Volume 18, Nomor 1, Hal. 56-63 Januari – Juni 2016
ISSN:0852-8349
DINAMIKA PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO KEJADIAN FILARIASIS DI KECAMATAN KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014 Dwi Noerjoedianto Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo-Darat Jambi 36361 Email :
[email protected] ABSTRAK Penyakit Kaki Gajah merupakan penyakit kecacatan menetap dan waktu lama, kerugian ekonomis, serta mempunyai dampak psikologis. Provinsi Jambi merupakan daerah endemis penyakit kaki gajah, kecuali Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci. Kabupaten Muaro Jambi jumlah penderita tahun 2012 sebanyak 151 orang dan Kabupaten Batang Hari sebanyak 78 orang. Puskesmas Muaro Kumpeh merupakan Puskesmas di Kabupaten Muaro Jambi yang beresiko filariasis, baik pada tahun 2011 maupun tahun 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dinamika penularan Filariasis dan faktor risiko kejadian Filariasis di Kecamatan Kumpeh Kab. Muaro Jambi. Rancangan penelitian case control study, dengan sampel kelompok kasus 31 orang dan kelompok kontrol 62 orang, dengan matching umur dan jenis kelamin. Cara pengambilan sampel melalui data primer, dan data sekunder, variable independent terdiri kebiasaan tidur menggunakan kelambu, pekerjaan, kebiasaan keluar rumah pada malam hari, adanya genangan air dan keberadaan tumbuhan air, sedangkan variable dependentnya adalah kejadian filariasis, Instrumen menggunakan kuesioner dan check list. Analisa univariat untuk melihat gambaran variabel independent dan variabel dependen, sedangkan analisa bivariat untuk menilai hubungan antar variabel menggunakan asosiasi odds ratio dengan uji statistik Chi-Square. Responden dengan pekerjaan di malam hari (petani sawah/kebun dan pedagang) merupakan faktor risiko tinggi dibandingkan adanya perindukan nyamuk di sekitar rumah dan genangan air disekitar rumah, karena wilayah yang dilalui merupakan wilayah rawa dan sungai. Diduga gigitan nyamuk yang mengandung filaria mengigit di lingkungan rumah dan diperjalanan yang dilalui selama ke tempat kerja. Pengunaan kelambu, adanya genangan air dan tumbuhan air di sekitar rumah merupakan resiko rendah kejadian filaria disekiar rumah responden. Kata Kunci : Filariasis, dinamika penularan, faktor resiko. PENDAHULUAN Penyakit Kaki Gajah (filariasis) merupakan penyakit yang menyebabkan kecacatan menetap dan dalam waktu lama menyebabkan kecacatan mental, kerugian ekonomis, serta mempunyai dampak psikologis terhadap penderita kronis karena diasingkan oleh keluarga dan masyarakat, bersifat endemis di lebih dari 80 negara di dunia. Berdasarkan Rapid Mapping filariasis pada tahun 2000, angka kesakitan penyakit kaki gajah di Indonesia masih tinggi dan 56
tersebar luas hampir di seluruh kabupaten/kota. Jumlah penderita kaki gajah yang dilaporkan dari 231 kabupaten/kota sebanyak 6233 orang telah terinfeksi, tersebar di 674 Puskesmas dan 1153 Desa. Data ini belum mencakup seluruh wilayah, karena tidak semua kabupaten/kota melaporkannya yaitu hanya 42,16 %. (Depkes RI, 2001). Provinsi Jambi merupakan salah satu daerah yang terjangkit penyakit kaki gajah, kecuali Kota Sungai Penuh dan Kab. Kerinci. Jumlah penderita Kab. Muaro Jambi tahun 2012 sebanyak 151 orang dan
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains
Kab. Batang Hari sebanyak 78 orang. Kab. Muaro Jambi kasus yang sama terjadi di Puskesmas Muaro Kumpeh. Rumusan masalahnya adalah Bagaimana dinamika penularan dan faktor resiko kejadian Filariasis di Kecamatan Kumpeh Kab. Muaro Jambi ? Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui hubungan tidur mengunakan kelambu dengan kejadian filariasis, hubungan pekerjaan penderita dengan kejadian filariasis, hubungan kebiasaan keluar malam hari dengan kejadian Filariasis, hubungan tempat genangan air dengan kejadian Filariasis dan hubungan keberadaan tumbuhan air dengan kejadian Filariasis, dengan manfaat penelitian diketahuinya penularan Filariasis dan faktor resiko sebagai bahan masukan bagi masyarakat dalam upaya pemberantasan dan pencegahan penularan infeksi filariasis. METODE PENELITIAN Rancangan Penelitian design Case Control Study, sebagai populasi dibagi dalam 2 kelompok yaitu populasi kasus (semua penderita penyakit filariasis) di wilayah penelitian didiagnosa oleh petugas berdasarkan survei darah jari dari tahun 2013 dan populasi control (semua orang yang tidak terdapat microfilaria didalam darahnya berdasarkan survei darah jari oleh petugas kesehatan, yang tinggal di sekitar rumah penderita ), jumlah sampel kasus (31 orang) dan sampel kontrol (62 orang) dengan rasio 1:2, teknik pengambilan sampel dilakukan matching (pencocokan) pada kelompok umur dan jenis kelamin, cara pengambilan sampel data primer (secara langsung) dan data sekunder, variable penelitian terdiri variabel independent (kebiasaan tidur menggunakan kelambu, pekerjaan, kebiasaan keluar rumah malam hari, tempat genangan air di sekitar rumah, keberadaan tumbuhan air di sekitar rumah) dan variabel dependen (kejadian filariasis), instrument berupa kuesioner dan check
list, teknik analisis data univariat dilakukan untuk melihat gambaran dari variabel independent dan variabel dependen, sedangkan analisa bivariat dilakukan untuk menilai hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen menggunakan asosiasi odds ratio dengan uji statistik Chi-Square, dengan derajat kebebasan 5%. Penolakan terhadap hipotesa apabila p-Value < 0,05 artinya ada hubungan yang bermakna (Ho ditolak). Sedangkan apabila p-Value > 0,05 artinya tidak ada hubungan yang bermakna (Ho diterima) HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Responden Jika ditinjau dari usia, responden untuk kelompok kasus usianya yang paling banyak adalah 51-60 tahun (45,1%), sedangkan yang paling kecil lebih dari 81 tahun (3,2%), sangat berbalik dengan kelompok kontrol yang paling banyak usianya 31-40 tahun (31,6%). Sedangkan menurut jenis kelamin, untuk kelompok kasus lebih banyak laki-laki (67,7%), untuk kelompok kontrol didominasi perempuan (56,45%). Lain halnya jika dilihat dari tingkat pendidikan, untuk kelompok kasus ratarata pendidikannya SD sederajad ( 67,7%), sedangkan untuk kelompok kontrol SMP sederajad (24,2%), hanya sedikit yang mempunyai tingkat pendidikan Perguruan Tinggi (4,8%). Termasuk dalam lama tinggal, mengingat sebagian besar penduduk yang sudah lama tinggal, maka dalam kelompok kasus mereka rata-rata tinggal berkisar 51-60 tahunan (22,%), sedangkan kelompok control kurang dari 10 tahun ( 20,9%). Hal ini dibuktikan dengan keluarga yang terkena filariasis, jumlah anggota keluarga yang terkena filariasis pada kelompok kasus ada 10 orang (32,3%), sedangkan yang kelompok control yang terkena kasus sebanyak 7 orang (11,3%). 63
Dwi Noerjoedianto: Dinamika Penularan dan Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi
Gambaran distribusi Variabel seperti tabel berikut : dependent terhadap variable independent, Tabel 1. Distribusi Frekuensi Variabel dependen terhadap variable independent Penelitian Filariasis di Kec Kumpeh Kab Muara Jambi Tahun 2014. Jumlah % Kontrol 100 0 0 62
% 0 100
31 15
100 48,4
62 34
100 54,8
16 31 28 3 31 9
51,6 100 90,3 9,7 100 29,0
28 62 56 6 62 9
45,2 100 90,3 9,7 100 14,5
22 31 2
71,0 100 6,4
53 62 6
85,5 100 9,7
29 31 2 29 31 2 29 31
93,6 100 6,4 93,6 100 6,4 93,6 100
56 62 1 61 62 3 59 62
90,3 100 1,6 98,4 100 4,8 95,2 100
No
Variabel
Indikator
1
Resiko Filariasis
Kasus Bukan kasus
Kasus 31 0
Beresiko
Jumlah 2
Penggunaan Kelambu
Tidak beresiko
Jumlah 3
Beresiko Tidak beresiko
Pekerjaan Jumlah
Beresiko 4
Kebiasaan Keluar rumah
Tidak beresiko
Jumlah 5
Data Perindukan Nyamuk
Beresiko Tidak beresiko
Jumlah 6
Genangan Air
Beresiko Tidak beresiko
Jumlah 7
Tumbuhan Air dan Jentik Jumlah
Beresiko Tidak Beresiko
2. Hubungan Kebiasaan Tidur Menggunakan Kelambu dengan Kasus Filariasis Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data sbb : Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Tidur Menggunakan Kelambu terhadap Kasus Filariasis di Kec Kumpeh Kab Muara Jambi Tahun 2014. No 1 2
Penggunaan Kelambu Beresiko Tidak Beresiko Jumlah
Filariasis Kasus Non Kasus 15 16 31
Kebiasaan menggunakan kelambu pada waktu tidur secara teoritis mempunyai kontribusi untuk mencegah penularan filariasis, karena pada umumnya aktivitas menggigit nyamuk tertinggi pada malam 62
34 28 62
∑
%
OR 95% CI
P Value
49 44 93
52,6 47,4 100
0,93
0,00
hari. Menghindari diri dari gigitan nyamuk yaitu dengan menutup ruangan dengan kasa kawat, memakai kelambu pada tempat tidur, upaya yang dianjurkan sesuai dengan saran kementerian kesehatan, pada
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains
daerah yang bersiko tertulah filaria tidur menggunakan kelambu. Hasil penelitian di dapat kebiasaan tidur dengan mengunakan kelambu pada kasus (penderita filaria) 52,6% tidur tidak menggunakan kelambu, hasil uji statistik dengan di dapat P value 0,00 artinya ada hubungan kebiasaan tidur dengan menggunakan kelambu dengan kejadian filaria. Penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Febrianto et al. 2008, yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian filariasis. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Depkes bahwa menghindari penyakit filaria tidur menggunakan kelambu baik kelambu biasa atau belambu berinsektisida (long lasting insecticide nets) adalah kelambu yang sudah dilapisi dengan anti nyamuk oleh pabrik kelambu. Kelambu ini tidak berbahaya bagi kesehatan manusia karena anti nyamuk yang melekat pada kelambu tersebut tidak dapat meracuni manusia. Memakai kelambu berinsektisida berarti melindungi masyarakat, terutama bayi, anak balita dan ibu hamil yang sangat rentan terhadap penyakit yang disebabakan
oleh nyamuk aman dari gigitan nyamuk penular penyakit filaria dan nyamuknyamuk penular penyakit lainnya. Upaya lain yang dapat dilakukan selain tidur menggunakan kelambu yaitu menggunakan kawat kassa yang dipasang di bagian ventilasi rumah ini berfungsi untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah sehingga terhindar dari gigitan nyamuk dan tanpa disadari dapat menjauhkan diri dari risiko terkena filariasis. (Febrianto B et.al 2008) Pemasangan kawat kassa di rumah salah satunya dipengaruhi juga oleh faktor pengetahuan tentang upaya menghindari dari gigitan nyamuk dan binatang lainnya. Kelambu berinsektisida tidak berbahaya bagi kesehatan manusia karena sebelum dipakai sudah diteliti oleh WHO dan dinyatakan aman untuk dipakai walaupun tergigit atau terjilat oleh anak-anak. Namun demikian orang tua harus mengawasi agar hal tersebut tidak terjadi. Responden tidak menggunakan kelambu saat tidur akan berisiko 0,93 kali lebih menderita filariasis dibandingkan responden yang menggunakan kelambu.
1. Hubungan Pekerjaan dengan Kasus Filariasis Tabel 3. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Terhadap Kasus Filariasis di Kec Kumpeh Kab Muara Jambi Tahun 2014. Filariasis No 1 2
Pekerjaan Beresiko Tidak Beresiko Jumlah
Kasus 28 3 31
Non Kasus 56 6 62
Kebiasaan bekerja di luar rumah seperti di kebun, sawah atau pekerjaan yang dimungkinkan kontak vektor nyamuk pada malam hari, dari hasil analisis data responden yang bekerja di malam hari menjual sayur saat malam ke pasar lebih beresiko di bandingkan dengan mereka yang jarang keluar malam hari, hasil
∑
%
84 9 93
90,3 9,7 100
OR 95% CI
P Value
9,33
0,00
wawancara diketahui responden yang terindikasi filaria sebelumnya (saat muda) usia 10-20 tahun sudah terindikasi filaria, ini dibuktikan dari jawaban bahwa karakteristik pekerjaan sebelumnya adalah sebagai petani dan penyadap kebun karet. Hasil uji statistik dengan nilai P value 0,00 maka secara statistik dapat 63
Dwi Noerjoedianto: Dinamika Penularan dan Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi
dikatakan ada hubungan pekerjaan di malam hari dengan kejadian filaria, hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarungu et al 2012 terdapat pola kebiasaan masyarakat di Papua pada umumnya dan Kabupaten Kepulauan Yapen khususnya, yaitu ngobrol, bahkan tidur di para-para yang berada di luar rumah pada waktu malam. Ada kebiasaan lain masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok (pangan) adalah menebang dan menokok sagu (Metroxylon sp) di hutan sagu yang berawa-rawa. Kebiasaan masyarakat tersebut menyebabkan peluang kontak antara manusia dengan vektor filariasis menjadi semakin besar sehingga potensi untuk menularkan filariasis. Insiden filariasis pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan karena
umumnya laki-laki sering kontak dengan vektor pada saat bekerja (Depkes RI, 2008). Penyakit kaki gajah merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular dan telah banyak ditemukan di wilayah tropika tiga macam, berdasarkan bagian tubuh atau jaringan yang seluruh dunia. Kaki gajah biasanya dikelompokkan menjadi menjadi tempat bersarangnya: kaki gajah limfatik, kaki gajah subkutan (bawah jaringan kulit), dan kaki gajah rongga serosa (serous cavity). R.Uloli et al 2008, menyatakan bahwa terdapat lima unsur utama yang menjadi sumber penularan penyakit filariasis yaitu sumber penular (manusia dan hewan sebagai reservoir), parasit (cacing), vektor (nyamuk), manusia yang rentan (host), lingkungan (fisik, biologik, ekonomi, dan sosial budaya).
3. Hubungan Kebiasaan Keluar Rumah malam Hari dengan Kasus Filariasis Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kebiasaan Keluar Rumah Malam Hari terhadap kasus Filariasis di Kec Kumpeh Kab Muara Jambi Tahun 2014 Filariasis No 1 2
Kebiasaan Keluar rumah Beresiko Tidak Beresiko Jumlah
Kasus 9 22 31
Non Kasus 9 53 62
Responden yang sebelumnya memiliki kebiasan keluar rumah sebelum terindikasi filaria merupakan prilaku yang pernah dilakukan, perilaku di sini merujuk kepada kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Responden yang memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari memiliki resiko lebih besar untuk menderita penyakit filariasis dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan keluar rumah, hasil analisis, diketahui nilai P value sebesar 0,00 artinya ada hubungan yang signifikan kebiasaan keluar rumah dengan kejadian filaria. Hasil pengumpulan data kasus filaria iketahu adanya penderita baru tahun 62
∑
%
18 75 93
19,4 80,6 100
OR 95% CI
P Value
4,09
0,00
2014, di duga positif filaria ini, responden telah mengidap namun diketahui saat ini dari hasil pemeriksaan rapid test. Kebiasaan dan waktu menggigit nyamuk dewasa yang membentuk dua kali puncak pada malam hari yaitu sesaat setelah matahari terbenam dan menjelang matahari terbit, pola mengigit nyamuk ini dipahami karena suhu dan kelembaban udara yang dapat menambah atau mengurangi aktivitas menggigit nyamuk dewasa, responden memiliki kebiasaan untuk keluar pada malam hari lebih berisiko dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki kebiasaan tersebut.
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains
Penularan filariasis tergolong lambat lambat karena penderita baru akan karena penderita baru akan terinfeksi terinfeksi. cacing mikrofilaria setelah mengalami Responden yang memiliki kebiasaan gigitan nyamuk vektor filariasis yang keluar rumah pada malam hari memiliki mengandung larva cacing filaria stadium 3 peluang 4,9 kali lebih besar untuk berkali-kali.(supali, 2008) Filariasis menderita penyakit filariasis dibandingkan bersifat kronis dan bila tidak mendapatkan dengan responden yang tidak memiliki pengobatan akan menimbulkan kecacatan. kebiasaan seperti itu, hal ini diketahui Gejala Penularan filariasis tergolong kebiasaan. 4. Hubungan Perindukan Nyamuk dengan Kasus Filariasis Tabel 5. Distribusi Frekuensi Perindukan Nyamuk di Sekitar Rumah terhadap Kasus Filariasis di Kec Kumpeh Kab Muara Jambi Tahun 2014 No 1 2
Perindukan Nyamuk Beresiko Tidak Beresiko Jumlah
Kasus 2 29 31
Filariasis Non Kasus 6 56 62
Lingkungan merupakan media yang baik untuk perkembangbiakan nyamuk penular filaria, lingkungan biologi dapat menjadi rantai penularan filariasis. Misalnya, adanya media disekitar rumah kebun, air yang tergenang, selokan mampet dan SPAL yang kurang memenuhi syarat. Adanya perindukan nyamuk disekitar rumah responden sebagai faktor resko terjadinya filaria, kondisi daerah responden merupan daerah rural dimana sebagian daerah adanya kolam dan lagon, maupun sumur yang tidak di manfaatkan oleh penduduk akibat dari kualitas airnya yang kurang memenuhi syarat kesehatan. Hasil uji statistik dengan chi square di dapat nilai P 0,00 secara statistik dikatakan adanya hubungan yang signifikan tempat perindukan di sekitar rumah responden dengan adanya penderita filaria. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Santoso (2011), jenis tempat penampungan air limbah yang banyak dimiliki oleh penderita filariasis berupa penampungan terbuka di pekarangan. Sebagian besar penderita juga tidak memiliki saluran pembuangan air limbah (42,2%) sementara yang memiliki saluran tetapi kondisinya terbuka (40,8%).
∑
%
OR 95% CI
P Value
8 85 93
8,6 91,4 100
1,03
0,00
Kebiasaan masyarakat di lokasi penelitian masih ada yang menampung air pada drum dan tempaya yang terbuka baik dalam dan diluar rumah, keberadaan tanaman disekitar rumah juga potensial menjadi tempat istirahat (resting) dan tempat pekembangbiakan (breeding place) vektor nyamuk. Kebersihan lingkungan memegang peranan penting terhadap terjadinya penularan filariasis di suatu wilayah, sebagian responden tidak memiliki saluran penampungan limbah, sehingga air limbah yang dihasilkan mengalir begitu saja. Hal ini juga akan menimbulkan pencemaran lingkungan disamping dapat menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk. Perilaku buruk penderita ini akan meningkatkan risiko terjadinya penularan penyakit khususnya filariasis karena akan menimbulkan adanya tempat untuk nyamuk berkembang biak yang merupakan vektor filariasis.Responden disekitar rumahnya memiliki tempat perindukan nyamuk memiliki peluang 1,03 kali lebih besar untuk menderita penyakit filariasis dibandingkan dengan responden yang tidak memiliki tempat perindukan nyamuk.
63
Dwi Noerjoedianto: Dinamika Penularan dan Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kecamatan Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi
5. Hubungan Genangan Air dengan Kasus Filariasis Tabel 6. Distribusi Frekuensi Hubungan Genangan Air terhadap Kasus Filariasis di Kec Kumpeh Kab Muara Jambi Tahun 2014 No 1 2
Genangan Air Beresiko Tidak Beresiko Jumlah
Kasus 2 29 31
Filariasis Non Kasus 1 61 62
Kondisi lingkungan tempat tinggal masyarakat berpengaruh terhadap terjadinya penularan filariasis di suatu daerah, kondisi lingkungan wilayah penelitian saat ini merupakan permukiman berkelompok, namun sebelumnya daerah tersebut merupakan kebun karet dan kebun palawija. Hasil analisis kondisi lingkungan tempat tinggal penderita SPAL dan limbah cair tidak dikelola dengan baik. Ada hubungan genangan air disekitar rumah dengan penderita filaria dengan p= 0,00. Hasil observasi disekitar rumah ditemukan sebagian genagan air seperti saluran yang tidak lancar, merupakan potensi untuk perkembangan dari nyamuk, dilingkungan nyamuk membutuhkan air untuk meletakan telurnya, keberadaan genangan air sebagai faktor risiko
∑
%
OR 95% CI
P Value
3 90 93
3,2 96,8 100
0,68
0,00
terjadinya perkembang biakan dari nyamuk. Namun jawaban responden menyatakan sebelumnya berdomisili di daerah seperti di hutan, tanaman air, got atau saluran air, rawa-rawa, dan sawah. Menurut Hendrik L. Blum (1974) dalam Budiarto 2003 ada empat faktor yang yang mempengaruhi status kesehatan manusia,yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan. Diantara keempat faktor tersebut, faktor lingkungan memiliki pengaruh besar terhadap penyebaran penyakit menular termasuk filariasis. Responden disekitar rumahnya memiliki genangan air memiliki peluang 0,68 kali lebih besar untuk menderita penyakit filariasis dibandingkan dengan responden yang tidak ada genangan air disekitar rumah responden .
6. Hubungan Tumbuhan Air dan Jentik dengan Kasus Filariasis Tabel 7. Distribusi Frekuensi Tumbuhan Air dan Jentik terhadap Kasus Filariasis di Kec Kumpeh Kab Muara Jambi Tahun 2014 No 1 2
Tumbuhan Air dan Jentik Beresiko Tidak Beresiko Jumlah
Filariasis Kasus Non Kasus 2 3 29 59 31 62
Keberadaan penderita filaria saat ini merupakan penderita yang terinfeksi antara 1-40 tahun yang lalu, lingkungan tempat tinggal responden kondisinya tidak sama dengan keadaan sekarang ini. Berdasarkan uji statisti didapat nilai p = 0,00, artinya ada hubungan antara keberadaan tumbuhan air dan jentik terhadap kejadian filariasis, 62
∑
%
5 88 93
5,4 94,6 100
OR 95% CI
0,08
P Value
0,00
sehingga factor lingkungan sangat berpengaruh terhadap kejadian filariasis(Hendrik L. Blum, 1974). Keberadaan beberapa jenis tumbuhan air tertentu di suatu perairan erat kaitannya dengan keberadaan nyamuk sebagai tempat hidupnya (inangnya) seperti nyamuk Mansonia sp. yang telur, larva dan
Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains
pupanya tidak terlepas dari keberadaan tumbuhan air (tumbuhan inang) di perairan. Hasil observasi dan investigasi dilapangan pada tumbuhan air ditemukan telur Mansonia yang melekat pada permukaan bawah daun tumbuhan inang dalam bentuk kelompok yang terdiri dari 11-16 butir. Telurnya berbentuk lonjong dengan salah satu ujungnya meruncing. Larva dan pupa Mansonia melekat pada akar atau batang tumbuhan air. Responden disekitar rumahnya memiliki tumbuhan air memiliki peluang 0,08 kali lebih besar untuk menderita penyakit filariasis dibandingkan dengan responden yang tidak ada tumbuhan air disekitar rumah responden . KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Responden dengan pekerjaan di malam hari sebagai petani disawah dan dikebun serta pedagang yang keluar di malam hari menjual dagangan ke pasar merupakan faktor risiko tinggi dibandingkan adanya perindukan nyamuk di sekitar rumah dan genangan air diseitar rumah responden, karena wilayah yang dilalui merupakan wilayah rawa dan sungai. Diduga gigitan nyamuk yang mengandung filaria mengigit di lingkungan rumah dan diperjalanan yang dilalui selama ke tempat kerja. Pengunaan kelambu, adanya genangan air dan tumbuhan air di sekitar rumah merupakan resiko rendah kejadian filaria disekitar rumah respomden. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan mengetahui faktor risiko nyamuk sebagai vektor filaria dengan melakukan bedah seksi (cacing mikrofilaria) pada nyamuk guna mengetahui nyamuk siang hari lebih beresiko dibanding dengan nyamuk malam hari.
DAFTAR PUSTAKA Budiarto,E.& Dewi A. 2003 Pengantar Epidemiologi. Edisi 2. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta. Depkes RI, Dirjen PP dan PL. 2008. Pedoman Program Eliminasi Filariasis di Indonesia, Jakarta. Depkes RI, Dirjen PP dan PL. 2008a Epidemiologi Filariasis, Jakarta. Direktorat Jenderal PPM & PL, 2001. Pedoman Penatalaksanaan Kasus Klinis Penyakit Kaki Gajah (filariasis) di Indonesia. Depkes RI, Jakarta Direktorat Jenderal PPM & PL, 2002. Epidemiologi Penyakit Filariasis di Indonesia. Depkes RI, Jakarta. Febrianto B, Astri M, Maharani, Widiarti. 2008. Faktor Risiko Filariasis di Desa Samborejo, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah. Noor N. Nur, 2006.Pengantar Epidemiologi Penyakit Menular, Edisi Kedua. Rineka Cipta, Jakarta R.Uloli, S.Soeyoko, and S. Sumami,2008 “Analisis Faktor-faktor Risiko Kejadian Filariasis”, Berita Kedokteran Masyarakat vol. 24 . Santoso, 2011 Hubungan Kondisi Lingkungan dengan Kasus Filariasis di Masyarakat (Analisis Lanjut Hasil Riskesdas 2007) Aspirator, Aspirator Vol. 3 No. 1 Tahun 2011 :1-7 Sarungu Y, Onny Setiani, Sulistiyani 2012 Faktor Risiko Lingkungandan Kebiasaan Penduduk Berhubungan Dengan Kejadian Filariasis di Distrik Windesi Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11 No. 1 / April 2012 Supali T, Agnes Kurniawan, Sri Oemijati. 2008 Parasitologi Kedokteran. Edisi Keempat. Editor: Sutanto I., Ismid IS., Sjarifudin PK., Sungkar S. FKUI. Jakarta. 63