Faktor Penyebab dan Dampak Psikologis Persaingan antar Saudara Kandung pada Mahasiswa yang Tinggal Satu Kost Meidia Sari Universitas Ahmad Dahlan Jalan Kapas 9, Semaki Yogyakarta 55166
[email protected]
Abstrak
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui faktor penyebab dan dampak psikologis persaingan antar saudara kandung pada mahasiswa yang tinggal satu kost. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan wawancara semi terstruktur dan observasi yang digunakan adalah observasi partisipan serta dengan studi dokumen. Teknik analisis yang digunakan adalah content analysis. Subjek dalam penelitian ini adalah dua pasang mahasiswa kakak beradik yang tinggal satu kost dan mengalami persaingan antar saudara kandung. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor penyebab persaingan antar saudara kandung ada dua faktor, yaitu faktor internal antara lain: temperamen individual, perkembangan kebutuhan, serta kendala fisik dan kognitif. Sedangkan faktor eksternal antara lain: modelling dari orang tua, favoritisme terhadap salah satu anak, faktor budaya, peran ayah yang lemah, dan urutan kelahiran. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dampak psikologis persaingan antar saudara kandung adalah dampak terhadap psikososial yaitu hubungan interpersonal yang kurang baik, menjadi pemurung, dampak terhadap prestasi, dan gangguan psikosomatis. Kata kunci: persaingan antar saudara kandung, dampak psikologis, mahasiswa
Abstract The research was conducted to determine the causes and psychological effects of sibling rivalry at a boarding student living. The research method used was a qualitative method. Data collection techniques in this study was conducted using semi-structured interviews and observations used were participant observation and the study of documents. The analysis technique used was content analysis. Subjects in this study were two pairs of sisters living student of the boarding house and experienced sibling rivalry. The results of this study indicate that the causes of sibling rivalry between two factors, namely internal factors include: individual temperament, developmental needs, as well as physical and cognitive constraints. The external factors include: modelling from parents, favoritism to one child, cultural factors, the role of the weak father, and birth
order. The results also showed that the psychological impact of sibling rivalry is a psychosocial impact on the interpersonal relationships that are less good, being moody, effects on achievement, and psychosomatic disorders. Keywords: sibling rivalry, the psychological impact, student Pendahuluan Kelahiran adik baru dalam kehidupan anak dapat menimbulkan rasa cemburu yang merupakan emosi yang biasa ditemukan dan dialami oleh anak. Sebelum adik lahir, anak merasa orang tua menjadi miliknya sepenuhnya dan tidak perlu bersaing dengan orang lain untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian orang tua (Thompson, 2003). Persaingan antar saudara kandung adalah suatu hal yang normal terjadi dalam suatu keluarga dengan berbagai macam bentuk persaingan di antara kakak dan adik. Selama persaingan tersebut tidak ada kebencian dalam hati dan tidak ada motif-motif negatif lainnya (Priatna dan Yulia, 2006). Bahkan, saudara kandung yang dapat bergaul dengan baik juga memiliki perasaanperasaan persaingan. Antara saudara kandung yang memiliki hubungan baik, kadang juga membandingkan dirinya dengan saudaranya tersebut secara pribadi, dan masing-masing berharap dirinya atraktif, cerdas, atletis, dan baik sebagaimana saudaranya (Fleming & Ritts, 2007). Menurut Baskett dan Johnson (Santrock, 2011) bahwa ada beberapa bukti yang menyatakan bahwa interaksi antara saudara kandung berbeda dari interaksi orang tua-anak. Observasi menunjukkan bahwa anak-anak berinteraksi lebih positif dan lebih bervariasi dengan orang tuanya daripada dengan saudara kandungnya. Anak-anak juga lebih mematuhi perintah orang tuanya daripada perintah saudara kandungnya, dan saudara kandung mereka berperilaku lebih negatif dan menghukum terhadap saudara kandung daripada terhadap orang tuanya. Fleming dan Ritts (2007) menyatakan bahwa persaingan antar saudara kandung yang biasa terjadi bukan merupakan sebuah konflik yang serius antara saudara kandung yang penuh pertentangan karena iri, cemburu, atau prasangka jahat. Tetapi, persaingan antar saudara kandung adalah konflik sehari-hari mengenai hal hal yang sepele yang jarang terjadi ketika seorang pendatang baru muncul dan mendadak perhatian harus terbagi. Sedangkan menurut Gichara (2006) bahwa persaingan antar saudara kandung adalah sikap saling bermusuhan dan cemburu di antara saudara kandung. Kakak atau adik tidak dianggap sebagai teman berbagi melainkan sebagai saingan. Saat bertengkar, anak yang berusia 2-3 tahun akan memukul, mendorong, dan mencakar lawannya, sedangkan yang lebih besar akan memaki. Rasa bersaing ini biasanya terjadi antara dua anak atau lebih yang usianya berdekatan (1-2 tahun) dan jenis kelaminnya sama. Persaingan antar saudara kandung biasanya menimbulkan masalah jika sikap bermusuhan semakin dalam, pertengkaran dapat membahayakan anak-anak yang bertengkar, atau membuat salah satu anak menjadi rendah diri.
Menurut Ross (Papalia, Olds, & Feldman, 2009) bahwa bentuk paling awal dan paling sering dari perselisihan di antara saudara kandung adalah terhadap hak milik, siapa yang memiliki mainan dan siapa yang berhak memainkannya. Meskipun orang tua yang merasa kesulitan menghadapi hal ini mungkin tidak melihatnya, perselisihan dan penyelesaian antar saudara kandung dapat dipandang sebagai kesempatan sosialisasi, yaitu anak belajar membela prinsip moralnya. Menurut Kramer & Baron (Tsang, 2009) bahwa persaingan antar saudara kandung adalah realitas yang sering dijumpai dalam keluarga yang memiliki anak lebih dari satu. Persaingan antar saudara kandung wajar terjadi jika tidak terlalu berlebihan. Agar tidak memperburuk hal tersebut, orang tua tidak memperlakukan anak sama persis melainkan memperlakukan dengan adil. Persaingan antar saudara sulit untuk dihapus dan jika tidak terjadi persaingan antar saudara, berarti salah satu anak memberikan perintah sementara anak yang lain menjalankannya. Anak-anak seharusnya memiliki perbedaan dan keberanian mengungkapkan serta beragurmentasi tentang perbedaan tersebut. Jadi persaingan antar saudara tersebut merupakan indikasi sehat bahwa di antara keduanya tidak ada yang bersikap lemah. Berusaha memecahkan persoalan ketika muncul perbedaan merupakan bagian dari pengalaman belajar anak (Rimm, 2003). Namun, ketika anak terus menerus bersaing dan melampaui batas kewajaran dapat menjadi faktor yang menyebabkan tingkah laku abnormal pada masa kanak-kanak dan dapat terus berlanjut dalam kehidupan dewasa (Semiun, 2006). Menurut Haritz (2008) bahwa persaingan antar saudara kandung biasa terjadi pada anak usia balita dan usia sekolah, lalu berangsur-angsur berkurang seiring dengan meningkatkan kedewasaan. Namun, tidak menutup kemungkinan berlanjut hingga dewasa jika orang tua tidak segera mengatasinya. Apalagi jika pemahaman keagamaan anak lemah, perselisihan saudara kandung bisa berkelanjutan sepanjang hidup anak. Puncaknya adalah ketika orang tua anakanak meninggal maka anak-anak ini memperebutkan warisan dengan tidak jarang melukai saudaranya sendiri. Maka sikap mengabaikan persaingan antar saudara kandung sama sekali tidak dapat dibenarkan. Mengabaikan ketidakakuran antara kakak dengan adiknya sama saja dengan mendorong anak-anak berperilaku demikian. Persaingan antar saudara pada usia remaja hingga dewasa terjadi akibat tidak tuntasnya orang tua dalam menyelesaikan atau mengatasi persaingan antar saudara kandung pada masa kanak-kanaknya. Sehingga rasa persaingan dan permusuhan terus berlanjut. Menurut Gunarsa dan Gunarsa (1991) menyatakan bahwa anak sering bertengkar, saling memaki bahkan saling memukul sering dikemukakan orang tua. Masalah seperti ini terbatas di lingkungan rumah, jadi di luar rumah, di sekolah atau di lingkungan sosial tidak ada masalah. Namun, bisa pula keadaannya sama, baik di rumah maupun di luar rumah sama-sama mudah terjadi pertengkaran dan keributan. Sumber permasalahan bisa terdapat pada proses sosialisasi dalam keluarga yang tidak berjalan serasi dan harmonis.
Kakak beradik yang tinggal satu kost memiliki lebih banyak waktu untuk bersama sehingga lebih rentan mengalami konflik jika dibandingkan ketika kakak adik tidak tinggal bersama. Konflik yang terjadi dapat menyebabkan tingkat rasa saling percaya dan komunikasi yang rendah, selain itu kakak dan adik yang tinggal bersama akan mempersoalkan masalah berbagi tanggung jawab, kesetaraan, dan keadilan dari orang tua yang akan menyebabkan persaingan antar saudara kandung. Bahkan persaingan antar saudara kandung pada kakak adik yang tinggal satu kost dapat menjadi lebih buruk ketika tidak adanya peran orang tua dalam mangarahkan dan menyelesaikan konflik di antara kakak dan adik. Berdasarkan wawancara awal dan observasi penjajagan pada tanggal 24 Juli 2012 pada mahasiswa yang tinggal satu kost yang mengalami persaingan antar saudara, peneliti menemukan bahwa hubungan adik dengan kakaknya tidak harmonis dan sering mengalami konflik, antara lain sejak awal adik telah menolak untuk tinggal bersama atau satu kost dengan kakaknya, adik pernah tidak berteguran hingga hampir dua minggu selama di kost, adik menganggap bahwa kakaknya selalu beralasan sakit untuk mendapatkan perhatian orang tuanya, sampai akhirnya adik tidur di kamar teman kostnya, adik dan kakaknya jarang terlihat bersama, dan adik sering mengadukan perbuatan kakaknya kepada ibunya. Si adik mengatakan bahwa kakaknya terlalu kritis terhadap dirinya hingga setiap perbuatannya selalu dikomentari, dan kakak sering mengejek ketika si adik mendapat masalah di kampus atau pun masalah di kost, sehingga hal ini menyebabkan sakit hati pada si adik yang terus berkelanjutan hingga mereka kuliah dan tinggal jauh dari orang tua. Sejak SMP hubungan adik dengan kakaknya selalu mengalami persaingan dan menjadi lebih buruk dengan emosi yang tidak terkendali ketika si adik dan kakaknya tinggal satu kost dan jauh dari pengawasan orang tua. Sedangkan kakak mengatakan bahwa orang tua mereka lebih menyayangi adiknya dan merasa bahwa adiknya terlalu manja kepada orang tua. Kakak merasa bahwa dirinya kurang mendapat perhatian dari ibunya selama kuliah, sedangkan si adik selalu ditelepon oleh ibunya sedangkan kakak jarang ditelepon ibunya. Tinjauan Pustaka Pada umumnya, semakin dekat jarak usia anak dengan saudara kandungnya maka pengaruh di antara mereka akan semakin besar, terutama dalam karakteristik emosi. Sedangkan semakin jauh jarak usia maka pengaruh orang tua lebih dominan dibandingkan dengan pengaruh saudara kandung. Perbedaan usia di antara saudara kandung dapat mempengaruhi lingkungan pada masa kanak-kanak, tetapi lebih sedikit pengaruhnya jika dibandingkan dengan perbedaan jenis kelamin saudara kandung. Hadirnya seorang anggota keluarga baru berpengaruh terhadap anak yang lebih tua, bila perbedaan usia antara 2 sampai 4 tahun bisa dikatakan merupakan suatu ancaman bagi anak yang lebih tua. Pada saat usia anak yang paling tua masih kecil, konsep diri belum matang sehingga muncul perasaan terancam (Wong dkk, 2009). Menurut Maslim (2001) bahwa rasa persaingan atau iri hati antar saudara ditandai oleh upaya bersaing yang nyata antar saudara untuk merebut perhatian
atau cinta orang tuanya, namun untuk menjadi abnormal persaingan tersebut harus ditandai oleh perasaan negatif yang berlebihan. Dalam kasus yang berat persaingan ini disertai oleh rasa permusuhan yang terbuka, trauma fisik, sikap jahat, dan upaya menjegal saudaranya. Dalam kasus yang ringan rasa persaingan atau iri hati tersebut dapat terlihat dari keengganan berbagi, kurangnya pandangan positif, dan langkanya interaksi yang ramah. Menurut Maslim (2001) bahwa gangguan emosional dapat beraneka bentuk, yaitu sering berbentuk bermacam-macam regresi dengan hilang berbagai keterampilan yang dimilikinya, seperti pengendalian buang air besar dan kecil, dan ada tendensi berperilaku seperti bayi, dan ada keinginan besar untuk memperoleh perhatian besar orang tua, misalnya ketika hendak tidur. Sedangkan menurut Chaplin (2002) mengatakan bahwa persaingan antar saudara kandung merupakan suatu kompetisi antara saudara kandung, adik dan kakak laki-laki, adik dan kakak perempuan atau adik perempuan dengan kakak laki-laki atau sebaliknya. hal ini sesuai dengan pendapat Priatna dan Yulia (2006) bahwa persaingan antar saudara kandung merupakan kompetisi dan rasa iri antar saudara kandung dalam memperebutkan perhatian dan kasih sayang orang tua. Persaingan antar saudara kandung adalah pertengkaran, percekcokan, dan konflik antara anak yang satu dengan yang lainnya. Namun, orang tua yang bijaksana akan dapat menyelesaikan masalah tersebut secara adil, tetapi tidak sedikit orang tua yang kurang bijaksana, sehingga orang tua bersikap menyalahkan salah satu dan membenarkan anak yang lainnya. Hal ini mungkin akan menyebabkan rasa dendam dan saling bersikap bermusuhan di antara anakanaknya. Oleh karena itu, sikap yang baik dan bijaksana adalah orang tua bersikap netral dan objektif, yaitu orang tua tidak memihak salah satu anaknya dan tidak menyalahkan perilaku anak yang lainnya. Orang tua menjadi penengah dan berusaha untuk menyadarkan anak-anak bahwa konflik yang tidak dapat diselesaikan hanya akan menyebabkan kehancuran hubungan keluarga. Anak yang menyadari kesalahan dan meminta maaf sedangkan anak yang lain mengampuni kesalahan tersebut maka akan tercipta kedamaian, kerukunan, dan keharmonisan hubungan antara anak yang satu dengan yang lain di keluarga (Dariyo, 2004). Menurut yusuf (2009) bahwa usia mahasiswa sebenarnya berumur sekitar 1825 tahun. Mereka dapat digolongkan pada masa remaja akhir sampai masa dewasa awal atau dewasa madya. Dilihat dari segi perkembangan, tugas perkembangan pada usia mahasiswa adalah pemantapan pendirian hidup. Mahasiswi atau mahasiswa adalah panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan tinggi yang mempelajari suatu disiplin ilmu tertentu (Agus, 2012). Menurut Maslim (2001) bahwa ciri khas dari persaingan antar saudara kandung adalah sebagai berikut. a. Adanya bukti rasa persaingan dan iri hati terhadap saudaranya b. Onset selama beberapa bulan setelah kelahiran adik (terutama adik langsung)
c. Gangguan emosional melampaui taraf normal atau berkelanjutan dan berhubungan dengan masalah psikososial. Menurut Harkness dan Pendley (2006) terdapat berbagai faktor yang dapat menyebabkan antara saudara kandung mengalami pertengkaran. Sebagian saudara kandung mengalami beberapa tingkat kecemburuan atau persaingan sehingga bisa menjadi percekcokan dan pertengkaran. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seringnya anak-anak bertengkar dan tingkat keparahan pertengkaran di antara mereka antara lain: a. Perkembangan kebutuhan Kebutuhan anak-anak yang terus berubah merupakan hal yang wajar seperti kebutuhan rasa aman dan kebutuhan untuk menunjukkan jati diri dapat mempengaruhi anak-anak berhubungan satu sama lain. Misalnya, balita secara alami melindungi mainan dan semua barang miliknya, dalam hal ini anak juga belajar untuk mempertahankan kepemilikannya. Jadi, jika saudara kandungnya mengambil mainannya, maka anak yang lebih tua mungkin bereaksi agresif. Selain itu, anak-anak usia sekolah mengembangkan konsep yang kuat tentang kesetaraan dan keadilan, sehingga anak-anak ingin diperlakukan secara adil oleh orang tuanya. Remaja mengembangkan rasa individualitas dan independensi sehingga remaja mungkin membenci untuk membantu tanggung jawab rumah tangga, mengurus adik-adik, atau bahkan harus menghabiskan waktu bersama adikadiknya. Semua perbedaan ini dapat mempengaruhi cara anak-anak saling berhubungan satu sama lain. b. Temperamen individual Setiap orang memiliki temperamen yang berbeda-beda atau bahkan pada saudara kembar. Perbedaan temperamen ini mencakup mood, watak, kemampuan beradaptasi dan keunikan pribadi. Perbedaan inilah yang kadang memicu pertengkaran di antara kakak dan adik. c. Modelling dari orang tua Anak merupakan cerminan dari orang tuanya. Anak biasanya meniru segala hal dari orang tua, sehingga jika orang tua menyelesaikan masalah dengan emosional bahkan dengan perilaku agresif, maka anak pun akan membanting pintu, atau membantah dengan keras maka anak-anak akan mengikuti dengan cara yang sama. d. Kebutuhan khusus atau anak yang sakit Anak-anak berkebutuhan khusus misalnya karena sakit atau kesulitan belajar ataupun masalah emosional tertentu mungkin memerlukan lebih banyak waktu dengan orangtua. Anak-anak lain yang merasakan perbedaan karena saudaranya mendapatkan perlakuan yang istimewa akan berusaha mencari perhatian orang tuanya.
Menurut Hurlock (1978) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antar saudara kandung adalah sebagai berikut: a. Sikap orang tua Sikap orang tua terhadap anak dipengaruhi oleh sejauh mana anak mendekati keinginan dan harapan orang tua. Sikap orang tua juga dipengaruhi oleh sikap dan perilaku anak terhadap anak yang lain dan terhadap orang tuanya. Bila terdapat rasa persaingan atau permusuhan, sikap orang tua terhadap semua anak kurang menguntungkan dibandingkan bila mereka satu sama lain bergaul cukup baik. Anak yang lahir pertama, sebagai akibat pendidikan awal dan asosiasi yang erat dengan orang tua daripada anak yang lahir kemudian. Jadi orang tua lebih sering menyukai anak yang pertama. Sebaliknya anak yang di tengah sering merasa tidak dihiraukan dibandingkan anak pertama dan terakhir. Mereka merasa bahwa orang tua piilih kasih dan mereka membenci saudara mereka. b. Urutan posisi Dalam semua keluarga, kecuali keluarga satu anak, semua anak diberi peran menurut urutan kelahiran dan mereka diharapkan memerankan peran tersebut. Jika anak menyukai peran yang diberikan kepadanya, semua berjalan dengan baik. Tetapi peran itu peran yang diberikan, bukan peran yang dipilih sendiri, maka kemungkinan terjadi perselisihan besar sekali. c. Jenis kelamin saudara kandung Anak laki-laki dan perempuan bereaksi sangat berbeda terhadap saudara laki-laki atau perempuan. Misalnya dalam kombinasi perempuanperempuan, terdapat lebih banyak iri hati daripada dalam kombinasi lakiperempuan atau laki-laki. Seorang kakak perempuan kemungkinan lebih cerewet dan suka mengatur terhadap adik perempuannya daripada adik lelakinya. d. Perbedaan usia Perbedaan usia antar saudara kandung mempengaruhi cara mereka bereaksi satu terhadap yang lain dan cara orang tua memperlakukan mereka. Bila perbedaan usia antar saudara itu besar, baik jika anak berjenis kelamin sama maupun berlainan, hubungan mereka lebih ramah , koperatif, dan kasih mengasihi terjalin daripada bila usia mereka berdekatan. e. Jumlah saudara Jumlah saudara yang kecil cenderung menghasilkan hubungan yang lebih banyak perselisihan daripada jumlah saudara yang besar. Bila anak banyak saudara, disiplin cenderung otoriter. Bahkan bila ada antagonisme dan permusuhan, ekspresi terbuka perasaan ini dikendalikan dengan ketat. Hal ini biasanya tidak terjadi pada keluarga dengan sedikit anak. Pengawasan orang
tua santaim permisif terhadap perilaku anak, memungkinkan antagonisme dan permusuhan yang dinyatakan dengan terbuka, sehingga tercipta suasana yang diwarnai perselisihan. f. Jenis disiplin Hubungan antar saudara kandung tampak jauh lebih rukun dalam keluarga yang menggunakan disiplin otoriter dibandingkan dengan keluarga yang mengikuti pola permisif. Bila anak dibiarkan bertindak sesuka hati, hubungan antar saudara kandung sering tidak terkendalikan lagi. Disiplin yang demokratis dapat mengatasi sebagian kekacauan akibat disiplin permisif, tetapi dampaknya tidak sebesar disiplin otoriter. Tetapi secara keseluruhan disiplin demokratis menciptakan hubungan yang lebih menyenangkan dan sehat. Dengan sisitem demokratis anak belajar memberi dan menerima atas dasar kerja sama, sedangkan pada system otoriter, mereka dipaksa melakukannya dan hal ini menimbulkan rasa benci. g. Pengaruh orang luar Tiga cara orang luar keluarga langsung mempengaruhi hubungan antar saudara, yaitu kehadiran orang luar di rumah, tekanan orang luar pada anggota keluarga, dan perbandingan anak dengan saudaranya oleh orang luar. Hal ini mungkin sekali menimbulkan perselisihan baru atau memperhebat perselisihan antar saudara yang sudah ada. Dampak persaingan antar saudara kandung menurut Gunarsa dan Gunarsa (2008) bahwa persaingan antar saudara kandung memiliki dampak positif dan negatif bagi anak. Persaingan yang sehat dan tetap dalam pengamatan orang tua dapat dipertahankan agar anak-anak memiliki motivasi untuk mencapai prestasi dengan hasil yang baik. Sedangkan persaingan yang tidak sehat serta dipengaruhi oleh orang tua dapat menimbulkan malas belajar, tidak berani menghadapi realitas yang tidak menyenangkan, bahkan dapat menimbulkan kesulitan penyesuaian diri, pelarian diri, dan gejala atau gangguan fungsi kefaalan dalam tubuhnya. Menurut Semiun (2006) bahwa persaingan di antara anak-anak kandung harus diterima sebagai ciri yang normal dalam perjuangan anak untuk pertumbuhan dan perkembangan. Tetapi, jika terus menerus bersaing dan melampaui batas kewajaran dapat menjadi faktor yang menyebabkan tingkah laku abnormal pada masa kanak-kanak dan terus berlanjut dalam kehidupan dewasa. Dengan demikian perasaan-perasaan bermusuhan yang ditekan dan dan berakar dalam terhadap saudara laki-laki dan perempuan dapat menjadi titik tolak bagi prasangka patologik, tingkah laku kompensasi yang ekstreem, dan depresi yang mungkin diungkapkan dalam berbagai sindrom. Sedangkan menurut Priatna dan Yulia (2006) dalam Setiawati dan Zulkaida (2007), pertengkaran yang terus menerus dipupuk sejak kecil akan terus meruncing saat anak-anak beranjak dewasa, mereka akan terus bersaing dan saling mendengki. Bahkan ada kejadian saudara kandung saling membunuh karena memperebutkan warisan. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab dan dampak psikologis persaingan antar saudara kandung pada mahasiswa yang tinggal satu kost.
Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yaitu proses pencarian data untuk memahami masalah sosial yang didasari pada penelitian yang menyeluruh, dibentuk oleh kata-kata, dan diperoleh dari situasi yang alamiah (Muhadjir, 2000). Desain penelitian kualitatif bersifat alamiah yang dalam hal ini peneliti tidak berusaha memanipulasi setting penelitian (Poerwandari, 2007). Kebebasan dalam penelitian kualitatif juga dapat mendorong penulis menemukan fakta baru yang belum pernah diungkap penelitian sebelumnya (fact building). Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Menurut Moleong (2005), metode penelitian kualitatif dalam paradigma fenomenologi berusaha memahami arti (mencari makna) dari peristiwa dan kaitan-kaitannya dengan orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Pendekatan analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis). Analisis isi (content analysis) merupakan penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media masa. Suatu teknik penelitian untuk membuat inferensi – inferensi yang ditiru (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya (Afifudin & Saebani, 2009). Pengambilan subjek dalam penelitian ini menggunakan teknik convenience sampling pada subjek pertama. Convenience sampling adalah pemilihan sampel penelitian dengan cara memilih unit-unit analisis dengan cara yang dianggap sesuai oleh peneliti. Penetapan sampel dengan cara ini dapat dilakukan dengan mudah dan cepat (Sarwono, 2006). Sedangkan pada subjek kedua menggunakan teknik criterion sampling yaitu penetapan sampel yang memenuhi kriteria tertentu (Poerwandari, 2007). Beberapa kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e.
Kakak dan adik yang tinggal satu kost Kakak dan adik yang mengalami persaingan antar saudara kandung Jenis kelamin yang sama. Jarak usia 2-4 tahun. Mahasiswa berusia 18-25 Tahun
Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara semi terstruktur, observasi partisipan, dan studi dokumen. Peneliti menggunakan pendekatan triangulasi data dan triangulasi metode dalam uji kredibilitas data penelitian. Triangulasi data dilakukan dengan membandingkan sumber-sumber data yang diperoleh antara hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dalam penelitian ini triangulasi dilakukan dengan wawancara terhadap informan pendukung yaitu orang-orang terdekat (significant person) atau orang-
orang yang berkaitan untuk mere-cek apa yang dikatakan subjek. Sedangkan triangulasi metode dilakukan dengan menggunakan beberapa metode berbeda untuk meneliti satu hal yang sama, yaitu selain menggunakan metode wawancara juga dilakukan dengan metode observasi (Poerwandari, 2007).
Hasil dan Pembahasan A. Faktor-faktor yang menyebabkan persaingan antar saudara kandung pada mahasiswa yang tinggal satu kost Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, maka faktor-faktor penyebab persaingan antar saudara kandung dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sebagai berikut: 1. Faktor Internal a. Temperamen Individual Hasil analisis menunjukkan bahwa persaingan antar saudara kandung akan lebih buruk pada seseorang yang memiliki temperamen yang tinggi karena cenderung lebih mudah bereaksi negatif, misalnya mudah marah, tersinggung, mudah sedih, mudah berputus asa, kurang mampu beradaptasi dengan hal-hal yang baru, dan mudah mengalami konflik dengan orang lain. Menurut Harkness dan Pendley (2006) bahwa Setiap orang memiliki temperamen yang berbeda-beda atau bahkan saudara kembar. Perbedaan temperamen mencakup mood, watak, kemampuan beradaptasi dan keunikan pribadi. Perbedaan inilah yang kadang memicu pertengkaran antara kakak dan adik. Menurut Yusuf (2009) bahwa temperamen merupakan aspek dari kepribadian yang merupakan disposisi reaktif seseorang serta cepat atau lambatnya mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan. Kepribadian seseorang dapat diartikan sebagai kualitas perilaku individu yang tampak dalam melakukan penyesuaian dirinya terhadap lingkungan secara unik sehingga hal ini menunjukkan bahwa tidak ada dua orang yang mempunyai kepribadian yang sama. b. Perkembangan kebutuhan Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan kebutuhan di antara kakak beradik, seperti kebutuhan untuk dihargai, kebutuhan menyampaikan pendapat, kebutuhan untuk mempertahankan hak milik, dan kebutuhan untuk memiliki kemandirian emosional untuk menjalin hubungan sosial dengan orang lain, seperti pacaran dan bermain dengan teman sebaya, serta kebutuhan kasih sayang dan perhatian dari orang tua dapat mempengaruhi anak saling berhubungan satu sama lain. Menurut Harkness dan Pendley (2006) bahwa kebutuhan anak-anak yang terus berubah merupakan hal yang wajar seperti kebutuhan rasa aman dan
kebutuhan untuk menunjukkan jati diri dapat mempengaruhi anak-anak berhubungan satu sama lain. Remaja mengembangkan rasa individualitas dan independensi sehingga remaja mungkin membenci untuk membantu tanggung jawab rumah tangga, mengurus adik-adik, atau bahkan harus menghabiskan waktu bersama adik-adiknya. Menurut Dariyo (2004) bahwa kebutuhan anak-anak tidak hanya meliputi kebutuhan materi yang harus terpenuhi, namun juga memerlukan kebutuhan psikologis seperti kebutuhan kasih sayang dan perhatian dari orang tua yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. c. Kendala fisik dan kognitif Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak yang memiliki suatu kendala fisik seperti sakit atau menderita suatu penyakit tertentu memiliki lebih banyak perhatian dari orang tua, sehingga anak yang lain merasa cemburu dengan perlakuan orang tuanya tersebut. Hal ini juga dapat menyebabkan anak yang lain membenci saudaranya bahkan tidak mempedulikan saudaranya ketika sakit dan jauh dari orang tua. Selain itu, ada kecurigaan dari anak yang lain akan sikap sakit saudaranya hanya untuk mendapatkan perhatian dari orang tua. Begitu pula pada anak yang memiliki daya tangkap yang kurang akan didominasi oleh anak yang memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik, sehingga dapat menyebabkan persaingan antar saudara kandung walaupun perilaku persaingan hanya berbentuk perilaku pasif agresif dari anak yang didominasi. Menurut Harkness dan Pendley (2006) bahwa anak-anak berkebutuhan khusus misalnya karena sakit atau kesulitan belajar ataupun masalah emosional tertentu mungkin memerlukan lebih banyak waktu dengan orang tua. Anak-anak lain yang merasakan perbedaan akan berusaha mencari perhatian orang tuanya karena saudaranya mendapatkan perlakuan yang istimewa. 2. Faktor Eksternal a.
Modelling dari orang tua
Penelitian ini mengungkapkan bahwa persaingan antar saudara kandung disebabkan karena mencontoh perilaku kedua orang tua ketika di rumah. Pengalaman anak tentang peristiwa yang tidak harmonis dalam keluarga seperti orang tua sering memperlihat perilaku kasar dan agresi ketika sedang mengalami konflik serta tidak ada penyelesaian masalah dari setiap konflik yang terjadi dapat membuat anak-anak mencontoh perilaku konflik dari kedua orang tua. Selain itu, orang tua yang tidak mengajarkan atau mengajak anak-anak untuk lebih bersifat toleransi terhadap saudara yang lain, tetapi mengajarkan sifat kasar dan mengkritik kepada anak-anak juga dapat menyebabkan persaingan antar saudara kandung. Namun, Orang tua yang mengalami konflik, tetapi tidak memperlihatkan sikap kasar di depan anak-anak bahkan tetap menunjukkan kasih sayang dapat mengurangi terjadinya persaingan antar saudara kandung sehingga dapat menciptakan hubungan yang harmonis di antara anak-anak.
Menurut Harkness dan Pendley (2006) bahwa Anak merupakan cerminan dari orang tuanya. Anak biasanya meniru segala hal dari orang tua, sehingga jika orang tua menyelesaikan masalah dengan emosional bahkan dengan perilaku agresif, maka anak pun akan bertindak demikian. Misalnya anak-anak melihat orang tua sering berteriak, membanting pintu, atau membantah dengan keras maka anak-anak akan mengikuti dengan cara yang sama. Orang tua adalah contoh atau model bagi anak (example of trustwortthness). Tidak dapat disangkal bahwa contoh dari orang tua mempunyai pengaruh yang sangat kuat bagi anak. Orang tua merupakan model yang pertama dan terdepan bagi anak baik positif maupun negatif dan merupakan pola bagi way of life anak. Cara berpikir dan berbuat anak dibentuk oleh cara berpikir dan berbuat orang tuanya. Melalui modelling ini, orang tua telah mewariskan cara berpikirnya kepada anak, yang kadang-kadang sampai pada generasi ketiga dan keempat. Oleh karena itu, maka peranan modelling orang tua bagi anak dipandang sebagai suatu hal yang sangat mendasar, suci, dan perwujudan spiritual. Melalui modelling ini, anak juga belajar tentang sikap proaktif dan sikap respek atau kasih sayang (Yusuf, 2009). b. Favoritisme orang tua Berdasarkan hasil analisis mengungkapkan bahwa adanya favoritisme orang tua terhadap salah satu anak dapat menjadi faktor penyebab terjadinya persaingan antar saudara kandung. Orang tua lebih banyak memberikan perhatian kepada anak yang lebih muda sehingga anak yang lebih tua merasa orang tua memperlakukan mereka secara tidak adil. Favoritisme orang tua dapat diartikan sebagai adanya anak emas di antara anak-anak yang lain, yaitu anak yang diistimewakan oleh orang tua atau adanya sikap pilih kasih terhadap salah satu anak. Menurut Hurlock (1978) bahwa anak yang lahir pertama, sebagai akibat pendidikan awal dan asosiasi yang erat dengan orang tua daripada anak yang lahir kemudian. Jadi orang tua lebih sering menyukai anak yang pertama. Sebaliknya anak yang di tengah sering merasa tidak dihiraukan dibandingkan anak pertama dan terakhir. Mereka merasa bahwa orang tua pilih kasih sehingga mereka membenci saudara mereka. c. Faktor Budaya Budaya suatu masyarakat memberikan pengaruh terhadap kepribadian setiap anggotanya, baik yang menyangkut cara berpikir seperti cara memandang sesuatu, bersikap, atau cara berperilaku (Yusuf, 2009). Berdasarkan hasil penelitian bahwa faktor budaya mempengaruhi kualitas hubungan di antara kakak beradik. Subjek penelitian ini berasal dari suku Palembang dan suku Jawa, sehingga tingkat keparahan persaingan antar saudara kandung menjadi berbeda. Menurut Afrianto (2012) bahwa gambaran budaya suku Palembang yang keras, sifat mudah curiga kepada orang lain serta terlalu hati-hati dengan orang baru dan adanya kelas sosial antar anggota keluarga yang berbeda dapat membentuk proses sosial dan dinamika dalam keluarga, baik yang bersifat asosiatif maupun yang disasosiatif. Asosiatif dapat berupa bentuk kerjasama antar
anggota keluarga, sedangkan yang disasosiatif berupa kompetisi atau persaingan juga termasuk di dalamnya dapat menyebabkan terjadinya konflik. Perbedaan dalam keluarga, tidak adanya kompromi, kurangnya pemahaman dan penghargaan, kurangnya kesabaran dan toleransi, dan batasan orang lain merupakan potensi konflik persaingan dalam keluarga yang menjadi benih munculnya permusuhan. Gambaran budaya suku Jawa bahwa ada beberapa sifat khas yang dinilai sebagai kematangan moral yang mendukung kesediaan orang Jawa untuk melepaskan kepentingan pribadinya. Sifat tersebut antara lain mampu bersikap sabar, nrima, dan ikhlas. Sabar berarti mempunyai nafas panjang dalam kesadaran bahwa pada waktunya nanti nasib yang baik akan tiba. Nrima berarti menerima segala apa yang terjadi tanpa protes dan pemberontakan. Sedangkan ikhlas berarti kesediaan untuk melepaskan individualitas sendiri dan mencocokan diri ke dalam keselarasan alam semesta yang telah ditentukan. Ikhlas dan nrima merupakan tanda penyerahan otonom sebagai kemampuan untuk melepaskan sepenuh pengertian daripada membiarkan saja sesuatu direbut secara pasif. Sifat sabar, nrima, dan ikhlas ini merupakan dimensi feminin pada suku Jawa. Selain itu, prinsip hidup dalam budaya Jawa, yaitu prinsip hormat, rukun, dan toleransi yang dilandasi semangat untuk selalu menjaga harmoni, keselarasan, dan ketenangan sehingga dapat dipahami bahwa prinsip hidup orang Jawa cenderung bersifat feminin (Handayani & Novianto, 2004). Berdasarkan perbedaan budaya yang keras dan yang feminin menyebabkan tingkat persaingan antar saudara kandung lebih buruk pada budaya yang memiliki sifat-sifat yang keras. d. Peran ayah yang lemah Peran ayah sebagai kepala keluarga memiliki fungsi secara psikososiologis untuk memenuhi kebutuhan setiap anggota keluarganya, yaitu pemberi rasa aman bagi anak dan anggota keluarga yang lain, sumber pemenuhan kebutuhan baik fisik maupun psikis, sumber kasih sayang dan penerimaan, model perilaku yang tepat bagi anak untuk belajar menjadi anggota masyarakat yang baik, pemberi bimbingan bagi pengembangan perilaku yang secara sosial dianggap tepat, pembentuk anak dalam memecahkan masalah yang dihadapinya dalam rangka menyesuaikan dirinya terhadap kehidupan yang akan datang (Yusuf 2009). Peran ayah yang tidak berfungsi dalam proses keluarga dapat menyebabkan hubungan antar kedua orang tua, hubungan orang tua-anak, dan hubungan antar saudara mengalami ketidakharmonisan dan penuh konflik. Hal ini dapat mengembangkan masalah kepribadian anak yang tidak sehat. Peran ayah yang terlalu membiarkan anak berperilaku semaunya di rumah dapat menyebabkan anak tidak patuh, tidak bertanggung jawab, agresif, bersikap otoriter, penuntut, dan terlalu percaya diri. Selain itu, ayah yang membiarkan anak-anak saling bertengkar tanpa mengarahkan dan membimbing anak-anak untuk saling mengasihi hanya akan menyebabkan kehancuran keluarga. e. Urutan kelahiran
Berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa faktor urutan kelahiran dapat menyebabkan persaingan antar saudara kandung. Sesuai dengan urutan kelahirannya bahwa anak yang lebih tua berhak mengatur dan mendominasi sehingga anak yang lebih muda harus mematuhi segala keinginan kakaknya. Namun, pada kenyataannya anak yang lebih mudah tidak ingin diatur bahkan saling memaksakan kehendak masing-masing menyebabkan tidak dapat dihindarkan terjadinya konflik dan permusuhan di antara kakak dan adik. Anak yang lebih tua merasa memiliki tanggung jawab sedangkan adik memiliki keinginan untuk mandiri secara emosional. Menurut Harlock (1978) bahwa dalam semua keluarga, kecuali keluarga satu anak, semua anak diberi peran menurut urutan kelahiran dan mereka diharapkan memerankan peran tersebut. Jika anak menyukai peran yang diberikan kepadanya, semua berjalan dengan baik. Tetapi peran itu peran yang diberikan, bukan peran yang dipilih sendiri, maka kemungkinan terjadi perselisihan antar anak besar sekali. B. Dampak psikologis persaingan antar saudara kandung pada mahasiswa yang tinggal satu kost Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan, dampak psikologis persaingan antar saudara kandung adalah dampak terhadap psikososial yang menunjukkan bahwa terdapat kesulitan dalam menciptakan hubungan interpersonal yang baik dengan saudara maupun orang lain. Selain itu, terdapat perilaku saling menghindari terhadap orang lain yang pernah berkonflik sehingga konflik berlarut-larut tanpa penyelesaian. Persaingan antar saudara kandung juga berdampak pada emosi seseorang, anak yang mengalami persaingan antar saudara kandung akan lebih banyak menarik diri dari lingkungan dan menjadi pemurung. Dampak psikologis lainnya yang disebabkan persaingan antar saudara kandung adalah adanya keinginan untuk selalu berprestasi lebih baik daripada saudara yang lain. Dengan demikian, anak yang berprestasi akan merasa bahwa dirinya akan menjadi yang terbaik di hadapan orang tua dan akan mendapatkan perhatian orang tua. Menurut Ferguson (Yati dan Mangunsong, 2008) bahwa ketika seorang anak semakin tumbuh dewasa, para orang tua semakin tidak mampu lagi untuk memberikan perhatian yang seimbang kepada seluruh anakanaknya. Oleh karena itu, setiap anak harus menemukan sendiri penyeimbang kebutuhan perhatiannya dengan saling bernegosiasi pada saudaranya dalam hal persamaan hak, perasaan superior, dan perasaan inferior. Persaingan yang terjadi juga menyebabkan gangguan faali yaitu gangguan psikosomatis pada anak, seperti ketika mengalami konflik atau menghadapi masalah dengan saudara, tekanan dari orang tua, atau masalah dengan teman maka anak akan merasa sakit dan mengeluhkan penyakit tertentu seperti pusing, maag, dan asma. Dampak psikologis persaingan antar saudara tersebut sesuai dengan pendapat Gunarsa (2008) bahwa persaingan antar saudara kandung memiliki dampak positif dan negatif bagi anak. Persaingan yang sehat dan tetap dalam pengamatan orang
tua dapat dipertahankan agar anak-anak memiliki motivasi untuk mencapai prestasi dengan hasil yang baik. Sedangkan persaingan yang tidak sehat serta dipengaruhi oleh orang tua dapat menimbulkan malas belajar, tidak berani menghadapi realitas yang tidak menyenangkan, bahkan dapat menimbulkan kesulitan penyesuaian diri, pelarian diri, dan gejala atau gangguan fungsi kefaalan dalam tubuhnya. Semiun (2006) menambahkan bahwa persaingan di antara anakanak kandung harus diterima sebagai ciri yang normal dalam perjuangan anak untuk pertumbuhan dan perkembangan. Tetapi, jika terus menerus bersaing dan melampaui batas kewajaran dapat menjadi faktor yang menyebabkan tingkah laku abnormal pada masa kanak-kanak dan terus berlanjut dalam kehidupan dewasa. Dengan demikian perasaan-perasaan bermusuhan yang ditekan dan dan berakar dalam terhadap saudara laki-laki dan perempuan dapat menjadi titik tolak bagi prasangka patologik, tingkah laku kompensasi yang ekstreem, dan depresi yang mungkin diungkapkan dalam berbagai sindrom. Sedangkan Menurut Priatna dan Yulia (2006) dalam Setiawati dan Zulkaida (2007) bahwa dampak pertengkaran yang terus menerus dipupuk sejak kecil akan terus meruncing saat anak-anak beranjak dewasa, mereka akan terus bersaing dan saling mendengki. Bahkan ada kejadian saudara kandung saling membunuh karena memperebutkan warisan. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan hasil pembahasan yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan persaingan antar saudara kandung pada mahasiswa yang tinggal satu kost disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang menyebabkan persaingan antar saudara kandung yaitu temperamen individual, perkembangan kebutuhan, serta kendala fisik dan kognitif. Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan persaingan antar saudara kandung yaitu modelling dari orang tua, favoritisme orang tua terhadap salah satu anak, faktor budaya, peran ayah yang lemah ketika anak-anak mengalami konflik, dan serta urutan kelahiran yang menyebabkan tidak diberikan kemandirian secara emosional dari orang dewasa yang memiliki otoritas kepada yang lebih muda. Dampak psikologis persaingan antar saudara kandung pada mahasiswa yang tinggal satu kost adalah adanya konflik yang tidak terselesaikan dan menarik diri dari lingkungan, menjadi pemurung, kurang memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain, saling menghindar dan tidak adanya komunikasi satu sama lain, adanya motivasi eksternal untuk berprestasi lebih baik daripada saudara yang lain, serta mengalami gangguan psikosomatis akibat konflik yang dialami.
DAFTAR PUSTAKA
Afifudin & Saebani, B.A. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: CV. Pustaka Setia Agus,
Heri. 2012. Arti http://heritelon.blogspot.com/2012_04_01_archive.html. 2012
Mahasiswa. 14 September
Arfianto, Itryah. 2012. Konflik Persaingan dalam Keluarga Suku Palembang. Temu Ilmiah Nasional. Jakarta : Universitas Atma Jaya Chaplin. 2002. Kamus Lengkap Psikologi. Penerjemah: Kartini Kartono. Jakarta: PT RajaGrafindo Dariyo, Agus. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor : Ghalia Indonesia Fleming, Don & Ritts, Mark. 2007. Mengatasi Perilaku Negatif Anak : Memahami Kepribadian, Komunikasi, dan Perangai Anak Anda. Penerjemah : Rizki Wahyudi. Yogyakarta : Think Gichara, Jenny. 2006. Mengatasi Perilaku Buruk Anak. Depok. Kawan Pustaka Gunarsa & Gunarsa. 1991. Psikologi Praktis : Anak, Remaja, Keluarga. Cetakan 1. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia Gunarsa & Gunarsa. 2008. Psikologi Praktis : Anak, Remaja, Keluarga. Cetakan 8. Jakarta : PT BPK Gunung Mulia Handayani, Christina. S. & Noviato, Ardhian. 2004. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara Haritz, Ummu. 2008. Mengelola Persaingan Kakak Adik. Solo: Indiva Media Kreasi Harkness, D., & Pendley, J.S. 2006. Sibling Rivalry. Http://www.kidshealth.org/parent/emotions/feelings/sibling_rivalry.html. 15 Maret 2012 Himam, F. 2005. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Workshop. Yogyakarta : lembaga Pendidikan Psikologi Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Hurlock, E.B. 1978. Psikologi Perkembangan. Penerjemah : Istiwidiyanti dan Soedjarwo. Jakarta : Erlangga
Maslim, Rusdi. 2001. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: PT Nuh Jaya Moloeng, J.L. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Muhadjir. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta. Rake Sarasin Papalia, W. E; Olds, S. W dan Feldman. R. D. Human Development Edisi 10. Penerjemah: Verawati & Wahyu. Jakarta: Salemba Humanika Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Priatna & Yulia. 2006. Mengatasi Persaingan Antar Saudara Kandung pada Anak-Anak. Jakarta: P.T. Elek Media Komputindo. Rimm, Sylvia. 2003. Mendidik dan Menerapkan Disiplin pada Anak Prasekolah: Pola Asuh Anak Masa Kini. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Santrock, J. W. 2011. Masa Perkembangan Anak Buku 2 Edisi 11. Penerjemah: Verawati & Wahyu. Jakarta: Salemba Humanika Sarwono, J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu Semiun, Yustinus. 2006. Kesehatan Mental 1. Yogyakarta: Kanisius Setiawati, I & Zulkaida, A. 2007. Sibling Rivalry pada Anak yang diasuh oleh Single Father. Volume 2. Universitas Gunadarma Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta Thompson, June. 2003. Toddlercare : Pedoman Merawat Balita. Penerjemah : Novita Jhonatan. Jakarta : Erlangga Tsang, A. 2009. The Effect of Working Mothers on Sibling Rivalry. Volume 8.The Master’s College : URJHS Wong, D.L. dkk. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Vol. 1. Penerjemah : Agus Sutarna, Neti Juniarti, & H.Y. Kuncara. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC Yati, Jelita W & Mangunsong, Frieda M. 2008. Hubungan antara Sibling Rivalry dan Motivasi Berprestasi pada Anak Kembar. No 2 Volume 13. Fakultas Psikologi: Universitas Indonesia Yusuf, Syamsu. 2009. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung. PT Remaja Rosdakarya