PROFIL PEMENUHAN STANDAR PRAKTIK KEFARMASIAN BEBERAPA APOTEK DI KOTA MEDAN
Oleh: Wiryanto1), Juanita Tanuwijaya1), Gracia1), Sudewi2) Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara, Medan 2) Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien, Medan
[email protected] 1)
ABSTRAK Latar Belakang: Praktik farmasi komunitas/apotek di Indonesia dideskripsikan sebagai praktik yang tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan kaidah-kaidah profesi. Mayoritas apoteker yang seharusnya menjadikan apotek sebagai tempat praktik, mencegah kemungkinan terjadinya drugs related problems dan medication error, lebih memilih tidak hadir setiap harinya. Obat dikelola lebih sebagai komoditas, obat keras dijual secara bebas tanpa resep dokter dan dilakukan oleh siapa saja. Tujuan: Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui profil pemenuhan standar praktik kefarmasian beberapa apotek di kota medan. Metode: Penelitian dilakukan dengan metode survei, dengan membagikan kuesioner secara langsung ke 100 apoteker penanggungjawab apotek sebagai responden di kota Medan, dengan pengambilan kuesioner langsung atau pengambilan kembali beberapa hari berikutnya. Data adalah identitas dan pilihan responden terhadap 2 atau 3 deskripsi tingkat pemenuhan elemen-elemen standar praktik dengan masing-masing skala tiga poin yaitu 0, 2, dan 4 pada setiap elemen standar. Profil pemenuhan standar praktik kefarmasian terdiri dari kriteria tingkat pemenuhan standar praktik berdasarkan poin kumulatif hasil penilaian, sangat baik: ≥150; baik: ≥130; cukup: ≥110; kurang: ≥80; bawah standar: ≥60; tidak layak: ≥40; dan sangat tidak layak: <40. Dan kriteria tingkat pemenuhan setiap aspek standar berdasarkan rerata poin hasil penilaian masing-masing 5 aspek standar, sangat baik: ≥3,75; baik: ≥3,25; cukup: ≥2,75; kurang: ≥2; bawah standar: ≥1,5; tidak layak: ≥1; dan sangat tidak layak: <1. Hasil: Hasil survei menunjukkan bahwa rerata tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian beberapa apotek di kota Medan termasuk dalam kriteria bawah standar (poin 72,4) dengan kisaran poin 14-148, terdiri dari kriteria bawah standar 25%, kurang 47%, cukup 14% dan baik 14%. Dan kriteria hasil penilaian masing-masing 5 aspek standar, aspek profesionalisme: bawah standar (poin 1,91), aspek manajerial: cukup (poin 2,78), aspek dispensing: sangat tidak layak (poin 0,94), aspek asuhan kefarmasian: sangat tidak layak (poin 0,81), dan aspek pelayanana kesehatan masyarakat: tidak layak (poin 1,38). Secara statistik faktor-faktor ada tidaknya pekerjaan lain dan besaran imbalan menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P<0,05) terhadap tingkat pemenuhan standar praktik. Dan faktor-faktor jenis kelamin, jenis pekerjaan lain, pengalaman praktik, kepemilikan, dan omset tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P>0,05) terhadap tingkat pemenuhan standar praktik. Kesimpulan: Tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian, yang berarti juga tingkat kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika profesi dalam penyelenggaraan praktik kefarmasian di beberapa apotek di kota Medan masih sangat rendah. Situasi dan kondisi penyelenggaraan praktik kefarmasian menyangkut 5 aspek standar masih harus terus dibenahi melalui sebuah model pembinaan dan pengawasan secara sistematis, bertahap dan lebih profesional oleh seluruh jajaran Kementerian Kesehatan dan Organisasi Profesi IAI
Kata kunci : profil pemenuhan standar, standar praktik, apotek, kota medan.
Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013
PENDAHULUAN Praktik kefarmasian di apotek di Indonesia dideskripsikan sebagai praktik yang tidak memenuhi
ketentuan
peraturan
perundang-undangan
dan
kaidah-kaidah
profesi
(Ahaditomo, 2002; Anonim, 2002). Mayoritas apoteker yang seharusnya menjadikan apotek sebagai tempat praktik kefarmasian dan berperan mencegah kemungkinan terjadinya masalah terkait obat (drugs related problems) dan kesalahan pengobatan (medication error), lebih memilih tidak hadir setiap harinya. Tujuh puluh persen Apoteker di Sumatera Utara tidak berada di apotek untuk memberikan pelayanan kefarmasian (Anonim, 2008) dan 62,5% apoteker di kota Medan hanya hadir 1 kali dalam sebulan (Wiryanto, 2009). Pelayanan kefarmasian yang ada lebih sebagai transaksi jual beli, di mana apotek tak ubahnya seperti toko yang sekedar menjual komoditas bernama obat tanpa standar mutu, tanpa standar SDM, tanpa standar sarana prasarana, dan tanpa standar proses (Rubiyanto, 2010). Menurut Bahfen (2006), peraturan perundang-undangan yang secara langsung mengatur bidang kefarmasian selalu difokuskan pada komoditi, tenaga dan sarana, pelayanan kefarmasian belum dilakukan secara optimal karena berbagai standar yang perlu diterapkan hingga tahun 2003 belum ada. Departemen Kesehatan RI bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) telah berhasil menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (Menkes RI, 2004), akan tetapi hasil penelitian tentang pelayanan kefarmasian di apotek di kota Medan 5 tahun kemudian menyimpulkan, bahwa praktik kefarmasian di apotek masih dilaksanakan sebagaiman tahun-tahun sebelumnya. Obat keras tetap dikelola sebagai komoditas ekonomi yang seolah tanpa risiko kepada penggunanya, lebih banyak dijual tanpa resep dokter, dan dilakukan oleh siapa saja (Wiryanto, 2009). Selanjutnya pemerintah menetapkan PP No.51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian (Presiden RI, 2009) yang utamanya mengatur tentang syarat keahlian dan kewenangan bagi pelaksanaan pekerjaan kefarmasian. Dan melalui sebuah penelitian telah disusun standar praktik kefarmasian di apotek yang lebih bersifat komprehensif menyangkut 5 aspek standar (Wiryanto, dkk., 2012). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui profil pemenuhan standar praktik kefarmasian beberapa apotek di kota Medan. METODE Penelitian dilakukan dengan metode survei, dengan membagikan kuesioner secara langsung ke 100 apoteker penanggungjawab apotek sebagai responden di kota Medan, 2
Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013
dengan pengambilan kuesioner langsung atau pengambilan kembali beberapa hari berikutnya. Data adalah identitas dan pilihan responden terhadap 2 atau 3 deskripsi tingkat pemenuhan elemen-elemen standar praktik kefarmasian dengan masing-masing skala tiga poin yaitu 0, 2, dan 4 pada setiap elemen standar. Profil pemenuhan standar praktik kefarmasian terdiri dari kriteria tingkat pemenuhan standar praktik berdasarkan poin kumulatif hasil penilaian, sangat baik: ≥150; baik: ≥130; cukup: ≥110; kurang: ≥80; bawah standar: ≥60; tidak layak: ≥40; dan sangat tidak layak: <40. Dan kriteria tingkat pemenuhan setiap aspek standar berdasarkan rerata poin hasil penilaian masing-masing 5 aspek standar, sangat baik: ≥3,75; baik: ≥3,25; cukup: ≥2,75; kurang: ≥2; bawah standar: ≥1,5; tidak layak: ≥1; dan sangat tidak layak: <1. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Karakteristik Responden Tabel 1.1 di bawah ini adalah karakteristik dari 52 responden yang mengisi kuesioner secara lengkap: Tabel 1.1 Karakteristik Responden Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Ada-tidaknya Pekerjaan Lain Selain APA Ada Tidak ada Jenis Pekerjaan Lain Selain APA Dinkes/BPOM/RS Perguruan Tinggi Farmasi Lain-lain Tidak ada Pengalaman Sebagai APA ≤5 tahun >5 tahun Kepemilikan Apotek Milik Apoteker Milik Pemodal Tidak ada data Frekuensi Kehadiran di Apotek 1-3 kali sebulan 1 kali seminggu 2-3 kali seminggu Tiap hari, pada jam tertentu Selama apotek buka
Jumlah 14 38 Jumlah 41 11 Jumlah 31 6 4 11 Jumlah 20 32 Jumlah 8 41 3 Jumlah 21 8 7 11 5
% 26,92 73,08 % 78,85 21,15 % 59,62 11,54 7,69 21,15 % 38,46 61,54 % 15,38 78,85 5,77 % 40,38 15,39 13,46 21,15 9,62 3
Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013
Responden yang mengisi kuesioner penelitian sebanyak 52 orang dari 100 kuesioner yang dibagikan (angka respon = 52%). Pada pengumpulan data penelitian, kendala yang dihadapi adalah sangat sulitnya menjumpai responden di apotek, ketidakadaan waktu responden, dan ketidakbersediaan responden secara pribadi dalam mengisi kuesioner, sehingga angka respon relatif kecil. Merujuk pada Tabel 1.1 dapat dilihat bahwa 73,08% responden adalah perempuan, 78,85% di antaranya mempunyai pekerjaan lain selain sebagai Apoteker Penanggungjawab Apotek (APA), 69,23% tidak hadir setiap hari di apotek, 61,54% mempunyai pengalaman bekerja lebih dari 5 tahun, dan hanya 15,38% memiliki apotek sendiri. 2. Kinerja Bisnis Apotek Tabel 2.1 di bawah ini adalah kinerja bisnis apotek yang digambarkan melalui kemampuan apotek mendapatkan omset per hari, dan kemampuan apotek untuk memberikan imbalan kepada apoteker Tabel 2.1 Gambaran Kinerja Bisnis Apotek Rerata Omset Per Hari (Rp.) ≤ 2.000.000 > 2.000.000 Tidak ada data Besaran Imbalan APA Per Bulan (Rp.) ≤ 2.000.000 > 2.000.000
Jumlah 21 20 11 Jumlah 36 16
% 40,39 38,46 21,15 % 69,23 30,77
Merujuk pada pada Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa 40,39% apotek hanya memiliki omset per hari sampai dengan Rp.2.000.000,- sementara melalui penelitian sebelumnya diketahui bahwa pada indeks penjualan 1,15 titik impas apotek adalah Rp.2.079.601,- per hari (Wiryanto, 2010). Selanjutnya 69,23% apotek hanya mampu memberikan imbalan kepada apoteker sampai dengan Rp.2.000.000,- sementara imbalan minimum bulanan untuk tahun 2013 di Sumatera Utara adalah Rp.3.437.500,- (PD IAI Sumut, 2013). Dari segi bisnis mayoritas apotek mengalami kesulitan, masing-masing melakukan sesuatu dengan caranya sendiri untuk dapat eksis dalam persaingan antar sesama apotek yang cenderung bersifat “kanibalisme”, tanpa ada organisasi yang mampu menjadi pelindung, pembina dan pengawas baik organisasi profesi Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), maupun organisasi Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI).
4
Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013
3. Profil Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian Kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian ditentukan berdasarkan poin kumulatif hasil penilaian terhadap 40 elemen standar yang terbagi ke dalam 5 aspek standar: aspek profesionalisme terdiri dari 12 elemen standar, aspek manajerial terdiri dari 12 elemen standar, aspek dispensing terdiri dari 6 elemen standar, aspek asuhan kefarmasian terdiri dari 8 elemen standar, dan aspek pelayanan kesehatan masyarakat terdiri dari 2 elemen standar. Tabel 3.1 berikut adalah kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dari 52 apotek di kota Medan berdasarkan rerata poin kumulatif hasil penilaian. Tabel 3.1 Rerata Poin Kumulatif dan Kriteria Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian dari 52 Apotek di Kota Medan Aspek Standar
Rerata Poin Kumulatif
1
Profesionalisme
24,77
2
Manajerial
33,35
3
Dispensing
4,69
4
Asuhan Kefarmasian
6,46
5
Pelayanan Kesmas
2,77
Kriteria
Bawah standar
72,04
Merujuk pada Tabel 3.1 dapat dilihat bahwa kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian menghasilkan poin kumulatif sebesar 72,04 atau termasuk dalam kriteria bawah standar. Selanjutnya Tabel 3.2 berikut adalah distribusi kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dari 52 apotek di kota Medan. Tabel 3.2 Distribusi Kriteria Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian Berdasarkan Poin Kumulatif Kriteria
Jumlah
%
Sangat Baik
0
0
Baik
4
7,69
Cukup
4
7,69
Kurang
13
25,00
Bawah Standar
7
13,46
Tidak Layak
0
0
Sangat Tidak Layak
24
46,15
5
Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013
Merujuk pada Tabel 3.2 dapat dilihat bahwa paling banyak (46,15%) dari 52 apotek di kota Medan mempunyai kriteria sangat tidak layak dan tidak ada satupun dari 52 apotek tersebut mempunyai kriteria sangat baik. Tabel 3.3 berikut adalah kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian berdasarkan aspek standar dari 52 apotek di kota Medan. Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian dari 52 Apotek di Kota Medan Berdasarkan Aspek Standar Aspek Standar 1. 2. 3. 4. 5.
Profesionalisme Manajerial Dispensing Asuhan Kefarmasian Pelayanan Kesmas
Rerata Poin 1,91 2,78 0,94 0,81 1,38
Kriteria Bawah Standar Cukup Sangat Tidak Layak Sangat Tidak Layak Tidak Layak
Merujuk pada Tabel 3.3 dapat dilihat bahwa tidak ada satupun aspek standar yang mempunyai kriteria baik. Aspek manajerial merupakan aspek standar yang pada penilaiannya tidak memperhitungkan kehadiran apoteker, mempunyai kriteria paling tinggi yaitu cukup. Empat aspek standar yang lain merupakan aspek standar yang menjadi otoritas kerja dan kompetensi apoteker, paling tinggi mempunyai kriteria bawah standar, dan bahkan aspek dispensing dan asuhan kefarmasian mempunyai kriteria sangat tidak layak. Rendahnya rerata poin Asuhan Kefarmasian juga mengindikasikan bahwa pelayanan kefarmasian masih cenderung berorientasi produk, belum bergeser ke pelayanan berorientasi pasien sebagaimana seharusnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Cordina at al (2008), di mana para responden memberi skor yang relatif tinggi pada aktivitas yang berkaitan dengan manajemen dan dispensing apotek, mengindikasikan bahwa mereka merasa relatif nyaman dan kompeten untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang berhubungan dengan banyak fungsi tradisional para apoteker, dan tidak sepenuhnya meyakini bahwa aktivitas Asuhan Kefarmasian merupakan tanggungjawab para apoteker, jauh dari konsep apoteker sebagai penyedia pelayanan kefarmasian berorientasi pasien. Hasil penilaian kelima aspek standar ini merupakan permasalahan profesi apoteker yang harus ditangani secara sangat serius oleh pemangku kepentingan, utamanya kementerian kesehatan beserta jajarannya dan organisasi profesi IAI. Ketidakberhasilan penanganan masalah ini berakibat pada semakin tidak eksisnya profesi, yang dapat bermakna sebagai hilangnya masa depan profesi, dan dapat bermakna sebagai hilangnya garda bagi perlindungan pasien untuk mendapatkan pelayanan kefarmasian yang aman, bermutu, dan 6
Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013
terjangkau. Selanjutnya Diagram 3.1 berikut adalah gambaran dari Tabel 3.3 dalam bentuk diagram jaring laba-laba (spider web), di mana garis warna merah merupakan poin hasil penilaian dan garis warna biru merupakan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian pada kriteria ideal. Melalui diagram ini dapat dilihat dengan mudah bahwa sepanjang garis warna merah belum berimpit dengan garis warna biru, maka tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian masih belum mencapai kriteria ideal.
1 4 3 2
5
2
1
IDEAL
0
4
NILAI
3
Gambar 3.1 Gambaran Tingkat Pemenuhan Aspek Standar Kefarmasian Dari 52 Apotek di Kota Medan 4. Hubungan Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian dengan Karaketeristik responden Hubungan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan karakteristik responden dianalisis secara statistik menggunakan program SPSS Statistics 17.0. Oleh karena variabel penelitian diukur dengan menggunakan skala pengukuran kategorik, maka sebagai instrumen uji dipilih Chi-Square dengan syarat sel yang mempunyai nilai ekspektasi (expected count) kurang dari 5 maksimal 20% dari jumlah sel. Apabila syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka digunakan alternatif uji Kolmogorov-Smirnov (Dahlan, 2004). Hasil analisis statitistik secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.1. Merujuk pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa secara statistik variabel ada tidaknya pekerjaan lain menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P<0,05) terhadap tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh karena tidak adanya pekerjaan lain, responden mempunyai peluang lebih banyak untuk lebih fokus melakukan praktik kefarmasian dengan lebih baik. Data menunjukkan bahwa 81,82% responden dengan tidak adanya pekerjaan lain menghasilkan tingkat pemenuhan standar 7
Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013
praktik kefarmasian dengan kriteria baik, sebaliknya 53,90% responden dengan adanya pekerjaan lain menghasilkan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan kriteria buruk. Tabel 4.1 Analisis Statitistik Hubungan Tingkat Pemenuhan Standar Praktik Kefarmasian dengan Karakteristik Responden Karakteristik Responden
Instrumen Uji
Angka Signifikansi
Kesimpulan
Jenis Kelamin
Chi-Square
0,111
Tidak terdapat hubungan, P > 0,05
Ada tidaknya pekerjaan lain
Chi-Square
0,042
Terdapat hubungan, P < 0,05
Jenis pekerjaan lain
KolmogorovSmirnov
0,997; 0,066; 0,974
Tidak terdapat hubungan, P > 0,05
Pengalaman praktik
Chi-Square
0,065
Tidak terdapat hubungan, P > 0,05
Besaran imbalan per bulan
Chi-Square
0,000
Terdapat hubungan, P < 0,05
Kepemilikan apotek
KolmogorovSmirnov
0,086
Tidak terdapat hubungan, P > 0,05
Omset apotek
Chi-Square
0,087
Tidak terdapat hubungan, P > 0,05
Selanjutnya secara statistik variabel besaran imbalan juga menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P < 0,05) terhadap tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian. Data menunjukkan bahwa 87,50% responden dengan imbalan > Rp.2.000.000,- menghasilkan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan kriteria baik, sebaliknya 72,22% responden dengan imbalan ≤ Rp.2.000.000,- menghasilkan tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian dengan kriteria buruk. Selanjutnya variabel-variabel jenis kelamin, jenis pekerjaan lain, pengalaman praktik, kepemilikan, dan omset tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan (P > 0,05) terhadap tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian, yang berarti untuk saat ini perubahan semua variabel-variabel tersebut tidak akan mempu meningkatkan kriteria tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian. KESIMPULAN Tingkat pemenuhan standar praktik kefarmasian, yang berarti juga tingkat kepatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan dan etika profesi dalam penyelenggaraan praktik kefarmasian di beberapa apotek di kota Medan masih sangat 8
Seminar Nasional Herbal, Medan, 23-24 Agustus 2013
rendah. Situasi dan kondisi penyelenggaraan praktik kefarmasian menyangkut 5 aspek standar masih harus terus dibenahi melalui sebuah model pembinaan dan pengawasan secara sistematis, bertahap dan lebih profesional oleh seluruh jajaran Kementerian Kesehatan dan Organisasi Profesi IAI. DAFTAR PUSTAKA Ahaditomo. (2002). Standard Kompetensi Apoteker Indonesia. Makalah pada Peringatan 55 Tahun Pendidikan Farmasi Institut Teknologi Bandung 1947-2002, 28 Juni 2002. Anonim. (2002). Disesalkan Apotek Berubah Jadi Toko Obat di Lhokseumawe. Harian Waspada, Medan. 10 September 2002. Anonim. (2008). Tujuhpuluh persen Apoteker Tidak Berada di Apotek. Harian Waspada, Medan., 31 Mei 2008. Bahfen, F. (2006). Aspek Legal: Layanan Farmasi Komunitas Konsep “Pharmaceutical Care”. Medisina Edisi Perdana: 18-26 Cordina, M., Safta, V., Ciobanu, A., Sautenkova, N. (2008). An assessment of community pharmacists’ attitudes towards professional practice in the Republic of Moldova, Pharmacy Practice: 6(1):1-8. Dahlan, MS. (2004). Statistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan: Uji Hipotesis dengan Menggunakan SPSS. Jakarta: PT Arkans. Hal. 17-19; 46-56; 61-121; 124-142 Menkes RI. (2004). Kepmenkes RI No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. PD IAI Sumut. (2013). Suarat Edaran No.121/PD.IAI/SUMUT/III/2013 tentang Imbalan Minimum Bulanan. Medan: PD IAI Sumut Presiden RI. (2009). Peraturan Pemerintah RI No.51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Pemerintahan Negara RI. Jakarta: Lembaran Negara RI tahun 2009 No.124 Rubiyanto, N. (2010). Rekonstruksi Profesi Apoteker: Sebuah Upaya membuat Peta Jalan Menuju Apoteker sebagai Tenaga Kesehatan. [diakses 6 Februari 2011] www.ikatanapotekerindonesia.net/artikel-a-konten/intermezzo/1540-rekonstruksiprofesi-apoteker.html Wiryanto. (2009). Kompetensi Apoteker dan Profil Pelayanan Kefarmasian di Apotek Pasca PUKA Di Kota Medan. Makalah disampaikan pada Kongres Ilmiah ISFI XVII, Jakarta, 7-8 Desember 2009 Wiryanto. (2010). Peluang Penerapan PP 51 Terkait Titik Impas: Studi Kasus di Apotek Farma Nusantara Medan, Makalah disampaikan pada Kongres Ilmiah ISFI XVIII, Makassar, 10-12 Desember 2010 Wiryanto, Harahap, U., Karsono. (2012). Standards of Community Pharmacy Practice In Indonesia. Poster Presentation in The 24th Federation of Asian Pharmaceutical Association (FAPA) Congress 2012, Bali, 13-16 September 2012.
9