FASE-FASE PERKEMBANGAN DESENTRALISASI DI INDONESIA SEJAK PRA KEMERDEKAAN HINGGA ERA ORDE LAMA Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan Pemerintahan kelas B yang diampu oleh Bapak Dr. Drs. Luqman Hakim.,M.Sc
Disusun Oleh :
Fauzan Rizaldi
125030107111022
FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2014
PENDAHULUAN Sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara merupakan hasil pemilihan dari masalah-masalah besar (great issues) yang dijumpai dalam proses politik, yakni apakah suatu negara akan memilih pemusatan kekuasaan (centralization)
ataukah
pembagian
kekuasaan
(desentralisasi).
Dalam
perkembangan pemerintahan Indonesia sejak masa kemerdekaan baik fase orde lama, orde baru dan era reformasi, Pemerintahan Indonesia sering berubah-ubah terhadap sistem pemerintahannya. Namun, suatu hal yang perlu dicermati dalam praktek penyelenggaran pemerintahan Indonesia yaitu adanya suatu pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan ini merupakan pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang lebih dikenal dengan istilah desentralisasi. Sesungguhnya desentralisasi telah berlangsung satu abad yang lalu sejak ditetapkannya UU desentralisasi tahun 1903. Lahirnya konsep Desentralisasi secara luas akhir-akhir ini merupakan upaya untuk mewujudkan seuatu pemerintahan yang demokratis dan mengakhiri pemerintahan yang sentralistik. Pemerintahan sentralistik menjadi tidak populer karena telah dinilai tidak mampu memahami dan memberikan penilaian yang tepat atas nilai-nilai yang hidup dan berkembang di daerah. Desentralisasi adalah pembentukan daerah otonom dengan kekuasaan kekuasaan tertentu dan bidangbidang kegiatan tertentu yang diselenggarakan berdasarkan pertimbangan, inisiatif, dan administrasi sendiri, sehingga akan dijumpai proses pembentukan daerah yang berhak mengatur kepentingan daerahnya. Menurut The Liang Gie (dikutip oleh Muhammad Fauzan, 2006 : 48) , desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada : 1. Dilihat dari sudut politik, desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan pada satu pihak saja yang apda akhirnya dapat menimbulkan tirani. 2. Penyelenggaraan desentralisasi dianggap sebagai pendemokrasian, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan dan melatih diri dalam menggunakan hak-hak demokrasi.
3. Dari sudut teknis organisatoris pemerintahan, desentralisasi adalah untuk mencapai suatu pemerintahan yang efesien. Desentralisasi sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Desentralisasi dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak Republik ini masih terjajah. Hanya saja karena arus desentralisasi dengan tuntutan otonomi yang lebih luas baru muncul seiring dengan tuntutan reformasi, terlihat seolah-olah pemerintahan Indonesia baru mengenal Desentralisasi di tahun 2001. Kemudian dalam awal masa kemerdekaan Republik Indonesia desentralisasi juga telah diterapkan di negeri ini. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya UU Nomor 1 Tahun 1945. Berdasarkan UU No. 1 tahun 1945 dinyatakan bahwa : “Adanya keseragaman di dalam pemerintahan daerah Di seluruh Indonesia dan penyederhanaan jenjang pemerintahan Sampai maksimum 3 tingkatan : provinsi, kabupaten (kota besar) dan kota kecil
(desa). Pemberian otonomi
dilakukan dengan membentuk komite Nasional Daerah sbg Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk Pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh KND dan dipinpin oleh kepala daerah.” Keadaan Desentralisasi di Indonesia terus berkembang, terlebih dalam pemerintahan era orde lama dimana keotoriteran Presiden Soekarno dan Pemerintahan
yang
cenderung
Sentralistik
berkombinasi
dengan
arus
desentralisasi. Melihat pemaparan dan menariknya fenomena diatas maka penulis tertarik dalam melihat perkembangan Desentralisasi di Indonesia melalui beberapa fase yaitu fase sebelum kemerdekaan di tahun 1901 hingga Era Orde Lama. Oleh karena itu penulis menggunakan judul “Fase-Fase Perkembangan Desentralisasi Di Indonesia Sejak Pra Kemerdekaan Hingga Era Orde Lama”.
PEMBAHASAN
Gambaran Umum Perkembangan Desentralisasi di Indonesia 1. Decentralisatie Wet 1903 Dari catatan sejarah, Indonesia telah mengenal desentralisasi sejak pemerintahan Hindia Belanda melalui pemberlakuan Decentralisasie Wet 1903 dan Bestuurhervormingswet 1922 yang membagi Hindia Belanda ke dalam daerah-daerah otonom meliputi provincie, regentschap (kabupaten) dan staatsgemeente (kota). Hindia Belanda lah yang pertama kali membawa konsep desentralisasisentralisasi di Indonesia. Tahun 1822 dapat dicatat sebagai tahun bermulanya konsep ini, sebagaimana telah dikeluarkannya Regelement op het Beleid der Regering van Nederlandsch Indie. Peraturan ini menegaskan bahwa di Hindia Belanda tidak dikenal adanya desentralisasi karena sistem yang digunakan saat itu adalah sentralisasi. Namun disamping sentralisasi, di kenal juga dekonsentrasi yaitu dikenal adanya wilayah-wilayah administrasi yang diatur secara hierarkis mulai Gewest (residentie), Afdeling, District, dan Onderdistrict. Sesuai dengan perubahan politik di negeri Belanda, sistem ini mengalami revisi. Pada tahun 1903 pemerintah Belanda melalui staatsblaad 1903 No. 326 mengundangkan Decentralisatie Wet yang memuat ketentuan yang berasal dari Regering Reglement tahun 1854. Dengan adanya peraturan ini dimungkinkan adanya daerah otonom (gewest) yang memiliki kewenangan mengurus keuangan sendiri. Ketentuan ini kemudian dipertegas lagi melalui Decentralisatie Besluit dan Locale Redenor-denantie yang dikeluarkan tahun 1905. Perkembangan desentralisasi saat itu, yang dimulai sejak tahun 1903 (vide Desentralisatie Wet 1903) di dorong oleh kebutuhan sebagai akibat mulai masuknya modal swasta dengan masuknya paham liberalism ke Hindia Belanda sejak tahun 1870 (vide Agrarische Wet 1870). Pengambilan keputusan yang masih disentralisasikan pada waktu itu menyebabkan beban pejabat-pejabat pemerintah
pusat makin lama makin bertambah berat dengan makin banyaknya masalah yang menyangkut pelayanan masyarakat yang harus di atur dan dilaksanakan oleh pemerintah. Akibatnya, pengambilan keputusan sangat lambat karena banyaknya masalah yang harus diputuskan oleh pusat. Selain itu, karena faktor jarak yang terlalu jauh, sehingga sering keputusan yang diambil tidak sesuai keinginan dan tidak tepat waktu karena pejabat pejabat pusat tidak cukup memahami permasalahan secara keseluruhan. Decentralisatie Wet itu sendiri merupakan undang-undang tentang desentralisasi atau otonomi daerah pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Decentralisatie Wet dengan nama asli Wet Houdende Decentralisatie van Het Bestuur in Nederlands-Indie itu diundangkan pada tanggal 23 Juli 1903 (dipublikasikan lewat Nederlandsche Staatsblad No. 329) merupakan amandemen terhadap Regeringsreglement 1854 (RR 1854). Regeringsreglement sendiri dalam bahasa Indonesia berarti peraturan pemerintah atau yang biasa disebut dengan konstitusi. Munculnya otonomi daerah lahir tersebut sebagai bentuk koreksi atas corak pemerintahan dan hubungan antara pusat‐daerah yang sentralistik, eksploitatif serta jauh dari nilai‐nilai demokrasi yang saat ini menjadi mainstream sistem politik yang berlaku di dunia. Adanya Amandemen Regeringsreglement 1854 (RR 1854) dengan menambahkan tiga pasal baru yang disisipkan diantara pasal 68 dan pasal 69 RR 1854 yaitu Pasal 68a, 68b dan 68c. Dengan adanya tiga pasal baru ini dimaksudkan agar reorganisasi pemerintahan menuju terwujudnya desentralisasi administratif di daerah-daerah akan dimungkinkan. Pasal 68 RR 1854 yang sudah ada sejak semula pada pokoknya berisi empat hal, yaitu : 1. Wilayah Hindia Belanda akan dibagi ke dalam satuan-satuan daerah dan pembagian itu akan dilakukan oleh raja. 2. Pemerintahan di daerah-daerah dilaksanakan oleh pejabat-pejabat tinggi (hoofdambtenaren) yang sebutan jabatannya akan ditentukan kemudian. 3. Gubernur Jenderal akan menetapkan instruksi-instruksi berkenaan dengan hubungan para pejabat tinggi daerah itu dengan berbagai pihak yang lain.
4. Kekuasaan sipil adalah kekuasaan yang tertinggi di daerah-daerah. Ide pemekaran daerah dari awal sejarah kemunculannya sebenarnya merupakan niatan untuk menata kembali daerah-daerah agar diperoleh suatu sistem pemerintahan yang efektif dan efisien dengan mendekatkan pelayanan publik ke rakyat. Ujung dari penataan ini tidak lain adalah suatu kesejahteraan rakyat yang lebih merata di semua daerah. Karena banyak kendala yang dihadapi dan dirasa kurang memuaskan karena hanya sedikit uang yang diserahkan ke daerah, UU desentralisasi 1903 kemudian diperbaharui dengan peraturan baru yang dikenal dengan nama Wet op de Bestuurhervorming tahun 1922. Dengan ketentuan perundang-undangan yang baru ini maka dibentuklah sejumlah provincie, regentschap, stadsgemeente, dan groepmeneenschap yang semuanya menggantikan locale resort. Gubernur diangkat oleh gubernur jenderal dan gubernur juga berkedudukan sebagai ketua provinciale raad dan college van gedeputeerden. Pembentukan sejumlah daerah dilakukan dengan dikeluarkannya ordonantie seperti ordonantie pembentukan provincie Jawa-Madura, provincie West Java, regentschap Batavia. Sementara pulau-pulau di luar Jawa Madura dibentuk melalui groepmeneenschap ordonant. Sehari-hari pemerintahan dijalankan oleh gouveneur untuk provincie, regent di regenschap, dan burgermeester di gemeente. (Yusoff dan Yusron, 2007; 102). Selain pembentukan pemerintahan yang baru tersebut, terdapat pula pemerintahan yang merupakan persekutuan asli masyarakat daerah setempat yang oleh banyak kalangan disebut zelfbestuurende lanschappen, yakni persekutuan masyarakat adat yang olah pemerintah kolonial Belanda tetap diakuai keberadaanya, seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, nagori di Rantau Kuatan (Riau), ratin dan penghulu di Siak, subak di Bali, marga di Sumatera Selatan, lembang di Toraja dan lain – lain di beberapa pulau di daerah jajahan Hindia Belanda. Untuk desa di Jawa diatur dengan inlandsche gemmenteordinantie (S.83/1906) atau IGO, dan untuk masyarakat adat di luar Jawa diatu dengan inlandsche gemmente-ordinantie buitengewesten (IS. 506/1931) atau IGOB.
Untuk desa-desa di luar Jawa kemudian diatur lebih lanjut degan desa ordinantie (S.356/1941) yang kemudian tidak terlaksana karena terjadinya Perang Dunia II (The Liang Gie, 1993; 18 -19). Adapun untuk memperjelas tentang desentralisasiwet maka akan dipetakan fase perkembangan desentralisasi sebelum masa kemerdekaan. Fase 1 (Masa Pemerintahan Hindia – belanda) Ciri-ciri pokok Desentralisatiewet: Ø
Kemungkinan pembentukan sesuatu daerah dgn keuangan sendiri utk
membiayai kebutuhan2nya yg pengurusannya dilakukan oleh sebuah raad. Ø
Bagi daerah yang dianggap telah memenuhi sayarat, maka dengan ordonantie
pembentukan, dipisahkanlah sejumlah uang setiap tahun dari kas negara utk diserahkan kpd daerah tsb, serta dibentuk raad bg daerah yg bersangkutan. VOC 1602 – 1800, VOC masuk ndonesia 1800 – 1942, Belanda masuk Indonesia 1855 – 1893, Van Den Bosc – Kultur Stelsel 1811 – 1816, Inggris masuk indonesia Ø Untuk gewestelijke raad, jabatan ketuanya dipegang oleh pejabat pusat yang menjadi kepala gewest yang bersangkutan. Ø Para anggota locale raad untuk sebagian diangkat, untuk sebagian duduk karena jabatannya dalam pemerintahan & sebagian lg dipilih, kecuali gemeenteraad semua anggotanya dipilh. Masa duduk keanggotaan itu sampai 1925 ditetapkan untuk 6 tahun,& setelah itu diubah menjadi 4 tahun. Ø Locale raad berwenang menetapkan locale verordeningen mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan-kepentingan daerahnya sepanjang belum diatur dalam peraturan perundangan pusat.
Ø Pengawasan terhadap daerah baik berupa kewajiban daerah untuk meminta pengesahan terlebih dahulu bagi keputusannya maupun hak menunda atau membatalkan keputusan daerah berada di tangan Gubernur Jenderal. Fase II Wet op de betuurshervorming (1922) Pemberian hak otonomi dan medebewind yg lebih tegas dan luas kpd daerah otonom dan memungkinkan pembentukan daerah otonom yg lebih luas dr “gewest “ lama (keresidenan) dgn nama provincie & dpt dibentuk daerah otonomo yg tingkatannya lebih rendah regentschaps & stadgemeente. Karakteristik Wet op de bestuurshervorming: Ø Susunan pemerintah daerah pd umumnya terdiri atas 3 organ: raad, coolege, kepala daerah. Ø Kepala daerah merupkan sejabat pusat sebagai adnministratif sekaligus organ daeraah dari daerah tersebut.
kepala
daerah
Ø Pengawasan thd daerah dilakukan gubernur jenderal, sedangkan daerah dibawah proponsi oleh college propinsi. Fase III Masa Pemerintahan Jepang (Fase 1942 – 1945) Pemerintahan militer diterapkan Jepang dgn membagi wilaya dalam 3 bagian : pemerintah militer AD yang berkedudukan di Jakarta untuk jawa &Madura; Bukit tinggi untuk Sumatra ;Pemerintah AL berkedudukan di Makassar untuk Sulawesi,Kalimantan, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian Barat (Gie, 1967). Ø Perjanjian Linggarjati 1947 1)
Belanda mengakui kedaulatan RI atas Jawa, Sumatra, Madura.
2)
Belanda dan RI akan kerjasama membentuk Negara Serikat
Ø Perjanjian Renville 1948 RI mengakui daerah-daerah yang diduduki Belanda pada agresi I menjadi daerah Belanda. Sumatra, Riau, Bangka Belitung, Jabar, Jatim, Jateng, adura. Ø Perjanjian Roem Royen 1949 1)
Pemerintahan Indonesia akan di kembalikan ke Yoguyakarta
2)
Indonesia – Belanda – Perundangan KBM
Kedudukan Propsi diganti dgn Syuu (setingkat keresidenan) sebagai daerah tingkat teratas & terpenting dalam pemerintahan daerah Syuu membawahi ken (regenttschap) dan Si (stadsgemeente Dlm wilayahnya). Selain itu dibentuk pula Tokubetu Si (Stadsgemeente luar biasa yg mempunyai kedudukan setingkat syuu hanya Jakarta. Raad & college dihapuskan & wewenangnya dijalankan kepala daerah (kentyoo&sityoo) sebagai membentuk sistem Pemerintahan tunggal. Pengawasan terhadap daerah otonom yang dulunya dilakukan Gouverneur generaal kini dilaksanakan oleh Gunseikan (pembesar pemerintah militer jepang) yang merupakan bawahan dari gunsireikan (panglima besar Militer Jepang.
2. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 UU No. 1 tahun 1945 Mengadakan keseragaman di dalam pemerintahan daerah Di seluruh Indonesia & penyederhanaan jenjang pemerintahan Sampai maksimum 3 tingkatan : provinsi, kabupaten (kota besar) dan kota kecil (desa). Pemberian otonomi dilakukan dengan membentuk komite Nasional Daerah sbg Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk Pemerintahan sehari-hari dibentuk Badan Eksekutif dari dan oleh KND dan dipinpin oleh kepala daerah. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menitikberatkan pada asas dekonsentrasi, mengatur pembentukan KND di keresidenan, kabupaten, kota berotonomi, dan daerah-daerah yang dianggap perlu oleh mendagri. Pembagian daerah terdiri atas dua macam yang masing-masing dibagi dalam tiga tingkatan yakni: 1) Provinsi 2) Kabupaten/kota besar 3) Desa/kota kecil. UU No.1 Tahun 1945 hanya mengatur hal-hal yang bersifat darurat dan segera saja. Dalam batang tubuhnya pun hanya terdiri dari 6 pasal saja dan tidak memiliki penjelasan.
3. Periode Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 Peraturan kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU Nomor 22 tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 1948. Dalam UU itu dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni: a) Propinsi b) Kabupaten/kota besar c) Desa/kota kecil d) Yang berhak mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Ada 3 tingktan; provinsi, kabupaten atau kota besar & desa atau kota kecil. Pemerinrah Daerah terdiri darr DPRD dan dewan pemerintah Daerah. Daerah otonom memiliki 2 Fungsi; mengatur (regeling) &mengurus (bestuur) urusan otonomi. UU menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur pemrintah daerah. Pemrintahan lokal terdiri dari DPRD (legislatif) dan Dewan Pemrintah Daerah (eksekutif). DPD menjalankan pemerintahan sehari-hari.Anggota DPD secara bersama-sama bertanggungjawab pada DPRD. Kepala daerah menjadi ketua dan anggota DPD. Kepala daerah diangkat & diberhentikan degan ketentuan umum : A. Kepala Daerah Provinsi diangkat oleh presiden dari calon yang diajukan DPRD Provinsi. B. Kepala Daerah Kabupaten/Kota besar diangkat oleh Mendagri dari calon yang diajukan oleh DPRD Kabupaten/Kota besar. C. Kepala desa/nagari/marga diangkat oleh kepala daerah provinsi dari calon yang diajukan desa. D. Kepala daerah dapat diberhentikan oleh pejabat yang mengangkat atas usul DPRD yg bersangkutan.
E. Kepala Daerah istimewa diangkat oleh presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa. Wakil kepala daerah istimewa adalah anggota DPD. 4. Periode Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 Dihapuskannya dualisme pemerintah daerah dengan ketentuan kepala daerah hanya menjalankan tugas-tugas yang menjadii urusan daerah otonomnya dengn tugas pengawasan yang selama ini diembannya diambil alih oleh mendagri. UU ini menganut sistem otonomi riil yang berarti desentralisasi didasarkan pd faktor-faktor bakat, kesanggupan yang nyata & kemampuan riil dari daerah maupun pusat serta bertalian dengan pertumbuhan kehidupan masyarakat yang terjadi. Berdasarkan UU nomor 1 Tahun 1957 Ada 3 tingkatan daerah otonom : Tingkat I (propinsi termasuk kotapraja Jakarta raya); Daerah tingkat II(Kabupaten/kota besar termasuk kotapraja; Daerah tingkat III (desa/kota kecil). UU menentukan bahwa pemerintahan lokal menggunakan nomenklatur pemrintah daerah ; terdiri dari legislatif (DPRD) dan eksekutif (DPD). Pimpinan sehari-hari pemrintahan daerah dijalankan oleh DPD. DPD menjalankan keputusan2 DPRD. Anggota DPD dlm menjalankan tugasnya secara bersama2 bertanggungjawab pada DPRD dan wajib meberi keterangan yg diminta DPRD. Kepala Daerah dipilih, diangkat, dan diberhentikan menurut atauran yang ditetapkan dengan Undang-Undang sendiri. Untuk sementara waktu kepala daerah dipilih oleh DPRD dengan syarat-syarat tertentu dan disahkan oleh presiden unttk kepala daerah dari tingkat 1 atau Menteri Dalam Negeri atau penguasa yang ditunjuk olehnya untuk kepala daerah dari tingkat ke II dan ke III. Kepala daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu
di zaman sebeluerah
Istimewa Tingkat I atau Meneteri Dalam negeri bagi Daerah Istimewa tingkat II dan III. Kepala & Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi ketua serta anggota dan wakil ketua serta anggota dari DPD.
Menurut UU No. 1 Tahun 1957, daerah otonom diganti dengan istilah daerah swatantra. Wilayah RI dibagi menjadi daerah besar dan kecil yang berhak mengurus rumah tangga sendiri, dalam tiga tingkat, yaitu: 1) Daerah swatantra tingkat I, termasuk kotapraja Jakarta Raya 2) Daerah swatantra tingkat II 3) Daerah swatantra tingkat III. UU No. 1 Tahun 1957 ini menitikberatkan pelaksanaan otonomi daerah seluas-luasnya sesuai Pasal 31 ayat (1) UUDS 1950. 5. Periode Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Penpres No. 6 Tahun 1959 yang berlaku pada tanggal 7 November 1959 menitikberatkan pada kestabilan dan efisiensi pemerintahan daerah, dengan memasukkan elemen-elemen baru. Penyebutan daerah yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri dikenal dangan daerah tingkat I, tingkat II, dan daerah tingkat III. Dekonsentrasi sangat menonjol pada kebijakan otonomi daerah pada masa ini, bahwa kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, terutama dari kalangan pamong praja. Penpres No. 6 Tahun 1959 menyatakan Pemerintahan Daerah terdiri dari kepala daerah dengan dibantu Badan Pemerintah Harian (BPH) sebagai eksekutif, dan DPRD sebagai Legislatif. Kepala daerah diangkat dan diberhentikan presiden bagi daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri &otonomi Daerah bagi daerah tk II. Kepala Daerah adalah pegawai negara &karenanya tdk dapat diberhentikan krn keputusan DPRD. BPH tediri dari 3 sampai 5 anggota kecuali yang berasal dari anggota DPD sebelumnya. Anggota BPH diangkat dan diberhentikan menurut aturan yang ditetapkan Mendagri dan Otoda. Penyesuaian pada tahun 1960 dilaksanakan dgn penetapan presiden no.5 Tahun 1960. Peratturan ini mengatur tentang DPRD Gotong Royong (DPRD-GR)
dan sekretariat daerah. Ditetapkan pula bahwa kepala daerah krn jabatannya adalah Ketua DPRD –GR. 6. Periode Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 Menurut UU ini, wilayah negara dibagi-bagi dalam tiga tingkatan yakni: 1) Provinsi (tingkat I) 2) Kabupaten (tingkat II) 3) Kecamatan (tingkat III) Sebagai alat pemerintah pusat, kepala daerah bertugas memegang pimpinan kebijaksanaan politik polisional di daerahnya, menyelenggarakan koordinasi antarjawatan pemerintah pusat di daerah, melakukan pengawasasan, dan menjalankan tugas-tugas lain yang diserahkan kepadanya oleh pemerintah pusat. Sebagai alat pemerintah daerah, kepala daerah mempunyai tugas memimpin pelaksanaan kekuasaan eksekutif pemerintahan daerah, menandatangani peraturan dan keputusan yang ditetapkan DPRD, dan mewakili daerahnya di dalam dan di luar pengadilan. Bunyi UU No. 18 tahun 1965 diantaranya : 1. Daerah-daerah yang memiliki otonomi khusus menurut UU No. 1 Tahun 1957 boleh dikatakan dihapus secara sistematis dan diseragamkan dengan otonomi biasa. 2. Pemerintah Daerah terdiri dari DPRD (Legislatif) dan Kepala daerah dibantu Wakil Kepala daerah dan Badan Pemerintah Harian 3. Masa jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah serta anggota BPH adalah 5 tahun. Kepala daerah adalah pegawai negara. Kepala daerah adalah wakil pemerintah pusat sekaligus pejabat dlm pemerintahan daerah. 4. Kepala daerah dan Wakil Kepala daerah serta anggota BPH diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bagi Dati I, Mendagri dengan persetujuan presiden bagi Dati II, kepala Dati I dgn persetujuan Mendagri bagi daerah Tkt III yg ada dalam Dati I.
DAFTAR PUSTAKA Darmawan, Mulia. Perkemabangan Desentralisasi dan otonomi Daerah di Indonesia. Dalam. 2012. http://muliadarmawan.blogspot.com/2012/ 03/perkembangan-desentralisasi-dan-otonomi.html. Ismail, Dede. 2011. Decentralisatie Wet dan Pembentukan Provinsi. Dalam http://www.dede ismail .com/2011/12/decentralisatie-wet-dan-undangundang.html. Kaho, Josef Riwi. 2005. Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Lindranesia. 2013. Sejarah Desentralisasi. Dalam http://lindranesia.blogspot.Com /2013/05/sejarah-desentralisasi.html. Wijoyokusumo. 2010. Sejarah Desentralisasi Indonesia. dalam http:// wijoyokusumo.wordpress.com/2010/08/11/sejarah-desentralisasi-diIndonesia/. http://mithapujirahayu.blogspot.com/2012/07/sejarah-pertumbuhan-desentralisasidi.html