Mamang : Hukum Money Laundering
HUKUM "MONEY LAUNDERING" INDONESIA : SUDAH MEMADAIKAH MELAWAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG Damrah Mamang Abstract The concrete activity against money laundering has become internationally concenrn since the establishment of UN Drug Convention in 1988, in Vienna, Switzerland. The UN Drug Convention signed by 106 states and it is basically used as ground for the supervition over money laundering activities in many countries. The Anti Money Laundering has also become the concern of bank orfinancialinstitution since the existence of Basle Committee on Banking Regulation and Supervision Practice which recommend that the bank should pay attention and make necessary regulation to record customer identification properly. In the money laundering combat, G-7( Group Seven ) founded the International body Anti Money laundering known as the Financial Action Task Force on Money laundering ( FATF) and drawn up the Forty Recommendation in 1990 and then it revised in 1996. As a part international community, Indonesia should actively participate in every effort againts money laundering nationally and multilateral. In general, Money Laundering as certain process or activity executed by a person or criminal organization towards money originating from a criminal offense, which has the intention to hide the source of this money from the government or organization authorized to take actions againts this criminal offense, which makes mainly use of the method to distribute the money into the financial system, thereafter resulting this dirty money, when retrieved from the financial system, to be clean and legal. Meanwhile, Bank Indonesia ( the Central Bank )asa control institution of the banking system in Indonesia, has released a regulation No. 3/10/PBI/2001 consisting of Know Your Customer ( KYC) as a part of government concern to prevent national banking system monyel laundering. The regulation has been suported by international recommendation as avowed by the Basle Committee on Banking Supervision and the FATF. Keywords: Law, money laundering,anti money laundering, FATF criminal offense, dirty money, un drug convention.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003 33
Mamang : Hukum Money Laundering
Pendahuluan Berakhir sudah pro - kontra seputar perlunya Indonesia memiliki hukum (baca: UU) yang mengatur secara eksplisit segala ikhwal yang berkaitan dengan praktek Money Laundering (ML) atau Pencucian Uang. Suatu UU yang memastikan ML sebagai kejahatan atau tindak pidana menurut hukum positif Indonesia, kini telah ada. Sampai disini, semangat kebebasan berwacana dan debat publik masih menggema, walau intensitasnya mulai mendatar. Betapa tidak. Tatkala awal April 2002, sidang terakhir anggota DPR RI bersama Pemerintah guna mensahkan RUU ML menjadi UU, ada hal yang terkesan agak ironis. Ini terutama berkaitan dengan jumlah anggota Dewan yang sedianya hams hadir sebanyak 309 orang berdasarkan daftar hadir yang sudah dibubuhi tanda tangan anggota Dewan, ternyata hanya 50 orang anggota dewan yang hadir secara fisik. Selebihnya hanya diwakilkan paraf / tanda tangannya saja. Walau demikian, RUU ML akhirnya disetujui untuk disahkan sebagai UU. Tentunya semua mekanisme itu sah secara hukum 34
dan sesuai dengan aturan main yang berlaku di DPR RI sebagai lembaga politik legislatif. Maka lahirlah UU No. 15/2002 tentang Tindak pidana Pencucian Uang (selanjutnya dalam artikel ini ditulis: UU TPPU), yang disahkan pada 17/4/2002 dalam LNRI tahun 2002 No. 30. Selain itu, struktur UU ini disusun dalam 10 Bab, 46 pasal, berikut penjelasan yang merupakan satu entitas dengan batang tubuh UU ini. Penulis mencoba mendeskripsikan beberapa hal fundamental yang mendapat penguatan dalam UU ini. Antara lain: batasan ML, jenis - jenis tindak pidana, modus operandi dari tindakan yang tergolong tindak pidana pencucian uang, upaya penanggulangan dalam sistem law enforcement yang kondusif dan konsisten, agar tercapai kepastian hukum yang berbasis keadilan. Selain itu, tulisan ini juga mendorong tumbuhnya iklim diseminasi dan sosialisasi yang efektif, mudah, sederhana agar tepat sasaran dalam menyentuh kesadaran dan nurani masyarakat. Tentunya, termasuk petugas terkait dan aparat penegak hukum, agar terwujud secara efektif strategi law enforcementnya. Sehingga pada gilirannya hukum Money
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003
Manning : Hukum Money Laundering
Laundering di Indonesia benar benar membumi dalam menanggulangi kejahatan pencucian uang haram - menjadi uang yang terkesan legal, dalam jumlah yang semakin menggiurkan dan merangsang hasrat materialistis setiap orang maupun lembaga untuk memilikinya. Money Laundering: sejarah dan batasan Terminologi Money Laundering (ML) dikenal di AS sejak tahun 1930 dan tumbuh bersamaan dengan maraknya organisasi kejahatan mafia yang membeli perusahaan pencucian pakian {laundry) sebagai tempat pemutihan / pencucian uang yang dihasilkan dari bisnis ilegalnya, seperti perjudian, pelacuran, minuman keras (M. Aulia Gislir, 1999, Newsletter: No. 39/ X/ Desember/1999, 12). Dalam percakapan populis, istilah money laundering (ML) tidak jarang diterjemahkan dengan pemutihan uang/ pencucian uang. Sehingga seorang ekonom dan juga Pejabat BI, Prof. Anwar Nasution misalnya, tertarik menggunakan
istilah pemutihan uang. Menurut ekonom senior Universitas Indonesia ini (1998), Pemutihan Uang adalah cara atau proses mengubah uang (pendapatan dan kekayaan) yang diperoleh dengan cara yang 'ilegal' sehingga menjadi seolah -olah berasal dari sumber yang sah atau halal ditinjau dari kaca mata ketentuan hukum". Selanjutnya dikatakan, dari segi hukum, pemutihan uang haram dapat dilakukan melalui dua cara, yakni legal dan ilegal. Cara legal, misalnya dengan pengampunan pajak. Cara ini lazim dilakukan semasa rezim Orde Baru guna melanggengkan status quo kekuasaannya. Cara ilegal, sebagaimana praktek Money Laundering sebagaimana maksud UU No. 15/ 2002, yang juga menjadi sasaran analisa artikel ini. Bagi seorang Sarah N. Welling sebagaimana yang dikutip Prof. Sutan Remy Sjahdeini (JHB, 2000), menjelaskan , munculnya money laundering dimulai dengan adanya uang haram (dirty money). Dikatakan pula, uang dapat menjadi kotor karena dua cara. Pertama, melalui penggelapan pajak (tax evasion). Secara teknis, pelaku Money Laundering memperoleh uang secara legal,
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003
35
Mamang : Hukum Money Laundering
Menurut sumber yang diterbitkan BPHN (1993) sebagaimana yang dikutip seorang praktisi hukum dan penulis buku - buku hukum ternama, Munir Fuady, dalam salah satu bukunya berjudul, 'Hukum Perbankan Modern" (2002). la mendefenisikan Money Laundering adalah suatu investasi uang atau transaksi yang berasal dari kejahatan terorganisir, transaksi tidak sah di bidang narkotika dan sumber - sumber tidak sah lainnya, dengan tujuan
agar uang tersebut berjalan melalui saluran - saluran yang sah, sehingga sumber aslinya tidak dapat dilacak kembali. Jadi merupakan penghapusan jejak jika ada yang menelusuri sumber asal uang yang tidak sah tersebut. Dengan telah disahkan UU No. 15/ 2002 sebagai bagian dari hukum positif, maka dari perspektif hukum pidana Indonesia, dapat dikatakan Money Laundering adalah sebuah kejahatan atau tindak pidana. Maka tindak pidana Money Laundering tidak lain merupakan upaya untuk menyimpan sejumlah besar uang di bank atau lembaga keuangan lainnya, mengalihkan uang atau menitipkannya, menghadiahkan, menghibahkan, menginvestasi atau menarik keuntungan dari hasil yang sepatutnya harus diketahui atau patut diduga diperoleh dari tindak pidana sebagaimana tercantum dalam pasal 2 UU No. 15/ 2002, mulai dari Tindak Pidana Korupsi hingga penipuan. Dalam perspektif hukum pidana intenasional, praktek Money Laundering - selain tergolong jenis kejahatan white collar crime I kejahatan kerah putih - juga merupakan kejahatan transnasional/ kejahatan
36
is Pelita Harapan, Vol. II, No. 3, Maret 2003
tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan perhitungan pajak lebih sedikit, dari yang sebenarnya diperoleh. Kedua, memperoleh uang melalui cara - cara yang melanggar hukum. Misalnya, melakukan penjualan obat obatan terlarang atau perdagangan narkoba secara gelap (drug sales atau drug trafficking), perjudian gelap (illegal gambling), penyuapan (bribery), terorisme (terrorism), pelacuran (prostitution), perdagangan senjata (arms trafficking) penyelundupan imigran gelap (illegal imigration rackets or people smuggling), dan kejahatan kerahputih (white collar crime).
Law Review, Fakultas Hukum b
Mamang : Hukum Money Laundering
bedimensi internasional yang menjadi musuh bersama masyarakat internasional. Sehingga keberadaan kejahatan Money Laundering diatur pula dalam instrumen Hukum Internasional. Misalnya, pasal 3 (1), dari United Nations Convention Against Illicit Trafic in Narcitic Drugs and Psycotropic Substance (Konvensi PBB) yang disahkan sejak 19 Desember 1988. Indonesia telah meratifikasinya dalam UU No. 8/1996, sejak 31/1/1997. Dari aneka pandangan dan redaksional itu, pada prinsipnya mewacanakan suatu hal penting, yakni adanya tindakan / praktek yang sengaja diatur mekanismenya sedemikian rupa berkaitan dengan kekayaan / asset yang berasal dari kejahatan. Ini menunjukan praktek Money Laundering juga sebagai proses mentransformasikan uang haram menjadi seolah - olah uang halal. Namun esensinya, uang hasil 'daur ulang' itu tetap haram baik berdasarkan hukum agama maupum hukum positip, karena bersumber dari tindak kejahatan. Godaan materialistis seperti itu bisa dimaklumi di tengah krisis
multidimensional kian membara dalam tubuh bangsa ini. Dalam kondisi krisis likuiditas keuangan negara seperti ini, uang panas hasil kejahatan bisa sangat menggiurkan, baik bagi negara maupun lembaga keuangan yang tengah menghadapi masalah likuiditas. Fenomena itu menjadi kondusif untuk tumbuh suburnya lahan pencucian uang panas. Apalagi jumlahnya sangat fantastis. Sementara, negara itu belum menegaskan tindakan Money Laundering sebagai kejahatan atau tindak pidana dalam norma dan sistem hukum pidananya. Syukurlah, sebagai bangsa yang bermartabat dan berperadaban, serta sebagai negara hukum, Indonesia berjuang secara sistemik, konsepsional dan konsisten dalam rangka penegakan supremasi hukum, diantaranya dengan membuat UU tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Perspektif UU No. 15/ 2002 Dalam perspektif yuridis, Ketentuan UU Tindak Pidana Pencucian Uang tidak merumuskan defenisi Money Laundering secara spesifik. UU ini memberikan suatu penegasan
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003
37
Mamang : Hukum Money Laundering
penting kedudukan Money Laundering dalam hukum pidana Indonesia sebagai suatu kejahatan. Atau meminjam ungkapan seorang Pejabat Bank Indonesia (BI) Yunus Husein, SH., LL. M, yang mengatakan bahwa pemicu ML adalah tindak pidana atau aktivitas kriminal {JHB.Vol. 16, 11/2001,30). Hal ini tidak pernah kita temukan dalam instrumen hukum lain sebelumnya, termasuk ketentuan dalam PBI No. 3/ 10/ 2001 tentang Prinsip Mengenal Nasabah {Know your customer principles). Sedangkan dalam Bab II tentang tindak pidana pencucian uang, UU No. 15/ 2002, menguraikan unsur - unsur tindak pidana, ancaman pidana dan sebagainya. Pada pasal 2, menentukan sejumlah kejahatan yang menjadi sumber mendatangkan uang haram. Sedangkan pada Ketentuan Umum, dirumuskan pula beberapa pengertian. Misalnya, Penyedia Jasa Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksadana, kustodian, wali amanat, lembaga 38
penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun dan perusahaan asuransi. Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa sesuai dengan ketentuan UU ini. Dalam konteks ini, pihak BI memberikan beberapa contoh transaksi yang dapat dikategorikan sebagai transaksi yang mencurigakan (TYM ), meliputi: 1. TYM dengan menggunakan pola transaksi tunai. 2. TYM dengan menggunakan rekening Bank. 3. TYM melalui transaksi yang berkaitan dengan investasi. 4. TYM melalui aktivitas bank di luar negeri. 5. TYM yang melibatkan karyawan bank dan atau agen. 6. TYM melalui pinjam meminjam (Majalah Bank & Manajemen, edisi Maret / April 2002, 47).
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003
Mamang : Hukum Money Laundering
Sedangkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) adalah lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Tentang struktur dan mekanisme kerja PPATK telah terbentuk, yang dipimpin oleh Yunus Husein, SH., LL. M mantan Deputi Direktur Direktorat hukum Bank Indonesia. Langkah dan sepak terjang Kepala PPATK beserta jajarannya di Bank Indonesia mulai terlihat hasilnya, walau masih merupakan mengumpulan data seputar transaksi yang mencurigakan. Dalam sebuah konperensi pers, tgl. 30/ 12/ 2002, Kepala PPATK mengatakan {Suara Pembaruan, 31/12/002), sejak bulan Februari 2002 sudah tercatat 135 transaksi yang mencurigakan sebagai hasil tndak pidana Money Laundering. Jumlah tersebut dilaporkan oleh sepuluh bank dimana sembilan kasus diantaranya sudah diproses oleh aparat kepolisian. Jika hasil penyelidikan dan penyidikan pihak penyidik menemukan adanya bukti permulaan yang cukup maka proses hukum itu akan dlianjutkan ke sidang pengadilan, maka ancaman hukuman bagi tersangka atau
terdakwa minimal lima tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara, ditambah dengan membayar denda antara lima milyar rupiah hingga 15 milyar rupiah (pasaUUUNo. 15/2002). Permasalahan lain, apakah ada batas nominal Harta Kekayaan (HK) sebagai hasil tindak pidana sehingga dapat diklasifikasikan sebagai Tindak Pidana Pencucian Uang. Jelas ada! Tentunya, ini senapas dengan semangat pasal 2, yang berbunyi: " Hasil tindak pidana adalah hasil kekayaan yang berjumlah Rp. 500juta,-atau lebih atau nilaiyang setara yang diperoleh secara langsung atau tidak dari kejahatan: korupsi, penyuapan, penyelundupan barang, tenaga kerja, imigran, perbankan, narkotika, psikotropika, perdagangan budak, wanita, dan anak, perdagangan gelap senjata, penculikan, terorisme, pencurian, penggelapan, danpenipuan". Catatan media massa, menyusul disahkan UU ini, bahwa aneka jenis kejahatan sebagaimana tersebut di atas, dari korupsi hingga penipuan, ternyata praktek perjudian yang semula ada dalam RUU ini, terhapus sewaktu
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003
39
Mamang : Hukum Money Laundering
disahkan. Hal ini menjadi tidak lengkapnya UU Tindak Pidana Pencucian Uang karena perjudian sebagai suatu tindak pidana tidak jarang melibatkan uang haram dalam jumlah yang fantastis pula. Begitu pula dengan nilai atau angka Rp. 500 juta, menuai perdebatan tersendiri. Karena dalam RUU Tindak Pidana Pencucian Uang hingga saat hendak disahkan, masih tertulis Rp. 100 juta dan bukan Rp. 500 juta. Baru detik - detik terakhir pengesahan, muncul usulan terkesan dipaksakan kepada DPR, dan meminta peserta sidang untuk selanjutnya menyepakati, lalu membuahkan angka Rp. 500 juta,. Dan itulah nilai yang disetujui. Implikasinya? Kalaupun melalui korupsi, penyuapan, penyelundupan, perdagangan gelap obat - obatan dan seterusnya, tapi hasil kekayaan kejahatan itu - bila nilainya di bawah Rp. 500 juta, atau tidak mencapai Rp. 500 juta, maka tidak masuk kategori pencucian uang / Money Laundering. Ini tentu ironis dan sangat disayangkan, kesannya, ada semacam 'penitipan' kepentingan tertentu dalam proses politik menggolkan UU ini. Tetapi itulah adanya. Sebagai bahan 40
perbandingan, UU Tindak Pidana Pencucian Uang di AS dan Australia mematok angka US $ 10.000,- dan Jepang menentukan angka US $ 20.000,- sebagai nilai HK dari hasil tindak pidana yang tergolong Pencucian Uang/ Money Laundering. Disinilah sedikit keraguan publik muncul, ada apa dengan UU Tindak Pidana Pencucian Uang? Sepertinya terkesan UU itu memberantas kejahatan Money Laundering dengan setengah hati. Perjalanan waktu dan sejarah law enforcement dalam hukum Money Laundering di negeri ini, yang akan membuktikannya. Mengapa? Sebab, hakekat law enforcement di Era Reformasi disamping penguatan terhadap sistem hukum, juga mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap wibawa hukum, dalam konteks, tegaknya supremasi hukum sejatinya di negeri ini. Ini visi hukum yang harus dibangun ke depan. Sedangkan menyangkut seberapa beratnya ancaman hukuman atau sanksi pidana bagi pelaku Money Laundering! Ketentuan UU Tindak Pidana Pencucian Uang menegaskan, setiap orang (baik orang perorang
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003
Mamang : Hukum Money Laundering
maupun korporasi) dengan sengaja melakukan suatu kejahatan yang tergolong Tindak Pidana Pencucian Uang, dengan cara - cara berikut: menempatkan Harta Kekayaan (HK), mentransfer, membayarkan / membelanjakan, menghibahkan/ menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau menyembunyikan/ menyamarkan asal - usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana, maka diancam dengan pidana penjara 5 sampai 15 tahun dan denda minimal Rp. 5 milyar hingga Rp. 15 milyar. (ps. 3 jo ps.6). Termasuk dalam kategori ini, tindakan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untukmeloloskanterjadinya kejahatan Money Laundering. Bagi korporasi dan pengurusnya tidak luput dari sanksi pidana bila terbukti secara hukum, terlibat dalam aktivitas aktivitas dan jenis - jenis kejahatan yang merupakan ruang lingkup Tindak Pidana Pencucian Uang. Sanksinya pun bervaritatif, mulai dari pidana denda hingga ancaman pencabutan izin usaha bahkan dapat saja dilikuidasi bila
sesuai rasa keadilan masyarakat. Misalnya, melalaikan kewajiban dalam hal adanya transaksi keuangan yang mencurigakan, atau transaksi bernilai Rp. 500 juta ke atas, baik hanya sekali maupun beberapa kali transaksi dalam sehari. ( ps. 13 ). Begitu maraknya aksi kejahatan Money Laundering, jumlah uang yang diperoleh para pelaku juga sangat fantastis. Menurut mantan Managing Director IMF, Michael Camdessus, jika diperkirakan volume dari cross border Money Laundering sekitar 2 - 5 % dari Gross Domestic Product Dunia. Bahkan dalam jumlah yang lebih kecil, hasil dari perdagangan narkotika, penyelundupan senjata api, kejahatan perbankan, pemalsuan uang di seluruh dunia diperkirakan hampir mendekati US $ 600 milyar (JHB; 2001). Data lain tak kalah menariknya. Misalnya, dalam sidang tahun 1990, kelompok negara G - 7, secara khusus membahas laporan pemutihan uang haram dari penjualan narkoba, yang diperkirakan dari AS dan Eropa pertahun mencapai US $ 122 milyar. Tentunya nilai itu sebagian saja dari total harta
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003
41
Mamang : Hukum Money Laundering
kekayaan yang digunakan dalam praktek Money Laundering. Tiga tahap proses ML Bagi Organisasi Kejahatan (OK), Harta Kekayaan (HK) sebagai hasil kejahatan - ibarat darah dalam satu tubuh. Maksudnya apabila aliran Harta Kekayaan melalui sistem perbankan internasional yang dilakukan mereka itu diputuskan, maka Organisasi Kejahatan tersebut lama kelamaan akan menjadi lemah, berkurang aktivitasnya bahkan menemui ajal kematiannya. Untuk itu, pelbagai langkah ditempuh oleh Organisasi Kejahatan agar secara leluasa melakukan pencucian uang supaya asal - usul Harta Kekayaan yang sangat dibutuhkan tersebut sulit atau tidak dapat dilacak oleh pihak perbankan maupun aparat Penegak Hukum. Bila perbuatan jahat menghimpun uang haram itu dibiarkan sangat merugikan dan mengancam sendi - sendi kehidupan politik, hukum dan ekonomi secara nasional, karena menjamurnya pelbagai bentuk kriminalitas dalam masyarakat. Secara analisis akademis, maupun 42
praktek empiris, pola praktek Money Laundering umumnya dilakukan tidak hanya dengan satu pola, tapi beragam. Metode yang lazim, mulai dari jual beli barang-barang berharga dan mewah sampai pengalihan uang itu melalui tarnsaksi bisnis internasional yang rumit melalui perusahaan-perusahaan fiktif. Dari pelbagai metode yang ada, menurut seorang guru besar FH UI, Prof. Erman Rajagukguk, bahwa praktek money laundering dimanapun biasanya terdiri dari tiga fase / tahap : placement, layering, dan integration (JHB, Volume 16 Nopember 2001, 16). Dan ketiga tahap itu bisa berlangsung secara simultan. Penjelasannya sebagai barikut: Pertama, Penempatan {placement), yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari Tindak Pidana (TP) ke dalam sistem keuangan financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dll), kembali ke dalam sistem keuangan terutama banking system. Cara lain, misalnya dengan electronic transfer, penyelundupan tunai, ke luar negeri atau jasa kurir.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003
Mamang : Hukum Money Laundering
Kedua, Transfer {layering), yakni upaya untuk mentransfer harta kekayaan dari hasil tindak pidana {dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada Penyedia Jasa Keuangan (terutama Bank) sebagai hasil dari upaya penempatan {placement) ke Penyedia Jasa Keuangan yang lain. Fase ini menjadi kian sulit bagi Penegak Hukum untuk mengetahui secara pasti asal usul / riwayat harta kekayaan tersebut karena mekanisme perbankan internasional. Ketiga, Intergration (menggunakan HK). Artinya, bahwa keinginan untuk menggunakan harta kekayaan itu telah berhasil secara utuh ke dalam sistem keuangan melalui penempatan, atau transfer sehingga seolah - olah menjadi harta yang halal {clean money) untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kegiatan kejahatan yang melindungi dan menyuburkan praktek money laundering sebagai kejahatan transnasional. Pada akhirnya menempatkan kembali uang itu di negara asalnya. Dan ketiga fase/ tahap tadi, kini telah diakomodasikan dalam UU Tindak Pidana Pencucian Uang.
Faktor Penyebab, modus dan metode. Menurut Pakar Hukum Perbankan dan mantan pejabat Bank, Prof. Sutan Remy Sjahdeini, (2002), Praktek money laundering sebagai kejahatan transnasional tidak mudah pemberantasannya. Karena didorong oleh beberapa faktor sebagai penyebab maraknya praktek money laundering. Faktor - Faktor itu antara lain: Pertama, Adanya ketentuan rahasia bank yang sangat ketat dalam sistem hukum perbankan dari negara yang bersangkutan. Mengenai hal ini Indonesia telah mengantisipasinya dengan mengamandemen UU No. II1992 menjadi UU No. 10/1998 tentang perbankan, dimana substansi perubahan itu antara lain menyangkut ketentuan rahasia bank (pasal 41 - pasal 48). Kedua, dimungkinkan adanya ketentuan perbankan suatu negara, dimana nasabah penyimpan dapat menyimpan uangnya di suatu bank dengan memakai nama samaran atau tanpa nama (anonim). Misalnya, Austria, Swiss. Ketiga, Tidak adanya political will Pemerintah untuk secara sunguh - sungguh memberantasnya melalui sistem
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003
43
Mamang : Hukum Money Laundering
perbankan yang berlaku di negaranya, kendati telah ada instrumen hukum yang melarang praktek money laundering. Mengapa? Ya, karena negara tersebut memperoleh keuntungan dari ditempatkannya uang haram diperbankan negara tersebut. Misalnya, pajak atas bunga deposito, dan jasa bank lainnya. Keempat, munculnya jenis uang baru yang disebut electronic money atau E -. Money, yaitu sehubungan dengan maraknya electronic commerce atau ecommerce melalui internet. Money Laundering yang dilakukan dengan menggunakan jaringan internet, (Cyberspace), disebut Cyberlaundering. E Money adalah nama generik yang diberikan kepada konsep mata uang yang ditandatangani oleh suatu lembaga penerbit melalui kunci enkripsi (rahasia) pribadi (private encryption key) dan ditransmisikan kepada seseorang. Uang tersebut kemudian dapat dinegosiasikan secara elektronik dengan pihak - pihak lain sebagai pembayaran barang - barang dan jasa di manapun di dunia. Kelima, Karena dimungkinkan dilakukan dengan cara layering (pelapisan). Dengan cara ini pihak nasabah penyimpan, bukanlah pemilik 44
dana yang sesungguhnya. la hanya bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uang tersebut di suatu bank. Keenam, Karena berlakunya ketentuan hukum berkenaan dengan kerahasiaan hubungan antara klien dengan lawyer. Dana simpanan di bank - bank sering mengatasnamakan suatu kantor pengacara/ lawyer. Ketujuh, Karena belum adanya UU Money Laundering di suatu negara. Adapun modus operandi yang sering mendominasi praktek Money Laundering oleh para pelaku menurut H. As. Mahmoedin, sebagaimana yang dikutip Munir Fuady (2001) adalah, antara lain: 1. Kerjasama Penanaman Modal, 2. Agunan kredit Bank Swiss, 3. Transfer ke luar negeri, 4. Usaha Tersamar di dalam negeri, 5. Tersamar dalam perjudian, 6. Penyamaran dokumen, 7. Pinjaman luar negeri, 8. Rekayasa pinjaman luar negeri. Selanjutnya masih menurut Munir Fuady (2001), bahwa jika
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003
Mamang : Hukum Money Laundering
dilihat secara keseluruhan ada dua tingkat kejahatan dalam Money Laundering. Pertama, Kejahatan yang menghasilkan uang itu sendiri. Misalnya, perdagangan obat bius, senjata gelap, korupsi, dll. Kedua, Kejahatan pemutihan uang, yakni uang hasil kejahatan itu diproses pemutihannya. Dimana sungguhpun secara formal kelihatannya legal, namun secara materil tetap ilegal karena diperileh dengan cara yang haram/ ilegal. Selain soal modus operandi, secara metodik, praktek Money Laundering juga mengenal beberapa metode yang selama ini dipakai para pelakunya. Menurut NHT. Siahaan (2002), setidaknya ada tiga metode dalam praktek Money Laundering. Pertama, metode buy and sell conversions. Kedua, metode offshore conversions. Ketiga, metode business conversions. Metode pertama, dilakukan melalui transksi barang - barang dan jasa. Misalnya, suatu aset dapat dibeli dan dijual kepada konspirator yang bersedia membeli atau menjual secara lebih mahal dari harga normal dengan mendapatkan diskon/ fee. Selisih harga dibayar dengan uang ilegal
dan kemudian dicuci secara transaksi bisnis. Barang atau jasa itu dapat diubah seolah - olah menjadi hasil yang legal melalui rekening pribadi atau perusahaan yang ada di suatu bank. Metode kedua dengan cara uang kotor dikonversi ke suatu wilayah yang merupakan tempat yang sangat menyenangkan bagi para pelaku penghindaran pajak (tax heaven money laundering centers) - untuk kemudian didepositokan di bank yang berada di wilayah tersebut. Di negara yang termasuk atau berciri tax heaven demikian, biasanya mempunyai sistem hukum perpajakan yang tidak ketat, sistem rahasia bank yang ketat, birokrasi bisnis yang cukup mudah untuk adanya rahasia bisnis yang ketat serta pembentukan usaha trust fund. Metode ketiga biasanya dilakukan melalui kegiatan bisnis yang sah sebagai cara pengalihan atau pemanfaatan dari sesuatu hasil uang kotor. Hasilnya kemudian dikonversi secara transfer, cek atau alat pembayaran lain untuik disimpan di rekening bank lainnya. Umumnya para pelaku bekerjasama dengan suatu
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003
45
Mamang : Hukum Money Laundering
perusahaan yang rekeningnya dapat digunakan sebagai "terminal" untuk menampung uang kotor tersebut. Apakah UU Tindak Pidana Pencucian Uang Indonesia telah cukup memadai untuk menangkal tindak pidana pencurian uang ? Jawaban karena sebaik baiknya suatu UU tetap bila pelaksananya ... maka UU baik itu menjadi percuma. DAFTAR PUSTAKA
Jurnal Hukum Bisnis, Jakarta, Edisi Vol. 3, 1998, YPHB. Edisi Vol. 11,2000, YPHB. Edisi Vol. 16 Nopember 2001, YPHB. Majalah Bank & Manajemen, Jakarta, Edisi Maret - April 2002 - No. 65. Majalah Forum Keadilan, Jakarta, Edisi No. 51, 7 April 2002. Munir Fuady, Hukum perbankan Modern Buku Kedua (Tingkat Advance), 2001, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya
Faisal Baasir, Money Laundering, Malajah Forum Keadilan, Jakarta, Edisi No. 19, 25 Agustus 2002
NHT. Siahaan, Pencucian Uang Dan Kejahatan Perbankan, 2002, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan.
Hashemi Rafsanjani, 2001, Keadilan Sosial, Bandung, Penerbit Nuansa Yayasan Nuansa Cendekia.
Newsletter Komisi Hukum Nasional RI, Jakarta, Edisi Pebruari 2002.
HU Media Indonesia, 17/7/2001, Harian Umum Republika, 19/12/ 2002. HU Suara Pembaruan, 31/ 12/ 2002. HU Bisnis Indonesia, 23/ 9/ 2002, 16/7/2001. HU Kompas, 28/7/2002, 28/6/ 2001, 30/6/2001. 46
Pemutihan Uang Hasil kejahatan, Money Laundering, Bunga Rampai, 1995, Jakarta, Penerbit Universitas Trisakti. UUNO. 15/2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, 2002, Jakarta, BP Panca Usaha Putra. UU No. 10/ 1998 Tentang Perbankan, 1998, Jakarta, Penerbit, CV Eko Jaya.
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. II, No.3, Maret 2003