Nurmalawaty: Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana…
FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDERING) DAN UPAYA PENCEGAHANNYA Nurmalawaty Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstract: Factors of causing the money Laundering mainly lye in the weak regulation of financial, and seriousness of banking or government of certain country to eradicate the practice of money Laundering. The prevention can be made by appling the customer-recognition principle, maximation of function and the role of PPATK and international collaboration either bilaterally or multilaterally in gaining the information of what is the attempt in eradicating the crime of money Laundering. Kata kunci: Tindak Pidana, Pencucian Uang, Pencegahan
Kemajuan teknologi informasi dan globalisasi mengakibatkan makin mendunianya perdagangan barang dan jasa serta arus finansial yang mengikutinya. Di satu sisi kemajuan teknologi membawa pengaruh positif dalam perkembangan bisnis, namun sisi lain perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta globalisasi telah menimbulkan dampak lain yaitu timbulnya kejahatan dimensi baru dengan modus operandi baru, bersifat lintas negara (transnational crime). Berbagai bentuk kejahatan yang dilakukan dalam lingkup suatu negara atau lintas negara baik yang dilakukan perorangan maupun korporasi yang menghasilkan harta kekayaan yang cukup besar, seperti: korupsi, penyeludupan barang/tenaga kerja, penggelapan, narkotika, perjudian, kejahatan perpajakan, kehutanan dan lain sebagainya. Harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan-kejahatan diatas, oleh para pelakunya agar tidak mudah terungkap, pelaku berupaya untuk menyembunyikan asal usul harta kekayaan tersebut dengan cara memasukkan ke dalam sistem keuangan (financial system) terutama ke dalam sistem perbankan (banking system), yang bentuk ini dinamakan dengan pencucian uang atau money Laundering. Tindak pidana pencucian uang di Indonesia dewasa ini mengalami perkembangan yang begitu mengkhawatirkan dan memerlukan penanganan serius oleh aparat penegak hukum baik di tingkat kepolisian maupun lembaga yang dibentuk berdasarkan UU No.25 Tahun 2003 tentang Perubahan UU No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yakni Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi (PPATK). Hal ini disebabkan di Indonesia sebelum tahun 2002 belum memiliki ketentuan yang mengatur larangan bagi Bank atau pelaku bisnis lokal untuk menerima uang hasil kejahatan. Misalnya ketentuan yang terdapat didalam UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan tidak satupun pasal yang dapat dijadikan kerangka untuk melarang bank atau pelaku bisnis menerima uang hasil kejahatan. Selain itu tidak ada ketentuan yang membolehkan pelacakan darimana uang tersebut diperoleh, tetapi justru memiliki kerahasian perbankan yang ketat. Disamping itu di Indonesia para pelaku kejahatan melihat banyaknya peluang bisnis yang sah yang dapat mereka masuki. (Syahdeini, 2003) Mengapa Money Laoundering di berantas dan dinyatakan sebagai Tindak Pidana, ada tiga alasan menurut pengamatan Guy Skessen. Pertama, karena pengaruh money Laundering pada sistem keuangan dan ekonomi berdampak negatif bagi perekonomian dunia, misalnya terhadap efektifitas penggunaan sumber dana yang banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak sah dan dapat merugikan masyarakat. Kedua, dengan ditetapkannya Money Laundering sebagai Tindak pidana dan adanya sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu yang mencurigakan, maka hal ini lebih memudahkan bagi aparat penegak hukum untuk menyelidiki kasus Pidana sampai kepada tokoh-tokoh yang ada dibelakangnya (Nasution, 2004). Selain merugikan masyarakat secara luas, dampak keberadaan Money Laundering juga mempunyai pengaruh negative terhadap kegiatan perekonomian, terutama menyangkut lembaga keuangan (baik perbankan maupun bukan) misalnya: (a) Merugikan reputasi lembaga-lembaga keuangan apabila diduga dipergunakan sebagai sarana untuk melakukan Money Laundering. (b) Menyebabkan terjadinya distorsi dalam hukum penawaran dan permintaan, sebagaimana yang terjadi dilondon real estate ketika dimasuki investasi mafia dari Rusia. (c) Menyebabkan kelemahan ekonomi Negara (misalnya negara Columbia yang banyak bergantung pada Drug Money. (d) Menumbuhkan kecurigaan dan ketidakpercayaan publik pada lembaga perbankan (Harkristuti, 2001). Berkaitan dengan gejala yang meluas ini pertama, apakah faktor-faktor penyebab terjadinya Money Laundering. Kedua, yang menjadi masalah bagaimana upaya-upaya untuk memberantas Money Laundering.
12
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006 PENGERTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Istilah money laundering berasal dari bahasa Inggris: money artinya uang dan laundering artinya pencucian. Jadi money Laundering secara harfiah berarti pencucian uang, atau pemutihan uang hasil kejahatan. Internasional Criminal Police Organization (ICPO/Interpol) memberikan definisi pencucian uang sebagai suatu tindakan yang berusaha mencoba untuk menyembunyikan atau menyamarkan ciri-ciri dari suatu pendapatan ilegal sehingga kelihatan seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. (Panggabean, 2001). Beberapa kalangan memberikan istilah pencucian uang (money laundering), yang pada prinsipnya hampir sama, yaitu adanya kegiatan kejahatan untuk tujuan memperoleh kekayaan, yang sering disebut uang kotor atau uang haram. Dalam perkembangan berikutnya pengertian pencucian uang atau money laundering dimuat dalam berbagai literatur maupun peraturan yang berlaku oleh beberapa negara dan organisasi Internasional. Salah satu pengertian yang menjadi acuan di seluruh dunia adalah pengertian yang dimuat dalam The United Nation Convention Againts Lllcit Traffic in Narcotics, Drugs and Psycotropic substances of 1988 yang kemudian diratifikasi di Indonesia dengan Undang-undang No.7 Tahun 1997, yang secara lengkap pengertian money laundering dalam konvensi tersebut: ” The Convention or Transfer of Property, Knowing That Such Property Derived from The Purpose of Concelling or of Assisting Any Person Who is Involved in The Commission of Such an Offence or Offences to Evade The Legal Consequences of The True nature, Source, Location, Disposition, Monument, Rights with Respect to, or Ownership of property, Knowing that such Property is Derived from a Serious (Indictable) offence or Offences or from an act of Participation in Such an Offence of Offences. (Konvensi atau perpindahan dari properti yang diketahui berasal dari/diindikasikan kegiatan terlarang, untuk tujuan menyembunyikan atau mengaburkan hal-hal yang terlarang dari property tersebut, atau membantu setiap orang yang terkait dalam persekutuan jahat untuk menghindari segala konsekwensi hukum dari tindakannya, atau menyembunyikan dan mengaburkan dari sumber asli, lokasi, grup terkait, pergerakan, hak, kepemilikan properti dimana diketahui properti tersebut berasal dari konspirasi jahat atau dari partisipasi dalam perbuatan jahat) (Husein, 2002). Dalam Undang-undang No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang dimaksud Pencucian Uang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 adalah:”Pencucian uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil Tindak Pidana dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah“. Beberapa pakar memberikan definisi antara lain: Sutan Remi sjahdeni menyebutkan “Money Laundering adalah suatu proses atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi kejahatan terhadap uang yang berasal dari tindak kejahatan, dengan maksud menyembunyikan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak kejahatan dengan cara terutama memasukkan uang tersebut kedalam sistem keuangan, sehingga uang haram tersebut apabila akhirnya dikeluarkan dari sistem keuangan telah menjadi uang sah. Sedangkan Fraser mengemukakan bahwa: Money Laundering is Quite Simply The The Process Through Which “dirty” Money (Proceeds of Crime), is Washed Through “clean” or Legitimate Sources and Interprises so That The “Bad Guys” May More Safely Enjoy Their Ill Gotten Gains. (Pencucian uang cukup sederhana diartikan sebagai proses dimana uang “kotor” (hasil kejahatan), dicuci melalui sumber yang “bersih” sehingga para “orang jahat” dapat menikmati keuntungan tersebut dengan aman) (Syahdeini, 2004) Berdasarkan definisi diatas, dapat dikatakan bahwa pengertian Money Laundering pada dasarnya merupakan cara untuk merubah uang hasil kejahatan menjadi uang atau kekayaan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah. FAKTOR PENYEBAB MARAKNYA PENCUCIAN UANG Membuktikan adanya suatu Money Laundering bukanlah suatu hal yang mudah karena teknik atau proses pencucian uang secara esensi terdiri dari tiga tahap yaitu Placement, Layering and Integration. (Ganarsih, 2004). Placement, merupakan penempatan uang hasil kejahatan dalam bentuk simpanan tunai di bank, polis asuransi, membeli rumah, perhiasan dan sebagainya. Pada tahap inilah yang paling mudah dideteksi karena uang hasil kejahatan berhubungan langsung dengan sumbernya. Layering, merupakan proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau dari lokasi tertentu sebagai hasil Placement ke tempat lainnya, melalui serangkaian transaksi yang kompleks yang didisain untuk menyamarkan atau mengelabui sumber dana illegal tersebut. Layering dapat dilakukan melalui pembukaan rekening perusahaan-perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan kerahasian bank, dan bahkan menggunakan sejumlah rekening yang ditransfer ke berbagai negara, sehingga pada tahap ini lebih sulit untuk dilacak karena selalu ada intervensi mekanisme bank Internasional. Intergration, merupakan tahap memasukkan kembali dana yang telah tidak tampak asal-usulnya tersebut kedalam transaksi yang sah. Pada tahap ini uang yang dicuci melalui Placement maupun Layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi, sehingga terlihat tidak berhubungan sama sekali dengan aktifitas kejahatan, Pada tahap ini uang yang telah dicuci dimasukkan kembali ke dalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.
13
Nurmalawaty: Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana…
Ada beberapa modus dengan menggunakan objek dan sarana yang dimanfaatkan oleh para pencuci uang dalam melakukan Money Laundering. Menurut Munir Fuady dan Bambang Setijoprodjo, seperti dikutip oleh Siahaan (Siahaan, 2002), ada 13 modus operandi kejahatan pencucian uang, yaitu: (1) Modus secara Loan Back, yaitu dengan cara meminjam uangnya sendiri dari perusahaan luar negeri, semacam perusahaan bayangan yang direksi dan pemegang saham adalah ia sendiri. (2) Modus operandi C-Chase, modus ini cukup rumit dan sifatnya berliku-liku, beberapa kali ke beberapa bank lain, lalu dikonversi dalam bentuk Certificate of Deposit untuk menjamin loan. Disini Loan tidak pernah ditagih, namun hanya dengan mencairkan sertifikat deposito saja. (3) Modus Transaksi dagang internasional dengan menggunakan sarana dokumen L/C yang menjadi fokus urusan bank, baik koresponden maupun opening bank adalah dokumen bank itu sendiri dan tidak mengenai keadaan barang. Maka dalam hal ini yang menjadi sasaran Money Laundering, adalah invoice yang besar terhadap barang yang kecil atau malahan barang itu tidak ada. (4) Modus penyeludupan uang tunai, membawa uang tunai melalui perbatasan antar negara pada pelabuhan laut atau bandar udara. (5) Modus pembelian perusahaan (akusisi) kemudian sahamnya dijual lagi kepada pihak lain dan menghasilkan uang, uang tersebut adalah uang yang kelihatan bersih. (6) Modus over invoices atau double invoice. Modus ini dilakukan dengan mendirikan perusahaan ekspor impor dinegara sendiri, lalu diluar negeri (yang bersifat tax haven) mendirikan pula perusahaan bayangan. Perusahaan di negara tax haven ini mengekspor barang ke Indonesia dan perusahaan ini membuat invoice pembelian dengan harga tinggi. Inilah yang disebut double invoice. Supaya perusahaan di Indonesia terus bertahan maka perusahaan di luar negeri memberikan loan (pinjaman). Dengan cara ini, uang kotor dari perusahaan di negara lain itu menjadi resmi masuk ke dalam negeri. (7) Modus Real Estate, yaitu menjual suatu property beberapa kali kepada perusahaan didalam kelompok yang sama. Modus yang sama pula dilakukan didalam pasar modal, yakni pembelian saham itu hanya perusahaan-perusahaan dilingkungan saja dengan tawaran harga tinggi. (8) Modus investasi tertentu, biasanya dalam bisnis transaksi barang lukisan atau barang antik, kemudian menjualnya kepada seseorang yang sebenarnya adalah suruhan si pelaku itu sendiri dengan harga mahal. (9) Modus perdagangan saham. Modus Amsterdam, dengan melibatkan perusahaan efek Nusse Brink, dimana beberapa nasabah perusahaan efek ini menjadi pelaku kejahatan pencucian uang. (10) Modus Pizza Connection, modus ini dilakukan dengan menginvestasikan hasil perdagangan obat bius diinvestasikan di Karabia dan Swiss. (11) Modus La Mina. Modus ini terjadi di amerika serikat tahun 1990, dana yang diperoleh daro perdagangan obat sebagai suatu sindikat. Kemudian emas batangan diekspor dari Uruguay dengan maksud supaya impornya bersifat illegal. Uang disimpan dalam desain kotak kemasan emas, kemudian dikirim kepada pedagang perhiasan yang bersibdikat mafia obat bius. Penjualan dilakukan di Los Angeles, hasil uang tunai dibawa ke Bank, dengan maksud supaya seakan-akan berasal dari penjualan emas dan permata dan dikirim ke Bank New York dan dari kota ini dikirim ke bank di Eropah melalui negara Panama. Uang tersebut akhirnya sampai di Columbia guna didistribusi membayar ongkos-ongkos, untuk investasi perdagangan obat bius, tetapi sebagian besar untuk investasi jangka panjang. (12) Modus Deposit Taking. Mendirikan perusahaan keuangan seperti Deposit Taking Institutions (DTI) di Canada. DTI ini terkenal dengan sarana pencucian uangnya seperti Chartered Banks, Trust Companied dan Credit Union. Kasus Money Laundering yang melibatkan DTI antara lain: Transfer melalui telex, surat berharga, penukaran valuta asing, pembelian obligasi pemerintah dan Treasury bills. (13) Modus Identitas Palsu, yakni memanfaatkan lembaga perbankan sebagau pemutih uang dengan cara mendepositokan secara nama palsu, menggunakan save deposit box untuk menyembunyikan hasil kejahatan, menyediakan fasilitas transfer supaya dengan mudah di transfer ke tempat yang dikehendaki atau menggunakan electronic fund transfer untuk melunasi kewajiban transaksi gelap, menyimpan atau mendistribusikan hasil transaksi gelap tersebut. Menurut Sutan Remy Syahdeni, ada beberapa faktor pendorong maraknya kegiatan pencucian uang di berbagai negara, antara lain: Pertama, Faktor Globalisasi, seperti yang diungkap oleh Pino Arlacchi, Executive Director dari US Offices for Drug Control and Crime Prevention pada pertengahan 1998 sebagai berikut: ”Globalitation has turned the internastionsl financial into a money lounderer’s dream, and this criminal process siphon away billions of dollars per year from economic growth at a time when the financial health of every country affects the stability of the global market place”. (Globalisasi telah mengubah sistem keuangan internasional ke dalam tujuan para pelaku pencucian uang, dan proses tindakan kriminal ini mrenyelewengkan triliunan dollar setiap tahun dari pertumbuhan ekonomi disaat kondidi keuangan baik di setiap negara yang memiliki pengaruh terhadap stabilitas pasar global). Kedua, Faktor cepatnya kemajuan teknologi, kemajuan yang paling mendorong maraknya pencucian uang adalah teknologi di bidang informasi, yaitu dengan munculnya internet yang memperlihatkan perkembangan kemajuan yang luar biasa. Dengan kemajuan teknologi informasi tersebut, maka batas-batas negara menjadi tidak berarti lagi dan dunia menjadi satu kesatuan tanpa batas. Kejahatan-kejahatan terorganisasi (organized crime) menjadi mudah dilakukan secara lintas batas negara-negara sehingga kejahatan-kejahatan tersebut berkembang menjadi kejahatan-kejahatan transnasional. Pada saat ini organisasi-organisasi kejahatan dapat secara mudah dan cepat memindahkan sejumlah uang yang sangat besar dari suatu yuridikasi ke suatu yuridikasi yang lain. Misalnya, automated Teller Machines (ATM) memungkinkan para penjahat untuk memindahkan (to wire fund) ke rekening-rekening di Amerika Serikat dari negara-negara lain hampir seketika dan tanpa diketahui siapa pelakunya dapat menarik dana tersebut dari ATM seluruh dunia.
14
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006 International Electric Transfer System menangani lebih dari $6 Triliun melalui wire transfer system setiap harinya, Ketiga, Faktor ketentuan rahasia bank yang sangat ketat dari negara yang bersangkutan, berkaitan dengan reformasi di bidang perpajakan (Tax Reforms) dari negara-negara anggota Uni Eropa, yang dalam pertemuan Menteri-menteri Keuangan Negara-negara Uni Eropa telah menghimbau agar meniadakan ketentuanketentuan yang menyangkut rahasia bank, Keempat, Faktor belum diterapkannya asas “ Know Your Cutomer” (asas prinsip mengenal nasabah) bagi perbankan dan penyedia jasa keuangan lainya secara sungguh-sungguh. Adanya suatu negara yang memungkinkan seseorang menyimpan dana di suatu bank dengan menggunakan nama samaran atau tanpa nama (anonim). Sebagai contoh, austria yang di tenggarai sebagai salah satu negara yang dijadikan pangkalan untuk kegiatan pencucian uang dari para koruptor dan organisasi-organisasi yang bergerak dalam perdagangan narkoba dan suatu organisasi membuka rekening di suatu bank di Australia secara anonim (nama samaran), Kelima, Faktor makin maraknya Electronic Banking (jaringan elektronik). Electronic Banking (e-banking) adalah proses pelayanan jasa dan produk perbankan melalui (dengan memanfaatkan) jaringan elektronik, antara lain diperkenankannya ATM (Automated Teller Machine) dan Wire Transfer. Electronic Banking telah memberikan peluang bagi para pencuci uang untuk melakukan pencucian uang model baru melalui jaringan internet yang disebut CyberLaundering. Keenam, Faktor Penggunaan Electronic Money (Emoney) atau Uang elektronik. Bank for International Settlements mendefinisikan Electronic Money (E-Money) adalah sebagai mekanisme penyimpanan nilai dan atau pembayaran yang dilakukan secara elektroknik. Dengan kata lain, E-Money memiliki dua fungsi uang yakni sebagai Store Value (penyimpanan nilai) dan prevaid payment yang pada hakekatnya identik dengan fungsi Standard Of Deffeered Payment pada uang secara umum. E-money mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan denga uang tradisional, yaitu: (a) E-Money menggunakan sebuah kartu atau alat yang dapat menyimpan dana dalam jumlah yang sangat besar, sehingga tidak memerlukan tempat atau container yang besar untuk membawanya, (b) E-money mudah untuk ditransfer kapan saja dan dimaba saja dengan bantuan internet. (c) E-Money lebih susah dilacak karena tidak memiliki nomor sell seperti tradisional. Selain itu teknologi penyandian yang terhadap dalam proses transfer E-Money semakin mempersulit untuk mengetahui asal usulnya. Dengan adanya ketiga kelebihan diatas membuat para pelaku yang biasanya melakukan penyeludupan uang berpindah ke fasilitas ini. Selain E-Money tidak membutuhkan intermediary dalam pemindahan uang, tidak ada track record yang tercatat, E-Money didesain dalam mata uang yang beragam yang memudahkan untuk melakukan pencucian uang dari satu negara ke negara lainnya (Nasution, 2005), Ketujuh, Faktor dimungkinkannya penggunaan berlapis pihak pemberi jasa hukum (lawyer) untuk melakukan penempatan dana. Dengan cara ini, pihak penyimpan dana/deposan bukanlah pemilik yang sesungguhnya. Deposan hanyalah bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uang di suatu bank. Deposan ini bisa terjadi berlapis yang sekian sebelum sampai kepada pemilik yang sesungguhnya. Dengan kata lain, terjadi estafet secara berlapis-lapis, dan biasanya para penerima kuasa yang bertindak berlapis-lapis secara estafet itu adalah kantor-kantor pengacara. Kedelapan, Faktor adanya ketentuan perundang-undangan tentang keharusan merahasiakan hubungan antara lawyer (pengacara) dan kliennya dan antara akuntan dengan kliennya. Menurut hukum di kebanyakan negara yang telah maju, seperti Swiss dan Australia, kerahasiaan hubungan antara klien dan lawyer dilindungi oleh undangundang. Para lawyer yang menyimpan dana simpanan atas nama kliennya, tidak dapat dipaksa oleh otoritas yang berwenang untuk mengungkapkan identitas dari kliennya. Kesembilan, Faktor tidak bersungguh-sungguh pemerintah dari suatu negara untuk membiarkan praktek-praktek pencucian uang, karena memperoleh keuntungan dari dilakukannya penempatan uang-uang haram di perbankan negara. Dana yang terkumpul sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan, memperoleh keuntungan dari penyaluran dana, dan dapat memberikan konstribusi berupa pajak yang besar kepada negara. Kesepuluh, Faktor belum adanya undangundang pemberantasan pencucian uang di suatu negara. Hal ini dimungkinkan karena adanya keengganan dari negara untuk bersungguh-sungguh ikut memberantas praktek Money Laundering. Indonesia baru saja memiliki Undang-undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang kemudian mengalami beberapa perubahan dalam Undang-undang No.25 Tahun 2003. UPAYA PENCEGAHAN PENCUCIAN UANG Berkaitan dengan adanya kegiatan Money Laundering, dunia Internasional telah melakukan upaya untuk memberantas Money Laundering, dunia Internasional telah melakukan upaya untuk memberantas Money Laundering. Salah satunya adalah dengan membentuk The Financial Action Task Force an Money Laundering (FATF). Lembaga ini didirikan oleh negara-negara yang tergabung dalam G-7 Summit di Paris pada tahun 1989, dengan mengeluarkan empat puluh rekomendasi, FATF berjuang keras mendorong pemberlakuan ketentuan tentang Money Laundering di berbagai negara, dan juga mendorong adanya kerjasama Internasional untuk bersama-sama melakukan penanggulangan terhadap kejahatan yang sudah berkarakteristik Internasional ini. Pencucian uang sebagai satu bentuk kejahatan baru di Indonesia, meskipun sudah sejak lama terjadi di berbagai negara dunia telah menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian suatu negara, karena dalam praktek pencucian ini banyak dana-dana potensial yang tidak dimanfaatkan secara optimal. Praktek Money Laundering juga membuat ketidakstabilan pada ekonomi nasional, menyebabkan terjadinya fluktuasi yang tajam
15
Nurmalawaty: Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana…
pada nilai tukar dari suku bunga, beralihnya uang dari suatu negara ke negara lain, sehingga secara perlahanlahan dapat menghancurkan pasar finansial, yang berakibat pula pada menurunnya angka pertumbuhan ekonomi dunia. (Nasution, 2005) Salah satu usaha untuk mengegah dan memberantas praktek pencucian uang (Money Laundering) adalah dengan membentuk undang-undang yang melarang dan menghukum pelaku pencucian uang. Untuk usaha tersebut diatas, Indonesia pada saat ini telah memiliki Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undangundang No.15 Tahun 2002 yang kemudian dirubah dengan Undang-undang No.25 Tahun 2003. Pokok-pokok perubahan dan penyempurnaan undang-undang tersebut meliputi;penegasan pengertian pencucian uang, mengubah pendekatan dalam penetapan tindak pidana asal (Predicate Crime) dari sistem tertutup menjadi sistem terbuka, memperluas cakupan tindak pidana pencucian uang, lebih mengefektifkan pelaksanaan PPATK, memperluas kerahasian data, memperluas bentuk kerjasama internasional dalam penanganan pencucian uang. Sejak beroperasinya PPATK secara penuh tanggal 20 Oktober 2003, maka mulai efektifnya proses pembangunan rezim anti pencucian uang di Indonesia, upaya kuat rezim anti pencucian uang di Indonesia, upaya yang dilakukan adalah memperkuat empat pilar rezim (Zulkarnain, 2005). Pertama, hukum dan Peraturan perundang-undangan. Dimaksudkan agar tersedianya kerangka hukum dan peraturan perundang-undangan yang kuat, yang dapat menciptakan ketegasan dan kejelasan tentang rezim anti pencucian uang sehingga mempermudah proses penegakannya. Kedua, teknologi sistem informasi dan sumber daya manusia, yang bertujuan untuk menyediakan sarana informasi dan komunikasi global yang terintegrasi dan terjamin keamanannya, serta menciptakan sumber daya manusia yang tangguh, trampil dan memiliki moral yang tinggi. Ketiga, analisis dan kepatuhan. Hasil analisis laporan-laporan yang disampaikan oleh PPATK diharapkan mampu menghasilkan suatu kesimpulan yang memiliki kualitas sehingga dapat membantu penegak hukum secara optimal dalam penegakan hukumnya. Keempat kerjasama dalam negeri dan Internasional. Dengan adanya kerjasama yang erat antar instansi domestik dan kerjasama Internasional akan dapat diciptakan koordinasi lintas sektoral secara FIU (Finansial Intelengence Unit) dapat mempercepat terjadinya tukar-menukar informasi tanpa perlu mengorbankan aspek kerahasian. Selain undang-undang diatas dikenal adanya beberapa peraturan lain sebagai upaya pencegahan, yaitu; Pertama, prinsip mengenal nasabah (Know Your Costumer). Ketentuan prinsip mengenal nasabah ini diatur dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003 sebagai perubahan terhadap Peraturan Bank Indonesia Nomor3/23/PBI/2001 dan Nomor 3/10/PBI/2001. Dalam pasal 1point 2 disebutkan bahwa prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan Bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. Walaupun di Indonesia telah mempunyai peraturan prinsip mengenal nasabah dan undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang, bukan berarti Indonesia telah dinyatakan sebagai negara yang kooperatif dalam memberantas Money Laundering. Untuk mengatasi agar Indonesia tidak termasuk dalam daftar NCCTs (Non-Cooperatve Countries and Territories) diterbitkan peraturan-peraturan lainnya berkenaan dengan penerapan prinsip mengenal nasabah di lingkungan Industri pasar modal dan lembaga keuangan non bank lain. Beberapa ketentuan lain tentang prinsip mengenal nasabah adalah: (a) Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Bank Perkreditan Rakyat. (b) Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal Nomor: Kep-02/PM/2003 tentang Prinsip Mengenal Nasabah. (c) Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor: 45/KMK.06/2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Pada Lembaga Keuangan Non Bank. Dalam penerapan prinsip Know your Customer (Prinsip Mengenal Nasabah), ada beberapa kendala antara lain: (1) Takut kehilangan nasabah. Penyedia Jasa Keuangan (PJK) merasa khawatir kehilangan nasabah, baik untuk nasabah yang sudah ada maupun yang akan menjadi nasabah. Hal ini karena tidak serentaknya PJK dalam menerapkan Prinsip Mengenal nasabah. Kondisi ini memberikan peluang bagi nasabah untuk menolak memberikan informasi dan memindahkan dananya ke PJK yang belum menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah. (2) Skala Usaha bank yang sangat besar sehingga cukup menyulitkan bagi bank untuk melakukan pendataan profile seluruh nasabah yang sudah ada, disamping diperlukan pelatihan untuk karyawan dan pengadaan sistem informasi, Hal tersebut membutuhkan persiapan yang cukup panjang baik dari segi waktu, dana maupun keahlian. (3) Kurangnya perhatian dari masyarakat, sehingga terlihat belum adanya kerjasama yang baik dari masyarakat (nasabah) dalam menyampaikan informasi sebagaimana yang diminta oleh bank. Hal ini disebabkan terutama masih belum tersosialisasinya secara meluas ketentuan tersebut terhadap masyarakat umum. Kedua, peranan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Dalam Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003, pasal 18 disebutkan bahwa pembentukan PPATK adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya (Pasal 18 ayat 2) serta bertanggungjawab kepada Presiden (Pasal 18 ayat 3). Dalam melaksanakan fungsinya, PPATK mempunyai tugas: (a) Mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan undang-undang ini. (b) Memantau catatan dalam buku daftar pengecualian yang dibuat oleh Penyedia Jasa Keuangan. (c) Membuat pedoman mengenai tata cara pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan. (d) Memberikan nasehat dan bantuan kepada instansi yang berwenang tentang informasi yang diperoleh PPATK sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini. (e) Membuat pedoman dan publikasi kepada Penyedia Jasa Keuangan tentang kewajibannya yang ditentukannya
16
JURNAL EQUALITY, Vol. 11 No. 1 Februari 2006 dalam undang-undang ini atau dengan peraturan perundang-undangan lain, dan membantu dalam mendeteksi perilaku nasabah yang mencurigakan. (f) Memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang. (g) Melaporkan hasil analisis transaksi keuangan dan kegiatan lainnya secra berkala 6 (enam) bulan sekali kepada Presiden, dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap Penyedia Jasa Keuangan. (i) Memberikan informasi kepada publik tentang kinerja kelembagaan sepanjang pemberian informasi tersebut tidak bertentangan dengan Undang-undang ini (Pasal 26 Undang-undang No.25 Tahun 2003) Disamping tugas diatas, PPATK mempunyai wewenang: (a) Meminta dan Menerima laporan dari Penyedia Jasa Keuangan. (b) Meminta informasi mengenai perkembangan penyidikan atau penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang yang telah dilaporkan kepada penyidik atau penuntut umum. (c) Melakukan audit terhadap Penyedia Jasa Keuangan mengenai kepatuhan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam undangundang ini dan terhadap pedoman pelaporan mengenai transaksi keuangan. (d) Memberikan pengecualian kewajiban pelaporan mengenai transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, PPATK bersifat independen sebagaimana yang dimuat dalam UUTPPU yaitu: (a) Bertanggung jawab langsung kepada Presiden. (b) Tidak diperkenankannya setiap pihak untuk melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK. (c) Diwajibkannya kepala dan wakil kepala PPATK untuk menolak setiap campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangannya. Langkah-langkah kongkret yang dilakukan PPATK dalam upaya megimplementasikan UUTPPU adalah menerbitkan serangkaian ketentuan pelaksana agar dapat mengoperasikan undang-undang tersebut. Ketentuan pelaksanaan itu dikeluarkan dalam bentuk keputusan Kepala PPATK yang meliputi: (1) Pedoman umum tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. (2) Pedoman Identifikasi dan Pelaporan Transaksi Keuangan mencurigakan baik untuk Penyedia Jasa Keuangan, Pedagang Valuta asing maupun Usaha Jasa Pengiriman Uang. (3) Pedoman Pengecualian Transaksi Uang Tunai. Di samping itu, dalam rangka pembangunan rezim anti pencucian uang, PPATK mempererat kerjasama dengan instansi pemerintah terkait dan memperluas kerjasama internasional, khususnya dengan sesama FIU. Secara formal hal ini ditandai dengan ditandatanganinya MOU dengan Bank Indonesia, Bapepam, Dirjen Pajak, Dirjen Bea Cukai, Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan, Komisi Anti Korupsi dan Kolusi. Di samping itu juga ditandatangani MOU tentang tukar menukar informasi dengan FIU Thailand, Malaysia, Korea Selatan, Australia, Philipina dan Rumania. PPATK juga berperan aktif dalam setiap pertemuan-pertemuan internasional seperti sidang tahunan Asia Pacific Group on Money Laundering (APG) and The Egmont Group. Ketiga, peranan Bank Indonesia dalam mencegah pencucian uang. Peraturan Bank Indonesia untuk mencegah terjadinya tindak pidana pencucian yang tercermin dari berbagai ketentuan yang telah dikeluarkan oleh Bank Indonesia, antara lain: (a) Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.30/271/A/KEP/DIR tentang pengeluaran atau pemasukan mata uang rupiah dari atau kedalam wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan ketentuan tersebut, setiap orang yang membawa mata uang rupiah keluar masuk dalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp.5.000.000,- (Lima Juta Rupaiah) wajib mengisi formulir deklarasi. Selian itu, bagi setiap orang yang membawa mata uang rupaih ke luar atau masuk kedalam wilayah RI dengan jumlah lebih dari Rp.10.000.000,- (Sepuluh Juta Rupiah) selain wajib mengisi formulir juga harus memperoleh izin dari Bank Indonesia, (b) Peraturan Bank Indonesia No.2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum. Pasal 6 ayat (1) huruf J mengatur bahwa dalam rangka permohonan izin pendirian Bank Umum, calon pemegang saham bank wajib melampirkan surat pernyataan bahwa setoran modal bank tidak berasal dari dan untuk tujuan pencucian uang. Pasal 14 huruf b menetapkan bahwa sumber dana yang digunakan dalam rangka pemilikan bank atau pembelian saham bank dilarang dari atau untuk tujuan pemutihan uang. (c) Peraturan Bank Indonesia No.3/10/PBI/2001 jo No.3/23/PBI/2001 jo No.5/21/PBI/2003 jo No.5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Costumer Principles). (d) Peraturan Bank Indonesia No.6/1/PBI/2004 tentang Pedagang Valuta Asing. Keempat;Kerjasama Internasional Pencucian Transnational Crime, oleh karenanya pencegahan dan pemberantasannya memerlukan kerjasama internasional, demikian juga hukum nasional yang mengatur harus memenuhi standard internasional, karena bagaimanapun juga Indonesia adalah bagian dari masyarakat internasional, untuk itu harus mematuhi tata pergaulan internasional (Duadji, 2004). Dalam amandemen pasal 44 UU No.15 tahun 2002, kerjasama internasional diganti dengan bantuan timbal balik, sehingga rumusannya berbunyi: ”dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dapat dilakukan bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan negara lain melalui forum bilateral atau multilateral sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kerjasama bantuan timbal balik tersebut meliputi: Pertama, Pengambilan barang bukti dan pernyataan seseorang termasuk pelaksanaan surat rogatari (Letter of Rogatary). Surat Rogatory adalah surat dari Negara lain yang meminta pemeriksaan untuk mendapatkan keterangan mengenai suatu tindak pidana pencucian uang. Keterangan dalam surat itu dilakukan dibawah sumpah dihadapan penyidik, penutur umum atau hakim. Surat Rogatary yang diminta Indonesia dari Singapura misalnya keterangan yang didasarkan secara sumpah dihadapan pejabat hukum di Singapura begitu pula sebaliknya. Kedua, Pemberian Garang Bukti seperti dokumen dan catatan lainnya. Ketiga, Kerjasama mengenai identifikasi dan lokasi keberadaan seseorang. Keempat, Pelaksanaan permintaan untuk pencarian barang bukti dan penyitaan hasil kejahatan. Kelima, Kerjasama
17
Nurmalawaty: Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana…
melakukan pencarian, pembekuan dan penyitaan hasil kejahatan. Keenam. Kerjasama mengusahakan persetujuan kesediaan memberikan kesaksian atau membantu penyidikan di negara yang meminta. Ketujuh, Bantuan-bantuan lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam rangka kerjasama mencegah dan memberantas ”Transnasional Crime”, termasuk Money Loudering, Indonesia telah melakukan upaya: (a) Menerbitkan International Notice (b) Menerbitkan International Review yang berisi informasi tentang kejahatan dan penanggulangannya. (c) Menyelenggarakan seminar, simposium dan pelatihan. (d) Komputerisasi data dan info kejahtan. (e) Jaringan dan bantuan telekomunikasi. KESIMPULAN Secara umum pencucian uang diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan untuk merubah hasil kejahatan seperti, korupsi, kejahtan narkotika, perjudian, penyeludupan dan kejahatan lainnya, sehingga hasil kejahatan tersebut menjadi nampak seperti hasil kejahatan yang sah karena asal usulnya sudah disamarkan/disembunyikan. Dalam praktek pencucian uang sebagian besar mengandalkan sarana lembaga keuangan, terutama perbankan dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank, yang ada pada akhirnya timbul pemikiran bagaimana cara untuk mencegah terjadinya praktek pencucian ini. Sebab-sebab terjadinya pencucian uang ini pada dasarnya terletak pada faktor antara lain kelemahan dalam peraturan keuangan atau perbankan serta keseriusan pihak perbankan atau pemerintah dari suatu negara untuk memberantas praktek pencucian uang. Oleh karena itu upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mencegah praktek pencucian uang ini adalah dengan bekerjasama negara-negara dunia (kerjasama internasional) terutama dengan menerapkan prinsip mengenal nasabah. Di Indonesia usaha itu telah dilakukan dengan mengeluarkan kebijakan kriminalisasi pencucian uang yang kemudian dirubah dengan Undang-undang No.25 Tahun 2003. Untuk menunjang pemberlakuan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ini, telah dikeluarkan begitu banyak peraturan-peraturan lainnya di bidang moneter, yang pada hakekatnya sebagai upaya pencegahannya dari praktek pencucian uang. DAFTAR PUSTAKA Duadji, Susno. 2004. Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Pasca Amandemen UU No.15 Tahun 2002. Makalah pada Seminar Sosialisasi (Pemahaman tentang Tindak Pidana Pencucian Uang). Departemen Kehakiman RI. Medan. Ganarsih, Yenti. 2004. Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai Fenomena “baru” di Indonesia dan Permasalahannya. Makalah pada Seminar Sosialisasi (Pemahaman Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang). Departemen Kehakiman RI. Medan. Husein, Yunus. 2002. Upaya Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang di Medan. Nasution, Bismar. 2005. Rezim Anti Money Laundering di Indonesia. Pusat Informasi Hukum Indonesia. Bandung. ______ . 2004. Rezim Anti Money Laundering Untuk Memberantas Kejahatan di Bidang Kehutanan. Makalah pada Seminar Pemberantasan Kejahatan Hutan melalui Penerapan Undang-undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Medan. Panggabean, R.M. 2003. Kejahatan Narkotika dan Pencucian Uang. Makalah dalam Lokakarya Mengenai RUU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Jakarta. Siahaan, NHT.2002. Money Laundering, Pencucian Uang dan Kejahatan Perbankan. Cetakan I. Pustaka Sinar Harapan.Jakarta. Syahdeni, Sutan Remy. 2003. Pencucian Uang: Pengertian, Sejarah, Faktor-Faktor Penyebab dan dampaknya bagi Masyarakat. Jurnal Hukum Bisnis Vol.22 No.3. ______ . 2004. Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta. Sitompul, Zulkarnain. 2005. Upaya Mencegah dan Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang. Pelatihan Penerapan Undang-undang Anti Pencucian Uang. Medan.
18