FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASU ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN : MENCARI STRATEGI BARU MENUJU PENGEMBANGAN INSTITUSI BERBASIS KOMUNIKASI RELASIONAL Oleh: Fahrurrozi* Abstraksi Berbicara tentang Fakultas Dakwah dan Komunikasi tidak terlepas dari segudang persoalan yang melilitinya. Di antara persoalan yang paling mendasar pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi saat ini adalah kurangnya mendapat simpati masyarakat. Berbagai macam cara dan strategi telah dilakukan oleh pengelolanya, tetapi masyarakat belum banyak yang bersimpati kepada insitusi Fakultas Dakwah dan Komunikasi tersebut. Hal ini menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemimpin institusi ini. Artikel ini mencoba mengidentifikasi masalah-masalah yang selama ini menghantui Fakultas Dakwah dan Komunikasi, kemudian mencoba menganalis peluang dan tantangan baru dengan mencoba menerapkan strategi baru yang dianggap bisa menjadi harapan untuk menuju perubahan dan pengembangan institusi berbasis masyarakat. Strategi itu adalah strategi membangun kemitraan dengan masyarakat melalui penerapan teori Stephen R. Covey yang dikenal dengan The Eight Habit (delapan kebiasaan). Keywords: Development, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Peluang, Tantangan, Strategi.
A. Pendahuluan Ketika berbicara tentang pengembangan institusi dan keilmuan dalam Islam, kedepan tantangannya makin beragam. Paling tidak, dapat dideskripsikan secara global ke dalam tiga dimensi: Dimensi pertama, tantangan global-postmodernisme yang antara lain bercirikan (1) timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transendental (meta narasi); dan semakin diterimanya pandangan pluralisme-relativisme kebenaran; (2) meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indra, organ dan saraf kita yang pada gilirannya membuat dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” dan “Tuhan” sekuler, dalam arti bahwa perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa; (3) munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin ragu terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia dan kemanusiaan.1 Dalam terma H.A.R. Tilaar, masyarakat masa depan –masyarakat abad 21, akan berciri pokok di antaranya adalah masyarakat “mega-kompetisi”, yang menuntut kualitas secara fisik-intelektual dan moral.2 Dosen Tetap Fakultas Dakwah dan Komunikasi IAIN Mataram penjelasan lebih lanjut dapat dilihat pada Komaruddin Hidayat, “Agama Dan Postmodernisme” dalam Tragedi Raja Mida: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1998, 152-3; Juga Akbar S. Ahmed, “Postomdernism and Islam: Predicament and Promise”, terjemahan M. Sirozi dengan judul Posmodernisme: Tantangan dan Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan, 1993, 25-42 2Lihat, H.A.R. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional: Dalam Perspektif Abad 21, Magelang: Tera Indonesia, 1998, 205. *
1Untuk
1
Dimensi kedua, adalah ketertinggalan dunia Islam. Bahwa sejak enam abad terakhir praktis kepemimpinan dunia dipegang oleh Barat, setelah sebelumnya dipegang oleh dunia Islam. Dunia Islam jauh ketinggalan dalam mengembangkan peradaban sains dan teknologi dan kreasi-kreasi lain. Islam sebagai paradigma syari’at dan teologi memang kelihatan masih kokoh (untuk tidak menyatakan jumud atau beku), tetapi Islam sebagai paradigma peradaban berada di luar panggung permainan, dan cenderung sebagai penonton yang “cemburu”.3 Itu secara makro, dan dalam konteks mikronya, nampaknya tidak jauh beda, bahwa mayoritas bangsa Indonesia adalah penganut Islam, maka secara otomatis yang “tertinggal” juga mayoritas penganut Islam tersebut. Sisi ini memberi warna tantangan tersendiri bagi kalangan Pendidikan Tinggi Islam khususnya IAIN/UIN/STAIN, yang idealnya perlu “turun tangan” lebih dahulu. Dimensi ketiga, inilah yang secara langsung dan paling mendesak, terkait kondisi internal IAIN/UIN/STAIN (wa bil khusus Fakultas Dakwah dan Komunikasi) yang sekarang ini menurut pengamatan H.A.R. Tilaar– didirikan sesuai dengan tuntutan zaman atau kondisi ketika lembaga tersebut didirikan, yang tentunya dengan paradigma yang tidak lagi relevan dengan era global dewasa ini. Ketidakrelevan-an tersebut terlihat dari dua sisi, (1) paradigmanya sangat sektoral, dan (2) visi serta misi yang dimilikinya sangat terbatas, dan karenanya hanya mungkin memenuhi satu sektor tertentu saja dari kebutuhan umat Islam Indonesia modern, tetapi tidak mungkin diharapkan untuk menghasilkan manusiamanusia yang kompetitif yang dapat unggul dalam persaingan masyarakat global (knowledge society) pada abad 21 yang akan datang.4 Lantas bagaimana dengan Fakultas Dakwah dan Komunikasi sebagai bagian dari insitusi pendidikan tinggi agama, yang secara umum di seluruh Indonesia kurang mendapat simpati dari masyarakat?, problemnya dimana? B. Fakultas Dakwah Dalam Konteks Realitas Pertanyaan di atas sangat relevan untuk menyadarkan kita seputar Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Sebab disadari atau tidak, di tengah keasyikan kita membina diri di perguruan tinggi, terdapat perubahan-perubahan variabel yang cukup signifikan di sekitar kita. Pertama, masyarakat telah mengalami apatisme yang serius terhadap berbagai bentuk pola pembinaan pendidikan perguruan tinggi, khususnya yang berlabel keislaman. Kedua, adanya pergeseran idealisme perguruan tinggi agama yang tidak sekadar berorientasi pembinaan semata, tetapi telah berkembang menjadi “proyek intelektual” yang sarat dengan berbagai tarikan kepentingan para aktornya, maupun pengaruh kekuatan eksternal. Ketiga adanya kejenuhan terhadap pola-pola kerja organisasional yang menuntut pembaharuan mendasar terhadap mekanisme organisasi perguruan tinggi yang ada. Tiga hal diatas merupakan titik kritis yang penting diperhatikan. Dominan muatannya merupakan otokritik yang cukup pedas buat para pemerhati pendidikan agama karena kemampuannya yang tidak lagi signifikan dalam merespon berbagai situasi eksternal yang berkembang sangat pesat. Kita hanya mampu berjalan berkeliling-melingkar, tak sanggup keluar dari lingkaran problematika kelembagaan yang terus datang bertubi-tubi. C. Fakultas Dakwah dan Komunikasi Harus Bagaimana ? Berangkat dari otokritik ini, perlu pembaharuan menyangkut uji efektivitas fungsi dan program Fakultas kepada masyarakat sesuai dengan basis garapan masing-masing.
3Lihat,
Komaruddin Hidayat, Tragedi Raja Midas., 154. Tilaar, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional., 208-209.
4H.A.R.
2
Permasalahannya adalah sejauh mana kekuatan Fakultas Dakwah dan Komunikasi dalam meneguhkan keberadaannya dan menjalankan fungsinya? Idealnya Fakultas Dakwah dan Komunikasi harus mampu meneguhkan kembali fungsi pokoknya sebagai lembaga pendidikan tinggi bagi warganya. Sebagai lembaga pendidikan dan kader, fungsi terpentingnya menciptakan sumberdaya manusia muslim yang berkualitas. Yang dimaksud berkualitas adalah manusia yang mempunyai sikap produktif, berdaya saing tinggi dan mandiri. Hal ini sesuai dengan tuntutan dunia modern di abad global. Namun demikian, perlu ditekankan bahwa sumberdaya manusia yang hendak diciptakan itu, harus disertai dengan karakter cendekia dan islami. Sehingga, sikap produktif, berdaya saing tinggi dan kemandirian yang terbentuk adalah sikap yang dilandasi oleh semangat “kecendekiaan” dan “keislaman.” Cendekia, merupakan karakter mencerminkan kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan sosialnya. Manusia cendekia, memiliki responsibilitas yang tinggi terhadap persoalan yang terjadi di sekitarnya. Perwujudan sikap cendekia diharapkan muncul dalam aksi-aksi konkret membela kepentingan masyarakat banyak yang cenderung dilemahkan dalam banyak urusan. Sementara Islami menunjuk pada semangat spiritual yang membungkus setiap gerak dan aksi tersebut. Jika prasyarat dunia modern yang meniscayakan adanya produktivitas, daya saing (kompetensi), dan kemandirian (independensi) itu berpadu dengan semangat cendekia dan religiusitas (islami), sungguh akan menjadi sebuah tipe manusia ideal masa depan; manusia yang seimbang antara basis prasyarat modernitasnya dengan semangat mentalitas religius sebagai landasan moralnya. Dengan demikian, generasi muda akan muncul sebagai generasi pengganti yang tidak ragukan lagi kapabilitasnya. Bukan seperti yang terjadi sekarang ini, dimana bangsa kita telah mengalami kemandegan regenerasi karena tidak berjalannya katub-katub pembinaan generasi muda secara baik. Lantas, dimana andil dan peran Fakultas Dakwah dan Komunikasi dalam menciptakan profil sumber daya manusia yang demikian tersebut ? Peran-peran yang dapat dilakukan dalam menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, produktif, kompetitif, mandiri, cendekia, dan islami antara lain: 1. Melakukan fungsi-fungsi pembinaan dan kaderisasi umat yang berorientasi pada kebutuhan riil masyarakat, dengan melakukan modifikasi pola-pola pembinaan dan kaderisasi yang sesuai dengan perkembangan zaman. 2. Membuka kesempatan yang luas bagi terjadinya dialektika kemasyarakatan, dan selanjutnya melakukan keberpihakan (komitmen) secara jelas terhadap kepentingan masyarakat sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi. 3. Melakukan fungsi-fungsi pembinaan dan kaderisasi umat yang berorientasi pada kebutuhan riil masyarakat, dengan melakukan modifikasi pola-pola pembinaan dan kaderisasi yang sesuai dengan perkembangan zaman. 4. Membuka kesempatan yang luas bagi terjadinya dialektika kemasyarakatan, dan selanjutnya melakukan keberpihakan (komitmen) secara jelas terhadap kepentingan masyarakat sesuai dengan visi dan misi perguruan tinggi. 5 D. Pengembangan Institusi Fakultas Dakwah dan Komunikasi Menjadi Prasyarat Menuju Tercapainya Kualitas. Secara komprehensif, pengembangan institusi dapat dimaknai sebagai salah satu wujud reformasi pendidikan yang menawarkan kepada kampus untuk menyediakan pendidikan yang lebih baik dan memadai bagi para peserta didik. Otonomi dalam manajemen merupakan potensi bagi kampus untuk meningkatkan kinerja civitas akademika, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan meningkatkan 5
Muhammad Thalhah Hasan, Islam dan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Laborta Press, 2003, h.
221 3
pemahaman masyarakat terhadap pendidikan. Sejalan dengan jiwa dan semangat Fakultas Dakwah dan Komunikasi sebagai agen sosial dalam bidang pendidikan, kewenangan kampus juga berperan dalam menampung konsensus umum yang meyakini bahwa sedapat mungkin keputusan seharusnya dibuat oleh mereka yang memiliki akses paling baik terhadap informasi setempat, yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kebijakan dan yang terkena akibat-akibat dari kebijakan tersebut. Paling tidak ada berapa hal yang perlu dikembangkan dalam institusi Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk menjadi sebuah fakultas yang berkualitas dengan menghasilkan out put yang profesional : 1. Kewajiban Institusi Kampus. Kewajiban menawarkan keleluasaan pengelolaan kampus memiliki potensi yang besar dalam menciptakan pimpinan kampus seperti rektor, ketua, direktur, dosen, dan pengelola sistem pendidikan yang profesional. Oleh karena itu implementasinya perlu disertai seperangkat kewajiban serta monitoring dan akuntabilitas yang relatif tinggi, untuk menjamin bahwa kampus selain memiliki otonomi pendidikan juga mempunyai kewajiban melaksanakan kebijakan pemerintah dan memenuhi harapan masyarakat.6 Maka yang harus dilakukan oleh institusi kampus khususnya Fakultas Dakwah dan Komunikasi adalah melakukan pengelolaan sumber daya manusia (SDM), sumber daya dana (SDD), dan sumber daya fasilitas (SDF) secara amanah, transparan, demokratis, egaliter, elegan, tanpa monopoli, dan bertanggungjawab terhadap masyarakat maupun pemerintah, dalam rangka meningkatkan kapasitas pelayanan terhadap peserta didik. 2. Kebijakan dan Prioritas Pemerintah Sebagai penanggungjawab pendidikan nasional pemerintah perlu menetapkan kebijakan-kebijakan yang menjadi prioritas nasional terutama yang berkaitan dengan program melek huruf dan angka (literacy and numeracy), efisiensi, mutu, dan pemerataan pendidikan; mungkin perlu ditambahkan program melek informasi dan teknologi (infotmation and technology). Dalam koridor pelaksanaan kebijakan dan pencapaian standar tersebut kampus tidak diperkenankan untuk berjalan sendiri. Oleh karenanya agar setiap kampus dapat melakukan layanan secara total tanpa kompromi terhadap peserta didik, sehingga didapatkan suasana KBM yang kondusif, aktif dan dinamis serta layanan administrasi akademik yang tepat, cepat dan akurat. Maka, ke depan pemerintah perlu merumuskan pedoman serta mempersiapkan perangkat monitoring dalam hal: quality assurance, menjamin bahwa hasil pendidikan (student outcomes) terevaluasi dengan baik (teruji dan terpuji); kebijakan-kebijakan pemerintah dilaksanakan secara efektif; kampus dioperasikan dalam kerangka yang disetujui pemerintah; dan anggaran dibelanjakan sesuai dengan tujuan. 3. Peranan Orang tua dan Masyarakat Orang tua dan masyarakat selaku pemanfaat jasa pendidikan kampus memiliki peranan strategis. Peran tersebut dimaksudkan untuk men-support dalam pembuatan berbagai keputusan dan kebijakan yang harus diambil kampus. Melalui peran ini diharapkan masyarakat dapat lebih memahami, aktif memonitoring, dan membantu kampus dalam pengelolaan sumber-sumber daya termasuk kualitas KBM. 4. Peranan Profesionalisme dan Manajerial Ada wacana yang cukup bijaksana, bahwa pimpinan kampus, tenaga akademik, dan tenaga administrasi; dalam pengembangan kampus secara all-out perlu memiliki sifat dan
6Faisal
Jalal dan Supriadi, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta : Adicita Karya Nusa, 2001, 26 4
sikap profesionalisme serta kemampuan manajerial. Ketiga unsur tenaga tersebut perlu memiliki pengetahuan yang luas dan dalam tentang peserta didik dan prinsip-prinsip pendidikan tinggi untuk menjamin bahwa semua keputusan penting yang dikeluarkan kampus didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan pendidikan. Pemahaman untuk memiliki sifat dan sikap profesionalisme dan manajerial bagi ketiga unsur tenaga diharapkan capaian tujuan pendidikan akan optimal sesuai haluan pemerintah dan kampus. berkaitan dengan itu, maka seorang pimpinan kampus selayaknya harus: a. memiliki kemampuan untuk berkolaborasi dengan dosen dan masyarakat sekitar perguruan tinggi; b. memiliki pemahaman dan wawasan yang luas tentang teori dan pembelajaran; c. memiliki kemampuan dan keterampilan untuk menganalisis situasi sekarang berdasarkan apa yang seharusnya serta mampu memperkirakan kejadian di masa depan berdasarkan situasi sekarang; d. memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan yang berkaitan dengan efektifitas pendidikan di sekolah; e. mampu memanfaatkan berbagai peluang, menjadikan tantangan sebagai peluang, serta mengonseptualkan arah baru untuk perubahan. 7 4. Pengembangan Profesi Bahwa kerja istimewa dan utama dalam penyelenggaraan pengembangan institusi kampus adalah melakukan segenap tips dan trik untuk meningkatkan sumber daya manusia, yakni peserta didik (SDM-terdidik) dan tenaga akademik (SDM-pendidik). Non-sence proses KBM akan berjalan baik dan berkualitas manakala tidak dimilikinya SDM-pendidik yang mumpuni. Oleh karenanya menjadi penting bagi kampus untuk dapat secara terukur dan teratur menyelenggarakan pengembangan profesi bagi SDM-pendidiknya Sistem pendidikan secara komprehensif terpilah menjadi sistem makro; seperti sistem pendidikan nasional, dan berbagai peraturan perundangan yang melingkupinya, dan sistem mikro yang meliputi: masalah sistem rekrutmen calon mahasiswa (input), masalah pengajaran, interaksi dosen dan mahasiswa, layanan administrasi akademik mahasiswa (process), dan sistem evaluasi kelulusan, quality assurance alumni (output). Pada proses output, pengembangan institusi diarahkan pada kesamaan pengertian akan pentingnya quality assurance dari lulusan. Oleh karenanya, profil lulusan atau standar kecakapan lulusan seharusnya menjadi wacana rutin evaluasi segenap civitas akademika Fakultas Dakwah dan Komunikasi khususnya. Dengan melibatkan unsur masyarakat pemakai (industrial, instansional, dan institusional) akan tertata profil lulusan yang ideal secara terukur dan teratur. Karena perubahan-perubahan kompetensi yang terus akan bergulir per waktunya akan dapat didesainkan segera melalui kurikulum dan metodologi pengajarannya. Pendek kata profil kebutuhan kemapanan kemampuan ilmiah dan teknologi lulusan serta desain terbaik dalam pengembangan kurikulum dan metodologi pengajaran dinamis harus dapat dihasilkan oleh Fakultas Dakwah dan Komunikasi. E. Strategi Pengembangan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Berbasis Masyarakat. Fakultas Dakwah dan Komunikasi dengan segala program yang dimilikinya saat ini sangat membutuhkan strategi baru yang lebih berorientasi kepada masyarakat, sebab masyarakat merupakan pilot project yang harus terus dikembangkan sekaligus masyarakat menjadi basis dalam memperoleh input yang berkualitas. Untuk menuju ke arah yang memberdayakan di kalangan masyarakat, Fakulas Dakwah dan Komunikasi perlu menerapkan strategi ala Stephen R. Covey dalam bukunya ’’The Eight Habit’’ berbicara tentang pola manejemen hidup melalui delapan kebiasaan yang 7
Ibid,h.25 5
telah dipraktekkan oleh para manajer dan pengusaha sukses di seluruh dunia. 8 beberapa strategi ala Stephen tersebut adalah : 1. Proaktif (be proactive) Sebagai pengayom, pemimpin dan institusi Fakultas Dakwah dan Komunikasi kebiasaan proaktif sangat diperlukan agar semua kegiatan dan program yang telah direncanakan dapat terlaksana sebagai mana mestinya. Orang yang proaktif tidak pernah mengeluh serta tidak pernah menyalahkan siapa pun dan apa pun atas keadaan yang dialaminya. Dimana sikap proaktif selalu mencermati kegiatan apa yang dibutuhkan oleh komunitas tempat di mana ia berada dan masyarakat sekitarnya.9 2. Mulai Dengan Akhir Dalam Pikiran (Begin With The End In Mind) Kebiasaan kedua ini menegaskan institusi Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk melakukan aktivitas dan kegiatan mulai dengan akhir dalam pikiran. Maksudnya adalah institusi Fakultas Dakwah dan Komunikasi harus memiliki tujuan yang jelas dalam mengembangkan institusi ke depan. Mempunyai tujuan berarti memiliki visi, misi, dan sasaran. Kebiasaan ini menunjukkan perlunya arah dan cara menjalani dan menentukan halhal yang utama dalam mengelola institusi dakwah. Hal-hal utama mengelola institusi adalah terwujudnya tujuan-tujuan berharga secara progresif dan seimbang dalam aspek kehidupan, baik secara pisik, emosional, intelektual, sosial, financial, mental maupun spiritual. Kebiasaan kedua ini mengajarkan agar kita memilih dan menuliskan program kehidupan kita di masa mendatang, menentukan apa yang kita tuju dalam kehidupan ini, apakah itu sebagai akademisi maupun sebagai manusia secara individu. 3. Dahulukan Yang Utama (Put First Things First) Mendahulukan yang utama merupakan kebiasaan yang menuntut integritas, disiplin, dan komitmen. Kebiasaan ketiga ini sebagai perwujudan dari skala prioritas pemimpin institusi dakwah dalam memilih kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, baik dari aspek keuangan, maupun sumber daya lainnya, disamping juga membutuhkan Needs Assesment (rumusan kebutuhan) para komunitas akademisi dan mayarakat secara umum. Memilih dan memilah hanya melakukan hal-hal yang utama yaitu aktivitas-aktivitas yang akan membawa pada tercapainya tujuan yang telah ditetapkan oleh semua aspek komponen. Kebiasaan ketiga ini menekankan pentingnya memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.10
8Stephen
R. Covey, The Eight Habit From Effectiveness to Greatness, New York : Free Press, 2004, p-3-4..lihat juga kutipannya pada, Muhammad Zen, Manajemen Masjid Berbasis '' The Eight Habits'', Jurnal Kajian Dakwah Dan Komunikasi UIN Sarif Hidayatullah Jakarta , Vol.VIII, NO.1,Juni 2006. 124. 9Pendekatan Teoritis: The Eight Habit From Effecivence to Greatnes-selanjutnya disebut The Eight Habit adalah judul buku karya Stephen R. Covey berbicara tentang pola menejemen hidup melalui delapan kebiasaan yang telah dipraktekkan oleh para manajer dan pengusaha sukses di seluruh dunia. Buku ini merupakan kelanjutan dari buku terlaris dunia yaitu The Seven Habits of Highly Effective People. Seperti karya Covey sebelumnya, The Eight Habit pun banyak dirujuk berjuta-juta orang di seluruh dunia, terutama dalam rangka mencapai kesuksesan pengelolaan bisnis dan organisasi. Konsep ini menurut hemat penulis sangat relevan dan bisa diterapkan dalam pengelolaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Delapan kebiasaan hidup mengajak pengelola Fakultas Dakwah dan Komunikasi agar memulai bernilai dan berdaya guna bagi masyarakat. Semakin baik, kreatif, dan inovatif pengelolaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi dalam meramu manajemennya, maka akan memberikan citra positif tak hanya dalam masalah agama dan pendidikan, melainkan juga budaya, ekonomi, dan sosial. 10Covey,
Sephen R, Ibid. 15-25 6
4. Berpikir Untuk Berhasil Menang (Think Win-Win) Kebiasaan keempat ini mengharapkan dalam upaya me-menej Fakultas Dakwah dan Komunikasi tidak ada unsur yang dirugikan baik karyawan, dosen, dan masyarakat. Kebiasaan ini berasal dari latihan setiap individu untuk sebuah kejujuran (honesty ;menyesuaikan kata dengan perbuatan), integritas (integrity; menyesuaikan perbuatan dengan perkataan), kematangan (maturity), dan mentalitas kelimpahan (aboundance mentality), keyakinan bahwa karunia Allah SWT tersedia tanpa batas bagi siapa pun yang mengikuti causality law atau ketentuan hukumnya. Sebagai lawanan dari mentalitas kelangkaan, (search mentality).11 Kehadiran kebiasaan ini diharapkan mampu memotivasi pimpinan, dosen, dan karyawan Fakultas Dakwah dan Komunikasi dalam menyusun sebuah perencanaan, pengorganisasian, pergerakan atau pengendalian manajemen Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang mengarah kepada asas manfaat sesuai dengan NWD (need/kebutuhan, want/keinginan, dan demand/permintaan) semua lapisan komponen masyarakat. 5. Berusaha Memahami Lebih Dahulu Baru Meminta untuk Dipahami (Seek First To Understand Than To Be Understood) Kebiasaan kelima ini menunjukkan kunci kesuksesan mengelola dan mengembangkan Fakultas Dakwah dan Komunikasi adalah saling memahami, membantu, mengerti, dan saling-tidak hanya bertepuk sebelah tangan, harus dua tangan agar serasi, senada, dan seirama. Jika pengasuh, pembina, pengayom ingin dikasihi dan dipahami sekaligus dimengerti oleh masyarakat dalam membangun dan mengembangkan Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Kebiasaan inilah yang merupakan simbolisasi setiap insan untuk menghormati dan memahami hak orang lain kalau ingin dihormati dan ingin berhasil dalam mencapai tujuan.12 6. Wujudkan Sinergi ( Sinergize) Bersinergi berarti keseimbangan dapat dicapai. Sinergi dapat dicermati jika ada kerjasama yang harmoni antara pimpinan, dosen, staf administrasi, dan masyarakat (human capital). Fakultas Dakwah dan Komunikasi harus memiliki akses teknologi informasi (information capital) yang memadai agar pimpinan institusi me-menej fakultas sesuai dengan perkembangan teknologi zaman, terpola kerjasama antar sesama dalam menyukseskan kegiatan dan adanya proses pembelajaran dan pengembangan organisasi (organizational capital) sehingga terbentuk budaya organisasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi sesuai dengan tuntutan zaman dan tuntunan Ilahi. 7. Mengasah Gergaji ( Sharpen The Way ) Kebiasaan ketujuh ini menekankan pentingnya secara terus menerus pempinan Fakultas Dakwah dan Komunikasi untuk mengasah gergaji fisik, emosional, intelektual, sosial, finansial, mental, dan spiritual. Artinya, institusi Fakultas Dakwah dan Komunikasi sepatutnya memperbaiki terus menerus kinerja keinstitusian, manajemen, kegiatan, dan bangunan fisik institusi melalui learning by prosess (belajar dengan proses). Dari waktu ke waktu hendaknya pimpinan terus berjuang meningkatkan kesuksesan tersebut dalam kegiatan pengembangan. Islam menganjurkan kepada kita umatnya untuk setiap saat memperbaiki prestasi yang telah digapainya. Orang Islam adalah orang yang memiliki falsafah hidup, bahwa hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini. Kebiasaan ini mengantarkan setiap insan akademisi untuk sibuk memperbaiki dirinya sendiri dan organisasinya dalam mengelola semua sumber daya 11
Ibid, 20 Sephen R, Ibid. 15-25
12Covey,
7
institusi, sehingga tidak mempunyai waktu tersisa untuk mencari-cari kesalahan dan aib orang lain . 8. Temukan Suara Anda dan Ilhami Orang Lain Menemukan Suara Mereka ( Find Your Voice And Inspire Others To Find Their ) Kebiasaan ini mengajarkan bahwa pengelola harus menemukan suara hati mereka. Mengapa mereka terpilih menjadi pengelola pesantren dan apa manfaatnya bagi dirinya sendiri, masyarakat, negara dan bangsa? Sehingga pertanyaan tersebut menginspirasikan bagi setiap individu termasuk pimpinan institusi untuk menjadi diri yang bermanfaat bagi lainnya saat sedang menjadi pimpinan institusi maupun tidak. Orientasi pengelola akan terpatri dalam jiwa raganya membuat skim aneka varian kegiatan fakultas yang dapat memberikan kontribusi riil dan bermanfaat bagi institusinya, masyarakat, agama, bangsa dan negara.13 Kemampuan pimpinan fakultas menemukan suara (intuisi) mereka tentunya dianugrahi Allah SWT sejak lahir, ketika pimpinan Fakultas Dakwah dan Komunikasi sukses mengembangkan lembaganya, sepatutnya masyarakat, pemerintah dan negara memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya karena di perguruan tinggilah tempat dan markaz pengkaderan penerus bangsa yang beretika dan berakhlak mulia. Hadirnya pola menejemen yang dikembangkan oleh Sthepen R. Covey melalui The Eight Habit memberikan warna tersendiri bagi perbaikan kinerja sebuah organisasi, perusahaan termasuk di dalamnya pengelolaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang notabene memiliki problematika dan multi kendala. Solusi atas tersebut tentunya dengan memberikan arahan baru bagi para insan akademis Fakultas Dakwah dan Komunikasi dengan sedikit meminjam teori Covey ini meskipun secara substansial dalam ajaran Islam sudah termaktub hal-hal seperti yang diteorikan oleh Covey tersebut. Tidaklah salah jika hal-hal yang kontemporer kita coba usahakan untuk mengimplementasikannya dalam pengembangan seluruh aktivitas yang berkaitan dengan organisasi, sekecil apapun apalagi lembaga yang bernama Fakultas Dakwah dan Komunikasi yang mengelola banyak orang dan mendidik putra bangsa yang akan menjadi penerus bangsa ini. PENUTUP Pendidikan tinggi sebagai lembaga pendidikan yang diharapkan menghasilkan manusia-manusia unggul dalam berbagai bidang keahlian. Perguruan tinggi sebagai sub sistem pendidikan secara otomatis akan mengimplementasikan isu strategis daya saing bangsa dalam program dan kegiatan yang lebih spesifik, terukur, jelas ketercapaiannya, realistik, dan memiliki rentang waktu dalam pelaksanaannya. Untuk merancang program dan kegiatan peningkatan daya saing perguruan tinggi perlu dituangkan dalam suatu perencanaan strategis dalam upaya mendapatkan input yang berkualitas dan menghasilkan output yang berhasil guna, paling tidak tercermin dari misi tentang peningkatan daya saing perguruan tinggi, perspektif tentang daya saing perguruan tinggi, tujuan yang hendak dicapai dalam peningkatan daya saing perguruan tinggi, dan assessment atau pengukuran hasil kinerja. Wallahu a’lam
13
Ibid, h. 22 8
Daftar Pustaka Abdurrahman Mas’ud, Kompetensi Lulusan PTAI Dalam Perspektif Masyarakat Pengguna Di Jawa Tengah, DEPAG: 2009. Akbar S. Ahmed, “Postomdernism and Islam: Predicament and Promise”, terjemahan M. Sirozi dengan judul Posmodernisme: Tantangan dan Harapan bagi Islam, Bandung: Mizan, 1993. Baca gagasan-gagasan cemerlang para tokoh berikut ini, Azyumardi Azra, Esa-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1998. Book, Cassandra.L. at all, Human Communication: Principle,Contexts, and Skills, New York: St.Martin’s Press, 1980. Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigama dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, Jakarta: Kencana, 2007. Devito, Joseph A., Human Communication: The Basic Course, New York: HarperCollins Publisher,1991. Faisal Jalal dan Supriadi, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta : Adicita Karya Nusa, 2001. H.A.R. Tilaar, Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001. H.A.R. Tilaar, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, 2000. Haidar Daulay, IAIN Di Era Globalisasi, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998. Haidar Daulay, IAIN Di era Globalisasi: Peluang dan Tantangan dari Sudut Pendidkan Islam. Hanun Asrahah, . Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Logos 1999. Ketherine Miller, Communication Theories Perspective, Processes, and Contexts, New York: McGraw Hill International Edition, 2005. Komaruddin Hidayat, “Agama Dan Postmodernisme” dalam Tragedi Raja Mida: Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1998. Muhammad Thalhah Hasan, Islam dan Sumber Daya Manusia, Jakarta: Laborta Press, 2003 Muhammad Zen, Manajemen Masjid Berbasis '' The Eight Habits'', Jurnal Kajian Dakwah Dan Komunikasi UIN Sarif Hidayatullah Jakarta , Vol.VIII, NO.1,Juni 2006. h.124. Nur Hamim, Otonomi Perguruan Tinggi :Tantangan dan Peluang Bagi IAIN, Surabaya: FT. IAIN Sunan Ampel. R.Wayne Pace, Brent D dan M.Dallas Burnett, Techniques for effective communication, USA: USA: Black Well Publishing, 2008. Stepehen W. Litteljohn & Karen A. Foss, Theories of Human Communication, Belmots: Thomson Wadsworth, 2005. 9
Stephen R. Covey, The Eight Habit From Effectiveness to Greatness, New York : Free Press, 2004. Suwito dan Fauzan, Sejarah Perkembangan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Ciputat Prees, 2000. Syafii Maarif dkk. Pendidikan Islam di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991. Syahrin Harahap, Perguruan Tinggi Islam di Era Globalisasi, Yogya : Tiara Wacana, 1998. Ulil Amri Syafri, Menuju Perguruan Tinggi Islam:Antara Da’wah dan Intelektualisme Islam, dalam Jurnal Dakwah, STID Muhammad Natsir, 2009. Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik Dari Comte Hingga Parsons, Bandung: Rosda, 2006.
10