H HA ASSIILL PPEEN NEELLIITTIIA AN N
FAKTOR SOSIO-PSIKOLOGI MASYARAKAT YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANEMIA IBU HAMIL DI KOTA TANJUNG BALAI, SUMATERA UTARA Fotarisman Zaluchu Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sumatera Utara Jl. Sisingamangaraja No. 198 Medan, 20126
ABSTRACT Anemia in pregnant women is a problem in Indonesia. Based on SKRT 1992, 60% of pregnancy women in Indonesia has anemia. In North Sumatra, prevalence of anemia among pregnancy women is 78, 65%. In 2003, in Tanjung Balai 40, 2% of pregnant women had anemia. Anemia in pregnancy women is influenced by many factors.One of the prominent factor is the socio-psychology factor. Therefore, the objective of this study is to explore the assotiation of socio-psychological factors with anemia in pregnant women. This study was located in Tanjung Balai City, where the prevalence of pregnant women is the fifth highest in Province of North Sumatra. This study design using qualitative approach with Focus Group Discussion (FGD) technique. The population of this study is all of informants who knows about socio-psychological factors among pregnant women. The sampel is using purposive method by choosen three health centers in Tanjung Balai City. From every health center was selected 10 informants who will interviewed by using guidance questionaire. The conclusions of this study are: most of the pregnant women in Tanjung Balai City have high risk associated with not enough food supplies, have restriction in norms, value of culturs more important than health care of pregnant women, and women are subordinated by husbands. This study was recommended an integrative approach by changing the sociopsycological factors to decrease the prevalence of anemia among the pregnant woman, not only distributed the iron tablets iron with health education. Keywords: Anemia, Pregnancy women, Socio-psychology aspect PENDAHULUAN Masalah kematian ibu masih menjadi persoalan utama di Indonesia. Berdasarkan data yang ada, Angka Kematian Ibu (AKI) pada tahun 1997 sebesar 343/100.000 kelahiran hidup (SDKI, 1997) dan menurun menjadi 307/100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2003). Hal ini berarti terjadi penurunan, namun tidak signifikan karena angka tersebut masih yang tertinggi di ASEAN. Sementara itu, menurut BPS Sumut tahun 2004, di Propinsi Sumatera Utara, Angka Kematian Ibu pada tahun 2004 adalah 330/100.000 kelahiran hidup (BPS Sumut Tahun 2004).
Tingginya angka kematian ibu ini erat kaitannya dengan terjadinya perdarahan. Secara Nasional sekitar 94,4% kematian ibu disebabkan oleh triad komplikasi persalinan yaitu perdarahan, infeksi dan eklampsia) dan sekitar 5,6% karena kondisi penyakit yang memperburuk keadaaan ibu dan dari triad komplikasi persalinan tadi, sebanyak 40% kematian ibu terjadi karena perdarahan. Salah satu faktor resiko utama terjadinya perdarahan adalah anemia. Menurut SKRT 1992, sekitar 60% ibu hamil menderita anemia (Hb kurang dari 11 gr%) yang akan meningkatkan risiko terjadinya kematian ibu jika dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia dengan perbandingan 700
Perbedaan Faktor Infeksi dengan Pemeriksaan PCR Serviks HPV (1–78) 11 Chatarina U.W. Universitas Sumatera Utara
per 100.000 dibandingkan dengan 190 per 100.000 (Depkes RI, 1996). Prevalensi anemia pada ibu hamil sangat tinggi, di Propinsi Sumatera Utara berdasarkan hasil survei tahun 1999 adalah sebesar 78,65%. Pada tahun 2002 menurun menjadi 53,8%. Namun angka ini masih tetap tinggi. Secara nasional, untuk kategori kelompok anemia pada wanita, anemia ibu hamil menduduki urutan kedua setelah anemia pada remaja putri. Selain dapat menyebabkan kematian ibu atau kematian janin, anemia pada ibu hamil juga menyebabkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). BBLR ini pada akhirnya akan menjadi masalah yang berhubungan dengan gizi buruk. Secara nasional, anemia merupakan masalah kesehatan yang penting, karena berperan dalam tingginya masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI), Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), dan Angka Kematian Bayi. Terdapat beberapa jenis anemia aplastik, anemia hemolitik, anemia kurang besi atau lebih populer dengan sebutan anemia gizi besi dan anemia megaloblastik. Diantara ke-4 jenis anemia tersebut anemia gizi besi merupakan yang paling banyak di temukan di Indonesia (Depkes, 1999). Anemia sendiri didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana kadar Hb di dalam darah kurang dari normal untuk kelompok yang bersangkutan. Kelompok ditentukan menurut umur, dan jenis kelamin (Depkes, 1999). Menurut SE Menkes nomor: 736 a /Menkes/XI/1989 dijelaskan bahwa batas normal kadar Hb adalah 11 gram% untuk ibu hamil. Berdasarkan data yang ada, pada tahun 2003, sebanyak 40,2% ibu hamil mengalami anemia di Kota Tanjung Balai. (Profil Dinkes Sumut, 2002). Secara nasional, SKRT Tahun 2001 memperlihatkan bahwa prevalensi Anemia pada Ibu Hamil adalah 40%. Selain itu hasil survei Status Gizi Balita di 19 Kab/Kota Prop. Sumatera Utara yang dilakukan oleh PSG FK dan FKM USU bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Prop. Sumut pada tahun 2005, menunjukkan tingginya prevalensi status gizi buruk di Kota Tanjung Balai yakni sebesar 13,5%. Angka Kematian Bayi di Kota Tanjung Balai juga tinggi yaitu 49,5/1.000 kelahiran hidup pada tahun 2003 dan pada
12
tahun 2004 menjadi 45,7/1.000 kelahiran hidup (BPS Sumut, 2004). Kota Tanjung Balai merupakan 5 (lima) besar Kab/Kota di Propinsi Sumatera Utara selain Kabupaten Nias Selatan, Kabupaten Nias, Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Tapanuli Selatan, yang tingkat prevalensi anemia ibu hamil dan status gizi balita buruknya bisa dikategorikan tinggi. Diperkirakan, munculnya masalah anemia pada ibu hamil dan gizi buruk pada balita juga diakibatkan karena model penanggulangan yang selama ini hanya bertitik pusat pada model kuratif. Program dan kegiatan intervensi penanggulangan yang pernah dilaksanakan belum berdampak terhadap penurunan prevalensi anemia pada ibu hamil, antara lain Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi Ibu Hamil dan Pemberian Tablet Tambah Darah (Zat Besi). Tetapi, program dan kegiatan intervensi biasanya dilaksanakan secara generalisasi tanpa mempertimbangkan karakteristik penduduk karena dalam masyarakat beragam situasi demografis dan psikologis melekat. Menurut Sarwono (2004), individu tidak dapat melepaskan diri dari masyarakat secara umum. Dengan demikian, perilakunya, termasuk dalam perawatan kehamilan, mencukupkan gizi, akses terhadap pelayanan kesehatan, bergantung kepada keberadaannya di dalam masyarakatnya. Itu sebabnya untuk mencapai efektifitas dan efisiensi program dalam rangka penanggulangan anemia pada ibu hamil, pengenalan terhadap masalah dan kemudian rencana penanggulangannya seharusnya berorientasi pada kekhasan dan kekhususan masing-masing wilayah. Oleh karena itu, dibutuhkan data dasar yang menyeluruh dan multikompleks terhadap masalah yang berhubungan dengan kesehatan di Kota Tanjung Balai dalam hal ini adalah anemia pada ibu hamil. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran sosio-psikologis masyarakat yang mempengaruhi terjadinya anemia pada ibu hamil. Dengan mengetahui gambaran sosio-psikologis ini, upaya penanggulangan anemia dalam kerangka upaya akselerasi AKI dan AKB bisa dilakukan dengan lebih tepat. Penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai dasar bagi upaya
Faktor Sosio-psikologi Masyarakat yang Berhubungan dengan Anemia (11– 18) Fotarisman Zaluchu Universitas Sumatera Utara
penanggulangan yang lebih komprehensif dan terarah kepada persoalan yang sebenarnya. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di Kota Tanjung Balai, Sumatera Utara. Penelitian menggunakan pendekatan penelitian qualitatif. Dengan mengasumsikan bahwa kondisi sosio-psikologis masyarakat berhubungan dengan pola normatif yang selama ini berlangsung, maka dilakukan pengambilan data melalui Focus Group Discussion (FGD) pada 3 kelompok masyarakat. Kelompok masyarakat yang menjadi peserta FGD adalah kelompok masyarakat yang berasal dari tokoh agama, tokoh masyarakat dan kader, yang dianggap dapat memberikan informasi mengenai masalah anemia pada ibu hami pada 3 lokasi Puskesmas berbeda yang ditentukan secara purposif. FGD dilaksanakan di daerah yang berdekatan dengan lokasi tempat tinggal masing-masing. Peserta didapatkan bekerjasama dengan institusi kesehatan di lokasi penelitian. FGD dipimpin peneliti sebagai moderator. Pengumpulan data dibantu dengan tape recorder dan catatan penelitian. Setiap kelompok FGD masing-masing terdiri dari 10 orang peserta dengan demikian pada 3 kelompok FGD keseluruhan informan adalah 30 orang. Data yang ada dianalisis dengan menggunakan interpretasi atas content materi FGD, menggunakan alat bantu software EZText versi 3.06 dari CDC. Pertanyaan menggunakan panduan yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh penliti. Pertanyaan berhubungan dengan konsep pemeliharaan kehamilan pada ibu hamil beserta yang dihubungankan dengan normanorma yang ada dan yang selama ini dipraktekkan di masyarakat. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kota Tanjung Balai adalah salah satu kota yang terletak di wilayah Propinsi Sumatera Utara. Batas-batas daerahnya adalah sebagai berikut: sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Balai
Kabupaten Asahan, sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sei Kepayang Kabupaten Asahan, sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat Kabupaten Asahan, dan sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Asahan. Berdasarkan pencatatan, luas wilayah Kota Tanjung Balai adalah 60.529 km2. Secara administratif, dibagi atas 5 kecamatan dan 30 kelurahan. Jumlah penduduk laki-laki adalah sebanyak 76.070 orang sementara jumlah penduduk perempuan adalah 77.024 orang. 2. Anemia dan Sosio-psikologis Masyarakat Masalah anemia yang dialami oleh ibu hamil erat kaitannya dengan perubahan kebutuhan nutrisi selama kehamilan. Meskipun sebab-sebab anemia dalam kehamilan bisa disebabkan oleh perubahan fisiologis tersebut berupa defisiensi terhadap sejumlah nutrisi penting (Cunningham dkk, 1995), namun tidak dapat dipungkiri bahwa masalah sosio-psikologi yang menjadi latar dari masalah tersebut amat penting peranannya. Pembahasan mengenai latar budaya dan kondisi sosio-psikologi adalah bagian penting dari kajian penelitian kualitatif. Latar alamiah yang sering diperhadapkan dengan latar ilmiahnya metode penelitian kuantitatif menjadi sebuah objek studi yang menarik. Termasuk di dalam persoalan untuk memahami dan mendalami mengenai penyakit anemia pada ibu hamil ini. Secara teoretis, penyebab anemia dalam kehamilan sebenarnya merupakan rangkain masalah sejak seorang wanita lahir sampai dengan tuanya. Di dalam proses daur hidup itulah, maka kehamilan, bisa menjadi sebuah tahapan yang menjadi akibat dari proses sebelumnya. Seorang ibu hamil umumnya mengalami anemia, bukan saja karena kehamilannya, tetapi karena anemia yang dibawa sejak usia reproduktif (Depkes RI, 2001). Berdasarkan hasil penelitian di Kota Tanjung Balai, seorang ibu hamil biasanya harus melakukan banyak pekerjaan, baik produktif maupun reproduktif. Akibatnya banyak ibu hamil yang melakukan pekerjaannya dengan beban kehamilannya tersebut, sebagaimana disampaikan oleh salah seorang responden,
Faktor Sosio-psikologi Masyarakat yang Berhubungan dengan Anemia (11–18) 13 Fotarisman Zaluchu Universitas Sumatera Utara
”Kalau sudah hamil, saya akan bawa kemana-mana, untuk mendidik bayinya. Kata orang kalau ibu hamil sering bawa anaknya akan ketularan dengan apa yang dijumpainya. Jadi, saya harus bekerja keras supaya nanti anak saya juga bekerja keras” Yang unik, kehamilan dianggap sebagai sebuah hal biasa, yang tidak perlu di anggap sebagai tahapan penting. Salah seorang responden mengungkapkannya sebagai berikut, ”Ya, nggak apa-apalah (hamil itu). Biasa aja. Tidak ada yang harus dirawat macam-macamlah.” Melakukan pekerjaan yang berat di saat hamil memang menjadi salah satu penyebab dari berkurangnya kemampuan tubuh dalam memenuhi kebutuhan ibu dan janin yang dikandungnya. Kebutuhan nutrisi semisal zat besi, terkuras habis cadangannya untuk memenuhi aktivitas ibu hamil (Cunningham dkk, 1995). Dan energi yang seharusnya bisa digantikan dengan melakukan perawatan maksimal justru tidak didapatkan karena kehamilan dianggap biasa saja. Bagi masyarakat, kelihatannya ritual persalinan lebih penting daripada kehamilan itu sendiri. Akibatnya, seorang ibu hamil bisa mengalami yang disebut sebagai anemia dalam kehamilan tadi. Selain memperlakukan diri sebagai tidak berada dalam proses yang penting untuk diperhatikan dan dijaga, ibu hamil biasanya terbelenggu oleh berbagai anjuran dan pantangan. Membawa gunting, paku dan lain sebagainya di waktu hamil dianggap sebagai hal biasa bahkan cenderung harus dilakukan. Sebagaimana dijelaskan oleh salah seorang ibu, ”Ya, kami biasanya membawa alatalat itu karena memang biasanya seperti itu. Nanti ada apa-apa kami tidak beranilah...” Atau sebagaimana disampaikan oleh salah seorang responden, ”di dalam sumpit yang biasanya dipakai oleh ibu hamil, biasanya ada berbagai barang yang harus dimasukkan. Biasanya diletakkan dalam kamar. Tetapi ada juga yang harus dibawa kemana-mana.”
14
Benda-benda tersebut dianggap sebagai penjaga diri atau kehamilan ibu hamil dari kemungkinan buruk, termasuk dari ”setan”. Hal itu umumnya dianggap sebagai sebuah jaminan bagi dirinya sendiri untuk memberikan perlindungan kepada dirinya. Jadi,l bagi mereka, ”perawat” dan ”penjaga” kehamilan mereka adalah objekobjek yang mereka sebut sebagai ”jimat” tadi. Tentu saja, orientasi ”penjagaan” kehamilan kepada benda-benda tertentu akan mengalihkan ibu hamil dari hal-hal yang sesungguhnya lebih penting, sepeti makanan bergizi, perawatan ANC, pemeriksaan kehamilan dan lain sebagainya, yang sesungguhnya amat penting. Secara umum sebagaimana dinyatakan oleh Adrina dkk (1998), adalah lazim adanya kepercayaan-kepercayaan tertentu, menyangkut ibu hamil dan anak yang dikandungnya, sehingga bagi ibu hamil dikenakan banyak keharusan atau larangan tertentu. Seorang ibu menjelaskan larangan dalam hal makanan, ”Di sini, ibu-ibu dilarang makan ikan laut dan udang... yah, memang sudah begitu adatnya, apa mau dikata... karena itu sudah dilakukan dari dulu ya kita tinggal ikut saja” Sumber pengetahuan ini umumnya berlangsung secara turun temurun yang kebanyakan berasal dari mereka yang dianggap panutan, semisal orangtua atau dukun. Apa yang mereka sebut sebagai ”pengetahuan” itu sebenarnya bukan merupakan pengetahuan yang dipelajari, namun yang didapatkan dalam daur kehidupan mereka. Pantangan atau larangan dalam proses kehamilan sangat mempengaruhi kecukupan zat gizi pada ibu hamil. Sementara kita ketahui bahwa seorang ibu yang sedang hamil seharusnya terpenuhi kecukupan gizinya untuk kepentingan dirinya sendiri dan janin yang sedang dikandungnya (Adrina dkk, 1998, Paath dkk, 2004). Seorang ibu hamil mengalami kenaikan berat badan sebanyak 10-12 kg. Pada trimester pertama kenaikan itu hanya kurang dari 1 kg, trimester kedua kurang lebih 3 kg, sedangkan trimester terakhir kirakira 6 kg. Kenaikan tersebut meliputi kenaikan komponen janin: pertumbuhan
Faktor Sosio-psikologi Masyarakat yang Berhubungan dengan Anemia (11– 18) Fotarisman Zaluchu Universitas Sumatera Utara
janin, plasenta, dan cairan amnion (Huliana dalam Paath, 2004). Dengan kebutuhan pertumbuhan yang begitu penting tersebut, bisa dibayangkan bagaimana hasilnya seorang ibu hamil yang membatasi diri dari makanan yang sebenarnya sumber dari kebutuhan kehamilannya. Larangan bisanya datang berupa pantangan mengenai apa yang tidak boleh dimakan, beserta risiko yang mungkin dihadapi seorang ibu hamil. Keadaan ini dapat digambarkan berdasarkan pernyataan salah seorang informan berikut, ”tidak boleh pula ibu hamil itu makan banyak-banyak, nanti bayinya besar, apalagi baru hamil pertama sekali...” Seorang perempuan umumnya tidak memiliki kebebasan bahkan untuk memilih perlindungan kesehatan pada dirinya, termasuk dalam memilih alat KB yang mungkin sesuai dengan dirinya. Seorang ibu biasanya tidak dapat memutuskan atas dasar keyakinannya pada alat KB, namun lebih kepada ketakutan akan risiko yang akan terjadi karena keputusan yang bersifat personal tadi. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang ibu, ”Misalnya kita pande-pandean nanti terbentur masalah, maka kita yang akan disalahkan. Maka saya tanyakan dulu sama suami, mana bisa kita mutuskan sendiri. Apalagi kan biaya KB tidak gratis, jadi otomatis kita konsultasikan dululah sama suami...” Memang ada sebagian yang berani menerobos kekakuan itu, namun mereka tetap tidak bebas melakukannya. ”merondok-rondoklah kalau tidak diijinkan oleh suami. Kita pakai pil tanpa sepengetahuan dia, misalnya, ya, pande-pande kita lah” Keadaan ini sungguh sangat memberikan beban yang sangat besar kepada seorang perempuan, terlebih karena hal ini dipicu oleh keengganan suami atau laki-laki menolong isterinya dalam kesehatan reproduksinya sendiri. Bagi yang menggunakan alat KB, biasanya suami tidak mau menggunakan alat KB,
”memang di sini perempuan ada yang bebas memilih alat KB, tetapi tetap perempuan yang harus menggunakan KB. Suami biasanya tidak mau” Fakta-fakta di atas merupakan gambaran umum di wilayah penelitian. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Fikarwin dkk (2002) di Sipirok, Tapanuli Selatan, gambaran yang tidak jauh berbeda juga ditemukan. Gangguan kesehatan reproduksi ditemukan amat buruk. Dan hal ini erat kaitannya dengan persoalan gender, faktor sosial ekonomi yang buruk, preferensi terhadap anak laki-laki dan diskriminasi. Misalnya, mereka menemukan fakta mengenai pendapat masyarakat alim-ulama mengenai persalinan, ”bersalin itu kalaupun tidak ditolong, sebetulnya tidaklah mengapa. Kalau sudah tidak waktunya, anak itu akan keluar dengan sendirinya. Tak seorang pun bisa menahannya. Tapi kalau waktunya belum, dipaksa pun tidak bisa. Tuhan sudah mengaturnya demikian. Tengok saja kambing, siapakah yang tolong? Tidak ada kan? Tapi anaknya lahir juga. Manusia pun sebetulnya begitu. Tapi karena kita punya pikiran dan perasaan serta agama, kita membantu dan mendoakannya. Itu saja.” Mengenai peranan suami, pandangan masyarakat yang ditemukan oleh peneliti tersebut dapat terlihat dari pernyataan berikut ini, (tanggung-jawab suami adalah) ”Cari uang, kalau sudah bersalin kita panasi badannya. Mardiapi istilahnya di sini. Itu sampai 40 hari. Kita sendiri yang memasak, mencuci. Tidak boleh kita memakan masakan istri. Haram itu. Karena dia masih kotor, itu sama dengan najis. Jadi, masakannya pun kotor istilahnya. Ketika suami di lokasi penelitian tersebut ditanyakan mengenai tanggungjawabnya atas kehamilan dan persalinan, mereka menjawab, ”Iyalah... Itu kewajibannya melayani suami. Kalau misalnya hamil, bersyukurlah kita. Dia pun harus bersyukur walaupun payah. Supaya
Faktor Sosio-psikologi Masyarakat yang Berhubungan dengan Anemia (11–18) 15 Fotarisman Zaluchu Universitas Sumatera Utara
lancar pergilah dia kusuk. Jadi perempuan memang begitu. Bibit dari kita, kita tanam, maka dia merawatnya lagi. Sampai besar dia merawatnya, kita suruh. Dia urus anak kita, itulah tugasnya. Satu lagi mengurus kita.” Gambaran di atas, sebagaimana ditunjukkan oleh penelitian ini, maupun penelitian mengenai kesehatan reproduksi di wilayah yang berada dalam wilayah Propinsi yang sama, memperlihatkan bahwa ”bungkus” keadaan sosial-budaya masyarakat amat besar pengaruhnya terhadap kesehatan wanita, terlebih di masa hamil. Kejadian anemia, bukanlah kejadian yang melulu merupakan fakta patologis yang memiliki dimensi kesehatan saja, namun menjadi kajian yang sangat erat kaitannya dengan dimensi kultural masyarakat. Dapat dikatakan bahwa wanita hamil, tidak dapat melepaskan diri dari persoalan yang secara turun temurun di yakini, bukan saja oleh lingkungannya, namun oleh mereka sendiri. Mereka adalah individu dalam masyarakat, yang membutuhkan masyarakat sebagai rujukan perilakunya (Sarwono, 2004). Bahkan untuk dan demi alasan itulah, ibu hamil cenderung merelakan diri untuk mengabaikan kesehatan sendiri karena ”panduan” perilaku yang disampaikan oleh lingkungannya dianggap lebih penting dan harus dipatuhi. Banyak yang beranggapan bahwa jika dilakukan peningkatan kesejahteraan dan ekonomi, hal itu akan berkorelasi dengan peningkatan derajat kesehatan wanita. Hal itu dalam batasan tertentu bisa saja berarti benar. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak masalah yang dihadapi oleh wanita juga bergantung pada kepercayaan-kepercayaan yang keliru, yang dapat ditemukan di mana saja, mengenai hubungan antara makanan dan kesehatan misalnya, kepercayaankepercayaan, pantangan-pantangan dan upacara-upacara, yang mencegah orang memanfaatkan sebaik-baiknya makanan yang tersedia bagi mereka (Foster dan Barbara, 1986). Ibu hamil membutuhkan makanan yang bergizi, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk memenuhi kandungan nutrisi bagi janin yang dikandungnya. Selama trimester I kehamilan kebutuhan zat besi ibu
16
lebih rendah karena tidak menstruasi dan zat besi yang digunakan janin minimal. Mulai dari trimester II terdapat pertambahan sel-sel darah merah yang berlangsung sampai trimester III. Penambahan sel-sel darah merah tersebut kira-kira sama dengan penambahan sebesar 450 mg besi. Selama kehamilan tubuh wanita memerlukan ± 1000 mg Fe. Kebutuhan Fe digunakan untuk perkembangan janin 300 mg, plasenta 50 mg, ekspansi sel darah merah, kehilangan basal 240 mg. Distribusi kebutuhan Fe ini tidak sama dari waktu ke waktu selama kehamilan. Kebutuhan Fe ini terutama meningkat pada trimester terakhir. Pada awal kehamilan kebutuhan Fe pada wanita adalah 0,8 mg/hari kebutuhan terus meningkat hingga mencapai 10-12 mg pada akhir kehamilan (Husaini, 1989). Namun sayangnya, karena berbagai pantangan agama, tahayul, kepercayaan mengenai kesehatan, dan suatu peristiwa yang terjadi secara kebetulan dalam sejarah, ada bahan-bahan makanan yang bergizi baik yang tidak boleh dimakan dan diklasifikasikan sebagai”bukan makanan.” (Foster dan Barbara, 1986). Lebih jauh dijelaskan, sedemikian kuat kepercayaankepercayaan mengenai apa yang dianggap makanan—misalnya—dan apa yang dianggap bukan makanan sehingga terbukti sangat sukar untuk meyakinkan orang (masyarakat) untuk menyesuaikan makanan mereka. Hal lain yang menarik sebagaiman disampaikan di atas adalah bahwa kehamilan, oleh masyarakat dan kemudian ibu hamil sendiri, dianggap sebagai sebuah proses biasa saja. Artinya tidak ada kepentingan yang harus dicermati dengan lebih baik ketika kehamilan terjadi. Padahal, kehamilan adalah proses penting. Karena itulah, biasanya wanita hamil mengabaikan banyak hal-hal penting untuk perawatan kehamilannya. Rendahnya pemeriksaan antenatal (antenatal care) misalnya, bukan hanya berhubungan dengan akses atas sarana pelayanan kesehatan namun juga pada keengganan masyarakat menjadikannya sebagai prioritas. Mereka memiliki alternatif “perawatan” yang menurut mereka lebih bisa melindungi mereka dan kehamilannya. Dari gambaran di atas, maka jelaslah bahwa upaya untuk memcegah persoalan anemia ibu hamil tidak melulu hanya pada
Faktor Sosio-psikologi Masyarakat yang Berhubungan dengan Anemia (11– 18) Fotarisman Zaluchu Universitas Sumatera Utara
persoalan distribusi tabel zat besi seperti selama ini sudah dilakukan oleh instansi kesehatan, namun lebih kepada upaya untuk membongkar berbagai praktek-praktek kesehatan yang tidak berpihak kepada wanita. Maka dengan demikian, penanggungjawab atas kejadian anemia pada ibu hamil adalah mereka yang secara kolektif telah mendisain budaya yang ada, baik tokoh agama dan tokoh masyarakat yang ada di masyarakat. KESIMPULAN DAN SARAN Dapat disimpulkan bahwa kepercayaan dan norma sosial masih sangat mempengaruhi keberadaan iu hamil di lokasi penelitian. Tidak terlindunginya para ibu hamil dari aturan, pantangan atau larangan yang diberikan dan diajarkan oleh lingkungannya menyebabkan ibu hamil cenderung hanya menerima semuanya tanpa memikirkan akibat bagi kesehatannya. Kepercayaan dan norma ini sering tidak diperhatikan dalam berbagai upaya promisi kesehatan. Sementara itu, status ibu hamil umumnya masih merupakan subordinasi dari suami. Mereka kebanyakan tidak merasa berhak atas kebutuhan akan makanan, perawatan kesehatan sampai dengan pemilihan alat KB. Status ini jelas sangat mempengaruhi keberadaan mereka sebagai perempuan yang sedang membutuhkan perhatian, zat makanan dan perlindungan. Secara lebih luas, pengaruh norma dan karakteristik sosial menjadi sangat penting sebagai rujukan kepada ibu hamil, yang biasanya diwariskan secara turun temurun. Disarankan supaya para penentu keputusan kesehatan di daerah sebaiknya mengembangkan konsep kebijakan atau penelitian yang berhubungan dengan perubahan nilai perempuan di masyarakat. Hal ini dapat ditempuh dengan menggunakan pendekatan patron-klien yang banyak ditemukan dan masih berpengaruh di masyarakat kita. Selain itu, kepada petugas kesehatan di daerah untuk meningkatkan peran dalam promosi kesehatan. Promosi kesehatan yang direkomendasikan lebih kepada peningkatan pengetahuan spesifik dari ibu hamil sehingga sejak dari tingkat pengetahuan mereka sudah memiliki dasarnya. Masalah anemia banyak berhubungan dengan sektor lain, antara lain
ekonomi. Maka penyelesaian masalah anemia sebenarnya bisa dikerjakan secara terintegrasi dan menyeluruh. Jika hal ini dilakukan maka satu sama lain akan saling mempengaruhi. DAFTAR PUSTAKA Cunningham, FG, Paul C MacDonald, dan Norman F Gant, 1995. Obstetri Williams Edisi 18. Alih bahasa Joko Suyono dan Andry Hartono, EGC, Jakarta. Depkes RI, 1996. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS-KIA). Depkes RI, Jakarta Depkes RI, 1997. Survei Kesehatan Rumah Tangga Balitbangkes, Jakarta. Depkes RI, 1999. Pedoman Pemberian Tablet Besi - Foist dan Sirup Besi bagi Petugas. Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Gizi Masyarakat, Jakarta. Depkes RI, 2001. Pedoman Pemantauan Wilayah Setempat Kesehatan Ibu dan Anak (PWS - KIA), Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Kesehatan Keluarga, Jakarta. Depkes RI, 2001. Yang Perlu Diketahui Petugas Kesehatan Tentang Kesehatan Reproduksi. Depkes RI, Jakarta. Depkes RI, 2002, Laporan SKRT 2001:Studi Tindak Lanjut Ibu Hamil, Badan Penelitian dan Pengembangan, Jakarta Depkes RI, 2003. Program Penanggulangan Anemia Gizi Pada Wanita Usia Subur (WUS), Direktorat Gizi Masyarakat. Direktorat Jenderat Bina Kesehatan Masyarakat, Jakarta. Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2004, Laporan Program Kerja Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara Tahun 2004, Medan Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, 2004, Profil Kesehatan Propinsi Sumatera Utara, Medan. Foster, GM dan Barbara Gallatin Anderson, 1986. Antropologi Kesehatan, penerjemah Priyanti Pakan Suryadrma dan Meutia F Hatta Swasono (Cetakan 1), UI Press, Jakarta.
Faktor Sosio-psikologi Masyarakat yang Berhubungan dengan Anemia (11–18) 17 Fotarisman Zaluchu Universitas Sumatera Utara
Husini MA, 1989. Study Nutritional Anemias an Assesment of Information Complation for Supporting and Formulating National Policy and Programe, Directorate of Community Nutrition and Center for Nutrition Research and Development Ministry of Health, Jakarta. Notoadmojo, S., 1993, Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku, Jakarta. Paath EF, Yuyum Rumdasih dan Heryati, 2004. Gizi Dalam Kesehatan Reproduksi, EGC, Jakarta.
18
Sarwono, S, 2004. Sosiologi Kesehatan. UGM Press, Jogjakarta. Zaluchu, F., 2005, Metodologi Penelitian Kesehatan, Citapustaka Media. Zaluchu, F., 2006, Modul Pengolahan Data dengan menggunakan EZ-text versi 3,06. Diktat Praktikum, FKM USU, Medan. Zuska, F., dkk, 2002. Penggalangan Kesehatan Maternal di Sipirok, PPK UGM dan Ford Foundation.
Faktor Sosio-psikologi Masyarakat yang Berhubungan dengan Anemia (11– 18) Fotarisman Zaluchu Universitas Sumatera Utara