ISSN 0216-9169
Fauna Indonesia Volume 9, No. 1 Juni 2010
t
Zoologi In
M
donesia
asyaraka
Uca dussumieri
MZI
Pusat Penelitian Biologi - LIPI Bogor
Fauna Indonesia
Fauna Indonesia merupakan Majalah llmiah Populer yang diterbitkan oleh Masyarakat Zoologi Indonesia (MZI). Majalah ini memuat hasil pengamatan ataupun kajian yang berkaitan dengan fauna asli Indonesia, diterbitkan secara berkala dua kali setahun
ISSN 0216-9169 Redaksi Haryono Awit Suwito Mohammad Irham Kartika Dewi R. Taufiq Purna Nugraha Tata Letak Kartika Dewi Alamat Redaksi Bidang Zoologi Puslit Biologi - LIPI Gd. Widyasatwaloka, Cibinong Science Center JI. Raya Jakarta-Bogor Km. 46 Cibinong 16911 TeIp. (021) 8765056-64 Fax. (021) 8765068 E-mail:
[email protected]
Foto sampul depan : Uca dussumieri - Foto : Dewi Citra Murniati
PENGANTAR REDAKSI Tahun 2010 adalah momen yang penting bagi para pemerhati fauna karena PBB menetapkan bahwa 2010 merupakan Tahun Keanekaragaman Hayati. Untuk selanjutnya setiap tanggal 22 Mei diperingati sebagai Hari Keankeragaman Hayati Sedunia. Oleh karena itu, bangsa Indonesia sebagai Negara yang dikaruniai kekayaan hayati yang sangat melimpah sudah saatnya untuk melakukan berbagai kajian yang mengarah pada pemanfaatan dan upaya konservasinya. Sejalan dengan hal tersebut maka majalah Fauna Indonesia sudah semestinya untuk terus dihidupkan dan dikembangkan sehingga dapat memenuhi tuntutan/kebutuhan informasi pada masa kini maupun yang akan datang. Fauna Indonesia merupakan salah satu wadah informasi mengenai keragaman fauna asli Indonesia dengan segala aspeknya. Dalam perjalanannya, tidak dipungkiri Fauna Indonesia sering mengalami keterlambatan penerbitan yang diantaranya disebabkan oleh ketidakcukupan naskah. Untuk itu kami mengharapkan agar organisasi profesi Masyarakat Zoologi Indonesia (MZI) sebagai payungnya dapat diaktifkan kembali. Selain itu kepada semua pembaca dapat ikut berkontribusi untuk memajukan majalah ini. Kami mohon maaf bila terdapat kekosongan penerbitan pada edisi/tahun tertentu. Pada edisi ini, Fauna Indonesia menyajikan berbagai informasi yang cukup menarik untuk disimak para pembaca, antara lain: Studi ekologi biawak (Varanus salvator ) di Pulau Biawak, Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822), mamalia bersisik yang semakin terancam, Kura-kura dan Bulus yang diperdagangkan di Propinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta, Mengenal Kerang Kupang Musculista senhousia (Benson in Cantor, 1842), Keanekaragaman Uca spp. dari Segara-Anakan, Cilacap, Jawa Tengah sebagai pemakan deposit, Ular Cabe Calliophis intestinalis (Laurenti, 1768 ) Seperti terbitan nomor sebelumnya, kami dapat hadir di hadapan para pembaca atas bantuan pendanaan dari Proyek Diseminasi Informasi Biota Indonesia Tahun 2010. Redaksi Fauna Indonesia mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat Penelitian Biologi-LIPI dan KSK Proyek Diseminasi Informasi Biota Indonesia. Ucapan terima kasih kami sampaikan pula kepada Kepala Bidang Zoologi-Pusat Penelitian Biologi yang telah memfasilitasi, serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam penerbitan ini. Akhirnya kami ucapkan selamat membaca. Redaksi
i
DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI ............................................................................................................................... i DAFTAR ISI . ...................................................................................................................................................... ii STUDI EKOLOGI BIAWAK (Varanus salvator ) DI PULAU BIAWAK.. . ............................................... 1 Abdul Wakhid TRENGGILING (Manis Javanica Desmarest, 1822), MAMALIA BERSISIK YANG SEMAKIN TERANCAM......................................................................................................................................................... 5 Wartika Rosa Farida KURA-KURA DAN BULUS YANG DIPERDAGANGKAN DI PROPINSI JAWA TENGAH DAN YOGYAKARTA.......................................................................................................................................10 Hellen Kurniati MENGENAL KERANG KUPANG Musculista senhousia (BENSON in CANTOR, 1842) ..............15 Ristiyanti M. Marwoto KEANEKARAGAMAN Uca spp. DARI SEGARA-ANAKAN, CILACAP, JAWA TENGAH SEBAGAI PEMAKAN DEPOSIT..................................................................................................................19 Dewi Citra Murniati ULAR CABE Calliophis intestinalis (Laurenti, 1768 ).....................................................................................24 Irvan Sidik
ii
Zoologi In
Fauna Indonesia
M
donesia
asyaraka
t
Fauna Indonesia Vol 9(1) Juni 2010 : 5-9
MZI
TRENGGILING (Manis Javanica Desmarest, 1822), MAMALIA BERSISIK YANG SEMAKIN TERANCAM Wartika Rosa Farida Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi - LIPI Summary Trenggiling (Pangolin or Scaly Anteater, Manis javanica) is a member of the order Pholidota which has unique feature due to its scaly keratin armored that almost enclosed its whole body. They are present in tropical regions of Africa and Southeast Asia. There is only one extant family Manidae and one genus Manis of Pangolins, comprising eight species. Sunda Pangolin is classified as Lower Risk: near threatened by the IUCN and in Appendix II of CITES. Due to high demand of pangolins’ product in China, wild population is under threats by high hunting pressure. According to hunters in Southeast Asia, pangolin is getting scarce. This animal will face a high risk of extinction in the near future.
Pendahuluan
sama sebagai satwa karnivora (Murphy et al., 2001). Beberapa ahli Paleontology mengklasifikasikan trenggiling ke dalam bangsa Cimolesta bersama dengan beberapa kelompok satwa yang telah punah. Hingga saat ini tercatat delapan jenis trenggiling dari suku Manidae, marga Manis, yaitu Manis crassicaudata (Indian pangolin hidup di India dan Srilangka), M. culionensis (Palawan pangolin hidup di Philippina), M. gigantea (Giant pangolin hidup di Afrika), M. javanica (Sunda/Malayan pangolin, hidup di Indonesia, Malaysia, dan Indochina), M. pentadactyla (Chinese pangolin hidup di Nepal, Himalaya Timur, Myanmar dan China), M. temminckii (Cape pangolin hidup di Asia), M. tetradactyla (Long-tailed pangolin hidup di Asia), dan M. tricuspis (Tree pangolin hidup di Asia) Klasifikasi trenggiling menurut Myers et al., 2008 adalah sebagai berikut: Kelas : Mamalia Sub kelas : Theria Bangsa : Pholidota Suku : Manidae Marga : Manis Jenis : Manis javanica Desmarest, 1822 Nama umum : Trenggiling (Bahasa Indonesia) Sunda/Malayan Pangolin (Bahasa Inggris)
Trenggiling adalah satu-satunya mamalia nokturnal unik di Asia mirip reptilia, tubuhnya ditutupi sisik yang terdiri dari keratin yang tersusun sangat keras kecuali di bagian bawah perutnya (Mike & Briggs, 2006). Bentuk kepalanya kecil dan tirus ke arah ujung moncongnya, plus mata dengan kelopak mata tebal. Kaki belakangnya lebih panjang dan besar daripada kaki depan. Bentuk tubuhnya memanjang, ukuran tubuh dari kepala hingga pangkal ekor berkisar 50-55 cm dan panjang ekor berkisar 35-45 cm, memiliki dua pasang kaki yang pendek dilengkapi cakar yang kuat berguna untuk menggali tanah dan menghancurkan sarang semut dan rayap (Payne dan Francis, 1998). Bobot badannya berkisar 5-7 kg. Ekornya berotot kuat berfungsi juga sebagai lengan (prehensil) untuk berpegangan waktu memanjat pohon (Corbet dan Hill, 1992; Nowak, 1999). Trenggiling pernah diklasifikasikan dengan berbagai bangsa/ordo satwa seperti Xenarthra yang tergolong pemakan semut (anteater) yaitu sloths (Bradypus variegates) dan armadillos (Ordo Cingulata, Suku Dasypodidae, Marga Dasypus), tetapi pembuktian secara genetik ternyata tidak ada hubungan kekerabatan yang dekat walaupun sama-
5
FAUNA INDONESIA Vol 9(1) Juni 2010 : 5-9
dengan baik di penangkaran. Melihat kondisi yang memprihatinkan ini maka IUCN (International Union for Conservation of Natural Resources) mencantumkan trenggiling kedalam red data book dengan kategori endangered. Sedangkan CITES (Convention of International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), mengkategorikan trenggiling ke dalam Appendiks II sejak 7 Januari 1975 (Inskipp dan Gillett, 2005), Gambar 1 Trenggiling (Manis javanica) (Foto : W.R. Farida, 2005)
Pangolin Javanais (Bahasa Perancis) Pangolín Malayo (Bahasa Spanyol) Trenggiling tersebar di hutan-hutan Myanmar, Thailand, Indochina, Semenanjung Malaysia, Singapura dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, serta pulau Palawan dan Culion (Philippina). Satwa ini dapat hidup pada habitat hutan primer, hutan sekunder, hutan semak, dan daerah perkebunan karet maupun kelapa sawit. Penyebarannya di Indonesia meliputi Sumatera, Pulau Nias, Pulau Pagai, Pulau Bangka dan Belitung, Jawa, Bali, Kalimantan, dan Lombok. Dilaporkan oleh Gaubert & Antunes (2005), Palawan pangolin (M. culionensis) yang merupakan jenis endemik di pulau tersebut dulunya berasal dari Kalimantan. Status Konservasi Trenggiling merupakan salah satu mamalia dilindungi di Indonesia sejak tahun 1931, berdasarkan ordonansi Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 No. 266 dan diperkuat dengan UndangUndang No. 5 Tahun 1990 yang dipertegas dengan surat Keputusan Menteri Kehutanan No.301/KptsII/1991 dan No. 882/Kpts-II/1992. Saat ini kondisi populasi alam trenggiling dalam ancaman yang tinggi. Volume perdagangan yang tinggi terutama untuk sisik dan daging merupakan faktor utama berkurangnya populasi mereka, terutama populasi dari Indonesia (Bräutigam et al., 1994). Abas (2002) dan Simon (2004) melaporkan ditemukannya perdagangan ilegal sejumlah 1200 ekor trenggiling untuk sekali angkut dengan kapal laut yang terjadi secara regular di wilayah Asia Tenggara. Hal ini diperparah, menurut Wilson (1994), fakta bahwa pemulihan populasi tidak diikuti keberhasilan penangkaran trenggiling, karena trenggiling tidak dapat hidup dan berkembangbiak
6
Perilaku dan Pakan Berdasarkan tampilan fisik, trenggiling betina lebih pendek dari trenggiling jantan. Satwa ini memiliki lidah yang dapat dijulurkan hingga sepertiga dari panjang tubuhnya untuk mencari semut dan rayap di sarangnya (Payne dan Francis, 1998). Trenggiling mempunyai dua pasang kaki yang pendek dengan cakar yang kuat, mulut, mata, telinga dan sisik yang sangat keras yang mengandung keratin. Fungsi sisik adalah untuk melindungi dirinya dari musuh, dengan cara menggulung tubuhnya hingga berbentuk seperti bola, menyembunyikan kepalanya di antara gulungan ekornya. Selain itu ekornya yang besar bersisik tebal dan tajam dapat dikibaskan hingga melukai musuhnya. Satwa ini pintar memanjat dengan cara menggunakan ekornya yang prehensil (berfungsi sebagai alat pemegang). Indra penglihatan dan pendengarannya lemah, tetapi penciumannya sangat baik. Bila merasa terancam, trenggiling akan menyemprotkan cairan berbau busuk yang dihasilkan kelenjar dekat anusnya. Satwa ini aktif di malam hari (nocturnal). Puncak aktivitas trenggiling di habitatnya antara pukul 03.00 hingga 06.00 (Lim et al., 2008). Dalam melakukan kegiatannya, trenggiling mampu berjalan beberapa kilometer dan dapat kembali ke lubang sarangnya yang biasa ditempati untuk jangka waktu beberapa bulan. Trenggiling biasa berjalan dengan empat kakinya, tetapi bila berjalan cepat trenggiling akan menggunakan dua kakinya saja dibantu dengan gerakan ekornya dan mampu berjalan dengan kecepatan 5 km per jam. Di siang hari trenggiling tidur di dalam sarangnya (Mondadori, 1988) yang biasanya berada pada lubang-lubang bagian akar pohon yang besar atau lubang bekas sarang binatang lain (Gambar 2 dan Gambar 3). Selain itu terkadang trenggiling membuat lubang sarang di dalam tanah yang digalinya sendiri hingga kedalaman 3,5 meter dan satwa ini tergolong pandai berenang. (Mondadori, 1988).
FARIDA- TRENGGILING, YANG TERANCAM PUNAH
Gambar 4. Induk membawa anak diatas ekornya Foto : Lim & Ng, 2008)
Gambar 2. Sarang trenggiling di lubang batang kayu (Foto : Lim & Ng, 2008)
cukup tebal. Epitel yang mengandung keratin ini akan melakukan adaptasi terhadap jenis makanan keras. Gesekan mekanik antara rangka semut atau rayap yang dimakan dapat diminimalisir dengan adanya keratin tersebut (Vaughan, 1986; Feldhamer et al., 1999). Diperkirakan trenggiling per hari mengkonsumsi sebanyak 200.000 semut beserta larvanya atau rayap (Harrison, 1962). Sehubungan dengan tipe/jenis pakannya yang terdiri dari semut dan rayap, maka wajah, mata dan kelopak mata trenggiling dilindungi oleh kulit yang tebal. Selain itu satwa ini mampu membuka dan menutup lubang hidungnya untuk melindunginya dari gigitan semut atau rayap yang dikonsumsinya (Myers, 2000). Reproduksi
Gambar 3. Sarang trenggiling di lubang bawah perakaran (Foto : Lim & Ng, 2008)
Dinamakan satwa bersisik pemakan semut karena pakan utamanya adalah semut dan rayap. Satwa ini memiliki indra penciuman yang kuat, cakar yang kuat dan tebal yang digunakan untuk menggali lubang dalam tanah mencarai sarang semut dan rayap. Trenggiling memiliki lidah yang panjang dilengkapi dengan air ludah (saliva) yang lengket dan dapat dijulurkan hingga sepertiga panjang badannya untuk meraih semut dan rayap (Nowak, 1999). Trenggiling tidak memiliki gigi (Lekagul & McNelly, 1977). Alat pencernaannya mirip tembolok unggas, dinding alat pencernaannya yang berotot mampu mencerna serangga (Lekagul & McNelly, 1977). Untuk menggantikan fungsi gigi, trenggiling sering memakan kerikil atau pasir untuk melumatkan makanannya. Lambung trenggiling dilapisi oleh epitel pipih berlapis banyak dan mengalami keratinisasi
Musim berbiak trenggiling biasanya pada sekitar April – Juni. Lamanya bunting 120-150 hari dan jumlah anak yang dilahirkan oleh induk trenggiling Afrika adalah satu ekor per kelahiran, sedangkan trenggiling Asia per kelahiran adalah 1 – 3 ekor (Mondadori, 1998). Panjang tubuh anak trenggiling yang baru lahir sekitar 15 cm dengan bobot badan kurang lebih 340 gram. Sisik anak yang baru lahir masih lembut dan akan mengeras pada umur dua hari. Mata anak baru akan terbuka pada umur 10 hari. Anak trenggiling mulai belajar makan rayap pada umur 1 bulan. Masa pengasuhan anak oleh induk selama 3 – 4 bulan (Payne & Francis, 1998; Parr, 2003) dan selama itu induk akan membawa anaknya di atas ekornya (Gambar 4). Trenggiling mencapai dewasa kelamin pada umur dua tahun (Dickman, 1984). Bila ada bahaya anak akan berada di dalam gulungan tubuh induknya. Umumnya trenggiling bersifat soliter. Trenggiling
7
FAUNA INDONESIA Vol 9(1) Juni 2010 : 5-9
betina biasanya sendirian membawa anaknya, tetapi terkadang bersama seekor trenggiling jantan di dalam lubang sarang.
for China restaurant, AFP, 10-11-2007. http:// news.yahoo.com/s/afp/20071110/sc_afp/thaila ndindonesiamalaysiachinawildlife_0711101903 14, retrieved on 11-11-2007
Upaya Konservasi Ancaman serius terhadap kelangsungan hidup trenggiling adalah kegiatan manusia yang mengeksploitasi satwa ini hingga populasinya terus menurun. Primack dkk. (1998) melaporkan lebih dari 99% spesies yang punah pada saat ini disebabkan oleh kegiatan manusia. Pemanenan trenggiling langsung dari alam yang dilakukan secara terus menerus, perdagangan tidak terkontrol serta pemanfaatan tanpa diikuti usaha penangkaran/ budidaya akan mengakibatkan punahnya satwa ini. Produk dari trenggiling yang diperdagangkan berupa kulit, sisik, daging, bahkan dalam bentuk hidup. Negara tujuan ekspor trenggiling yang paling banyak memanfaatkannya sebagai bahan obat adalah China (Watts, 2007; Anonimous, 2007; Anonimous, 2008). Pemerintah dan semua pihak yang terkait perlu segera bertindak dalam upaya pelestarian trenggiling baik dengan model konservasi in-situ maupun ex-situ. Menurut FAO (2002) kedua model konservasi tersebut diperlukan untuk upaya perlindungan sumber daya alam hayati. Diperlukan sosialisasi mengenai pentingnya satwa ini, terutama bagi penelitian, pendidikan, wisata maupun keseimbangan ekosistem. Dilaporkan oleh Franco et al. (2004) bahwa mempelajari habitat asli akan mendukung upaya pengelolaan di area pemeliharaan yang berbeda. Salah satu contoh konservasi in situ adalah program perbaikan ekosistem suatu kawasan yang dilindungi. Begitu pula dari segi konservasinya yaitu pentingnya satwa ini hidup bebas di habitatnya tanpa ada tekanan perburuan, kerusakan habitat serta kekurangan pakan. Penetapan kawasan konservasi atau hutan lindung maupun suaka margasatwa yang merupakan daerah sebaran trenggiling perlu segera dilakukan. Daftar Pustaka Abas, A. 2002. 1,200 frozen pangolins seized at Westport. New Straits Times, Malaysia, 20 April, 2002. Anonimous. 2007. Thailand saves pangolins bound
8
Anonimous. 2008. Vietnam customs seize five tons of frozen pangolin meat, AFP, 22-12-2008, ISBN 1222082610, http://news.yahoo.com/s/ afp/20081222/sc_afp/vietnamanimalspangolin _081222082610, retrieved on 22-12-2008. Bräutigam, A., J Howes, T. Humphreys, & J. Hutton. 1994. Recent information on the status and utilization of African pangolins. Traffic Bull 15:15-22. Corbet, G. & J. Hill. 1992. Mammals of the Indomalayan region. Oxford: Natural History Museum, London and Oxford University Press. Dickman, CR. 1984. The Encyclopedia of Mammals. D.Macdonald (ed.). New York : Facts on File. FAO. 2002. State of The World’s Forest 2001. DL on http:///www.fao.org at 30.03.2007. Feldhamer, GA., LC. Drickamer, SH. Vessey, & JF. Merritt. 1999. Mammalogy. Adaptation, Diversity, and Ecology. WCB McGraw-Hill, Boston. Franco, AMA, I. Catry, W.J. Sutherland and J.M. Palmeirim. 2004. Do different habitat preference survey methods produce the same conservation recommendations for lesser kestrels? J. Animal Conservation 7: 291-300. Gaubert, P. & A. Antunes. 2005. Assessing the taxonomic status of the Palawan pangolin manis culionensis (pholidota) using discrete morphological characters. Journal of Mammalogy 86(6):1068-1074. Harrison, JL. 1962. The natural food of some Malayan Mammals. Bull. National Mus. Singapore 30: 5-18. Inskip, T & HJ. Gillett. 2005. Checklist of CITES species and annoted CITES Appendices and reservations. CITES Secretariat and UNEPWCMC, Geneva and Cambridge.
FARIDA- TRENGGILING, YANG TERANCAM PUNAH
International Union for the Conservation Nature and Natural Resources. 2003. IUCN Red List of Thratened Animals. Cambridge UK. Lekagul, B. & JA. McNeely. 1977. Mammals of Thailand. The Association for The Conservation of Wildlife, Bangkok. Lim, NTL. & PKL. Ng. 2008. Home range, activity cycle and natal den usage of a female sunda pangolin Manis javanica (Mammalia: Pholidota) in Singapore. Endangered Species Research 4: 233240. Mike & P. Briggs. 2006. The Encyclopedia of World Wildlife. Paragon Books. pp. 63. Mondadori, A.E. 1988. Great Book of the Animal Kingdom. A.E. Mondadori (ed.). New York: Arch Cape Press. pp. 252. Murphy WJ, E. Eizirik , SJ. O’Brien , O. Madsen , CJ. Scally M, Douady , E. Teeling , OA. Ryder, MJ. Stanhope , WW. de Jong, and MS. Springer. 2001. Resolution of the Early Placental Mammal Radiation Using Bayesian Phylogenetics”. Science 294 (5550): 2348–2351. Myers, P. 2000. “Pholidota” (On-line), Animal Diversity Web. http://animaldiversity.ummz. u m i ch . e d u / s i te / acco u nt s / i n fo r m at i o n / Pholidota.html. Accessed April 14, 2008.
Myers, P., R. Espinosa, C. S. Parr, T. Jones, G. S. Hammond, and T. A. Dewey. 2008. The Animal diversity. Web (online). http://animaldiversity. org. Accessed July 15, 2008. Nowak, R. 1999. Walker’s mammals of the world. 6th Edition. The Johns Hopkins University Press. Baltimore. Parr JWK. 2003. A guide to the large mammals of Thailand. Sarakadee Press, Bangkok. Payne, J. & CM. Francis. 1998. A field guide to the mammals of Borneo. The Sabah Society, Kota Kinabalu. Primack, RB., J. Supriatna, M. Indrawan, & P. Karmadibrata. 1998. Biologi konservasi. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Simon, A. 2004. 800 Pangolins Found at Factory. New Straits Times, Malaysia, 28 September 2004. Vaughan, TA. 1986. Mammalogy. Third Edition. Saunders College Publishing, Fort Worth. Watts, J. 2007. ‘Noah’s Ark’ of 5,000 rare animals found floating off the coast of China, The Guardian, http:// environment.guardian.co.uk/conservation/ story/0, 2088590,00.html. Accessed 26-5-2007.
9
PEDOMAN PENULISAN Redaksi FAUNA INDONESIA menerima sumbangan naskah yang belum pemah diterbitkan, dapat berupa hasil pengamatan di lapangan/laboratorium suatu jenis binatang yang didukung data pustaka, berita tentang catatan baru suatu jenis binatang atau studi pustaka yang terkait dengan fauna asli Indonesia yang bersifat ilmiah populer. Penulis tunggal atau utama yang karangannya dimuat akan mendapatkan 2 eksemplar secara cuma-cuma. Naskah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Makalah disusun dengan urutan: Judul, nama pengarang, ringkasan/summary, pendahuluan, isi (dibagi menjadi beberapa sub judul, misalnya: ciriciri morfologi, habitat, perilaku, distribusi, manfaat dan konservasinya, tergantung topiknya), kesimpulan dan saran (jika ada) dan daftar pustaka. Naskah diketik dengan spasi ganda pada kertas HVS A4 menggunakan program MS Word, maksimal 10 halaman termasuk gambar dan tabel. Selain dalam badan dokumen, gambar juga turut disertakan dalam file terpisah dengan format jpg. Gambar dan tabel disusun dalam bentuk yang mudah dimengerti dibuat pada lembar terpisah dan disertai keterangan secara berurutan. Naskah dikirimkan ke redaksi sebanyak 2 eksemplar beserta disketnya. Acuan dan daftar pustaka, untuk acuan menggunakan sistem nama-tahun, misalnya Kottelat (1995), Weber & Beaufort (1916), Kottelat et al., (1993), (Odum, 1971). Daftar pustaka disusun secara abjad berdasarkan nama penulis pertama. Hanya pustaka yang diacu yang dicantumkan pada daftar tersebut, dengan urutan: nama pengarang, tahun penerbitan, judul makalah/buku, volume dan halaman. Khusus untuk buku harus dicantumkan nama penerbit, kota, negara dan jumlah halaman. Untuk pustaka yang diacu dari internet harus mencantumkan tanggal akses.
Nomor Penerbitan ini dibiayai oleh : “Proyek Diseminasi Informasi Biota Indonesia” Pusat Penelitian Biologi - LIPI 2010