ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi pada Usia Lanjut Wahyuningsih1, Endri Astuti2 1 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta 2 Perawat Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta
Abstrak Identifikasi dini terhadap faktor apa saja yang mempengaruhi terjadinya hipertensi pada lanjut usia adalah sangat penting. Penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara usia, jenis kelamin, genetic, obesitas, kebiasaan merokok, konsumsi garam, kebiasaan olahraga, stress, dan kepribadian serta mengidentifikasi faktor-faktor yang paling dominan mempengaruhi terjadinya hipertensi pada usia lanjut. Subjek penelitian sebanyak 73 usia lanjut, Hipertensi dikategorikan menggunakan JCN, obesitas dengan BMI, stress menggunakan Skala Holmes dan tipe kepribadian dengan menggunakan Rosenman Scale. Pedoman wawancara digunakan untuk mengumpulkan data tentang usia, jenis kelamin, genetic, kebiasaan merokok, kebiasaaan olahraga, kebiasaan minum kopi, dan konsumsi garam. Hipertensi pada lanjut usia berhubungan dengan usia, kebiasaan olahraga, obesitas dan tipe kepribadian, sedangkan faktor yang mempengaruhi hipertensi adalah usia, obesitas, kebiasaan olahraga, stress, tipe kepribadian serta stress merupakan faktor yang paling dominan mempengaruhi hipertensi pada usia lanjut.
Kata Kunci: hipertensi, usia lanjut Info artikel: artikel dikirim pada 11 agustus 2013 artikel diterima pada 12 agustus 2013
PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan “silent killer” sehingga menyebabkan fenomena gunung es. Prevalensi hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Kondisi patologis ini jika tidak mendapatkan penanganan secara cepat dan secara dini maka akan memperberat risiko. Yayasan Jantung Indonesia (2005) menyatakan bahwa akibat yang terjadi jika hipertensi tidak segera ditangani adalah otak (menyebabkan stroke), mata (menyebabkan retinopati hipertensi dan dapat menimbulkan kebutaan), jantung (menyebabkan penyakit jantung koroner termasuk infark jantung dan gagal jantung), ginjal (menyebabkan penyakit ginjal kronik, gagal ginjal terminal). Hipertensi adalah penyakit nomor 3 dari 10 penyakit yang mempunyai persentase besar dan yang sering di jumpai pada usia lanjut (WHO, 1990 cit Nugroho, 2000). Berdasarkan data WHO dari 50% penderita hipertensi yang diketahui hanya 25% yang mendapat pengobatan, dan hanya 12,5% yang diobati dengan baik (adequately treated
cases). Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah di Indonesia sebesar 26,3%, sedangkan data kematian di rumah sakit tahun 2005 sebesar 16,7 (Ruhyana, 2007). Di Indonesia banyaknya penderita hipertensi diperkirakan 15 juta orang tetapi hanya 4% yang merupakan hipertensi terkontrol. Prevalensi 6-15% pada orang dewasa, 50% diantaranya tidak menyadari sebagai penderita hipertensi sehingga mereka cenderung untuk menjadi hipertensi berat karena tidak menghindari dan tidak mengetahui faktor risikonya, dan 90% merupakan hipertensi esensial (Amiruddin, 2007). Terjadinya hipertensi dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah genetik, umur, obesitas, diet tinggi natrium, peningkatan konsumsi alkohol, dan tidak pernah olah raga (Davis, 2004). Hal ni didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Prasetyaningsih (2007), hasil dari penelitiannya adalah ada hubungan antara senam lansia dengan kejadian hipertensi pada lansia.
Faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Usia Lanjut
71
BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional yang dilaksanakan pada bulan Maret sampai April 2008. Jumlah sampel yang digunakan sebanyak 73 lansia (≥ 60 tahun) yang bersedia menjadi responden dan tidak dalam keadaan yang dapat mempengaruhi pengambilan data. Variable terikat adalah hipertensi pada usia lanjut, dan variable bebas meliputi umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, kebiasaan merokok, stress, obesitas, konsumsi garam, kebiasaan minum kopi, kebiasaan olahraga, tipe kepribadian A. Analisis univariate dengan menggunakan tablefrekuensi, analisis bivariate dengan menggunakan chi-square dan analisis multivariate dengan penghitungan regresi logistic. HASIL DAN BAHASAN Berdasarkan tabel 1.1 dapat diketahui bahwa hampir setengah dari sampel yang di ambil yaitu 47,94% responden mengalami hipertensi. Sebagian besar responden adalah berumur 70-79 tahun yaitu sebanyak 34. Sebagian besar responden adalah perempuan yaitu 46 orang (63,02%). Sebagian besar responden tidak ada riwayat keluarga hipertensi yaitu sebanyak 62 orang (85%). Sebagian besar responden yang mempunyai kebiasaan merokok sering yaitu sebanyak 46 orang (63%) sedangkan paling sedikit adalah responden dengan kebiasaan merokok jarang yaitu sebanyak 0 orang (0%). Sebagian besar responden mempunyai kebiasaan tidak pernah olah raga, yaitu sebanyak 29 orang (39,7%). Sebagian besar responden mempunyai kebiasaan tidak pernah minum kopi, yaitu sebanyak 51 orang (69,8%). Sebagian besar responden yaitu 40 orang (54,8%) tidak obesitas. Sebagian besar responden mengkonsumsi garam secara tidak berlebih, yaitu sebanyak 49 orang (67,1%). Sebagian besar responden tidak mengalami stres, yaitu sebanyak 69 orang (94,5%). Sebagian besar responden mempunyai tipe kepribadian non A, yaitu sebanyak 37 orang (50,7 %). Tabulasi silang antara factor umur dengan kejadian hipertensi, Hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai X hitung = 8,132 pada derajat kebebasan 2 dengan taraf signifikansi 0,017. Penelitian ini didapatkan hasil bahwa p hitung lebih kecil dari 0,05 (0,017 < 0,05) sehingga hipotesis kerja diterima. Pada tabulasi silang antara factor jenis kelamin dengan kejadian hipertensi, hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai X hitung = 0,001 pada derajat kebebasan 1 dengan taraf signifikansi 0,979. Penelitian 72
Table 1.1 Distribusi frekuensi Variabel Penelitian Karakteristik Kejadian Hipertensi Hipertensi Tidak Hipertensi Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Usia/Umur 60-69 tahun 70-79 tahun 80-89 tahun Riwayat keluarga Ada Tidak ada Kebiasaan Merokok Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Sering Kebiasaan Olah Raga Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah Kebiasaan Minum Kopi Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah Konsumsi Garam Berlebihan Tidak berlebihan Type Kepribadian Tipe kepribadian A Tipe kepribadian non A Obesitas Obesitas Tidak obesitas Stress Stress Tidak stres
Frekuesi
Persentase
35 38
47.94 52.06
27 46
36.98 63.02
14 34 25
19.2 46.5 34.3
11 62
15 85
46 0 17 10
63 0 23.3 13.7
13 12 19 29
17.8 16.4 26.1 39.7
2 9 11 51
2.8 12.3 15.1 69.8
36 49
32.9 67.1
36 37
49.3 50.7
33 40
45.2 54.8
4 69
5.5 94.5
ini didapatkan hasil bahwa p hitung lebih besar dari 0,05 ( 0,979 > 0,05) sehingga hipotesis kerja ditolak. Kesimpulannya bahwa tidak ada hubungan antara faktor jenis kelamin dengan terjadinya hipertensi pada usia lanjut di Dusun Kabregan, Srimulyo, Piyungan, Bantul, Yogyakarta Maret sampai April tahun 2008. Tabulasi silang antara riwayat keluarga dengan kejadian hipertensi, Hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai X hitung = 0,032 pada derajat kebebasan 1 dengan taraf signifikansi 0,858. Penelitian ini didapatkan hasil bahwa p hitung lebih besar dari 0,05 (0,858 > 0,05) sehingga hipotesis kerja ditolak.
Wahyuningsih & Astuti, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 71-75
Table 1.2: Tabulasi Silang Hipertensi dengan jenis kelamin, usia, riwayat keluarga, kebiasaan merokok, kebiasaan olahraga, kebiasaan minum kopi, konsumsi garam, stress, tipe kepribadian, dan obesitas. Karakteristik
Hipertensi n
Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Usia/Umur 60-69 tahun 70-79 tahun 80-89 tahun Riwayat keluarga Ada Tidak ada Kebiasaan Merokok Tidak pernah Jarang Kadang-kadang Sering Kebiasaan Olah Raga Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah Kebiasaan Minum Kopi Sering Kadang-kadang Jarang Tidak pernah Konsumsi Garam Berlebihan Tidak berlebihan Type Kepribadian Tipe kepribadian A Tipe kepribadian non A Obesitas Obesitas Tidak obesitas Stress Stress Tidak stres
%
Tidak hipertensi n %
pvalue 0.979
13 22
48.15 14 47.83 24
51.85 52.17
13 20 2
52 12 58.82 14 14.3 12
48 41.18 85.7
5 30
45.45 6 48.39 32
54.55 51.61
8 0 5 22
47.06 0 50 47.83
9 0 5 24
52.94 0 50 52.17
2 6 9 18
15.4 50 47.4 62.1
11 6 10 11
84.6 50 52.6 37.9
1 5 4 25
50 55 56 49.02
1 4 7 26
50 44.44 63.6 5.98
13 22
54.17 11 44.9 27
45.83 55.1
0.017
0.858
0.989
0.049
0.843
0.456
0.007 23 12
63.9 13 32.43 25
36.1 67.57
20 15
60.6 37.5
13 25
39.4 62.5
3 32
75 46.4
1 37
25 53.6
0.049
0.265
Tabulasi silang antara kebiasaan merokok dengan kejadian hipertensi Hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai X hitung = 0,023 pada derajat kebebasan 3 dengan taraf signifikansi 0,989. Tabulasi silang antara kebiasaan olahraga dengan kejadian hipertensi, Hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai X hitung = 7,863 pada derajat kebebasan 3 dengan taraf signifikansi 0,049. Penelitian ini didapatkan hasil bahwa p hitung lebih kecil dari 0,05 ( 0,049 < 0,05) sehingga hipotesis kerja diterima.
Tabulasi silang antara kebiasaan minum kopi dengan kejadian hipertensi, Hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai X hitung = 0,827 pada derajat kebebasan 3 dengan taraf signifikansi 0,843. Penelitian ini didapatkan hasil bahwa p hitung lebih besar dari 0,05 ( 0,843 > 0,05) sehingga hipotesis kerja ditolak. Tabulasi silang antara obesitas dengan kejadian hipertensi, Hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai X hitung = 3,868 pada derajat kebebasan 1 dengan taraf signifikansi 0,049. Penelitian ini didapatkan hasil bahwa p hitung lebih kecil dari 0,05 ( 0,049 < 0,05) sehingga hipotesis kerja diterima. Tabulasi silang antara konsumsi garam dengan kejadian hipertensi, Hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai X hitung = 0,555 pada derajat kebebasan 1 dengan taraf signifikansi 0,456. Penelitian ini didapatkan hasil bahwa p hitung lebih besar dari 0,05 ( 0,456 > 0,05) sehingga hipotesis kerja ditolak. Tabulasi silang antara stress dengan kejadian hipertensi, Hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai X hitung = 1,241 pada derajat kebebasan 1 dengan taraf signifikansi 0,265. Penelitian ini didapatkan hasil bahwa p hitung lebih besar dari 0,05 ( 0,265 > 0,05) sehingga hipotesis kerja ditolak. Tabulasi silang tipe kepribadian dengan kejadian hipertensi, Hasil uji statistik Chi Square didapatkan nilai X hitung = 7,234 pada derajat kebebasan 1 dengan taraf signifikansi 0,007. Penelitian ini didapatkan hasil bahwa p hitung lebih kecil dari 0,05 ( 0,007 < 0,05) sehingga hipotesis kerja diterima. Analisis Univariat Variabel yang Mempengaruhi Terjadinya Hipertensi pada Usia Lanjut di Dusun Kabregan, Srimulyo, Piyungan, Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik model Enter untuk menentukan apakah variabelvariabel secara bersama-sama berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi pada usia lanjut. Penggunaan model Enter tersebut mempunyai kemampuan memprediksi (overall) sebesar 83,6% artinya secara bersama-sama kemampuan variabel bebas (faktor umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, kebiasaan merokok, kebiasaan olah raga, kebiasaan minum kopi, obesitas, konsumsi garam, stres, dan tipe kepribadian A) ketepatan dalam mempengaruhi terjadinya hipertensi pada usia lanjut sebesar 83,6%. SIMPULAN DAN SARAN Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi pada usia lanjut di Dusun Kabregan, Srimulyo, Piyungan, Bantul, Yogyakarta Tahun 2008 antara lain adalah umur, obesitas, kebiasaan olah raga, stres,
Faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Usia Lanjut
73
tipe kepribadian A. Faktor umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, obesitas, kebiasaan merokok, kebiasaan olah raga, kebiasaan minum kopi, konsumsi garam, stres, dan tipe kepribadian A secara bersama-sama sangat mempengaruhi mempengaruhi terjadinya hipertensi pada usia lanjut di Dusun Kabregan, Srimulyo, Piyungan, bantul, Yogyakarta Tahun 2008. RUJUKAN 1. Almatsier, Sunita. 2005. Penuntun Diet edisi baru. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. 2. Amiruddin, Ridwan. 2007. Hipertensi dan Faktor risikonya dalam Kajian Epidemiologi. 3. Andra. 2006. Memilih Terapi Optimal Untuk Hipertensi 4. Anonim. 2007. Meredam Hipertensi dengan Aerobik dalam 5. Anonim. 2007. Hipertensi PerlukahDiet dalam 6. Arikunto, Suharsimi. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta: Jakarta. 7. Arikunto, Suharsimi. 1999. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta: Jakarta. 8. Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta: Jakarta. 9. Baraas, Faisal. 2003. Mencegah Serangan Jantung dengan Menekan Kolesterol. Yayasan Kardia Iqratama: Jakarta. 10. China Radio International. 2007. Dampak Minum Kopi Terhadap Kesehatan Manusia. 11. Darmojo, Boedhi. 2006. GERIATRI (ilmu Kesehatan Usia Lanjut). FKUI: Jakarta. 12. Davis, Leslie. 2004. Cardiovascular Nursing SECRET. Elsevier MOSBY: USA. 13. D e p K e s R I . 2 0 0 1 . R e n c a n a S t r a t e g i s Pembangunan Kesehatan 2001-2004. Bakti Husada: Jakarta. 14. Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Raja Grafindo Persada: Jakarta. 15. DepKes RI. 1994. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Bidang Kesehatan. Yayasan Bakti Sejahtera Korpri Unit Depkes: Jakarta. 16. Depkes RI. 2007. Hipertensi. Bakti Husada dalam Gray, Huon & Irawan. 2005. Lecture Notes Kardiologi edisi keempat. Erlangga: Jakarta. 17. Hardiman, Achmad. 2007. Hipertensi Penyebab Utama Penyakit Jantung.
74
18. Harris, Salim. 2007. Gejala Umum Stroke. 19. Hawari, Dadang. 2006. Manajemen Stres, Cemas dan Depresi. FKUI: Jakarta. 20. Indonesia Kidney Care Club. 2007. Merokok Dapat Memperburuk Fungsi Ginjal. 21. Junaidi, Iskandar. 2007. Stroke 22. Kaplan. 1992. Pencegahan Jantung Koroner. EGC: Jakarta. 23. Keliat, Budi Anna. 1999. Penatalaksanaan Stres. EGC: Jakarta. 24. Lukman. 2007. Pengetahuan Bhaya Merokok 25. Miller, Carol A. 1995. Nursing care of Older Adults Theory and Practice page 250. Lippincott: Philadelphia. 26. Mizwar. 2004. Faktor-faktor risiko terjadinya hipertensi Essensial di Kabupaten Klaten, Tesis, Yogyakarta. 27. Moeloek. 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Bakti Husada: Jakarta. 28. M u b a r a k , Wa h i t I q b a l d k k . 2 0 0 6 . I l m u Keperawatan Komunitas 2. Sagung Seto: Jakarta. 29. Mujiono. 2006. Bahaya Merokok 30. National Safety Council. 2004. Manajemen Stres halaman 78. EGC: Jakarta 31. Notoatmodjo, Soekidjo. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. 32. Nugroho, Wahjudi. 2000. Keperawatan Gerontik. EGC: Jakarta. 33. Pardamean, Engelberta. 2007. Gangguan Somatoform 34. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam. 2004. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. FKUI: Jakarta. 35. Porth, Carol Mattson. 2005. Pathophysiology Concept of Altered Health States page 513-517. Lippincott Williams & Walkins: Philadelphia. 36. Pratiknya, Ahmad Watik. 2001. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kedokteran & Kesehatan. RajaGrafindo Persada: Jakarta. 37. Prasetyaningtiyas, Nico Desy. 2007. Hubungan Frekuensi senam Lansia Dengan Kejadian Hipertensi Pada Lansia Di RW 10 Desa Gambiran Kecamatan Umbulharjo Yogyakarta Tahun 2007, KTI, Yogyakarta. 38. Probosuseno. 2006. Waspadai Hipertensi. 39. Rasmun. 2004. Stres, Koping dan Adaptasi. Sagung Seto: Jakarta. 40. Rasyid. 2007. Unit Stroke Manajemen Stroke Secara Komprehenif. FKUI: Jakarta. 41. Ruhyana, 2007. Hipertensi Penyebab Utama Penyakit Jantung.
Wahyuningsih & Astuti, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 71-75
42. Saifullah. 2007. Pengaruh minum kopi terhadap terjadinya hiperteni di Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. 43. Setia, Agustina. 2006. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Tingkat Kebugaran Lanjut Usia Penghuni Panti Budi Agung Kupang Di Kota Kupang. 44. Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan Edisi Pertama. Graha Ilmu: Yogyakarta. 45. Smeltzer, Suzanne.C & Brenda G. Bare. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8 Vol 2 halaman 898. EGC: Jakarta. 46. Smeltzer, Suzanne. 2002. Keperawatan MedikalBedah Vol.2 Edisi 8. EGC: Jakarta.
47. Sobel, Barry J & George L. Bakris. 1998. Pedoman Klinis Diagnosis & Terapi HIPERTENSI. Hipokrates: Jakarta. 48. Stanley, Mickey & Patricia Gauntlett Beare. 2007. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. EGC: Jakarta. 49. Sugiyono. 2006. Statistika untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung. 50. Sunaryo. 2004. Psikologi Untuk Keperawatan. EGC: Jakarta. 51. Supariasa, I Dewa Nyoman dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. EGC: Jakarta. 52. Swarth, Judith. 2006. Stres dan Nutrisi. Bumi Aksara: Jakarta. 53. Widjayakususmah, Djauhari. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC: Jakarta Yayasan Jantung Indonesia. 2005.
Faktor Yang Mempengaruhi Hipertensi Pada Usia Lanjut
75
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Faktor Yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia di Imogiri Kabupaten Bantul Hendri Purwadi1 , Hamam Hadi2 , M.Nur Hasan3 1, 2, 3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta
Abstrak Posyandu lansia adalah salah satu cara untuk mengantisipasi perubahan degeneratif yang terjadi pada lansia. Jumlah kunjungan ke posyandu lansia di Dusun Karangkulon 2010, rata-rata 60 lansia dari 160 lansia yang terdaftar. Penelitian observasional dengan disain cross sectional ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap pemanfaatan posyandu lansia. Sampel diambil dengan teknik total sampling pada 160 populasi lansia di Dusun Karangkulon. Pengambilan data menggunakan kuesioner dan wawancara. Analisis menggunakan uji chi square dan regresi logistik. Hasil uji chi square menujukkan variabel jenis kelamin (0,000), status perkawinan (p=0,018), persepsi sehat sakit (p=0,000), persepsi kualitas pelayanan (p=0,000) ada pengaruh terhadap pemanfaatan posyandu lansia. Sedangkan variabel umur (0,774), pendidikan (p=0,059), pekerjaan (p=1), dukungan refrence group (0,865) tidak ada pengaruh terhadap pemanfaatan posyandu lansia. Hasil uji Regresi logistik menunjukkan bahwa variabel yang paling dominan (p=0,025) berpengaruh terhadap pemanfaatan posyandu lansia adalah persepsi kualitas pelayanan posyandu. Kesimpulan: Ada pengaruh signifi kan jenis kelamin, status perkawinan, persepsi sehat sakit dan persepsi kualitas pelayanan terhadap pemanfaatan posyandu lansia. Disarankan kader dan petugas kesehatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan penyuluhan posyandu lansia. Kata Kunci: pemanfaatan pelayanan, posyandu, lansia
Info Artikel: Artikel dikirim pada 19 Agustus 2013 Artikel diterima pada 19 Agustus 2013 PENDAHULUAN Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan dan kesehatan, salah satunya terlihat dari meningkatnya usia harapan hidup (life expentacy rate). Peningkatan usia harapan hidup menimbulkan peningkatan jumlah lanjut usia (lansia) di dunia. Lanjut usia adalah seseorang yang berumur 60 tahun atau lebih (Nugroho 2010). Peningkatan ini dapat dilihat dari jumlah lansia di dunia pada periode tahun 19501970 dengan periode 1970-2000. Pertambahan penduduk dunia tahun 1950-1970 sebesar 46,1% dengan usia 60 tahun mencapai 54,7 juta jiwa, sedangkan yang berusia 70 tahun sebesar 56,0 juta jiwa. Tahun 1970-2000 mengalami peningkatan pertambahan penduduk sebesar 78,8% dengan usia 60 tahun mencapai 101,1 juta jiwa sedangkan usia 70 tahun mencapai 118,7 juta jiwa. Jumlah lansia dengan usia rata-rata 60 tahun pada tahun 2025
76
diperkirakan akan mencapai 1,2 milyar jiwa (Nugroho, 2010). Sedangkan berdasarkan hasil pencacahan sensus penduduk 2010, jumlah penduduk Indonesia adalah sebesar 237.556.363 jiwa atau sekitar 8,48% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia. (www. id.wikipedia.org). Meningkatnya jumlah lansia perlu terus diantisipasi karena akan membawa implikasi luas dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara. Karena itu, lansia perlu mendapatkan perhatian dalam pembangunan nasional. Diperlukan peningkatan jenis dan kualitas pelayanan kesehatan dan keperawatan baik yang dilakukan oleh lansia itu sendiri maupun oleh keluarga atau lembaga lain seperti pusat santunan dalam keluarga (pusaka), posyandu lansia, panti tresna wrehda maupun posyandu lansia. Posyandu adalah wadah kegiatan dari masyarakat dan untuk masyarakat yang didukung kerjasama lintas sektoral.Puskesmas memberi dukungan dan pembinaan teknis. Kegiatan yang ada di posyandu
Purwadi, Hadi & Hasan, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 76-81
meliputi kegiatan preventif,promotif, kuratif dan rehabilitatif. Kegiatan tersebut yaitu penyuluhan kesehatan, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan fisik kesehatan lansia, pengobatan dan kesegaran jasmani (Departemen Kesehatan RI, 2003). Pentingnya penelitian ini dilakukan karena belum dimanfaatkannya posyandu lansia yang ada secara optimal. Beberapa faktor yang berpengruh terhadap pemanfaatan pelayanan kesehatan menurut Notoatmodjo (2003) antara lain adalah persepsi atau konsep masyarakat tentang sehat dan sakit, persepi maysarakat tentang kualitas pelayanan, struktur sosial dan juga adanya masyarakat sebagai referensi (refrence group). Jumlah lansia yang terdata di posyandu lansia Dusun Karangkulon selama tahun 2010 adalah 160 orang yang terdiri dari 65 lansia laki-laki dan 95 lansia perempuan Dari 160 lansia yang terdata tersebut, hanya sekitar 60 orang yang rutin datang ke posyandu lansia setiap bulannya dan didominasi oleh lansia perempuan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan diketahui bahwa beberapa lansia tidak memanfaatkan posyandu lansia karena tidak dapat meninggalkan pekerjaan, kegiatan yang tidak menarik dan kurangnya informasi dari pemerintah setempat serta beberapa lansia yang mengganggap dirinya tidak sakit.Berdasarkan permasalahan diatas penliti tertarik untuk meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi pemanfaatan posyandu lansia di Dusun Karang Kulon Imogiri Bantul. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh demografi, struktur sosial, dukungan refrence group, persepsi sehat sakit dan persepsi kualitas pelayanan posyandu terhadap pemanfaatan posyandu di Dusun Karangkulon. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik dengan rancangan crossectional.Subjek penelitiannya adalah seluruh lansia yang terdata di posyandu lansia Dusun Karangkulon yang berjumlah 160 orang. Pengambilan sampel menggunakan tekhnik total sampling. Jumlah responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 127 orang. Kirteria sampel adalah pria dan wanita 60 tahun keatas, mampu berkomunikasi, tidak mengalami demensia dan terdata di posyandu lansia Dusun Karangkulon. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2011 bertempat di Dusun Karang Kulon Bantul. Variabel independen (bebas) dalam penelitian ini adalah terdiri dari data demografi (usia, jenis kelamin dan status perkawainan), status sosial
(pendidikan dan pekerjaan), persepsi sehat sakit dan persepsi tentang kualitas pelayanan posyandu lansia dan dukungan refrence group. Perolehan data menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas dan reliabelitas.Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer. Sedangkan variabel dependen (terikat) adalah pemanfaatan posyandu lansia. Perolehan data menggunakan data skunder yang terdiri dari data kehadiran lansia ke posyandu lansia dan senam lansia. Data yang diperoleh kemudian dilakukan analisis menggunakan uji chi square dan uji regresi logistik dengan bantuan SPSS 16.0. HASIL DAN BAHASAN Hasil Penelitian Hasil uji statsistik menggunakan uji chi square didapatkan bahwa karakteristik demografi yang terdiri dari umur, jenis kalmin dan status perkawainan. Umur lansia tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan posyandu lansia. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai p=0,774. Sedangkan untuk jenis kelamin diketahui bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dengan pemanfaatan posyandu lansia. Hal tersebut dapat dilihat dari nilai p=0,000. Status perkawinan juga mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pemanfaatan posyandu lansia dengan nilai p= 0,018. Variabel independen selanjutnya adalah status sosial yang terdiri dari pendidikan dan pekerjaan diketahui bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara pendidikan dan pekerjaan dengan pemanfaatan posyandu lansia hal itu dapat dilihat dari nilai p value untuk pendidikan adalah 0,059 dan pekerjaan adalah 1. Dukungan Refrence group tidak berpengaruh secara signifikan dengan pemanfaatan posyandu lansia sedangkan persepsi sehat sakit dan persepsi tentang kualitas pelayanan posyandu mempunyai pengaruh yang signifikan dengan nilai p value masingmasing adalah 0,000. Analisis multivariat dilakukan untuk menentukan variabel yang dominan dalam pola hubungan antara variabel bebas terhadap variabel terikat dengan menggunakan uji regresi logistik.Untuk menentukan variabel yang dominan terhadap pemanfaatan posyandu lansia. Setelah dilakukan analisis didapatkan 2 variabel yang mempunyai nilai p value <0,05 yaitu persepsi kualitas pelayanan posyandu (p=0,025) dan persepsi tentang sehat dan sakit (p=0,049). Sedangkan faktor yang paling berpengaruh adalah persepsi kualitas pelayanan posyandu dengan nilai p=0,025. Berdasarkan pada tabel tersebut dapat dibuat sebuah model atau rumus untuk memprediksi variabel terikat yaitu sebagai berikut:
Faktor Yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia di Imogiri Kabupaten Bantul
77
Tabel 1. Hasil tabulasi silang dan uji chi square Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan posyandu lansia Pemanfaatan Posyandu lansia Tidak Memanfaaatkan Memanfaatkan
Variabel Umur 60-75th >75th Jumlah Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Status Perkawainan Punya pasangan Tidak punya pasangan Jumlah Pendidikan Dasar Menengah Atas Jumlah Pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Jumlah Dukungan Refrence Group Tidak mendukung Dukungan sedang Dukungan penuh Jumlah Persepsi Sehat sakit Baik Buruk Jumlah Persepsi kualitas pelayanan Baik Buruk Jumlah
Total
(p value)
f
%
f
%
f
%
32 11 43
35,2 30,6 33,9
59 25 84
64,8 69,4 66,1
91 36 127
100 100 100
0 43 43
0 54,4 33,9
48 36 84
100 45,6 66,1
48 79 127
100 100 100
37,108 (0,000)
25 18 43
27,2 51,4 33,9
67 17 84
72,8 48,6 66,1
92 35 127
100 100 100
5,621 (0,018)
42 1 43
36,8 7,7 33,9
72 12 84
63,2 92,3 66,1
114 13 127
100 100 100
3,222 (0,059)
5 43
33,9 33,3 33,9
10 84
66,7 66,1
112 15 127
100 100 100
0,000 (1)
8 28 7 43
38,1 33,7 30,4 33,9
13 55 16 84
61,9 66,3 69,6 66,1
21 83 23 127
100 100 100 100
0,289 (0,865)
32 11 43
52,5 16,7 33,9
29 55 84
47,5 83,3 66,1
61 66 127
100 100 100
16,572 0,000
34 9 43
51,5 14,8 33,9
32 52 84
48,5 85,2 66,1
66 61 127
100 100 100
17,523 (0,000)
38
74
66,1
0,082 (0,774)
Tabel 2 Uji Regresi Logistic Faktor-Faktor Yang Mempangruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia Variabel Tingkat pendidikan (x1) Persepsi sehat sakit (x2) Persepsi Kualitas Posyandu (x3) Jenis Kelamin (x4) Constanta (α)
P= p
= =
1 1 + e- y 1 - konstanta + b1(persepsi kualitas pelayanan) + b 2(persepsi sehat sakit)
1 + 2,7
1 - (- 1,085) + 1,082(1) + 1,258(1)
1 + 2,7 = 0,7812 78
B -1.985 1.082 1.258 -21.031
Exp (B) .137 2.951 3.519 0.000 -1.085
p-value .095 .049 .025 .997
Artinya: Individu yang mempunyai persepsi buruk tentang kualitas posyandu lansia dan mempunyai persepsi buruk juga tentang sehat-sakit memiliki probabilitas untuk tidak memanfaatkan posyandu lansia sebesar 78,12%.Untuk mengetahui kemungkinan (probabilitas) lansia yang tidak memanfaatkan pelayanan posyandu dapat dilihat pada Tabel 3.
Purwadi, Hadi & Hasan, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 76-81
Tabel 3 Probabilitas Lansia Tidak Memanfaatkan Posyanndu Lansia No 1 2 3 4
Persepi Kualitas Pelayanan posyandu Baik Baik Buruk Buruk
Persepsi Probabilitas Sehat-Sakit Baik Buruk Baik Buruk
25,44% 45,72% 49,95% 78,12%
Bahasan Berdasarkan hasil penelitain menunjukkan bahwa lansia yang terbanyak adalah umur 60-74 tahun (71,7%) dengan rata-rata umur responden adalah 70,7 tahun. Tingginya rata-rata umur responden ini menggambarkan tingginya usia harapan hidup pada penduduk di Dusun Karangkulon. Menurut Dinas Kesehatan DIY (2008) menyatakan bahwa tingginya usia harapan hidup di daerah DIY merupakan representasi perbaikan dari banyak faktor antara lain ekonomi, pelayanan kesehatan, kualitas lingkungan dan sosiokulural masyarakat. Berdasarkan hasil analisis bivariat dengan chi square menujukkan bahwa umur tidak mempunyai pengaruh signifikan terhadap pemanfaatan posyandu lansia meskipun ada kencendrungan bahwa lansia yang tergolong elderly lebih banyak memanfaatkan posyandu lansia dibandingakan dengan kelompok old dan very old. Hal berbeda ditemukan oleh peneliti pada lansia di Dusun Karangkulon dimana sebagian besar penduduk lansia lebih dari 70 tahun relative tidak mengalami gangguan fisik bahkan masih produktive dan letak posyandu yang strategis serta mudah dijangkau sehingga lansia dengan umur berapapun cendrung memanfaatkan posyandu lansia. Jenis kelamin berepengaruh terhadap pemanfaatan posyandu lansa dimana responden dengan jenis kelamin perempuan lebih memanfaatkan posyandu lansia Hal tersebut disebabkan karena perempuan lebih peka dan sensitif terhadap masalah kesehatan yang dideritanya sehingga perempuan lebih sering menggunakan fasilitas-fasilitas kesehatan untuk menjaga kesehatannya (Heniwati, 2006). Hal ini menyebabkan derajat kesehatan perempuan lebih bagus dari pada laki-laki yang akhirnya berpengaruh terhadap usia harapan hidup. Usia harapan hidup perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Berdasarkan struktur sosial diketahui bahwa pendidikan dan pekerjaan tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan posyandu lansia.Hal tersebut menujukkan bahwa pengetahuan dan informasi tentang kesehatan tidak selalu didapatkan dari pendidikan formal. Terdapat berbagai macam sumber
informasi untuk dapat meningkatkan pengetahuan misalnya radio, tv, kader maupun refrence group. Jika dilihat dari data yang ada bahwa mayoritas pekerjaan lansia adalah tani dan membatik.Pekerjaan tersebut bersifat tidak mengikat seperti guru, pegawai atau pedagang yang memerlukan waktu kerja pagi sampai siang hari.Terutama membatik, bisa dikerjakan pada kapan saja sehingga lansia mempunyai waktu luang untuk memanfaatkan posyandu lansia. Dukungan refrence group tidak berpengaruh terhadap pemanfaatan posyandu lansia Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar lansia yang memanfaatkan posyandu adalah karena kesadaran pribadi tanpa ada paksaan ataupun intervensi atau dukungan dari refrence gruop. Hal ini bertentangan dengan pendapat WHO (1984) seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa perilaku seseorang sedikit banyak dipengaruhi oleh orang-orang yang dianggap penting. Apabila seseorang dianggap penting untuknya maka apa yang ia katakan atau perbuat cendrung untuk dicontoh. Persepsi sehat sakit mempunyai pengaruh terhadap pemanfaaatan posyandu lansia. Hasil penelitian ini konsisten dengan apa yang diungkapkan Notoatmodjo (2003) yang menyatakan bahwa persepsi sehat sakit mempengaruhi seseorang memanfaatkan pelayanan kesehatan, jika persepsi masyarakat sama dengan persepsi penyedia pelayanan kesehatan maka masyarakat akan cendrung memanfaatkan pelayanan kesehatan, begitu juga sebaliknya. Umumnya lansia yang memanfaatkan posyandu adalah lansia yang mempunyai persepsi baik terhadap kualitas posyandu lansia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas pelayanan merupakan suatu hal yang penting karena seseorang yang merasa puas akan mau memanfaatkan pelayanan kesehatan kembali. Hasil ini juga sesuai dengan pendapat Pohan (2007) yang menyatakan pandangan masyarakat mengenai kualitas pelayanan merupakan hal yang penting. Menurut Walgito (2002) menyatakan bahwa persepsi terjadi melalui beberapa sub proses yaitu objek menimbulkan stimulus dan stimulus mengenai alat indra atau reseptor. Stimulus yang diterima oleh alat indra diteruskan oleh syaraf sensoris ke otak yang disebut sebagai proses fisiologis. Kemudian terjadilah proses diotak sehingga individu menyadari apa yang dilihat, didengar atau diraba. Proses ini disebut sebagai proses psikologis. Jadi proses akhir dari terjadinya persepsi adalah individu menyadari tentang adanya stimulus yang diterima melalui alat indra dan merupakan proses dari hasil persepsi yang sebenarnya. Setelah itu individu akan memberikan respon dari persepsi dari berbagai respon yang diterima dalam berbagai bentuk.
Faktor Yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia di Imogiri Kabupaten Bantul
79
Dalam penelitian ini, bentuk persepsi yang baik mempunyai respon yang baik pula yaitu ada kecendrungan bahwa lansia yang mempunyai persepsi yang baik pada kualitas pelayanan dan sehat sakit akan berespon dengan memanfaatkan posyandu lansia. Simpulan Ada pengaruh signifikan jenis kelamin, status perkawinan, persepsi sehat sakit dan persepsi kualitas pelayanan posyandu lansia sedangkan Umur, pendidikan, pekerjaan dan refrence group tidak berpengaruh signifikan terhadap pemanfaatan posyandu lansia di Dusun Karangkulon. Faktor yang paling berpengaruh adalah persepsi tentang kualitas pelayanan posyandu dilanjutkan dengan persepsi tentang sehat-sakit. Saran Kader dan petugas kesehatan diharapkan dapat meningkatkan kualitas posyandu dengan memfasilitasi dan mendukung semua kegiatan yang ada di posyandu lansia sehingga posyandu dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selain itu petugas puskesmas juga harus lebih giat memberikan promosi kesehatan terhadap lansia agar persepsi lansia tentang sehat dan sakit menjadi lebih baik. Rujukan Abraham. C. 1997. Psikologi Sosial Untuk Perawat. Jakarta: EGC. Affandi, B.1997. “Masalah Kesehatan Pada MasaMasa Menopause”, dalam Medika No 9 Tahun XXIII. Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta. Cahyati, Dewi. 2006. “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia di Desa Trihanggo Wilayah Kerja Puskesmas Gamping II Sleman Yogyakarta.UGM. Tidak diterbitkan Bondan.Palestin. 2008. “Perawatan Restoratif Untuk Mencegah Gagal-Pulih Pada Lanjut Usia di Masyarakat” dalam http://bondankomunitas. blogspot.com/2008/06/perawatan-restoratifuntuk-mencegah.html” Tanggal Akses 23 Desember 2010, pukul 11:00. Dahlan. M. Sopiyudin. 2009. Statistik Untuk Kedokteran Dan Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika. Darmojo, Bodhi. 2004. Buku Ajar Geriatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. 80
Dinas Kesehatan DIY. 2008. Hasil Riset Dasar Kesehatan 2007. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY. Dinas Kesehatan DIY. 2008. Profil Kesehatan Provinsi DIY 2008. Yogyakarta: Dinas Kesehatan DIY. Departemen Kesehatan R.I. 2003. Pedoman Pemantauan dan Penilaian Program Kesehatan Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan. Jakarta: Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan R. I. Departemen Kesehatan R.I. 2003. Pedoman Puskesmas Santun Usia Lanjut Bagi Petugas Kesehatan dan Perawatan Kesehatan Usia Lanjut di Rumah. Jakarta : Departemen Kesehatan R. I. Departemen Kesehatan R.I. 2005.Pedoman Pembinaan Kesehatan Usia lanjut Bagi Petugas Kesehatan.Jakarta : Departemen Kesehatan R. I. Departemen Kesehatan R.I. 2006. Saya Bangga Menjadi Kader Posyandu. Jakarta: Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan R. I. Erfendi.2008.”Pengelolaan Posyandu lansia” dalam www.erfendi-blogspot.com.Tanggal Akses 17 Desember 2010, pukul 11:20 WIB. Hardywinoto, Setiabudhi.2007. Panduan Gerontologi. Jakarta:Pustaka Utama. Hasibuan, Wirdasari dan Ismayadi. 2006. “Hubungan Program Pelayanan Posyandu Lansia Terhadap Tingkat Kepuasan Lansia Di Daerah Binaan Puskesmas Darussalam Medan” dalam jurnal Keperawatan Rufaidah Sumatera Utara, Volume 2 Nomer 1, tahun 2006. Heniwati. 2008. “ Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Posyandu Lansia di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Aceh Timur” Tesis Mahasiswi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.Tidak diterbitkan. Hidyat, A, Aziz Alimul.2008. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.Jakarta : Salemba Medika. Machfoedz, Ircham. 2007. Statistika Induktif. Yogyakarta: Fitramaya. Machfoedz, Ircham. 2009. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Fitramaya. Machfoedz, Ircham. 2010. Cara Membuat Kuesioner d a n P a n d u a n Wa w a n c a r a . Yo g y a k a r t a : Fitramaya. Mangoenprasodjo. 2005. Mengisi Hari Tua Dengan Bahagia. Jakarta : Pradipta Publishing. Maramis, W.F. 2004. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga University press.. Mubarok, dkk. 2006. Ilmu Keperawatan Komunitas 2. Jakarta: Sagung Seto.
Purwadi, Hadi & Hasan, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 76-81
Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.Jakarta : Rineka Cipta Notoatmodjo, S. 2007. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Nugroho, W. 2000.Keperawatan Gerontik edisi 2.Jakarta : EGC. Ozi. 2010. “Indonesia Targetkan UHH 72 Tahun” dalam http://www.globalfmlombok.com/content/ indonesia-targetkan-uhh-capai-72-tahun. Tanggal Akses 15 Desember, Pukul 11:30 Pohan, I. 2007. Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan. EGC : Jakarta Pujiono. 2009. “Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pemanfaatan Posyandu Lansia di Desa Jetis Kecamatan Karanganyar Kabupaten G r o b o g a n ” Te s i s M a h a s i s w a P r o g r a m Pascasarjana Promosi Kesehatan Universitas Diponogoro. Saryono. 2009. Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogykarta: Mitra Cendikia. Sugiyono. 2007. Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta. Rahayu, S. 2006 “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidaktifan Lansia ke Posyandu Lansia di Puskesmas Cebongan Salatiga.UGM. Tidak Diterbitkan.
Ritonga. 2007” Umur Harapan Hidup Penduduk Global” dalam http://ritonga.blogspot.com “ tanggal Akses 9 Desember 2010, Pukul 09:00 WIB. Noviana, Uki. 2008. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keluarga Dalam Pengambilan Keputusan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Puskesmas Di kabupaten Sleman Yogyakarta” Skripsi Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. Walgito. 2002. Psikologi Sosial Suatu Pengantar Edisi Revisi. Yogyakarta: Andi Offset. , 2010. “ Sensus Penduduk Indonesia 2010” dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Sensus_Penduduk_ Indonesia_2010. Tanggal Akses 10 Desember 2010, Pukul 19:30 WIB. , 2010. “ Jumlah Penduduk DIY Berdasarkan Hasil Sensus 2010” dalam www.bps.go.id/diy . Tanggal Akses 10 Desember 2010, Pukul 20:00 WIB. ,2009. “ Jumlah Lansia Di Indonesia Meningkat 11,34%” dalam http://bataviase.co.id/detailberita-10423665. html. Tanggal Akses 9 Desember 2010, pukul 10:20 WIB. , 2009. “ Usia Harapan Hidup Penduduk Indonesia” dalam http://data.menkokesra.go.id/ content/usia-harapan-hidup-penduduk-indonesia . Tanggal Akses 15 Desember 2010, Pukul 10:45 WIB
Faktor Yang Mempengaruhi Pemanfaatan Posyandu Lansia di Imogiri Kabupaten Bantul
81
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Peran Bidan dalam Konseling Awal Kontrasepsi Suntik DMPA Farida Aryani1 1 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta
Abstrak Pertumbuhan penduduk Indonesia yang mencapai 1,3 % tiap tahun menjadi permasalahan kependudukan. Konseling program Keluarga Berencana diperlukan sebagai salah satu solusi permasalahan tersebut. Penelitian non eksperimental dengan disain observasional yang menggunakan pendekatan shot model ini bertujuan Mengetahui peran bidan dalam konseling awal kontrasepsi suntik DMPA di Puskesmas Mergangsan, Yogyakarta 2012. Populasi penelitian ini adalah ibu-ibu yang melaksanakan kunjungan pertama dan kedua kontrasepsi suntik DMPA. Hasil penelitian ini adalah 71,1% bidan berperan dengan baik dalam konseling awal kontrasepsi suntik DMPA.
Kata Kunci: peran bidan, kontrasepsi, DMPA
Info artikel: Artikel dikirim pada 19 agustus 2013 Artikel diterima pada 19 agustus 2013 PENDAHULUAN Masalah kependudukan di Indonesia yang utama adalah jumlah penduduk yang begitu besar dengan laju pertumbuhan penduduk 1,3 % tiap tahunnya. Dan harus diturunkan menjadi 1,14% per tahun, jika tidak maka pada tahun 2050 Indonesia akan mengalami kenaikan penduduk hingga 231,3%. Dilihat dari segi kuantitas penduduk Indonesia cukup besar tetapi dari sisi kualitas, melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kondisi Indonesia sangat memperihatinkan karena dari 117 negara Indonesia di posisi 108. Tingginya laju pertumbuhan yang tidak diiringi peningkatan kualitas penduduk ini membuat pemerintah terus melakukan upaya penanganan yaitu dengan program KB (Keluarga Berencana).1 Pasangan Usia Subur (PUS) berjumlah 549.894 di DIY pada tahun 2011. Di kota Yogyakarta, PUS berjumlah 46.755. Peserta KB baru di DIY pada tahun 2011 mempunyai target 54.182, sedangkan pencapaiannya 55.781 (102,95%). Peserta baru kontrasepsi IUD mempunyai target 9.261, sedangkan pencapaiannya 11.583 (125,07%), target MOW 1.670 pencapaiannya 1.620 (97,01%),target kondom 5.472 pencapaiannya 5.469 (99,95%), target implant 4.950 pencapaiannya 4.970 (100,40%), target suntik 27.001 pencapaiannya 26.891 (99,59%) dan target pil 5.288 pencapaiannya 4.890 (92,47%).2
82
Aryani, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 82-86
Peserta KB baru dengan kontrasepsi suntik di DIY pada tahun 2011 berjumlah 26.891. Di kota Yogyakarta peserta baru kontrasepsi suntik berjumlah paling sedikit yaitu 1.481 (59,24%) dibandingkan dengan kabupaten lain, diantaranya di Kulon progo 3.629 (100,44%), Gunung kidul 6.556 (98,13%), Sleman 7.593 (103,38%), dan di Bantul 7.632 (111,22%).2 Program KB merupakan program yang mendunia. Dengan adanya kesepakatan ICPD (Intrnational Conference On Population and Development) pelayanan KB dikaitkan dengan upaya mencegahan dan mengatasi masalah kesehatan reproduksi, misalnya masalah kematian ibu 3.KB merupakan program yang berfungsi bagi pasangan yang menunda kelahiran anak pertama, menjarangkan anak atau membatasi jumlah anak yang diinginkan sesuai dengan keamanan medis 4. Dalam MDGs (Millenium Development Goals) tujuan yang ke-5 pada target 5b disebutkan bahwa tujuan MDGs untuk mencapai dan menyediakan akses kesehatan reproduksi untuk semua pada tahun 2015 yaitu dengan penggunaan kontrasepsi pada wanita usia 15 sampai 49 tahun 5. Dampak tidak menggunakan alat kontrasepsi terhadap perencanaan kehamilan bagi ibu yaitu penurunan kesehatan mental dan sosial yang dimungkinkan oleh adanya waktu yang kurang untuk
mengasuh anak dan perbaikan kesehatan tubuh terganggu karena kehamilan yang berulang kali dalam jangka waktu yang terlalu pendek.Bagi anak tidak mendapatkan perhatian, pemeliharaan, dan makanan yang cukup karena kehadiran anak tersebut tidak diinginkan dan direncanakan.Gangguan menstruasi yang dialami oleh akseptor kontrasepsi Suntik DMPA seringkali memberikan dampak psikologis dan perasaan khawatir dengan efek samping tersebut 6. Bidan merupakan tenaga kesehatan yang memiliki posisi yang strategis dalam meningkatkan kesejahteraan ibu, bayi, dan balita.Salah satu peran bidan adalah konseling.Bidan adalah ujung tombak pembangunan keluarga sejahtera dari sudut kesehatan dan pemberdayaan lainnya.Karena itu, sebagai ujung tombak dalam bidang kesehatan, bidan dituntut untuk berperan memberi pertolongan dini atau memberi petunjuk dalam pelayanan kesehatan 7. Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan peneliti di Puskesmas Mergangsan, dari hasil wawancara langsung responden menyatakan bahwa kurang mengerti dengan efek samping kontrasepsi suntik DMPA, dan ada yang menyatakan kurang mengerti dengan kelebihan dan keterbatasan kontrasepsi suntik DMPA.Dari studi pendahuluan tersebut dapat diketahui bahwa bidan belum menjelaskan secara lengkap informasi saat konseling awal kontrasepsi suntik DMPA.Pasien tidak pernah diberi lembar evaluasi kineja bidan, sehingga kinerja bidan kurang pemantauan. Jumlah bidan di Puskesmas Mergangsan khususnya dibagian poli KIA adalah 5 orang, sedangkan jumlah pasien kurang lebih 10 orang setiap bulan untuk kunjungan baru kontrasepsi suntik DMPA. Oleh karena itu peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian tentang peran bidan dalam konseling awal kontrasepsi suntik DMPA. BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional.Jenis penelitian ini dengan metode kuantitatif dan didukung dengan metode kualitatif. Pendekatan waktu yang digunakan adalah one shot model.Metode kuantitatif digunakan untuk mengetahui persentase besarnya peran bidan dalam konseling awal kontrasepsi suntik DMPA, sedangkan metode kualitatif dengan metode wawancara mendalam dirumah responden untuk mendapatkan keterangan secara lisan dari informan tentang peran bidan dalam menerapkan langkah-langkah konseling kontrasepsi suntik DMPA. Sampel pada penelitian ini berjumlah 30 orang, yaitu ibu-ibu yang melakukan kunjungan pertama
dan kunjungan ke dua kontrasepsi suntik DMPA. Sampel untuk data kualitatif berjumlah 2 ibu yang melakukan kunjungan pertama atau kunjungan ke dua kontrasepsi suntik DMPA dan seorang bidan. Hasil dan Pembahasan Karakteristik responden dalam penelitian ini digambarkan berdasarkan pendidikan, umur, pekerjaan dan kunjungan suntik DMPA.Distribusi frekuensi karakteristik responden berdasarkan pendidikan, umur, pekerjaan dan kunjungan suntik DMPA dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 2. Berdasarkan Pendidikan, Umur, Pekerjaan dan Kunjungan Suntik DMPA Karakteristik Responden
Frekuensi
%
SD
1
3,3
SMP
8
26,7
SMA
19
63,3
D3
2
6,7
Total
30
100
<20 tahun
3
10
21-25
6
20
26-30
18
60
31-35
3
10
Total
30
100
Swasta
16
53,3
PNS
2
6,7
Tidak bekerja
12
40
Total
30
100
Kujungan pertama
19
63,3
Kunjungan Ke dua
11
36,7
Total
30
100
Sumber : Data Primer, diolah 2012
Berdasarkan hasil karakteristik responden di atas, pendidikan responden paling banyak adalah SMA yaitu 19 responden (63,3%). Umur responden yang terbanyak adalah usia 26-30 tahun yaitu 18 orang (60%). Pekerjaan responden yang terbanyak adalah wiraswasta yaitu 16 orang (53,3%). Kunjungan suntik DMPA yang terbanyak adalah kunjungan yang pertama yaitu 19 orang (63,3%). Peran bidan dalam konseling awal kontrasepsi suntik DMPA di Puskesmas Mergangsan, Yogyakarta dapat dilihat dari Tabel 2. Berdasarkan tabel 2 dapat diketahui bahwa peran bidan menyapa dan mengucap salam dalam kategori baik yaitu 76,7%. Peran bidan menanyakan informasi klien dalam kategori baik yaitu 83,3%. Peran bidan menguraikan informasi alat kontrasepsi dalam kategori baik yaitu 73,3%. Peran bidan membantu klien menentukan pilihan dalam kategori baik yaitu Peran Bidan dalam Konseling Awal Kontrasepsi Suntik DMPA
83
Tabel 2. Peran Bidan dalam Konseling Awal Kontrasepsi Suntik DMPA No Peran Bidan 1. Menyapa dan Mengucap Salam
2.
Menanyakan Informasi Klien
3.
Menguraikan Informasi Alat Kontrasepsi
4.
Membantu Klien Menentukan Pilihan
5.
Menjelaskan Alat Kontrasepsi Pilihan Klien
6.
Menjelaskan Kunjungan Ulang
7.
Peran Bidan dalam Konseling Awal Kontrasepsi Suntik DMPA
Kategori Penilaian Baik (76-100%) Cukup (56-75%) Kurang (< 56%) Baik (76-100%) Cukup (56-75%) Kurang (< 56%) Baik (76-100%) Cukup (56-75%) Kurang (< 56%) Baik (76-100%) Cukup (56-75%) Kurang (< 56%) Baik (76-100%) Cukup (56-75%) Kurang (< 56%) Baik (76-100%) Cukup (56-75%) Kurang (< 56%) Baik (76-100%) Cukup (56-75%) Kurang (< 56%)
Jumlah (orang) 23 7 0 25 5 0 22 5 3 21 7 2 18 8 4 19 7 4 21 6 3
% 76,7 23,3 0 83,3 16,7 0 73,3 16,7 10 70 23,3 6,6 60 26,7 13,3 63,3 23,3 13,3 71,1 21,7 7,2
Sumber: Data Primer, diolah 2012
70%.Peran bidan menjelaskan alat kontrasepsi pilihan klien dalam kategori baik yaitu 60%. Peran bidan menjelaskan kunjungan ulang dalam kategori baik yaitu 63,3%. Setelah dirata-rata peran bidan dalam konseling awal kontrasepsi suntik DMPA yaitu dengan kategori baik yaitu 71,1%, kategori cukup 21,7%, dan kategori kurang 7,2%. Analisis Data Kualitatif Analisis data kualitatif dilakukan untuk memperkuat hasil analisis data kuantitatif. Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 responden yang melakukan kunjungan awal didapatkan hasil mengenai peran bidan dalam konseling awal kontrasepsi suntik DMPA yaitu: menyapa dan mengucapkan salam, menanyakan informasi klien, menguraikan informasi alat kontrasepsi pilihan klien, membantu klien menentukan pilihannya, menjelaskan secara lengkap alat kontrasepsi pilihan klien dan membuat kunjungan ulang. Menyapa dan Mengucapkan Salam Adapun ungkapan informan sebagai berikut: “... bu bidan menyapa saya waktu itu... bidannya menyapa saya dengan sopan ...” ( Informan 1) Menanyakan Informasi Klien Adapun ungkapan informan sebagai berikut :
84
Aryani, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 82-86
“...ada informasi yang ditanyakan waktu ... yang ditanyakan umur saya, pekerjaan saya dan suami, terus saya pernah hamil dan bersalin berapa kali....” (Informan 2) Menguraikan Informasi Alat Kontrasepsi Pilihan Klien Adapun ungkapan informan sebagai berikut : “...ada informasi kontrasepsi suntik... bu bidan menjelaskan alat kontrasepsi yang tersedia seperti suntik KB 3 bulan, lalu dijelaskan keuntungan dan efek sampingnya...” (Informan 2) Membantu Klien Menentukan Pilihannya Adapun ungkapan informan sebagai berikut : “...bu bidan membantu saya untuk memilih alat kontrasepsi dan memantapkan pilihan saya... bu bidan bertanya alat kontrasepsi yang saya inginkan, lalu bertanya apakah suami saya mendukung saya apabila saya memakai suntik...” (Informan 1) Menjelaskan Secara Lengkap Alat Kontrasepsi Pilihan Klien Adapun ungkapan informan sebagai berikut : “...tidak semua dijelaskan oleh bu bidan... karena saya tidak tahu siapa saja yang boleh pakai suntik KB 3 bulanan...” ( Informan 2)
Membuat Kunjungan Ulang Adapun ungkapan informan sebagai berikut : “...bu bidan membuat kunjungan ulang buat saya... saya diberi tahu jadwal untuk kontrol sesuai tanggal yang sudah dituliskan...” (Informan 1) Berdasarkan tabel 2 setelah dirata-rata peran bidan dalam konseling awal kontrasepsi suntik DMPA yaitu dengan kategori baik adalah 71,1%, kategori cukup 21,7%, dan katgori kurang 7,2%. Dari data tersebut sebagian besar bidan mempunyai peran baik dalam konseling awal kontrasepsi suntik DMPA.Peran bidan dalam konseling awal sangatlah penting karena membantu pasien untuk mengambil keputusan yang tepat dalam memilih alat kontrasepsi. Para bidan diharapkan memiliki teknik saat melakukan konseling, yaitu cara memberikan dukungan, kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasannya, membuat SIMPULAN dari perassan klien yang tersirat, dan memberikan semua informasi yang dibutuhkan oleh klien 8. Pendekatan-pendekatan yang dapat dilakukan bidan dalam konseling adalah pendekatan kognitif dan behavioral.Pada pendekatan kognitif bidan menekankan pada berfikir rasional tentang sesuatu yang dihadapi oleh klien.sedangkan pendekatan behavioral menekankan pada prosedur untuk memfasilitasi perubahan perilaku klien 9. Seseorang berperilaku karena pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain 10. Tingkat pengetahuan tenaga kesehatan tentang kontrasepsi suntik DMPA berhubungan signifikan dengan kemampuan dalam memberikan konseling awal pada ibu yang akan melakukan suntik DMPA. Berdasarkan hasil kuesioner yang dibagikan di Puskesmas Mergangsan Yogyakarta dinyatakan bahwa sebagian besar peran bidan adalah baik (71,1%). Hal tersebut disebabkan karena tingkat kemampuan bidan dalam konseling awal kontrasepsi suntik DMPA dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan.Jika peran bidan kurang dikhawatirkan klien tidak puas terhadap pilihannya dan konsep yang salah tentang alat kontrasepsi tidak diklarifikasi oleh bidan. Evaluasi di poliklinik RCSM Jakarta pada periode Januari sampai Mei tahun 2000 Pada kontrasepsi metode injeksi, penghentian penggunaan ditemukan pada 50% akseptor pada tahun pertama. Penyebab terbanyak penghentian tersebut adalah gangguan siklus menstruasi. Keluhan terbanyak adalah perdarahan spotting 29 pasien (78%), 3 pasien (8%) datang dengan keluhan pendarahan banyak diluar haid, dan (3%) pasien dengan keluhan
amenorhea sekunder.Gangguan menstruasi yang dialami oleh akseptor kontrasepsi Suntik DMPA sering kali memberikan dampak psikologis dan perasaan khawatir dengan efek samping tersebut, sehingga bidan yang menjelaskan efek samping alat kontrasepsi suntik DMPA pada waktu konseling awal akan mengurangi kekhawatiran dan menambah pengetahuan pasien tentang alat kontrasepsi suntik DMPA 6. Peran bidan secara keseluruhan adalah baik, namun yang mempengaruhi penggunaan alat kontrasepsi suntik bukan hanya dari bidan, melainkan dukungan dari suami. Dukungan adalah memberikan dorongan atau semangat dan nasihat kepada orang lain dalam satu situasi pembuatan keputusan 11. Dukungan suami terhadap istrinya yang menjadi peserta KB dapat memberikan ketenangan sehingga pemakaian lestari. SIMPULAN DAN SARAN Peran bidan dalam menyapa dan mengucap salam saat konseling awal kontrasepsi suntik DMPA di Puskesmas Mergangsan dalam kategori baik yaitu 76,7%, peran bidan saat menanyakan informasi klien saat konseling awal kontrasepsi suntik dalam kategori baik yaitu 83,3%, peran bidan saat menguraikan informasi alat kontrasepsi dalam kategori baik yaitu 73,3%, peran bidan saat membantu klien menentukan pilihan dalam kategori baik yaitu 70%, peran bidan saat menjelaskan alat kontrasepsi pilihan klien dalam kategori baik yaitu 60%, peran bidan saat menjelaskan kunjungan ulang kontrasepsi suntik DMPA dalam kategori baik yaitu 63,3% dan rata-rata peran bidan dalam konseling awal kontrasepsi suntik DMPA di Puskesmas Mergangsan dengan kategori baik yaitu 71,1%, kategori cukup 21,7%, dan kategori kurang adalah 7,2%. RUJUKAN 1. Handayani, S.2010.Buku Ajar Pelayanan KB. Yogyakarta: Pustaka Rihama. 2. B K K B N . 2 0 11 . P e n c a p a i a n P r o g r a m Kependudukan dan KB sampai Bulan Desember 2011. Naskah dipresentasikan dalam rapat pengendalian program. Yogyakarta. 3. DepKes RI. 2002. Penyelia Fasilitas Pelayanan Keluarga Berencana. Jakarta: Depkes RI.: 1 4. Sheilla, A. Buku Saku Kontrasepsi dan Kesehatan Seksual Fertilitas Total (TFR). Journal Of Obstetric and Gynaecology Reseach,29. 2000 5. Stalker, P. MDGs. http://www.undp.or.id. 2008. (Diakses 30 Januari 2012)
Peran Bidan dalam Konseling Awal Kontrasepsi Suntik DMPA
85
6. Billings, E. Metode ovulasi billings. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2008:23 7. Suyono, H. Bidan Mandiri Sebagai Ujung Tombak Posyandu. http://www.damandiri.or.id. 2007 8. Arum, D.N.S. Panduan Lengkap Pelayanan KB Terkini. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press. 2009:42-132
86
Aryani, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 82-86
9. Yulifah, R & Yuswanto, T.J.A. Komunikasi dan Konseling dalam Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika. 2009. 10. WHO. Ragam Metode Kontrasepsi. Jakarta: EGC. 2007: 47-114 11. Chaplin. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafing Hal
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Kepatuhan Mengonsumsi Tablet Fe Selama Hamil Berhubungan dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Kabupaten Bantul Fatimatasari1, Hamam Hadi2, Nur Indah Rahmawati3 1, 2, 3 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta
Abstrak Penurunan angka kematian bayi di Indonesia belum belum mencapai target 8 tujuan emas MDG’S. Pada tahun 2010 penyebab kasus kematian neonatal terbanyak disebabkan karena bayi berat lahir rendah (BBLR) dan kasus terbanyak terjadi di Kabupaten Bantul. Ibu hamil dengan anemia merupakan faktor resiko kejadian BBLR, sedangkan kasus anemia yang paling sering dijumpai pada ibu hamil adalah akibatkekurangan zat besi. Pemberian tablet Fe minimal 90 tablet dapat mengatasi anemia kekuarangan zat besi pada ibu hamil. Penelitian case control ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat kepatuhan Ibu hamil mengkonsumsi tablet Fe dengan kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR). Sampel penelitian adalah 132 ibu melahirkan di RSUD Panembahan Senopati Bantul terdiri dari 66 Ibu yang melahirkan bayi BBLR sebagai kelompok kasus dan 66 Ibu yang melahirkan bayi tidak BBLR sebagai kelompok kontrol. Hasil pengumpulan data didapatkan 53% sampel masih mengkonsumsi tablet Fe kurang dari 90 tablet. Hasil analisa data dengan uji statistik didapatkan hasil OR= 2,09 (95%CI [1,040 – 4,194]) dan x2=4,38 dengan p value =0,036. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ada hubungan antara tingkat kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet Fe dengan kejadian Bayi berat lahir rendah (BBLR) dengan resiko ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe kurang dari 90 tablet mempunyai resiko 2,1 kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan ibu yang mengkonsumsi tablet Fe 90 tablet atau lebih. Kata Kunci: tingkat kepatuhan minum tablet Fe selama hamil, BBLR
Info artikel: Artikel dikirim pada 29 agustus 2013 Artikel diterima pada 29 agustus 2013 PENDAHULUAN Angka Kematian Bayi (AKB) adalah jumlah bayi yang meninggal sebelum mencapai usia satu tahun yang dinyatakan dalam 1.000 kelahiran hidup pada tahun yang sama(1). Salah satu penyebab kematian bayi di Indonesia adalah BBLR.BBLR (Bayi Berat Lahir Rendah) adalah Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk masa kehamilan, hal ini karena mengalami gangguan pertumbuhan dalam kandungan(2). Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) merupakan penyebab kematian neonatal terbanyak di Provinsi DIY. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, dari 241 kasus kematian neonatal di DIY, 98 diantaranya disebabkan karena BBLR dengan kasus terbanyak terjadi di Kabupaten Bantul yaitu sebanyak 31 kasus(3). Keadaan obstetrik ibu, keadaan janin, nutrisi, kadaan sosial ekonomi, dan kebiasaan merupakan
faktor predisposisi terjadinya kejadian Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR).Dari faktor nutrisi, anemia dalam kehamilan yang disebabkan karena rendahnya asupan zat besi merupakan masalah yang sangat sering terjadi. Anemia ibu hamil memberi pengaruh pada kehamilan dan janinnya baik dalam kehamilan, persalinan maupun nifas.Anemia dalam kehamilan yang sering dijumpai adalah anemia akibat kekurangan zat besi. Kekurangan ini dapat disebabkan karena kurang masuknya unsur zat besi dalam makanan(4). Angka anemia ibu hamil di Provinsi DIY sebesar 20,95%. Prevalensi ibu hamil anemia di Provinsi DIY ini masih berada di atas ambang batas masalah gizi yaitu 20%(5). Pemberian tablet Fe sehari 1 tablet (60 mg besi elemental dan 0,25 mg asam folat) yang diberikan minimal 90 hari masa kehamilan dapat mencegah terjadinya anemia pada ibu hamil(6). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 secara nasional 19,3% ibu hamil melaporkan tidak pernah meminum tablet Fe,
Kepatuhan Mengkonsumsi Tablet Fe Selama Hamil Berhubungan dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah
87
dan hanya 18,0% ibu hamil yang melaporkan minum tablet Fe 90 tablet atau lebih(5). Studi pendahuluan yang dilakukah oleh peneliti di RSUD Panembahan Senopati Bantul Yogyakarta menunjukkan bahwa selama tahun 2011 terdapat 248 bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) dari 3111 kelahiran hidup. Artinya, rata-rata perbulan terdapat 20 bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah. Dengan melihat tingginya kejadian bayi berat lahir rendah dan rendahnya konsumsi tablet Fe ibu hamil di kabupaten Bantul, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet Fe dengan kejadian bayi berat lahir rendah di Kabupaten Bantul. BAHAN DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode case control.Sampel penelitian sebanyak 132 ibu yang pernah melahirkan di RSUD Panembahan Senopati Bantul. Yaitu yang melahirkan antara bulan Oktober 2011 hingga Februari 2012 dan berdomisili di Kabupaten Bantul. Sampel dibagi menjadi kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kelompok kasus adalah ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram (BBLR) dan kelompok kontrol adalah ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan 2500 gram atau lebih (tidak BBLR). Tingkat kepatuhan konsumsi tablet Fe selama hamil dinilai berdasarkan keseluruhan jumlah tablet Fe yang diminum selama hamil. Dikatakan patuh jika selama hamil ibu mengkonsumsi tablet Fe 90 tablet Fe atau lebih dan dikatakan tidak patuh mengkonsumsi tablet Fe kurang dari 90 tablet. Penelitian dilakukan bulan Mei sampai dengan Juli 2012. Penelitian dilakukan dengan mencari data ibu yang melahirkan bayi di RSUD Panembahan Senopati Bantul yang akan dijadikan sampel dengan melihat rekam medis pasien, melakukan wawancara langsung dengan responden, dan melakukan klarifikasi ulang jawaban responden dengan catatan pemberian tablet Fe dalam buku KIA. HASIL DAN PEMBAHASAN Kasus BBLR tersebar hampir di seluruh Kecamatan di Kabupaten Bantul. Kasus terbanyak tedapat di Kecamatan Bantul dengan jumlah 12 kasus atau sebesar 18,2%. Tingkat kepatuhan ibu mengkonsumsi tablet Fe selama hamil sebesar 37,9 % patuh pada kelompok kasus dan 56,1 % pada kelompok control. Berdasarkan hasil penelitian, uji chi square untuk mengetahui hubungan antara umur dengan kejadian BBLR, paritas dengan kejadian BBLR, jenis
88
pekerjaan dengan kejadian BBLR dan pendapatan dengan kejadian BBLR didapatkan hasil x2hitung lebih kecil daripada x2 tabel dan p value lebih besar dari 0,005 menunjukkan bahwa baik umur, paritas, jenis pekerjaan, maupun pendapatan tidak berhubungan dengan kejadian BBLR. Tabel 1.1 Analisa Bivariat Tingkat Kepatuhan Konsumsi Tablet Besi Selama Hamil dan Kejadian BBLR Kepatuhan minum Kasus Kontrol Total tablet Fe Tidak Patuh (<90 tablet) Patuh (≥90 tablet) Total
41
29
70
25
37
62
66
66
132
x2
OR 95% CI
2,09 4,38 (p=0,036)
Sumber: Data Primer 2012
Analisis hubungan antara kepatuhan mengkonsumsi tablet Fe selama hamil dengan kejadian Bayi Berat lahir Rendah (BBLR) diperoleh hasil = 4,38 (p = 0,036), OR = 2,09 (95% CI [1,044 – 4,194]) (tabel 1.1). Hasil tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara tingkat kepatuhan mengkonsumsi tablet Fe selama hamil dengan kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR). Hasil penelitian yang sama ditemukan oleh Falahi dkk (2011), yang menyebutkan bahwa pemberian suplementasi Fe pada wanita hamil memiliki banyak manfaat seputar pencegahan anemia defisiensi besi dengan menurunkan angka kejadian BBLR dan persalinanpremature(7). Kemudian pada hasil studi meta analisis yang dilakukan Imdad dkk (2012) menyimpulkan bahwa pemberian suplementasi Fe harian yang diberikan secara rutin dapat mengurangi angka kejadian BBLR sebanyak 20% dibandingkan dengan wanita hamil yang tidak mendapat suplementasi Fe(8). Anemia dalam kehamilan berpengaruh buruk terhadap janin. Sekalipun tampaknya janin mampu menyerap berbagai kebutuhan dari ibunya, tetapi dengan anemia akan mengurangi kemampuan metabolisme tubuh sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Akibat gangguan tersebut dapat mengakibatkan persalinan prematur, bayi berat lahir rendah dan kelahiran dengan anemi(9). Anemia pada ibu hamil salah satu penyebabnya adalah adanya proses fisiologis saat hamil, yaitu adanya penambahan volume darah ibu yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi darah ke plasenta, uterus dan payudara yang membesar dengan pembuluh yang membesar pula.
Fatimatasari, Hadi, & Rahmawati, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 87-89
Bertambahnya volume darah ini sayangnya tidak diikuti dengan kenaikan pembentukan sel darah merah yang memadai, sehingga konsentrasi/kadar hemoglobin ibu hamil menjadi rendah.Anemia dalam kehamilan biasanya berhubungan dengan defisiensi zat besi. Jumlah zat besi yang diabsorbsi dari makanan dan cadangan dalam tubuh biasanya tidak mencukupi kebutuhan ibu selama kehamilan sehingga penambahan asupan zat besi dapat membantu mengembalikan kadar hemoglobin(10).
4.
5.
6. SIMPULAN DAN SARAN Ada hubungan antara tingkat kepatuhan mengkonsumsi tablet Fe selama hamil dengan kejadian bayi berat lahir rendah (BBLR), dengan risiko Ibu hamil yang tidak patuh mengkonsumsi tablet Fe (konsumsi kurang dari 90 tablet) adalah 2,1 kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR dibanding Ibu yang patuh mengkonsumsi tablet Fe (mengkonsumsi tablet Fe 90 tablet atau lebih). RUJUKAN
7.
8.
9.
1. Kementrian Kesehatan RI, 2010, Rencana Strategis Kementrian Kesehatan RI 2010 – 2014, Kementrian Kesehatan RI 2010, Jakarta. 2. Muslihatun, Wafi N, 2010, Asuhan Neonatus Bayi dan Balita, Fitramaya, Yogyakarta. 3. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, 2010, Laporan Riset
10.
Kesehatan Dasar, Kementrian Kesehatan RI 2010, Jakarta. Sulin, Djusar, 2008, “Perubahan Anatomi dan Fisiologi pada Perempuan Hamil”, dalam Abdul Bari Saifuddin (Eds): Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, Edisi Keempat, pp 174-87, YBPSP, Jakarta. Dinas Kesehatan Provinsi DIY, 2010, Profil Kesehatan Provinsi DIY 2010. Dinkes DIY, Yogyakarta. Dep Kes RI, 2003, Program Penanggulagan Anemi Gizi pada Wanita Usia Subur (WUS). Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Jakarta. Falahi, dkk, 2011, “Impact of Prophylactic Iron Supplementation in Healthy Pregnant Women On Maternal Iron Status and Birth Outcome” dalam Food and Nutrition Bulletin The United Nation University; vol 32, pp. 213-7. Imdad, A, dan Bhutta ZA, 2012, “ Routine Iron/ Folate Supplementation During Pregnancy: Effect on Maternal Anemia and Birth Outcomes” dalam Paediatric And Perinatal Epidemiology; vol 26 Suppl 1, pp. 168-77. Manuaba, Ida Bagus Gde, 2010, Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB untuk Pendidikan Bidan, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Sulin, Djusar, 2008, “Perubahan Anatomi dan Fisiologi pada Perempuan Hamil”, dalam Abdul Bari Saifuddin (Eds): IlmuKebidanan Sarwono Prawirohardjo, Edisi Keempat, pp 174-87, YBPSP, Jakarta
Kepatuhan Mengkonsumsi Tablet Fe Selama Hamil Berhubungan dengan Kejadian Bayi Berat Lahir Rendah
89
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Audit Verbal pada Bidan Penolong Pertama untuk Kasus Kematian Ibu di Kabupaten Bantul 2008 Fihris Hanna1, Ircham Mahfoedz2, Mulazimah3 123
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta
Abstrak Peningkatan angka kematian ibu di Kabupaten Bantul dari tahun 2007 berjumlah 6 menjadi 18 pada tahun 2008 merupakan suatu hal yang perlu diketahui penyebabnya. Penelitian kualitatif ini bertujuan untuk mengungkap informasi yang berkaitan dengan : langkah-langkah yang dilakukan bidan dalam menangani kasus kegawatdaruratan obstetri sehubungan dengan terjadinya kenaikan angka kematian ibu di Kabupaten Bantul. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa bidan sebagai penolong pertama dalam melakukan langkah- langkah penanganan kasus kegawatdaruratan obstetri ada yang sudah sesuai dan ada yang belum sesuai dengan standar pelayanan kebidanan dalam penanganan kasus kegawatdaruratan obstetri pada kronologis kematian ibu yang ditanganinya. Simpulan : Berdasarkan hasil penelitian tersebut, menunjukkan bahwa bidan sebagai penolong pertama belum sepenuhnya melakukan tindakan sesuai dengan prosedur, kronologis kematian ibu yaitu seharusnya kematian ibu dapat dicegah pada kedua kasus jika bidan melakukan penapisan kegawatdaruratan obstetri sedini mungkin dan pasien dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. Kata Kunci: audit, verbal, kematian Ibu, bidan penolong pertama
Info Artikel: Artikel dikirim pada 3 Agustus 2013 Artikel diterima pada 13 September 2013
PENDAHULUAN Sampai saat ini angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah serius yang perlu diperhatikan. Mortalitas dan morbiditas pada wanita hamil dan bersalin adalah suatu masalah besar di negara berkembang. Di Negara miskin, sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan oleh hal yang berkaitan dengan kehamilan. Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita muda pada masa puncak produktivitasnya. Angka kematian ibu (AKI) merupakan barometer pelayanan kesehatan ibu di suatu negara. Bila AKI masih tinggi berarti pelayanan kesehatan ibu belum baik. Sebaliknya bila AKI rendah berarti pelayanan kesehatan ibu sudah baik. Di kawasan ASEAN, Indonesia masih mempunyai AKI yang paling tinggi, menurut data tahun 2007 yaitu sebesar 228/100.000 kelahiran hidup (1). Menurut data SDKI yang ada, sebenarnya AKI di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan adanya penurunan jumlah AKI. Dari 390/100.000 kelahiran hidup pada tahun 1994 menjadi 334/100.000
90
kelahiran hidup pada tahun 1997. Lalu tahun 2003 menjadi 307/100.000 kelahiran hidup, tahun 2005 menjadi 262/100.000 dan pada tahun 2006 menjadi 253/100.000 kelahiran hidup. Terakhir pada tahun 2007 menjadi 228/100.000 kelahiran hidup. Meski telah mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya namun hingga saat ini angka kematian ibu (maternal mortality rate atau MMR) di Indonesia masih tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Kondisi itu belum merubah status Indonesia sebagai negara dengan angka kematian ibu tertinggi di Asia Tenggara karena angka kematian ibu di negara-negara Asia Tenggara lainnya masih jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia. Sebagian besar penyebab kematian ibu secara langsung (menurut Survei Kesehatan rumah tangga 2001 sebesar 90%) adalah komplikasi yang terjadi pada saat persalinan dan segara setelah bersalin. Penyebab tersebut dikenal dengan Trias Klasik yaitu perdarahan (28%), eklampsia (24%) dan infeksi (11%). Sedangkan penyebab tidak langsungnya antara lain adalah ibu hamil menderita Kurang Energi Kronis (KEK) 37%, anemia (Hb kurang dari 11 gr%) 40%. Kejadian
Hanna, Machfoedz & Mulazimah, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 90-95
anemia pada ibu hamil ini akan meningkatkan risiko terjadinya kematian ibu dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia (2). Kehamilan risiko tinggi juga dapat meningkatkan risiko saat persalinan. Yang termasuk kehamilan dengan risiko tinggi antara lain, tinggi badan kurang dari 145 cm, riwayat kehamilan yang buruk ( pernah keguguran, pernah persalinan prematur, riwayat persalinan dengan tindakan ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, operasi Sectio caesaria ), pre eklampsia, eklamsia, gravida serotinus, kehamilan dengan perdarahan anterpartum, kehamilan dengan kelainan letak. Angka kematian ibu melahirkan di Kabupaten Bantul selama tahun 2008 mengalami kenaikan yang cukup tajam. Artinya, selama ini sistem pembangunan kesehatan atau penanganan ibu melahirkan di kabupaten itu ada kesalahan. Buktinya persoalan kesehatan khususnya jumlah ibu melahirkan meninggal mengalami kenaikan sangat tajam. Pada tahun 2007 tercatat angka ibu melahirkan meninggal, jumlahnya mencapai 6 kasus. Sedangkan pada tahun 2008 naik menjadi 18 kasus. Selama Januari hingga April 2008, ada 7 orang ibu hamil yang meningggal dunia. Menurut profil Dinkes Bantul penyebab kematian ibu beragam, ada yang meninggal karena TBC, keracunan kehamilan, pembesaran jantung, emboli air ketuban, perdarahan. Sedangkan menurut survei awal yang dilakukan dengan datang ke Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul dan bertanya ke bagian pelayanan kesehatan, di dapatkan data selama tahun 2008 terdapat 18 kasus kematian ibu di kabupaten bantul dengan penyebabnya antara lain: TBC, eklampsi, pembesaran jantung (cardiomegaly), perdarahan, emboli air ketuban, gagal jantung (decompensasi cordis), sepsis, pneumonia, atonia uteri, oedem paru oleh karena pre eklampsi berat, vagal reflek, encephalophaty oleh karena bilirubinemia (3). Peranan bidan dalam masyarakat sebagai tenaga kesehatan terlatih pada Sistem Kesehatan Nasional adalah sebagai berikut: memberikan pelayanan sebagai tenaga terlatih, meningkatkan pengetahuan kesehatan masyarakat, meningkatkan penerimaan keluarga berencana, memberikan pendidikan pada ”dukun beranak”, meningkatkan sistem rujukan. Pelayanan kesehatan yang patut dilaksanakan oleh bidan adalah: meningkatkan upaya pengawasan ibu hamil, meningkatkan gizi ibu hamil dan menyusui, meningkatkan peranan gerakan KB, meningkatkan sistem rujukan, meningkatkan penerimaan imunisasi ibu hamil dan bayi. Selain itu bidan juga melakukan pengawasan kehamilan dan menetapkan: kehamilan, persalinan, dan postpartum dengan risiko tinggi; kehamilan, persalinan, dan postpartum yang meragukan; kehamilan, persalinan,
dan postpartum dengan risiko rendah. Berdasarkan hal tersebut, maka bidan sebagai tenaga kesehatan terlatih yang menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan dan melayani masyarakat melalui BPS (Bidan Praktek Swasta), POLINDES (Pondok Bersalin Desa), dll, mempunyai kewenangan untuk menangani kasus obstetri di masyarakat dan melakukan rujukan untuk kasus kegawatdaruratan obstetri, sehingga hal ini merupakan salah satu upaya untuk mencegah kematian ibu dan akhirnya dapat menurunkan angka kematian ibu (4). BAHAN DAN METODE Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif merupakan suatu paradigma penelitian untuk mendeskripsikan peristiwa, perilaku orang atau suatu keadaan pada tempat tertentu secara rincidan mendalam dalam bentuk narasi5.Populasi penelitian adalah jumlah bidan yang menangani kasus kegawatdaruratan obstetri di Kabupaten Bantul pada tahun 2008. Sampel pada penelitian ini sejumlah 2 orang bidan yang memenuhi kriteria yaitu mempunyai kasus rujukan kegawatdaruratan obstetri ke rumah sakit dan akhirnya pasien meninggal dunia di rumah sakit. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah kabupaten bantul tepatnya di klinik kebidanan yang mempunyai kasus kegawatdaruratan yang akhirnya dirujuk ke rumah sakit dan akhirnya pasien meninggal dunia di rumah sakit. Penelitian dilakukan di 2 tempat yaitu di BPS Endang Purwaningsih Kedaton Pleret Bantul dan di BPRB Wikaden Siluk II Selopamioro Imogiri Bantul pada bulan agustus 2009. Data yang akan dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer yang dikumpulkan dengan menggunakan wawancara yang dipandu dengan panduan wawancara dengan pertanyaan yang bersifat terbuka pada responden. HASIL DAN BAHASAN Hasil Penelitian 1. Karakteristik Responden Karakteristik responden dalam penelitian ini meliputi umur bidan, pendidikan terakhir bidan, lama masa kerja dan tempat pelayanan kesehatan yang dipunyai bidan serta kasus kegawatdaruratan yang dirujuk oleh bidan ke rumah sakit. Pengalaman responden tentang pengungkapan kasus kematian ibu beragam, ada yang sama dan tidak. Berikut ini diuraikan pengalaman bidan : a. Pengungkapan tentang identitas kasus 1) Pengungkapan diagnosa kasus pasien Pasien yang ditangani responden kebetulan diagnosa awalnya sama
Audit Verbal pada Bidan Penolong Pertama untuk Kasus Kematian Ibu di Kabupaten Bantul 2008
91
Tabel 1. Karakteristik Responden No Responden R1 R2
Umur 34 th 49th
Pendidikan Lama masa kerja Tempat pelayanan kesehatan yang dipunyai Terakhir DIII + 12 tahun BPS (Bidan Praktek Swasta) DI + 25 tahun BPRB (Balai Pengobatan dan Rumah Bersalin)
Sumber: Data Primer 2009
“…. Pasien datang dalam keadaan Inpartu, pembukaan 1 cm (kala 1 fase laten)” (R1,R2) 2) Pengungkapan Tindakan selanjutnya yang dilakukan bidan untuk menangani kasus Tindakan pertama yang dilakukan oleh responden ketika pasien datang juga sama,mereka melakukan tindakan sesuai prosedur “... ya sesuai prosedur..melakukan anamnesa, melakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan dalam, observasi HIS dan DJJ” (R1, R2). b. Pengungkapan tentang kajian riwayat pasien 1) Pengungkapan Kajian riwayat pasien di tempat bidan Kajian riwayat pasien antara kedua responden bervariasi, dari keluhan dan riwayat kesehatan “…pasien saya itu riwayat obstetriknya G4 P2 Ab 1, tapi dia rajin melakukan ANC di BPS dan Puskesmas, tidak ada keluhan selama kehamilan dan pasien tidak menderita penyakit menular atau menurun” (R1) “…dia riwayatnya G1 P0 Ab 0 datang mengeluh kenceng-kenceng belum teratur, dari rekam medik saya dulu trimester 1 pasien mengeluh mual, pusing dan telat menstruasi; pada trimester II tidak ada keluhan; pada trimester III pasien mengeluh batuk; tidak ada riwayat penyakit menular atau menurun” (R2) c. Pengungkapan tentang kronologis kematian ibu yang kasusnya ditangani oleh bidan 1) Pengungkapan kronologi kematian ibu oleh bidan Kronologi kematian pasien yang dipaparkan responden juga bervariasi,responden pertama mengatakan kematian pasien dikarenakan ‘emboli air ketuban’ karena ketika akan dilakukan
92
pemeriksaan dalam tiba-tiba pasien sesak nafas, mulutnya mecucu seperti mulut ikan, diberikan oksigen lalu dirujuk. . Sampai di Rumah Sakit pasien diberi RJP tetapi tidak tertolong (meninggal).Bayi juga ikut meninggal. “…pasien saya itu datang lalu saya periksa, dianamnesa&pemeriksaan fisik,lalu periksa dalam ternyata baru pembukaan 1,tak suruh tinggal di tempat saya aja,karena sdh G4,terus + 7 jam kemudian ketuban pecah, mau tak periksa dalam tiba-tiba pasien sesak nafas, mulutnya mecucu seperti mulut ikan terus tak kasih oksigen, lalu tak dirujuk ke Rumah Sakit Permata Husada,kira-kira jarak rujukan + ½ km ditempuh dalam waktu 5 menit. Selama perjalanan pasien tetap diberikan oksigen dan saya damping dg keluarga pasien.Sampai di Rumah Sakit pasien diberi RJP tetapi tidak tertolong.Bayi juga ikut meninggal.” (R1) Responden kedua mengungkapkan penyebab kematian ibu karena ‘vagal reflek’ “… Pasien G1 datang ke saya dg keluhan kenceng-kenceng belum teratur pada tanggal 17 Oktober 2008 jam 20.00 WIB,tak periksa TTV dan fisik hasilnya ini (memperlihatkan buku rekam medik): TD: 130/80 mmHg, N: 84 x/ menit, R: 24 x/ menit, S: 36,5ºC. pada palpasi : TFU = 32 cm, presentasi kepala, punggung kiri. Pemeriksaan dalam hasilnya = V/U tenang, portio tebal lunak, pembukaan 1 cm, selaput ketuban (selket) positif (+), sarung tangan lendir darah (STLD) (+)/positif, lalu dilakukan observasi HIS dan DJJ. Tanggal 18 Oktober 2008 jam 09.00 WIB hasil observasi : TD 120/80 mmHg. HIS 3 x / 10’ / 40”/ sedang. DJJ +, 138x/menit. Pada pemeriksaan dalam hasilnya: V/U tenang, parsio lunak, pembukaan 5 cm, selaput ketuban (selket) positif (+), kepala masih tinggi. “… Diagnosa saya Partus tak maju,terus keluarganya saya beri penjelasan,mereka berunding dan memutuskan minta dirujuk ke ‘RSPS’ Bantul dengan alasan mempunyai JAMKESMAS. Ketika saya rujuk keadaan umum pasien baik. Saya juga ikut
Hanna, Machfoedz & Mulazimah, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 90-95
merujuk bersama keluarganya, Sampai di RSPS pasien di induksi sampai habis 1 plabot, lalu di observasi pembukaan tetap 5 cm. kemudian diteruskan plabot ke dua dan pembukaan hanya bertambah 2 cm, menjadi 7 cm dan kepala janin masih tinggi. Lalu disiapkan operasi SC emergency karena janin mengalami fetal disstres. Tapi Keadaan umum ibu hamil jelek ketika dilakukan pembedahan.Setelah operasi keadaan umum ibu bertambah jelek dan akhirnya dirawat di ruang ICU dan akhirnya meninggal dengan diagnosa akhir yaitu Vagal Reflek.”(R2) d. Pengungkapan tentang mekanisme yang dilakukan bidan untuk ikut serta mencegah angka kematian ibu Dalam hal ini kedua responden saya mengatakan hal yang sama “… biar AKI tidak tambah banyak ya melakukan pertolongan persalinan sesuai dengan asuhan persalinan” normal, konsultasi kepada dokter spesialis kandungan jika ada kegawatdaruratan, melakukan tindakan sesuai dengan protap kegawatdaruratan, menyiapkan fasilitas mobil rujukan, untuk mobil rujukan Alhamdulillah saya ada sendiri,jadi tidak perlu menunggu ambulance dari rumah sakit.” (R1) “… peran saya sebagai bidan untuk ikut mengurangi AKI misalnya melakukan pertolongan persalinan sesuai dengan asuhan persalinan normal, konsultasi kepada dokter spesialis kandungan jika ada kegawatdaruratan, melakukan tindakan sesuai dengan protap kegawatdaruratan, menyiapkan fasilitas mobil rujukan,mobil rujukannya saya juga ada.” (R2) e. Pengungkapan tentang Langkah-langkah yang dilakukan bidan untuk mengani kegawatdaruratan Dalam hal ini kedua responden saya juga mengatakan hal yang sama “… kalau ada kasus gawat darurat ya saya harus segera bertindak tentu saja sesuai kasus&kewenangan saya,kalu sudah bukan kewenangan saya tentu saja tak rujuk ke rumah sakit.” (R1) “… langkah saya tentu langsung melakukan tindakan yang sesuai,dan kalau kasusnya sudah bukan kewenangan saya langsung tak rujuk ke rumah sakit.” (R2)
Pembahasan 1. Langkah-langkah yang Dilakukan Bidan sebagai Penolong Pertama dalam Menangani Kasus Kegawatdaruratan Obstetri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bidan sebagai penolong pertama selalu melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis kandungan dalam menangani kasus kegawatdaruratan obstetri.Hal ini sesuai dengan teori dari Manuaba (2003), yang mengatakan bahwa salah satu peranan bidan sebagai tenaga kesehatan terlatih di masyarakat adalah meningkatkan sistem rujukan untuk kasus kegawatdaruratan obstetri. Namun rujukan yang dilakukan bidan sepertinya mengalami keterlambatan, pada kasus pertama misalnya jika dilihat dari status pasien yang multiparitas dan pernah mengalami keguguran yaitu G4P2A1 (hamil ke 4, pernah melahirkan anak hidup 2 kali, dan mengalami keguguran 1 kali), serta jarak kehamilan kurang dari 2 tahun (pada bulan maret tahun 2007 pasien mengalami keguguran dan bulan juni 2007 kemudian pasien hamil lagi), hal ini merupakan kehamilan yang mempunyai faktor risiko dan risiko tinggi. Dilihat dari status dan riwayat kehamilan yang beresiko tersebut, seharusnya bidan tidak menangani sendiri di klinik yang dimilikinya, tetapi harus dilakukan konseling sejak kehamilan pasien bahwa kehamilannya merupakan kehamilan yang beresiko dan pasien dianjurkan untuk sebaiknya melahirkan di fasilitas pelayanan kesehatan yang komperehensif seperti rumah sakit sehingga dapat segera mendapat penanganan yang cepat jika terjadi kegawatdaruratan obstetri. 2. Kronologis Kematian Ibu di Kabupaten Bantul Pada Tahun 2008 dari Sudut Pandang Bidan sebagai Penolong Pertama Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika pasien datang ke tempat bidan dengan keadaan umum baik, telah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dalam, observasi HIS dan DJJ sesuai dengan prosedur. Kemudian setelah terjadi kegawatdaruratan bidan telah melakukan tindakan sesuai kasus yang ditangani. Antara lain pada responden pertama ketika ketuban pecah spontan dan akan dilakukan pemeriksaan dalam tiba-tiba pasien mengalami sesak nafas, oleh bidan segera diberikan oksigenasi dan dirujuk ke rumah sakit terdekat. Jarak antara rumah bidan dengan rumah sakit ditempuh dalam waktu + 5 menit.Bidan melakukan pendampingan ketika merujuk pasien. Ketika diperjalanan bidan tetap memberikan
Audit Verbal pada Bidan Penolong Pertama untuk Kasus Kematian Ibu di Kabupaten Bantul 2008
93
oksigen kepada pasien hingga sampai di rumah sakit. Kemudian di rumah sakit pasien diberikan RJP tetapi tidak tertolong karena emboli air ketuban menyebabkan kematian yang sangat cepat. Hal ini sesuai dengan teori dari Sarwono (2007) yang menjelaskan bahwa jika terjadi emboli, air ketuban dengan mekonium, rambut lanugo dan vernik kaseosa masuk kedalam sinussinus dalam dinding uterus dan dibawa ke paruparu sehingga menyebabkan sesak nafas dan mengakibatkan pasien meninggal dunia. Pada syok karena emboli air ketuban sering ditemukan gangguan pembekuan darah. Sedangkan pada kasus yang ditangani oleh responden kedua, pasien datang dengan keadaan umum baik, telah dilakukan anamnesis pemeriksaan fisik dan pemeriksaan dalam, observasi HIS dan DJJ.Observasi dilakukan mulai pasien datang yaitu tgl 17-10-08 jam 20.00 WIB sampai tgl 18-10-08 pkl 09.00 WIB hingga ditemukan hasil pemeriksaan yaitu pembukaan servik 5cm tetapi kepala masih tinggi, seharusnya pada keadaan ini pasien harus dirujuk, tetapi oleh bidan masih diobservasi hingga 4 jam kemudian yaitu pkl 13.00 WIB. Hal ini seharusnya tidak boleh dilakukan, karena menurut teori asuhan persalinan normal salah satu kriteria kegawatdaruratan ibu yang harus segera dirujuk adalah pada primipara dalam fase aktif kala I persalinan dan kepala janin masih 5/5 (kepala masih tinggi). Hal ini harus segera dilakukan dengan alasan pada kala I persalinan, kepala seharusnya sudah masuk ke dalam rongga panggul.Bila ternyata kepala memang tidak dapat turun, mungkin bagian terbawah janin (kepala) terlalu besar dibandingkan dengan diameter pintu atas pangggul.Mengingat bahwa hal ini patut diduga sebagai disproporsi kepala panggul (CPD) maka sebaiknya ibu dapat melahirkan di fasilitas kesehatan yang mempunyai kemampuan untuk melakukan operasi seksio sesaria sebagai antisipasi apabila terjadi persalinan macet (disproporsi). Penyulit lain dari posisi kepala diatas pintu panggul adalah tali pusat menumbung yang disebabkan oleh pecahnya selaput ketuban yang disertai turunnya tali pusat (APN, 2007:43). Tetapi pada kasus yang ditangani oleh responden ke 2 pasien baru dirujuk setelah diketahui terjadi keadaan partus tak maju pada pkl 13.00 WIB, bidan segera memberitahukan kepada keluarga pasien. Kemudian setelah berunding keluarga pasien minta untuk dirujuk ke rumah sakit.Pada waktu merujuk bidan juga mendampingi pasien. Di rumah sakit pasien diberikan tindakan induksi
94
sampai habis 2 plabot infus tetapi induksi gagal karena pembukaan dari 5 cm hanya menjadi 7 cm, kaena setelah itu diketahui bahwa janin mengalami fetal distress maka segera disiapkan operasi section caesaria emergency.Ketika diruang operasi keadaan umum ibu menjadi jelek tetapi operasi tetap berjalan sampai akhirnya bayi lahir.Pasca operasi keadaan umum ibu bertambah jelek sehingga harus dirawat intensif di ruang ICU tetapi akhirnya ibu meninggal. Beberapa jam kemudian bayinya juga ikut meninggal. 3. Penyebab-penyebab Kematian Ibu Pada Kasus yang Ditangani Bidan sebagai Penolong Pertama Pada kasus pertama merupakan kasus yang berpotensi menyebabkan kegawatdaruratan yaitu terjadinya emboli air ketuban yang menyebabkan kematian pada multiparitas dan jarak kehamilan < 2 tahun. Hal ini sesuai dengan teori dari Hanafi (2004:23) bahwa kehamilan dengan kurang dari 2 tahun merupakan kehamilan risiko tinggi dan harus mendapatkan penanganan khusus. Sedangkan pada kasus kedua kemungkinan terjadi DKP (Disproporsi Kepala Panggul), tetapi masih diobservasi di tempat bidan sampai kurang lebih 17 jam yang menyebabkan terjadi keterlambatan merujuk dan terlambat mendapat penanganan yang sesuai di tempat rujukan sehingga menyebabkan keadaan umum pasien memburuk dan akhirnya meninggal dunia. 4. Mekanisme yang Ditempuh Bidan sebagai Tenaga Kesehatan Terlatih Dilini Terdepan untuk Ikut anDil dalam Upaya Pencegahan Angka Kematian Ibu. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada bidan langkah-langkah yang ditempuh adalah: pertolongan persalinan sesuai asuhan persalinan normal, konsultasi jika ada kegawatdaruratan obstetri, melakukan tindakan sesuai dengan prosedur, menyiapkan fasilitas mobil rujukan sewaktu-waktu dibutuhkan. Hal ini sesuai dengan teori dari Manuaba (2003), yang mengatakan bahwa salah satu peranan bidan sebagai tenaga kesehatan terlatih di masyarakat adalah meningkatkan. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Langkah-langkah yang dilakukan bidan dalam menangani kasus kegawatdaruratan obstetri adalah: Pada responden pertama Bidan
Hanna, Machfoedz & Mulazimah, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 90-95
menangani kasus faktor risiko obstetri dan pada responden ke dua bidan menolong kasus patologi. Seharusnya ke dua kasus ini di rujuk ke rumah sakit sedini mungkin agar mendapat penanganan yang komperehensif dan dapat mencegah terjadinya kematian ibu. 2. Kronologis kematian ibu yang bermula dari rujukan klinik pelayanan kesehatan di Kabupaten Bantul pada tahun 2008 dari sudut pandang bidan sebagai penolong pertama sehubungan dengan terjadinya kenaikan angka kematian ibu dan kaitannya dengan peran bidan terhadap pencegahan angka kematian ibu adalah: Pada kasus pertama, paritas (jumlah anak) yang lebih dari 3 dan riwayat obstetri pernah mengalami abortus (keguguran) serta jarak kehamilan yang terlalu dekat yaitu kurang dari 2 tahun merupakan potensi terjadi kegawatdaruratan obstetri dan berkontribusi terhadap terjadinya emboli air ketuban yang menyebabkan kematian ibu. Seharusnya jika diketahui terdapat faktor risiko pada pasien bidan harus menyarankan agar pasien merencanakan persalinan di rumah sakit agar segera mendapat penanganan yang cepat jika terjadi masalah kagawatdaruratan dan mencegah terjadinya kematian ibu. Sedangkan pada kasus ke dua merupakan kasus patologi obstetri yaitu pada kala I fase aktif dan kepala janin belum masuk pangggul seharusnya bidan langsung merujuk pasien ke rumah sakit. Tetapi pada kasus ini masih diobservasi di klinik bidan sampai kurang lebih 17 jam. Bahkan sejak masa antenatal care pada umur kehamilan >36 minggu dan diketahui bahwa kepala belum masuk panggul sebenarnya harus sudah direncakan untuk melakukan pertolongan persalinan di rumah sakit. 3. Penyebab-penyebab kematian ibu pada kasus yang ditangani bidan sebagai penolong pertama adalah: Pada kasus pertama merupakan kasus yang berpotensi menyebabkan kegawatdaruratan yaitu terjadinya emboli air ketuban yang menyebabkan kematian pada multiparitas dan jarak kehamilan < 2 tahun. Sedangkan pada kasus kedua kemungkinan terjadi DKP (Disproporsi Kepala Panggul), tetapi masih diobservasi di tempat bidan sampai kuran lebih 17 jam sehingga terjadi ketrlambatan merujuk dan terlambat mendapat penanganan yang sesuai di tempat rujukan. 4. mekanisme yang ditempuh bidan sebagai tenaga kesehatan terlatih di lini terdepan untuk ikut andil
dalam upaya pencegahan angka kematian ibu antara lain: a. Mekanisme yang sesuai dengan standar prosedur pelayanan kebidanan: 1) Melakukan anamnesa ketika pasien datang 2) Melakukan pemeriksaan fisik, vital sign, pemeriksaan dalam setiap 4 jam sekali, mendokumentasikan dalam partograf, memberikan Oksigenasi ketika pasien sesak napas pada pasien dengan emboli air ketuban, merujuk pasien disertai pendampingan ke rumah sakit. b. Mekanisme yang kurang sesuai dengan standar prosedur pelayanan kegawatdaruratan: Pada kasus pertama ketika bidan mengetahui ada pasien dengan faktor risiko seperti multiparitas, mempunyai riwayat keguguran, dan jarak kehamilan yang terlalu dekat (kurang dari 2 tahun), seharusnya setelah mengetahui hal-hal tersebut bidan menyarankan agar pasien melakukan pertolongan persalinan di rumah sakit atau jangan ditangani di rumah bidan. Pada kasus kedua seharusnya dilakukan rujukan berencana saat antenatal care, jika pada primigravida umur kehamilan > 36 minggu dan kepala janin belum masuk panggul. Tetapi pada kasus ini sampai masuk kala I fase aktif kepala belum masuk panggul tetap diobservasi di tempat bidan. RUJUKAN 1. Sarwono. 2000. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Neonatal. Yayasan Bina Pustaka: Jakarta. 2. Manuba. 2003. Ilmu Kesehatan Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. EGC: Jakarta 3. Dinas Kesehatan Kabupaten Bantul, 2008. Profil Kesehatan Kabupaten Bantul, Dinkes Kab. Bantul, Yogyakarta. 4. Manuba. 2003. Ilmu Kesehatan Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. EGC: Jakarta 5. Satori, Djam’an. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Alfabeta: Bandung. 6. Moleong. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT Remaja Rosda Karya: Bandung.
Audit Verbal pada Bidan Penolong Pertama untuk Kasus Kematian Ibu di Kabupaten Bantul 2008
95
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Masa Nifas Terhadap Kemampuan Perawatan Mandiri Ibu Nifas Post Sectio Caesarea (SC) Anafrin Yugistyowati 1 1
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta
Abstrak Ibu melahirkan dengan SC membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengembalikan organ-organ tubuh kembali seperti sebelum hamil. Dalam kenyataanya di lapangan, masih sering dijumpai keterlambatan ibu Post SC untuk mobilisasi dini dan perawatan mandiri. Peran dan tanggung jawab perawat sangat diperlukan dalam pemberian informasi dan pendidikan kesehatan sebagai upaya untuk menghindari self care deficit, komplikasi perdarahan, dan infeksi Post SC, serta menurunkan angka kematian maternal. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan terhadap kemampuan perawatan mandiri ibu nifas Post SC, penelitian dilakukan dengan metode eksperimen dan menggunakan rumus Independent Samples T-Test. Sampel berjumlah 20 responden dengan teknik pengambilan sampel Quota Sampling. Uji kemampuan perawatan mandiri dengan menggunakan lembar observasi. Simpulan dari hasil penelitian ini adalah ada pengaruh pendidikan kesehatan masa nifas terhadap kemampuan perawatan mandiri ibu nifas Post SC dengan taraf signifikansi 0,000.
Kata Kunci: pendidikan kesehatan masa nifas, sectio caesarea (SC), perawatan mandiri
Info artikel: Artikel dikirim pada 03 september 2013 Artikel diterima pada 05 september 2013
PENDAHULUAN Kematian pada ibu hamil dan bersalin adalah masalah besar bagi negara berkembang. Kematian saat melahirkanmenjadi faktor utama mortalitas wanita pada masa puncak produktivitasnya. Pelayanan kesehatan maternal dan neonatalmerupakan salah satu unsur penentu status kesehatan masyarakat, yaitu dengan diketahuinya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Data AKI di Indonesia masih tinggi, menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 yaitu 369 per 100.000 kelahiran hidup, tetapi ada penurunan pada tahun 2003 yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup (1). Penyebab kematian ibu di Indonesia adalah perdarahan (67%), infeksi (8%), eklampsia (7%), abortus (10%), dan komplikasi persalinan (9%).Angka kematian ibu karena tindakan operatif khususnya Sectio Caesarea(SC)sekitar 2 sampai 46 kali lebih tinggi daripada persalinan pervaginam (2). AKI pada kasus SC adalah 22 per 100.000 untuk seluruh kasus SC. Namun untuk angka kematian yang
96
Yugistyowati, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 96-100
secara langsung disebabkan oleh SC adalah 5,8 per 100.000 kasus. Ancaman utama bagi wanita yang menjalani SC menyebabkan tingginya AKI berasal dari tindakan anestesi, sepsis yang berat, dan serangan tromboemboli (3). Sectio Caesarea adalah tindakan operatif yang bertujuan untuk melahirkan bayi melalui tindakan pembedahan dengan membuka dinding perut dan dinding rahim. Melahirkan dengan cara operasi SC tidak bisa terlepas dari risiko yang mungkin dialami akibat pembedahan, baik dari segi kesehatan ibu maupun bayinya(4). Melahirkan dengan SC membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengembalikan organ-organ tubuhseperti sebelum hamil. Operasi SCmemerlukan perawatan yang lebih lama dibandingkan dengan persalinan yang dilakukan secara alami, yaitu sekitar 4-6 minggu (5). Faktor masih banyaknya ketidaknyamanan berupa rasa nyeri dan sakit karena luka operatif dapat mempengaruhi kondisi psikologis berupa kecemasan, kekecewaan, rasa takut, frustasi karena kehilangan kontrol, dan kehilangan harga diri yang terkait dengan perubahan citra diri (4).
Teori Orem menjelaskan tentang adanya kemampuan individu dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari guna mencapai kesehatan yang optimal, namun apabila kebutuhan tersebut tidak dapat terpenuhi oleh ketidakmampuan individu tersebutakan mengalami self care deficit atau kurang perawatan diri. Pada keadaan seperti ini sangat penting adanya peran perawat dalam membantu mengembalikan kesehatan individu tersebut. Perawat dapat memberikan bantuan kepada klien dengan melakukan prosedur yang tepat melalui pemberian asuhan keperawatan, memperbaiki instruksi yang diberikan, dan pemberian informasi tentang kesehatan secara individual, sehingga secara bertahap klien mampu memenuhi kebutuhannya sendiri (6) Perawatan yang dibutuhkan ibu selama masa nifas yaitu membantu ibu memantau dan mempertahankan kesehatannya dengan memberikan informasi kesehatan dan keterampilan yang tepat (6). Pada masa nifas perawatan yang dibutuhkan oleh klien antara lain: pemenuhan kebutuhan nutrisi, mobilisasi, eliminasi, personal hygiene, perawatan payudara, teknik menyusui yang benar, perawatan luka jahit agar tidak terjadi infeksi, dan pengawasan involusi uteri (5). Kasus SC di Propinsi DIY menurut profil kesehatan tahun 2001, sebanyak 1.477 kasus merupakan kasus rujukan di Rumah Sakit Umum (RSU) dan Rumah Sakit Bersalin (RSB), sedangkan sebanyak 559 kasus merupakan kasus non rujukan(4). Berdasarkan studi pendahuluan melalui hasil survei dan wawancara di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta didapatkan data kasus SC pada bulan Februari sampai dengan April 2010 berjumlah 66 kasus. Beberapa klien dan keluarga menyatakan pentingnya penjelasan dan motivasi dari perawat tentang perawatan mandiri masa nifas, sedangkan pelaksanaan di ruangan masih bersifat rutinitas, tidak terstruktur, dan tanpa menggunakan pedoman buku yang lengkap, serta tidak dilengkapi dengan media pendidikan kesehatan. Kondisi ini memungkinkan informasi yang diperoleh klien tidak menyeluruh dan berakibat masih banyak dijumpai pasien post SC mengalami keterlambatan untuk mobilisasi dan keterlambatan untuk kesiapan perawatan mandiri baik selama di Rumah Sakit ataupun saat berada di rumah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendidikan kesehatan masa nifas terhadap kemampuan perawatan mandiri ibu nifas Post SC di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu Post SC yang dirawat di bangsal Sakinah kelas II dan III RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Teknik sampling yang digunakan adalah Quota sampling, jumlah sampel 20 respondendengan kategori: 10 responden untuk kelompok eksperimen dan 10 responden untuk kelompok kontrol. Kriteriapengambilan sampel antara lain: persalinan SC yang pertama tanpa komplikasi, menggunakan jenis anestesi spinal, dan kondisi psikologis ibu baik, yaitu kehamilan yang diinginkan. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah lembar observasi yangterdiri dari 20 item kemampuan perawatan mandiri Post SCdengan komponen antara lain mobilisasi dini, perawatan payudara, dan teknik menyusui. Teknik pengumpulandata menggunakan teknik wawancara dan pengamatan sistematis. Analisis data diuji dengan statistik Independent Samples T-Testdengan rumus dk (n1 + n2 – 2)(7). HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan di bangsal nifas (Sakinah) dari tanggal 1 Mei sampai 4 Juni 2010.Responden penelitian merupakan ibu nifas Post SC dengan jumlah responden sebanyak 20 orang, terdiri dari 10 orang kelompok eksperimen dan 10 orang kelompok kontrol. Karakteristik Responden Penelitian Tabel. 1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur Ibu Nifas Post SC di Bangsal Sakinah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta No Karakteristik Umur 1 14 - 24 Tahun 2 25 – 35 Tahun 3 36 – 46 Tahun Total
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, dengan desain penelitian Static Group Comparison dimana terdapat kelompok pembanding (kontrol).
Persentase 5% 75 % 20 % 100 %
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel. 1 frekuensi terbanyak adalah responden berumur 25 - 35 tahun sebanyak 15 orang (75 %) dan frekuensi terendah adalah responden berumur 14 – 24 tahun sebanyak 1 orang (5 %). Tabel. 2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pendidikan Ibu Nifas Post SC di Bangsal Sakinah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta No
BAHAN DAN METODE
Frekuensi 1 15 4 20
1 2 3
Karakteristik Pendidikan SLTP SLTA PT / Akademi Total
Frekuensi
Persentase
2 10 8 20
10 % 50 % 40 % 100 %
Sumber : Data Primer
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Masa Nifas terhadap Kemampuan Perawatan Mandiri Ibu Nifas Post Sectio Caesarea (SC)
97
Berdasarkan Tabel. 2 menunjukkan frekuensi terbanyak adalah responden berpendidikan SLTA sebanyak 10 orang (50 %) dan frekuensi terendah adalah responden berpendidikan SLTP sebanyak 2 orang (10 %). Tabel. 3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Pekerjaan Ibu Nifas Post SC di Bangsal Sakinah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta No 1 2 3 4
Karakteristik Pekerjaan IRT Wiraswasta Pramuniaga PNS Total
Frekuensi 9 8 1 2 20
Persentase 45 % 40 % 5% 10 % 100 %
Sumber : Data Primer
Berdasarkan tabel. 3 frekuensi terbanyak adalah responden yang tidak bekerja atau sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sebanyak 9 orang (45 %) dan frekuensi terendah adalah responden dengan pekerjaan sebagai pramuniaga sebanyak 1 orang (5 %). Kemampuan Perawatan Mandiri Ibu Nifas Post SC Berdasarkan Karakteristik Responden Pada Kelompok Eksperimen dan Kontrol Berdasarkan Tabel. 4 menunjukkan bahwa kemampuan perawatan mandiri berdasar karakteristik umur pada kelompok eksperimen dengan kategori
kemampuan perawatan tertinggi yaitu kemampuan supportif edukatif sebanyak 7 orang (70 %) pada umur 25 – 35 tahun. Berdasarkan Tabel. 5 menunjukkan bahwa kemampuan perawatan mandiri berdasar karakteristik pendidikan pada kelompok eksperimen dengan kategori kemampuan perawatan tertinggi yaitu kemampuan supportif edukatif sebanyak 4 orang (40 %) dengan pendidikan PT / Akademi. Berdasarkan Tabel. 6 menunjukkan bahwa kemampuan perawatan mandiri berdasar karakteristik umur pada kelompok kontrol dengan kategori kemampuan perawatan tertinggi yaitu kemampuan bantuan sebagian sebanyak 7 orang (70 %) pada umur 25 – 35 tahun. Berdasarkan Tabel. 7 menunjukkan bahwa kemampuan perawatan mandiri berdasar tingkatan pendidikan pada kelompok kontrol dengan kategori kemampuan perawatan tertinggi yaitu kemampuan bantuan sebagian sebanyak 6 orang (60 %) dengan pendidikan SLTA; sedangkan kemampuan perawatan terendah yaitu kemampuan supportif edukatif sebanyak 1 orang (10 %) dengan pendidikan SLTA. Berdasarkan Tabel. 8 di atas, menunjukkan bahwa kemampuan perawatan mandiri ibu nifas Post SC pada kelompok eksperimen dengan kategori kemampuan perawatan tertinggi yaitu kemampuan supportif edukatif sebanyak 8 orang (80 %); sedangkan kelompok kontrol, dengan kategori kemampuan perawatan tertinggiyaitu kemampuan bantuan sebagian sebanyak 9 orang (90 %).
Tabel. 4 Distribusi Silang Kemampuan Perawatan Mandiri Ibu Nifas Post SC Berdasarkan Karakteristik Umur Pada Kelompok Eksperimen di Bangsal Sakinah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Karakteristik Umur 14 – 24 tahun 25 – 35 tahun 36 – 46 tahun Jumlah
Kemampuan Perawatan Mandiri Supportif & Edukatif Bantuan Sebagian Bantuan Penuh F % F % F % 0 0 1 10 0 0 7 70 0 0 0 0 1 10 1 10 0 0 8 80 2 20 0 0
Jumlah
%
1 7 2 10
10 70 20 100
Sumber: Data Primer Tabel. 5 Distribusi Silang Kemampuan Perawatan Mandiri Ibu Nifas Post SC Berdasarkan Karakteristik Pendidikan Pada Kelompok Eksperimen di Bangsal Sakinah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Karakteristik Pendidikan SLTP SLTA PT / Akademi Jumlah
Kemampuan Perawatan Mandiri Supportif & Edukatif Bantuan Sebagian Bantuan Penuh F % F % F % 1 10 1 10 0 0 3 30 0 0 0 0 4 40 1 10 0 0 8 80 2 20 0 0
Sumber: Data Primer
98
Yugistyowati, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 96-100
Jumlah
%
2 3 5 10
20 30 50 100
Tabel. 6 Distribusi Silang Kemampuan Perawatan Mandiri Ibu Nifas Post SC Berdasarkan Karakteristik Umur Pada Kelompok Kontrol di Bangsal Sakinah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Kemampuan Perawatan Mandiri Supportif & Edukatif Bantuan Sebagian Bantuan Penuh F % F % F % 1 10 7 70 0 0 0 0 2 20 0 0 1 10 9 90 0 0
Karakteristik Pendidikan 25 – 35 tahun 36 – 46 tahun Jumlah
Jumlah
%
8 2 100
80 20 100
Sumber: Data Primer Tabel. 7 Distribusi Silang Kemampuan Perawatan Mandiri Ibu Nifas Post SC Berdasarkan Karakteristik Pendidikan Pada Kelompok Kontrol di Bangsal Sakinah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta Kemampuan Perawatan Mandiri Supportif & Edukatif Bantuan Sebagian Bantuan Penuh F % F % F % 1 10 6 60 0 0 0 0 3 30 0 0 1 10 9 90 0 0
Karakteristik Pendidikan SLTA PT / Akademi Jumlah
Jumlah
%
7 3 100
70 30 100
Sumber: Data Primer Tabel. 8 Distribusi Silang Kemampuan Perawatan Mandiri Ibu Nifas Post SC Pada kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol di Bangsal Sakinah RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta
Kelompok Eksperimen Kontrol Jumlah
Kemampuan Perawatan Mandiri Supportif & Edukatif Bantuan Sebagian Bantuan Penuh F % F % F % 8 80 2 20 0 0 1 10 9 90 0 0 9 90 11 110 0 0
Jumlah
%
10 10 20
100 100 200
Sumber : Data Primer
Pembahasan Pada tabel. 4 menunjukkan bahwa kemampuan perawatan mandiri berdasarkan karakteristik umur pada kelompok eksperimen antara lain: kemampuan tertinggi yaitu supportif edukatif sebanyak 7 orang (70 %) pada umur 25 – 35 tahun dan kemampuan perawatan terendah yaitu kemampuan bantuan sebagian sebanyak 1 orang (10 %) pada umur 14 – 24 tahun. Kematangan atau kedewasaan seseorang menjadi ibu dipengaruhi oleh faktor usia (8). Pada usia melahirkan di atas 25 tahun, kemandirian atau kedewasaan lebih baik dibandingkan kelompok usia di bawahnya. Meskipun demikian tidak terlepas dengan semakin bertambahnya umur seseorang maka faktor pengalaman melahirkan dan merawat anak pertama, faktor kesiapan fisik dan psikis juga mempengaruhi kemampuan dalam perawatan mandirinya. Pada tabel. 6 pada kelompok kontrol menunjukkan kemampuan tertinggi yaitu kemampuan bantuan sebagian sebanyak 7 orang (70 %) pada umur 25 – 35 tahun; sedangkan kemampuan perawatan terendah yaitu kemampuan supportif edukatif sebanyak 1 orang (10 %) pada umur 25
– 35 tahun. Hal ini menunjukkan pada kelompok responden dengan umur 25 – 35 tahun tingkat kemampuan perawatan mandiri semakin rendah dibandingkan dengan kelompok eksperimen, yaitu dengan kemampuan bantuan sebagian. Berdasarkan hasil penelitian ini, faktor umur berpengaruh tetapi jika tidak ada pemberian informasi dan pendidikan kesehatanmaka tujuan atau hal yang diharapkan dari perawatan kesehatan juga tidak optimal. Teori Notoatmodjo (2003) juga menyatakan bahwa proses pembelajaran diharapkan dapat memperoleh pengetahuan yang lebih baik, khususnya tentang pelaksanaan perawatan kesehatan yang baik, sehingga pendidikan membawa akibat terhadap perubahan perilaku sasaran. Tabel. 5 dapat disimpulkan bahwa kemampuan perawatan mandiri berdasarkan karakteristik pendidikan pada kelompok eksperimen yaitu kemampuan supportif edukatif sebanyak 4 orang (40 %) dengan pendidikan perguruan tinggiatau akademi; sedangkan kemampuan perawatan terendah yaitu kemampuan supportif edukatif sebanyak 1 orang (10 %) dengan pendidikan SLTP. Hal ini menunjukkan semakin tinggi tingkat pendidikan maka kemampuan untuk menyerap informasi yang
Pengaruh Pendidikan Kesehatan Masa Nifas terhadap Kemampuan Perawatan Mandiri Ibu Nifas Post Sectio Caesarea (SC)
99
ada juga semakin baik, sehingga semakin optimal untuk melakukan hal-hal yang diinstruksikan. Teori yang diungkapkan oleh Notoatmodjo (2002) bahwa pengetahuan merupakan domain yang sangat penting bagi terbentuknya tindakan seseorang. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih mantab daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Saefuddin (2001) menjelaskan bahwa, pendidikan kesehatan dan konseling merupakan proses pemberian informasi yang obyektif dan lengkap, dilakukan secara sistematik dengan panduan keterampilan komunikasi interpersonal, teknik penyampaian, dan penguasaan pengetahuan klinik. Pendidikan kesehatan yang diberikan didalamnya mengandung unsur-unsur tentang informasi dan pengetahuan mengenai masa nifas dan perubahanperubahannya baik fisiologis maupun psikologis. Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan kesadaran mereka, dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku dengan cara ini akan membutuhkan waktu yang lama, tetapi perubahan yang dicapai akan bersifat langgeng karena didasari pada kesadaran mereka sendiri bukan karena paksaan. Pengaruh pendidikan kesehatan masa nifas terhadap kemampuan perawatan mandiri ibu Post SCdijelaskan pada Tabel.9; sebanyak 10 responden yang diberi pendidikan kesehatan masa nifas, persentase terbanyak yaitu responden dengan kemampuan supportif edukatif yaitu sebanyak 8 orang (80 %); sedangkan dari 10 responden yang tidak diberi pendidikan kesehatan masa nifas, persentase terbanyak yaitu responden dengan kemampuan bantuan sebagian yaitu sebanyak 9 orang (90 %). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan kesehatan masa nifas mempunyai pengaruh terhadap kemampuan perawatan mandiri ibu nifas Post SC. Hasil uji statistik Independent Samples T-Test didapatkan hasil t hitung sebesar 4,664 dengan taraf signifikansi 0,000 dan t tabel sebesar 2,101 dengan taraf signifikansi 0,05. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa t hitung lebih besar dari t tabel, maka Ha diterima yang artinya ada pengaruh pendidikan kesehatan yang diberikan terhadap kemampuan perawatan mandiri. Dalam penelitian ini, menggunakan metode yang bervariasi, yaitu dengan ceramah, demonstrasi, dan menggunakan alat bantu leaflet dalam penyampaian pendidikan kesehatan masa nifas. Pada pelaksanaanya ibu Post SC memiliki rasa keingintahuan yang besar dengan adanya pertanyaan-pertanyaan yang disampaikandan pelaksanaan perawatan mandiri ibu Post SC semakin
100
Yugistyowati, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 96-100
baik jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan pendidikan kesehatan masa nifas. Dengan metode dan media pendidikan kesehatan yang semakin bervariasi dan menarik, harapannya penyampaian pendidikan semakin efektif, pesan-pesan kesehatan dapat disampaikan dengan jelas, dan ibu Post SC dapat menerima pesan tersebut dengan jelas pula. SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh pendidikan kesehatan masa nifas terhadap kemampuan perawatan mandiri ibu nifas Post SC di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta dengan t hitung sebesar 4,664 dan t tabel sebesar 2,101 dengan taraf signifikansi 0,05. 2. Kemampuan perawatan mandiri ibu nifas Post SC yang diberikan pendidikan kesehatan masa nifas sebagian besar merupakan responden dalam kategori kemampuan supportif edukatif yaitu sebanyak 8 orang (80 %). 3. Kemampuan perawatan mandiri ibu nifas Post SC yang tidak diberikan pendidikan kesehatan masa nifas sebagian besar merupakan responden dalam kategori kemampuan bantuan sebagian yaitu sebanyak 9 orang (90 %). RUJUKAN 1. Depkes RI. 2003. Pedoman pemantauan wilayah setempat kesehatan ibu dan anak (PWS-KIA). Depkes: Jakarta 2. Wiknjosastro, H. 1999.Ilmu kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta 3. Donald, M. 1995. Obstetri William, Edisi 18. EGC: Jakarta 4. Kasdu, D. 2003.Operasi Caesar masalah dan solusinya. Puspa Swara: Jakarta 5. Saefuddin, AB. 2000.Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. JNPKKR: Jakarta 6. Hidayat, A.A. 2004.Pengantar konsep dasar keperawatan. Salemba Medika: Jakarta. 7. Sugiyono. 2004.Statistik untuk penelitian cetakan ke-8. Alfa beta: Bandung 8. Mary, H. 2003.Panduan pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. EGC: Jakarta 9. Notoatmodjo, 2003, Pendidikan kesehatan dan perilaku kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta 10. Notoatmodjo. 2002.Pendidikan dan ilmu perilaku kesehatan. Renika Cipta: Jakarta
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Gambaran Keinginan Unmet Need terhadap Pelayanan KB di Kota Yogyakarta Susiana Sariyati1, Hilmi Alfiana1 1 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta
Abstrak Provinsi DIY merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai unmet need yang tinggi mencapai 13,69% pada tahun 2012. Penyebab tingginya unmet need antara lain akses pelayanan, kurangnya pelayanan KB, larangan penggunaan (baik dari suami, keluarga, agama dan masyarakat), takut efek samping, mahalnya biaya, terlalu tua, tidak subur, masalah kesehatan, dan kurangnya informasi tentang alat kontrasepsi. Penelitian deskriptif dengan pendekatan observasional ini bertujuan untuk mengetahui gambaran keinginan unmet need terhadap pelayanan KB di Kota Yogyakarta tahun 2013. Populasi penelitian ini adalah 47.339 PUS dan sampelnya berjumlah 146 PUS yang tergolong unmet need. Hasil penelitian menunjukan sebagian besar responden PUS unmet need tidak ingin menggunakan alat kontrasepsi sampai kapan pun (54,79%). Tempat mendapatkan pelayanan KB terdekat adalah di Puskesmas (74,83%). Sebagian besar PUS unmet need menginginkan informasi tentang efek samping KB (70,55%). Simpulan dari penelitian ini adalah sebagian besar PUS tidak ingin menggunakan alat kontrasepsi sampai kapan pun, tempat mendapatkan pelayanan KB terdekat adalah di Puskesmas, dan sebagian besar PUS unmet neeed menginginkan informasi tentang efek samping KB.
Kata Kunci: unmeet need, KB, gambaran
Info Artikel: Artikel dikirim pada 13 September 2013 Artikel diterima pada 3 Oktober 2013 PENDAHULUAN Indonesia mengalami masalah dengan kependudukan. Saat ini penduduk di Indonesia berjumlah kurang lebih 237 juta jiwa (BPS, 2010), dengan pertumbuhan penduduk 1,64 % dan Total Fertility Rate (TFR) 2,6 %. Berdasarkan segi kuantitas melalui Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kondisi Indonesia sangat memprihatinkan karena dari 117 negara, Indonesia berada diposisi 108. Salah satu cara yang ditempuh untuk menekan laju pertumbuhan penduduk adalah dengan melakukan Program Keluarga Berencana (KB) untuk mengendalikan fertilitas (Handayani, 2010). Namun demikian program KB ini masih belum terlaksana dengan optimal terbukti dengan terjadinya kenaikan TFR yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya masih banyak Pasangan Usia Subur (PUS) yang tidak menggunakan alat kontrasepsi (unmet need). Hal itu akan menyebabkan laju pertumbuhan penduduk semakin meningkat. Hal ini merupakan indikator-
indikator untuk mengukur keberhasilan pelaksanaan Program Pembangunan Kependudukan dan Keluarga Berencana (Handrina, 2011). Dalam program KB di Indonesia, jika diperhatikan terjadi peningkatan jumlah PUS yang ingin menunda kehamilan atau tidak menginginkan tambahan anak tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi (Unmet Need KB), yaitu meningkat dari 8,6% menjadi 9,1% (Ismail, 2009). Hal ini sangat memprihatinkan karena diharapkan pada akhir tahun 2014 prevalensi unmeet need ini dapat diturunkan menjadi sebesar 5% (BKKBN, 2012). Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai unmet need yang tinggi, pada tahun 2012 di Provinsi DIY peserta KB aktif mencapai 73,29% dari 34.737 PUS, dan untuk unmet need mencapai 13,69% dari 5.729 PUS dengan rincian: Ingin Anak Tunda (IAT) 5,29% dari 2.507 PUS, Tidak Ingin Anak Lagi (TIAL) 6,80 dari 3.222 PUS (BKKBN, 2012).
Gambaran Keinginan Unmet Need Terhadap Pelayanan KB di Kota Yogyakarta
105
Beberapa alasan diidentifikasi untuk mengetahui kenapa wanita yang sebenarnya sudah tidak ingin hamil lagi atau ingin menunda anak lebih dari 24 bulan tidak mau menggunakan kontrasepsi. Dikemukakan beberapa alasan kenapa mereka tidak mau menggunakan kontrasepsi seperti alasan karena tidak adanya akses pelayanan, kurangnya pelayanan KB, larangan penggunaan (baik dari suami, keluarga, agama dan masyarakat), takut efek samping, mahalnya biaya, terlalu tua, tidak subur, masalah kesehatan, dan kurangnya informasi tentang alat kontrasepsi (Sumini & Aryekti, 2009). Berdasarkan penelitian Handrina (2011) alasan istri yang ingin mengontrol kelahiran tetapi tidak menggunakan alat kontrasepsi (unmet need) disebabkan dua alasan yaitu pertama, Sumber Daya Manusia (SDM) yang masih rendah dengan pola pikir yang tradisional dilatar belakangi oleh faktor keagamaan dan kultur budaya sehingga kesalahan dalam menentukan pilihan pemakaian alat kontrasepsi dapat menimbulkan efek samping terutama gangguan kesehatan bagi perempuan/ istri. Kedua, adanya larangan dari suami. Kedua alasan tersebut berkaitan dengan faktor penyebab yaitu keterjangkauan program KB terkait dengan berkurangnya jumlah penyuluh KB dan kurangnya pengetahuan PUS tentang alat kontrasepsi, serta lemahnya pelaksanaan program KB terkait dengan menentukan pilihan terhadap pemakaian alat kontrasepsi.
bagaimana dan mengapa fenomena tersebut dapat terjadi, sehingga pada penelitian diskriptif tidak perlu ada hipotesis (Ismail, 2012). Sampel dalam penelitian ini adalah Pasangan Usia Subur (PUS) berumur 15-49 tahun yang tidak menggunakan KB, atau unmet need. Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal. Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Waktu rencana penggunaan alat kontrasepsi yang akan digunakan Waktu rencana pengguFrekuensi Persentase naan alat kontrasepsi dan jenis yang akan digunakan Segera akan memakai dalam 7 4,79 waktu dekat Keinginan ada, belum tahu 49 33,56 kapan akan KB Tidak ingin KB sampai kapan 80 54,79 pun Lainnya* 10 6,85 *setelah memiliki anak ke dua, tidak tahu Sumber: Data Primer 2013 Tabel 3 Distribusi Frekuensi Responden tentang tempat pelayanan KB terdekat Dimana tempat pelayanan Frekuensi KB terdekat Bidan/ dokter praktek swasta 35 Puskesmas 110 Lainnya * 1
Persentase 23,97 74,75 0,68
*klinik swasta
BAHAN DAN METODE
Sumber: Data Primer 2013
Jenis Penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang bertujuan melakukan diskripsi mengenai fenomena yang ditentukan baik berupa faktor resiko maupun efek hasil, fenomena hasil penelitian disajikan secara apa adanya dan peneliti tidak mencoba menganalisa Tabel .1. Distribusi frekuensi karakteristik responden Karakteristik Umur Ibu <20 Tahun 20-35 Tahun >35 Tahun Pendidikan Ibu SD/ Tidak Tamat SD Tamat SMP/Sederajat Tamat SMA/Lebih Tinggi Pekerjaan ibu Bekerja Tidak Bekerja
Frekuensi Prosentase (%)
Tabel 4.Distribusi Frekuensi Responden tentang informasi yang dibutuhkan mengenai alat kontrasepsi Informasi yang dibutuhkan Jenis alat kontrasepsi Efek samping Cara pemakaian Lainnya*
29
19,86
*tidak memerlukan info
2 59 85
1,36 40,51 58,31
Sumber: Data Primer 2013
17 36 93
11,64 24,65 63,69
67 79
45,89 54,48
Karakteristik subyek responden yang diambil oleh peneliti adalah PUS di RW terpilih di kota Yogyakarta tahun 2013 yang berjumlah 146 responden. Responden tersebut diambil dari data PUS yang didapat dari petugas PPKBD setempat. Adapun karakteristik reponden sebagai berikut:
HASIL DAN BAHASAN
Sumber: Data Primer 2013
106
Frekuensi Persentase 13 8,90 103 70,55 1 0,68
Sariyati & Alfiana, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 105-107
Tabel 1 menunjukkan bahwa karateristik PUS berdasarkan umur, PUS dengan umur >35 tahun lebih banyak dibandingkan dengan jumlah PUS umur <20 tahun. PUS dengan umur > 35 tahun sebanyak 85 PUS atau 58,31%, sedangakan PUS umur <20 tahun sebanyak 2 PUS atau 1,36%. Berdasarkan tingkat pendidikan PUS dengan pendidikan SMA/ lebih tinggi merupakan jumlah yang paling banyak yaitu 93 PUS atau 63,69%. Hasil penelitian menurut pekerjaan sebagian besar PUS adalah tidak bekerja atau sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT) sebanyak 79 PUS atau 54,10%, sedangkan PUS yang bekerja sebagai sebanyak 67 PUS atau 45,89%.Waktu rencana penggunaan alat kontrasepsi dikelompokan menjadi 4 kategori. Berdasarkan tabel. 2 dalam rencana penggunaan alat kotrasepsi diketahui bahwa ibu berkeinginan tidak ingin menggunakan alat kontrasepsi sampai kapan pun lebih banyak yaitu 80 PUS atau 54,79%, sedangkan kategori segera akan memakai dalam waktu dekat lebih sedikit sebanyak 7 PUS atau 4,79%. Berdasarkan tabel.3 menunjukkan bahwa Puskesmas merupakan tempat pelayanan KB terdekat sebanyak 110 PUS atau 74,75% dibandingkan dengan lain-lainya sebanyak 1 PUS atau 0,68%. Berdasarkan tabel.4 menujukkan bahwa responden yang menginginkan informasi alat kontrasepsi mayoritas menginginkan info tentang efek sampingsebanyak 103 PUS atau 70,55%, sedangkan yang terendah hanya menginginkan informasitentang cara pemakaian alat kontrasepsi sebanyak 1 PUS atau 0,68%. Pembahasan Unmet need didefinisikan sebagai kelompok wanita yang sebenarnya sudah tidak ingin memiliki anak lagi atau ingin menjarangkan kehamilanya sampai dengan 24 bulan atau lebih namun tidak menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilanya.Kelompok unmet need merupakan sasaran yang perlu menjadi perhatian dalam pelayanan program KB (Julian, 2009).
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa total dari jumlah responden yang berkeinginan tidak menggunakan alat kontrasepsi sebanyak 146 PUS yang yang masuk dalam karakteristik unmet need. SIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Prevalensi PUS unmet need yang tidak berkeinginan menggunakan alat kontrasepsi sampai kapan pun sebanyak (54,79%), Sebagian besar PUS (74,75%) mendapatkan alat kontrasepsi terdekat di Puskesmas, Sebagian besar responden unmet need (70,55%) menginginkan informasi tentang efek samping dari alat kontrasepsi. RUJUKAN 1. BKKBN. 2012. Data Laporan Bulanan Kantor KB Kota Yogyakarta. BKKBN : Yogyakarta 2. BKKBN, 2012. Jawa Tengah. 2012. Strategi Pencapaian Target Pelayanan KB dalam Pelatihan Insersi IUD dan Implan bagi Dokter dan Bidan diwilayah Binaan Balai Diklat KKB Pati. 3. dalam BPS, 2010. Data Penduduk Indonesia menurut Provinsi tahun 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010. dalamhttp://bps.go.id/ tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_ subyek=12¬ab=1> diakses tanggal 16 September 2013 jam. 21.00 wib 4. Handayani, Sri. 2010. Pelayanan Keluarga Berencana. Yogyakarta : Pustaka Rihama 5. Handrina, Emi. 2011. Faktor Penyebab Unmet Need Suatu Studi di Kelurahan Kayu Kubu Kecamatan Guguk Panjang Kota Bukittinggi. Tesis. Sumatera Barat: Universitas Andalas 6. Ismail, Sofyan. 2012. Metodologi Penelitian Klinis. Jakarta : Binarupa Aksara. 7. Sumini, & Aryekti, Kanti. 2009. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007 Provinsi di Yogyakarta. Jakarta: KB dan Kesehatan reproduksi, BKKBN.
Gambaran Keinginan Unmet Need Terhadap Pelayanan KB di Kota Yogyakarta
107
ISSN2354-7642
JOURNAL NERS AND MIDWIFERY INDONESIA
Jurnal Ners dan Kebidanan Indonesia
Hubungan antara Penggunaan Helm Standar dengan Insidensi Fraktur Tulang Muka dan Tulang Kepala Mahfud 1 1 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Alma Ata Yogyakarta Jalan Ringroad Barat Daya No 1 Tamantirto, Kasihan, Bantul Yogyakarta
Abstrak Kecelakaan lalu-lintas menyebabkan 6% morbiditas dan 3,5% mortalitas dari populasi. Penggunaan helm standar yang paling baik dapat menurunkan resiko kematian sampai 30%,kecelakaan akibat benturan pada kepala merupakan penyebab utama kematian pada kecelakaan kendaraan bermotor. Penelitian non experimental dengan disain retrospektif ini bertujuan mengetahui hubungan antara penggunaan helm standar dengan insidensi fraktur tulang muka dan tulang kepala di RSUD Sleman. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Helm standar terbukti mengurangi resiko fraktur tulang muka dan tulang kepala pada kecelakaan kendaraan bermotor roda dua terbukti dari 12 kasus kecelakaan untuk pengguna helm standar 66,66% tidak mengalami fraktur tulang muka dan tulang kepala. Simpulan dari enelitian ini adalah ada hubungan antara penggunaan helm standar dengan insidensi fraktur tulang muka dan tulang kepala.
Kata Kunci: hipertensi, usia lanjut
Info Artikel: Artikel dikirim pada 02 September 2013 Artikel diterima pada 02 September 2013
PENDAHULUAN Di Indonesia, 10-20% penderita yang masuk rumah sakit rata-rata adalah korban kecelakaan lalu-lintas. Dalam tahun 2000, kematian karena kecelakaan lalu-lintas kurang dari 7000, sementara tahun 2002 angka kematian mencapai 12.000, suatu kenaikan yang memprihatinkan [1]. Kecelakaan lalu-lintas menyebabkan 6% morbiditas dan 3,5% mortalitas dari populasi. Dari 10% kapasitas tempat tidur di RS yang diisi korban kecelakaan lalu-lintas dan sekitar 60% kematian adalah karena perlukaan kepala, sementara kerugian materi yang diakibatkan kurang-lebih 1% dari GNP [1]. Data kecelakaan lalu-lintas di Indonesia tahun 2000-2005 terdapat kenaikan angka kecelakaan sebesar 14,5% setiap tahunnya. Di Indonesia setiap harinya terdapat orang meninggal akibat kecelakaan lalu-lintas [1]. Di Sleman data penderita karena kecelakaan lalu lintas tahun 2006-2007 yang masuk RSUD Sleman adalah 2-5% dari data rekamedis RSUD Sleman. Rambu-rambu lalu lintas dan termasuk juga helm standar bagi pengendara sepeda motor
hanyalah sebagai instrumen untuk mengingatkan bahwa siapa pun yang berada di atas jalan raya terikat pada kepentingan umum atau kepentingan bersama. Setiap pengendara kendaraan bermotor, roda empat, maupun roda dua, juga akan diuji kemampuannya dalam berdemokrasi di arena publik yang disebut jalan raya itu. Semakin jelas bahwa jalan raya adalah milik umum atau milik bersama, sementara soal helm standar bagi pengendara sepeda motor adalah kelanjutan tafsir atas semua kepentingan orang terhadap jalan raya. Besdasarkan studi pendahuluan tanggal 8-10 september 2007 data pengendara sepeda motor roda dua yang mengalami kecelakaan lalu lintas dan mengalami fraktur tulang muka dan kepala yang berobat di UGD RSUD Sleman kurang lebih 10-15 setiap bulannya. Fraktur tulang muka adalah diskontinuitas dar jaringan tulang muka (patah tulang) yang biasanya disebabkan oleh adanya kecelakaan yang timbul secara mendasar. [2]. Kerusakan pada kepala paling banyak dijumpai sebagai penyebab kematian dibanding dengan bagian anggota tubuh yang lain[3]. Dari polling Pusat Studi Hukum (PSH) Fakultas Hukum UII pada bulan Maret
Hubungan antara Penggunaan Helm Standar dengan Insidensi Fraktur Tulang Muka dan Tulang Kepala
101
2002 lalu, terbukti bahwa 71,7 persen (210 orang) dari 293 responden yang memiliki sepeda motor di Yogyakarta telah mengerti tentang helm standar. Akan tetatapi, 40,5 persen (83 persen) dari 293 responden belum menggunakan helm standar karena harganya yang mahal. Inilah titik keresahan masyarakat yang harus serius diperhatikan oleh pemerintah. [4]. Dengan demikian kewajiban memakai helm standar memang sangat dianjurkan sesuai dengan UU no 14/ 1992, Peraturan Pemerintah no 44/1993 dan dalam keputusan menteri perhubungan no 72/1993. Penggunaan helm standar yang baik dapat menurunkan resiko kematian sampai 30%, kecelakaan akibat benturan pada kepala merupakan penyebab utama kematian pada kecelakaan kendaraan bermotor [5]. Dari semua pasien 73% penderita fraktur adalah laki-laki dan wanita hanya 27 % [6]. Untuk mengetahui letak fraktur diadakan rongten foto kepala dibuat dengan proyesi antero posterior, lateral dan waters [7]. Maka dengan ini helm merupakan suatu alat keselamatan atau pelindung yang efektif bagi pengendara bermotor, saat ini banyak helm yang dijual dipasaran yang sangat menarik dan warna yang beragam akan tetapi tidak semua helm dapat benarbenar melindungi kepala. Helm standar yang benar adalah melindungi bagian kepala belakang,samping, serta depan muka [8]. BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif jenis restrospektif dilakukan dari bulan November sampai dengan bulan Desember. Objek dari penelitian ini adalah fraktur tulang muka dan tulang kepala yang terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor dengan mengacu pada helm yang dikenakan (tidak mengunakan helm, menggunakan helm tapi tidak standar atau menggunakan helm standar). Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.
a.Tani b.PNS c.Wiraswasta
9 25 18
17,30% 48,07% 34,61%
Umur a.10-20th b. 21-30th c.31-40th d.41-50th e.>51 th
17 21 10 2 2
32,89% 40,36% 19,63% 3,84% 3,84%
Sumber: Data Primer Tabel 2.Distribusi Frekwensi Responden yang Mengalami Kecelakaan Kendaraan Roda Dua dengan Fraktur Tulang Muka dan Kepala Berdasarkan Jenis Helm Di Rsud Sleman Penggunaan helm Tanpa Helm
Frekwensi 12
Prosentase 23,07%
Helm tidak standar Helm Standar
28 12
53,84% 23,07%
Jumlah
52
100%
Sumber: Data Primer Tabel 3. Persentase Data Kendaraan Bermotor yang Mengalami Kecelakaan dengan Fraktur Tulang Muka,Fraktur Tulang Kepala, Tanpa Fraktur November -Desember Di RSUD Sleman Jenis Fraktur Fraktur tulang Muka Fraktur tulang kepala Tanpa fraktur Jumlah
Frekwensi 23 10 19 52
Prosentase 44,23% 19,23% 36,53% 100%
Sumber: Data Primer Tabel 4.Data Kendaraan Bermotor Roda Dua yang Mengalami Kecelakaan Bulan November-Desember Di RSUD Sleman Pengguna Helm Tanpa Helm HelmTidak Standar Helm Standar Jumlah
Tanpa Fraktur 4 7 8 19
Dengan Fraktur 8 21 4 33
Jumlah 12 28 12 52
Sumber: Data Primer
HASIL DAN BAHASAN Tabel 1. Distribusi Frekwensi Responden dengan Fraktur Tulang Muka dan Kepala di RSUD Sleman Karakteristik responden Frekwensi a. SD 3
Posentase 5,67%
b.SMP
6
11,53%
c.SMU d.DIII/S1
27 16
51,72% 30,76%
102
Pekerjaan
Mahfud, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 101-104
Tabel 5. Presentasi Data Kendaraan Bermotor yang Mengalami Kecelakaan dari Seluruh Kejadian Pada Bulan November-Desember Di RSUD Sleman Tanpa Fraktur Tanpa Helm 7,3% HelmTidakStandar 13,1% Helm Standar 15,3% Jumlah 35,4% Sumber: Data Primer Pengguna Helm
Dengan Fraktur 15% 40% 9,6% 64,6%
Jumlah 22,3% 53,1% 24,4% 100%
Uji Statistik Korelasi Phi ( f ) digunakan untuk menguji hubungan/ korelasi antara dua variable dalam bentuk skala nominal diskrit dan nominal diskrit [9]. Adapun formula korelasi Phi ( f )adalah:
z=
BC - AD (A + B) (C + D) (A + C) (B + D)
Pembahasan
Tabel 6. Tabel Phi Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua yang Memakai Helm yang Mengalami Kecelakaan Pada Bulan November-Desember
Tanpa Dengan Fraktur Fraktur 15 25 4 8
Penggunan Helm Dengan Helm Tanpa Helm
Jumlah 40 12
Sumber: Data primer.
BC - AD (A + B) (C + D) (A + C) (B + D) 100 - 120 z= (40) (12) (19) (33) = - 0, 036 z=
Tabel 7. Tabel Phi Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua yang Memakai Helm Standar dan Tidak Standar yang MengalamiKecelakaan Lalu Lintas Bulan November-Desember Tanpa fraktur
Penggunaan Helm Helm Standar Helm tdk standar
8 7
Dengan Fraktur 4 21
Jumlah 12 28
Sumber: Data Primer
BC - AD (A + B) (C + D) (A + C) (B + D) 28 - 168 z= (12) (28) (15) (25) z = - 140 126.000 = - 0, 39 z=
Tabel 8. Tabel Phi Pengendara Kendaraan Bermotor Roda Dua yang Memakai Helm Standard dan Tidak Standar yang Mengalami Kecelakaan Lalu Lintas Bulan November – Desember Tanpa fraktur 4 8
Penggunaan Helm Helm Standar Helm tdk standar Sumber: Data Primer
Dengan Fraktur 8 4
BC - AD (A + B) (C + D) (A + C) (B + D) 28 - 168 z= (12) (12) (12) (12) = - 0, 22 z=
Jumlah 12 112
Dari Tabel 1 menunjukan responden dengan fraktur tulang muka dan tulang kepala berdasarkan tingkat pendidikan paling banyak didominasi oleh pelajar SMU yaitu 27 atau51,72%, Menurut wakapolres Sleman dikarenakan emaosi yang belum stabil sehingga mereka mengendarai sepeda motor kurang perhitungan. Mereka mengendarai sepeda motor lebih sekedar karena mencari jati diri sehingga faktor keselamatan kurang diperhitungkan. Dari faktor pekerjaan responden yang mengalami fraktur tulang muka dan tulang kepala dengan mengendarai sepeda motor roda dua yaitu tani 9 orang atau 17,30%, PNS 25 atau 48,84 %,wiraswasta 18 atau 34,61%. Dari faktor umur pada Tabel 1 menunjukan bahwa umur yang lebih tua dengan yang lebih muda tidak ada perbedaan dalam menggunakan helm standar. Umur tidak mempengaruhi atau menentukan bagaimana penggunaan helm standar dengan kejadian fraktur tulang muka dan tulang kepala. Pada Tabel 6 menunjukan bahwa pengendara kendaraan bermotor roda dua yang memakai helm mengalami kecelakaan besarnya nilai signifikan (p) yang besarnya – 0,036 dimana nilai tersebut lebih kecil dari α = 0,05 (p<0,05) maka Ho ditolak,sehingga dapat dikatakan ada hubungan antara kendaraan bermotor roda dua yang memakai helm dan tidak memakai helm yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan Tabel 7 pengendara kendaraan bermotor roda dua yang memakai helm standard an tidak memakai helm standar yang mengalami kecelakaan lalu lintas menunjukan berdasarkan besarnya nilai signifikan (p) yang besarnya -0,39, dimana nilai tersebut lebih kecil dari α = 0,05 (p<0,05) maka Ho ditolak, sehingga dapat dikatakan ada hubungan antara pengendara kendaraan bermotor roda dua yang memakai helm standar dan tidak memakai helm standar yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan tabel 8 pengendara kendaraan bermotor roda dua yang memakai helm standard dan tidak memakai helm satndar yang mengalami kecelakaan lalu lintas menunjukan besarnya nilai signifikan (p) yang besarnya – 0,22 diman nilai tersebut lebih kecil dari α= 0,05 (p<0,05) maka Ho ditolak sehingga dapat dikatakan ada hubungan antara kendaraan bermotor roda dua yang memakai
Hubungan antara Penggunaan Helm Standar dengan Insidensi Fraktur Tulang Muka dan Tulang Kepala
103
helm dan tidak memakai helm yang mengalami kecelakaan lalu lintas. Dengan kata lain resiko terjadinya kecelakaan yang mengakibatkan fraktur tulang muka dan kepala dipengaruhi oleh jenis pemakaian helm. Maka secara teori menurut menteri Perhubungan nomor 72 tahun 1993, helm standar memiliki kunci yang lebih besar dalam mellindungi kepala disbanding dengan jenis helm lain yang tidak standar. Data yang diambil penulis juga membuktikan bahwa menggunakan helm standar dalam mengendarai kendaraan bermotor roda dua memiliki resiko fraktur tulang muka dan tulang kepala yang lebih kecil dibanding kecelakaan pada pengguna helm tidak standar apalagi pengendara kendaraan bermotor roda dua yang tidak menggunakan helm. SIMPULAN DAN SARAN a. Ada hubungan antara penggunaan helm standar dengan insidensi fraktur tulang muka dan fraktur tulang kepala. b. Helm standar terbukti mengurangi resiko fraktur tulang muka dan tulang kepala pada kecelakaan kendaraan bermotor roda dua terbukti dari 12 kasus kecelakaan untuk pengguna helm standar 66,66% tidak mengalami fraktur tulang muka dan tulan kepala, sedangkan prosentase fraktur tulang muka dan tulang kepala adalah 33,33%. Angka perbandingan lebih kecil pada kecelakaan yang disertai fraktur tulang muka dan fraktur tulang kepala dibanding kecelakaan yang tidak disertai fraktur tulang muka dan tulang kepala. c. Pengendara tanpa helm sangat beresiko terkena fraktur tulang muka dan tulang kepala bila terjadi kecelakaan, sebab tidak ada pelindung apapun
104
Mahfud, 2013. JNKI, Vol. 1, No. 3, Tahun 2013, 101-104
dikepala. Apabila terjadi kecelakaan dan kepala terbentur benda keras maka resiko terjadi fraktur tulang muka dan tulang kepala sangat besar. Terbukti dengan hasil penelitian 12 kecelakaan kasus kendaraan bermotor roda dua tanpa helm 75,0% mengalami fraktur tulang muka dan tulang kepala ,sedang 25,0% tidak mengalami fraktur tulang muka dan tulang kepala maka resiko terjadi fraktur tulang muka dan tulang kepala lebih besar disbanding yang tidak mengalami fraktur tulang muka dan tulang kepala. RUJUKAN 1. Nangoy, H., Tojo, P., 2000, Jumlah Kasus Kecelakaan Lalu - lintas Periode 1975-1982, Bag. IKK FKUP/RSHS, Bandung. 2. Bangks,Peter ,1992, Fraktur Pada Mandibula ,Ed.3 1-9, Gajah Mada University Press,Yogyakarta. 3. Elisabeth j Corwin,2002, Alih bahasa Endah P, Patofisiologi Klinik, EGC Jakarta. 4. Mulyadi J Amalik, relawan pada Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM), UII Yogyakarta). 5. Pusat Studi Hukum (PSH),2006, Analisis Kegunaan Helm Standar Oleh Pengendara Kendaraan Roda Dua Di Yogyakarta,UII,Yogyakarta. 6. Krunger, G.O, 2000, oral and maxillofacial Surgery, Ed, 364-416,TheC.V.Mosboy, St.Louis,Toronto 7. Armys, Trauma Sistema Muskuloskeletal,1995 Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta. 8. UU no 14 tahun 1992 tentang lalu lintas, Keputusan menteri Perhubungan no 72 tahun 1993. 9. Riwidikdo, H. (2006). Statistik Kesehatan:Belajar Mudah Teknik Analisa Data Dalam Penelitian Kesehatan. Jogjakarta: MITRA CENDEKIA Press.