Paper No
Proceeding Seminar Inovasi Teknologi dan Rekayasa Industri 2013 Universitas Andalas, Padang, 2 Juli 2013
Faktor Sukses Untuk Rantai Pasok Kelapa Sawit di Provinsi Riau Rika Ampuh Hadiguna, Saqinah Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Universitas Andalas Limau Manis, Padang, Sumatera Barat 25163 Email :
[email protected]
Abstrak Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, dengan produksi sebesar 20,6 juta ton yang menguasai hampir separuh dari pangsa pasar minyak sawit dunia. Selama tiga puluh tahun terakhir, industri kelapa sawit Indonesia berkembang cukup pesat, hingga mencapai 7,32 juta ha pada tahun 2009. Dengan luas lahan tersebut, lebih dari 80% produksi kelapa sawit nasional merupakan komoditas ekspor dengan berbagai negara tujuan (BAPPENAS, 2010). Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 24% dari produksi nasional pada tahun 2009 (BAPPENAS, 2010). Potensi dan peluang kelapa sawit Riau dimanfaatkan oleh pemerintah mempunyai prospek positif ke depan dalam mendorong percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI, 2011), meningkatkan nilai tambah serta daya saing kelapa sawit di Indonesia. Namun, kelapa sawit Riau menghadapi permasalahan dan situasi ketidakpastian yang terkait dalam tata kelola kelapa sawit, dukungan infrastruktur, kapasitas pengolahan kelapa sawit yang kurang serta menghadapi permasalahan berbagai isu berkelanjutan dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan di Riau. Permasalahan dan isu yang ada, mempengaruhi sistem rantai pasok kelapa sawit yang dimulai dari perkebunan, pengolahan kelapa sawit di pabrik hingga didistribusikan ke konsumen melalui kapal di pelabuhan menjadi tidak terintegrasi secara baik sehingga dapat menurunkan efisiensi operasional, nilai tambah dan daya saing kelapa sawit serta profitabilitas. Dalam industri kelapa sawit dalam persaingan yang semakin ketat dan situasi perdagangan minyak sawit mentah yang dihadapkan pada situasi ketidakpastian membutuhkan sistem rantai pasok yang efektif dan efisien (Hadiguna, 2010). Oleh karena itu, untuk memenuhi sistem rantai pasok yang terintegrasi dan pembangunan kelapa sawit yang berkelanjutan dapat terwujud dalam mengatasi situasi permasalahan serta isu yang ada, maka dibutuhkan faktor sukses rantai pasok kelapa sawit Riau. Faktor sukses ini sebagai penentu keberhasilan rantai pasok industri sawit dari hulu ke hilir dalam memenuhi efisiensi operasional, dan meningkatkan perekonomian, nilai tambah serta daya saing produk-produk kelapa sawit Indonesia di pasar dunia. Keywords: Kelapa sawit, berkelanjutan, rantai pasok, faktor-faktor sukses.
Pendahuluan Pengembangan kelapa sawit di Indonesia dimulai sejak 1970 dan mengalami pertumbuhan yang cukup pesat terutama periode 1980-an. Menurut BAPPENAS (2010), pada tahun 1980 areal kelapa sawit hanya seluas 294 ribu ha dan terus meningkat dengan pesat sehingga pada tahun 2009 mencapai 7,32 juta ha, dengan rincian 47,81% berupa Perkebunan Besar Swasta (PBS), 43,76% Perkebunan Rakyat (PR), dan 8,43% perkebunan besar Negara (PBN). Dengan luas areal tersebut, Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2009, produksi minyak sawit Indonesia mencapai 20,6 juta ton, diikuti oleh Malaysia pada urutan kedua dengan produksi 17,57 juta ton. Produksi kedua negara ini mencapai 85% dari produksi dunia yang sebesar 45,1 juta ton.
Sebagian besar hasil produksi minyak sawit di Indonesia merupakan komoditi ekspor. Pangsa ekspor kelapa sawit hingga tahun 2008 mencapai 80% dari total produksi. Negara tujuan utama ekspor kelapa sawit Indonesia adalah India dengan pangsa sebesar 33%, Cina sebesar 13%, dan Belanda 9% dari total ekspor kelapa sawit Indonesia. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia sebagian besar berada di pulau Sumatera diikuti oleh Kalimantan. Berdasarkan provinsi, Riau merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar di Indonesia dengan produksi mencapai 24% dari produksi nasional pada tahun 2009, sementara Jambi menyumbang minyak sawit sebesar 7,70% dari produksi nasional dengan luas lahan mencapai 8,82% dari luas lahan nasional (BAPPENAS, 2010). Provinsi Riau merupakan salah satu koridor wilayah Indonesia untuk melakukan
Paper No
Proceeding Seminar Inovasi Teknologi dan Rekayasa Industri 2013 Universitas Andalas, Padang, 2 Juli 2013
strategi percepatan dan perluasan perekonomian Indonesia dalam rangka kebijakan MP3EI karena potensi dan peluang pembangunan kelapa sawit di Riau mengindikasikan bahwa kelapa sawit mempunyai prospek positif ke depan, khususnya terkait dengan nilai tambah dan daya saing produk-produk kelapa sawit Indonesia di pasar dunia (MP3EI, 2011). Provinsi Riau merupakan daerah yang memiliki potensi lahan perkebunan kelapa sawit setiap tahunnya mengalami peningkatan, berdasarkan data dari BPS (2012), luas areal perkebunan kelapa sawit di Riau 1.530.150,39 Ha, dan terus bertambah setiap tahunnya. Tahun 2007 menjadi 1.612.381,60 Ha, tahun 2008 menjadi 1.673.551,37 Ha, tahun 2009 menjadi 1.925.341 Ha dan mencapai 2.103.175 Ha tahun 2010. Banyaknya luas areal perkebunan sawit di Riau memberi dampak terhadap produksi Crude Palm Oil (CPO) yang juga sebagai produsen CPO terbesar Indonesia yang mengalami peningkatan setiap tahunnya mencapai produksi CPO 6.293.542 ton tahun 2010 (Eriyati & Rosyetti, 2012). Namun, kelapa sawit Riau menghadapi permasalahan dan situasi ketidakpastian yang terkait dalam tata kelola kelapa sawit, dukungan infrastruktur, kapasitas pengolahan kelapa sawit yang kurang serta menghadapi permasalahan berbagai isu berkelanjutan dalam aspek ekonomi, sosial dan lingkungan di Riau. Berkelanjutan (suistanability) merupakan melakukan pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, ekonomi dan sosial politik (The Brundtland Report, 1987) Permasalahan dan isu berkelanjutan, mempengaruhi sistem rantai pasok kelapa sawit yang dimulai dari perkebunan, pengolahan kelapa sawit di pabrik hingga didistribusikan ke konsumen melalui kapal di pelabuhan menjadi tidak terintegrasi secara baik sehingga dapat menurunkan efisiensi operasional, nilai tambah dan daya saing kelapa sawit serta profitabilitas. Dalam industri kelapa sawit dalam persaingan yang semakin ketat dan situasi perdagangan minyak sawit mentah yang dihadapkan pada situasi ketidakpastian membutuhkan sistem rantai pasok yang efektif dan efisien (Hadiguna, 2010). Oleh karena itu, untuk memenuhi sistem rantai pasok yang terintegrasi dalam mengatasi situasi permasalahan dan isu berkelanjutan, maka dibutuhkan faktor sukses rantai pasok kelapa sawit Riau. Faktor sukses ini sebagai penentu keberhasilan rantai pasok industri sawit dari hulu ke hilir dalam
memenuhi efisiensi operasional, sehingga dapat meningkatkan perekonomian, nilai tambah dan daya saing produk-produk kelapa sawit Indonesia di pasar dunia serta pembangunan kelapa sawit yang berkelanjutan dapat terwujud. Isu Berkelanjutan Menurut Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP), isu merupakan persoalan atau peristiwa mengenai perkara pokok serta dampak yang diberikan. Maka, Isu berkelanjutan merupakan persoalan atau peristiwa yang memiliki dampak positif maupun negatif untuk melakukan pemenuhan kebutuhan saat ini tanpa harus mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya dengan mempertimbangkan aspek lingkungan, ekonomi dan sosial politik. Isu keberlanjutan dalam aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek lingkungan sebagai berikut. Isu Keberlanjutan dalam Aspek Ekonomi Perkembangan luas areal perkebunan kelapa sawit di Riau menyebabkan produktivitas kelapa sawit meningkat sehingga suplai TBS (Tandan Buah Segar) menjadi meningkat. Peningkatan produktivitas TBS tidak selalu berdampak positif karena terjadinya ketidakseimbangan suplai TBS dengan ketersediaan Pabrik Kelapa Sawit (PKS) di daerah Riau menyebabkan terjadinya distorsi harga pada tingkat petani kelapa sawit. Distorsi harga ini sangat dirasakan oleh petani swadaya, karena mereka tidak mempunyai PKS sebagai penampung TBS mereka berbeda dengan TBS yang dihasilkan oleh petani plasma, yang sudah ada jaminan pengolahan dari perusahaan inti (Syahza, 2004). Distorsi harga terjadi karena harga TBS yang diterima oleh petani swadaya bukan didasarkan kepada harga oleh tim PPHP-TBS yang ditetapkan pada harga TBS dari petani plasma, melainkan dari harga yang ditetapkan oleh pedagang pengumpul (toke). Toke ini merupakan kaki tangan dari PKS di luar empat perusahaan besar kelapa sawit di Riau yaitu (PT Perkebunan Nusantara V, PT Sinar Mas, PT. Astra, dan PT Asian Agri) sehingga harga TBS dari petani swadaya lebih rendah dibandingkan dengan petani plasma. Menurut Basri (1997), ketidakseimbangan antara penawaran sumber daya produktif dengan permintaan (industri pengolah) akan menyebabkan rendahnya daya saing, kondisi ini akan menimbulkan distorsi harga. Akibat terjadinya distorsi harga pada tingkat petani menyebabkan harga TBS turun sehingga menyebabkan menurunnya pendapatan petani (Syahza, 2004).
Paper No
Proceeding Seminar Inovasi Teknologi dan Rekayasa Industri 2013 Universitas Andalas, Padang, 2 Juli 2013
Isu distorsi harga mempengaruhi aliran informasi rantai pasok dalam perencanaan pengolahan kelapa sawit menjadi produk minyak sawit (CPO) tidak terintegrasi di pabrik. Pertumbuhan produksi TBS dan produktivitas CPO yang semakin meningkat namun PKS tidak bertambah. Kurangnya kapasitas pengolahan dan pengembangan PKS di daerah serta ketidakseimbangan antara ketersediaan TBS dengan permintaan menyebabkan suplai TBS khususnya dari petani swadaya tidak semua di proses oleh PKS. Walaupun perkebunan memiliki TPS TBS (Tempat Penampungan Sementara), namun TBS tidak akan bertahan lama apabila tidak segera diolah oleh pabrik. Seperti pada kasus pabrik-pabrik pengolahan minyak mentah (CPO) di Kabupaten Rokan Hulu tidak mampu menampung seluruh hasil petani sehingga puluhan ribu tandan buah segar (TBS) membusuk. Perkara tersebut menyebabkan kerugian pada petani dan merupakan pemborosan (waste) dengan membuang sumber daya alam.
terdegradasi yang diperuntukkan bagi pembangunan lahan perkebunan kelapa sawit,
Isu Keberlanjutan dalam Aspek Sosial
Isu ini terjadi pada kasus PT Perkebunan Nusantara (PTPN) V Wilayah Riau yang dituding telah melakukan pencemaran limbah pabrik yang mengakibatkan lingkungan sekitar pabrik menjadi kumuh dan tidak sehat. Kasus pencemaran limbah pabrik PTPN V terjadi di beberapa wilayah kabupaten seperti di Rokan Hulu. Sungai-sungai di wilayah Rokan Hulu menjadi tercemar karena saluran airnya langsung mengarah ke anak sungai sehingga menyebabkan ikan-ikan di sungai mati hingga mempengaruhi pendapatan nelayan sebagai mata pencarian sebagian masyarakat di Rokan Hulu.
Konflik sosial dalam pandangan ini memiliki pertikaian antara masyarakat, sektor perkebunan hingga perusahaan perkebunan kelapa sawit mengenai sengketa lahan. Seperti pada kasus sengketa lahan pada tahun 2007 terdapat 111.745 ha lahan yang menjadi sumber konflik sosial antar berbagai pihak, yang melibatkan berbagai perusahaan perkebunan sawit di berbagai wilayah di Provinsi Riau (Sumardjo, 2011). Menurut Frasetiandy (2009), konflik lahan di Riau antar masyarakat dan perusahaan perkebunan kelapa sawit hingga konflik antar sektor perkebunan berhadapan dengan sektor pertambangan. Dengan kata lain bahwa “semakin tinggi perluasan perkebunan sawit maka akan semakin tinggi pula persoalan konflik lahan yang terjadi”. Dalam setiap konflik lahan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan perkebunan sawit posisi masyarakat selalu terkalahkan. Hal ini terjadi karena lahan (tanah) masyarakat tidak memiliki bukti kepemilikan secara hukum, sehingga kepemilikan lahan (tanah) secara adat (hak ulayat) tidak terakui walaupun dalam UUP Agraria hak ulayat diakui namun dalam prakteknya selalu saja terkalahkan. Konflik sosial yang terjadi selanjutnya yaitu pelaku industri hulu sawit kesulitan mengembangkan lahan karena belum tuntasnya tata ruang provinsi Riau hingga mengakibatkan pengembangan baru perkebunan kelapa sawit mengalami perlambatan cukup serius. Serta konflik sosial yang terjadi antara perkebunan kelapa sawit dengan pemerintah dalam jaminan kejelasan status dan legalitas hutan
Isu Keberlanjutan dalam Aspek Lingkungan Kontribusi dari produk kelapa sawit menunjukkan kinerja yang membanggakan, di sisi lain industri kelapa sawit Indonesia dihadapkan pada isu-isu negatif yang dikembangkan oleh kalangan masyarakat Internasional dalam bentuk “Negative Campaign” secara terencana, sistematis dan terus menerus. Isu-isu yang dikembangkan antara lain berupa stigma pengelolaan industri perkebunan kelapa sawit Indonesia yang mengabaikan kepentingan lingkungan, seperti kegiatan pengelolaan dan pengembangan areal yang cenderung merusak lingkungan, sehingga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, menjadi penyebab terjadinya degradasi lahan dan deforestasi, penyumbang besar gas rumah kaca ke dalam atmosfir, dan sebagainya.
Menurut sumber dari portal kementrian BUMN bahwa perkebunan kelapa sawit Riau mengalami isu green consumerism yang diartikan bahwa konsumen hanya menghendaki produk-produk yang dalam prosesnya senantiasa berorientasi lingkungan dan dibuat dengan proses yang ramah lingkungan. Isu infrastruktur juga terjadi mempengaruhi lingkungan sekitarnya yaitu kasus kerusakan jalan dalam pengiriman CPO ke pelabuhan yang terjadi di Dumai. Hal disebabkan oleh truk yang bermuatan melebihi tonase yang diperbolehkan. Wali Kota Dumai Khairul Anwar menyebutkan, lalu lintas truk, mulai dari CPO dan kendaraan berat lain yang melintas di jalanan Dumai menyebabkan jalan jadi rusak, karena memang badan jalan tidak mampu menampung beratnya truk yang melintas. Jalan-jalan yang rusak tersebut berada disepanjang 4 kawasan industri yakni Belitung, Lubuk Gaung, Bukit Kapur dan kawasan Patra Dock untuk lokasi peti kemas serta Jalan Purnama yang rusak parah mencapai 4,5 km. Produk hilir sawit itu diarahkan ke Dumai oleh kendaraan truk bertonase 40 ton lebih untuk diekspor,
Proceeding Seminar Inovasi Teknologi dan Rekayasa Industri 2013 Universitas Andalas, Padang, 2 Juli 2013
Paper No
sementara badan jalan nasional dan provinsi hanya sanggup menampung 10-12 ton, akibatnya jalan menjadi rusak parah. Hasil dan Pembahasan Kegiatan awal dalam sistem rantai pasok minyak sawit mentah adalah panen tandan buah segar. Panen adalah pemotongan tandan dari pohon hingga pengangkutan ke pabrik. Urutan kegiatan panen adalah pemotongan buah, pengutipan brondolan, pemotongan pelepah, pengangkutan hasil ke tempat pengumpulan hasil dan pengangkutan hasil ke pabrik. Pencatatan jumlah tandan buah segar di tempat pengumpulan hasil yang dilaporkan kepada mandor satu. Laporan ini akan ditindaklanjuti oleh asisten berupa permintaan pengangkutan kepada seksi transportasi. Berdasarkan data jumlah panen di setiap pengumpulan hasil di setiap afdeling akan diketahui kebutuhan truk angkut.
bagian dari kegiatan sistem persediaan produk jadi. Tangki timbun di pabrik akan mendistribusikan minyak sawit mentah ke tangki timbun pelabuhan. Peran tangki timbun di pabrik untuk menjaga tingkat persediaan minyak sawit mentah sehingga mampu memberikan jaminan ketersediaan saat dibutuhkan. Tangki timbun di pelabuhan berfungsi untuk mendistribusikan produk ke konsumen industri di luar pulau. Tangki timbun pelabuhan di Provinsi Riau berada di Dumai yaitu Pelabuhan Putri Tujuh Dumai. Pengisian (replenishment) tangki timbun dipasok dari minyak sawit mentah pabrik atau tangki timbun pabrik. Tangki timbun pelabuhan bertujuan untuk memberikan jaminan ketersediaan produk pada saat kapal datang. Kapal pelabuhan akan mengirimkan pasokan minyak sawit mentah ke konsumen industri di dalam negeri maupun di luar negeri untuk di olah selanjutnya. Di bawah ini gambaran aliran atau sistem rantai pasok minyak sawit mentah.
Pasokan tandan buah segar di Riau bersumber dari tiga kebun yaitu perkebunan rakyat, perkebunan swasta dan perkebunan nasional. Berdasarkan data dinas perkebunan Provinsi Riau (2010), luas areal lahan perkebunan kelapa sawit di Riau ditampilkan di Tabel 1. Tabel 1. Luas Areal Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Provinsi Riau 2006-2010 (Ha) Jenis 2006 2007 Kepengusahaan Perkebunan Rakyat 748.368,99 805.951,53 Perkebunan Swasta 709.770,51 732.919,07 Perkebunan Nasional 72.011,00 73.511,00 Jumlah 1.530.150,39 1.612.381,60
2008
2009
2010
845.230,56 748.793,31 79.527,50 1.673.551,37
996.199,00 849.597,00 79.545,00 1.925.341,00
1.088.047,00 968.517,00 79.546,00 2.136.110,00
Pada tahun 2011 mengalami penurunan dalam penggunaan areal lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau menjadi 1.912.009 ha, namun hal tersebut tidak berlangsung lama karena permintaan produksi kelapa sawit semakin meningkat sehingga pada tahun 2012 penggunaan lahan areal kelapa sawit meningkat menjadi 1.926.859 ha. Kegiatan manajemen kebun petani swasta dan pihak ketiga sepenuhnya dikelola masing-masing secara berkelompok. Pasokan tandan buah segar akan diangkut ke pabrik untuk dilakukan pengolahan menjadi minyak kelapa sawit. Perencanaan produksi untuk mengolah tandan buah segar didasarkan pada jumlah yang dipasok dari berbagai sumber. Saat ini, jumlah pabrik kelapa sawit di Riau sebanyak 146 buah dengan kapasitas produksi sebesar 6.254 ton per jam. Hasil pengolahan tandan buah segar menjadi minyak sawit mentah oleh pabrik akan disimpan di dalam tangki timbun pabrik. Kegiatan penyimpanan minyak sawit mentah ini
Gambar 1. Sistem Rantai Pasok Minyak Sawit Mentah (Hadiguna et al., 2008) Perkebunan Perkebunan merupakan awal industri hulu kelapa sawit yang memberikan pasokan TBS yang akan di proses melalui pabrik kelapa sawit. Produktivitas TBS dan perencanaan transportasi TBS dari kebun ke pabrik menjadi tanggung jawab pihak kebun. Tanggung jawab dalam memenuhi kepentingan industri hilir untuk menghasilkan kualitas produk TBS dan menjaga kualitas TBS sampai ke pabrik serta menghadapi isu maupun konflik terjadi yang mempengaruhi kegiatan pasokan TBS yang dapat menurunkan nilai tambah dan daya saing produk. Isu maupun konflik bisa terjadi dari pihak internal maupun pihak eksternal yang dirugikan dalam produktivitas TBS. Untuk memenuhi tanggung jawab dan menghadapi isu yang terjadi, pihak perkebunan harus memiliki faktor-faktor sukses untuk mewujudkan perkebunan kelapa sawit Riau secara berkelanjutan.
Paper No
Proceeding Seminar Inovasi Teknologi dan Rekayasa Industri 2013 Universitas Andalas, Padang, 2 Juli 2013
Faktor yang harus dimiliki pengelola perkebunan harus memperoleh perizinan serta sertifikat tanah sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Perizinan yang dilakukan untuk mendapatkan izin lokasi untuk mendirikan perkebunan sesuai dengan luas areal perkebunan yang akan didirikan dan kapasitas produksi yang dimiliki perusahaan. Selanjutnya dalam hal lokasi perkebunan, pengelola perkebunan harus memastikan bahwa penggunaan lahan perkebunan telah sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Provinsi (RUTWP) atau Rencana Umum Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RUTWK) sesuai dengan perundangan yang berlaku atau kebijakan lain yang sesuai dengan ketetapan yang ditentukan oleh pemerintah setempat serta dalam menghadapi sengketa lahan dan kompensasi. Pengelola perkebunan harus memastikan bahwa lahan perkebunan yang digunakan bebas dari status sengketa dengan masyarakat/petani disekitarnya. Apabila terdapat sengketa maka harus diselesaikan secara musyawarah untuk mendapatkan kesepakatan sesuai dengan peraturan perundangan atau ketentuan adat yang berlaku namun bila tidak terjadi kesepakatan maka penyelesaian sengketa lahan harus menempuh jalur hukum. Untuk meningkatkan citra perusahaan perkebunan dan melindungi perkebunan dari konflik sengketa, maka perkebunan kelapa sawit yang dikelola harus mempunyai status badan hukum yang jelas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perkebunan memiliki rencana dan realisasi pembangunan perkebunan dalam pemanfaatan lahan sesuai untuk tanaman kelapa sawit dan waktu yang diberikan serta ketersediaan pabrik pengolahan kelapa sawit (PKS) dan kapasitasnya. Kondisi saat ini di Riau memiliki isu mengenai keterbatasan jumlah pabrik dan kapasitas pabrik kelapa sawit yang tidak mengikuti luas lahan kebun kelapa sawit dan pasokan TBS yang semakin meningkat. Hal ini mengakibatkan distorsi harga terjadi pada petani swadaya sehingga mengalami kerugian karena pasokan TBS mereka tidak di proses oleh PKS menyebabkan TBS membusuk serta dalam penentuan harga TBS ditentukan oleh sepihak oleh pembeli TBS (pasar monopsonistik). Berbeda dengan pasokan TBS dari petani plasma yang langsung di proses oleh PKS karena memiliki status kerja sama antara pihak perkebunan dengan PKS dan petani tidak dirugikan dalam penentuan harga. Oleh karena itu, untuk mengatasi distorsi harga antara petani plasma dan swadaya perlu penambahan PKS, terutama di wilayah perkebunan swadaya murni. Pembangunan PKS ini
harus dirancang dalam bentuk agroesteit kelapa sawit. Konsep agroesteit kelapa sawit merupakan bentuk kerjasama antara perusahaan inti dengan petani peserta dalam bentuk kepemilikan kebun dan PKS. Pengelolaan perkebunan yang dimulai dari pembukaan lahan, pembibitan, penanaman, perlindungan terhadap sumber daya terhadap serangan hama dan binatang buas dan menjaga kualitas air memiliki prosedur atau instruksi kerja (SOP) dalam pelaksanaan prosesnya. Prosedur atau instruksi kerja harus mencakup dan menjamin hasil pasokan TBS yang berkualitas. Kegiatan tersebut menjadi tanggung jawab manajer kebun untuk mengatur pasokan TBS tetap berkualitas sampai ke tangan pabrik untuk di olah. Serta melaksanakan kewajiban pengelola kebun yang terkait dengan analisa dampak lingkungan, UKL dan UPL sesuai ketentuan perundang – undangan yang berlaku. Kesuksesan faktor rantai pasok kelapa sawit tidak hanya memperhatikan persediaan dan pengelolaan kelapa sawit namun, perencanaan dan pengangkutan pasokan TBS ke pabrik yang dilakukan secara terintegrasi dengan tujuan menghasilkan aliran informasi dan keputusan untuk memasok TBS menjadi jelas dan mengefisiensikan operasional tanpa mengurangi kualitas TBS. Manajer kebun inti dan koperasi petani kebun plasma membutuhkan informasi tentang kebutuhan tandan buah segar yang akan diolah oleh pabrik. Informasi ini dibutuhkan untuk merencanakan target panen, tenaga kerja panen dan transportasi. Meskipun demikian, aspek musiman dari panen yang akan menentukan jumlah realisasi panen. Informasi yang akurat dan tersedia saat dibutuhkan akan memudahkan manajer kebun merencanakan kegiatan pasokan tandan buah segar. Hal yang sama juga dibutuhkan oleh koperasi petani kebun plasma maupun pihak ketiga. Hasil panen dari kebun plasma dan pihak ketiga akan dibeli perusahaan inti melalui surat perjanjian yang telah disepakati bersama dengan mengacu pada peraturan Dirjenbun. Hasil panen diangkut ke tempat pengumpulan hasil dan disusun sedemikian rupa sehingga memudahkan pemeriksaan dan pengangkutan. Hasil panen disetiap tempat pengumpulan akan dicatat dan dilaporkan. Data tandan buah segar panen sangat dibutuhkan untuk perencanaan transportasi dan pengolahan di pabrik. Perencanaan panen dan pengangkutan yang baik akan menghindarkan pemasok dari sangsi sebagai akibat kualitas tandan buah segar yang rendah.
Paper No
Proceeding Seminar Inovasi Teknologi dan Rekayasa Industri 2013 Universitas Andalas, Padang, 2 Juli 2013
Transportasi Perkebunan ke Pabrik Laporan jumlah tandan buah segar di tempat pengumpulan hasil di setiap afdeling sebagai data informasi untuk kebutuhan truk angkut. Kegiatan pengangkutan dari tempat pengumpulan hasil ke pabrik menjadi sangat penting karena mempunyai resiko meningkatnya kadar asam lemak bebas. Hal ini berarti, selain total biaya pengangkutan juga harus dipertimbangkan waktu angkut (delivery time) dari lokasi menuju pabrik. Pengangkutan TBS mempertimbangkan kondisi jalur lalu lintas untuk melakukan pengiriman TBS dari kebun ke pabrik menjadi faktor penting untuk menghindari kualitas tandan buah segar yang rendah yang apabila terjadi akan mempengaruhi produktivitas CPO di pabrik menurun diakibatkan kualitas TBS yang rendah. Kondisi jalur lalu lintas di Riau saat ini banyak jalur yang mengalami kerusakan jalan. Kerusakan jalan di Riau berada di Kecamatan Rambah Hilir Kabupaten Rokan Hulu, Belitung, Lubuk Gaung, Bukit Kapur dan kawasan Patra Dock di Dumai, hal ini disebabkan karena jalan tidak mampu menampung truk tonase pengangkut kelapa sawit. Kerusakan jalan ini mengakibatkan selain terjadinya keterlambatan pengiriman TBS ke pabrik karena mengalami kemacetan jalan dan menurunnya kualitas TBS karena truk pengangkut yang terjebak di jalan rusak, serta juga mengakibatkan kecelakaan lalu lintas. Apabila keterlambatan ini terjadi, akan mempengaruhi kerja sama terjalin kurang baik antara kebun sebagai pemasok dengan pabrik. Untuk mengatasi hal tersebut, maka mandor kebun harus mengatur jalur yang akan dilewati truk pengangkut agar perjalanan dalam menghantarkan kelapa sawit di pabrik menjadi lancar sehingga tidak mengalami keterlambatan pengiriman sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Mengatasi kerusakan jalan lalu lintas ini juga tidak terlepas dari campur tangan pemerintah dengan memberikan anggaran terhadap perbaikan insfraktuktur jalur lalu lintas yang rusak.
mengolah tandan buah segar didasarkan pada jumlah yang dipasok dari berbagai sumber. Pengolahan tandan buah segar berkaitan dengan luas areal kelapa sawit yang siap panen. Penentuan luas areal panen didasarkan pada ketersediaan tenaga permanen, efisiensi pengangkutan dan kapasitas oleh pabrik. Fungsi produksi mengakomodir aspek-aspek yang berhubungan langsung dengan kegiatan pengolahan tandan buah segar. Aspek-aspek yang dimaksud antara lain bahan baku, tenaga kerja, truk panen, tenaga kerja dan kondisi pabrik. Perencanaan produksi sebelum melakukan tahap pengolahan, maka pengelola pabrik memastikan bahwa TBS yang diterima sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan seperti instruksi kerja penerimaan dan pemeriksaan, penetapan harga TBS serta kriteria TBS yang diterima di pabrik. Setelah TBS telah diperiksa oleh pabrik, maka pengelola pabrik harus merencanakan dan melaksanakan pengolahan TBS menjadi CPO melalui penerapan praktek pengelolaan atau pengolahan terbaik (GHP/GMP). Hasil pengolahan tandan buah segar menjadi minyak sawit mentah akan disimpan di dalam tangki timbun pabrik. Peran penting tangki timbun di pabrik diwujudkan dalam bentuk sebuah sistem manajemen persediaan yang memperhatikan sisi produksi dan permintaan. Tujuan dari manajemen persediaan tangki timbun di pabrik adalah menjaga tingkat persediaan minyak sawit mentah sehingga mampu memberikan jaminan ketersediaan saat dibutuhkan dengan memperhatikan total biaya yang minimum. Dalam merencanakan dan melaksanakan pengolahan TBS tidak terlepas dengan ketepatan waktu pasokan TBS. Ketepatan waktu pasokan tandan buah segar dibutuhkan oleh manajer pabrik sehingga tidak terjadi waktu menganggur proses pengolahan. Ketidakteraturan pasokan tandan buah segar bisa menyebabkan penumpukkan di loading ramp sehingga berisiko terhadap peningkatan kadar asam lemak bebas apabila penundaan terlalu lama.
Pabrik Pabrik merupakan tempat pengolahan kelapa sawit menjadi produk minyak sawit mentah. Dalam hal pengangkutan, pabrik dan pemasok mempunyai kepentingan sama yaitu ketepatan pengiriman. Pabrik membutuhkan jumlah dan kualitas yang tepat sesuai jadwal produksi, sedangkan pemasok membutuhkan kuantitas pasokan dengan kualitas baik untuk mendapatkan harga yang tinggi. Manajer pabrik adalah pengambil keputusan dalam kegiatan pengolahan tandan buah segar. Dalam sistem rantai pasok, kegiatan ini dikenal dengan istilah perencanaan produksi. Perencanaan produksi untuk
Tandan buah segar yang berkualitas dibutuhkan oleh manajer pabrik sehingga kualitas minyak sawit mentah juga bisa dijaga pada kualitas yang diharapkan konsumen. Hal ini memberikan tanggapan positif kepada masyarakat mengenai isu negatif dalam pengolahan kelapa sawit selama ini serta melalui proses pengolahan terbaik dan memperhatikan kualitas hasil produk dapat mengatasi isu green consumerism yang diartikan bahwa konsumen hanya menghendaki produk-produk yang dalam prosesnya senantiasa berorientasi lingkungan dan dibuat dengan proses yang ramah lingkungan
Paper No
Proceeding Seminar Inovasi Teknologi dan Rekayasa Industri 2013 Universitas Andalas, Padang, 2 Juli 2013
Produk ramah lingkungan tidak terlepas kaitannya dengan pengelolaan limbah dan pemanfaatan limbah. Pengelola pabrik memastikan bahwa limbah pabrik kelapa sawit dikelola sesuai dengan ketentuan yang berlaku sedangkan pemanfaatan limbah untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi dampak lingkungan seperti pemanfaatan limbah padat berupa serat cangkang dan janjang kosong untuk bahan bakar dan pupuk organik. Penyimpanan limbah di pabrik tidak menimbulkan pencemaran lingkungan atau menyebabkan terjadinya kecelakaan pabrik dan pemanfaatan limbah cair harus dilaporkan kepada instansi berwenang. Transportasi Pabrik ke Tangki Timbun Manajemen transportasi dari pabrik ke tangki timbun sangat perlu diperhatikan untuk menjaga interval waktu pengisian tangki timbun pelabuhan dengan kondisi ketidakpastian karena kegiatan transportasi disebabkan oleh banyak faktor. Faktor kerusakan jalan menjadi kendala yang mempengaruhi manajemen transportasi tidak lancar. Faktor ini terjadi pada kondisi jalur lalu lintas dilewati truk tonase pengangkut CPO menuju Pelabuhan Putri Tujuh Dumai yang mengalami kerusakan parah karena kondisi jalan tidak sanggup menampung beban truk tonase. Hal ini terjadi pada kasus jalur di jalan purnama di Dumai yang rusak parah mencapai 4,5 km. Manajer Kerusakan jalan ini harus segera diperbaiki oleh pemerintah karena dapat menyebabkan kemacetan karena jalur tersebut merupakan jalur umum yang sering dilewati oleh masyarakat. Selain itu, kerusakan jalan ini dapat menyebabkan keterlambatan pengiriman CPO ke pelabuhan dan dapat mempengaruhi kualitas CPO menjadi turun. Perbaikan jalan tidak cukup untuk mengatasi hal tersebut, namun perlu dilakukan pengembangan infrastruktur jalur lalu lintas dengan membuka jalur lintasan baru yang dapat dilewati oleh truk tonase pengangkut CPO ke pelabuhan. Pengiriman tepat waktu dan mempertimbangkan kondisi jalur lalu lintas tidak hanya menjadi faktor sukses dalam pengiriman CPO ke pelabuhan, namun memperhatikan kapasitas truk pengangkut CPO dan operasional pengangkutan sesuai dengan prosedur atau instruksi SOP yang telah ditentukan yang dapat mempengaruhi kualitas CPO yang akan dikirimkan ke tangki timbun pelabuhan. Tangki Timbun Tangki timbun di pelabuhan berfungsi untuk mendistribusikan produk ke konsumen industri di luar pulau. Pengisian (replenishment) tangki timbun dipasok dari pabrik atau tangki timbun pabrik.
Manajemen persediaan di tangki timbun pelabuhan berorientasi pada sinkronisasi pasokan dari pabrik dan kedatangan kapal di pelabuhan. Tangki timbun pelabuhan bertujuan untuk memberikan jaminan ketersediaan produk pada saat kapal datang. Jadwal pasokan dari pabrik ke pelabuhan menjadi berperan penting dalam hal ini. Pasokan minyak sawit mentah harus menunjang efektivitas manajemen persediaan di pelabuhan, maka perlu ditentukan waktu pemesanan kembali untuk pengisian tangki timbun. Provinsi Riau sebagai produsen CPO terbesar di Indonesia dan selalu meningkat produktivitas CPO setiap tahun dari beberapa perusahaan terbesar CPO di Riau, maka perlunya meningkatkan kapasitas tangki timbun dengan melakukan perluasan dan penambahan tangki timbun di Pelabuhan Dumai untuk menampung CPO sementara sebelum di angkut ke kapal, serta melakukan perluasan terhadap dermaga–dermaga kapal seperti saat ini pemerintah kota Dumai melakukan pengembangan pelabuhan Dumai kepada pengembangan Terminal Curah Cair (TCC) dan Terminal Curah Kering (TCK). Hal ini merupakan salah satu faktor sukses dalam meningkatkan nilai tambah dan daya saing ekspor kelapa sawit karena pelabuhan Dumai merupakan tempat strategis untuk pengangkutan dan pengiriman CPO ke luar negeri. Transportasi Tangki Timbun di Pelabuhan ke Konsumen Sistem transportasi yang digunakan dari tangki timbun di pelabuhan yang akan didistribusikan ke konsumen menggunakan sistem pengapalan. Pengapal merupakan rantai terakhir dari subsistem penjualan barang yang mengapalkan barang. Adakalanya, pengapal bukan pemilik barang atau bukan pemilik dari seluruh barang yang diperdagangkan. Masalah yang sering timbul yaitu bill of lading (konosemen) yang merupakan dokumen penting untuk bukti pengiriman dan juga syarat untuk meminta bayaran. Bill of lading tersebut diterima oleh pengirim, bukan oleh pemilik barang. Bisa saja, bill of lading tersebut dituntut oleh beberapa pemilik barang dalam kasus multi cargo. Pemilik kapal berkewajiban menyediakan kapal yang laik laut, menyediakan tenaga kerja, perlengkapan logistik yang cukup, memuat dan merawat barang dengan baik, serta menyediakan bill of loading. Kapasitas kapal untuk mengangkut CPO dan proses pengiriman CPO serta pengiriman tepat waktu menjadi salah satu faktor penting juga dalam distribusikan pasokan CPO melalui kapal ke konsumen.
Paper No
Proceeding Seminar Inovasi Teknologi dan Rekayasa Industri 2013 Universitas Andalas, Padang, 2 Juli 2013
Konsumen Konsumen minyak sawit mentah yang diartikan sebagai konsumen industri minyak sawit mentah yang melakukan pengolahan melakukan minyak sawit mentah menjadi industri pangan maupun industri non pangan kelapa sawit. Konsumen minyak mentah ini berasal dari dalam negeri maupun di luar negeri. Kapal dari pelabuhan Dumai melakukan distribusi minyak sawit mentah ke pelabuhan konsumen. Pemeriksaan kesiapan kapal dan kebersihan kapal menjadi faktor penting untuk memuat minyak yang diperdagangkan. Setelah kapal pengangkut tiba di pelabuhan konsumen, maka akan diangkut oleh truk konsumen sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Kesimpulan Agroindustri minyak sawit mentah merupakan salah satu tipe rantai pasok yang menarik untuk dipelajari. Makalah ini telah memberikan faktor-faktor sukses yang dibutuhkan dalam pengelolaan rantai pasok agroindustri yang dimulai dari pengelolaan perkebunan, perkebunan ke pabrik, pengolahan kelapa sawit di pabrik, pabrik ke tangki timbun pelabuhan, persediaan CPO di tangki timbun , tangki timbun ke konsumen dan konsumen sebagai industri pangan dan non pangan kelapa sawit. Faktor-faktor sukses yang ditemukan adalah pengelolaan perkebunan dan transportasi TBS. Selain aspek ekonomi, kedua elemen tersebut memberikan dampak terhadap aspek lingkungan dan sosial. Kedua hal ini perlu diperhatikan sebagai bentuk langkah industri hulu dan hilir kelapa sawit dalam pengelolaan rantai pasok kelapa sawit dengan tujuan dapat menguatkan koridor perekonomian Indonesia, meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk kelapa sawit Indonesia di pasar dunia dengan mempertimbangkan isu berkelanjutan dalam pilar aspek ekonomi, aspek sosial dan aspek lingkungan. Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didanai oleh Program Penelitian Hibah Bersaing DP2M DIKTI, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dengan kontrak Nomor: Dipa-023.04. 2.415061, tanggal 5 Desember 2012. Referensi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Naskah Kebijakan (Policy Paper). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta (2010)
Badan Pusat Statistik. Luas Areal Perkebunan Kelapa Sawit di Riau. Badan Pusat Statistik, Jakarta (2012) Basri, F. Perekonomian Indonesia Menjelang Abad XXI, FE-UI, Jakarta (1997) Eriyati & Rosyetti. Analisis Daya Saing Ekspor Komoditi Crude Palm Oil (CPO) Provinsi Riau. Perpustakaan UNRI : Universitas Riau (2012) Frasetiandy, D. Menakar dampak sosial perkebunan sawit. Kalimantan Selatan (2009). Hadiguna, R. A., Machfud, Eriyatno, Suryani, A. & Arkeman, Y. Manajemen Rantai Pasok Minyak Sawit Mentah. Journal Logistics and Supply Chain, 14(1), 13-24 (2008) Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta (2011) Sumardjo (2011). Model Pemberdayaan Masyarakat Dan Pengelolaan Konflik Sosial Pada Perkebunan Kelapa Sawit Di Propinsi Riau. Semiloka Pengelolaan Terpadu Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan, Propinsi Riau Syahza, A. Distorsi Harga Tandan Buah Segar (TBS) Kelapa Sawit Dan Pengaruhnya Terhadap Pendapatan Petani Di Pedesaan. Pusat Pengkajian Koperasi dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat: Universitas Riau, 4(1): April-Juli (2004) The Brundtland Report. Our common future, Oxford. Oxford University Press (1987)