaku berorientasi pada orang. Di sesi keempat, beberapa orang peserta diminta untuk menceritakan pengalamannya ketika menemukan perubahan selama bekerja dan peserta lain diminta untuk memberikan tanggapan. Setelah itu peserta diberikan materi terkait perilaku berorientasi pada perubahan. Pelatihan ini dilakukan secara eksternal oleh peneliti sendiri dengan dibantu oleh pihak internal perusahaan secara teknis dan terkait sarana prasarana. Adapun alasan pemberian materi pelatihan secara eksternal adalah dengan mempertimbangkan ketajaman informasi yang diberikan serta kemampuan dalam mengkaitkan antara materi dengan poin pembelajaran. Evaluasi kegiatan pelatihan yaitu dengan mengukur reaksi peserta terhadap pelatihan dan juga melakukan pre dan posttest menggunakan kuesioner. Validasi User 2. Setelah
penyusunan
rancangan
pelatihan, peneliti melakukan validasi user kepada People Development Division Head (selaku perwakilan pihak perusahaan) yang bertujuan untuk memastikan bahwa rancangan pelatihan sudah sesuai dengan kebutuhan Credit Head saat ini. Adapun hasil dari validasi yang dilakukan adalah adanya perubahan dalam teknis pelaksanaan pelatihan, yang meliputi penentuan peserta pelatihan oleh perusahaan, jumlah peserta yang akan mengikuti uji coba hanya 15 orang dan pemberian materi pelatihan oleh pihak eskternal (peneliti). Selain uji coba ini dilakukan pihak perusahaan melakukan review terhadap isi materi dan metode penyampaian untuk perbaikan.
Referensi Agochiya, D. (2002). Every trainer’s handbook. New Delhi, India. Sage Publication India Pvt Ltd. Anastasi, A., & Urbina, S. (1997). Psychological testing (7th ed.). New Jersey: Prentice Hall. Bass, B. M. (1990). Bass & Stogdill’s handbook of leadership: Theory, research, and managerial applications. New York: MacMillan Publishing Company. Biech, E. (2005). Training for dummies. Indiana: Wiley Publishing. Cascio, W., & Boudreau, J. (2003). Investing in people: Financial impact of human resource initiatives (2nd ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson. Education, Inc. FT Press. Chemers, M. M., Ayman, R., & Fiedler, F. (1995). The contingency model of
22
WIGUNA & PANGGABEAN
leadership effectiveness: Its levels of analysis. Leadership Quarterly, 6 (2), 147167. Crocker, L., & Algina, J. (1986). Introduction to classical and modern test theory. Australia: Wadsworth. Ekvall, G., & Arnoven, J. (1991). Changecentered leadership: An extension of the two-dimensional model. Scandinavian Journal of Management, 7, 17-26. Guilford, J. P., & Fruchter, B. (1987). Fundamental statistics in psychological and education. Auckland: McGraw-Hill. Gupta, A., House, R. J., Hanges, P. J., Javidan, M., & Dorfman, P. W. (2004). Culture, leadership, and organizations: The globe study of 62 societies. London: SAGE Publications. Hartman, L. (1999). A psychological analysis of leadership effectiveness. Strategy & Leadership, 27(2), 30-32. Hughes, R.L., Ginnet, R. C., & Curphy, G. J. (2009). Leadership: Enhancing the lessons of experience (6th ed.).Singapore: McGraw-Hill. Ivancevich, J.M. (2001). Human resource management (8th ed.). New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Kaplan, R. M., & Saccuzzo, D. P. (2009). Psychological testing: Principles, applications and issues. California: Wadsworth Publishing Company. Katz, D., & Kahn, R. L. (1978). The social psychology of organizations (2nd ed.). New York: John Wiley. Kerlinger, F. N., & Lee, H. B. (2000). Foundations of behavioral research. Inggris: Wadsworth Publishing Company. Kline, R. B. (1986). Beyond significance testing: reforming data analysis methods in
behavioral research. Washington, DC: American Psychological Association. Kouzes, J. M., & Posner, B. Z. (2007). The leadership challenge. New Jersey: John Wiley & Sons. Kumar, R. (2005). Research methodology: A step-by-step guide for beginners. London: SAGE Publications. Laird, D. (1985). Approaches to training and development (2nd ed.). Reading, MA: Addison-Wesley. Mangunsong, F. (2009). Faktor Intrapersonal, Interpersonal, dan Kultural Pendukung Efektivitas Kepempimpinan Perempuan Pengusaha dari Empat Kelompok Etnis di Indonesia. Jurnal Sosial Humaniora, 13(1), 19-28. Nadler, L. (1984). The handbook of human resource development. New York: John Wiley & Sons. Nanus, B., & Bennis, W.G. (1985). Leaders: the strategies for taking charge. Inggris: Harper Prennial. Northouse, P.G. (2013). Leadership: theory and practice (6th ed.). California: SAGE Publications, Inc. Onkham, W., Elattar, A., & Rabelo, L. (2013). Effective leadership using system dynamics and the matrix of change. IIE Annual Conference, 884-893. Rachmawati, B. & Rahmawati, S. (2007). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas kepemimpinan dalam meningkatkan produktivitas karyawan PT. Bridgestone Tire Indonesia. Jurnal Managemen, 3(1), 45-54. Redick, A., Reyna, I., Schaffer, C., & Toomey, D. (2014). Four-factor model for effective project leadership competency. Journal of Information Technology and Economic
EFEKTIVITAS KEPEMIMPINAN
Development, 5(1), 21-35. Sarjana, S. (2012). Pengaruh motivasi dan efektivitas kepemimpinan terhadap produktivitas. Jurnal Perkotaan, 4(2), 91100. Schreuder, J. A. H., Groothoff, J. W., Jongsma, D., & van Zweeden, N. F. (2013). Leadership effectiveness: A supervisor’s approach to manage return to work. Journal of Occupational Rehabilitation, 23(3), 428-437. Sumual, E. F. M. & Lee, J. (2011). Gambaran Efektivitas Kepemimpinan Bina Nusantara Computer Club Kepengurusan Ke-22 Berdasarkan Fiedler’s Contingency Model. Jurnal Humaniora, 2(1), 245-256. Tjitra, H., Panggabean, H., & Murniati, J. (2012). Pemimpin dan Perubahan: Langgam Terobosan Profesional Bisnis Indonesia. Jakarta: PT Elex media Komputindo. Vaculik, M., Prochazka, J., & Smutny, P. (2014). Competencies and leadership effectiveness: Which skills predict effective leadership?. European Conference on Management, Leadership & Governance, 337-344. Wright, P. L. & Taylor, D. S. (1994). Improvingleadership performance: Interpersonal skills for effective leadership 2nd. UK : Prentice Hall International. Yukl, G. (2010). Leadership in organization (7th ed.). New Jersey: Pearson Education, Inc. Yukl, G. & Kim, H. (1995). Relationship of managerial effectiveness and advancement to self-reported and subordinate-reported leadership behaviors from the multiplelinkage model. Leadership Quarterly, 6(3), 361-378.
23
JPIO
24 2016, Vol. 3, No. 1, 24-38
SARI & PANGGABEAN
ISSN 2302-8440
Profil Kepuasan Kerja Tenaga Marketing Perusahaan Pembiayaan Otomotif Nilam Meyti Sari & Hana Panggabean Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
One of the antecedents of employee turnover is their innability to reach work satisfaction. This study describes work satisfaction as the descrepancies of feelings between what they should receive/get and what exactly they receive from the organization. This study is an applied research aiming at profiling job satisfaction level for credit marketing officers (CMO) at PT ABC. The Minnesota Satisfaction Questionnaire is delivered to 207 CMOs. Research sampling is conducted with stratified random sampling procedure. The result shows that the CMOs's level of job satisfaction is moderate, with frequency distribution is ranging from low to moderate, and implies that the CMOs of PT ABC have not been satisfied with their job. Compensation and security dimensions have the lowest score of satisfaction. This study found that poor organizational communication in this company become the critical antecedent of the lowest score. Therefore, we develop an intervention program of developing a communication system between management and employees. Keywords: job satisfaction, leasing company, standard operating
procedure, organizational communication
Seiring dengan perkembangan ekonomi di Indonesia, hal ini memicu munculnya berbagai perusahaan pembiayaan kendaraan, khususnya untuk mobil. Oleh karena itu, setiap perusahaan pembiayaan harus dapat bersaing dan memiliki strategi yang jitu agar dapat lebih unggul untuk menghadapi kompetitor dalam pangsa pasar. Faktor yang dapat membantu perusahaan untuk dapat terus bersaing dan menjadi yang terdepan adalah aset yang dimiliki oleh perusahaan seperti SDM, mesin, bahan mentah, metode atau cara kerja dan pasar. Dari keenam aset
tersebut, aset yang paling penting adalah manusia yang berperan sebagai pekerja dan pemimpin (Robbins, 2003). Tidak heran jika perusahaan selalu berupaya untuk melakukan berbagai hal terkait dengan pengembangan SDM, baik pada saat menjalankan seleksi maupun pengelolaan SDM dalam perusahaan. Selain itu, perusahaan juga harus dapat selalu memperhatikan kebijakan yang diterapkan kepada pekerjanya. Apabila kebijakan perusahaan dinilai tidak sesuai dengan harapan dan kebutuhan pekerja, hal ini 24
KEPUASAN KERJA
dapat berdampak buruk terhadap sikap kerja mereka di perusahaan tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, Gilmer (1961) menjelaskan bahwa pekerja yang memiliki sikap positif terhadap pekerjaannya akan rendah tingkat absensi dan pengunduran dirinya (turnover). Masalah turnover karyawan mendapat perhatian yang cukup besar oleh perusahaan, karena menimbulkan kerugian dan berdampak pada menurunnya produktivitas pekerjaan (Mathias dan Jackson, 2003). Data turnover tahunan pada Credit Marketing Officer (CMO) di PT. ABC sampai dengan bulan Juli 2015 menunjukkan angka sebesar 18,13%, yaitu sebanyak 130 orang. Jika dihitung rata-rata, maka kurang lebih terdapat sekitar 17-18 CMO yang keluar per bulannya. Angka ini sudah jauh di atas rata-rata angka turnover yang bisa diterima, yaitu 5-10% (Gillies, 1989). Hal ini tentunya menjadi perhatian perusahaan mengingat CMO merupakan penghubung utama perusahaan dengan dealer dan pelanggan. Jika CMO di lapangan terus berganti, maka relasi dengan dealer maupun pelanggan harus selalu dimulai dari awal yang tentunya akan menjadi kesempatan emas kompetitor untuk masuk. Sejumlah alasan pengunduran diri yang didapatkan berdasarkan catatan exit interview, antara lain kurang mendapatkan kesempatan berkembang, merasa kompensasi yang diberikan kurang sesuai dengan usaha yang mereka keluarkan, kompensasi yang kurang kompetitif dibandingkan dengan perusahaan sejenis lainnya, prosedur kerja yang kurang efisien sehingga menjadi kurang kompetitif, dan perusahaan dirasa lebih fokus pada pencapaian target sehingga kurang memperhatikan kesulitan CMO di lapangan. Munculnya fenomena ini mengindikasikan bahwa CMO yang keluar merasa tidak puas terhadap aspek-
25
aspek dalam pekerjaan mereka saat ini. Kepuasan kerja merupakan perasaan yang muncul dari diri seseorang yang merupakan hasil persepsi atau pemaknaan dari sebuah pekerjaan untuk memenuhi nilai yang dianggap penting dalam berkerja (Noe, 2007). Dalam bekerja, kepuasan kerja karyawan tergantung pada perbedaan antara sesuatu yang diharapkan dengan yang didapat oleh karyawan tersebut. Sejalan dengan penjelasan tersebut, Martoyo (1994) juga mengemukakan bahwa kepuasan kerja merupakan keadaan emosional karyawan dimana terjadi ataupun tidak terjadi titik temu antara nilai balas jasa kerja karyawan dari perusahaan dengan tingkat nilai balas jasa yang diinginkan oleh karyawan. Untuk meningkatkan kualitas SDM, perusahaan perlu mewujudkan kepuasan kerja karyawannya agar lebih termotivasi dalam mencapai hasil kerja yang maksimal. Hastono (2013) dalam penelitiannya menuliskan bahwa semakin bertambah kepuasan kerja karyawan, maka akan semakin meningkatkan motivasi dalam melakukan pekerjaannya dengan baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Taba (2008) yang menemukan bahwa tingkat kepuasan seseorang berpengaruh terhadap komitmen organisasi dan prestasi kerja. Semakin tinggi kepuasan kerja seorang karyawan maka makin tinggi pula komitmennya terhadap organisasi sehingga membuat orang tersebut dapat mencapai hasil yang maksimal dan berprestasi dalam bidang pekerjaannya. Terdapat beberapa dampak dari kepuasan kerja, antara lain: kinerja karyawan, tingkat kehadiran dan tingkat keluar masuknya karyawan (turnover). Penelitian yang dilakukan oleh Rosari (2011) pada salah satu perusahaan pembiayaan terbesar di Indonesia menemukan adanya kaitan antara kepuasan kerja karyawan
26
SARI & PANGGABEAN
dengan keinginan untuk pindah. Organisasi dengan karyawan yang lebih puas cenderung memiliki kinerja dan tingkat kehadiran karyawan yang lebih tinggi serta turnover yang lebih rendah dibandingkan dengan organisasi yang memiliki karyawan yang kurang puas (Robbins, 2003). Pada PT. ABC, terjadinya turnover pada CMO diduga karena para CMO tersebut tidak merasakan kepuasan kerja terhadap beberapa aspek di dalam pekerjaan mereka, seperti insentif, jenjang karir, iklim kerja dan lain sebagainya, sehingga kemudian ketika dihadapkan pada sejumlah tanggung jawab dan tantangan dalam pekerjaan para CMO tersebut tidak termotivasi dan memutuskan untuk meninggalkan perusahaan. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah memperoleh gambaran mengenai kepuasan kerja pada CMO di PT. ABC. Schermerhorn (1991) menjelaskan mengenai pentingnya sebuah organisasi mengetahui informasi mengenai gambaran kepuasan kerja karyawannya secara akurat sebagai bahan pertimbangan untuk mengambil keputusan dalam memperbaiki, mencegah dan memecahkan masalah yang dihadapi oleh karyawannya. Dengan mengetahui gambaran kepuasan kerja, akan membantu perusahaan untuk memetakan hal-hal penting yang perlu diperhatikan terkait kepuasan kerja CMO dan menjadi dasar peneliti untuk membuat intervensi yang sesuai dengan kondisi yang terjadi dalam organisasi. Kepuasan Kerja Robbins (2003) menjelaskan kepuasan kerja sebagai perilaku secara keseluruhan yang ditunjukkan karyawan terhadap pekerjaannya.
Jika karyawan memiliki kepuasan kerja yang tinggi maka ia akan menunjukkan perilaku yang positif terhadap pekerjaannya, sebaliknya jika karyawan memiliki kepuasan kerja yang rendah maka ia akan menunjukkan perilaku yang negatif terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja merupakan sikap umum individu terhadap pekerjaannya sehingga lebih mencerminkan sikap dari pada perilaku. Hal ini sejalan dengan penjelasan yang dikemukakan oleh Noe (2007) yang mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah perasaan dari diri seseorang yang merupakan hasil persepsi atau pemaknaan terhadap sebuah pekerjaan untuk memenuhi nilai yang dianggap penting dalam berkerja. Seseorang dapat dikatakan memiliki kepuasan kerja yang tinggi jika orang tersebut secara umum menghargai dan memiliki kesan positif terhadap pekerjaannya. Begitupun sebaliknya, jika seseorang tidak memiliki kepuasan kerja yang tinggi, artinya orang tersebut secara umum kurang menyukai, kurang menghargai dan memiliki nilai negatif terhadap pekerjaannya tersebut (Gibson, 2000). Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Locke (dalam Judge, Thoresen, Picik & Welbourne 2001) bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan senang atau keadaan emosional yang positif sebagai hasil penilaian terhadap pekerjaannya. Panggabean (2002) menjelaskan terdapat beberapa dampak dari kepuasan kerja, yaitu: tingkat turnover, tingkat absensi, komitmen organisasi, dan timbulnya semangat kerja. Penelitian ini menggunakan dua teori yang saling berhubungan dalam menjelaskan kepuasan kerja. Teori pertama adalah teori perbedaan (discrepancy theory) yang dikemukakan oleh Porter (dalam Wexley & Yukl, 2005). Teori ini menjelaskan bahwa
27
KEPUASAN KERJA
kepuasan merupakan perbedaan antara apa yang dirasakan oleh karyawan mengenai hal-hal yang seharusnya diterima dengan yang ia rasakan tentang apa yang sebenarnya ia terima. Orang akan merasa puas apabila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan yang didapatkannya. Teori kedua adalah teori Penyesuaian Kerja (Theory of Work Adjustment) yang dikemukakan oleh Weiss (1967). Teori ini mengansumsikan bahwa kepuasan kerja merupakan hasil penyesuaian antara individu dengan perusahaan dalam memenuhi tuntutan pekerjaan dan tuntutan kebutuhan dari individu. Ketika individu berhasil menunjukkan usaha untuk memenuhi tuntutan pekerjaan yang diberikan perusahan dan imbalan yang diterima sesuai dengan ekspektasi serta usaha yang dikeluarkan oleh individu maka dapat menimbulkan kepuasan kerja pada karyawan. Hal ini sejalan dengan discrepancy theory yang menjelaskan bahwa kepuasan kerja merupakan perbedaan antara apa yang diharapkan dengan apa yang didapat, semakin kecil perbedaan antara harapan dengan kenyataan maka orang tersebut akan semakin puas. Terdapat tiga aspek kepuasan kerja menurut Theory of Work Adjustment yaitu pertama, spek instrinsik, merupakan aspek kepuasan yang didapatkan saat seseorang dapat berhasil melaksanakan pekerjaannya dengan baik yang mencakup dimensi: activity, independence, variety, social status, moral values, security, social services, authority, ability utilization, responsibility, creativity dan achievement. Kedua, aspek ekstrinsik, merupakan aspek kepuasan yang didapatkan dari imbalan yang diperoleh oleh individu, bukan hanya berupa uang tetapi bisa juga berupa pujian, kesempatan
promosi dan sebagainya yang mencakup dimensi: compensation, advancement, human relations supervision, company policies and practices dan recognitions. Ketiga, general satisfaction, merupakan aspek yang didapatkan ketika individu merasa puas dengan kondisi pekerjaan dan rekan kerja secara keseluruhan mencakup dimensi: coworkers dan working conditions. Kerangka Berpikir Terjadinya turnover yang tinggi pada CMO di PT. ABC diduga karena ada persoalan kepuasan kerja, seperti insentif, jenjang karir dan iklim kerja sehingga kemudian ketika dihadapkan pada sejumlah tanggung jawab dan tantangan dalam pekerjaan para CMO tersebut tidak termotivasi dan memutuskan untuk meninggalkan perusahaan. Oleh karena itu, menjadi penting bagi PT. ABC untuk mengetahui gambaran kepuasan kerja CMO secara akurat. Pemetaan seperti ini berguna untuk memecahkan masalah kepuasan kerja yang sedang dihadapi. Berdasarkan teori penyesuaian kerja (Theory of Work Adjustment) maka pada studi ini akan dilakukan pengukuran kepuasan kerja terhadap dua puluh dimensi yang terbagi ke dalam tiga aspek: intrinsik, ekstrinsik dan general factor.
Metode Jenis penelitian ini adalah descriptive and applied research dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Variabel yang diukur dalam penelitian ini adalah kepuasan kerja. Populasi yang disasar dalam penelitian ini adalah Credit Marketing Officer (CMO) yang telah menjadi karyawan tetap dengan lama kerja
28
SARI & PANGGABEAN
di atas satu tahun. Populasi CMO di PT. ABC berjumlah 424 orang. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan menggunakan stratified random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 204 orang. Berikut gambaran populasi CMO berdasarkan tabel pengelompokkan (lihat Tabel 1). Tabel 1. Gambaran Penyebaran Populasi CMO Usia < 23
DKI 1 DKI 2 Jabar Jateng Jatim Kal Sul NTB dan Bali Sumba g Selatan Sumba g Utara
2335
Masa Kerja
Jabatan
> 35
< 2thn
25thn
> 5thn
Jr
Pendidikan
Med
Sr
SMA, D1
D3
S1, S2
0 0 0 0 0 1 0
53 51 30 27 29 40 13
20 24 21 7 16 6 1
1 1 0 0 0 0 0
33 27 18 12 19 23 9
39 47 33 23 26 23 5
48 41 27 12 36 38 10
22 34 24 23 9 8 4
3 0 0 0 0 0 0
6 10 2 1 3 6 2
27 23 17 10 7 10 0
40 42 32 24 35 30 12
0
37
2
1
25
13
33
6
0
2
8
29
1
39
6
0
29
17
30
16
0
5
10
31
Berdasarkan populasi tersebut kemudian ditentukan jumlah sampel untuk masing-masing kelompok sampel. Hal ini bertujuan agar semua kelompok sampel yang dipilih dapat mewakili seluruh populasi yang ada. Berikut adalah pembagian sampel (lihat Tabel 2). Tabel 2. Sampel Penelitian Usia < 23
DKI 1 DKI 2 Jabar Jateng Jatim Kal Sul NTB dan Bali Sumba g Selatan Sumba g Utara
2335
Masa Kerja
Jabatan
> 35
< 2thn
25thn
> 5thn
Jr
Pendidikan
Med
Sr
SMA, D1
D3
S1, S2
0 0 0 0 0 1 0
3 3 3 3 3 3 5
3 3 3 3 3 2 1
1 1 0 0 0 0 0
3 2 3 3 3 3 4
2 3 3 3 3 3 2
2 3 3 3 3 3 3
2 3 3 3 3 3 3
2 0 0 0 0 0 0
2 2 3 1 2 2 1
2 2 2 2 2 2 0
2 2 2 3 2 2 4
0
5
1
1
3
2
3
3
0
1
2
3
1
3
2
0
4
2
3
3
0
2
2
2
Setelah
jumlah
sampel
untuk
setiap
kelompok sudah ditentukan, kemudian pemilihan CMO yang akan menjadi sampel penelitian dilakukan dengan memilih secara acak dari daftar nomor telepon. Daftar tersebut diberi nomor urut kemudian dimasukkan ke dalam fish bowl. Sampel akan diambil secara acak dari fish bowl tersebut sebanyak jumlah sampel yang dibutuhkan untuk setiap kelompoknya. Pada penelitian ini, pengukuran kepuasan kerja akan diukur menggunakan kuisioner MSQ (Minnesota Satisfaction Questionnare) yang disusun pada tahun 1967 oleh Weiss, Dawis, England, dan Lofquist berdasarkan teori penyesuaian kerja (Theory of Work Adjustment) yang mereka kembangkan di Minnesota (George & Jones, 2002; Spector, 1997). Terdapat tiga aspek dalam kepuasan kerja yaitu intrinsik, ekstrinsik dan general satisfaction. Ketiga aspek tersebut diukur melalui dua puluh dimensi elemen kebutuhan yang penting dalam menciptakan kepuasan kerja dengan menggunakan MSQ long version, yang terdiri dari 5 pernyataan untuk setiap dimensi sehingga total 100 penyataan. Pengisian kuisioner menggunakan skor 1-5, yaitu mulai dari skor 5 (sangat puas); 4 (puas); 3 (netral); 2 (tidak puas); 1 (sangat tidak puas). Peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas pada instrumen penelitian yang digunakan. Uji validitas yang digunakan adalah content validity dengan melakukan proses penerjemahan alat ukur dan dilanjutkan dengan expert judgment yang dilakukan oleh dosen pembimbing penelitian dan Kepala Divisi Organization Development PT. ABC untuk melihat kesesuaian bahasa dengan konstruk yang ingin diukur. Selain itu peneliti juga menguji validitas item dengan melihat corrected item-total correlation, instrumen
29
KEPUASAN KERJA
penelitian dikatakan berfungsi dengan baik jika D ≥ 0.40 (Crocker & Algina, 2008). Terdapat 12 item yang harus direvisi (D ≤ 0.40). Setelah dilakukan revisi, item tersebut digunakan untuk proses pengambilan data selanjutnya. Sedangkan untuk uji reliabilitas, peneliti menggunakan perhitungan Coefficient Alpha Cronbach (α). Nunally (dalam Spector, 2008) menjelaskan jika koefisien nilai yang diperoleh dari perhitungan statistik menunjukkan nilai alpha lebih besar dari 0.7 maka dianggap memiliki konsistensi yang tinggi. Berdasarkan pengukuran reliabilitas terhadap alat tes MSQ yang terdiri dari 100 item pernyataan didapatkan koefisien realibilitas (α = 0.962), hasil ini menunjukkan bahwa alat tes yang digunakan dalam penelitian ini reliabel. Setelah data terkumpul, peneliti melakukan uji normalitas data menggunakan KolmogorovSmirnov. Berdasarkan hasil perhitungan (D=0.065, p > 0.05) dapat disimpulkan bahwa data pada variabel kepuasan kerja merupakan data yang terdistribusi normal. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan program SPSS versi 21.00. Perhitungan gambaran umum Kepuasan Kerja pada penelitian ini akan dihitung dengan menggunakan standard score. Kemudian untuk mengidentifikasi perbedaan pada data demografis, dilakukan perhitungan uji beda dengan Kruskal-Wallis Test.
usia antara 23-35 tahun yaitu sebanyak 81.6% (n=169). Selain itu responden juga didominasi oleh CMO yang memiliki jabatan Junior yaitu sebanyak 62.8% (n=130).
Tabel 3. Data Demografis Partisipan Penelitian Data Demografi Di bawah 23 tahun 23-35 tahun Di atas 35 tahun Pendidikan SMA dan D1 D3 S1 dan S2 Jabatan Junior Medior Senior Regional DKI 1 DKI 2 Jawa Barat Jawa Tengah Jawa timur NTB dan Bali Kalimantan dan Sulawesi Sumatera bag Utara Sumatera bag Selatan Masa Di bawah 2 tahun Kerja 2-5 tahun Di atas 5 tahun Usia
Frekuensi 1 169 37 2 45 160 130 71 6 23 27 34 22 33 9 21
Presentase 0.4 % 81.6 % 17.9 % 1% 21.7 % 77.3 % 62.8 % 34.4 % 2.9 % 11.1 % 13.0 % 16.4 % 10.6 % 15.9 % 4.3% 10.1 %
23 15 6
11.1 % 7.2 % 2.9 %
113 88
54.6 % 42.5 %
Hasil Total responden yang berhasil diperoleh dalam penelitian ini berjumlah 207 orang. Data mengenai demografis dapat dilihat dari Tabel 3. Berdasarkan data demografis di atas terlihat bahwa responden dalam penelitian ini didominasi oleh CMO yang memiliki rentang
Gambar 1. Distribusi Skor Kepuasan Kerja Berdasarkan penyebaran skor Kepuasan Kerja (lihat Gambar 1) menunjukkan bahwa rentang nilai mean berada pada skor 2.20 sampai 5.00 dengan rata-rata 3.60. Skor tersebut kemudian diubah ke dalam Z-Skor karena
30
SARI & PANGGABEAN
asumsi normalitas berhasil dipenuhi. Berdasarkan skor yang telah diubah tersebut, kemudian ditentukan tiga kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Berikut ini adalah tabel norma dari skor Kepuasan Kerja berdasarkan kategori tersebut (lihat Tabel 4). Tabel 4. Norma Variabel Kepuasan Kerja Norma Rendah Sedang Tinggi
Rentang Skor 2.20 – 3.06 3.08 – 4.11 4.13 – 5.00
Berdasarkan tabel di atas rata-rata skor pada variabel Kepuasan Kerja (3.60) berada dalam kategori Sedang. Hasil ini menunjukkan bahwa harapan para partisipan terhadap hal-hal yang seharusnya diterima dan dirasakan dalam pekerjaannya belum terpenuhi. Untuk mengetahui lebih jauh mengenai gambaran kepuasan kerja, didapatkan dengan melihat frekuensi skor total kepuasan kerja (lihat Tabel 5).
masing aspek pada variabel Kepuasan Kerja (lihat Tabel 6). Tabel 6. Hasil Perhitungan Kategorisasi Aspekaspek Kepuasan Kerja Dimensi Intrinsik Ekstrinsik General Satisfaction
Mean 3.61 3.50 3.75
Kategorisasi Sedang Sedang Sedang
Berdasarkan hasil perhitungan kategorisasi aspek-aspek kepuasan kerja, nilai mean yang dimiliki oleh masing-masing aspek berada pada kategori sedang, hal ini menunjukkan persepsi partisipan terhadap aspek penghargaan (intrinsik), aspek imbalan (ekstrinsik) dan persepsi partisipan terhadap aspek kondisi kerja serta rekan kerja (general satisfaction) belum sesuai dengan harapan. Terdapat dua puluh dimensi pada kepuasan kerja yang diukur dalam penelitian ini. Nilai rata-rata pada setiap dimensi kemudian dibuat kategorisasi sebagai berikut (lihat Tabel 7).
Tabel 5. Frekuensi Skor Total Kepuasan Kerja Norma Rendah Sedang Tinggi Total
Frekuensi 32 148 27 207
Persentase 15.45 % 71.49 % 13.04 % 100 %
Berdasarkan tabel di atas, secara spesifik gambaran kategori norma yang menunjukkan prosentase tersebar dengan jumlah frekuensi yang cukup besar berada pada kategori sedang dan rendah, yaitu 180 orang (86.8%). Sedangkan frekuensi pada kategori tinggi sebanyak 27 orang (13.04%). Sehingga dapat disimpulkan berdasarkan frekuensi, para CMO di PT. ABC belum mencapai kepuasan kerja. Kepuasan kerja memiliki tiga aspek utama yaitu intrinsik, ekstrinsik dan general satisfaction. Berikut hasil perhitungan kategorisasi yang dilakukan pada masing-
Tabel 7. Kategorisasi Kepuasan Kerja Norma Rendah Sedang Tinggi
Dimensi
Variabel
Rentang Skor 3.29 – 3.52 3.53 – 3.62 3.63 – 3.97
Berdasarkan tabel di atas, berikut hasil perhitungan kategorisasi yang dilakukan pada masing-masing dimensi (lihat Tabel 8). Untuk memastikan signifikansi perbedaan kategorisasi pada tabel di atas, maka dilakukan analisis uji beda antar dimensi dalam variabel yang dilakukan dengan menggunakan Kruskal-Wallis Test (lihat Tabel 9). Dari hasil uji beda, diketahui bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari masing dimensi pada variabel Kepuasan Kerja (sig=0.000 < 0.05). Hasil data di atas dapat
KEPUASAN KERJA
dinyatakan bahwa terdapat perbedaan penilaian kepuasan kerja pada tiap dimensi. Berdasarkan data di atas, responden memberikan penilaian kepuasan kerja yang rendah pada enam dimensi yaitu dimensi compensation, security, company policies and practices, working conditions, moral values, social status. Tabel 8. Hasil Perhitungan Dimensi dalam Variabel Kepuasan Kerja
Tabel 9. Uji Beda Dimensi pada Variabel Kepuasan Kerja Test Statistics Chi-Square df Asymp. Sig. Kruskal Wallis Test Grouping Variable: Dimensi
Skor 188.893 19 .000
Diskusi Jika dilihat dari seluruh dimensi kepuasan kerja, dimensi compensation merupakan dimensi yang memiliki nilai kepuasan kerja yang paling rendah. Handoko (1993) mengemukakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan atas kompensasi yang diterima adalah fungsi dari ketidakcocokan antara apa yang diharapkan dengan kenyataan yang diterima oleh seseorang. Kepuasan kompensasi
31
dapat memprediksi tingkat absensi dan turnover karyawan. Bila kompensasi tidak kompetitif dan tidak memenuhi prinsip keadilan, maka akan berimplikasi banyaknya karyawan yang baik akan keluar. Pada perusahaan ini, tidak tercapainya kepuasan kerja CMO pada dimensi compensation disebabkan karena para CMO merasa tidak menerima informasi dan penjelasan yang komprehensif mengenai kebijakan yang ditetapkan perusahaan terkait dengan pendapatan mereka seperti insentif atau bonus. Sedangkan pihak perusahaan merasa telah mensosialisasikan dan menginformasikan dengan jelas segala kebijakan yang telah ditetapkan kepada regional dan cabang agar dapat diteruskan kepada CMO. Penyampaian informasi yang tidak berjalan dengan lancar membuat CMO tidak menerima informasi dengan jelas dan lengkap sehingga memicu munculnya perasaan bahwa kebijakan tersebut dianggap tidak berpihak kepada mereka. Hal ini kemudian yang menyebabkan tidak tercapainya kepuasan kerja pada dimensi compensation. Sedangkan untuk dimensi security dan company policies and practices mendapatkan penilaian kepuasan kerja yang juga rendah karena terkait dengan skala organisasi PT ABC yang cukup besar yaitu lima puluh tujuh cabang yang tersebar di sembilan wilayah regional yang mencakup sebagian besar provinsi di Indonesia. Sampai saat ini perusahaan masih terus berusaha untuk membuat sistem komunikasi organisasi yang mapan dan dapat digunakan untuk menyampaikan informasi tentang kebijakan dan peraturan kepada karyawan, dalam hal ini CMO. Berdasarkan informasi dari Kepala Divisi People Development PT. ABC dan timnya, kantor pusat membuat kebijakan dan peraturan sesuai dengan kebutuhan dengan segala pertimbangan
32
SARI & PANGGABEAN
yang tentunya tidak memberatkan CMO. Kebijakan dan peraturan tersebut kemudian seharusnya disosialisasikan ke regional dalam bentuk email ataupun meeting dan forum. Regional akan melanjutkan informasi tersebut ke kepala cabang yang kemudian akan dilanjutkan lagi kepada kepala marketing hingga kemudian informasi tersebut sampai kepada para CMO. Karena rantai yang cukup panjang tersebut, kemungkinan besar informasi dan penjelasan terkait kebijakan serta peraturan yang disampaikan tidak diterima dengan maksimal. Tidak adanya kontrol dan evaluasi mengenai efektivitas sosialisasi yang sudah dilakukan diduga menjadi penyebab terhambatnya informasi mengenai kebijakan dan peraturan perusahaan kepada para CMO. Jika secara umum kepuasan kerja lebih banyak dipengaruhi oleh jumlah kompensasi yang didapat, justru hal yang cukup mempengaruhi kepuasan kerja bagi para marketing adalah aturan dan kebijakan perusahaan yang terkait dengan pekerjaan mereka. Hal ini sesuai dengan temuan pada penelitian ini dimana aspek aturan dan kebijakan perusahaan (company policies and practices) merupakan salah satu aspek kepuasan kerja yang memiliki penilaian rendah yang perlu diperhatikan setelah aspek kompensasi. Tenaga Marketing, terutama yang berada pada perusahaan pembiayaan otomotif, lebih banyak menjalankan pekerjaannya di luar kantor. Mereka secara aktif mencari dan membangun relasi dengan calon pelanggan, pihak dealer maupun orang-orang yang sudah menjadi pelanggan. Untuk mengontrol pekerjaan para marketing di lapangan, pihak perusahaan membuat sejumlah aturan dan kebijakan agar pelaksanaan di lapangan dapat tetap berjalan sesuai yang diharapkan. Namun seringkali
aturan dan kebijakan yang diberlakukan oleh perusahaan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan sehingga dianggap menyulitkan dan bahkan menghambat pelaksanaan kerja para marketing tersebut. Hal yang paling sering dikeluhkan adalah proses verifikasi dan persetujuan kredit yang panjang dan terlalu kaku membuat para calon pelanggan cemas dan beralih memilih produk lain. Pada tenaga marketing, aspek aturan dan kebijakan perusahaan (company policies and practices) menjadi aspek yang cukup kuat yang perlu diperhatikan. Karena aturan dan kebijakan merupakan representasi bagaimana perusahaan membangun ruang bagi para karyawan untuk bekerja dalam situasi di luar kantor. Berbeda dengan tenaga marketing, beberapa penelitian pada bidang kerja lain menunjukkan bahwa aspek kompensasi merupakan aspek kepuasan kerja yang seringkali mendapatkan penilaian terendah. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Noor (2010) dan Farhadjafari (2014) yang meneliti kepuasan kerja pada karyawan dan tenaga ahli di rumah sakit. Kompensasi menjadi aspek utama yang mendapatkan penilaian terendah dan berpengaruh signifikan terhadap kepuasan kerja para karyawan dan tenaga ahli tersebut. Sejalan dengan penjelasan tersebut, penelitian yang dilakukan oleh Bambang (2008) pada tenaga ahli kecantikan pada sebuah brand ternama yang juga menunjukkan bahwa kompensasi memiliki pengaruh paling dominan terhadap kepuasan kerja. Limitasi Penelitian Penelitian ini berfokus pada CMO dengan melibatkan berbagai kelompok sampel, seperti usia, jabatan, latar belakang pendidikan, regional dan masa kerja. Dengan variasi sampel yang cukup banyak dan tersebar di seluruh cabang di Indonesia serta waktu dan biaya
KEPUASAN KERJA
pengambilan data yang terbatas, maka peneliti memutuskan untuk melakukan pengambilan data dengan metode kuantitatif. Namun dalam menganalisa hasil perhitungan kuantitatif peneliti merasakan data yang didapat akan lebih mendalam jika dilengkapi dengan data kualitatif. Melalui data kualitatif tentunya akan membantu peneliti untuk menggali dan mengkonfirmasi data-data dari hasil perhitungan kuantitatif. Pada pelaksanaan penelitian ini, keterbatasan untuk mengakses data juga menjadi hambatan. Terdapat beberapa data yang dianggap sesnsitif bagi perusahaan untuk dibagikan sehingga perlu waktu yang panjang dalam perizinan, seperti data turnover, data exit interview, data insentif dan lain sebagainya. Selain itu, jumlah CMO di lapangan terus berubah tiap bulannya karena di beberapa cabang terdapat CMO yang keluar atau dipindahkan ke cabang lain. Hal ini mempengaruhi pengambilan sampel yang menggunakan teknik stratified random sampling. Peta sampel berdasarkan kategori harus dicek dan dirubah jika terjadi perbedaan jumlah CMO di lapangan dengan data yang diterima. Selain itu, data di kantor pusat juga seringkali tidak sama dengan kenyataan di cabang karena belum terinformasikan.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Secara umum kepuasan kerja CMO PT. ABC berada pada tingkat kepuasan sedang. Jika dilihat secara lebih mendalam melalui penyebaran frekuensi partisipan di setiap kategori, tampak adanya dominasi CMO yang berada pada tingkat kepuasan rendah dan
33
sedang. Hal ini juga menunjukkan bahwa CMO PT. ABC belum mencapai kepuasan kerja. Secara lebih spesifik, CMO PT. ABC memiliki kepuasan kerja yang tinggi pada dimensi coworkers (kesempatan memiliki hubungan baik dengan sesama rekan kerja). Sedangkan dua dimensi kepuasan kerja yang mendapatkan penilaian kepuasan kerja paling rendah adalah compensation (besarnya imbalan atau upah yang diterima) dan security (kepastian kerja yang diberikan) Saran Bagi penelitian selanjutnya, terdapat beberapa saran dari segi metode yang mungkin dapat dilakukan, yaitu: a. Untuk penelitian selanjutnya, dapat mempertimbangkan untuk menambahkan metode kualititatif dalam penelitian. Data kualitatif juga cukup dibutuhkan karena akan membantu mendukung analisa data secara umum. Dengan menambahkan metode kualitatif dalam penelitian akan memperkuat hasil kuantitatif yang didapat. b. Dalam melakukan penelitian ini perlu disiapkan sebuah alur komunikasi yang dapat menjembatani perubahan data terkait dengan kelengkapan demografis. Misalnya dengan meminta kepada setiap cabang untuk mengirimkan data CMO terkini minimal per bulan kepada HRD pusat agar peneliti dapat mengakses data terbaru dari HRD pusat sehingga penentuan sampel dan pelaksanaan di lapangan dapat berjalan lancar. c. PT. ABC perlu mempertimbangkan untuk mengevaluasi dimensi yang mendapat penilaian kepuasan kerja paling rendah misalnya seperti compensation dan security. Evaluasi dapat dilakukan dengan FGD kepada CMO untuk mendapatkan data keluhan utama
34
SARI & PANGGABEAN
pada dimensi-dimensi tersebut.
kepuasan
kerja
Rancangan Intervensi
Hasil penelitian yang telah dilakukan pada PT. ABC menunjukkan bahwa dari dua puluh dimensi kepuasan kerja yang diukur, compensation dan security mendapatkan penilaian kepuasan kerja paling rendah. Rendahnya kepuasan kerja pada kedua dimensi tersebut bukan terletak pada sistem atau aturannya, tetapi pada cara penyampaian informasi. Berdasarkan wawancara terpisah dengan pihak manajemen pusat dan CMO di lapangan didapatkan fakta bahwa para CMO seringkali merasa tidak mendapatkan penjelasan mengenai peraturan dan kebijakan yang diterapkan oleh manajemen pusat. Sehingga mereka menilai aturan tersebut tidak jelas dan terkesan tidak transparan. Sedangkan pihak manajemen pusat merasa bahwa keputusan yang diambil merupakan keputusan terbaik untuk CMO yang selama ini selalu disampaikan ke masing-masing cabang. Informasi mengenai peraturan dan kebijakan perusahaan selama ini disampaikan oleh pihak manajemen pusat kepada ke setiap cabang dan diterima oleh Branch Manager (BM). Setelah itu informasi tersebut akan disampaikan kepada CMO dengan menyelipkan agenda pada saat rapat mingguan. Akan tetapi pemilihan rapat mingguan sebagai media penyampaian informasi mengenai peraturan dan kebijakan perusahaan dinilai tidak berjalan dengan baik. Hal ini dikarenakan fokus pada rapat tersebut adalah informasi mengenai target dan hal-hal yang berhubungan dengan penjualan.
Sehingga jika ada informasi mengenai kebijakan atau peraturan perusahaan baru terutama yang berhubungan dengan kepegawaian, tidak tersampaikan dengan baik. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemberian informasi mengenai peraturan dan kebijakan perusahaan antar cabang juga belum terstandarisasi. Di satu cabang penjelasan diberikan secara terperinci, sedangkan di cabang lainnya informasi tersebut hanya disampaikan saja tetapi tidak dijelaskan. Selain itu pimpinan cabang juga belum memiliki acuan atau panduan dalam melaksanakan penyampaian informasi pada rapat mingguan. Hal ini menyebabkan perbedaan penerimaan informasi sehingga setiap CMO mungkin saja memiliki pemahaman yang berbeda terhadap informasi yang disampaikan. Berdasarkan masalah tersebut maka perusahaan perlu membuat sebuah media komunikasi organisasi dengan prosedur operasional yang terstandarisasi atau SOP sebagai acuan pelaksanaan penyampaian informasi peraturan dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian, diharapkan para CMO memperoleh informasi yang komprehensif dan jelas mengenai peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh manajemen pusat sehingga dapat meluruskan pandangan CMO yang mungkin selama ini merasa kurang jelas dan menganggap pihak manajemen kurang transparan. Susanto (2002) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa komunikasi merupakan salah satu sumber kepuasan kerja yang berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Pada rancangan intervensi ini, media rapat sebagai sarana komunikasi organisasi perlu
KEPUASAN KERJA
35
dilengkapi dengan SOP karena para karyawan di PT. ABC cukup familiar dengan penerapan SOP dalam pekerjaan mereka sehingga dengan dibuatnya SOP ini diprediksi para CMO akan dapat langsung menerapkannya dan membantu masalah yang ada. Selain itu saat ini perusahaan belum memiliki SOP pelaksanaan penyampaian peraturan dan kebijakan perusahaan.
digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi banyak juga digunakan untuk kepentingan bisnis, kantor dan organisasi. b. Media Kelompok, yaitu media yang digunakan dalam aktivitas komunikasi yang melibatkan banyak orang, misalnya: rapat, seminar dan konferensi. Rapat biasanya digunakan untuk membicarakan informasi penting terkait organisasi.
Komunikasi Organisasi Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal pada sebuah organisasi (Wiryanto, dalam Khomsahrial, 2011). Komunikasi formal merupakan komunikasi yang disetujui oleh organisasi tersebut dan berorientasi pada kepentingan organisasi. Sedangkan komunikasi informal merupakan komunikasi yang disetujui oleh sosial dan berorientasi pada anggotanya secara individual, bukan pada organisasi. Arni (2009) menjelaskan bahwa komunikasi organisasi merupakan sebuah proses menciptakan dan saling menukar pesan dalam suatu jaringan hubungan yang saling bergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang selalu berubah-ubah. Media merupakan alat atau saran yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada komunikan atau khalayak. Terdapat beberapa macam media komunikasi dalam organisasi, yaitu: a. Media Antar Pribadi, yaitu bentuk media komunikasi antar pribadi antara lain telepon dan email. Seiring dengan berkembangnya teknologi, penggunaan telepon genggam dan email semakin tinggi. Saat ini penggunaan media komunikasi pribadi tidak hanya
Standard Operating Procedure (SOP) Standar Prosedur Operasional (SOP) merupakan sistem yang disusun untuk memudahkan, merapihkan dan menertibkan pekerjaan. Sistem ini berisi urutan proses melakukan pekerjaan dari awal sampai akhir. Hartatik (2014) menjelaskan SOP adalah satu set instruksi tertulis yang digunakan untuk kegiatan rutin atau aktivitas yang berulang kali dilakukan oleh sebuah organisasi. SOP juga merupakan panduan yang digunakan untuk memastikan kegiatan operasional organisasi atau perusahaan berjalan dengan lancar (Sailendra, 2015). SOP sebagai suatu instrumen yang memuat tentang proses dan prosedur suatu kegiatan yang bersifat efektif dan efisien berdasarkan suatu standar yang baku. Pengembangan instrumen manajemen tersebut dimaksudkan untuk memastikan bahwa proses yang berjalan dapat terkendali dan sesuai dengan ketentuan yang ada. Rancangan Intervensi Pada rancangan intervensi ini, media rapat sebagai sarana komunikasi organisasi perlu akan dilengkapi dengan dengan SOP. Adapun hal-hal penting yang disusun dalam SOP antara lain: a. Tujuan
36
SARI & PANGGABEAN
Pada bagian ini dijelaskan tujuan dari diberlakukannya SOP dalam memberikan informasi mengenai peraturan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh perusahaan b. Cakupan Bagian ini menjelaskan siapa saja yang terlibat dalam pelaksanaan SOP, yaitu Kepala cabang dan CMO c. Definisi Pada bagian ini dijelaskan definisi dari masing-masing hal dan bagian yang terlibat dalam pelaksanaan SOP seperti definisi Peraturan/kebijakan Perusahaan dan Penyampaian peraturan/kebijakan kepada Kepala Cabang dan CMO d. Dokumen Memuat daftar dokumen yang diperlukan dalam pelaksanaan SOP seperti buklet peraturan/kebijakan perusahaan, lembar absensi dan lembar notulen rapat e. Pelaksanaan Jika sebelumnya pemberian informasi dilakukan ketika rapat mingguan, maka pada intervensi ini akan dibuatkan sebuah rapat terpisah yang khusus membahas kebijakan/peraturan baru. Waktu pelaksanaan dapat disesuaikan dengan kebutuhan, yaitu setiap adanya peraturan/kebijakan baru dari perusahaan f. Rincian Prosedur Pada pelaksanaan rapat, rincian prosedur pelaksanaannya antara lain: Memberikan informasi mengenai adanya informasi baru tentang kebijakan/peraturan baru pada rapat mingguan terdekat; Memberlakukan absensi dan pencatatan pelaksanaan rapat dalam bentuk notulen rapat; Memberikan buklet yang berisikan peraturan/kebijakan baru yang akan disampaikan; Adanya sesi tanya jawab
selama rapat pembahasan berlangsung; Melakukan pendokumentasian rapat sebagai laporan pelaksanaan dari cabang ke manajemen pusat; Menetapkan penanggung jawab untuk setiap satuan kegiatan dalam SOP. Validasi User Rancangan SOP Penyampaian Peraturan/Kebijakan Perusahaan kepada CMO divalidasi oleh pihak PT. ABC yang dihadiri oleh Kepala Divisi Organization Development, Kepala Departemen dan Deputi Organizational & Policy Development. Dalam pertemuan tersebut peneliti memberikan uraian penjelasan mengenai temuan dari penelitian dan saran intervensi yang dapat dilakukan, yaitu pembuatan SOP Penyampaian Peraturan/Kebijakan Perusahaan Kepada CMO agar CMO mendapatkan informasi yang komprehensif mengenai peraturan/kebijakan yang diambil oleh perusahaan. Secara umum masukan yang diperoleh melalui validasi user tersebut adalah adanya Manajemen Pusat yang akan terlibat dalam penyampaian informasi ke cabang hingga sampai ke CMO. Berikut beberapa poin mengenai perubahan rancangan awal SOP berdasarkan hasil validasi oleh pihak perusahaan: a. Cakupan Melibatkan Manajemen Pusat untuk memulai proses awal penyampaian peraturan/kebijakan hingga dengan tahap evaluasi pelaksanaan. Departemen Organizational & Policy Development ditunjuk sebagai wakil dari Manajemen pusat yang bertanggung jawab memastikan proses pelaksanaan SOP berjalan dengan lancar
KEPUASAN KERJA
b. Pelaksanaan Waktu pelaksanaan rapat ditetapkan menjadi tiga bulan sekali dan dilakukan setelah rapat besar evaluasi manajemen pusat dengan regional c. Rincian Prosedur Pada rincian prosedur, hal yang ditambahkan adalah rincian tugas Manajemen Pusat dalam menyampaikan informasi peraturan/kebijakan baru kepada cabang hingga kemudian menerima laporan pelaksanaan sebagai bentuk kontrol dari pelaksanaan SOP dalam rapat.
Referensi Arni, M. (2009). Komunikasi organisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Crocker, L. & Algina, J. (1986). Introduction to classical and modern test theory. Belmont CA: Wadsworth Thomson Learning. George, J. M., G. R. Jones. (2002). Understanding and managing organizational behavior. New Jersey: Prentice Hall. Gibson, J. L, Ivancevich, J. M., & Donnely, J. H. (2000). Organizations: Behaviour, structure, and process (10th ed.). New York: McGraw-Hill Book. Gillies, DA. (1989). Manajemen keperawatan: Suatu pendekatan sistem (2nd ed.). Illioni: WB Saunders Company. Gilmer, B. (1961). Industrial psychology. New York: McGraw Hill. Hastono, H. I. (2013). Hubungan kepuasan kerja dengan motivasi kerja pada karyawan bank BTPN Madiun. Jurnal Psikologi Industri dan Organisasi, 2(2), 1-7. Handoko, T. H. (1993). Manajemen personalia dan sumber daya manusia. Yogyakarta:
37
YKPN. Hartatik, Indah Puji. (2014). Buku praktis mengembangkan SDM. Yogyakarta: Laksana. Judge, T. A., Thoresen, C. J., Picik, V., & Welbourne, T. M. (2001). Managerial coping with organizational change: A dispositional perspective. Journal of Applied Psychology, 84, 107-122. Khomsahrial, R. (2011). Komunikasi organisasi lengkap. Jakarta: Grasindo. Martoyo, Susilo. (1994). Manajemen sumber daya manusia (4th ed.).Yogyakarta: BPFE. Mathis, R. L. & Jackson. J. H (2003). Human resource management (10th ed.). Australia: South-Western. Noe, R., Hollenback, J., Gerhart, B., & Wright, P. (2007). Fundamental of human resource management. New York: McGraw-Hill. Panggabean, M. S. (2002). Manajemen sumber daya manusia. Jakarta: Gahlia Indonesia. Robbins, S. P. (2003). Organizational behavior (10th ed.). New Jersey: Pearson Education Inc. Rosari, Y. D. (2011). Analisis terhadap kepuasan kerja karyawan terhadap keinginan untuk pindah pada PT. X. Jurnal Managemen Atma Jaya, 8(2), 219-232. Sailendra, A. (2015). Langkah-langkah praktis Membuat SOP. Yogyakarta: Trans Idea Publishing. Schermerhorn, J., Hunt, J., & Osborn, R. (1991). Managing organizational behavior (4th ed.). New York: John Wiley & Sons. Spector, P. E. (2008). Industrial and organizational psychology: Research and practice (5th ed.). New York: John Wiley & Sons. Taba, M. I. (2010). Pengaruh komitmen organisasi, prestasi kerja, dan sistem
38
SARI & PANGGABEAN
imbalan terhadap kepuasan kerja karyawan. Jurnal Aplikasi Manajemen, 8(4), 10981104. Wexley, K. N., & Yukl, G. A. (2005). Perilaku organisasi dan psikologi personalia. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
JPIO 2016, Vol. 3, No. 1, 39-53
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF
ISSN 2302-8440
39
Gambaran Dimensi dan Faktor Penyebab Perilaku Kontraproduktif Pada Credit Marketing Officer (CMO) PT. OM Christina Anjar Astya & Elmira N. Sumintardja Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta
This study attempts to describe the dimensions and antecedents of counterproductive work behavior on credit marketing officer of a leasing company. Data are collected through both self-report using Workplace Behavior Survey, developed by Gruys (1999) and a survey of work condition. Those surveys are administered to credit marketing officer (N = 129) from nine regions using Cluster Sampling Technique. Eleven categories of counterproductive work behaviors are measured, which are Theft and related behavior, Destruction of Property, Misuse of Information, Misuse of Time and Resources, Unsafe Behavior, Poor Attendance, Poor Quality Work, Alcohol Use, Drug Use, Inappropriate Verbal Actions and Inappropriate Physical Action. Five antecedent of counterproductive work behaviors such as job characteristics, work group characteristics, organizational culture, control systems, and injustice are also examined. The result shows that Misuse of Time and Resource have the highest tendency to occur. Another dimensions with high tendencies are Poor Attendance and Inappropriate Verbal Actions. Meanwhile, dimensions which categorized as moderate tendencies are Unsafe Behavior, Poor Quality Work, Misuse of Information, Theft and related behavior, and Destruction of Property. Survey of work conditions shows that the most conditions responded by CMOs are Control System and Injustice. Keywords: counterproductive behavior, antecedents, deviance, control system
Persaingan bisnis pembiayaan mobil mendorong perusahaan pembiayaan untuk memiliki strategi yang baik dan personel yang siap menghadapi berbagai tantangan kerja di lapangan serta tuntutan untuk mencapai target. Tuntutan kerja marketing sebagai ujung tombak perusahaan mendorong para credit marketing
officer (CMO) untuk melakukan berbagai strategi untuk bisa mencapai target yang telah ditetapkan. Pada pelaksanaannya seringkali CMO dihadapkan pada sejumlah tantangan untuk melakukan pelanggaran. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa telah terjadi pelanggaran terkait tugas dan tanggung jawab 39
40
ASTYA & SUMINTARDJA
CMO. Pelanggaran yang terjadi yang terkait dengan kewajibannya melakukan survey antara lain tidak melakukan survey dengan teliti, tidak melakukan survey lingkungan yang berakibat pada pemalsuan foto aset pelanggan (rumah/kantor), pemalsuan data customer seperti kartu keluarga, KTP, fotokopi tabungan, slip gaji, dan surat keterangan kerja. Kemudian terkait dengan tugas untuk menganalisa kemampuan pelanggan, ada kalanya CMO sengaja melakukan upping capacity, yaitu menuliskan besar penghasilan pelanggan lebih tinggi ketika pengajuan kredit agar pengajuan diterima dan baru menyusulkan lampiran slip gaji di kemudian hari. Pelanggaran yang terjadi ketika kunjungan dealer adalah CMO menerima sejumlah uang dari dealer untuk meloloskan pengajuan kredit yang sebenarnya tidak memenuhi syarat. Cukup banyak juga dealer yang mengambil jalan pintas dengan memberikan sejumlah uang atau barang kepada CMO agar aplikasi kreditnya segera diproses dan disetujui oleh PT. OM. CMO tersebut kemudian menjadi lebih memprioritaskan aplikasi dari dealer tersebut walaupun mungkin kualitas pelanggannya kurang baik. Apabila pelanggaran-pelanggaran tersebut dilakukan dan aplikasi kreditnya disetujui, maka perusahaan memberikan kredit kepada pelanggan yang berpotensi menyebabkan kredit macet. Ketika kredit macet terjadi pun masih terdapat celah bagi CMO untuk melakukan pelanggaran, yaitu dengan cara membayarkan terlebih dahulu angsuran pelanggan selama enam bulan agar performa kerjanya terlihat baik berdasarkan kriteria penilaian performa CMO. Apabila terjadi kredit macet maka mobil yang dijaminkan tersebut akan ditarik oleh PT. OM dan nantinya akan dilelang. Bagi perusahaan hal
ini tentunya merupakan kerugian finansial dimana perusahaan sudah terlanjur membayarkan kepada pihak dealer namun uang tersebut tidak kembali sebagaimana mestinya. Pelanggaran lain yang tidak terkait langsung dengan tugas CMO namun tetap berakibat negatif terhadap perusahaan antara lain datang terlambat dan tidak kembali ke kantor tanpa kabar, meninggalkan pekerjaan untuk urusan pribadi, tidak masuk kerja dengan alasan yang tidak jelas atau bahkan tidak memberi kabar, menjalankan bisnis pribadi ketika jam kerja, menggunakan mobil operasional kantor untuk urusan pribadi, memalsukan bon reimburse pembelian BBM, dan bersama dengan atasan menggunakan insentif mingguan CMO untuk acara informal para CMO. Perilaku pelanggaran yang dilakukan oleh CMO tersebut sejalan dengan pengertian dari perilaku kontraproduktif, yaitu perilaku yang dilakukan dengan sengaja oleh anggota organisasi/karyawan yang dinilai sebagai perilaku yang bertentangan dengan tujuan organisasi (Gruys & Sackett, 2003). Perilakuperilaku tersebut juga menggambarkan beberapa dimensi yang dikemukakan oleh Gruys (1999), yaitu penyalahgunaan informasi, penyalahgunaan waktu, pencurian dan sejenisnya dan absensi. Berdasarkan temuan audit, pada tahun 2015 terdapat 155 dari total 424 CMO atau sekitar 36% melakukan pelanggaran dan mendapat konsekuensi berupa surat teguran (ST) dan surat peringatan (SP1 – SP3). Jumlah tersebut telah mengalami penurunan dari 183 kasus pada tahun 2014. Pelanggaran ini terjadi hampir di seluruh cabang dan cukup merata baik di cabang besar, cabang sedang maupun cabang kecil.
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF
Perilaku kontraproduktif bisa disebabkan oleh faktor situasional karakteristik pekerjaan, karakteristik kelompok kerja, budaya organisasi, sistem kontrol dan ketidakadilan dalam organisasi (Sackett & DeVore, 2001). Terkait dengan sejumlah pelanggaran yang terjadi, PT. OM telah berusaha mengupayakan beberapa hal untuk mengontrol faktor situasional tersebut, seperti membuat aturan dan SOP bagi CMO, menyusun mekanisme pemberian sanksi, menyusun mekanisme pemberian insentif, dan mekanisme penilaian kinerja namun pelanggaran tersebut tetap terjadi. Usaha untuk mengontrol faktor situasional tersebut sayangnya tidak disertai dengan evaluasi terhadap efektifitas penerapannya. Para pimpinan cabang juga tidak banyak membahas mengenai perilaku kerja bawahannya. Pada pertemuan seperti briefing atau meeting mingguan di cabang umumnya hanya membahas mengenai pencapaian target dan tidak pernah ada evaluasi mengenai perilaku kerja CMO. Selain itu tidak dilakukan juga pemeliharaan soft skill melalui bentuk-bentuk pelatihan oleh departemen learning center. Yang dilakukan oleh perusahaan terkait pelanggaran ini selama ini hanyalah melaksanakan sistem punishment yang ada, tanpa diimbangi bentuk-bentuk apresiasi atas kejujuran dan kepatuhan pada CMO. Dimensi Perilaku Kontraproduktif dan Faktor Penyebabnya Penelitian terdahulu lebih banyak membahas secara spesifik dan terpisah-pisah mengenai bentuk-bentuk perilaku kontraproduktif, seperti perilaku pencurian, sabotase, ketidakhadiran, dan performa kerja lambat dan tidak rapi (Altheide, Adler, Adler
41
dan Altheide, 1978; Bensman dan Gerver, 1963; Henry, 1978a, 1978b; Horning, 1970; Robin, 1970; Roy, 1952; Taylor dan Walton, 1971). Kemudian penelitian berkembang dan berusaha memahami konsep perilaku kontraproduktif dengan cara membuat kategorikategori yang lebih terstrukur. Hollinger dan Clark (1982, 1983a, 1983b) berusaha mengelompokkan sejumlah perilaku kontraproduktif yang spesifik ke dalam dua kategori yaitu property deviance (penyalahgunaan asset perusahaan, seperti pencurian, perusakan properti dan penyalahgunaan diskon karyawan) dan production deviance (meliputi pelanggaran norma mengenai cara penyelesaian tugas, seperti absen, bekerja lambat, mengambil jam istirahat lebih lama serta perilaku yang terkait penggunaan alkohol dan kecenderungan untuk bekerja asal-asalan), dimana latar belakang penelitiannya lebih banyak pada karyawan pabrik dan retail. Robinson dan Bennett (1995) dalam penelitiannya menambahkan dua kategori selain property deviance dan production deviance yang dikemukakan oleh Hollinger dan Clark (1983a), yaitu personal aggression (meliputi perilaku kontraproduktif terhadap individu seperti pelecehan dan pencurian dari rekan kerja) dan political deviance (penyebaran issue, menyalahkan orang lain atas kesalahan yang dibuat, dan favoritisme atau pilih kasih). Penelitian berikutnya dilakukan oleh Gruys dan Sackett (2003) yang mengkaji lebih dari 250 perilaku kontraproduktif dari sejumlah literatur dan menghasilkan 11 dimensi perilaku kontraproduktif. dimensi tersebut adalah pencurian dan sejenisnya, perusakan properti, penyalahgunaan informasi, penyalahgunaan waktu dan sumber daya, perilaku tidak aman,
42
ASTYA & SUMINTARDJA
absensi, kualitas kerja buruk, penyalahgunaan alkohol, penyalahgunaan obat terlarang, perkataan tidak pantas dan tindakan fisik yang tidak pantas (Gruys & Sackett, 2003). Dimensionalitas yang dikemukakan oleh Gruys dan Sackett (2003) ini dinilai paling lengkap dan dapat mewakili perilaku kerja di masa sekarang. Menurut Sackett & DeVore (2001), perilaku kontraproduktif disebabkan oleh faktor situasional sebagai berikut: 1. Karakteristik pekerjaan, yang meliputi keragaman keterampilan kerja, identitas tugas, wewenang, otonomi untuk melakukan perencanaan dan penyelesaian tugas, tantangan dalam bekerja, tanggung jawab dan umpan balik akan mengarah pada sejumlah pengalaman psikologis (merasa memiliki pekerjaan yang berarti, merasa bertanggung jawab akan tugastugas dan pengetahuan akan outcome dari aktivitas-aktivitas dalam pekerjaan). 2. Karakteristik kelompok kerja, dimana perilaku kontraproduktif bisa terjadi karena adanya pola perilaku dalam kelompok serta kelekatan antar anggota kelompok. 3. Budaya organisasi, yaitu budaya kejujuran di perusahaan (climate of honesty). Persepsi karyawan mengenai ada atau tidaknya kode etik yang kuat, tingkat kejujuran dari manajemen atas pendisiplinan dan pemberitaan/publisitas atas ditemukannya pelanggaran, akan mempengaruhi perilaku karyawan dan kecenderungannya untuk terlibat atau tidak dengan perilaku kontraproduktif. 4. Sistem kontrol, yaitu suatu prosedur dalam perusahaan yang secara khusus dibuat untuk mencegah terjadinya perilaku kontraproduktif dengan cara meningkatkan
5.
resiko terdeteksi atau meningkatkan hukuman/penalty atas perilaku kontraproduktif tersebut. Ketidakadilan dalam organisasi, yaitu keadilan antara usaha yang diberikan dengan imbalan yang didapat, serta keseimbangan alokasi reward-punishment di perusahaan.
Kerangka pemikiran Sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh para CMO menggambarkan bahwa perilaku kontraproduktif yang terjadi di PT. OM dinilai cukup besar dan perlu mendapat perhatian dari perusahaan. Bentuk perilaku kontraproduktif yang terjadi pun beragam, sehingga untuk mengatasi permasalahan tersebut perusahaan perlu mengetahui bentuk perilaku apa yang paling menonjol terjadi pada CMO. Oleh karena itu, pengukuran perilaku kontraproduktif dengan menggunakan sebelas dimensi perilaku dari Gruys dan Sackett (2003) dilakukan untuk melihat dimensi mana yang paling menonjol, baik itu yang sesuai dengan fenomena yang terjadi maupun kecenderungan perilaku yang selama ini belum muncul. Selain pengukuran dimensi perilaku kontraproduktif, penting pula bagi perusahaan untuk mengetahui faktor apa yang paling banyak berkontribusi pada pelanggaran CMO tersebut. Dengan mengetahui dimensi dan faktor yang menonjol dalam konteks kerja CMO, maka perusahaan akan dapat mengambil langkah penyelesaian masalah yang tepat sasaran.
Metode Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah para Credit marketing officer (CMO) PT. OM yang
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF
berstatus karyawan tetap dan memegang jabatan CMO Junior, CMO Middle maupun CMO Senior, yaitu sebanyak 424 karyawan yang tersebar di 57 cabang di Indonesia. Sampel penelitian dipilih menggunakan cluster sampling berdasarkan pembagian regional kerja CMO. Prosentase jumlah sampel yang diambil untuk tiap regional adalah 60%, dengan simulasi sebagai berikut (lihat Tabel 1). Tabel 1. Simulasi Cluster Sampling Regional Populasi Sampel DKI 1 73 37 DKI 2 75 38 Jawa Barat 51 26 Jawa Tengah 35 18 Jawa Timur 45 23 Kalimantan46 23 Sulawesi NTB-Bali 14 8 Sumbagsel 40 20 Sumbagut 46 23 Total 424 216 Alat Ukur Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Workplace Behavior Survey yang dikembangkan oleh Gruys (1999), dengan jumlah 66 item yang terbagi dalam sebelas dimensi perilaku. Dimensi perilaku yang diukur adalah pencurian dan sejenisnya, perusakan properti, penyalahgunaan informasi, penyalahgunaan waktu dan sumber daya, perilaku tidak aman, absensi, kualitas kerja buruk, penyalahgunaan alkohol, penyalahgunaan obat terlarang, perkataan tidak pantas dan tindakan fisik yang tidak pantas. Item-item tersebut akan disajikan secara acak dan tidak terbagi dalam kategori-kategori. Alat ukur ini menggunakan 7 poin skala, dimana skala 1 menggambarkan “apapun
43
situasinya, saya tidak akan terlibat dalam perilaku tersebut” dan skala 7 menggambarkan “pada berbagai situasi, saya akan terlibat pada perilaku tersebut”. partisipan diminta untuk menjawab tiap pernyataan dengan mempertimbangkan sejumlah situasi yaitu kondisi kerja, penalti atau hukuman yang mungkin diterima, perilaku tidak adil dan tingkat kepuasan kerja. Partisipan juga akan diminta mengisi data-data demografis antara lain usia, masa kerja, jabatan, tingkat pendidikan, status marital dan regional penempatan kerja. Untuk pengukuran faktor penyebab perilaku kontraproduktif alat ukur dibuat berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Sackett & DeVore (2001), yaitu yang mengukur faktor karakteristik pekerjaan, karakteristik kelompok kerja, budaya organisasi, sistem kontrol dan ketidakadilan dalam organisasi. Kuesioner tersebut terdiri dari 22 item dengan dua pilihan jawaban “Ya” dan “Tidak”. Pada penelitian ini dilakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap alat ukur Workplace Behavior Survey. Uji validitas dilakukan dengan menggunakan metode content validity, yaitu dengan melakukan penerjemahan terhadap alat tes yang dilanjutkan dengan proses expert judgement untuk memastikan ketepatan bahasa atau kalimat item dalam mengukur konstruk. Expert judgement dilakukan oleh dosen pembimbing dan Kepala Divisi Organization Development PT. OM. Selain itu dilakukan juga pengujian validitas item dengan menggunakan corrected item total correlation dan menghasilkan 59 item valid, 3 item membutuhkan sedikit revisi dan 2 item dieliminasi. Dengan demikian pengambilan data riil dilakukan dengan menggunakan 64 item. Perhitungan reliabilitas dengan
44
ASTYA & SUMINTARDJA
menggunakan alpha Cronbach menghasilkan koefisien reliabilitas sebesar 0.96. Menurut Nunnally (dalam Spector, 2008), nilai koefisien reliabilitas di atas 0.7 dianggap memiliki konsistensi yang tinggi dalam mengukur konstruk. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa alat tes ini reliabel dalam mengukur kecenderungan perilaku kontraproduktif. Mengingat bahwa topik perilaku kontraproduktif merupakan topik yang sensitif dan memiliki social desirability tinggi, maka dilakukan beberapa prosedur kontrol bias untuk mengatasi hal tersebut. Pengisian data karyawan menggunakan anonimitas dimana responden boleh tidak memberi nama atau mengisi dengan nama samaran maupun inisial yang bukan merupakan three letter code resmi karyawan. Selain itu masing-masing responden diberikan amplop dimana setelah responden selesai mengisi kuesioner, peneliti akan meminta dan memastikan responden untuk memasukkan kuesioner ke dalam amplop dan menyegelnya. Dengan demikian responden melihat sendiri bahwa kuesioner tersebut tersegel dan terjaga kerahasiaannya, serta identitas pemiliknya pun tidak diketahui.
Hasil Dari 216 kuesioner yang disebarkan terdapat 207 kuesioner yang kembali, namun tidak semua data lengkap dan dapat digunakan. Data yang digunakan dalam perhitungan dan analisa sebanyak 129 data dengan gambaran demografis sebagai Tabel 2. Berdasarkan data demografis, partisipan penelitian didominasi oleh CMO pada rentang usia 27-35 tahun (n = 96; 74%), berstatus marital menikah (n = 104; 81%) dan berada pada level jabatan CMO Junior (n = 82; 64%).
Tabel 2. Data Demografis Partisipan Penelitian Data Demografi Usia
Pendidikan
Jabatan
Status Marital Masa Kerja
Regional
Di bawah 27 tahun 27-35 tahun Di atas 35 tahun SMA dan D1 D3 S1 dan S2 Junior Medior Senior Menikah Belum Menikah Di bawah 2 tahun 2-5 tahun Di atas 5 tahun DKI 1 DKI 2 Jawa Barat Jawa Tengah Jawa timur NTB dan Bali Kalimantan dan Sulawesi Sumatera bag Utara Sumatera bag Selatan
Frekuens i 11
Presentase 9%
96 22 1 23 105 82 46 1 104 25 6
74 % 17 % 1% 18 % 81 % 64 % 36 % 1 % 81 % 19 % 5%
63 60 12 11 17 18 27 4 12
49 % 47 % 10.26 % 10.28 % 26.15 % 45 % 37.50 % 7.02 % 15.79 %
18
28,57 %
10
38,46 %
Di dalam penelitian ini terdapat 11 dimensi perilaku kontraproduktif yang diukur. Uji normalitas menggunakan Shapiro-Wilk menghasilkan p-value > 0.005 untuk semua dimensi. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi penyebaran data pada 11 dimensi tersebut tidak normal. Oleh karena penyebaran data pada sebelas dimensi tersebut tidak normal, maka kategorisasi dimensi dilakukan dengan menggunakan persentil 33.3 dan 66.7. Nilai composite mean atau nilai rata-rata tiap dimensi digunakan dalam kategorisasi sebagai berikut (lihat Tabel 3).
45
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF
Tabel 3. Kategorisasi Skor Dimensi Norma Rentang Skor 1.14 – 1.29 1.30 – 1.84 1.85 – 1.94
Rendah Sedang Tinggi
Berdasarkan tabel di atas, berikut kategorisasi yang terbentuk untuk 11 dimensi (lihat Tabel 4). Tabel 4. Kategorisasi Kontraproduktif Dimensi
Penyalahgunaan Waktu & Sumber Daya Perkataan Tidak Pantas Absensi/Kehadiran Buruk Perilaku Tidak Aman Penyalahgunaan Informasi Kualitas Kerja Buruk Perusakan Properti Pencurian dan Sejenisnya Tindakan Fisik Tidak Pantas Penyalahgunaan Alkohol Penyalahgunaan Obat
Dimensi
Perilaku
Composite Mean
Kategori
1.94
Tinggi
1.91 1.90 1.84 1.59 1.59 1.34 1.29 1.20 1.18 1.14
Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah
CMO sebagai pekerja lapangan memiliki jam kerja yang tidak terikat secara mutlak pada aturan jam kerja umum di perusahaan. Mereka memiliki keleluasaan untuk mengatur penyelesaian tugas mereka agar mencapai target penjualan bulanan. Dalam proses pencapaian target ini para CMO dituntut untuk dapat mencari pelanggan sebanyak-banyaknya, mengatur prioritas penyelesaian tugas sekaligus tetap menjaga kualitas kinerjanya. Kualitas kinerja yang dimaksud adalah kelayakan pelanggan untuk diberi pembiayaan kredit yang nantinya dinilai berdasarkan kelancaran pembayaran angsuran oleh pelanggan. Kondisi kerja seperti ini memungkinkan terjadinya penyalahgunaan waktu dan sumber daya dan kehadiran oleh para karyawan serta perilaku lain terkait tugas mereka di lapangan,
termasuk di dalamnya cara bicara yang lebih bebas dibanding di back office. Mobilitas kerja di lapangan juga meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku tidak aman dalam berlalu lintas. Kondisi kerja lain yang juga memungkinkan terjadinya perilaku kontraproduktif dalam skala yang lebih kecil adalah kesempatan untuk meminta atau menerima uang jasa dari pelanggan untuk memperlancar proses kredit. Hal ini jarang terjadi di PT. OM, namun kebiasaan menerima uang atas balas jasa yang terjadi di masyarakat meningkatkan kemungkinan terjadinya perilaku suap-menyuap salam proses pengajuan kredit. Dalam upayanya mencari pelanggan, CMO tidak diwajibkan untuk melakukan ‘entertain’ dalam membina hubungan baik dengan pihak dealer. Dalam hal ini aktivitas CMO terhadap bentuk-bentuk entertain yang melibatkan penyalahgunaan alkohol, obat terlarang maupun tindakan fisik yang tidak pantas relatif tidak ada. Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap beberapa atasan langsung CMO diketahui bahwa perilaku-perilaku tersebut umumnya tidak terkait pada upaya penyelesaian pekerjaan, melainkan kembali ke pribadi masing-masing CMO. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4, untuk memastikan bahwa 11 dimensi tersebut berbeda secara signifikan, dilakukanlah analisis uji beda dengan menggunakan Friedman Test. Tabel 5. Uji Kontraproduktif Test Statistics Chi-Square df Asymp. Sig. Friedman Test
Beda
Dimensi
Perilaku
Skor 1117.975 10 .000
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa
46
ASTYA & SUMINTARDJA
terdapat perbedaan yang signifikan dari masingmasing dimensi (sig = 0.000, p<0.05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan kecenderungan perilaku kontraproduktif pada tiap dimensi. Berdasarkan tabel kategorisasi dimensi, para CMO memiliki kecenderungan tinggi untuk terlibat dalam perilaku penyalahgunaan waktu dan sumber daya, absensi dan perkataan tidak pantas. Para CMO juga memiliki kecenderungan sedang untuk terlibat dalam perilaku tidak aman, penyalahgunaan informasi, kualitas kerja buruk, perusakan properti serta pencurian dan sejenisnya. Pengkategorian berdasarkan persentil 33.3 dengan 66.7 diaplikasikan juga untuk mengategorikan tiap item dalam dimensi yang masuk dalam kecenderungan tinggi dan sedang. Hal ini dilakukan untuk melihat item perilaku mana yang paling tinggi kecenderungannya untuk dilakukan oleh para CMO pada masing-masing dimensi (lihat Tabel 6). Tabel 6. Korelasi Dimensi Dengan Usia dan Masa Kerja Dimensi
Kategori
Penyalahgunaan waktu, sumber daya Perkataan tidak pantas Absensi Perilaku tidak aman Kualitas kerja buruk Penyalahgunaan informasi Perusakan properti Pencurian dan sejenisnya Tindakan tidak pantas Penyalahgunaan alkohol Penyalahgunaan obat
Tinggi
Demografis Masa Usia Kerja 0.045 -0.014
Tinggi Tinggi Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Rendah Rendah Rendah
0.302 -0.141 -0.022 -0.004 -0.096 -0.082 -0.086 0.078 0.103 0.027
0.094 -0.102 -0.096 0.074 0.082 -0.044 -0.031 0.066 -0.120 -0.142
Tabel 6 di atas menunjukkan bahwa CMO yang berusia lebih tua memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk berkata tidak pantas. Sementara hasil perhitungan yang tidak signifikan antara dimensi dengan masa kerja
menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kecenderungan perilaku kontraproduktif dengan masa kerja CMO. Tabel 7. Hasil Perhitungan Berdasarkan Data Demografis Dimensi Penyalahgunaan waktu, sumber daya Absensi Perkataan tidak pantas Perilaku tidak aman Kualitas kerja buruk Penyalahgunaan informasi Perusakan properti Pencurian dan sejenisnya Penyalahgunaan alkohol Penyalahgunaan obat Tindakan tidak pantas
Uji
Beda
Regional
Tinggi
0.089
Demografis Masa Jabatan Kerja 0.339 0.916
Tinggi Tinggi
0.444 0.002
0.686 0.211
0.744 0.306
0.079 0.347
Sedang
0.952
0.626
0.471
0.177
Sedang
0.439
0.582
0.339
0.237
Sedang
0.876
0.382
0.944
0.113
Sedang
0.795
0.470
0.593
0.034
Sedang
0.236
0.252
0.415
0.007
Rendah
0.441
0.589
0.732
0.002
Rendah
0.181
0.036
0.437
0.027
Rendah
0.273
0.488
0.312
0.006
Kategori
Usia
0.014
Hasil perhitungan uji beda (lihat Tabel 7) juga menunjukkan perbedaan yang signifikan pada kecenderungan CMO untuk terlibat di beberapa dimensi perilaku kontraproduktif.
Gambar 1. Uji beda dimensi perkataan tidak pantas bedasarkan usia Gambar 1 di atas menunjukkan bahwa CMO yang berusia di atas 35 tahun memiliki kecenderungan paling tinggi untuk berkata tidak pantas. Sedangkan CMO yang berusia di bawah 27 tahun adalah yang memiliki kecenderungan
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF
terkecil untuk mengeluarkan perkataan tidak pantas. Dalam hal ini CMO yang lebih tua lebih memiliki keberanian dan merasa lebih leluasa untuk berkata tidak pantas sementara CMO yang lebih muda lebih menjaga perkataan mereka.
Gambar 2. Uji beda dimensi penyalahgunaan obat berdasarkan masa kerja Hasil perhitungan uji beda (lihat Gambar 2) menunjukkan bahwa CMO dengan masa kerja kurang dari dua tahun memiliki kecenderungan untuk terlibat dalam penyalahgunaan obat. CMO yang masih tergolong karyawan baru umumnya adalah para fresh graduate yang seringkali masih terbawa dengan pergaulan anak muda atau pergaulan lain di luar kantor. Mereka masih terbawa untuk mengikuti gaya hidup dan kebiasaan yang marak dilakukan di lingkungan tersebut.
47
Gambar 3 di atas menunjukkan bahwa secara umum, regional Sumbagsel, Sumbagut, Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki kecenderungan lebih tinggi dibanding regional lain untuk terlibat pada dimensi penyalahgunaan waktu dan sumber daya, pencurian, penyalahgunaan alkohol, penyalahgunaan obat (narkoba), perusakan properti dan tindakan tidak pantas. Sedangkan regional lain cukup bervariasi responnya terhadap dimensi-dimensi tersebut. Pada dimensi kecenderungan tinggi, yaitu penyalahgunaan waktu dan sumber daya, regional yang masuk dalam peringkat pertama adalah Jawa Barat. Dapat dilihat juga bahwa regional NTB/Bali secara umum memiliki kecenderungan rendah untuk terlibat dalam sejumlah perilaku kontraproduktif. Regional NTB/Bali merupakan regional yang baru berjalan selama dua tahun, dimana jumlah karyawannya masih sedikit dan bentuk-bentuk pelanggaran masih kecil kemungkinannya untuk terjadi.
Gambar 4. Penyebaran respon subyek pada faktor penyebab perilaku kontraproduktif
Gambar 3. Uji beda berdasarkan regional
Gambar 4 di atas menunjukkan bahwa faktor ketidakadilan dalam organisasi yang paling banyak direspon oleh para CMO.
48
ASTYA & SUMINTARDJA
Berdasarkan data jumlah respon tersebut dilakukanlah perhitungan uji beda dengan menggunakan Friedman Test dan menghasilkan nilai signifikansi 0.000. Hal ini berarti bahwa terdapat perbedaan yang signifikan pada respon CMO terhadap kelima faktor situasional tersebut. Tabel 8. Mean Rank Faktor Penyebab Perilaku Kontraproduktif Faktor Penyebab Sistem Kontrol Ketidakadilan Dalam Organisasi Karakteristik Pekerjaan Karakteristik Kelompok Kerja Budaya Organisasi
Mean Rank 3.97 3.87 2.73 2.34 2.09
Dilihat dari mean rank pada Tabel 8 di atas terlihat bahwa faktor sistem kontrol menempati urutan pertama dan ketidakadilan menempati urutan kedua. Selain sistem kontrol perlu dicermati juga faktor lain yang juga menonjol, yaitu ketidakadilan dalam organisasi. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakadilan banyak dirasakan oleh para CMO. Ketidakadilan ini bisa terkait kompensasi yang didapat oleh para CMO maupun penerapan sistem rewardpunishment yang dinilai tidak adil oleh para CMO. Mengacu pada hasil perhitungan tersebut dapat dikatakan bahwa faktor sistem kontrol dan ketidakadilan dalam organisasi sama-sama menjadi faktor penting untuk dicermati dalam kaitannya dengan perilaku kontraproduktif para CMO. Pada dimensi-dimensi yang masuk ke dalam kategori kecenderungan tinggi terlihat adanya korelasi dengan skor total faktor penyebab perilaku kontraproduktif dan beberapa dimensi di dalamnya (lihat Tabel 9). Namun pada salah satu dimensi yang masuk
kategori tinggi, yaitu dimensi absensi justru tidak berkorelasi dengan faktor penyebab perilaku kontraproduktif. Hal ini berarti dalam situasi apapun para CMO memiliki kecenderungan tinggi untuk terlibat dalam perilaku terkait absensi. Para CMO memiliki kecenderungan yang tinggi untuk terlibat dalam perilaku penyalahgunaan waktu dan sumber daya apabila berhadapan dengan situasi yang terkait dengan karakteristik kelompok kerja, budaya organisasi, ketidakadilan dan karakteristik pekerjaan. Tabel 9. Korelasi antara Dimensi dan Faktor Penyebab Perilaku Kontraproduktif Dimensi
Kategori
ST
Waktu Absensi Perkataan Tdk aman
Tinggi Tinggi Tinggi Sedang
0.285 0.008 0.264 0.130
Kualitas Informasi Perusakan Pencurian
Sedang Sedang Sedang Sedang
0.166 0.115 -0.003 -0.022
Tindakan
Rendah
-0.140
Alkohol
Rendah
-0.057
Narkoba
Rendah
-0.071
Faktor Penyebab Perilaku Kontraproduktif PekerKel. Budaya Siste jaan kerja m 0.110 0.190 0.262 0.252 -0.012 0.011 0.091 0.013 0.161 0.116 0.097 0.226 0.097 0.037 0.180 0.008 0.101 0.050 0.074 0.270 0.021 0.126 0.117 0.083 -0.015 0.005 0.037 0.024 0.062 0.047 0.011 0.109 -0.051 -0.031 0.081 0.172 0.015 0.025 -0.010 0.126 0.073 -0.096 0.015 0.151
Ketidakadilan 0.247 -0.019 0.300 0.126 0.148 0.098 -0.027 -0.036 -0.133 -0.072 -0.077
Keterangan : Waktu = Penyalahgunaan waktu dan sumber daya; Perkataan = Perkataan yang tidak pantas; Tdk aman = Perilaku tidak aman; Kualitas = Kualitas kerja buruk; Perusakan = Perusakan properti; Tindakan = Tindakan tidak pantas; Alkohol = Penggunaan alkohol; Narkoba = Penyalahgunaan obat (Narkoba); ST = Skor total faktor penyebab; Pekerjaan = Karakteristik pekerjaan; Kel. Kerja = Karakteristik kelompok kerja; Budaya = Budaya organisasi; Sistem = Sistem kontrol; Ketidakadilan = Ketidakadilan dalam organisasi.
Menurut Sackett & DeVore (2001), salah satu karakteristik pekerjaan yang dibahas adalah wewenang dan otonomi untuk melakukan perencanaan dan penyelesaian tugas. Semakin besar keleluasaan para CMO untuk mengatur pekerjaan mereka maka semakin tinggi pula kecenderungan untuk menyalahgunakan waktu. Selain itu apabila para CMO secara umum
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF
sering menyalahgunakan waktu dan tidak diberikan punishment dari atasan, maka para CMO lain yang melihat hal tersebut akan merasa bahwa penyalahgunaan waktu adalah hal yang boleh dilakukan sehingga kecenderungan untuk melakukan hal tersebut menjadi tinggi. Kemudian terkait dengan dimensi perkataan tidak pantas yang berkorelasi dengan faktor budaya organisasi dan ketidakadilan menunjukkan bahwa semakin besar ketidakadilan dan ketidakjujuran manajemen yang dirasakan oleh CMO maka semakin tinggi pula kecenderungan mereka untuk berkata tidak pantas. Mereka cenderung semakin terbuka untuk mengutarakan apa yang mereka rasakan dan pikirkan. Pada dimensi dengan kecenderungan sedang sebagian besar tidak berkorelasi dengan faktor-faktor penyebab perilaku kontraproduktif. Hanya terdapat dua dimensi yang berkorelasi dengan faktor penyebab, yaitu kualitas kerja buruk yang berkorelasi dengan faktor budaya organisasi dan dimensi perilaku tidak aman yang berkorelasi dengan karakteristik pekerjaan. Wewenang dan otonomi CMO sebagai pekerja lapangan dalam penyelesaian tugas menuntut mereka untuk berpindah-pindah tempat dengan menggunakan kendaraan. Semakin tinggi mobilitas para CMO maka semakin besar pula kecenderungan mereka untuk terlibat dalam perilaku tidak aman.
Diskusi Dari seluruh dimensi perilaku kontraproduktif, dimensi penyalahgunaan waktu dan sumber daya memiliki kecenderungan paling tinggi untuk dilakukan oleh para CMO. Jika dilihat secara detil ke
49
dalam bunyi itemnya, (berdasarkan kategorisasi menggunakan persentil 33.3 dan 66.7) perilaku yang paling banyak mendapat respon adalah ‘Menjalankan bisnis pribadi pada jam kerja’ (mean = 2.71), ‘Mengambil waktu makan siang atau coffee break lebih lama tanpa ijin’ (mean = 2.57) dan ‘Membuang waktu ketika bekerja’ (mean = 1.96). Apabila dikaitkan dengan faktor penyebab yang berkorelasi dengan dimensi ini maka faktor karakteristik pekerjaan CMO sebagai orang lapangan yang leluasa mengatur waktu penyelesaian tugas dapat menjelaskan kondisi tersebut. Begitu juga dengan faktor karakteristik kelompok kerja yang berkorelasi paling besar dengan dimensi ini, dimana kelekatan dan kekompakan para CMO untuk melakukan pelangaran bersama-sama dan menutupi kesalahan satu sama lain. Selain itu penerapan rewards-punishment terhadap CMO ini akan menjadi patokan bagi CMO lainnya. Apabila ada pelanggaran yang tidak mendapat konsekuensi maka CMO yang melihat hal tersebut memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk melakukan pelanggaran itu juga. Pada dimensi absensi yang juga masuk dalam kecenderungan tinggi, hasil penelitian menunjukkan bahwa para CMO memiliki kecenderungan tinggi untuk terlibat dalam perilaku terkait absensi dan relatif sama untuk semua rentang usia, masa kerja, level jabatan dan regional penempatan kerja. Selain itu dimensi ini juga tidak berkorelasi dengan faktor penyebab manapun. Hal ini menunjukkan bahwa dalam situasi apapun dan latar belakang demografis apapun, CMO memiliki kecenderungan tinggi untuk terlibat absensi. Dengan demikian kontrol perusahaan akan hal tersebut perlu lebih diperhatikan. Kemudian pada dimensi perkataan tidak pantas yang juga masuk dalam kecenderungan
50
ASTYA & SUMINTARDJA
tinggi, hasil penelitian menunjukkan bahwa CMO yang lebih tua, khususnya berusia di atas 35 tahun memiliki kecenderungan paling tinggi untuk berkata tidak pantas. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa mereka memiliki gaya bicara yang memang terbuka, terdengar seperti memaki, namun tidak kemudian menjadi hal yang negatif bagi mereka sendiri. Bagi mereka, gaya bicara seperti itu bukanlah merupakan suatu pelanggaran, sehingga dalam konteks perusahaan ini dimensi perkataan tidak pantas bukan merupakan perilaku kontraproduktif. Pada dasarnya permasalahan perilaku kontraproduktif ini dapat diatasi dengan adanya sistem kontrol dan evaluasi yang memadai. Tidak hanya untuk dimensi perilaku dengan kategori tinggi saja, melainkan juga pada dimensi yang masuk dalam kategori sedang. Pada dimensi perilaku tidak aman misalnya, selama ini telah dijalankan kampanye safety riding namun hingga saat ini tetap saja masih ada pelanggaran terkait hal tersebut. Begitu juga dengan dimensi penyalahgunaan informasi, kualitas kerja buruk dan pencurian yang umumnya terjadi pada proses pengajuan dokumen kredit. Adanya kebijakan dan SOP mengenai penyelesaian tugas CMO serta mekanisme pemberian sanksi atas pelanggaran masih membuka peluang bagi CMO untuk melakukan pelanggaran. Sistem kontrol yang terkait dengan absensi dan penyalahgunaan waktu pada dasarnya sudah dibuat, yaitu dengan memperbolehkan mereka menggunakan kartu absen apabila tidak dapat melakukan absen fingerprint untuk alasan pekerjaan. Namun pada kenyataannya kartu absen tersebut dapat dimanipulasi oleh CMO. Perusahaan belum melakukan evaluasi terhadap sistem absen tersebut apakah masih efektif atau
tidak untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Kemudian sistem lain yang terkait dengan insentif dan penerapan reward punishment, seringkali bila ada perubahan tidak tersampaikan dengan baik kepada para CMO. penerapan reward-punishment pun lebih banyak pada pemberian sanksi daripada apresiasi. Bentuk sistem kontrol lain terkait pencegahan dan penanganan perilaku kontraproduktif adalah pelatihan. Menurut data pelaksanaan pelatihan dan silabus pelatihan CMO yang dimiliki oleh departemen Learning Center PT. OM, para CMO hanya mendapatkan pelatihan pada saat pertama kali bergabung di PT. OM yaitu new employee orientation (NEO) yang lebih banyak membahas mengenai alur bisnis perusahaan secara umum. Tidak pernah ada pemberian materi mengenai hal terkait pekerjaan CMO seperti tantangan-tantangan sebagai CMO dan cara mengatasinya, peran CMO dalam perusahaan dan bagaimana kontribusi dan dampak pekerjaan CMO bagi departemen lain dan bagi perusahaan, ataupun bentuk-bemtuk refreshment training yang ditujukan bagi CMO yang sudah bekerja selama bertahun-tahun. Hasil perhitungan korelasi antara dimensi dan faktor penyebab menunjukkan tidak adanya korelasi antara sistem kontrol dengan dimensi perilaku kontraproduktif. Namun respon dari partisipan menunjukkan bahwa masalah dalam sistem kontrol yang paling disadari dan dirasakan oleh para CMO. Apabila dikaitkan dengan konstruksi alat tes faktor penyebab perilaku kontraproduktif, pilihan respon ada dua, yaitu “Ya” dan “Tidak”. Hal ini menyebabkan respon subyek menjadi homogen dan menghasilkan varians skor yang kecil. Apabila varians skor kecil maka akan sulit dikorelasikan dengan variabel lain.
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF
Banyaknya partisipan yang memberi skor 1 pada faktor sistem kontrol mengakibatkan kecilnya varians skor pada faktor tersebut yang kemungkinan menyebabkan tidak munculnya korelasi antara faktor sistem kontrol dengan dimensi perilaku kontraproduktif yang skornya lebih bervariasi. Hal ini yang kemudian menjadi salah satu limitasi dalam penelitian ini. Selain itu terdapat juga limitasi dalam kajian mengenai kecenderungan perilaku kontraproduktif berdasarkan regional kerja. Pada pembahasan sebelumnya dikatakan bahwa regional Sumbagsel, Sumbagut, Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki kecenderungan lebih tinggi dibanding regional lain untuk terlibat dalam sejumlah perilaku kontraproduktif. Oleh karena hasil perhitungan tidak dilanjutkan dengan wawancara untuk mengkonfirmasi hal tersebut sehingga tidak banyak yang bisa dijelaskan mengenai fenomena ini. Namun demikian hal ini tetap dapat menjadi informasi penting untuk dicermati oleh perusahaan.
Kesimpulan dan Saran Kesimpulan Para CMO memiliki kecenderungan tinggi untuk terlibat dalam penyalahgunaan waktu dan sumber daya, absensi dan perkataan tidak pantas. Mereka juga memiliki kecenderungan taraf sedang untuk terlibat dalam perilaku tidak aman, penyalahgunaan informasi, kualitas kerja buruk, perusakan properti dan pencurian. Dari semua partisipan di semua regional, terlihat bahwa CMO di regional Sumbagsel, Sumbagut, Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk terlibat pada sejumlah perilaku kontraproduktif dibanding CMO di regional lainnya.
51
Faktor sistem kontrol dan ketidakadilan dalam organisasi menjadi faktor yang perlu diperhatikan terkait upaya pencegahan dan penanganan perilaku kontraproduktif CMO. untuk itu rencana penanganan masalah sebaiknya difokuskan pada evaluasi sistem kontrol dan kebijakan yang ada, terkait dengan sistem reward-punishment dan hal-hal yang mengatur perilaku kerja para CMO.
Implikasi Fokus pembahasan mengenai perilaku kontraproduktif tentunya berbeda pada tiap perusahaan, tergantung pada jenis usaha dan kondisi kerja di perusahaan tersebut. Upaya pencegahan atau minimalisasi terjadinya perilaku kontraproduktif merupakan salah satu bidang kerja dari para psikolog bidang industri dan organisasi. Para praktisi di bidang ini dapat memanfaatkan hasil penelitian untuk melakukan kajian lebih dalam dan mengembangkan program perbaikan bagi perusahaan yang berupaya meminimalisasi perilaku kontraproduktif. Program pengembangan salah satunya dapat berbentuk pelatihan, coaching, pendampingan pada karyawan yang melakukan perilaku kontraproduktif, maupun perubahan pada sistem yang ada di perusahaan. Para praktisi juga dapat memanfaatkan hasil penelitian ini dalam proses asesmen untuk mencari calon karyawan atau pengembangan SDM di perusahaan. Khususnya pencarian karyawan yang memiliki kecenderungan rendah untuk berperilaku kontraproduktif sesuai dengan jenis usaha perusahaannya. Dalam hal ini pengetahuan mengenai dimensi-dimensi perilaku kontraproduktif dapat dikaitkan dengan aspek potensi dan kompetensi yang ingin digali dalam
52
ASTYA & SUMINTARDJA
proses asesmen. Saran Bagi penelitian selanjutnya, terdapat beberapa saran terkait metode yang dapat dilakukan, yaitu: 1. Pada penelitian yang bertujuan untuk mengukur faktor-faktor penyebab perilaku kontraproduktif, peneliti dapat menyusun alat ukur dengan menggunakan pilihan respon berupa skala kontinum. Dengan demikian varians skor responden lebih besar dan lebih terlihat dalam perhitungan korelasi. 2. Peneliti juga dapat menambahkan metode pengambilan data dengan menggunakan wawancara untuk memperkaya data yang terkait dengan kecenderungan perilaku kontraproduktif di regional-regional tertentu (misalnya, Sumbagsel, Sumbagut, Jawa Barat dan Jawa Timur). Berdasarkan hasil penelitian, terdapat pula beberapa saran yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk menangani permasalahan perilaku kontraproduktif CMO, yaitu: 1. Perusahaan dapat lebih memperhatikan perilaku kerja para CMO khususnya yang terkait dengan penyalahgunaan waktu dan sumber daya, absensi, penyalahgunaan informasi, kualitas kerja, pencurian dan perusakan properti. 2. Perusahaan dapat mengkaji atau mengevaluasi penerapan sistem kontrol dan sistem reward-punishment yang berlaku bagi CMO. 3. Perusahaan dapat lebih memperhatikan penerapan kebijakan, melakukan pengawasan perilaku kerja dan pemantauan performa kerja untuk divisi marketing di regional Sumbagsel, Sumbagut, Jawa Timur
dan Jawa Tengah, mengingat regional tersebut cukup sering muncul di peringkat atas untuk beberapa dimensi perilaku kontraproduktif. 4. Apabila nantinya rancangan intervensi dapat dilakukan, pihak HRD maupun divisi marketing perlu terlibat dalam mengawasi penerapan intervensi tersebut.
Referensi Altheide, D. L., Adler, P. A., Adler, P. & Altheide, D. A. (1978). The social meaning of employee theft. In J. M. Johnson and J. D. Douglas (Eds.), Crime at the Top (pp. 90-124). Philadelphia: Lippincott. Bensman, J. & Gerver, J. (1963). Crime and punishment in the factory: The function of deviancy in maintaining the social system. American Sociological Review, 28, 588598. Gruys, M., & Sackett, P. (2003). Investigating the Dimensionality of Counterproductive Work Behavior. International Journal of Selection and Assessment, 11(1). doi:10.1111/1468-2389.00224. Gruys, M. L. (1999). The dimensionality of deviant employee behavior in the workplace. Unpublished doctoral disertation, University of Minnesota, Minneapolis, MN. Henry, S. (1978a). The hidden economy: The context and control of borderline crime. London: Martin Robertson. Henry, S. (1978b). Crime at work: The social construction of amateur property theft. Sociology, 12, 245-263. Hollinger, R. C., & Clark, J. P. (1983a). Deterrence in the workplace: Perceived certainty, perceived severity and employee
PERILAKU KONTRAPRODUKTIF
theft. Social Forces, 62, 398-418. Hollinger, R. C., & Clark, J. P. (1983b). Theft by employees. Lexington, MA: Heath. Horning, D.N.M. (1970). Blue collar theft: Conceptions of property, attitudes toward pilfering, and work group norms in a modern industrial plant. In E.O. Smigel and H.L. Ross (Eds.), Crimes against bureaucracy (pp. 46-64). Ney York: Van Nostrand Reinhold. Robin, G. D. (1970). The corporate and judicial disposition of employee thieves. In E.O. Smigel and H.L. Ross (Eds.), Crimes against bureaucracy (pp. 119-142). Ney York: Van Nostrand Reinhold. Robinson, S. L., & Greenberg, J. (1998). Employees behaving badly; Dimensions, determinants and dilemmas in the study of workplace deviance. In C. L. Cooper & D. M. Rousseau (Eds.), Trends in Organizational Behavior (pp.1-30). New York: John Wiley & Sons. Roy, D. (1952). Quota restriction and goldbricking in a machine shop. American Journal of Sociology, 57, 427-442. Sackett & DeVore. (2001). Counterproductive behavior at work. In N. Anderson, D. S. Ones, H. K. Sinangil, & C. Viswesvaran, (Eds.), Handbook of industrial, work & organizational psychology. London: SAGE Publications Ltd. Spector, P. E. (2008). Industrial and organizational psychology: Research and practice (5th ed.). New York: John Wiley & Sons. Taylor, L. & Walton, P. (1971). Industrial sabotage: Motives and meanings. In S. Cohen (Ed.), Images of deviance (pp. 219245). London: Penguin.
53
JPIO
54 2016, Vol. 3, No. 1, 54-68
GOZALI & PANGGABEAN
ISSN 2302-8440
Gambaran Kontrak Psikologis Pada Instruktur di Yayasan B Vincentia A. Stephanie Gozali & Hana Panggabean Fakultas Psikologi, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
This study was conducted to evaluate the psychological contract of training instructors in B Foundation. The construct of interest was psychological contract, which is an individual's faith in the shared obligation between the company and the employee. The research method used in this study was mixed-method explanatory sequential, in which both quantitative and qualitative approach were used. Quantitative data were collected using the Psychological Contract Scale (PCS) questionnaire, and analyzed using the Kruskal-Wallis and Mann-Whitney test. Qualitative data were collected through semi-structured interview, and analyzed using thematic analysis. The sampling technique used in this study was criterion sampling method, where all participants have led at least two trainings. Results showed that the training instructors had moderate level of psychological contract, and the majority of participants had balanced type; followed by transactional, relational, and transitional psychological contract. Other findings suggest that work system standardization and socialization may had significant impact on psychological contract. Keywords: psychological contract, types of psychological contract,
psychological contract scale
Yayasan B didirikan oleh salah satu pendiri Grup A untuk membantu meningkatkan keterampilan teknik, manajemen, pemasaran, pembiayaan, dan teknologi informasi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) binaannya. Grup A yang mayoritas unit bisnisnya bergerak di bidang manufaktur mendirikan Yayasan B sebagai wadah untuk mengembangkan subkontraktor-subkontraktor yang berada di dalam proses bisnis di dalam masing-masing perusahaan Grup A. Grup A
berharap, dengan dikembangkannya subkontraktor tersebut, maka proses akhir dari seluruh proses bisnis manufaktur akan memiliki kualitas yang sesuai dengan Grup A. Oleh karena itu, Yayasan B dibangun untuk dapat memberikan pelatihan dan pendampingan pada UMKM hingga berada pada tingkat kualitas yang baik. Yayasan B memiliki empat program untuk melakukan pengembangan atas UMKM yang tergabung di dalamnya, yaitu pelatihan, 54
KONTRAK PSIKOLOGIS
pendampingan, fasilitasi pasar dan fasilitasi pembiayaan. Pelatihan dan pendampingan merupakan ujung tombak pelayanan Yayasan B pada UMKM. Untuk dapat menjalankan pelatihan UMKM, Yayasan B membutuhkan kehadiran instruktur pelatihan yang sesuai. Instruktur pelatihan merupakan orang yang memberikan pelatihan kepada para peserta atau yang biasa disebut trainer. Yayasan B melakukan pendekatan informal kepada karyawan ataupun mantan karyawan dari Grup A untuk diajak menjadi instruktur di Yayasan B. Instruktur pelatihan di Yayasan B ini masing-masing sudah memiliki keahlian di setiap bidang pelatihan tersebut. Keahlian masing-masing instruktur ini pula yang membuat mereka menjadi prioritas sebagai instruktur pada pelatihan tertentu. Proses informal yang dilakukan Yayasan B untuk karyawan aktif dengan cara mendatangi anak perusahaan Grup A yang dirasa memiliki karyawan potensial dari segi kompetensi materi untuk diberikan kepada UMKM binaan ataupun mendekati pimpinan yang ada di anak perusahaan tersebut untuk kemudian meminta mereka mengajukan karyawannya yang bisa menjadi instruktur di Yayasan B. Sedangkan untuk pasca karyawan, Yayasan B akan menawarkan kesempatan menjadi instruktur kepada salah satu lembaga yang menaungi para karyawan pensiunan tersebut. Ataupun mendekati karyawan yang sudah pensiun tersebut untuk ditawarkan menjadi instruktur. Keberadaan instruktur di Yayasan B merupakan hal yang sangat penting karena instruktur tersebut merupakan aset utama perusahaan. Terkait dengan keberadaan dan pentingnya peran instruktur di Yayasan B, sejauh ini belum terdapat peraturan ataupun kesepakatan antara instruktur dengan Yayasan
55
B baik mengenai kontrak kerja ataupun peraturan perusahaan yang berlaku. Hubungan antara instruktur dengan Yayasan B hanyalah sebatas hubungan kemitraan. Hal ini kemudian menimbulkan pengambilan keputusan sepihak dari Yayasan B apabila ada instruktur yang dianggap bermasalah. Permasalahan terkait instruktur yang muncul antara lain permasalahan etis dan kinerja. Masalah etis yang muncul pada Yayasan B ini yaitu instruktur membuka jasa pelatihan pribadi dengan topik yang sama, tarif yang lebih mahal dan mengatasnamakan Yayasan B lalu menawarkannya kepada peserta pelatihan saat yang bersangkutan sedang memberikan pelatihan untuk Yayasan B. Tidak hanya membuka jasa pelatihan pribadi, ada juga instruktur yang mencari pekerjaan di tempat lain dengan mengatasnamakan Yayasan B. Selain masalah etis, adapun permasalahan terkait kinerja instruktur, yaitu mengenai cara penyampaian materi dirasakan kurang menarik dan kurang dapat membantu peserta memahami materi tersebut. Tidak hanya itu, terkadang materi yang diberikan oleh instruktur juga dirasa kurang up to date. Kedua permasalahan ini menimbulkan kerugian bagi Yayasan B terutama terkait nama baik dan penilaian akan pelayanan yang diberikan oleh Yayasan B (komunikasi pribadi, 11 Agustus 2015). Permasalahan etis dan kinerja dari instruktur ini tentu berakibat bagi Yayasan B dan instruktur yang bersangkutan. Akibat yang muncul yaitu dinonaktifkannya instruktur yang memiliki masalah etis karena dianggap telah melakukan pelanggaran oleh Yayasan B. Hal ini tentu menyebabkan berkurangnya sumber daya yang dimiliki oleh Yayasan B (Komunikasi pribadi, 11 Agustus 2015). Pemutusan hubungan kemitraan ini tidak hanya berakibat
56
GOZALI & PANGGABEAN
pada instruktur yang bersangkutan dan Yayasan B. Menurut Nadin dan Williams (2012), beberapa jenis pelanggaran yang terjadi seperti pemberhentian tanpa pemberitahuan dan penolakan pengerjaan tugas dapat berimbas pada pelaku, perusahaan serta karyawan lainnya. Adanya pemutusan hubungan kerja secara tiba-tiba dapat berpengaruh pada instruktur yang masih bertahan di Yayasan B. Sejauh ini, Yayasan B merupakan pihak yang membutuhkan jasa para instruktur tersebut dan hubungan kemitraan yang dijalin masih bersifat informal terutama jika dilihat dari proses perekrutan yang dilakukan. Proses informal antara Yayasan B dan instruktur ini pula yang membuat Yayasan B tidak dapat menentukan peraturan atau sanksi bagi para instruktur yang ada. Maka dari itu pihak Yayasan B hanya dapat mengandalkan hubungan timbal balik yang terbentuk dengan instruktur. Perilaku instruktur tersebut membuat Yayasan B merasa dirugikan dan kesulitan dalam mencapai tujuan organisasinya. Perilaku instruktur yang dianggap tidak sesuai dengan harapan dari Yayasan B mengindikasikan bahwa hubungan timbal balik antara kedua belah pihak tersebut belum terjalin dengan baik. Dalam konteks Psikologi Industri dan Organisasi, hubungan timbal balik antara instruktur dengan Yayasan B terkait dengan permasalahan etis dan kinerja instruktur yang belum maksimal serta tidak adanya ikatan tertulis antara instruktur dengan Yayasan B dapat disebut dengan psychological contract. Psychological contract merupakan suatu kontrak informal tidak tertulis yang terdiri dari ekspektasi karyawan dan atasan mengenai hubungan kerja yang bersifat timbal balik (Djlantik dan Soetjipto, 2006). Adapun menurut Guest, dalam Latornell (2009), psychological
contract merupakan persepsi pada kedua belah pihak terhadap hubungan kerja mengenai perjanjian dan kewajiban yang timbal balik. Jadi kontrak psikologis merupakan kontrak tidak tertulis terkait harapan karyawan dan atasan mengenai hubungan timbal balik yang terjalin. Menurut Sims (dalam Cross, Barry dan Garavan, 2009), adanya kontrak psikologi yang seimbang antara karyawan dan perusahaan akan menciptakan hubungan yang harmonis dan berkelanjutan bagi kedua belah pihak tersebut. Cross, Barry dan Garavan (2009) menyatakan bahwa psychological contract berperan dalam kepuasan kerja dan hubungan karyawan untuk menentukan pengaruhnya pada faktor lainnya seperti pekerjaan dan karakteristik organisasi. Psychological contract juga dapat mengurangi ketidakpastian yang dirasakan oleh individu dengan menyetujui kondisi kerja yang disepakati bersama (Djlantik dan Soetjipto, 2006). Menurut Shore dan Tetrick dalam Santosa (2004), manfaat lain yang diperoleh dari psychological contract yaitu mengarahkan perilaku karyawan tanpa menuntut pengamatan dari atasan dan membuat karyawan merasa dapat menentukan nasibnya serta mampu memilih tanggung jawabnya di organisasi sejak mereka memiliki kontrak tersebut. Terdapat empat tipe kontrak psikologis yaitu transaksional, transisional, relasional dan balance (Tanchaisak, 2005). Tipe transaksional berfokus pada faktor pertukaran ekonomi yang diterima oleh karyawan dari perusahaan, keterkaitan karyawan dalam organisasi pun rendah. Tipe transisional merupakan tahap kognitif yang merefleksikan konsekuensi dari perubahan organisasi dan transisi yang tidak jelas dengan adanya pengaturan hubungan kerja sebelumnya. Tipe relasional merupakan
57
KONTRAK PSIKOLOGIS
hubungan yang berdasarkan kesetaraan keyakinan dan loyalitas, hubungan yang dikembangkan berdasarkan stabilitas jangka panjang. Tipe terakhir yaitu balance merupakan tipe hubungan yang dinamis antara perusahaan dan karyawan, adanya kesempatan karyawan untuk mengembangkan karirnya di perusahaan tersebut dan perusahaan juga memberikan kesempatan itu. Yayasan B sendiri berharap hubungan yang dibentuk dengan instruktur merupakan hubungan jangka panjang yang dilandaskan pada rasa percaya satu dengan yang lainnya. Instruktur juga diharapkan memberikan hasil yang optimal ketika memberikan pelatihan dan pendampingan kepada UMKM. Harapan Yayasan B ini sesuai dengan psychological contract tipe relasional. Tetapi pada kenyataannya, hubungan yang terbentuk saat ini masih belum optimal dan belum mengarah pada tipe relasional seperti yang diharapkan oleh Yayasan B. Maka dari itu dibutuhkan pemetaan tipologi untuk kemudian digunakan dalam menyusun program pengembangan terhadap instruktur. Berdasarkan hal yang sudah dipaparkan sebelumnya, muncul indikasi bahwa kontrak psikologis antara Yayasan B dengan instruktur dirasakan masih belum optimal. Dengan kondisi seperti ini, untuk dapat mendukung hubungan timbal balik antara Yayasan B dan instruktur maka peneliti ingin mengetahui gambaran tipe kontrak psikologis yang ada sehingga dapat digunakan untuk pengelolaan pengembangan instruktur sesuai dengan kondisi yang ada. Pengelolaan pengembangan ini dapat didasarkan pada tipologi psychological contract yang terbentuk antara Yayasan B dengan instruktur.
Kontrak Psikologis Psychological contract atau kontrak psikologi merupakan suatu kontrak informal tidak tertulis yang terdiri dari ekspektasi karyawan dan atasan mengenai hubungan kerja yang bersifat timbal balik (Djlantik dan Soetjipto, 2006). Menurut Rousseau (dalam Latornell, 2009), psychological contract merupakan keyakinan individu bahwa terdapat suatu perjanjian yang dibuat dan ditawarkan oleh masing-masing pihak serta mengikat masing-masing pihak pada kewajiban yang bersifat timbal balik. Kontrak psikologi muncul ketika karyawan meyakini bahwa kewajiban perusahaan pada karyawan akan sebanding dengan kewajiban yang diberikan karyawan kepada perusahaan. Guest (dalam Latornell, 2009) mengatakan bahwa psychological contract melibatkan persepsi kedua belah pihak terhadap hubungan kerja mengenai perjanjian serta kewajiban timbal balik. Menurut Armstrong (2009), psychological contract merupakan kontrak informal tidak tertulis, terdiri dari harapan karyawan dan atasannya mengenai hubungan kerja yang bersifat timbal balik. Artinya kontrak psikologis muncul ketika karyawan meyakini bahwa kewajiban perusahaan pada karyawan akan sebanding dengan kewajiban yang diberikan karyawan kepada perusahaan. Menurut Rousseau, kontrak psikologis memiliki empat tipe yaitu transaksional, transisional, relasional dan balance (Tanchaisak, 2005). Keempat tipe tersebut dapat ditampilkan sebagai berikut (lihat Gambar 1).
58
GOZALI & PANGGABEAN
Gambar 1. Tipe kontrak psikologis (Rousseau, 1995)
Berdasarkan keempat tipe tersebut, tipe pertama yaitu transaksional merupakan hubungan kerja yang dibangun untuk jangka waktu yang singkat dan terbatas pada tuntutan kerja yang spesifik, berfokus pada pertukaran ekonomi. Perusahaan mengharapkan karyawan bekerja dengan baik dan produktif sesuai dengan tuntutan dan upah yang diberikan. Pada tipe ini pengembangan terhadap karyawan sangat minim bahkan tidak ada. Kontrak tipe ini biasanya muncul pada agen asuransi atau karyawan yang bekerja pada musim tertentu. Tipe kedua, transisional merupakan tahap kognitif yang merefleksikan konsekuensi dari perubahan organisasi atau transisi yang tidak jelas dengan adanya pengaturan hubungan kerja sebelumnya. Kontrak psikologis tipe ini biasanya terdapat pada perusahaan yang mengalami akuisisi atau merger. Keadaan perusahaan yang tidak stabil akibat perubahan yang terjadi dapat menyebabkan kebingungan bagi karyawannya sehingga bisa membuat
kontrak psikologis yang terbentuk pada karyawannya adalah tipe transisional. Tipe ketiga yaitu relasional merupakan hubungan kerja jangka panjang yang didasarkan pada kesetaraan rasa percaya dan loyalitas. Imbal jasa yang diberikan kepada karyawan tergantung pada keanggotaan dan partisipasinya dalam organisasi. Pada tipe ini, karyawan memiliki kemauan dan berusaha sendiri dalam mengembangkan dirinya untuk dapat terus mendukung perusahaan. Muncul harapan adanya timbal balik emosional dengan perusahan. Karyawan diwajibkan untuk melakukan segala hal demi mendukung perusahaan dan perusahaan pun berkomitmen untuk menawarkan upah yang stabil dan hubungan kerja jangka panjang kepada karyawannya. Contoh hubungan seperti ini yaitu pada karyawan di perusahaan keluarga. Tipe terakhir yaitu balance yang merupakan hubungan yang seimbang antara perusahaan dan karyawan, tergantung pada kondisi kesuksesan ekonomi organisasi dan kesempatan karyawan untuk mengembangkan karyawannya. Dalam hubungan ini perusahaan dan karyawan samasama berkontribusi dalam proses pembelajaran serta pengembangan masing-masing pihak. Upah yang diberikan pada karyawan tergantung pada performa dan kontribusinya terhadap keunggulan organisasi. Perusahaan berkomitmen untuk meningkatkan hubungan jangka panjang dan mendukung peningkatan kemampuan karyawan dengan membuka peluang pengembangan karier. Contoh kontrak psikologis tipe ini yaitu pada kelompok kerja yang membutuhkan keterkaitan yang kuat antar anggota. Menurut Shore dan Tetrick (1994), kontrak psikologis dapat memberikan manfaat bagi hubungan yang terjalin antara karyawan dengan
KONTRAK PSIKOLOGIS
perusahaan. Kontrak psikologis dapat mengurangi ketidakpastian individu dengan membangun kesepakatan berdasarkan kondisi pekerjaan. Walaupun sudah memiliki kontrak tertulis yang jelas, namun masih memungkinkan kontrak tersebut tidak akan berhasil pada setiap pekerjaan. Maka dari itu kontrak psikologis berfungsi untuk menjembatani kesepakatan tersebut. Kontrak psikologis juga dapat mengontrol perilaku karyawan tanpa pengawasan dari atasan sehingga membantu perusahaan membentuk karyawan yang bertanggungjawab. Terakhir, kontrak psikologis membantu karyawan merasa bahwa mereka mampu mempengaruhi nasib mereka di perusahaan akrena mereka merupakan bagian dari kontrak yang ada, menyetujui persyaratan yang berlaku dan juga karena mereka bisa memilih untuk melaksanakan kewajiban mereka atau tidak. Apabila kontrak psikologis sudah terjalin dengan tepat antara karyawan dan perusahaan, maka perusahaan dapat memperoleh manfaat yang sesuai dan dapat membantunya mencapai tujuan organisasi secara lebih maksimal. Menurut Hardiyanto (dalam Charisma, Nukman, dan Widrayini, n.d.), implementasi kontrak psikologis secara efektif dapat membantu menghasilkan sumber daya yang handal dan mempunyai komitmen tinggi agar dapat meningkatkan intensitas kerja karyawan menuju yang lebih baik.
Metode Penelitian ini tergolong descriptive dan applied research, yang mana hasil dari penelitian ini akan dijadikan acuan untuk menentukan program pengelolaan instruktur
59
yang ada di Yayasan B. Penelitian ini menggunakan mixed method explanatory sequential design yaitu dengan pendekatan kuantitatif dan kualitatif dalam pengumpulan datanya. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran psychological contract yang dimiliki oleh instruktur di Yayasan B. Setelah data kuantitatif didapatkan, pengumpulan data kualitatif kemudian digunakan untuk memperdalam informasi mengenai psychological contract dari instruktur di Yayasan B sebagai dasar untuk interpretasi hasil. Pendekatan kualitatif dilakukan dengan melakukan wawancara kepada partisipan penelitian yang sudah ditentukan. Kedua pendekatan ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran psychological contract intrstuktur di Yayasan B secara menyeluruh. Metode Kuantitatif Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Psychological Contract Scale yang dikembangkan oleh Kumar (2012). Alat ukur ini sebelumnya sudah diadaptasi dalam Bahasa Indonesia oleh Kristiani, Ginanjar, Sari dan Soeryantoputri (2012). Kuesioner PCS ini terdiri dari 40 item yang mewakili keempat tipe yang ada yaitu transaksional, transisional, relasional dan balance. PCS menggunakan skala likert untuk pilihan jawaban dengan rentang 1-6 yaitu sangat tidak setuju sampai sangat setuju. Dalam penelitian kali ini, peneliti melakukan uji coba kembali untuk alat ukur ini. Terdapat beberapa penyesuaian item sebelum dilakukan uji coba dan saat pengambilan data. Hal ini terkait dengan konteks pekerjaan instruktur yang menjadi partisipan dalam penelitian ini. Berikut ini paparan lengkap
60
GOZALI & PANGGABEAN
terkait penyesuain alat ukur dalam penelitian ini: 1. Proses penyesuaian item didasarkan pada konteks kerja partisipan dan pengubahan beberapa item unfavorable menjadi favorable karena jumlah item tersebut tidak sebanding 2. Setelah proses penyusunan item selesai dan peneliti mendapatkan persetujuan pelaksanaan uji coba, maka uji coba dilakukan dengan menyebarkan kuesioner Psychological Contract Scale versi online. 3. Uji coba alat ukur diberikan kepada siapa saja yang berprofesi sebagai trainer lepas. Hasil uji coba ini terkumpul 30 data yang kemudian dilakukan analisis item dengan menggunakan uji item discrimination dengan cara menghitung korelasi Pearson dengan corrected item total correlation. Menurut Thorndike & Thorndike-Christ (2010), batas korelas minimum item yaitu 0.3. Berdasarkan hasil perhitungan yang dilakukan, terdapat 15 item yang tidak memenuhi standar minimum 0.3. Terdapat 9 item yang dibuang dan 6 item yang direvisi kemudian digunakan untuk pengambilan data. Item bernilai 0.2-0.29 dilakukan revisi sehingga dapat digunakan untuk penelitian ini. Hasil akhir item setelah uji validats dan revisi untuk penelitian ini adalah 31 item (lihat Tabel 1). 4. Uji reliabilitas dilakukan untuk melihat konsistensi alat ukur. Menurut Nunnally dan Bernstein (1994), nilai batas koefisien alpha uang digunakan yaitu 0.7. Hasil perhitungan reliabilitas dalam penelitian ini yaitu 0.887. Hal ini menunjukkan bahwa perhitungan reliabilitas alat ukur ini sudah memenuhi kriteria reliabilitas yang baik. Setelah uji validitas dan reliabilitas selesai
dilakukan, proses pengambilan data kemudian dilakukan. Penentuan partisipan untuk penelitian ini menggunakan metode criterion sampling dimana penentuan sampel didasarkan pada kriteria tertentu sesuai dengan kebutuhan penelitian (Poerwandari, 2001). Kriteria tersebut adalah instruktur di Yayasan B yang sudah pernah memberikan pelatihan/pendampingan minimal dua kali. Proses pengambilan data dilakukan melalui kuesioner online yang disebar melalui pihak Yayasan B. Teknik analisis data kuantitatif menggunakan statistik deskriptif. Perhitungan uji beda untuk data demografi menggunakan Kruskal-Wallis Test dan Mann-Whitney Test. Untuk perbandingan tipe kontrak psikologis digunakan metode transformasi sehingga diketahui tipe mana yang lebih dominan. Tabel 1. Rekapitulasi Item Nomor Item Domain Favorable
Unfavorable
Jumlah Item
Jumlah Item yang tidak lolos
Total Item yang Lolos
Relational
6, 12, 16, 20, 21, 28, 34, 39
9, 14, 17, 19, 27, 30, 36
15
3
12
Transacti onal
2, 22, 29, 37
1, 3, 5, 23
8
4
7
Balanced
4, 7, 8, 10, 25, 26, 32, 35
18, 33
10
3
8
Transiti onal
13, 24, 31, 38
11, 15, 40
7
4
4
Menurut Urbina (2007), within group norm merupakan norma yang digunakan untuk membandingkan individu dalam suatu kelompok. Data kelompok tersebut harus terdistribusi normal dan representatif terhadap populasi. Penelitian ini merupakan penelitian populatif sehingga data yang digunakan merupakan data populasi yang representatif dan
KONTRAK PSIKOLOGIS
terdistribusi normal. Maka dari itu, penggunaan within group norms dalam penentuan kategori untuk penelitian ini sudah memadai. Metode Kualitatif Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara untuk mendapatkan gambaran kontrak psikologis dari instruktur di Yayasan B secara lebih mendalam melalui aspek-aspek yang digali di dalamnya. Panduan wawancara yang digunakan untuk penelitain ini diadaptasi dari Cross, Barry dan Garavan (2009). Proses adaptasi panduan wawancara ini melalui proses penerjemahan ke dalam Bahasa Indonesia kemudian diterjemahkan kembali ke Bahasa Inggris yang dilakukan oleh tenaga ahli. Setelah tahap tersebut selesai, barulah panduan wawancara ini dapat digunakan pada partisipan penelitian yang dipilih sesuai kriteria dengan menggunakan metode maximum variation sampling. Pelaksanaan wawancara ini dilakukan setelah pengambilan data kuesioner. Metode analisis kualitatif dalam penelitian ini menggunakan tematik analisis untuk melihat tema yang muncul dan berhubungan dengan penelitian ini. Hasil Gambaran Umum Partisipan Penelitian Partisipan penelitian ini terdiri dari 11 instruktur di Yayasan B. Berikut ini gambaran data demografis partisipan penelitian (lihat Tabel 2). Berdasarkan data yang ada, terlihat bahwa sebagian besar partisipan penelitian ini berjenis kelamin laki-laki dan hanya satu orang partisipan perempuan. Hal ini mungkin saja dipengarui oleh jenis pelatihan dan
61
pendampingan yang diberikan oleh Yayasan B yang memang banyak terkait dengan bdiang manufaktur sesuai bisnis unit yang banyak dimiliki oleh Grup A sebagai perusahaan induk dari Yayasan B. bidang kerja manufaktur sendiri banyak didominasi oleh laki-laki. Maka dari itu jumlah partisipan laik-laki yang lebih banyak dalam penelitian ini dapat dikaitkan dan terpengaruh dari unit bisnis manufaktur tersebut. Tabel 2. Data Demografis Partisipan Data Demografi Frekuensi Laki-laki 10 Jenis kelamin Perempuan 1 4 20-39 tahun 6 Usia 40-59 tahun 1 >60 tahun 1 <1 tahun Lama 7 1-3 tahun bergabung 3 >3 tahun Status Pasca karyawan 4 Karyawan aktif 7 karyawan
Usia partisipan penelitian ini juga cukup beragam mulai dari 26 tahun sampai dengan 62 tahun. Partisipan berdasarkan status karyawan lebih didominasi oleh instruktur dari kelompok karyawan aktif yaitu 7 orang dan 4 lainnya dari kelompok pasca karyawan. Variasi data demografi lainnya terdapat pada lama bergabung instruktur di Yayasan B. Mulai dari 6 bulan hingga yang paling lama yaitu 5 tahun. Berdasarkan lama bergabung, terlihat paling banyak partisipan berada pada kelompok 1-3 tahun. Berikut ini tabel frekuensi serta lama bergabung instruktur (lihat Tabel 3).
62
GOZALI & PANGGABEAN
Tabel 3. Lama Bergabung dan Frekuensi No 1. 2. 3.
Lama Bergabung <1 tahun 1-3 tahun >3 tahun
Gambaran Partisipan
Umum
Frekuensi 1 7 3
Persentase 9% 64% 27%
Kontrak
Psikologis
Berdasarkan hasil yang didapat, nilai terendah yang dimiliki oleh partisipan yaitu 94 dan nilai tertinggi 172. Skor rata-rata untuk 11 partisipan penelitian ini yaitu 140.55 yang menunjukkan kontrak psikologis berada pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa instruktur memiliki keyakinan bahwa kewajiban Yayasan B pada instruktur dinilai sebanding dengan yang diberikan instruktur kepada Yayasan B.
Yayasan B untuk dapat meningkatkan persentase pada kategori tinggi serta sedang untuk kontrak psikologis dari para instruktur agar dapat memberikan kinerja yang maksimal. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan pada masing-masing tipe kontrak psikologis, didapatkan gambaran umum tipe kontrak psikologis yang terbentuk pada instruktur di Yayasan B. Berikut gambaran tersebut Gambaran Perbandingan Antar Tipologi Kontrak Psikologis Partisipan
Tabel 4. Gambaran kontrak psikologis instruktur Yayasan B No 1. 2. 3.
Kategori Tinggi Sedang Rendah
Percentile ≥148 129-147 ≤128
Frekuensi 4 orang 3 orang 4 orang
Persentase 36% 28% 36%
Gambar 2. Perbandingan kontrak psikologis antar tipologi
Gambaran kontrak psikologis pada instruktur di Yayasan B ini juga menunjukkan bahwa 64% instruktur masih berada pada kategori sedang dan rendah (lihat Tabel 4). Hal ini menunjukkan bahwa kontrak psikologis yang terbentuk masih belum optimal karena yang diharapkan instruktur dapat berada pada kategori tinggi sehingga keyakinan yang dimiliki dan hubungan yang terjalin antara instruktur dengan Yayasan B dapat lebih menekankan hubungan timbal balik yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Hasil tersebut menunjukkan bahwa masih diperlukan upaya yang cukup besar dari
Gambar 2 di atas menunjukkan bahwa tipe kontrak psikologis yang dominan terbentuk antara instruktur dengan Yayasan B yaitu tipe balance dan transaksional. Kemudian diikuti tipe relasional dan transisional. Berikut pemaparan gambaran tipe kontrak psikologis tersebut. 1. Pada tipe balance, terdapat hubungan yang seimbang antara karyawan dan organisasi, kedua pihak saling berkontribusi dalam proses pembelajaran dan pengembangan. Instruktur melihat bahwa di Yayasan B tersedia peluang bagi mereka untuk dapat mengembangkan dan meningkatkan kemampuan diri mereka. Menurut instruktur, Yayasan B juga
KONTRAK PSIKOLOGIS
mendukung mereka untuk dapat berkembang sehingga proses pengembangan antara instruktur dengan Yayasan B selalu berjalan. Tidak hanya pengembangan dari Yayasan B, instruktur juga menngembangkan kemampuan diri mereka dengan mencari tahu hasil evaluasi dan mencari informasi terbaru di dunia manufaktur untuk mendukung tugasnya di Yayasan B. “Baru kemarin Yayasan B memanggil PT X untuk training for trainer. Jadi semua instruktur diundang, yang ngasih training dari PT X. Jadi untuk pengembangan instruktur“. (Y) “Ya jadi saya gak menunggu dari Yayasan B mengembangkan saya, tapi saya harus mengembangkan diri. Bagaimana saya dipake Yayasan B. Gak menunggu apa-apa dari Yayasan B, gak menunggu Yayasan B harus gimana gimana. Tapi saya harus memberikan nilai kepada Yayasan B” (Y)
Proses pengembangan yang dilakukan Yayasan B tentu memberikan nilai positif bagi para instruktur untuk terus memberikan yang terbaik bagi Yayasan B. Selain itu Yayasan B juga mendukung instruktur yang berkeinginan untuk menambah pengetahuannya. Hal ini membuat instruktur memiliki kemauan untuk terus maju agar menjadi lebih bernilai. Namun, proses pengembangan ini tentu membutuhkan usaha dari kedua belah pihak untuk saling mendukung dan berkembang. Maka dari itu penting untuk dapat saling mendukung satu sama lain agar terjalin hubungan jangka panjang yang saling menguntungkan. Pengembangan yang dijalani Yayasan B saat ini dirasakan masih belum optimal karena belum pernah ada evaluasi terkait kinerja para
63
instruktur sehingga mereka belum bisa mengetahui hal yang positif dan negatif yang mereka miliki. Berdasarkan penelitian Cross, Barry dan Garavan (2009), karyawan merasa bahwa performance monitoring merupakan salah satu hubungan seimbang antara karyawan dengan perusahaan dimana karyawan berkembang dan perusahaan memfasilitasi pengembangan tersebut. Berkaitan dengan masalah kinerja yang ada di Yayasan B, tidak adanya evaluasi kinerja yang diberikan kepada instruktur membuat instruktur tidak mengetahui apa yang sudah baik dan apa yang harus mereka perbaiki demi kemajuan karier mereka dan Yayasan B. Maka dari itu muncul permasalahan bahwa kinerja dari para instruktur dirasa kurang sesuai dengan yang diinginkan Yayasan B. “Misalnya saya disana berhasil membawa perusahaan atau ukm itu sesuai tergetnya. Mencapai sertifikat ISO. Nah itu tolong disampaikan ke pimpinan bahwa Pak SBU ini berhasil atau sebaliknya Pak SBU perlu improvement lagi. Perlu diriviu lagi terkait dengan pekerjaannya supaya kita juga tau yang baik dan yang kurang.” (U) 2. Pada tipe transaksional yang merupakan hubungan yang terbatas pada tuntutan kerja serta berfokus pada sesuai tidaknya imbalan yang diberikan perusahaan atas kerja karyawan. Instruktur berpendapat bahwa apa yang mereka terima saat ini sudah cukup sesuai dengan apa yang mereka berikan kepada Yayasan B. Namun ada juga pandangan yang menyatakan bahwa apa yang mereka terima saat ini dirasakan masih belum sesuai dengan yang sudah mereka berikan. “Kalau honor itu, kita ikut aturan standar
64
GOZALI & PANGGABEAN
saja. Kalau itu saya rasa sih cukuplah, memadai dengan apa yang kita lakukan. Itu..”. (T) “ya.. terus juga, kita kan modelnya ada pendampingan dan training. Nah itu kan kita kalo pendampingan kan tiga minggu sekali ke perusahaan itu kita datangi. Disitu sarana transportasi juga agak… ya akhirnya naik taksilah walaupun agak repot. Cuma mesti cari taksi dulu, mesti jalan, apa namanya eee… pokoknya kurang nyamanlah. Ada kendaraan tapi gak ada sopirnya. Gak ada drivernya. Kayak gitu sebenernya juga mengganggu dan mengurangi image. Eee… kami khususnya dan juga Yayasan B”. (U)
Adanya pandangan yang menyatakan bahwa apa yang diberikan instruktur saat ini masih belum sebanding dengan apa yang diberikan oleh Yayasan B dapat dikaitkan dengan fenomena yang terjadi di Yayasan B terkait dengan masalah etis yang muncul. Tidak sebandingnya apa yang diberikan oleh instruktur dengan apa yang mereka dapat membuat mereka mencari cara tersendiri untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga muncul permasalahan etis seperti yang dipaparkan sebelumnya. 3. Tipe ketiga yaitu relasional yang merupakan hubungan jangka panjang yang didasarkan pada keyakinan yang dibangun dan loyalitas yang terbentuk. Hubungan yang terbangun pada tipe ini menunjukkan hubungan jangka panjang antar kedua belah pihak. Instruktur merasa bahwa Yayasan B memiliki keyakinan terhadap kemampuan mereka dan mereka pun memiliki keyakinan pada Yayasan B sebagai pihak pemberi kerja dalam hal stabilitas kerja. Keyakinan antara instruktur dan Yayasan B
inilah yang kemudian membuat hubungan mereka dapat terus berjalan. Selain keyakinan, kesamaan nilai dan budaya yang dirasakan oleh instruktur membuat mereka merasa nyaman menjadi instruktur di Yayasan B. Partisipan juga menyatakan bahwa mereka berusaha untuk membangun relasi yang baik dengan Yayasan B melalui berbagai cara agar hubungan kerja mereka dapat terus berjalan. Hal ini pula yang mendukung instruktur ini untuk dapat terus bekerja sebagai instruktur di Yayasan B. “ya yang diberikan tentunya pertama adalah kepercayaan. Yayasan B sudah memberikan kepercayaan kepada saya sebagai trainer maupun instruktur. Ya itu.. kalau sudah punya kepercayaan kan sudah enak.” (Y) “sistemnya menurut saya sudah bagus. Yang tadi itukan, kita sudah sama-sama satu irama orang Grup A. Orang Grup A itu kan iramanya begitu. Kita kan sudah bertahun-tahun sudah menjadi budayalah.” (T) “saya mau terus menjadi instruktur selama dibutuhin aja dan sesuai dengan kompetensinya saja.” (U)
Tipe relasional ini memberikan dampak yang positif terutama jika dilihat pada lamanya hubungan kerja yang terjalin antara karyawan dan organisasi. Hubungan yang berlandaskan keyakinan ini juga membuat karyawan untuk dapat memberikan hal yang lebih kepada perusahaan. Begitu pula perusahaan sudah yakin kepada karyawan sehingga mereka dapat terus mempekerjakan karyawannya tersebut. Namun hubungan yang berlandaskan keyakinan ini dapat menjadi kurang baik apabila terjadi
KONTRAK PSIKOLOGIS
pelanggaran dari salah satu pihak. Seperti yang diungkapkan dalam penelitian Nadin dan Williams (2012), adanya investasi emosi antara karyawan dan perusahaan akan memperburuk perasaan keduanya terkait pelanggaran dan merusak hubungan yang dibangun atas dasar keyakinan dan saling menghormati. 4. Tipe terakhir yaitu transisional yang merupakan tahapan kognitif individu dalam merefleksikan konsekuensi dari perubahan yang terjadi. Instruktur dapat melihat adanya konsekuensi dari perubahan peraturan yang berbeda dari peraturan sebelumnya. Instruktur berpendapat bahwa pasti ada konsekuensi dari setiap tindakan yang mereka lakukan namun mereka kurang begitu memahami peraturan yang ada di Yayasan B karena dari Yayasan B sendiri tidak pernah menyampaikan peraturan yang berlaku kepada para instruktur sehingga tuntutan yang ada juga masih belum jelas. Misalnya untuk tuntutan kerja, selama ini belum ada tuntutan tertulis yang diminta dari Yayasan B maka dari itu instruktur kurang begitu memahami tuntutannya seperti dan mereka hanya menjalankan pekerjaannya sebaik mungkin. “target kerja sih secara tertulis saya gak tau. Target yang ditargetkan Yayasan B seperti apa, kriterianya yang bagus seperti apa. Mungkin Yayasan B punya target tapi saya tidak tahu. Jadinya ya saya hanya berusaha memberikan yang terbaik.” (Y) Berdasarkan hasil wawancara yang ada, partisipan juga menyebutkan bahwa perihal terkait standarisasi kerja dan sosialisasi sistem kerja masih perlu diperbaiki karena hal ini dapat berpengaruh pada kontrak psikologis mereka.
65
Instruktur menyatakan bahwa sistem pelaksanaan kerja di Yayasan B masih ada yang kurang dan perlu penyamarataan. Sistem kerja yang tidak seragam ini dapat menyebabkan kebingungan bagi para instruktur yang ada sehingga dapat mempengaruhi kinerja mereka. Sebagai contoh, ada instruktur yang kebingungan dalam menyusun invoice karena sebelumnya tidak pernah diberitahukan dari pihak Yayasan B sehingga ia harus bertanya kepada instruktur lain yang dinilai lebih senior. Standarisasi sistem kerja dirasakan penting namun masih belum dilaksanakan di Yayasan B. Selain dibutuhkan standarisasi sistem kerja, instruktur juga menyatakan bahwa perlu dilakukan sosialisasi peraturan jika memang ada. Sejauh ini belum pernah ada sosialisasi peraturan yang kemudian juga bisa menyebabkan kerja instruktur menjadi tidak sama antara satu dengan yang lainnya. “semua kita bicara dengan sop, ya kan. Sekarang adalah bagaimana penyamaan Bahasa dengan instruktur. Itu aja yang kasarannya masih agak lemah." (Y) “salah satunya adalah, tapi gak tau ini masih masuk apa nggak. Salah satunya begini kalau saya mau bikin invoice, standard nya apa sih. Sop ny seperti apa.” (Y) “Teknikalnya ngerti banget, ya kan. Tapi belum tentu dia bisa menyampaikan dengan baik kepada peserta training, apa yang dia lakukan, apa yang dia praktekkan selama ini di pabrik. Nah itu mungkin bisa jadi. Dikasihlah ilmu training for trainers. Nah itu salah satu yang perlu disamakan. Yang kedua, mungkinkan ada para trainer ini yang
66
GOZALI & PANGGABEAN
paham ilmu-ilmu apa yang pernah ditrainingkan. Mungkin ya, gak tau ya apa sudah ada programnya atau belum. Diseragamkan. Ya diseragamkan materinya sama, mungkin apa gitu kan. Adakan, kalo training needs nya sama gitu kan. Mungkin materinya bisa disamakan.” (U).
Kesimpulan dan Saran Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat ditarik beberapa kesimpulan terkait kontrak psikologis instruktur di Yayasan B: 1. Kontrak psikologis instruktur di Yayasan B berada pada kategori sedang. Artinya instruktur memiliki keyakinan terhadap Yayasan B. instruktur memandang bahwa kewajiban Yayasan B terhadap mereka dinilai sebanding dengan apa yang mereka berikan. Hal ini menunjukkan bahwa kontrak psikologis yang terbentuk masih belum optimal. 2. Tipe kontrak psikologis yang dominan muncul pada instruktur di Yayasan B adalah balance dan transaksional kemudian diikuti relasional dan transisional. 3. Pada tipe balance, instruktur merasa bahwa ada kesempatan bagi mereka untuk berkembang di Yayasan B dan Yayasan B juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkembang. Namun dukungan pengembangan yang diberikan Yayasan B dirasa masih belum optimal karena belum ada umpan balik bagi kinerja mereka saat ini. Hal ini pula dapat terkait dengan permasalahan kurang optimalnya kinerja dari para instruktur yang dirasakan oleh Yayasan B. Padahal hal ini dapat juga terjadi karena belum adanya umpan balik
dari Yayasan B kepada instruktur sehingga para instruktur belum mengetahui apa yang sudah baik dan perlu diperbaiki. 4. Berkaitan dengan tipe transaksional, ada dua pandangan instruktur yaitu ada yang merasa imbal jasa yang diterima sudah sesuai da nada yang merasa imbal jasa yang diterima belum sesuai. Ketidaksesuaian imbal jasa ini dapat mempengaruhi perilaku instruktur untuk mencari cara lain dalam memenuhi kebutuhannya. 5. Dari hasil wawancara, didapati bahwa belum adanya standarisasi sistem kerja sosialisasi dapat berpengaruh terhadap kontrak psikologis instruktur karena dapat menyebabkan kebingungan pada instruktur. 6. Berdasarkan gambaran tipe kontrak psikologis yang ada, maka pengembangan instruktur dapat dilakukan sesuai dengan tipe dominan serta sesuai dengan kondisi di Yayasan B. Berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian di atas, terdapat beberapa saran yang dapat diberikan kepada Yayasan B untuk pengembangan instruktur nantinya: 1. Terkait dengan pengembangan masingmasing individu dapat dilakukan pemberian umpan balik berkala ataupun setiap instruktur selesai bertugas. Selain itu hasil evaluasi pelatihan juga dapat disampaikan kepada instruktur agar mereka mengetahui apa yang sudah baik dan apa yang masih perlu ditingkatkan. 2. Terkait sistem kerja dapat dibuat standarisasi sistem kerja agar seluruh instruktur menjalani setiap proses yang sama dari awal hingga akhir. Standarisasi sistem kerja ini juga perlu disosialisasikan agar seluruh instruktur memahami peraturan
67
KONTRAK PSIKOLOGIS
yang ada. Tidak hanya itu, Yayasan B juga perlu memperhatikan imbal jasa bagi instruktur terkait fasilitas agar dapat membantu instruktur semakin memberikan kinerja yang terbaik. 3. Terkait dengan harapan Yayasan B dalam mengarahkan kontrak psikologis dengan instruktur ke arah relasional, maka yang perlu dilakukan kegiatan bersama bagi para instruktur untuk dapat mendukung terbentuknya kontrak psikologis tipe tersebut dengan cara saling berbagi ilmu (Conway & Briner dalam O’Neil dan Adya, 2007). Kegiatan ini dapat dilakukan melalui knowledge sharing yang merupakan kegiatan bertukar ilmu dengan tujuan untuk membantu orang lain dengan belajar bersama, memfasilitasi perukaran pengetahuan dan meningkatkan kemampuan untuk mencapai tujuan individu maupun organisasi (Dyer & Nobeoka dalam Abdullah, 2011). Knowledge sharing dilakukan agar instruktur dapat saling berbagi satu sama lain serta menyampaikan pandangan mereka terkait pekerjaan di Yayasan B. Yayasan B juga dapat mendengarkan pandangan dari para instruktur yang selama ini dirasakan karena dengan mendengarkan pandangan instruktur tersebut dapat membuat instruktur merasa dihargai oleh pihak Yayasan B. Perasaan dihargai ini dapat memunculkan rasa kesetaraan bagi para instruktur yang kemudian dapat mengarahkan pembentukan kontrak psikologis tipe relasional pada instruktur di Yayasan B. Knowledge sharing dapat dilakukan secara berkala setiap 6 bulan sekali. Setiap kegiatan mengajak 3 instruktur untuk sharing ilmu serta pengalaman mereka dalam memberikan
pelatihan dan menjadi instruktur di YDBA. Setelah sharing selesai, seluruh peserta dapat berdiskusi dan memberikan masukan. Begitu juga dengan pihak dari Yayasan B dapat ikut berdiskusi dan memberikan saran kepada instruktur mereka.
Referensi
Abdullah, N. L., Hamzah, N., Arshad, R., Isa, R. M. & Ghani, R. A. (2011). Psychological contract and knowledge sharing among academicians: Mediating role of relational social capital. International Business Research, 4(4), 231-241. Armstrong, M. (2009). Armstrong’s handbook of human resource management practice. Kogan Page: London. Kumar, R. (2005). Research methodology: A step-by-step guide for beginners (2nd ed.). London: SAGE Publications Ltd. Nadin, S. J. & Williams, C. C. (2012). Psychological contract violation beyond an employer’s perspective: The perspective of employers. Employee Relations, 34(2), 110125. Peraturam Direktur Jenderal Pajak. (2009). Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak. Poerwandari, E. K. (2009). Pendekatan kualitatif dalam penelitian perilaku manusia (3th ed.). Depok: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia. Rousseau (1995) Psychological contracts in organizations: Understanding written and unwritten agreements. London: Sage.P98.. Rousseau, D. M. (2000). Psychological contract inventory technical report. Pittsburgh: Heinz School of Public Policy and Graduate
68
GOZALI & PANGGABEAN
School of Industrial Administration, Carnegie Mellon University. Tanchaisak, K. (2005). An examination of psychological contract in Thailand. Au Journal of Management, 3(1), 31-40. Toppin, L. M. (2006). Defining the psychological contract of the virtual worker: Implication for the human. Unpublished dissertation, George Washington University, USA. Urbina, S. (2007). Essentials of psychology testing. New Jersey: John Wiley & Sons.
JPIO 2016, Vol. 3, No. 1, 69-80
STANDARISASI KOMPETENSI
ISSN 2302-8440
69
Standarisasi Kompetensi Pewarta Foto Indonesia Gita Widya Laksmini Soerjoatmodjo Program Studi Psikologi, Universitas Pembangunan Jaya, Banten
For the first time after 18 years of establishment, Indonesian Photojournalist Association (Pewarta Foto Indonesia/PFI) - a professional organization consisting of more than 800 photojournalists in 20 cities in Indonesia - assembles the standard of competence of this profession. Competence comprises of knowledge, skills, abilities and other characteristics to perform a job. Based on Indonesian Press Council guidelines and standards previously developed by Alliance of Independent Journalists (Aliansi Jurnalis Independen/AJI), Indonesian Television Journalists Associataion (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia/IJTI) and Indonesian Journalists Association (Persatuan Wartawan Indonesia/PWI), this descriptive qualitative action research focuses on PFI as a case study and uses semi-structure interview to 11 photojournalism experts from PFI to bring together their very own standard of competence. It is hoped that this writing contributes to PFI in developing its national standard as well as to Industrial and Organizational (I/O) Psychology as a relevant body of knowledge. Findings identity 11 key competence divided into basic (Pewarta Foto Muda), intermediate (Madya) and advanced (Utama) levels. This research recommends a different set of competences for freelancers/stringers who choose non-managerial career path in news organizations. Keywords: Competence, competency standardization, competency test, professional organization, Indonesian Photo Journalist
Menurut Aamondt (2010), kompetensi (competencies) adalah pengetahuan (knowledge), keterampilan (skills), kemampuan (abilities) dan karakteristik-karakteristik lain yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan (to perform a job). Agar dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik, seseorang butuh kompetensi sesuai (Rogelberg, 2007). Uraian tersebut mencakup juga ke konteks profesi pekerjaan (occupations) dengan orientasi
pelayanan publik yang memberikan jasa penting bagi masyarakat (Mortensen & Keshelashvili, 2013) Para pengemban profesi memiliki kompetensi eksklusif melalui rangkaian pendidikan dan pelatihan yang membekali nilai dan norma sebagai panduan yang dikodifikasikan antara lain menjadi kode etik. Karakteristik tersebut memberi otonomi pada tiap profesi untuk mengendalikan praktikpraktik di dalamnya dan memungkinkan tiap 69
70
SOERJOATMODJO
profesi menentukan siapa saja yang dapat memasuki profesi tersebut. Di Indonesia, Kementerian Ketenagakerjaan Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2016 tentang Sistem Standardisasi Kompetensi Kerja Nasional yang menjelaskan tentang Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI). SKKNI adalah rumusan kemampuan kerja yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan/atau keahlian serta sikap kerja yang relevan dengan pelaksanaan tugas dan syarat jabatan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini kemudian diterjemahkan oleh berbagai instansi, termasuk Dewan Pers sebagai lembaga independen yang berfungsi mengembangkan dan melindungi kehidupan pers di Indonesia. Dewan Pers menyusun standar kompetensi untuk profesi wartawan yang memberikan kesempatan kepada siapapun menjadi jurnalis asalkan memiliki kompetensi. Di sisi lain, standar kompetensi bertujuan meningkatkan profesionalisme para jurnalis karena publik kini dapat menilai jurnalis mana yang kompeten dan tidak (Dewan Pers, 2010a). Salah satu organisasi profesi jurnalis yaitu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan bahwa semua jurnalis harus ikut uji kompetensi agar kualitas kerja jurnalis terukur dan publik dapat mengontrol perilaku jurnalis di lapangan (Aliansi Jurnalis Independen, 2014). Salah satu profesi jurnalistik yang memandang penting isu kompetensi adalah Pewarta Foto Indonesia (PFI). Seperti halnya jurnalis, pewarta foto menghasilkan karya jurnalistik dalam bentuk foto. Foto jurnalistik merupakan produk atau karya visual dari jurnalisme yang memiliki nilai berita atau pesan yang penting diketahui khalayak dan
disebarluaskan melalui media massa (Laba, Laba, Rusmiwari, & Diahloka, 2013). Foto jurnalistik memiliki sifat serupa seperti berita tulis yakni memuat unsur apa (what), siapa (who), dimana (where), kapan (when), dan mengapa (why), dengan kekuatan pada penyampaian tentang bagaimana (how) yaitu: pembaca tidak perlu berandai-andai tentang bagaimana kejadian berlangsung karena hal tersebut jelas dalam foto, secara langsung foto jurnalistik menciptakan persepsi kejadian, serta foto jurnalistik mampu menimbulkan respon emosional lebih cepat daripada tulisan (Novia, 2012). Lebih lanjut, Novia (2012) menjelaskan bahwa pewarta foto merekam berbagai obyek atau peristiwa untuk disampaikan kembali kepada khalayak ramai. Oleh karena itu, seorang pewarta foto perlu memiliki kompetensi tertentu dalam mengungkapkan obyek foto sebagai fakta yang kemudian diolah sebagai produk jurnalistik. Di Indonesia, Pewarta Foto Indonesia menjadi wadah bagi mereka yang berprofesi sebagai pewarta foto, baik yang berstatus karyawan di media tertentu maupun freelance atau dikenal juga dengan istilah stringer. Pewarta Foto Indonesia (2015a) menjelaskan bagaimana organisasi profesi ini berawal. Sejarah pewarta foto Indonesia dimulai ketika pewarta foto kantor berita Jepang, Domei, Alex Mendur, dan adiknya Frans yang bekerja sebagai fotografer koran Asia Raya, mengabadikan Soekarno yang membacakan Proklamasi Kemerdekaan di Pegangsaan Timur 56 pada pagi tanggal 17 Agustus 1945. Sejarawan Asvi Warman Adam bahkan menggugah, seandainya Mendur bersaudara tidak ada di Pegangsaan Timur 56 ketika itu, maka boleh jadi Proklamasi diyakini tidak benar terjadi. Sejarah Indonesia kemudian
STANDARISASI KOMPETENSI
bergerak terus sampai bergulirnya reformasi menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang kemudian jadi tonggak lahirnya kebebasan pers di Indonesia. Perusahaan pers tumbuh subur seiring hilangnya pemberlakuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) untuk mendirikan perusahaan pers. Seiring dengan itu lahir banyak pewarta foto sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan profesi tersebut. Proses transisi politik menuju era reformasi dalam perjalanannya mengalami banyak turbulensi dimana kebebasan pers belum sesuai dengan marwahnya dan tindakan represif dialami insan pers terutama pewarta foto. Oleh karenanya, dilandasi nafas yang sama untuk membangun sistem perlindungan profesi yang kuat, maka sejumlah pewarta foto kemudian menggagas dibentuknya organisasi PFI. Pewarta Foto Indonesia (2015a) menjelaskan bahwa PFI yang berawal dari perkumpulan bernama Fokus di tahun 1992 kemudian berkembang menjadi organisasi profesi pada tanggal 18 Desember 1998. Sejak 2015, PFI diminta Dewan Pers untuk mengelola standarisasi kompetensi pewarta foto untuk dinormalisasi tahun ini. Maka di tahun ini, untuk pertama kalinya sejak berdiri 18 tahun lalu, PFI yang mewadahi lebih dari 800 jurnalis foto/pewarta foto di 20 kota di seluruh Indonesia menyusun standarisasi kompetensi. Agar dapat tepat menyusun standarisasi kompetensi, PFI membutuhkan gambaran kompetensi profesi pewarta foto. Studi deskriptif ini diperlukan sebagai basis standarisasi kompetensi atas anggota-anggota PFI yang tersebar di seluruh Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang kompetensi profesi pewarta foto guna menjawab kebutuhan di atas. Adapun rumusan masalah penelitian ini adalah:
71
bagaimana gambaran kompetensi profesi pewarta foto di Indonesia? Untuk menjawab hal tersebut, maka tulisan ini menggunakan sistematika yang terdiri dari latar belakang, kajian literatur, metodologi penelitian yang kemudian diikuti hasil penelitian serta ditutup dengan diskusi dan kesimpulan. Dalam konteks Psikologi Industri dan Organisasi, kajian tentang kompetensi mewarnai pembahasan seputar Manajemen Sumber Daya Manusia. Pembicaraan tentang kompetensi umumnya dikaitkan dengan analisis jabatan (job analysis) yaitu upaya mengidentifikasi tugas-tugas yang dilakukan dalam sebuah pekerjaan, dalam kondisi-kondisi seperti apa pekerjaan tersebut dilakukan dan pengetahuan, keterampilan serta kemampuan apa saja yang dibutuhkan untuk menjalankan sebuah pekerjaan dalam kondisi-kondisi tersebut (Aamondt, 2010). Kemudian seiring dengan perjalanan waktu, berkembanglah apa yang disebut sebagai competencies modeling yang menjadi pengembangan lebih lanjut dari analisis jabatan (Rogelberg, 2007). Selain itu, isu kompetensi juga lazim dikaji pada saat membicarakan tentang penimbangan kinerja (performance appraisal). Dengan menggunakan berbagai metode, penimbangan kinerja yang digunakan organisasi sebaiknya dilakukan untuk mengembangkan kompetensi (Kondrasuk, 2011). Dibandingkan dengan metode-metode lain, keunggulan menggunakan dimensi penimbangan kinerja yang fokus pada kompetensi adalah adanya kemudahan dalam memberikan umpan balik dan mengusulkan langkah-langkah yang dibutuhkan guna mengkoreksi kelemahan yang berhasil teridentifikasi (Aamondt, 2015). Pemahaman tentang kompetensi ini berguna untuk berbagai praktik manajemen sumber daya
72
SOERJOATMODJO
manusia termasuk rekrutmen, seleksi, pelatihan dan pengembangan, mengidentifikasi orangorang terbaik untuk mengisi posisi-posisi tertentu dan menjadi pondasi dari rencanarencana pengembangan yang memungkinkan berbagai individu untuk menargetkan hal-hal yang menjadi kekuatan atau membutuhkan pengembangan lebih lanjut (Noe, Hollenbeck, Gerhart & Wright, 2012). Terkait dengan kompetensi, dunia kerja mengenal apa yang disebut sebagai standar kompetensi. Standar kompetensi adalah acuan penting yang menyatakan tentang kompetensi sumber daya manusia - yang dapat digunakan antara lain untuk peningkatan kualitas dan daya saing tenaga kerja; rekrumen, seleksi dan penempatan sampai sertifikasi kompetensi (Antara News, 2015). Terkait hal terakhir, sertifikasi kompetensi ini dapat digunakan untuk memastikan agar kompetensi, keterampilan dan keahlian kerja yang dimiliki tenaga kerja Indonesia diakui oleh pasar kerja baik di dalam maupun di luar negeri. Sebagaimana dijelaskan di bagian sebelumnya, sejak tahun 2010, Dewan Pers bersama komunitas pers menjalankan program sertifikasi jurnalis untuk pemenuhan standar kompetensi jurnalis profesional (Al Hafiz et. al., 2014). Disusun berdasarkan konsensus masyarakat pers, standar kompetensi ini menjadi alat ukur profesionalisme jurnalis dalam melindungi kepentingan publik, hak pribadi masyarakat sekaligus menjaga kehormatan profesi. Dewan Pers menjelaskan sejumlah kata kunci (keywords) terkait standarisasi kompetensi sebagai Tabel 1. Hal yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah yang Dewan Pers sebut sebagai kompetensi minimal yang harus dimiliki seorang jurnalis sebagaimana ditetapkan dalam
standar kompetensi. Dewan Pers (2010) merumuskan kompetensi kunci sebagai kemampuan yang harus dimiliki untuk mencapai kinerja yang dipersyaratkan dalam pelaksanaan tugas - yang terdiri dari 11 kompetensi yaitu: 1) memahami dan menaati etika jurnalistik, 2) mengidentifikasi masalah terkait yang memiliki nilai berita, 3) membangun dan memelihara jejaring dan lobi, 4) menguasai bahasa, 5) mengumpulkan dan menganalisis informasi (fakta dan data) dan informasi bahan berita, 6) menyajikan berita, 7) menyunting berita, 8) merancang rubrik atau kanal halaman pemberitaan dan/atau slot program pemberitaan, 9) manajemen redaksi, 10) menentukan kebijakan dan arah pemberitaan, dan terakhir 11) menggunakan peralatan teknologi pemberitaan. Kompetensi-kompetensi tersebut di atas diujikan oleh Lembaga Penguji dengan menggunakan Uji Kompetensi dalam bentuk assessment center, yakni digunakannya beragam metode yang memunculkan berbagai karakteristik untuk digunakan dengan tujuan penilaian (Noe, Hollenbeck, Gerhart & Wright, 2012). Hal ini mengerucut pada hasil berupa keputusan kompeten atau tidaknya seseorang, yang merupakan potret dari competency assessment – yakni analisis atas serangkaian keterampilan, pengetahuan, kemampuan dan hal-hal lain yang dibutuhkan terutama agar bisa berhasil pada pekerjaan-pekerjaan yang berorientasi pada pengambilan keputusan (decision-oriented) dan memiliki bobot intensif pada pengetahuan (knowledge-intensive), yang memotret sifat-sifat apa saja yang dibutuhkan seseorang agar dapat memunculkan kinerja baik – antara lain motivasi, kepribadian, keterampilan antar pribadi dan lain-lain - dan bagaimana sifat-sifat tersebut sebaiknya
STANDARISASI KOMPETENSI
73
Tabel 1. Kata Kunci Standarisasi Kompetensi (Dewan Pers, 2010b) Kata Kunci Pengertian Standar Patokan baku yang menjadi pegangan ukuran dan dasar; model bagi karakter unggulan Kompetensi Kemampuan tertentu yang menggambarkan tingkatan khusus menyangkut kesadaran, pengetahuan dan keterampilan Wartawan Orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik berupa mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik, maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran lainnya Kompetensi Kemampuan wartawan untuk memahami, menguasai dan menegakkan profesi jurnalistik wartawan atau kewartawanan serta kewenangan untuk menentukan (memutuskan) sesuatu di bidang kewartawanan; menyangkut kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Lembaga Lembaga yang memenuhi kriteria Dewan Pers untuk melaksanakan uji kompetensi, yakni: Penguji Kompetensi 1) perguruan tinggi yang memiliki program studi komunikasi/jurnalistik, 2) lembaga pendidikan kewartawanan, 3) perusahaan pers dan 4) organisasi wartawan. Lembaga penguji berperan menentukan kelulusan dalam uji kompetensi dan Dewan Pers mengesahkan kelulusan uji kompetensi tersebut. Lembaga Penguji melalui proses verifikasi oleh Dewan Pers. Setelah dinyatakan lulus verifikasi dari Dewan Pers, maka Lembaga Penguji kemudian menentukan jenjang kompetensi. Uji Ujian kompetensi dilakukan oleh Lembaga Penguji. Soal Uji Kompetensi disiapkan oleh Kompetensi lembaga penguji dengan mengacu pada perangkat Uji Kompetensi dengan skala penilaian 10-100. Pilihan metode dalam Uji Kompetensi adalah a) ujian lisan, b) peragaan, c) praktik, d) studi kasus, e) jawaban tertulis, f) pilihan ganda, g) pemeriksaan produk, h) referensi, i) dokumen hasil kerja, j) pengamatan, k) metode lain yang terkait.Hasil Uji Kompetensi adalah a) kompeten (memperoleh nilai minimal 70) atau b) belum kompeten. Jurnalis yang belum kompeten dapat mengulang pada kesempatan ujian berikut. Apabila terjadi sengketa antar lembaga penguji atas hasil uji kompetensi, maka hal tersebut diselesaikan dan diputuskan Dewan Pers. Sertifikat Sertifikat kompetensi berlaku sepanjang pemegang sertifikat tetap menjalankan tugas Kompetensi jurnalistik. Apabila jurnalis pemegang sertifikat kompetensi tidak menjalankan tugas jurnalistik selama dua tahun berturut-turut, maka apabila yang bersangkutan kembali menjalankan tugas jurnalistik, maka kompetensi yang diakui adalah kompetensi terakhir dalam sertifikat tersebut Jenjang Berdasarkan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), kualifikasi kompetensi Kualifikasi kerja dikategorikan menjadi Jenjang I, II dan III. Untuk wartawan, kualifikasi kompetensi Kompetensi adalah: 1) Kualifikasi 1 Wartawan Muda (kompetensi: melakukan kegiatan), 2) Kualifikasi II Wartawan Madya (kompetensi: mengelola kegiatan) dan 3) Kualifikasi III Wartawan Utama (kompetensi: mengevaluasi dan memodifikasi proses kegiatan). Setelah menjalani jenjang Wartawan Muda sekurang-kurangnya 3 tahun, jurnalis tersebut berhak mengikuti uji kompetensi Wartawan Madya. Setelah menjalani jenjang kompetensi Wartawan Madya sekurang-kurangnya 2 tahun, jurnalis tersebut berhak mengikuti uji kompetensi Wartawan Utama.
digunakan dalam konteks dan budaya organisasi tertentu (Shell & Bohlander, 2007).
Selanjutnya standar kompetensi dari Dewan Pers tersebut mengalami pengembangan
74
SOERJOATMODJO
Tabel 2. Subjek Penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Subyek AP AR BW DW EW EP EN H P OM YS
Gender L L L L L L P L L L L
Keterangan Dosen fotografi spesialisasi foto jurnalistik Pewarta foto media berita nasional Pewarta foto kantor berita internasional Praktisi agensi foto Praktisi freelance Praktisi agensi foto Mantan editor kantor berita internasional Editor foto media berita nasional Dosen komunikasi Kurator galeri foto jurnalistik Peneliti sejarah foto jurnalistik Indonesia
Gambar 1. Wawancara pengambilan data
Gambar 2. Triangulasi hasil penelitian sesuai dengan karakteristik jurnalis per media. Hal ini muncul dari media televise. Karena jurnalis televisi memiliki ciri khas tersendiri dengan platform media audio visual yang
berbeda dengan jurnalis media cetak, maka Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia (IJTI) kemudian mengembangkan instrumen uji kompetensi yang diadopsi dari standar Dewan
STANDARISASI KOMPETENSI
Pers di atas dan diadaptasikan sesuai dengan kebutuhan (Al Hafiz et. al., 2013). Mengacu pada 11 kompetensi tersebut, IJTI menguraikan tiap kompetensi secara mendetil menggunakan deskripsi yang kontekstual dengan produk jurnalistik televisi sebagai karya kolaboratif. Dengan aspirasi serupa dengan IJTI, PFI berproses menyusun versi yang sesuai kebutuhan profesi pewarta foto. Standarisasi kompetensi tersebut dimaksudkan untuk diberlakukan pada mereka yang berprofesi sebagai pewarta foto. Pewarta foto didefinisikan secara operasional sebagai orang yang melakukan tugas-tugas fotografi jurnalistik secara konsisten untuk kepentingan media cetak, media online dan kantor berita (Pewarta Foto Indonesia, 2015b). Definisi tersebut mencakup juga pewarta foto lepas (freelancer/stringer) yang dijabarkan sebagai pewarta foto yang secara konsisten karya fotonya dimuat di media cetak, media online dan kantor berita - tanpa memandang status kepegawaian. Adapun pihak yang nantinya menjadi peserta standarisasi kompetensi ini adalah anggota PFI yaitu pewarta foto warga negara Indonesia - baik yang bekerja pada media cetak, media on-line, kantor berita maupun pewarta foto lepas yang karyanya dimuat secara konsisten selama dua tahun serta mendapat rekomendasi dari Pengurus Kota atau Pengurus Induk dari organisasi PFI (Pewarta Foto Indonesia, 2015b).
Metode Kenyataan bahwa PFI sebagai satu-satunya organisasi profesi pewarta foto di Indonesia dan pertama kali melakukan kajian standarisasi kompetensi merupakan salah satu aspek dalam menentukan metode penelitian. Penelitian ini memilih pendekatan riset aksi (action research)
75
yang bertujuan salah satunya untuk meningkatnya kemampuan anggota suatu komunitas menentukan takdirnya sendiri (Mertens, 2009). Hal ini sesuai dengan tujuan PFI menyusun standarisasi kompetensi. Karena kajian ini fokus pada satu unit analisa yakni PFI, maka penelitian ini termasuk studi kasus (case study) (Willig, 2008). Metode kualitatif dipilih karena bertujuan mendapatkan gambaran mengenai makna, termasuk di dalamnya interpretasi yang dibuat oleh individu atas diri mereka (Gigun, 2013). Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian yaitu menjawab pertanyaan penelitian tentang gambaran kompetensi pewarta foto dimana deskripsi tersebut diperoleh melalui uraian bagaimana pewarta foto memaknai profesinya, merefleksikan dan menginterpretasikan kompetensi apa saja yang dibutuhkan untuk menghasilkan foto jurnalistik dengan baik. Strategi penggalian informasi dalam penelitian ini adalah wawancara semi terstruktur (semi-structured interview) dimana sejumlah pertanyaan disusun berdasarkan urutan tertentu sehingga jawaban satu orang dapat diperbandingkan dengan orang lain, akan tetapi tetap ada ruang penggalian informasi lebih lanjut misalnya dengan pertanyaan lanjutan (probing) maupun menambah pertanyaan baru (Kothani, 2004 dan Stewart & Cash, 2006). Aspek komparasi wawancara semi terstruktur ini sesuai manfaat penelitian yang ingin dicapai yakni standarisasi kompetensi; di sisi lain strategi ini memungkinkan fleksibilitas penggalian mengingat aspek kebaruan (novelty) penelitian ini. Sejalan dengan strategi, teknik analisis penelitian adalah coding yaitu reduksi, kondensasi, distilasi, pengelompokan dan klasifikasi atas data kualitatif yang tekstual, non-numerik dan tidak terstruktur sampai
76
SOERJOATMODJO
Tabel 3. Kompetensi Pewarta Foto Muda, Madya dan Utama No 1
Kompetensi Kunci Memahami dan menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ)
Muda Mampu memahami dan mematuhi: 1. 2. 3.
2
Mengidenti-fikasi masalah yang terkait dan memiliki nilai berita
3
Membangun dan memelihara jejaring dan lobi
4
Menggunakan bahasa
5
Mengumpul-kan dan menganalisis informasi berupa fakta dan data bahan berita
6
Membuat foto
7
Mengedit foto
UU Pers KEJ Kode Etik PFI
1) Mampu memahami kebijakan redaksi 2) Mampu mengidentifikasi masalah yang memiliki nilai berita foto sesuai kebijakan redaksi 1) Mampu membuka komunikasi dan membangun kepercayaan narasumber 2) Mampu membuka dan mempertahankan hubungan baik dengan narasumber 3) Mampu memiliki basis data narasumber yang akurat dan terus diperbaharui Mampu menuliskan photo caption secara akurat sesuai kaidah jurnalistik 5W1H Mampu memiliki inisiatif mencari, menggali, memilih dan memilih informasi di lapangan dan/atau melakukan riset dari berbagai sumber untuk kepentingan liputan Mampu membuat single picture sesuai standar foto jurnalistik
Mampu melakukan editing dasar (memilih, resize, cropping, brightness, contrast, dll) dan filing foto sendiri sesuai dengan standar foto jurnalistik
diperoleh data yang memfasilitasi pemahaman
Pewarta Foto Madya Mampu memahami, mematuhi dan menegakkan: 1. UU Pers 2. KEJ 3. Kode Etik PFI Mampu mengelola peliputan dengan menyusun rencana dan strategi
Utama Mampu memahami, mematuhi, menegakkan dan melakukan edukasi dan/atau advokasi: 1. UU Pers 2. KEJ 3. Kode Etik PFI Mampu mengevaluasi dan/atau menentukan kebijakan dan/atau memutuskan dan/atau melakukan edukasi terkait nilai berita foto
Mampu mampu mengelola dan/atau mengkoordinasikan jejaring dan lobi
Mampu mengevaluasi dan/atau memberikan masukan terkait dengan jejaring dan lobi
2) Mampu menuliskan features secara akurat sesuai standar sesuai kaidah jurnalistik 5W1H Mampu melakukan dan/atau mengkoordinasikan tim untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi
(3) Mampu menuliskan opini secara akurat sesuai standar sesuai kaidah jurnalistik 5W1H Mampu mengevaluasi informasi dan/atau memberikan informasi tambahan untuk pengayaan
1) Mampu membuat photo story sesuai standar foto jurnalistik, dan/atau 2) Mampu mengelola dan/atau mengkoordinasikan proses peliputan foto Mampu memberikan arahan dan/atau pengayaan dan/atau membuat keputusan terkait foto yang dimuat sesuai dengan standar foto jurnalistik
1) Mampu membuat photo critics sesuai standar foto jurnalistik, dan/atau 2) Mampu mengevaluasi dan/atau mengubah proses peliputan foto Mampu mengevaluasi kebijakan pemuatan foto dan/atau menyusun standarisasi karakteristik foto jurnalistik
77
STANDARISASI KOMPETENSI
Kompetensi Pewarta Foto Muda, Madya dan Utama (lanjutan Tabel 3) 8
Merancang rubrik dan/atau kanal halaman pemberitaan (Berita Umum, Berita Ekonomi, Berita Olahraga dan Berita Budaya) Manajemen redaksi
Tidak ada
Mampu mengisi foto untuk rubrik dan/atau kanal halaman pemberitaan
Mampu mengevaluasi dan/atau merencanakan kebijakan dan/atau memutuskan rubrik /kanal pemberitaan
Mampu melaksanakan rencana kerja
Mampu menyusun dan/atau memodifikasi rencana kerja (program, budget, manajemen SDM, penimbangan kinerja/performance appraisal, dll) dan menyusun laporan hasil kerja secara periodik
10
Menentukan kebijakan dan arah pemberitaan
Mampu menerjemahkan keputusan rapat redaksi dalam mengelola dan/atau mengkoordinir proses liputan foto
11
Menggunakan peralatan teknologi informasi pemberitaan
1) Mampu mengikuti keputusan rapat redaksi 2) Mampu menerjemahkan keputusan rapat redaksi dalam pembuatan foto 3) Mampu memberi usul liputan foto dalam rapat redaksi Mampu menggunakan dan merawat alat kerja (kamera, lensa, flash, baterei, tripod, dll) sesuai standar
1) Memiliki kemampuan kepemimpinan/leader-ship dalam meng-arahkan kebijakan redaksi 2) Mampu mengevaluasi laporan kerja dan/atau mengembangkan program peningkatan kapasitas/capacity building SDM dan/atau mengembangkan sistem secara periodik Mampu mengevaluasi dan/atau mengubah keputusan rapat redaksi
9
atas fenomena (Basit, 2003). Langkah penelitian ini adalah sebagai berikut. Setelah melakukan serangkaian diskusi terkait rencana penelitian, PFI menyediakan daftar narasumber yaitu para pewarta foto yang dianggap pakar dalam organisasi profesi tersebut, mencerminkan keberagaman profesi pewarta foto serta memiliki kemampuan artikulasi memadai untuk memberikan uraian deskriptif tentang kompetensi. Kriteria ini yang digunakan untuk purposive sampling, yaitu
1) Mampu mengatur dan/atau mengusulkan peralatan fotografi 2) Mampu merancang liputan sesuai alat kerja 3) Mampu mengikuti perkembangan teknologi informasi pemberitaan
1) Mampu membuat keputusan investasi terkait alat kerja 2) Mampu menyusun sistem dan infrastruktur terkait alat kerja
metode pengambilan sampel berdasarkan kriteria yang relevan dengan penelitian, mewakili karakteristik kelompok yang diteliti serta sebisa mungkin mencerminkan keberagaman dari populasi yang dikaji (Ritchie, Lewis & Elam, 2003). Adapun narasumber tersebut adalah sebagai Tabel 2. Semua berusia di atas 40 dengan pengalaman bekerja sebagai pewarta foto minimal 5 tahun. Selama November-Desember 2015 dilakukanlah tahap pengumpulan data.
78
SOERJOATMODJO
Sebanyak 15 orang mahasiswa yang mengambil mata kuliah Psikologi Industri dan Organisasi mendapatkan pembekalan seputar isu kompetensi. Mereka kemudian difasilitasi untuk menyusun daftar pertanyaan wawancara. Uji coba daftar pertanyaan dilakukan melalui wawancara panel (panel interview) dengan salah satu narasumber (lihat Gambar 1). Setelah mendapatkan penugasan narasumber yang dilakukan secara acak, para mahasiswa kemudian melakukan riset internet tentang biodata para narasumber - termasuk di dalamnya mempelajari karya para pewarta foto sebagai bahan pembuka wawancara dan membangun hubungan baik (rapport). Kemudian kelompok yang terdiri dari 2-3 orang mahasiswa melakukan wawancara tatap muka maupun via telpon berdurasi 60-90 menit dengan para narasumber yang diawali dengan pernyataan kesediaan (informed consent) (lihat Gambar 1). Karena satu narasumber adalah warga negara asing yang mampu berbahasa Indonesia namun lebih nyaman bercakap-cakap menggunakan b ahasa ibunya, maka satu wawancara dilakukan dalam bahasa Inggris. Setelah menuntaskan pengumpulan data, mahasiswa menyusun transkripsi semi verbatim sebagai hasil wawancara sepanjang bulan Januari 2016. Pengolahan data dilakukan dengan mengaplikasikan coding atas transkripsi wawancara yang menghasilkan ekstraksi tematema kunci kompetensi pewarta foto. Teknik analisis yang digunakan adalah mengidentifikasi kata-kata kunci yang muncul dalam hasil transkripsi tersebut, kata-kata kunci tersebut kemudian dikelompokkan sesuai dengan referensi yang digunakan dalam penyusunan standarisasi kompetensi ini yaitu panduan dari Dewan Pers dan standar yang
telah disusun oleh organisasi profesi jurnalistik lainnya seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Adapun alat analisis (tool of analysis) yang digunakan dalam penelitian ini adalah 11 kompetensi kunci Dewan Pers yaitu: 1) memahami dan menaati etika jurnalistik, 2) mengentifikasi masalah terkait yang memiliki nilai berita, 3) membangun dan memelihara jejaring dan lobi, 4) menguasai bahasa, 5) mengumpulkan dan menganalisis informasi (fakta dan data) dan informasi bahan berita, 6) menyajikan berita, 7) menyunting berita, 8) merancang rubrik atau kanal halaman pemberitaan dan/atau slot program pemberitaan, 9) manajemen redaksi, 10) menentukan kebijakan dan arah pemberitaan, dan terakhir 11) menggunakan peralatan teknologi pemberitaan . Kesebelas kompetensi ini digunakan d alam bentuk matriks atau tabel. Langkah-langkah di atas dilakukan sepanjang bulan Februari-April 2016. Di bulan Mei, hasil tersebut didiskusikan dengan anggota PFI untuk mendapatkan masukan (lihat Gambar 2).
Hasil dan Diskusi Setelah menjalani proses tersebut di atas, penelitian ini menghasilkan gambaran tentang kompetensi pewarta foto untuk kategori Pewarta Foto Muda, Madya dan Utama. Hasil dari penelitian ini adalah sebanyak 11 kompetensi pewarta foto sesuai ketiga jenjang tersebut (lihat Tabel 3). Seperti dijelaskan sebelumnya, 11 kompetensi disusun mengikuti acuan standar kompetensi jurnalis media cetak dan televisi. Diskusi yang muncul dari penelitian ini
79
STANDARISASI KOMPETENSI
adalah perlunya untuk lebih mempertimbangkan kompetensi yang mewakili freelancer/stringer yang notabene pewarta foto fungsional atau yang memilih bekerja sepenuhnya di lapangan sehingga tidak mengemban tanggung jawab struktural di dalam manajemen redaksi media. Hal ini mengemuka terutama saat mendiskusikan tentang Kompetensi 9 Manajemen Redaksi dan Kompetensi 10 Menentukan Kebijakan dan Arah Pemberitaan.
narasumber. Obyektivitas peneliti diupayakan dengan mewawancarai narasumber tersebut secara panel, menggunakan layanan profesional transkripsi, melakukan randomisasi urutan pengolahan data, serta narasumber tersebut tidak terlihat dalam proses triangulasi. Peneliti juga perlu menyatakan tentang pengalaman kerja peneliti sebagai jurnalis sebagai salah satu faktor yang melatarbelakangi disusunnya penelitian ini.
Referensi Kesimpulan Penelitian ini mendapatkan hasil berupa gambaran kompetensi pewarta foto, sebagaimana diuraikan di bagian sebelumnya. Penelitian ini menyimpulkan bahwa 11 kompetensi kunci inilah yang harus dikuasai oleh pewarta foto di seluruh Indonesia, baik tingkat Muda, Madya maupun Utama, agar dapat menjalani profesi menghasilkan foto jurnalistik dengan baik.
Ucapan Terima Kasih Peneliti mengucapkan terimakasih kepada Lucky Pransiska dan semua rekan PFI, serta mahasiswa mata kuliah Psikologi Industri dan Organisasi yaitu: Sarah Meidyana Putri, Rachma Imandita Sapto, Thalia Mililani, Stephanie Nina Harefa, Amanda Fajrin Aprilli, Thomas Panji Wicaksono, Arniansyah, Ratih Eminiar Permatasari, Adzka Adzkiya, Eriska Yunisha, Yuzi Wiraayu Putri, Irma Prilisiana Paskahwati, Athaya Dwinda Zakiah, Yusrina Putri Febriani dan Karel Herman. Demi menegakkan etika penelitian, perlu disebutkan bahwa peneliti menikah dengan salah satu
Aamodt, M.G. (2015). Industrial/organizational psychology: An applied approach. California: Wadsworth Cengage Learning. Aamodt, M.G. (2010). Industrial/organizational psychology: An applied approach California: Wadsworth Cengage Learning. Antara News. (2015, 6 Februari). Indonesia baru miliki 406 standar kompetensi kerja. Diakses dari http://www.antaranews.com/berita/478547/ indonesia-baru-miliki-406-standarkompetensi-kerja. Antara Foto. (2013, 3 Desember). Peluncuran buku IPPHOS: Remastered edition: Garda depan fotografi jurnalistik kita. Diakses dari http://www.antarafoto.com/artikel/v138614 9730/garda-depan-fotografi-jurnalistik-kita Al Hafiz, A., Yudha, H., Prikurnia, I. H., Moera, M., Jazuli, M., & Hidayat, R. (2014). Uji kompetensi jurnalis televisi. Jakarta: Dewan Pers bekerjasama dengan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia. Aliansi Jurnalis Independen. (2014, 15 Februari). Uji kompetensi jurnalis untuk mengukur kualitas jurnalis. Diakses dari https://aji.or.id/read/berita/248/uji-
80
SOERJOATMODJO
kompetensi-jurnalis-untuk-mengukurkualitas-jurnalis.html. Basit, T. N. (2003). Manual or electronic? The role of coding in qualitative data analysis. Educational Research, 45(2), 143-154. doi: 10.1080/0013188032000133548. Dewan Pers. (2010a, 28 Januari). Dewan Pers selesaikan standar kompetensi wartawan. Diakses dari http://dewanpers.or.id/berita/detail/332/dew an-pers-selesaikan-standar-kompetensiwartawan. Dewan Pers. (2010b). Standar kompetensi wartawan. Jakarta: Dewan Pers. Kondrasuk, J. (2011). So what would an ideal performance appraisal look like? Journal of Applied Business and Economics, 12(1), 57. Kothani, C. R. (2004). Research methodology: Methods and techniques. New Delhi: New Age International. Laba, K., Rusmiwari, S., & Diahloka, C. (2013). Representasi visi surat kabar dalam foto jurnalistik. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2(1). Mertens, D. M. (2009). Transformative research and evaluation. New York: The Guilford Press. Mortensen, T. B. & Keshelashvili, A. (2013). If everyone with a camera can do this, then what? Professional photojournalists' sense of professional threat in the face of citizen photojournalism. Visual Communication Quarterly, 20(3), 144-158. doi: 10.1080/15551393.2013.820587 Noe, R. A., Hollenbeck, J. R. & Gerhart, B. & Wright, P. M. (2012). Human resource management: Gaining a competitive advantage. New York: McGraw-Hill Novia, A. H. (2012). Representasi buruh dalam
rubrik foto pekan ini (analisis semiotik foto dokumenter “Los, ruang cita rasa kelas atas” karya Raditya Mahendra Yasa KOMPAS edisi 7 Agustus 2011. (Skripsi). Universitas Muhammadiyah Malang, Jawa Timur. Pewarta Foto Indonesia. (2015a). Profil pewarta foto Indonesia. Manuskrip tidak dipublikasikan. Pewarta Foto Indonesia. (2015b). AD/ART Pewarta Foto Indonesia Manuskrip tidak dipublikasikan. Rogelberg, S.G. (2007). Encyclopedia of industrial and organizational psychology. New Delhi: SAGE Publication. Ritchie J., Lewis, J., & Elam, G. (2003). Designing and selecting samples. Qualitative research practice: A guide for social science students and researchers. London: SAGE Publication. Snell, S., & Bohlander, G. (2007). Human resource management. Ohio: Thomson Higher Education. Stewart, C., & Cash, W. (2006). Interviewing: Principles and practices. New York: McGraw Hill. Willig, C. (2007). Introducing qualitative research in psychology. New York: Open University Press.
STANDARISASI KOMPETENSI
81
JPIO
ISSN 2302-8440
Panduan Bagi Penulis Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi (Judul, 22 point Centered) Nama penulis, lengkap, tanpa gelar, tanpa posisi Nama dan alamat lembaga (12 point centered) Abstract is written in English, limited to 250 words, and written in single paragraph. Abstract should contain goal, research method, and short description of result. (11 point, use block format, no indentation). Keywords: written inline, three to ten words (10 point).
Dokumen ini ditulis sebagai pedoman format final artikel Jurnal Ilmiah Psikologi Industri dan Organisasi (JPIO). Bagian pendahuluan ini tanpa menggunakan heading “Pendahuluan” atau “Latar Belakang”.
Penulisan naskah pada umumnya mengikuti kaidahkaidah yang tertuang dalam Publication Manual of the American Psychological Association (APA) Edisi Keenam (2009). Heading tanpa penomoran dengan maksimal tiga peringkat sub-heading:
Panduan Bagi Penulis
Ini Heading
Isi artikel memerhatikan gagasan dasar yang dirumuskan oleh Sidang Penyunting, yang dapat dilihat dalam situs web www.jpio.org Revisi artikel hanya akan diterima dalam bentuk softcopy, dengan mengikuti format cetak (dokumen ini), selambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah surat pemberitahuan revisi. Penyunting tidak berkewajiban mengembalikan artikel yang tidak dimuat. Kepastian pemuatan/penolakan/revisi dilakukan secara tertulis. Manuskrip orisinal dikirimkan dalam format soft copy (Microsoft Word atau OpenOffice Writer) melalui media cakram kompak ke alamat surat Sidang Penyunting, atau melalui surat elektronik dengan alamat
[email protected]
Ini Sub-Heading Peringkat 1 (Italicize, Flush Left, Capitalize Keywords)
Format, Sistematika, Tabel, dan Gambar Artikel ditulis pada kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, spasi 1,25, rata kiri-kanan.
Teks dalam paragraf ini diberi indentasi first line dengan spasi atas ganda. Apabila sub-heading peringkat satunya adalah “Prosedur Pengumpulan dan Analisis Data”, maka teks dalam paragraf ini menerangkan hal tersebut. Badan utama artikel hasil penelitian berisi: (a) pendahuluan (memuat latar belakang & pernyataan masalah, tinjauan pustaka, kerangka berpikir, tujuan dan manfaat penelitian, hipotesis yang hendak diuji), (b) metode (memuat rancangan penelitian, gambaran partisipan, serta prosedur pengumpulan dan analisis data), (c) hasil (memuat hasil uji hipotesis, yang dapat menyertakan tabel, grafik, dan sebagainya), (d) pembahasan (memuat interpretasi dan evaluasi terhadap hasil penelitian, serta ulasan problem-problem terkait yang dipandang dapat
PANDUAN BAGI PENULIS
memengaruhi hasil penelitian), dan (e) kesimpulan, implikasi, dan rekomendasi. Tabel dan gambar harus diberi caption (judul/keterangan) menggunakan huruf besar di awal kata (Title Case untuk tabel dan Sentence case untuk gambar), serta dengan penomoran yang berurutan. Caption tabel diletakkan di atas, sedangkan gambar di bawah. Tabel dan gambar dibuat ukurannya tidak terlalu kecil. Usahakan penggunaan gambar dua warna (hitam-putih), dan hilangkan garis tepi gambar. Gambar disertakan dalam bentuk soft-copy dalam format JPEG. Sumber gambar disebutkan di bagian bawah gambar apabila bukan karya sendiri. Izin penggunaan atau bukti kepemilikan gambar harus disertakan apabila gambar tersebut dimiliki hak ciptanya oleh orang lain. Penulisan hasil olah statistik seperti contoh berikut: F(2, 116) = 2,80, p < 0,05 untuk ANOVA; atau t(60) = 1,99, p < 0,05 untuk uji-t; 2 (4, N = 90) = 10,51, p < 0,05 untuk kai kuadrat, dan sejenisnya.
Cara Mengacu dan Referensi Penulisan acuan mengikuti format APA. Contoh cara mengacu: Kotter (1995, h. 152) mengingatkan, “Setiap fase dari tahapan itu hendaknya dilalui,” namun .... Subagyo (“Kesalehan Lingual,” 2008) berargumen bahwa kekerasan verbal .... Sejumlah penulis (Harter, 1990, 1993; Harter, Whitesell, & Waters, 1997; McIntosh, 1996a; McIntosh, 1996b) menyampaikan kesimpulan yang serupa mengenai .... Referensi, terbatas pada sumber yang dirujuk, disusun urut berdasarkan abjad. Utamakan pustaka termuktahir (terbit sepuluh tahun terakhir), dan yang berasal dari sumber primer (laporan penelitian, artikel jurnal ilmiah). Contoh penulisan referensi adalah sebagai berikut.
Referensi Alison, L., Bennell, C., Mokros, A., & Ormerod, D. (2002). The personality paradox in offender profiling: A theoretical review of the processes involved in deriving background characteristics from crime scene actions. Psychology, Public Policy, and Law, 8(1), 115-135. Canter, C. (2003). Mapping murder: The secrets of geographical profiling. UK: Virgin Books. Harter, S., Waters, P. L., & Whitesell, N. R. (1997, April). Level of voice among adolescent males and females. Paper presented at the bi-annual meeting of the Society for Research in Child Development, Washington, D. C. Johnson, E. (1995). The role of social support and gender orientation in adolescent female development. Disertasi, tidak diterbitkan, University of Denver, Denver, CO. Murphy, H. B. M. (1976). Notes for a theory of latah. Dalam Lebra, W. P. (Ed.), Culture-bound syndromes, ethnopsychiatry, and alternative therapies. Honolulu: The University Press of Hawaii. National Council Against Health Fraud. (2001). Pseudoscientific psychological therapies scrutinized. NCAHF news, 24(4). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.ncahf.org/nl/2001/7-8.html Petition for the recognition of police psychology as a proficiency in professional psychology. (2008). Ditemukembali pada 18 Februari 2009, dari http://www.apa.org/crsppp/APA%20Police %20Psychology%20Proficiency%20PetitionFinal.pdf Shaw, M. E., & Costanzo, P. R. (2002). Teori-teori psikologi sosial (Sarlito W. Sarwono, Penerj. & Peny.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. (Karya asli diterbitkan tahun 1970) Taylor, C., & Clara, S. (2005, April). A new brain for Intel. Time Magazine, 9-10.
JurnalI l mi ah Psi kol ogiI ndustri& Organi sasi