FAKTOR RISIKO KEJADIAN GANGGUAN PERNAPASAN AKIBAT OZON (O3) UDARA AMBIEN DI KECAMATAN JAGAKARSA TAHUN 2014 Tri Octavianti1*), Sri Tjahyani Budi Utami2 1 2
Mahasiswa Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia Departemen Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia *)
Email :
[email protected]
Abstrak O3 udara ambien berisiko menyebabkan penyakit pernapasan seperti asma, dan PPOK. 300 juta orang dari berbagai usia di dunia memiliki asma. Selanjutnya, 210 juta orang di dunia terkena PPOK37. Di Indonesia, prevalensi asma sebesar 4,5% sedangkan prevalensi PPOK sebesar 3,7%. Di wilayah Jagakarsa, trend rata-rata tahunan konsentrasi O3 udara ambien pada tahun 2011 – 2013 menunjukan angka di atas baku mutu ambien rata-rata tahunan yang tercantum dalam PP Nomor 41 Tahun 1999. Pada tahun tersebut, jumlah kasus penyakit pernapasan di sana cenderung meningkat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui risiko gangguan pernapasan dan pajanan O3 udara ambien. Selain itu, peneliti juga melihat risiko dari faktor-faktor lainnya seperti iklim (suhu ambien dan kelembaban ambien), karakteristik pekerjaan (masa kerja dan lama kerja), serta karakteristik individu (tempat tinggal, jenis kelamin, umur, perilaku merokok, dan riwayat penyakit pernapasan). Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional. Sampel dalam penelitian sebanyak 76 pedagang kaki lima (PKL) dengan teknik quota sampling sedangkan pengukuran O3 udara ambien dilakukan pada dua titik sampling. Rata-rata konsentrasi O3 udara ambien di wilayah Kecamatan Jagakarsa sebesar 217,7 µg/m3. Hasil tersebut melebihi baku mutu udara ambien DKI Jakarta dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001 (200 µg/m3). Hasil bivariat menunjukan gangguan pernapasan dan O3 udara ambien memiliki p value = 0,05 dan OR = 2,9; gangguan pernapasan dan lama kerja memiliki p value = 0,89 dan OR = 1,2; gangguan pernapasan dan jenis kelamin memiliki p value = 0,78 dan OR = 1,3; gangguan pernapasan dan umur memiliki p value = 0,85 dan OR = 1,2; serta gangguan pernapasan dan riwayat penyakit pernapasan memiliki p value = 1,00 dan OR = 1,1. Rata-rata hasil pengukuran konsentrasi O3 udara ambien di wilayah Kecamatan Jagakarsa sebesar 217,7 µg/m3. Konsentrasi tersebut melebihi baku mutu udara ambien DKI Jakarta. O3 udara ambien dapat menyebabkan gangguan pernapasan pada konsentrasi ≥ 150 µg/m3. Maka, konsentrasi O3 udara ambien di wilayah Kecamatan Jagakarsa berisiko menyebabkan gangguan pernapasan terhadap para PKL.
Risk Factors for the Respiratory Disorder Exposed by Ground Level O3 among Street Vendors at Jagakarsa Sub District 2014 Abstract
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
Ground level O3 has potential risk to induce respiratory disorder such as asthma and COPD. 300 millions people all ages worldwide have asthma. Then, 210 millions people worldwide are also affected by COPD37. In Indonesia, asthma prevalence is 4,5% and COPD prevalence is 3,7%. At Jagakarsa Sub District, trend of mean per year of ground level O3 concentration in 2011 – 2013 shows the value that overs the ambient threshold limit value in PP Nomor 41 Tahun 1999. At the same period, amount case of respiratory disorder at Jagakarsa also tends to increase. Determining the risk for the respiratory disorder exposed by ground level O3 also other risk factors such as climate factor (ambient temperature and ambient humidity), occupational characteristic (work duration and work hour), and personal characteristic (house living, sex, age, smoking behaviour, and respiratory disease history). This study uses cross-sectional study among 76 street vendors as sample with quota sampling technique. Hence, ground level O3 is measured in two sampling points. Mean of ground level O3 concentration at Jagakarsa Sub District is 217,7 µg/m3. This value over the ambient TLV of DKI Jakarta based on Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001 (200 µg/m3). Result of bivariate analysis shows between respiratory disorder and ground level O3 have p value = 0,05 and OR = 2,9; respiratory disorder and work hours have p value = 0,89 and OR = 1,2; respiratory disorder and sex have p value = 0,78 and OR = 1,3; respiratory disorder and age have p value = 0,85 and OR = 1,2; respiratory disorder and respiratory disease history have p value = 1,00 and OR = 1,1. Mean of ground level O3 concentration at Jagakarsa Sub District is 217,7 µg/m3 which already over the ambient TLV of DKI Jakarta. Concentration of ground level O3 which can be potential to induce respiratory disorder is ≥ 150 µg/m3. Therefore, concentration of ground level O3 at Jagakarsa Sub District risks to induce respiratory disorder to street vendors. Key words : risk factor; respiratory disorder; ground level O3
Pendahuluan Udara merupakan komponen penting di dalam kehidupan manusia. Manusia memerlukan udara untuk bernapas. Udara yang diperlukan harus udara bersih. Namun, seiring perkembangan zaman, pertambahan penduduk semakin meningkat. Seiring dengan hal tersebut, aktivitas manusia pun meningkat dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup seperti aktivitas industri, mobilisasi kendaraan bermotor, aktivitas pertanian, aktivitas pertambangan, dan lain sebagainya. Berbagai aktivitas manusia tersebut menghasilkan berbagai zat penyebab polusi (polutan) ke udara. Hal ini berdampak pada perubahan kualitas udara ambien. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, udara ambien didefinisikan sebagai udara bebas yang dibutuhkan pada lapisan troposfer bumi serta mempengaruhi kesehatan makhluk hidup termasuk manusia. Zat pencemar di udara ambien dapat berupa gas dan partikel. Contoh polutan yang umumnya berada pada udara ambien yakni CO, SO2, NO2, PM2,5, PM10, O3 udara ambien, dan Pb. Masing-masing polutan dapat menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia pada konsentrasi tertentu33. Polusi yang terjadi pada udara ambien dapat menyebabkan risiko gangguan kesehatan bagi manusia. Risiko tersebut dapat muncul baik akibat konsentrasi rendah maupun sedang dengan efek kesehatan berupa jangka pendek atau jangka panjang14. Dalam penelitian ini, polutan yang menjadi diteliti ialah O3 udara ambien beserta risiko dampak yang ditimbulkan.
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
Di dunia, konsentrasi O3 udara ambien cukup tinggi. Menurut Volz & Kley (1988), konsentrasi O3 udara ambien di kawasan-kawasan padat Eropa pada akhir abad ke-19 mengalami kenaikan dua kali lipat dari 0,01 – 0,015 ppm menjadi 0,02 – 0,03 ppm pada 1980-an26. Setelah tahun 1980, konsentrasi O3 udara ambien di kawasan padat makin meningkat dengan perbedaan kenaikan yang berbeda-beda26. Wilayah Connecticut, Maine, Massachusetts, New Hampsire, Rhode Island, dan Vermont memiliki konsentrasi O3 udara ambien yang melebihi baku mutu31. Trend konsentrasi O3 udara ambien pada beberapa wilayah padat di U.K juga menunjukan kenaikan per tahunnya sebesar 0,014 ppm pada periode 1990 – 2006. Kondisi serupa juga terjadi pada tahun April 1987 – April 2007 di Mace Head, Irlandia dimana trend rata-rata konsentrasi O3 udara ambien per bulan dalam setahun menunjukan data O3 udara ambien mengalami peningkatan26. Tak hanya di kawasan Eropa dan Amerika, konsentrasi O3 udara ambien pada wilayahwilayah padat di Jepang mencapai rata-rata 0,04 ppm – 0,05 ppm selama musim semi hingga musim panas. Konsentrasi O3 udara ambien di Jepang mengalami kenaikan empat hingga lima kali lipat jika dibanding zaman praindustri. Bahkan, pemodelan perkiraan konsentrasi O3 udara ambien pada Mei hingga Agustus 2025 di wilayah Amerika Utara, Eropa, serta Asia Timur termasuk Jepang akan mencapai angka 0,06 ppm. Angka tersebut telah melebihi standar kualitas lingkungan di Jepang1. Menurut laporan Wu & Chan (2001) dan Chen, dkk (2004), di China, trend konsentrasi O3 udara ambien mengalami kenaikan terutama wilayah Taiwan dan Hong Kong selama periode 1990-an hingga awal 20008. Untuk di Indonesia, pengukuran konsentrasi O3 udara ambien secara berkala dilakukan oleh BMKG dan BPLHD. Berdasarkan data pengukuran O3 udara ambien oleh BMKG, rata-rata harian konsentrasi O3 udara ambien di Kototabang, Sumatera Barat, selama tahun 2011 dan 2012 tidak melebihi baku mutu udara ambien sebesar 0,12 ppm. Selain itu, trend rata-rata tahunan konsentrasi O3 udara ambien di Stasiun Kemayoran pada tahun 2011 – 2013 juga menunjukan hasil di bawah baku mutu (BMKG, 2014). Kemudian, BPLHD Provinsi DKI Jakarta juga memiliki 5 stasiun pemantau di Jakarta yakni DKI 1 di Bunderan HI, DKI 2 di Kelapa Gading, DKI 3 di Jagakarsa, DKI 4 di Lubang Buaya, dan DKI 5 di Kebon Jeruk. Dalam penelitian ini, wilayah yang diambil ialah Jagakarsa. Hal ini berdasarkan trend ratarata tahunan konsentrasi O3 udara ambien di wilayah Jagakarsa pada tahun 2011 – 2013
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
menunjukan angka di atas baku mutu ambien rata-rata tahunan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara (Tabel 1)3. Dalam peraturan tersebut, baku mutu untuk 1 tahun sebesar 50 µg/Nm3. Tabel 1. Rata-rata Tahunan Konsentrasi O3 Udara Ambien di Wilayah Jagakarsa Tahun 2011 2012 2013
Konsentrasi O3 Udara ambien (µg/m3) 64,64 71,52 56,22
Sebanyak 7 juta orang meninggal setiap tahunnya akibat pencemaran udara17. WHO juga mengatakan bahwa satu dari delapan orang di dunia meninggal akibat pencemaran udara22. O3 udara ambien dapat menyebabkan penyakit antara lain asma dan PPOK. 300 juta orang dari berbagai usia di dunia memiliki asma. Lalu, 250.000 orang meninggal tiap tahunnya. Berdasarkan matriks DALYs, asma masuk ke dalam 25 penyakit terbanyak pada masyarakat di dunia. Selanjutnya, sebanyak 210 juta orang di dunia terkena PPOK. Pada tahun 2002, PPOK merupakan penyakit ke-5 penyebab kematian di dunia. Berdasarkan matriks DALYs, PPOK masuk ke dalam 10 penyakit terbanyak pada masyarakat di dunia37. Di Indonesia, 60.000 orang meninggal tiap tahunnya akibat pencemaran udara17. Untuk prevalensi penyakit akibat O3 udara ambien, prevalensi asma di tingkat nasional sebesar 4,5%. Prevalensi asma paling tinggi terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah (7,8%), disusul oleh Nusa Tenggara Timur (7,3%), Daerah Istimewa Yogyakarta (6,9%), Sulawesi Selatan (6,7%), dan Kalimantan Selatan (6,4%). Selain asma, prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7%. Provinsi dengan prevalensi PPOK tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur sebesar 10%. Lalu, Sulawesi Tengah sebesar 8% serta Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan sebesar 6,7%. Di Jakarta, 57,8% warganya mengalami penyakit akibat pencemaran udara seperti asma, bronkopneumonia, dan PPOK16. Untuk prevalensi penyakit akibat O3 udara ambien, prevalensi asma di DKI Jakarta berada di peringkat 11 dengan angka sebesar 5,2%. Untuk prevalensi PPOK, DKI Jakarta berada di urutan ke-24 dengan angka sebesar 2,7%15. Untuk masalah gangguan kesehatan terutama saluran pernapasan, data PKM Kecamatan Jagakarsa menunjukan bahwa pada tahun 2011, kejadian gangguan pernapasan sebesar 79 kasus. Pada tahun 2012, kejadian gangguan pernapasan sebesar 74 kasus. Pada tahun 2013, kejadian gangguan pernapasan sebesar 112 kasus.
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
Dengan kondisi tingginya konsentrasi polutan di udara ambien, salah satu kelompok yang memiliki risiko terhadap pajanan adalah kelompok PKL. Sebab, pada umumnya, para PKL lebih banyak beraktivitas di luar ruang. Selain itu, para PKL berdagang tepat di pinggir jalan yang banyak dilalui kendaraan hampir setiap waktu. Berdasarkan hasil pengamatan, wilayah Jagakarsa cukup banyak terdapat PKL yang berdagang di pinggir jalan. Meski jumlah kasus gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien di wilayah Jagakarsa sedikit, namun konsentrasi O3 udara ambien di sana berisiko menyebabkan gangguan pernapasan terhadap masyarakat khususnya para PKL. Dengan demikian, berdasarkan penjelasan-penjelasan sebelumnya, peneliti hendak melakukan penelitian mengenai faktor-faktor risiko gangguan pernapasan akibat pajanan O3 udara ambien pada para PKL di Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Tinjauan Teoritis O3 terdiri dari dua bagian yakni O3 yang berbahaya dan O3 yang tidak berbahaya. Pengelompokan berdasarkan kepada tempat keberadaannya. Pada hakikatnya, O3 merupakan gas tidak berwarna yang berada di atmosfer. O3 terdiri atas tiga atom oksigen. Selanjutnya, O3 yang tidak berbahaya terletak pada stratosfer. Jumlahnya sekitar 90% dari total di atmosfer. O3 pada stratosfer atau yang biasa disebut lapisan O3 terbentuk secara alami. Lapisan O3 memiliki fungsi sebagai pelindung dari bahaya UV. Sebab, sinar UV dapat menyebabkan kulit terbakar, kanker kulit, dan supresi sistem imun pada manusia8. Di sisi lain, O3 yang berbahaya disebut sebagai O3 udara ambien. O3 udara ambien terletak di lapisan troposfer yakni suatu lapisan atmosfer yang jaraknya 10 km – 16 km dari permukaan bumi. Jumlah O3 udara ambien dalam kondisi normal sebesar 10% dari total O3 udara ambien di atmosfer yakni hanya sebesar 0,01 – 0,04 ppm atau 0,08 mg/m3. O3 udara ambien mudah bereaksi dengan zat lain dengan melepaskan satu atom oksigennya12. O3 udara ambien merupakan polutan udara berbahaya bagi kesehatan. O3 udara ambien dapat terbentuk dari proses alami serta proses aktivitas manusia. Secara alami, O3 udara ambien dihasilkan oleh hidrokarbon yang dilepas oleh tanaman dan tanah. Selain itu, O3 udara ambien berasal juga dari O3 yang turun dari stratosfer menuju permukaan bumi35. Di sisi lain, O3 udara ambien juga dapat terbentuk dari reaksi fotokimia para
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
prekursornya seperti NOx, VOCs, CH4, dan CO saat adanya radiasi sinar UV. Para prekursor tersebut dapat berasal dari proses aktivitas manusia. O3 yang terbentuk akibat aktivitas manusia mengandung berbagai polutan di dalam reaksi pembentukannya. Polutan hasil pembakaran bahan bakar fosil (HC dan NOx) menjadi pemeran utama dalam terjadinya pembentukan O3 udara ambien. Selain itu, O3 yang dihasilkan dari aktivitas manusia bersifat stress oksidatif. Dengan demikian, O3 tersebut membahayakan kesehatan manusia. Adapun efek yang ditimbulkan oleh O3 udara ambien ialah menyebabkan kesulitan mengambil napas secara dalam dan kuat, menyebabkan napas menjadi pendek dan sakit pada saat mengambil napas secara dalam, menyebabkan batuk serta gatal atau sakit pada tenggorokan, serta menyebabkan asma bagi para penderita asma menjadi sering kambuh. Jika pajanan O3 udara ambien terus berlanjut dan seseorang terus menghirupnya, maka seseorang tersebut dapat menjadi mengalami inflamasi pada saluran napas serta menjadi lebih rentan terhadap penyakit infeksi pernapasan30.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional. Penelitian ini menggunakan data primer berupa konsentrasi O3 udara ambien, faktor iklim, gangguan pernapasan, karakteristik pekerjaan, serta karakteristik individu. Konsentrasi O3 udara ambien diukur dengan menggunakan air sampling pump LaMotte dan dianalisis dengan menggunakan ozone analyzer Horiba APOA A370 milik BPLHD Provinsi DKI Jakarta. Faktor iklim berupa suhu ambien
dan
kelembaban
ambien
diukur
secara
langsung
dengan
menggunakan
thermohygrometer milik BPLHD Provinsi DKI Jakarta. Data gangguan kesehatan didapat melalui pemeriksaan dokter. Karakteristik pekerjaan serta karakteristik individu diukur melalui wawancara menggunakan kuesioner. Masing-masing variabel yang diukur kemudian akan dianalisis secara univariat untuk diketahui distribusi dari masing-masing variabel tersebut. Selain itu juga, peneliti akan melakukan analisis secara bivariat untuk mengetahui besaran risiko (OR) antara variabel independen dan variabel dependen. Pada penelitian kali ini, populasinya adalah para PKL. Akan tetapi, berdasarkan keterangan pihak Kecamatan Jagakarsa, jumlah dari PKL di wilayah kerjanya tidak tersedia. Maka, dalam perhitungan sampel, peneliti menggunakan perhitungan rumus estimasi proporsi Lemeshow
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
dimana peneliti menghitung sampel dari prevalensi asma di DKI Jakarta menurut Riskesdas (2013). Rumus yang digunakan yakni sebagai berikut19,23.
!=
! !!!!/! ! (1 − !) !!
n
= jumlah sampel
Z1-α/2
= 1,96 pada confident interval 95%
P
= prevalensi asma DKI Jakarta tahun 2013 (5,2%)
d
= presisi mutlak (5%)
Ketidaktersediaan proporsi gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien pada penelitian sebelumnya, maka peneliti menggunakan data prevalensi asma DKI Jakarta dalam perhitungan sampel. Berdasarkan rumus di atas, peneliti mendapatkan hasil perhitungan sampel sebanyak 76 orang. Untuk pengambilan sampel, peneliti menggunakan teknik quota sampling. Maka dari itu, peneliti mengambil jumlah sampel sesuai dengan hasil perhitungan rumus yakni 76 orang. Adapun kriteria inklusi sampel dari penelitian ini ialah PKL bukan berusia anak-anak (> 11 tahun), tempat usaha berada di Kecamatan Jagakarsa, tempat usaha bukan merupakan tempat yang sepenuhnya tertutup, tempat usaha bukan terletak dalam satu area tempat tinggal, PKL berada di tempat usaha antara pukul 10.00 – 14.00 WIB, PKL telah berdagang minimal 2 tahun di sekitar Kecamatan Jagakarsa, tidak tinggal serumah dengan penderita penyakit paru, dan bersedia diwawancara oleh enumerator dan diperiksa oleh dokter.
Hasil Penelitian Uji Kenormalan Data. Berdasarkan hasil uji kenormalan data, variabel independen yang memiliki distribusi normal ialah konsentrasi O3 udara ambien, suhu ambien, kelembaban ambien, dan umur. Variabel yang berdistribusi normal tersebut dikategorikan berdasarkan nilai rata-rata. Variabel independen berupa masa kerja dan lama kerja memiliki distribusi tidak normal sehingga variabel tersebut dikategorikan berdasarkan nilai tengah. Faktor Lingkungan dan Gangguan Pernapasan. Hasil analisis antara O3 udara ambien dan gangguan pernapasan menunjukan nilai p = 0,05 dan nilai OR 3,0 (95% CI = 1,1 – 7,9).
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
Artinya, ada hubungan signifikan antara O3 udara ambien dan gangguan pernapasan dimana PKL yang berjualan di lokasi konsentrasi O3 udara ambien yang berisiko memiliki risiko 3,0 kali lebih besar terkena gangguan pernapasan dibandingkan PKL yang berjualan di lokasi konsentrasi O3 udara ambien yang tidak berisiko (Tabel 2). Tabel 2. Distribusi Frekuensi Gangguan Pernapasan Menurut Konsentrasi O3 Udara Ambien Konsentrasi O3 Udara Ambien (µg/m3) Berisiko Tidak berisiko Total
Gangguan Pernapasan Ya Tidak N % N % 19 48,7 20 51,3 9 24,3 28 75,7 28 36,8 48 63,2
Total N 39 37 76
% 100 100 100
OR
95% CI
p value
3,0
1,1 – 7,9
0,05
Faktor Iklim dan Gangguan Pernapasan. Hasil analisis antara suhu ambien dan gangguan pernapasan menunjukan nilai p = 0,05. Artinya, ada hubungan signifikan antara suhu ambien dan gangguan pernapasan (Tabel 3). Hasil analisis antara kelembaban ambien dan gangguan pernapasan menunjukan nilai p = 0,05. Artinya, ada hubungan signifikan antara kelembaban ambien dan gangguan pernapasan (Tabel 3). Tabel 3. Distribusi Frekuensi Gangguan Pernapasan Menurut Faktor Iklim
Variabel Suhu Ambien > 46,02 ≤ 46,02 Kelembaban Ambien > 26,64 ≤ 26,64
Gangguan Pernapasan Ya Tidak N % N %
N
%
9 19
24,3 48,7
28 20
75,7 51,3
39 37
9 19
24,3 48,7
28 20
75,7 51,3
37 39
Total
OR
95% CI
p value
100 100
0,3
0,1 – 0,9
0,05
100 100
0,3
0,1 – 0,9
0,05
Faktor Karakteristik Pekerjaan dan Gangguan Pernapasan. Hasil analisis hubungan antara masa kerja dan gangguan pernapasan menunjukan nilai p = 0,60. Artinya, tidak ada hubungan yang tidak signifikan antara masa kerja dan gangguan pernapasan (Tabel 4). Hasil analisis hubungan antara lama kerja dan gangguan pernapasan menunjukan nilai p = 0,89 dan OR = 1,2. Artinya, tidak ada hubungan yang tidak signifikan antara lama kerja dan gangguan pernapasan. PKL yang bekerja ≥ 10 jam per hari mempunyai peluang 1,2 kali terkena gangguan pernapasan dibanding PKL yang bekerja < 10 jam per hari (Tabel 4). Tabel 4. Distribusi Frekuensi Gangguan Pernapasan Menurut Faktor Karakteristik Pekerjaan
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
Variabel Masa Kerja (Tahun) ≥5 <5 Lama Kerja (Jam) ≥ 10 < 10
Gangguan Pernapasan Ya Tidak N % N %
N
%
15 13
33,3 41,9
30 18
66,7 58,1
45 31
17 11
38,6 34,4
27 21
61,4 65,6
44 32
Total
OR
95% CI
p value
100 100
0,7
0,3 – 1,8
0,60
100 100
1,2
0,5 – 3,1
0,89
Faktor Karakteristik Individu dan Gangguan Pernapasan. Hasil analisis hubungan antara tempat tinggal dan gangguan pernapasan menunjukan nilai p = 0,76. Artinya, tidak ada hubungan signifikan antara tempat tinggal dan gangguan pernapasan (Tabel 5). Hasil analisis hubungan antara jenis kelamin dan gangguan pernapasan menunjukan nilai p = 0,78 dan OR = 1,3. Artinya, tidak ada hubungan signifikan antara jenis kelamin dan gangguan pernapasan. PKL yang berjenis kelamin wanita mempunyai peluang 1,3 kali terkena gangguan pernapasan dibanding PKL yang berjenis kelamin pria (Tabel 5). Hasil analisis hubungan antara umur dan gangguan pernapasan menunjukan nilai p = 0,85 dan OR = 1,2. Artinya, tidak ada hubungan signifikan antara umur dan gangguan pernapasan. PKL yang berumur ≥ 38 tahun mempunyai peluang 1,2 kali terkena gangguan pernapasan dibanding PKL yang berumur < 38 tahun (Tabel 5). Hasil analisis hubungan antara perilaku merokok dan gangguan pernapasan menunjukan nilai p = 0,97. Artinya, tidak ada hubungan signifikan antara perilaku merokok dan gangguan pernapasan (Tabel 5). Hasil analisis hubungan antara riwayat penyakit pernapasan dan gangguan pernapasan menunjukan nilai p = 1,00 dan OR = 1,1. Artinya, tidak ada hubungan signifikan antara riwayat penyakit pernapasan dan gangguan pernapasan. PKL yang ada riwayat penyakit pernapasan mempunyai peluang 1,1 kali terkena gangguan pernapasan dibanding PKL yang tidak ada riwayat penyakit pernapasan (Tabel 5). Tabel 5. Distribusi Frekuensi Gangguan Pernapasan Menurut Faktor Karakteristik Individu
Variabel Tempat Tinggal Berisiko Tidak berisiko Jenis Kelamin Wanita Pria Umur ≥ 38 < 38 Perilaku Merokok
Gangguan Pernapasan Ya Tidak N % N %
N
%
23 5
35,4 45,5
42 6
64,6 54,5
65 11
8 20
42,1 35,1
11 37
57,9 64,9
16 12
39,0 34,3
25 23
61,0 65,7
Total
OR
95% CI
p value
100 100
0,7
0,2 – 2,4
0,76
19 57
100 100
1,3
0,5 – 3,9
0,78
41 35
100 100
1,2
0,5 – 3,1
0,85
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
Ya Tidak Riwayat Penyakit Pernapasan Ada Tidak ada
16 12
35,6 38,7
29 19
64,4 61,3
31 45
100 100
0,9
0,3 – 2,3
0,97
5 23
38,5 36,5
8 40
61,5 63,5
63 13
100 100
1,1
0,3 – 3,7
1,00
Pembahasan Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi gangguan pernapasan pada kelompok dengan konsentrasi O3 udara ambien yang berisiko (> 217,7 µg/m3) sebesar 48,7% sedangkan pada kelompok konsentrasi O3 udara ambien yang tidak berisiko (≤ 217,7 µg/m3) sebesar 24,3%. Risiko gangguan pernapasan yang dihasilkan akibat O3 udara ambien di wilayah Jagakarsa tinggi (OR = 3,0). Hal ini dapat terjadi karena hasil pengukuran rata-rata O3 udara ambien di kedua titik sampling menunjukan hasil melebihi baku mutu udara ambien DKI Jakarta menurut Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 551 Tahun 2001. Kemudian, hasil tersebut hampir mendekati baku mutu udara ambien nasional menurut PP Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Faktor yang mempengaruhi tingginya konsentrasi O3 udara ambien di wilayah Jagakarsa ialah emisi kendaraan dari wilayah sekitarnya. Sebab, pada wilayah Jagakarsa tidak terdapat industri besar, melainkan hanya industri kecil dan industri rumah tangga. O3 udara ambien yang dihasilkan di wilayah Jagakarsa bukan sepenuhnya berasal dari emisi kendaraan di wilayah ini. Sebab, jam padat kendaraan di wilayah Jagakarsa hanya pada waktu tertentu saja seperti pagi dan sore hari. Selain itu, sebagian wilayah Jagakarsa juga masih banyak terdapat vegetasi sehingga wilayahnya cukup asri. Letak wilayah Jagakarsa yang merupakan wilayah pinggir kota di Jakarta Selatan. Pusat kota yang ramai lalu lintas di sekitar Jagakarsa seperti TB. Simatupang, Mampang Prapatan, Tanjung Barat, dan Lenteng Agung. Konsentrasi O3 udara ambien lebih tinggi terjadi pada wilayah pinggiran kota dibandingkan wilayah pusat kota. Sebab, pusat kota yang ramai arus lalu lintas memiliki konsentrasi NO (prekursor O3 udara ambien) yang lebih tinggi. NO memiliki sifat yang dapat mendeplesikan O3 udara ambien8,14. Kemudian, ada pula faktor angin yang membawa konsentrasi O3 udara ambien menuju ke pinggir kota. Arah angin berperan menentukan sebaran polutan secara horizontal di atmosfer2. Hal itu dapat saja terjadi mengingat O3 udara ambien memiliki jangkauan persebaran yang jauh sekitar ratusan bahkan ribuan kilometer8.
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi gangguan pernapasan di wilayah bersuhu ≤ 46,02 oC (Jl. Melati) sebesar 48,7% sedangkan di wilayah bersuhu > 46,02 oC (Jl.Palem) sebesar 24,3%. Dalam penelitian ini, secara statistik, ada hubungan signifikan antara suhu dengan kejadian gangguan pernapasan pada para PKL di wilayah Jagakarsa. Untuk hasil pengukuran suhu, sebenarnya tidak ada perbedaan signifikan antara suhu di kedua lokasi. Perbedaannya hanya sebesar 0,06 oC sehingga dapat dikatakan bahwa suhu di kedua lokasi sebenarnya hampir sama. Jika dilihat dari nilai OR, suhu merupakan faktor protektor terhadap gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien. Berdasarkan hasil pengamatan, hal ini dapat disebabkan oleh adanya faktor penyebab lain yang membuat suhu menjadi faktor protektor terhadap gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien. Faktor tersebut ialah keberadaan vegetasi dan badan air. Apabila ditinjau berdasarkan proporsi gangguan pernapasan, wilayah cakupan titik sampling di Jl. Melati memiliki proporsi gangguan pernapasan yang lebih besar. Hal tersebut dapat terjadi karena wilayah cakupan titik sampling Jl. Melati memiliki vegetasi yang lebih sedikit dibanding wilayah cakupan titik sampling Jl. Palem. Kondisi wilayah cakupan sampling Jl.Palem terdiri dari banyak pohon rindang dan juga terdapat sungai di sepanjang jalan. Pepohonan yang rindang dapat membantu dalam mengurangi jumlah O3 udara ambien akibat adanya reaksi fase gas, uptake pada daun stomata, dan adanya antioksidan berupa volatile isoprenoids9. Selain itu, vegetasi juga mempengaruhi ikliim mikro wilayah tersebut. Sama seperti vegetasi, sungai berperan juga dalam mempengaruhi iklim mikro yang mencakup radiasi sinar matahari, suhu, kelembaban, tekanan udara, kecepatan angin, dan arah angin. Kondisi iklim mikro menjadi lebih baik pada wilayah yang bervegetasi lebih banyak25. Iklim mikro (dalam hal ini suhu) yang baik membawa dampak baik terhadap pernapasan. Namun, suhu tinggi mempengaruhi PAN sebagai reservoir penting bagi spesies hidrogen berupa hidroksi radikal dan hidroperoksi radikal yang dibutuhkan dalam pembentukan O3 udara ambien. PAN akan bersifat menjadi tidak stabil sehingga melepaskan spesies hidrogen untuk terlibat di dalam reaksi pembentukan O3 udara ambien27. Dengan demikian, secara teori memang suhu memiliki hubungan dengan konsentrasi O3 udara ambien. Namun, dalam penelitian ini, akibat kondisi di sebagian lokasi penelitian memiliki vegetasi yang cukup baik dan terdapat sungai, maka dapat mendapat mempengaruhi suhu ambien sehingga juga mempengaruhi konsentrasi O3 udara ambien di sekitarnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi gangguan pernapasan pada wilayah dengan kelembaban ambien ≤ 26,64% di titik Jl. Melati sebesar 48,7% sedangkan pada wilayah dengan kelembaban ambien > 26,64% di titik Jl.Palem sebesar 24,3%. Dalam penelitian ini,
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
secara statistik, ada hubungan signifikan antara kelembaban ambien dengan kejadian gangguan pernapasan pada para PKL di wilayah Jagakarsa. Namun, jika dilihat dari OR, kelembaban ambien merupakan faktor protektor terhadap gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien. Berdasarkan hasil pengamatan, hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya vegetasi dan badan air. Pepohonan yang rindang serta adanya sungai mempengaruhi iklim mikro wilayah tersebut dalam hal ini kelembaban ambien. Pepohonan meningkatkan kelembaban relatif sehingga kadar uap air yang berada pada udara di lingkungan tersebut meningkat. Hal ini menyebabkan konsentrasi prekursor O3 udara ambien yang larut dalam air seperti NO2 mengalami penurunan. NO2 akan terurai menjadi NO dan O saat ada sinar matahari. O yang terlepas akan berikatan dengan O2 membentuk O3 udara ambien. Jika NO2 menurun, maka konsentrasi O3 udara ambien yang terbentuk di sana menjadi lebih sedikit. Dengan demikian, secara teori memang kelembaban memiliki hubungan dengan konsentrasi O3 udara ambien. Namun, dalam penelitian ini, akibat kondisi di sebagian lokasi penelitian memiliki vegetasi yang cukup baik dan terdapat sungai, maka dapat mendapat mempengaruhi kelembaban ambien sehingga juga mempengaruhi konsentrasi O3 udara ambien di sekitarnya. Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi gangguan pernapasan pada PKL yang sudah bekerja < 5 tahun sebesar 41,9% sedangkan pada PKL yang bekerja ≥ 5 tahun sebesar 33,3%. Dalam penelitan ini, secara statistik, tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dan gangguan pernapasan. Kemudian, jika dilihat dari nilai OR, masa kerja merupakan faktor protektor terhadap gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien. Hal tersebut dapat terjadi karena sebenarnya ada faktor lain yang mempengaruhi efek O3 udara ambien berdasarkan masa kerja para PKL di Kecamatan Jagakarsa yakni frekuensi pajanan. Berdasarkan hasil wawancara, tidak semua PKL selalu bekerja setiap hari sepanjang tahun, mengingat para PKL ini merupakan pekerja lepas yang tidak terikat dengan jam kerja. Ada beberapa kesempatan saat mereka tidak bekerja karena alasan tertentu seperti sakit, ada keperluan, pulang kampung, dan lain sebagainya. Hal ini berkaitan dengan frekuensi kontak dengan pajanan O3 udara ambien. Semakin sering orang terpajan, maka semakin besar risiko akibat pajanan tersebut. Sebab, faktor yang mempengaruhi efek kesehatan akibat suatu pajanan ialah durasi, frekuensi, dan konsentrasi pajanan30. Dengan demikian, dalam penelitian ini, ketidakberhubungan serta faktor protektor pada variabel masa kerja dikarenakan adanya frekuensi pajanan O3 udara ambien yang tidak tetap sehingga dapat mempengaruhi outcome pada para PKL. Selanjutnya, apabila ditinjau berdasarkan proporsi gangguan pernapasan, kelompok yang bekerja < 5 tahun memiliki proporsi yang lebih tinggi. Gangguan pernapasan berupa penurunan fungsi paru
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
dapat terjadi apabila seseorang terpajan oleh O3 udara ambien dengan konsentrasi O3 udara ambien sebesar 240 – 360 µg/m3 secara terus-menerus selama lima tahun36. Akan tetapi, kondisi di Jagakarsa menunjukan tingginya konsentrasi O3 udara ambien dilihat dari kecenderungan trendnya. Maka, efek gangguan pernapasan memiliki potensi lebih cepat terjadi. Selain itu, berdasarkan hasil kuesioner, dari semua PKL yang mengalami gangguan pernapasan pada kelompok < 5 tahun, sebanyak 7 (53,85%) PKL merupakan perokok aktif sedangkan sisanya perokok pasif. Dengan demikian, gangguan pernapasan yang muncul pada kelompok tersebut dapat terjadi namun bukan semata-mata karena O3 udara ambien. Akan tetapi, gangguan pernapasan pada kelompok tersebut juga disebabkan oleh paparan asap rokok. Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi gangguan pernapasan pada PKL yang bekerja ≥ 10 jam per hari sebesar 38,6% sedangkan PKL yang bekerja < 10 jam per hari sebesar 34,4%. Dalam penelitian ini, secara statistik, tidak ada hubungan yang signifikan antara lama kerja dan gangguan pernapasan. Namun, lama kerja memiliki risiko terhadap gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien (OR = 1,202). Risiko tersebut didapatkan dari banyaknya PKL yang berdagang ≥ 10 jam per hari yakni sebanyak 17 (38,6%) PKL. Faktor lainnya yang menyebabkan lama kerja memiliki risiko terhadap gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien ialah penggunaan masker. Berdasarkan hasil pengamatan, seluruh PKL tidak menggunakan masker sebagai alat pelindung diri selama bekerja. Penggunaan alat pelindung pernapasan secara benar memiliki fungsi untuk mereduksi pajanan yang masuk ke organ pernapasan melalui jalur inhalasi24. Di sisi lain, gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien menjadi tidak berhubungan dengan lama kerja pada kelompok berisiko yakni PKL yang berdagang ≥ 10 jam per hari karena adanya pengaruh faktor lain. Faktor tersebut adalah penggunaan peneduh pada atap lapak. Apabila ditinjau dari proporsi gangguan pernapasan, kelompok PKL yang bekerja ≥ 10 jam per hari lebih banyak yang tidak memiliki gangguan pernapasan. Data dari kuesioner menunjukan dari 27 PKL yang bekerja ≥ 10 jam per hari namun tidak mengalami gangguan pernapasan, 22 (81,48%) PKL diantaranya menggunakan peneduh sedangkan sisanya (18,52%) tidak menggunakan peneduh. PKL yang tidak menggunakan peneduh akan langsung terpapar oleh sinar matahari selama bekerja dari pagi hingga sore. Terlebih lagi, rata-rata PKL bekerja memang pada saat konsentrasi O3 udara ambien maksimal yakni pukul 10 pagi sampai 2 siang28. Berapa lama pun seseorang bekerja di luar ruang tapi tidak secara langsung terpapar oleh sinar matahari, maka hal itu dapat mengurangi dampak gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien. Sebab, paparan langsung
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
radiasi sinar UV dapat mempengaruhi sistem imun manusia5. Pengaruh dari penurunan imunitas pada tubuh membuat seseorang menjadi rentan terhadap penyakit. Ditambah lagi, orang tersebut terpapar oleh berbagai polutan yang dapat mengganggu kesehatan. Oleh sebab itu, kelompok orang yang terpapar secara langsung oleh sinar UV dalam waktu lama memiliki risiko terkena gangguan pernapasan yang lebih besar. Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi gangguan pernapasan pada PKL yang bertempat tinggal di wilayah tidak berisiko sebesar 45,5% sedangkan pada PKL yang bertempat tinggal di wilayah berisiko 35,4%. Dalam penelitian ini, secara statistik, tidak ada hubungan yang signifikan antara tempat tinggal dan gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien. Kemudian, jika ditinjau dari OR, tempat tinggal merupakan faktor protektor terhadap gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien. Hal ini dapat dikarenakan pada wilayah berisiko (Jagakarsa), sebagian wilayahnya memiliki vegetasi yang cukup banyak dan terdapat sebuah sungai. Kondisi demikian mempengaruhi suhu ambien dan kelembaban ambien sehingga dapat mempengaruhi konsentrasi O3 udara ambien di sana. Selain itu, mayoritas PKL berdagang ≥ 10 jam per harinya. Artinya, mereka menghabiskan siang di lokasi berdagang sedangkan hanya pada malam hari berada di rumah. Maka, saat di rumah, mereka terpapar O3 udara ambien dengan konsentrasi rendah. Sebenarnya, pergerakan O3 udara ambien bersifat long range transport atau regional transport yang memiliki persebaran hingga ratusan kilometer8. Namun, dalam penelitian ini, tingginya gangguan pernapasan pada wilayah yang justru tidak berisiko dapat disebabkan oleh kondisi lingkungan di sana yang mungkin memiliki bahaya lainnnya yang berisiko terhadap kesehatan pernapasan kelompok PKL yang ada di sana. Penyebab lain yang memiliki potensi dapat menimbulkan gangguan pernapasan pada kelompok PKL yang tinggal di wilayah tidak berisiko adalah faktor jarak antara tempat tinggal dan tempat berdagang yang jauh. Maka, para PKL yang tidak tinggal di wilayah Jagakarsa tapi mengalami gangguan pernapasan kemungkinan disebabkan oleh penyebab lain di lingkungan tempat tinggalnya. Aktivitas berdagang dilakukan selama bertahun-tahun dengan kondisi tempat tinggal yang jauh. Mayoritas PKL berdagang selama ≥ 5 tahun dan berdagang selama ≥ 10 jam per hari. Berdasarkan hasil wawancara, biasanya PKL menuju lokasi dagang dengan menggunakan sepeda motor atau kendaraan umum. Rutinitas ini terjadi selama bertahun-tahun. Mereka terpapar oleh angin malam selama mengendarai motor dan mereka lebih lelah dibandingkan PKL yang bertempat tinggal di wilayah Jagakarsa. Pada malam hari, kelembaban di udara meningkat seiring dengan turunnya suhu. Kandungan uap air di udara pun menjadi lebih banyak. Saat seseorang berkendara dengan
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
sepeda motor pada malam hari dalam intensitas yang tinggi, ia terpapar oleh angin yang banyak mengandung uap air. Sebagian orang memiliki kerentanan pada pernapasannya terutama pada orang-orang yang memilki gejala PPOK akibat paparan kelembaban yang tinggi serta angin yang kencang11. Dengan demikian, gangguan pernapasan terjadi bukan karena pajanan O3 udara ambien di Jagakarsa. Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi gangguan pernapasan pada wanita sebesar 42,1% sedangkan pada pria sebesar 35,1%. Secara statistik, tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dan gangguan pernapasan. Hasil yang tidak berhubungan dapat disebabkan oleh jumlah sampel berjenis kelamin wanita yang didapat terlalu sedikit dibandingkan pria. Namun, jenis kelamin memiliki risiko untuk menimbulkan gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien (OR = 1,3). Wanita memang lebih banyak mengabsorpsi O3 udara ambien dibanding pria8. O3 udara ambien merupakan gas yang larut dalam lemak karena daya larutnya di dalam air rendah. Wanita lebih banyak memiliki lemak pada bagian toraks dan abdomen sedangkan pria lebih banyak memiliki otot6. Dengan demikian, konsentrasi O3 udara ambien yang terabsorpsi pada wanita lebih banyak dibanding pria. Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi gangguan pernapasan pada kelompok PKL yang berumur ≥ 38 tahun sebesar 39% sedangkan pada kelompok PKL yang berumur < 38 tahun sebesar 34,3%. Dalam penelitian ini, secara statistik, tidak ada hubungan yang signifikan antara umur dan gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien. Hasil yang tidak berhubungan dapat terjadi karena data pada variabel ini bersifat homogen (variasi rendah). Hal ini terlihat dari proporsi gangguan pernapasan antara kedua kelompok umur tidak jauh berbeda. Selain itu, jika ditinjau dari proporsi gangguan pernapasan, kelompok ≥ 38 tahun memiliki proporsi gangguan pernapasan yang lebih besar. Hal ini memang karena umur merupakan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi. Seiring pertambahan umur, kondisi fisik seseorang akan mengalami penurunan begitu pula dengan kemampuan fungsi pernapasan. Kemampuan fungsi pernapasan tersebut dapat dilihat dari kapasitas paru. Penurunan kapasitas paru seseorang mulai terjadi pada usia 30 tahun dan seterusnya. Rata-rata kapasitas paru seseorang yang berumur di atas 30 tahun sebesar 3000 – 3500 mililiter (ml). Namun, bagi seseorang di atas 50 tahun, kapasitas paru mengalami penurunan yakni hanya menjadi < 3000 ml4. Selain itu, elastisitas dinding pernapasan, elastisitas paru, dan kekuatan otot pernapasan akan mengalami penurunan seiring bertambahnya umur13. Dengan demikian, dalam hal ini, penyebab gangguan pernapasan bukan hanya karena O3 udara ambien tapi juga karena faktor alamiah.
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
Maka, umur sebenarnya memiliki risiko untuk menimbulkan gangguan pernapasan (OR = 1,3). Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi gangguan pernapasan pada kelompok bukan perokok sebesar 38,7% sedangkan pada kelompok perokok sebesar 35,6%. Secara statistik, tidak ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dan gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien. Kemudian, jika ditinjau dari OR, perilaku merokok merupakan faktor protektor gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien. Namun, hal ini terjadi karena data pada variabel ini bersifat homogen (variasi rendah). Secara teori, rokok justru menyebabkan gangguan pernapasan. Rokok dapat menyebabkan kelumpuhan bahkan kematian pada sel silia. Sel silia berguna untuk menghilangkan mukosa. Apabila sel silia mati, maka batuk dengan intensitas sering dapat terjadi. Pada perokok, batuk terjadi umumnya pada pagi hari karena mukus telah terakumulasi selama tidur di malam hari20. Selain itu, berdasarkan pengamatan, para PKL yang tidak merokok tergolong ke dalam perokok pasif. Sebab, sebagian besar orang-orang di lingkungan sekitarnya merupakan perokok aktif. Perokok pasif memiliki risiko gangguan pernapasan akibat paparan asap rokok dari perokok aktif. Asap yang dihasilkan dari pembakaran rokok serta gas yang berdifusi melalui kertas pembungkus rokok terlepas ke lingkungan. Pelepasan tersebut dapat mengalami modifikasi di udara sebelum terhirup tanpa sengaja. Proses modifikasi menghasilkan penguapan nikotin sehingga fase nikotin yang diterima oleh perokok pasif dan perokok aktif berbeda. Perokok aktif menerima nikotin dalam bentuk partikel sedangkan perokok pasif menerimanya dalam bentuk uap. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan pola pernapasan keduanya. Pola pernapasan perokok pasif cenderung menarik napas dengan menggunakan pernapasan tidal (pernapasan biasa) secara terus-menerus. Namun, pola pernapasan perokok aktif cenderung pendek, sering, serta biasanya berhenti sejenak beberapa kali pada akhir menarik napas. Pola tersebut mempengaruhi deposisi partikel serta difusi dan absorpsi gas dari asap rokok yang masuk ke dalam tubuh34. Hasil penelitian menunjukan bahwa proporsi gangguan pernapasan pada kelompok dengan riwayat penyakit pernapasan sebesar 38,5% sedangkan pada kelompok tanpa riwayat penyakit pernapasan sebesar 36,5%. Dalam penelitian ini, secara statistik, tidak ada hubungan yang signifikan antara riwayat penyakit pernapasan dan gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien. Hasil yang tidak berhubungan disebabkan oleh data pada variabel ini bersifat homogen (variasi rendah). Namun, riwayat penyakit pernapasan memiliki risiko untuk
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
menimbulkan gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien (OR = 1,1). Hal ini dikarenakan faktor riwayat penyakit pernapasan merupakan faktor pemungkin terjadinya gangguan pernapasan37. Riwayat penyakit pernapasan dapat memperburuk gejala penyakit pernapasan yang timbul21. Ditambah lagi, konsentrasi O3 udara ambien di Jagakarsa melebihi baku mutu udara ambien. Maka, hal tersebut berisiko menimbulkan gangguan pernapasan. Riwayat penyakit pernapasan juga dapat memperburuk gejala pernapasan yang timbul. Dengan demikian, gangguan kesehatan yang terjadi dalam penelitian ini dapat disebabkan pula oleh keberadaan riwayat penyakit pernapasan selain O3 udara ambien.
Kesimpulan Konsentrasi O3 udara ambien di wilayah Kecamatan Jagakarsa yang melebihi baku mutu udara ambien DKI Jakarta memiliki risiko terhadap gangguan pernapasan. Selain itu, risiko gangguan pernapasan akibat O3 udara ambien juga dipengaruhi oleh faktor lain seperti lama kerja, jenis kelamin, umur, dan riwayat penyakit pernapasan.
Saran BPLHD Provinsi DKI Jakarta dapat memberikan peringatan maksimal tiga kali bagi pengendara jika melanggar standard uji KIR untuk kendaraannya. Jika tetap melanggar setelah peringatan maksimal, maka diberikan sanksi tidak boleh jalan. Pihak Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Selatan dapat memberikan wewenang kepada pihak PKM Kecamatan Jagakarsa untuk melakukan pengecekan kesehatan para PKL secara berkala, mengadakan program penyuluhan kesehatan mengenai APD (penggunaan peneduh seperti terpal atau payung serta penggunaan masker saat berdagang dan jaket saat mengendarai motor) bagi para PKL. Pihak Suku Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan Kota Administrasi Jakarta Selatan berkoordinasi dengan Suku Dinas Kesehatan Jakarta Selatan untuk melakukan pembinaan terhadap para PKL terkait upaya pencegahan gangguan pernapasan khususnya akibat O3 udara ambien dan untuk melakukan monitoring kesehatan dan keselamatan para PKL secara berkala. Pihak Suku Dinas Pertamanan Kota Administrasi Jakarta Selatan sebaiknya mempertahankan ruang hijau di Kecamatan Jagakarsa guna mempertahankan kelembaban dan suhu ambien pada kondisi normal serta membantu
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
penurunan emisi gas kendaraan bermotor serta menggalakan kembali program penghijauan pada lokasi-lokasi yang kurang terdapat vegetasi. Pihak PKM Kecamatan Jagakarsa dapat melakukan promosi kesehatan kerja ke para PKL terkait APD serta melakukan surveilans gangguan pernapasan akibat pajanan O3 udara ambien khusus di para PKL. Pihak PKL sebaiknya menerapkan pola hidup sehat seperti aktif berolahraga serta mengkonsumsi makanan dan minuman bergizi, menggunakan masker saat bekerja, memeriksakan diri ke PKM secara berkala, serta menggunakan peneduh atap seperti terpal atau payung selama bekerja.
Daftar Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
Acid Deposition and Oxidant Research Center. (2006). Tropospheric Ozone : A Growing Threat. Niigata: Acid Deposition and Oxidant Research Center. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. (2012). Buku Informasi Perubahan Iklim dan Kualitas Udara di Indonesia. Jakarta. BPLHD Provinsi DKI Jakarta. (2014). Laporan Konsentrasi Rata-rata Tahunan Ozon Permukaan Wilayah Jagakarsa. Jakarta: BPLHD DKI Jakarta. Budiono, I. (2007, Mei 26). Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengecatan Mobil. Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Centers for Disease Control and Prevention. (2010, November 29). Retrieved Juni 2, 2014, from CDC Web Site: http://www.cdc.gov/climateandhealth/effects/cancer.htm Cotes, J., Chinn, D., & Miller, M. (2006). Lung Function: Physiology, Measurement and Application in Medicine Sixth Edition. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Dinas Komunikasi, Informatika, dan Kehumasan DKI Jakarta. (2013). Retrieved March 24, 2014, from Jakarta Web Site: http://www.jakarta.go.id/v2/news/2013/10/jumlah-pkldi-jakarta-akan-didata#.UzA_woU-Rdc Europe World Health Organization. (2008). Health Risks of Ozone From Long-Range Transboundary Air Pollution. Copenhagen: WHO Regional Office for Europe. Fares, S., Goldstein, A., & Loreto, F. (2010). Determinants of ozone fluxes and metrics for ozone risk assessment in plants. Journal of Experimental Botany , 629–633. Frumkin, H. (2010). Environmental Health : From Global to Local. San Francisco: John Wiley & Sons, Inc. Haines, C., & McCoy, K. (2014). Retrieved Juni 17, 2014, from Everyday Health Media Web Site: http://www.everydayhealth.com/copd/weather-can-affect-copd.aspx Hodgson, E. (2004). A Textbook of Modern Toxicology : Third Edition. Canada: A John Wiley & Sons, Inc. Janssens, J.-P. (2005). Aging of the Respiratory System : Impact on Pulmonary Function Tests and Adaptation to Exertion. Clinics in Chest Medicine , 469-484. Katsouyanni, K. (2003). Ambient Air Pollution and Health. Oxford Journals , 143-156. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Litbangkes.
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
16. Kementerian Lingkungan Hidup RI. (2013, September 16). Retrieved Juni 27, 2014, from Kemenlh RI Web Site: http://www.menlh.go.id/pengendalian-pencemaran-udara-danperubahan-iklim/ 17. Kementerian Lingkungan Hidup RI. (2014, Mei 28). Retrieved Juni 27, 2014, from KLH RI Web Site: http://www.menlh.go.id/gerakan-menggunakan-bahan-bakar-rendah-sulfur/ 18. Kementerian Sekretaris Negara. (1999, May 26). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia. 19. Lemeshow, S., Hosmer, D., Klar, J., & Lwanga, S. K. (1990). Adequacy of Sample Size in Health Studies. Chichester: John Wiley & Sons Ltd. 20. McGraw-Hill, D. (1998). Retrieved Mei 17, 2014, from MHHE Web Site: http://www.mhhe.com/biosci/ap/foxhumphys/student/olc/res-reading4.html 21. Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. 22. National Geographic Indonesia. (2014, April 2). Retrieved Juni 27, 2014, from NatGeo Web Site: http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/04/dalam-setahun-7-juta-orangtewas-akibat-polusi-udara 23. Nugrahaeni, D. (2010). Konsep Dasar Epidemiologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 24. Occupational Safety and Health Administration. (1999, Januari 20). Retrieved Juni 19, 2014, from OSHA Web Site: https://www.osha.gov/dts/osta/otm/otm_viii/otm_viii_2.html 25. Setiawati, P. (2012). Pengaruh Ruang Terbuka Hijau Terhadap Iklim Mikro. Bogor, Jawa Barat, Indonesia. 26. The Royal Society. (2008). Ground Level Ozone in The 21st Century: Future Trends, Impacts, and Policy Implications. London: The Royal Society. 27. Union of Concerned Scientist. (n.d.). Retrieved May 13, 2014, from UCSUSA Web Site: http://www.ucsusa.org/assets/documents/global_warming/climate-and-ozone-pollutiontech-appendix.pdf 28. United States Environmental Protection Agency. (2003, June). Retrieved January 16, 2014, from EPA Website: http://www.epa.gov/airquality/ozonepollution/pdfs/ozonegb.pdf 29. United States Environmental Protection Agency. (2009, February). Retrieved January 16, 2014, from EPA Web Site: http://www.epa.gov/airnow/ozone-c.pdf 30. United States Environmental Protection Agency. (2012, November 1). Retrieved April 19, 2014, from US EPA Web Site: http://www.epa.gov/groundlevelozone/health.html 31. United States Environmental Protection Agency. (2013, September 30). Retrieved February 21, 2014, from EPA Web Site: http://www.epa.gov/region1/airquality/o3exceed-13.html 32. United States Environmental Protection Agency. (2013, August 15). Retrieved January 16, 2014, from EPA Website: http://www.epa.gov/airquality/ozonepollution/ 33. United States Environmental Protection Agency. (2013, September 11). Retrieved March 17, 2014, from US EPA Web Site: http://www.epa.gov/apti/ozonehealth/population.html 34. United States Environmental Protection Agency. (1992). Respiratory Health Effects of Passive Smoking : Lung Cancer and Other Disorders. Washington D.C: US EPA. 35. University Corporation for Atmospheric Research. (n.d.). Retrieved Juni 29, 2014, from UCAR Web Site: https://www.ucar.edu/learn/1_7_1.htm 36. World Bank Group. (1998, July). Retrieved April 12, 2014, from IFC Web Site: http://www.ifc.org/wps/wcm/connect/dd7c9800488553e0b0b4f26a6515bb18/Handbook GroundLevelOzone.pdf?MOD=AJPERES
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014
37. World Health Organization. (2007). Global Surveillance, Prevention, and Control of Chronic Respiratory Diseases. Geneva: WHO Press.
Faktor Risiko..., Tri Octavianti, FKM UI, 2014